Anda di halaman 1dari 13

Powered by TCPDF (www.tcpdf.

org)
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
PEMANFAATAN INFORMASI GEOSPASIAL
UNTUK PENINGKATAN SINERGI PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP

EDITOR AHLI :
Prof. Dr. Sugeng Utaya, M.Si (UM)
Prof. Dr. Dewi Liesnoor S., M.Si (UNNESS)
Prof. Dr. Chatarina Muryani, M.Si (UNS)

EDITOR PELAKSANA :
Setya Nugraha, S.Si., M.Si
Singgih Prihadi, S.Pd, M.Pd
Rahning Utomowati, S.Si, M.Sc
Gentur Adi Tjahjono, S.Si

ISBN: 978-602-73302-014

Hak Cipta dilindungi oleh undang – undang. Dilarang memperbanyak dalam


bentuk apapun tanpa izin tertulis dari editor. Hak intelektual pada makalah
dalam prosiding ini milik penulis yang tercantum pada setiap makalah.

Alamat Sekertariat :
Program Studi Magister Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami No 36 A Kentingan Surakarta
Gedung G lantai 2 Pascasarjana FKIP UNS
Website : spklh.fkip.uns.ac.id Email : semnaspklh@gmail.com

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG –Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI ii
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................... i


HALAMAN REDAKSI .................................................................................................................. ii
HALAMAN PENYLENGGARA ..................................................................................................... iii
SUSUNAN PANITIA .................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ vi
MAKALAH UTAMA .................................................................................................................. 1
Keynote Speaker
Pemanfatan Informasi Geospasial Untuk Mendukung Sistem Informasi Lingkungan Hidup
Dr. Priyadi Kardono, M.Sc – Badan Informasi Geospasial ................................................. 2
Pemakalah I
Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ir. Djati Witjaksono Hadi, M.Si-Kementerian Lingkungan Hidup ...................................... 24
Pemakalah II
Peluang dan Tantangan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Regional Jawa
Nugroho Widjararto, S.T, M.T – Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa ............................... 46
Pemakalah III
Sekolah Konservasi Lingkungan Berdasarkan Adat dan Kearifan Lokal
Dr. Moh. Gamal Rindarjono, M.Si –Universitas Sebelas Maret Surakarta ......................... 71
MAKALAH PENDAMPING ......................................................................................................... 83
TEMA LINGKUNGAN HIDUP ...................................................................................................... 84
Pengaruh Suhu dan pH Terhadap Konsentrasi Merkuri di Air dan Sedimen
Marike Mahmud, Fitryane Lihawa, Beby Banteng, Frice Desei, Yanti Saleh. .................... 85
Sebaran Hama Kutu Putih (Hamamelistes sp) Pada Manglid (Magnolia Campaca) di
Tasikmalaya dan Pengelolaannya
Endah Suhaendah, Aris Sudomo .......................................................................................... 95
Keragaman Jenis Tumbuhan Pada Agroforestry Sengon di Kecamatan Sodonghilir
Kabupaten Tasikmalaya

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG –Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI vi
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

Aji Winara, Aris Sudomo ...................................................................................................... 102


Penentuan Batas Recharege Area Air Tanah Pada Kawasan Karst Dengan Metode APLIS
dan Arahan Konservasi Lahan di Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri
Dwi Setiawan, Setya Nugraha, Pipit Wijayanti ................................................................... 112
Pencemaran Waduk Alam Rawapening Telaah Pemupukan Nitrogen (N) dan Phospor (P)
Lahan Pertanian
Ugro Hari Murtiono ............................................................................................................. 120
Pemanfaatan Informasi Geospasial Sebagai Arah Pengembangan Kayuputih Hasil
Pemuliaan di Nusa Tenggara Timur
Sumardi ............................................................................................................................... 131
Budidaya Pohon Aren Sebagai Tanaman Fungsi Konservasi di Desa Cimanggu Kecamatan
Langkaplancar Kabupaten Pangandaran
Erni Mulyanie, Ruli As’ari ..................................................................................................... 142
Prioritas Penanganan Permukiman Kumuh dan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Kota
Yogyakarta dengan Pendekatan Analisis Geospasial
Mohammad Isnaini Sadali, Sheily W, Fikri Intizhar R ......................................................... 152
Menganalisis Permasalahan dan Potensi Keruangan Kabupaten Semarang: Kajian
Sosiologi Lanskap
Nana Haryanti ..................................................................................................................... 161
Pengelolaan Sampah mandiri Melalui Model Bank Sampah Sebagai Upaya Pelesatarian
Lingkungan di Kelurahan Sukamanah Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya
Ely Satiasih Rosaly, Rachmat H. Sujana ............................................................................... 173
Cadangan Karbon Hutan Tanaman Sonokeling (Dalbergia latifolia) Pada Beberapa Bonita
di Jawa
Yonky Indrajaya ................................................................................................................... 183
Analisis Dinamika Penggunaan Lahan di Area Gumukpasir Parangtritis Kabupaten Bantul
Tahun 2003-2014
Kuswaji Dwi Priyono, Widya Ayu Elzha Dani, Agus Anggoro Sigit ...................................... 192
Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal Melalui Sistem Perladangan Masyarakat Adat
Dayak Kalimantan Barat

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG –Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI vii
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

PRIORITAS PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH DAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI


(RTLH) DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN PENDEKATAN ANALISIS GEOSPASIAL

Mohammad Isnaini Sadali1, Sheily Widyaningsih2, Fikri Intizhar R3


1,2,3
Program Studi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi-UGM, Jl. Kaliurang-
Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia
Email: mohammad.isnaini.s@geo.ugm.ac.id.

Abstract: Kebutuhan penduduk yang paling mendasar salah satunya adalah tempat tinggal
(papan) yang sering disebut dengan rumah. Kebutuhan lahan permukiman terus
meningkat dengan diikuti oleh kebutuhan sarana prasarana umum pendukung lainnya
seiring dengan pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah. Di sisi lain, sumberdaya
lahan bersifat terbatas, baik keterbatasan jumlah maupun kemampuan dalam
mendukung pemanfaatannya. Keterbatasan lahan menjadi salah satu faktor
pertumbuhan permukiman di lahan-lahan marjinal, sehingga dapat muncul
permukiman-permukiman dengan kelayakan yang tidak memenuhi standar dan
cenderung mengesampingkan lingkungan yang sehat. Di Kota Yogyakarta terdapat
kawasan permukiman kumuh seluas 264,90 Hektar dan jumlah RTLH (Rumah Tidak
Layak Huni) sebesar 3.194 unit. Permukiman kumuh dan RTLH di Kota Yogyakarta
merupakan bagian dari lingkungan yang kritis, sehingga memerlukan penanganan
serius dan segera agar tercipta lingkungan permukiman yang sehat, nyaman dan
harmonis. Oleh karena itu diperlukan prioritas-prioritas penanganan lokasi-lokasi atau
kawasan-kawasan permukiman kumuh dan RTLH yang sudah termasuk kritis agar tidak
berkembang lebih buruk lagi. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis dan memetakan
sebaran permukiman kumuh dan RTLH, serta (2) menentukan prioritas penanganan
permukiman kumuh dan RTLH di Kota Yogyakarta. Lokasi penelitian berada di Kota
Yogyakarta, dengan unit analisis kawasan permukiman kumuh dan lokasi-lokasi RTLH.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif prioritas penanganan
permukiman kumuh dan RTLH melalui pendekatan analisis geospasial.
Kata Kunci: prioritas, permukiman kumuh, rumah tidak layak huni (RTLH), geospasial

PENDAHULUAN
Kebutuhan dasar penduduk yang paling pokok selain pangan dan sandang adalah tempat
tinggal (papan) yang sering disebut dengan lahan permukiman. Hal ini juga sesuai dengan
amanatkan dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan pasal 28 H Amandemen UUD 1945,
rumah adalah salah satu hak dasar setiap rakyat Indonesia, maka setiap warga negara berhak
untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kebutuhan lahan
permukiman akan terus meningkat dengan diikuti oleh kebutuhan sarana prasarana umum
pendukung lainnya seiring perkembangan penduduk pada suatu wilayah. Di sisi lain, sumberdaya
lahan bersifat terbatas, baik keterbatasan jumlah maupun kemampuan dalam mendukung
pemanfaatannya. Keterbatasan lahan menjadi salah satu faktor pertumbuhan permukiman di

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 152
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

lahan-lahan marjinal seperti tepi sungai, dengan kelayakan yang tidak memenuhi standar,
maupun kurangnya prasarana dan sarana permukiman.
Kelayakan hunian merupakan salah satu syarat dan tujuan rumah sebagai tempat tinggal.
Kondisi permukiman yang tidak layak huni akan menjadi masalah bagi masyarakat maupun
pemerintah dalam mengembangkan dan menciptakan kawasan dengan kualitas lingkungan yang
baik. Rumah tidak layak huni (RTLH) dalam suatu kawasan jika tidak ditata dan ditangani dengan
baik dapat berpotensi menjadi permukiman kumuh. Kecenderungan perkembangan permukiman
yang terjadi di Indonesia secara umum dan di Kota Yogyakarta saat ini adalah mengelompok dan
banyak terdapat di wilayah perkotaan atau pusat kegiatan tertentu. Menurut Yunus (2002)
daerah pusat kegiatan merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik dalam
suatu kota sehingga pada kawasan ini terdapat bangunan utama untuk kegiatan sosial ekonomi.
Hal inilah yang dapat memicu tingginya laju urbanisasi dan kebutuhan terhadap lahan
permukiman yang sangat terbatas pada lingkungan perkotaan. Pada akhirnya, lingkungan
permukiman yang layak, nyaman, dan sehat mulai tidak diperhatikan karena desakan kebutuhan
terhadap tempat tinggal di perkotaan.
Berdasarkan Keputusan Walikota Nomor 393 Tahun 2014 tentang penetapan lokasi
kawasan tidak layak huni di Kota Yogyakarta, terdapat 3.304 rumah tidak layak huni yang
tersebar di seluruh kecamatan dan kelurahan. Pada tahun 2015 Pemerintah Kota Yogyakarta
kembali melakukan pendataan kawasan permukiman kumuh dan RTLH. Berdasarkan hasil
pendataan tersebut, di Kota Yogyakarta terdapat kawasan permukiman kumuh seluas 264,90
Hektar dan jumlah RTLH sebesar 3.194 unit. Upaya pencegahan dan peningkatan kualitas
permukiman kumuh merupakan salah satu ruang lingkup dalam penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman (UU Nomor 1 Tahun 2011). Permukiman kumuh dan RTLH di Kota
Yogyakarta merupakan bagian dari lingkungan yang kritis dan memerlukan penanganan serius
agar tercipta lingkungan permukiman yang sehat, nyaman dan harmonis.
Keberadaan RTLH yang berkorelasi dengan kawasan permukiman kumuh dapat menjadi
salah satu pertimbangan dalam penentuan prioritas penanganan permukiman kumuh. Selain
peningkatan prasarana dan sarana lingkungan permukiman, pengentasan RTLH juga dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas kawasan permukiman kumuh. Penelitian ini dilakukan
dengan mengkaji secara spasial distribusi RTLH terhadap kawasan permukiman kumuh, sehingga
dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan prioritas penanganan permukiman kumuh di
Kota Yogyakarta.

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 153
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, dengan data
sekunder sebagai data utama. Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta, yang terdiri dari 14
kecamatan dan tiga sungai utama, yaitu Sungai Winongo di bagian barat, Sungai Code di bagian
tengah, dan Sungai Gajah Wong di bagian timur; di mana di bantaran ketiga sungai tersebut
terdapat kantong-kantong permukiman kumuh maupun rumah tidak layak huni.
Data-data sekunder utama yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu: data dasar
spasial Kota Yogyakarta, data spasial kawasan permukiman kumuh Kota Yogyakarta, data spasial
titik rumah tidak layak huni (RTLH) Kota Yogyakarta, dan dokumen profil permukiman kumuh
Kota Yogyakarta. Analisis dan tahapan penelitian ini dilakukan dengan:
1. Inventarisasi data kawasan permukiman kumuh dan RTLH Kota Yogyakarta, baik data spasial
maupun data aspasial.
2. Penyiapan peta dasar.
3. Pengolahan data spasial: overlay (tumpang susun) data spasial kawasan permukiman kumuh
dan sebaran lokasi RTLH Kota Yogyakarta.
4. Analisis crosstab terhadap luas kawasan permukiman kumuh dan jumlah RTLH menurut
lokasinya.
5. Pemberian skor (scoring) dan pembobotan untuk menentukan prioritas penanganan
berdasarkan jumlah RTLH di kawasan permukiman kumuh. Asumsi:
6. semakin luas permukiman kumuh maka semakin besar pula skor nilai dan bobot.
7. semakin banyak unit RTLH pada luas permukiman kumuh, maka semakin besar pula skor nilai
dan bobot.
8. Merumuskan rekomendasi prioritas penanganan kawasan permukiman kumuh Kota
Yogyakarta.

Gambar 1. Tahapan Penelitian

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 154
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Kota Yogyakarta sebagai kota yang dinamis dan berkembang, memiliki kompleksitas
kegiatan, seperti sosial ekonomi, pendidikan, perkantoran, dan lain-lain. Dalam
perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta mengalami berbagai permasalahan,
diantaranya yaitu kepadatan permukiman, minimnya lahan untuk permukiman, dan keberadaan
permukiman kumuh. Keberadaan permukiman kumuh atau juga disebut dengan kawasan tidak
layak huni merupakan isu penting terkait dengan kebijakan penataan permukiman, serta
kebutuhan untuk peningkatan kualitas permukiman di Kota Yogyakarta.
Kawasan tidak layak huni di Kota Yogyakarta seluas 278,70 Ha pada tahun 2014, dan
berdasarkan pendataan pada tahun 2015 menurun menjadi 264,90 Ha (Bappeda Kota
Yogyakarta, 2015). Kawasan tidak layak huni di Kota Yogyakarta tersebar di 13 kecamatan dan 36
kelurahan. Luasan kawasan tidak layak huni paling besar berada di Kecamatan Umbulharjo, yaitu
sebesar 75,20 Ha (28,39 persen), sedangkan paling luasan paling kecil di Kecamatan Danurejan,
yaitu sebesar 7,12 Ha (2,69 persen). Jumlah RTLH di Kota Yogyakarta sebanyak 3.304 unit,
dengan RTLH paling banyak berada di Kecamatan Mergangsan sebanyak 710 unit (21,49 persen),
sedangkan RTLH paling sedikit berada di Kecamatan Gondomanan, sebanyak 21 unit (0,64
persen).
Kawasan tidak layak huni dan RTLH di Kota Yogyakarta memiliki asosiasi distribusi
dengan bantaran sungai, yaitu Sungai Winongo di bagian barat, Sungai Code di bagian tengah,
dan Sungai Gajah Wong di bagian timur. Permasalahan kerentanan akan bahaya banjir, baik
banjir genangan, banjir luapan sungai, maupun banjir lahar (lahar sebagai dampak erupsi
Gunungapi Merapi) juga sering dialami penghuni RTLH yang dekat dengan bantaran sungai. RTLH
yang merupakan salah satu permasalahan utama dalam kawasan permukiman kumuh dapat
menjadi salah satu pertimbangan dalam prioritas penanganan untuk meningkatkan kualitas
hunian.
Penentuan prioritas penanganan permukiman kumuh dan RTLH di Kota Yogyakarta
dalam penelitian ini mendasarkan pada jumlah, luas dan sebaran permukiman kumuh+RTLH,
dengan unit analisis kelurahan. Semakin besar luasan kawasan permukiman kumuh dan semakin
banyak jumlah RTLH dalam suatu kelurahan, maka kelurahan tersebut semakin menjadi prioritas
untuk dilakukan penanganan. Pertimbangan yang lain adalah jumlah RTLH yang berada di
kawasan permukiman kumuh (bertampalan). Jumlah RTLH yang berada di kawasan permukiman
kumuh yaitu sebanyak 956 unit atau 28,93 persen dari total jumlah RTLH.

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 155
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

Menurut kecamatan, RTLH di kawasan permukiman kumuh paling banyak berada di


Kecamatan Tegalrejo (205 unit), kemudian di Kecamatan Mergangsan (201 unit). Di Kecamatan
Mergangsan, Kelurahan Wirogunan (97 unit) dan Kelurahan Brontokusuman (85 unit) merupakan
dua kelurahan dengan jumlah RTLH di kawasan permukiman kumuh paling banyak. Sementara
itu, RTLH di kawasan permukiman kumuh paling sedikit berada di Kecamatan Gondomanan (11
unit), kemudian di Kecamatan Kotagede (12 unit). Selain itu, terdapat kawasan permukiman
kumuh di beberapa kelurahan yang tidak memiliki RTLH, yaitu di Kelurahan Pringgokusuman
(Kecamatan Gedongtengen) dan Kelurahan Semaki (Kecamatan Umbulharjo).
Prioritas penanganan permukiman kumuh dan RTLH diklasifikasikan kedalam lima (5)
klas, yaitu prioritas I, II, III, IV, dan V. Prioritas I merupakan kelurahan yang memiliki prioritas
awal dalam penanganan permukiman kumuh dan RTLH, berangsur-angsur bertingkat menurun
hingga prioritas V yang merupakan prioritas akhir. Prioritas penanganan permukiman kumuh dan
RTLH secara spasial ditunjukkan pada gambar di bawah (lampitran).
Prioritas penanganan I terdiri dari Kelurahan Wirogunan dan Kelurahan Sorosutan, yang
berada di bantaran Sungai Code bagian tengah – selatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
alasan Kelurahan Wirogunan menjadi prioritas penanganan karena memiliki RTLH (97 unit) yang
berada di kawasan permukiman kumuh paling banyak. Sementara itu, Kelurahan Sorosutan
terutama disebabkan luasnya kawasan permukiman kumuh (31,17 Ha) yang merupakan
kelurahan dengan kawasan permukiman kumuh paling luas. Prioritas penanganan II juga
memiliki asosiasi dengan bantaran sungai, yaitu di bantaran Sungai Winongo (6 kelurahan),
bantaran Sungai Code (3 kelurahan), dan bantaran Sungai Gajah Wong (2 kelurahan).
Prioritas penanganan II di bantaran Sungai Winongo yaitu Kelurahan Kricak, Karangwaru,
Bener, Tegalrejo, dan Cokrodiningratan (bagian utara), serta Kelurahan Gedong Kiwo (bagian
selatan). Sebagian kelurahan-kelurahan tersebut (empat kelurahan) termasuk dalam Kecamatan
Tegalrejo, yang merupakan kecamatan dengan jumlah RTLH di kawasan permukiman kumuh
paling banyak. Sementara itu, Kelurahan Gedong Kiwo yang berada di Kecamatan Mantrijeron
memiliki kawasan permukiman kumuh yang luas (20,65 Ha). Kelurahan di bantaran Sungai Code
yang termasuk prioritas penanganan II yaitu Kelurahan Tegalpanggung dan Purwokinanti (bagian
tengah), serta Kelurahan Brontokusuman (bagian selatan). Ketiga kelurahan tersebut memiliki
banyak jumlah RTLH di permukiman kumuh. Di bantaran Sungai Gajah Wong yaitu Kelurahan
Pandeyan dan Giwangan, yang keduanya termasuk Kecamatan Umbulharjo, memiliki faktor
luasan kawasan permukiman kumuh yang besar.

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 156
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

Prioritas III memiliki tingkat kepentingan yang lebih rendah dalam prioritas penanganan
permukiman kumuh dan RTLH, demikian seterusnya hingga prioritas V yang memiliki tingkat
kepentingan paling rendah. Pada prioritas V sebagian besar berupa kelurahan yang tidak
memiliki kawasan permukiman kumuh maupun kelurahan dengan kawasan permukiman kumuh
yang tidak memiliki RTLH (atau RTLH berada di luar kawasan permukiman kumuh). Contoh
kelurahan yang tidak memiliki kawawasan permukiman kumuh yaitu Kelurahan Kadipaten,
Panembahan, dan Patehan (Kecamatan Kraton). Sementara itu, contoh kelurahan dengan
kawasan permukiman kumuh yang tidak memiliki RTLH (atau RTLH berada di luar kawasan
permukiman kumuh) yaitu Kelurahan Pringgokusuman dan Kelurahan Semaki. Sebagian besar
kelurahan di Kota Yogyakarta berada pada prioritas V dalam penanganan permukiman kumuh
dan RTLH. Secara lebih detail dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Prioritas Penanganan Permukiman Kumuh dan RTLH di Kota Yogyakarta


Prioritas Penanganan Kelurahan Kecamatan
Wirogunan Mergangsan
Prioritas I
Sorosutan Umbulharjo
Kricak
Karangwaru
Tegalrejo
Bener
Tegalrejo
Cokrodiningratan Jetis
Prioritas II Gedongkiwo Mantrijeron
Tegalpanggung Danurejan
Purwokinanti Pakualaman
Brontokusuman Mergangsan
Pandeyan
Umbulharjo
Giwangan
Bumijo Jetis
Suryatmajan Danurejan
Ngampilan
Ngampilan
Notoprajan
Prioritas III Patangpuluhan Wirobrajan
Prawirodirjan Gondomanan
Keparakan Mergangsan
Klitren Gondokusuman
Prenggan Kotagede
Terban
Gondokusuman
Baciro
Prioritas IV Gowongan Jetis
Sosromenduran
Gedong Tengen
Pringgokusuman
Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 157
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

Prioritas Penanganan Kelurahan Kecamatan


Ngupasan Gondomanan
Wirobrajan Wirobrajan
Gunungketur Pakualaman
Muja-Muju Umbulharjo
Rejowinangun
Kotagede
Purbayan
Kotabaru Gondokusuman
Demangan
Bausasran Danurejan
Pakuncen Wirobrajan
Kadipaten
Panembahan Kraton
Prioritas V
Patehan
Suryodiningratan
Mantrijeron
Mantrijeron
Semaki
Tahunan Umbulharjo
Warungboto
Sumber: Hasil pengolahan, 2016

KESIMPULAN DAN SARAN


Keputusan Walikota Nomor 393 tahun 2014 menetapkan bahwa di Kota Yogyakarta
terdapat 3.304 rumah tidak layak huni yang tersebar di seluruh kecamatan dan kelurahan.
Berdasarkan pendataan pada tahun 2015, kawasan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta
seluas 264,90 Ha dan RTLH Kota Yogyakarta sebanyak 3194 unit. Jumlah RTLH di Kota Yogyakarta
adalah sebesar 3,55% dari jumlah bangunan yang tersebar di 14 kecamatan dan 45 kelurahan.
Berdasarkan wilayah administrasi, jumlah RTLH paling banyak berada di Kecamatan Mergangsan
(691 unit atau 21,63%), dengan jumlah paling banyak di Kelurahan Brontokusuman sebesar 361
unit. Tentunya wilayah sebaran RTLH di wilayah ini dapat dijadikan perhatian, mengingat
banyaknya RTLH yang berpotensi menjadi permukiman kumuh.
Lokasi RTLH di Kota Yogyakarta selalu berasosiasi dengan kawasan permukiman kumuh
dan identik dengan bantaran sungai. Berdasarkan sebaran lokasinya, Kelurahan Brontokusuman,
Wirogunan, dan Tegalpanggung merupakan beberapa daerah yang berada di bantaran Sungai
Code. Beberapa kelurahan yang memiliki jumlah RTLH cukup tinggi lainnya (>100 unit) berada di
bantaran Sungai Winongo (Kelurahan Bener, Tegalrejo, Patangpuluhan) dan bantaran Sungai
Gadjah Wong (Kelurahan Rejowinangun).

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 158
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

Berdasarkan hasil analisis geospasial terdapat 5 prioritas penanganan permukiman


kumuh dan RTLH di Kota Yogyakarta: Prioritas I terdapat di Kelurahan Wirogunan dan Kelurahan
Sorosutan (berada di bantaran Sungai Code bagian tengah-selatan); Prioritas II di Kelurahan
Kricak, Karangwaru, Bener, Tegalrejo, dan Cokrodiningratan, serta Kelurahan Gedongkiwo
(berada di bantaran Sungai Winongo); sedangkan Prioritas III-V merupakan prioritas penanganan
yang lebih rendah.
Mengakomodasi dari alternatif penanganan perumahan dan permukiman kumuh dalam
UU No. 1 Tahun 2011, jenis penanganan dapat berupa peremajaan, pemugaran (rehabilitasi),
dan pemukiman kembali (relokasi). Secara umum penanganan permukiman kumuh dan RTLH
dapat dilakukan upaya pemugaran (rehabilitasi) yang dilakukan dengan adanya perbaikan
dan/atau pembangunan kembali menjadi rumah layak huni (memadai). Tahapan rekonstruksi
dan peremajaan dapat pula dilakukan pada kelompok RTLH yang barada pada kawasan
permukiman kumuh. Tahap rekonstruksi bertujuan menumbuhkembangkan kegiatan
perekonomian, sosial, dan budaya lingkungan permukiman, sedangkan peremajaan merupakan
penataan secara menyeluruh, baik rumah, prasarana, sarana, dan utilitas permukiman dan
perumahan.
Alternatif pemukiman kembali (relokasi) dapat dilakukan pada RTLH yang berada pada
zona yang tidak sesuai, terutama RTLH yang berada pada kawasan lindung (zona RTH, suaka alam
dan cagar budaya). Hal tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perkembangan perumahan
dan/atau permukiman pada kawasan yang seharusnya telah direncanakan, sehingga lebih
teratur dan meningkatkan kualitas fungsi hunian. Selain itu, hal tersebut juga dapat dilakukan
untuk mengembalikan fungsi lindung, seperti fungsi RTH sempadan sungai sebagai fungsi lindung
untuk perlindungan setempat (barrier terhadap banjir, longsor, dan ekosistem sungai).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2014). Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh Daerah Penyangga Kota
Metropolitan. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum.
Anonim. (2014). Panduan Kegiatan Quick Count Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh.
Jakarta: Direktorat Pengembangan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum.
Bintarto, R. 1987. Pengantar Geografi Kota. Yogyakarta: Spring.

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 159
Pemanfaatan Informasi Geospasial Untuk Peningkatan Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Surakarta, 3 September 2016

Chair, Miftahul. 2002. Karakteristik dan Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Permukiman di
Kawasan Sekitar Aliran Sungai Martapura Banjarmasin. Tesis. Semarang: Program
Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro.
Getis, A. And Fisher, M. 2010. Handbook of Applied Spatial Analysis. Berlin: Springer.
Efendi, Tjiptadinata. (2015). 150 Juta Rakyat Indonesia Tinggal di Rumah Tidak Layak Huni,
Kompasiana,http://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/150-juta-rakyat-
indonesia-tinggal-di-rumah-tak-layak-huni_553cfe706ea8348906f39b0c. Issued: 17 Juni
2015.
Hariyono, P. (2007). Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta: Bumi Aksara.
Kuswartojo dkk. (2005). Perumahan dan Permukiman di Indonesia: Upaya Membuat
Perkembangan Kehidupan yang berkelanjutan. Bandung: ITB Press.
Laiko, Firman. (2010). Pengembangan Permukiman Berdasarkan Aspek Kemempuan Lahan pada
Satuan Wilayah Pengembangan I Kabupaten Gorontalo. Tesis. Semarang: Program
Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro.
Mantra, Ida Bagoes. (2007). Demografi Umum. Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurasrizal. 2010. 2010. Pertumbuhan Rumah Inti Pada Perumahan Layak Huni Bagi Keluarga
Miskin di Dusun Kayu Gadang Kota Sawahlunto. Semarang: Universitas Diponegoro.
Ormeling, F., dan Kraak, M. (2007). Kartografi: Visualisasi Data Geospasial. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Satyohutomo, M. (2009). Manajemen Kota dan Wilayah, Realita dan Tantangan. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Soemarwoto, Otto. (1998). Analisis Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Tarigan, Robinson. (2005). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. (2003). Teori dan Konsep Kebijakan Publik. Yogyakarta. Lukman
Offset & YPAPI.
Tim Penyusun. (2015). Pendataan Perumahan dan Permukiman Kumuh Kota Yogyakarta.
Yogyakarta: Bappeda Kota Yogyakarta.
Yunus, Hadi Sabari. (2002). Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari. (2007). Subject Matter dan Metode Penelitian Geografi Permukiman Kota
2007. Yogyakarta: Fakultas Geografi.

Kerjasama antara : S2 PKLH Universitas Sebelas Maret – BIG – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 160

Anda mungkin juga menyukai