Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membangun karakter bangsa (nation-character building) merupakan hal

yang sangat penting dalam menjaga dan memelihara eksistensi suatu bangsa dan

negara, maka tidak mengherankan jika di awal kemerdekaan, Presiden Republik

Indonesia pertama Soekarno, telah menekankan prinsip berdaulat dalam politik,

berdiri di kaki sendiri (Berdikari) dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam

kebudayaan (Fathah, 2008:3). Namun hingga kini karakter warga negara belum

menunjukkan karakter yang baik, seperti terlihat dari banyaknya perilaku warga

negara yang menyimpang dari nilai-nilai, moral, dan norma yang berlaku.

Budimansyah (2009), dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar

FPIPS menyatakan bahwa: Secara historis dan sosio-kultural pembangunan

bangsa dan pembangunan karakter (nation and character building) merupakan

komitmen nasional yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan

masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Seperti yang tercermin dalam berbagai

dokumen sejarah politik dan ketatanegaraan, sehingga pada mulanya bangsa

Indonesia dikenal sebagi bangsa penyabar, ramah, penuh sopan santun, tetapi

sekarang berubah menjadi bangsa pemarah, suka mencaci, pendendam, kejam,

dan sebagainya. Bila kondisi ini tidak segara diantisipasi, tentunya akan dapat

mengancam stabilitas dan disintegritasi bangsa dan negara.

1
2

Lickona dalam Megawangi (2004: 7-8), mengemukakan 10 (sepuluh)

tanda-tanda jaman yang perlu diwaspadai yaitu; (1) meningkatnya kekerasan di

kalangan remaja, (2) pengunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3)

pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan, (4) meningkatnya

perilaku merusak diri, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6)

menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat pada orang tua dan

guru, (8) rendahnya rasa hormat terhadap individu dan warga negara, (9)

membudayanya ketidakjujuran, (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di

antara sesama. Dari hasil penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Mengawangi,

ternyata kesepuluh tanda-tanda tersebut sudah nampak jelas di tanah air ini

(Megawangi, 2004:8-11). Selain itu hasil survei nasional yang dilakukan oleh The

Ethics of American Youth, dari Josephson Institute of Ethics (2006), seperti yang

ditulis oleh Dimyati (2010:86-88) diketahui bahwa perilaku siswa dalam jangka

waktu 12 bulan, yaitu (a) 82% mengakui bahwa mereka berbohong kepada

orangtua; (b) 62% mengakui bahwa mereka berbohong kepada seorang guru

tentang sesuatu yang signifikan; (c) 33% menjiplak tugas dari internet; (d) 60%

menipu selama pelaksanaan ujian di sekolah; (e) 23% mencuri sesuatu dari orang

tua atau kerabat lainnya; (e) 19% mencuri sesuatu dari seorang teman, dan (f)

28% mencuri sesuatu dari toko. Meskipun penelitian tersebut dilakukan di

Amerika Serikat namun perilaku tidak terpuji yang menerpa siswa sebagaimana

tersebut di atas merupakan gejala umum yang berlaku di mana-mana, termasuk di

Indonesia. Sudah cukup banyak contoh dan perilaku tidak jujur yang dilakukan
3

individu dalam dunia pendidikan, mulai dari siswa yang mencontek, menjiplak

hasil karya orang lain tanpa menyertakan sumber, mencari- cari alasan untuk lari

dari tanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru

(Koesoema, 2009:183).

Disisi lain perilaku tidak etis yang ditunjukkan oleh siswa tersebut

bertolak belakang dengan tanggapannya yang mengakui dan percaya bahwa

karakter itu penting. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (a) 98%

berkata, "Sangat penting bagi saya untuk menjadi orang dengan karakter yang

baik"; (b) 98% berkata, "Kejujuran dan kepercayaan sangat penting dalam

hubungan pribadi"; (c) 97% berkata, "Ini penting bagi saya bahwa orang percaya

padaku"; (d) 83% berkata, "Ini tidak layak untuk berbohong atau menipu karena

bertentangan dengan karakter". Dalam laporan hasil survei The Ethics of

American Youth dari Josephson Institute of Ethics, 2006 tersebut juga

disimpulkan bahwa semakin meluas dan mendalam perilaku kontradiktif yang

terjadi mencerminkan sikap sinis siswa itu sendiri dalam proses rasionalisasi

dengan cara mengabaikan kebenaran penilaian etika dan perilaku yang dinyatakan

bertentangan dengan keyakinan moral (Dimyati, 2010:88). Timbulnya

pertentangan antara perilaku dan keinginan siswa, dimana siswa menyatakan

bahwa karakter itu penting, tetapi di sisi lain berbohong, menipu, dan mencuri,

maka disinilah pentingnya peran dan fungsi lembaga pendidikan untuk mengatasi

hal tersebut.
4

Lembaga pendidikan formal merupakan wadah yang paling berperan

dalam membangun karakter siswa, untuk itu dalam lembaga pendidikan formal

perlu menekankan pentingnya pendidikan nilai dan moral, yang berlandaskan

pada teori perkembangan nilai dan moral. Piaget dan Kohlberg adalah dua tokoh

yang berpengaruh dalam teori perkembangan moral. Dalam Winataputra dan

Budimansyah (2007: 172-173) dijelaskan bahwa Piaget telah melakukan

penelitian selama 40 tahun untuk meneliti perkembangan struktur kognitif

(cognotive structure) anak dan kajian moral (moral judgment) anak yang hasil

studinya menyimpulkan ada dua tingkat perkembangan moral pada anak usia 6 –

12 tahun, yakni heteronomi dan autonomi. Pada tingkat heteronomi, segala aturan

dipandang oleh anak sebagai hal yang datang dari luar (bersifat eksternal) dan

dianggap sakral karena merupakan hasil pemikiran orang dewasa. Sedangkan

pada tingkatan autonomi anak mulai menyadari adanya kebebasan untuk tidak

sepenuhnya menerima aturan itu sebagai hal yang datang dari luar dirinya,

sehingga pada tahap ini anak memiliki kemampuan untuk mengkritisi aturan dan

memilih aturan yang tepat atas dasar kesepakatan dan kerjasama dengan

lingkungannya. Berdasarkan teori Piaget ini maka pendidikan nilai dititikberatkan

pada pengembangan perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran moral yang

dicapai dalam konteks kehidupan masyarakat.

Di lain pihak Lawrence Kohlberg, selama 18 tahun juga mengadakan

penelitian perkembangan moral berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget.

Kohlberg mengajukan anggapan dasar bahwa anak membangun cara berpikir


5

melalui pengalaman termasuk pengertian konsep moral seperti keadilan, hak,

persamaan, dan kesejahteraan manusia. Dari penelitiannya, Kohlberg

merumuskan adanya tiga tingkat perkembangan moral, yaitu: (1)

praconvensional; (2) convensional; dan (3) postconvensional.

Pendidikan nasional secara substansial didalamnya melekat pendidikan

nilai, hal ini dapat dikaji dalam Undang-undang nomor 20 tahun tentang Sistem

pendidikan nasional. Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: ‘Pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterempilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara’. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu

bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas,

namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir

generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-

nilai luhur bangsa serta agama. Sejalan dengan itu, Visi Pendidikan Nasional 2025

berhasrat menghasilkan Insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan

kompetitif. Cerdas komperehensif dimaksudkan meliputi aspek (1) cerdas

spiritual; (2) cerdas emosional; (3) cerdas sosial; (4) cerdas intelektual dan (5)

cerdas kinestetik. Sedangkan insan Indonesia yang kompetetif memiliki

seperangkat kompetensi antara lain; (1) berkepribadian unggul dan gandrung akan

keunggulan; (2) bersemangat juang (3) Mandiri; (4) pantang menyerah; (5)
6

pembangun dan pembina jejaring; (6) berhasrat dengan perubahan; (8) produktif;

(9) sadar mutu; (10) berorientasi global; (11) pembelajaran sepanjang hayat

(Budimansya dan Suryadi, 2008: 21-22).

Dalam lembaga pendidikan formal, mata pelajara Pendidikan

Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memiliki peran penting dalam

membangun karakter siswa. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan pasal 37 ayat

(1) UU no 20 tahun 2003 menyatakan bahwa ‘Pendidikan kewarganegaraan

dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki

rasa kebangsaan dan cinta tanah air’. Demikian juga dengan pendapat Djahiri

(2006:9) yang mengemukakan bahwa “PKn merupakan program pendidikan/

pembelajaran yang secara programatik-prosedural berupaya memanusiakan

(humanizing) dan membudayakan (civilizing) serta memberdayakan peserta didik/

siswa (diri dan kehidupannya) supaya menjadi warga negara yang baik

sebagaimana tuntutan keharusan/yuridis konstitusional bangsa/ negara yang

bersangkutan”. Sejalan dengan itu, Koesoema (2010:204) menyatakan bahwa:

Pendidikan karakter lebih dekat maknanya dengan pendidikan


kewarganegaraan, sebab pendidikan karakter berurusan bukan hanya
dengan pembangunan nilai-nilai moral dalam diri individu, melainkan juga
memperhatikan corak rasional antraindividu dalam relasinya dengan
struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Untuk itu pendidikan
karakter tidak bisa lepas dari semangat untuk mendidik setiap warga
negara secara politis, sehingga pendidikan kewarganegaraan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dengan pendidikan karakter.

Demikian pula dengan pendapat yang dikemukakan oleh Malik Fajar dalam

Nadhiroh (2009) yang menyatakan bahwa Pendidikan kewarganegaraan


7

merupakan wahana pembangunan kemampuan, watak dan karakter warga negara

yang demokratis dan bertanggung jawab.

Saat ini Pendidikan Kewarganegaraan sudah menjadi bagian inheren dari

instrumentasi serta praksis pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”. Konfigurasi atau

kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut:

Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran


yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi
warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan
bertanggung jawab. Kedua, PKn secara teoretik dirancang sebagai subjek
pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan
terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral
Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga,
PKn secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang
menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content-embedding
values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk
berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan
merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut
dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang
demokratis, dan bela negara. (Budimansyah, 2008:180; Winataputra dan
Budimansyah,2007:86 ).

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran wajib pada semua

jenjang persekolahan, memiliki visi sebagai sarana pembentuk karakter bangsa

(national and character building) dan pemberdayaan warga negara yang

mengemban misi membentuk warga negara yang baik, yakni warga negara yang

sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Tetapi menurut

Budimansyah (2009) bahwa pelaksanaan PKn tidak mengarah pada misi


8

sebagaimana seharusnya. Beberapa indikasi empirik yang menunjukkan salah arah

tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan


pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada
penguasaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya
menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Sedangkan pembangunan
dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan
dampak pengiring (nurturant effects) sebagai “hidden curriculum” belum
mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Kedua, pengelolaan kelas
belum mampu menyiptakan suasana kondusif dan produktif untuk
memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui
perlibatannya secara proaktif dan interaktif baik dalam proses
pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler)
sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna
(meaningful learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku
siswa/mahasiswa. Ketiga, pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai
wahana sisio-pedagogis untuk mendapatkan “hands-on experience” juga
belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan
antara penguasaan teori dan praktek pembiasaan perilaku dan keterampilan
dalam berkehidupan yang demokratis dan sadar hukum. (Winaputra dan
Budimansyah, 2007:118-120).

Lebih lanjut Komalasari ( 2008:8) melihat bahwa kondisi pembelajaran

PKn selama ini ternyata masih didominasi oleh sistem konvensional, sehingga

pembelajaran yang berorintasi pada konsep “contextualized multiple intelegence”

masih jauh dari harapan. Adapun belajar konvensional yang dimaksud Suryadi

(2006: 27) ditandai dengan ruang kelas yang tertutup dalam sekolah juga tertutup

dari lingkungannya, seting ruangan yang statis dan penuh formalitas, guru

menjadi satu-satunya sumber ilmu, dan papan tulis sebagai sarana utama dalam

proses transfer of knowldge, situasi dan suasana belajar dipayakan hening untuk

mendapatkan konsentrasi belajar maksimal, menggunakan buku wajib yang

cendrung satu-satunya yang sah sebagai referensi di kelas, dan adanya model
9

ujian dengan soal-soal pilihan ganda (multiple choise) yang hasilnya menjadi

kemampuan ukuran siswa. Senada dengan itu, Al Muchtar (2009) juga

menyatakan bahwa kelemahan pembelajaran PKn selama ini yaitu: kegiatan

berpusat pada guru (teacher center), orientasi pada hasil lebih kuat, kurang

menekankan pada proses, posisi siswa dalam kondisi pasif siap menerima

pelajaran, pengetahuan lebih kuat daripada sikap dan keterampilan, berpikir

kognitif rendah, Penggunaan metode terbatas, situasi pembelajaran tidak

menyenangkan, satu arah- indoktrinasi. Dengan kondisi seperti ini, maka harapan

untuk membetuk warga negara yang berkarakter baik masih akan sulit terwujud.

Untuk itu, Suryadi (2009:12-13), menyarankan bahwa dalam menyusun

kurikulum dan pembelajaran PKn di sekolah harus menekankan pada empat

prinsip utama, yaitu; (1) bukan indokrinasi politik, sebaiknya tidak menjadi alat

indoktrinasi politik dari pemerintahan yang berkuasa; (2) PKn mengembangkan

state of mind, pembangunan karakter bangsa merupakan proses pembentukan

warga negara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi; (3) Pkn adalah proses

pencerdasan; (4) PKn sebagai laboratorium demokrasi. Demikian pula dengan

Budimansyah (2009) yang mengajukan gagasan untuk mereposisi PKn dengan

tiga peran, salah satu diantaranya adalah melalui pendekatan psycho-paedagogical

development. Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa untuk mendidik anak

menjadi warganegara yang cerdas dan baik harus dilakukan secara sadar dan

terencana dalam suatu proses pembelajaran agar mereka secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,


10

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Atas dasar pemikiran ini, bahwa untuk membentuk karakter yang baik

tidak cukup hanya melalui proses pembelajaran PKn di dalam kelas, tetapi perlu

pula diiringi dengan proses habituasi yaitu pembiasaan-pembiasaan yang baik

yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kilpatrick dalam Megawangi

(2004:113) menyatakan bahwa; ‘salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang

untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif mengetahuinya, adalah tidak

terlatih untuk melakukan kebajikan atau perbuatan yang bermoral (moral action)’

Lickona (1992) dalam Megawangi (2004:113) berpendapat bahwa orang yang

berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral

yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,

bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pendapat

ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles dalam Megawangi

(2004:113), bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang

terus menerus dilakukan. Diilustrasikan bahwa karakter itu ibara “otot”, dimana

“otot-otot” karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan

menjadi kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan (body

builder) yang terus menerus berlatih membentuk ototnya, “otot-otot” karakter

juga akan terbentuk dengan praktik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi

kebiasaan (habit).
11

Senada dengan itu, Kardiman (2009: 158-159) menyatakan bahwa

Pendidikan Karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral,

karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih

dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal

yang baik sehingga siswa menjadi paham (domain kognitif), tentang mana yang

baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau

melakukannya (domain psikomotor).

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka perlunya sinergi yang

saling mendukung antara pembelajaran PKn yang mengajarkan nilai, norma dan

moral di ruang kelas dan proses habituasi atau kebiasaan-kebiasaan yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari sebagai faktor yang menentukan pembangunan

karater bagi siswa. Untuk itu penulis memandang perlunya meneliti pengaruh

pembelajaran PKn dan proses habituasi sebagai faktor determinan pembangunan

karakter siswa. Dengan demikian penulis menyusun tesis ini dengan judul “

Pengaruh Pembelajaran PKn dan Proses Habituasi terhadap Pembangunan

Karakter Siswa (Studi Deskriptif Analitis Pada SMP Negeri di Kabupaten

Bangka).

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, penulis

merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah pembelajaran PKn

dan proses habituasi berpengaruh terhadap pembangunan karakter siswa?”


12

Untuk lebih memfokuskan penelitian yang dilakukan ini, penulis merumuskan

beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap

pembangunan karakter siswa?

2. Apakah ada pengaruh proses habituasi terhadap pembangunan karakter

siswa?

3. Apakah ada pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan proses

habituasi terhadap pembangunan karakter siswa?

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel bebas (variabel

independen) dan variabel terikat (variabel dependen). Variabel independen adalah

pembelajaran PKn dan proses habituasi di lingkungan sekolah, sedangkan variabel

dependen adalah pembangunan karakter pada siswa. Selanjutnya paradigma

penelitian digambarkan sebagai berikut:

X1

X2

Keterangan: X1 = Pembelajaran PKn


X2 = Proses habituasi
Y = Karakter siswa
Bagan 1.1. Hubungan Antarvariabel
13

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran yang terdapat

dalam penelitian ini berikut ini disampaikan definisi operasional sebagai berikut:

1. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ( sebagai variabel X1)

Pembelajaran PKn dimaksudkan sebagai proses pembelajaran PKn yang

melibatkan guru sebagai pengajar dan siswa sebagai peserta didik yang

didalamnya dioperasionalisasikan berbagai komponen pembelajaran yang

meliputi; (1) materi; (2) metode; (3) media; (4) sumber belajar; dan (5) evaluasi

pembelajaran.

2. Proses habituasi (sebagai variabel X2)

Proses habituasi dimaksudkan sebagai bentuk pembiasaan yang dilakukan

di lingkungan sekolah dalam bentuk kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler

yang menanamkan nilai-nilai sebagai berikut: (a) nilai-nilai perilaku manusia

terhadap Tuhan; (b) nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri; (c) nilai-

nilai perilaku manusia terhadap sesama; (d) nilai-nilai perilaku manusia terhadap

lingkungan; dan (e) nilai-nilai kebangsaan.

3. Pembangunan Karakter Siswa ( sebagai variabel Y)

Pembangunan karakter siswa dimaksudkan sebagai upaya membangun

nilai kejujuran, kebersihan, kepedulian, dan kebangsaan dengan mengacu pada

karakter baik (good character) siswa. Menurut Lickona bahwa karakter baik

(good character) memiliki tiga unsur yakni; moral knowing (pengetahuan moral),

moral feeling (perasaan moral), dan moral action (perilaku moral).


14

Moral knowing meliputi: (a) Kesadaran moral (moral awareness); (b)

Wawasan nilai moral (knowing moral values); (c) Kemampuan mengambil

pandangan orang lain (perspective taking); (d) Penalaran Moral (moral

reasoning); (e) Mengambil keputusan (decision making); dan (f) Pemahaman diri

sendiri (self knowledge). Moral feeling meliputi: (a) Kata hati atau nurani

(conscience); (b) Harapan diri sendiri (self- esteem); (c) Merasakan diri orang lain

(emphaty); (d) Mencintai kebaikan (loving the good); (e) Kontrol diri (self-

control); dan (f) Merasakan diri sendiri (humility). Moral Action meliputi: (a)

kompetensi (competence); (b) keinginan (will), (c) kebiasaan (habit).

D. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis pengaruh pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan proses

habituasi terhadap pembangunan karater siswa. Secara khusus penelitian ini

bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan terhadap pembangunan karakter siswa.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh proses habituasi terhadap

pembangunan karakter siswa.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan dan proses habituasi terhadap pembangunan karakter siswa.


15

E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh data konseptual dan gambaran

mengenai pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dikembangkan oleh

guru mata pelajaran PKn dan proses habituasi yang berlangsung di sekolah yang

dapat membangun karakter siswa di SMP Negeri Kabupaten Bangka.

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoritik

(keilmuan) maupun secara praktis (empirik) di lapangan. Secara teoritik,

penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau bahan

kajian terhadap pengembangan Pendidikan kewarganegaraan, sehingga

memperkuat landasan keilmuan PKn terutama dalam upaya membangun karakter

siswa. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

pihak yang diuraikan berikut ini:

1. Bagi guru:

a. Terutama guru mata pelajaran PKn: Agar mampu menelaah secara

praktis perlunya implementasi pembelajaran PKn yang tepat dan

memberikan pemahaman tentang pentingnya proses habituasi di sekolah

dalam menunjang pembangunan karakter siswa.

b. Guru pada umumnya: Memberikan motivasi untuk selalu melaksanakan

pembelajaran dengan baik dan disertai dengan proses habituasi sehingga

pembangunan karakter siswa dapat terwujud.


16

2. Bagi pihak lain:

a. Warga masyarakat pada umumnya: Penelitian ini dapat bermanfaat

untuk memberikan kesadaran warga negara akan pentingnya pembiasaan

dalam melakukan perbuatan baik sehingga dapat membangun karakter

siswa.

b. Institusi Pemerintah: Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi

yang dapat mempertegas pentingnya habituasi dalam bentuk keteladanan

dari pejabat pemerintah yang dapat menjadi contoh pembangunan karakter

siswa.

c. Pemerhati Pendidikan: Penelitian ini dapat dijadikan bahan pengkajian

yang lebih komprehensif dalam mengembangkan pendidikan karakter

sehingga pembangunan karater baik pada siswa dapat segera terwujud.

E. Asumsi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan atas asumsi bahwa pembangunan karakter

siswa dapat dilaksanakan melalui Pembelajaran Pendidikan Kewargangaraan dan

proses habituasi, sehingga bila pembelajaran PKn dilaksanakan dengan baik,

dalam arti menggunakan materi, metode, media, sumber belajar, dan evaluasi

yang tepat yang disertai dengan proses habituasi, yaitu kebiasaan yang

menanamkan nilai-nilai yang berhubungan dengan: (1) nilai-nilai perilaku

manusia terhadap Tuhan; (2) nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri; (3)

nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama; (4) nilai-nilai perilaku manusia


17

terhadap lingkungan; dan (5) nilai-nilai kebangsaan, dapat menunjang

pembanguan karakter siswa.

G. Hipotesis Penelitian

Bertolak dari asumsi tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis mayor

penelitian sebagai berikut: “pembelajaran PKn dan proses habituasi

berpengaruh terhadap pembangunan karakter siswa”. Untuk lebih spesifik

selanjutnya dirumuskan hipotesis minor sebagai berikut:

1. Pembelajaran PKn berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembanguan

karakter siswa.

2. Proses Habituasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembanguan

karakter siswa.

3. Pembelajaran PKn dan proses habituasi secara bersama-sama berpengaruh

positif dan signifikan terhadap pembanguan karakter siswa.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu, kuantitatif dan kualitatif

dengan pola “the dominant-less dominant design” dari Creswell (1994:177).

Bagian dominan (the dominant) dalam penelitian ini menggunakan

pendekatakatan kuantitatif dengan tujuan untuk mengukur banyaknya variabel,

menguji hipotesis, dan membuat kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan

mengenai perilaku, pengalaman atau karakteristik dari suatu fenomena.

Sedangkan yang kurang dominan (less dominant) menggunakan paradigma

tambahan dengan pendekatan kualitatitf untuk pendalaman. Dalam pendekatan


18

kuantitatif menggunakan metode suvei, dengan teknik kuesioner untuk

mengumpulkan data. Sedangkan dalam pendekatan kualitatif, menggunakan

metode wawancara untuk mengetahui secara lebih mendalam pembelajaran PKn

dan proses habituasi di SMP Negeri Kabupaten Bangka.

Untuk mendapatkan data primer, berupa data tentang variabel

Pembelajaran PKn, proses habituasi, dan pembangunan karakter siswa, penulis

menggunakan teknik kuesioner dengan instrumen angket skala SSHA (Survey of

Study Habits and Attitudes) dari Brown dan Holtzman yang telah dimodifikasi

sesuai dengan kebutuhan, yaitu dengan (5) lima option yaitu; (1) selalu, (2) sering,

(3) kadang-kadang (4) jarang, (5) tidak pernah. Jawaban yang tepat memperoleh

bobot nilai lima (5), dan seterusnya memperoleh bobot nilai 4, 3,2, dan 1.

Hasil pengumpulan data akan dianalisis dengan metode deskriptif-analitis

dengan menggunkan statistik inferensial, yaitu menganalisis data sampel yang

hasilnya digeneralisasikan untuk populasi dimana sampel itu diambil, untuk

memberikan gambaran mengenai masing-masing variabel X1, X2, dan Y dengan

pengelompokan rendah, sedang dan tinggi. Selain itu juga dianalisis dengan

korelasi regresi ganda yang dilakukan untuk menguji hipotesis, yaitu pengaruh

variabel X1 terhadap Y, X2 terhadap Y, dan X1, X2 terhadap Y.

I. Lokasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bangka, Propinsi Kepulauan

Bangka Belitung. Dari data dokumentasi di dinas Pendidikan Kabupaten bangka,

terdapat 26 SMP Negeri yang tersebar di 8 Kecamatan, Kecamatan Sungailiat 5


19

SMPN, Kecamatan Pemali 3 SMPN, Kecamatan Merawang 2 SMPN, Kecamatan

Mendo barat 4 SMPN, Kecamatan Puding Besar 2 SMPN, Kecamatan Bakam 3

SMPN, Kecamatan Belinyu 4 SMPN, dan Kecamatan Riau Silip 3 SMPN.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri di

Kabupaten Bangka yang mata pelajaran PKn diajar oleh guru yang berlatar

belakang S1 PKn. Populasi tersebut dipilih dengan pertimbangan: (1) Siswa kelas

VIII SMPN berada pada tahun kedua di SMP sehingga mereka sudah banyak

menerima dan mengalami proses pembelajaran dan proses habituasi di sekolah.

(2) Guru PKn yang berlatar belakang S1 PKn memiliki pemahaman tentang visi,

misi, dan tujuan PKn serta strategi pembelajaran PKn. Dari data dokumentasi

pada dinas Pendidikan Kabupaten Bangka jumlah siswa kelas VIII sebanyak

2.471 orang.

Dari gambaran wilayah yang cukup luas dan jumlah populasi yang cukup

banyak, oleh karena itu perlu dilakukan pengambilan sampel. Adapun teknik

pengambilan sampel dilakukan dengan: Cluster sampling, dan proportional

random sampling. Dengan Cluster sampling wilayah populasi dibagi menjadi dua,

yaitu wilayah kecamatan induk dan wilayah kecamatan pemekaran. Wilayah

kecamatan induk ditetapkan 6 SMP Negeri, dan wilayah kecamatan pemekaran

ditetapkan sebanyak 3 SMP Negeri, sehingga berjumlah 9 SMP Negeri, dengan

jumlah siswa sebanyak 1.100 orang. Sampel dalam penelitian ini ditetapkan

sebanyak 265 orang, hal ini didasarkan atas tabel penentuan jumlah sampel yang

dikembangkan dari Isaac dan Michael dalam Sugiyono (2009:128). Bahwa jika
20

jumlah populasi sebanyak 1.100 dengan tingkat kesalahan 5% maka jumlah

sampel adalah 265. Penentuan sampel sebanyak itu dilakukan secara acak dan

proporsional (proportional random sampling).

PARADIGMA PEMIKIRAN PENELITIAN

KONDISI
KARAKTER
WARGANEGARA
DEWASA INI

PEMBANGUNAN
KARAKTER

PEMBELAJARA PROSES
BELAJAR MEMBIASAKAN
N PKn MENGAJAR DI
NILAI-NILAI
• Materi SEKOLAH
TERHADAP:
• Metode
• Media • Tuhan
• Sumber • Diri sendiri
• Evaluasi
Siswa sebagai • Sesama
Warga Negara • Lingkungan
Muda • Bangsa

GOOD
CHARACTER
• Moral knowing
• Moral feeling
• Moral action

Bagan 1.2. Paradigma Penelitian

Anda mungkin juga menyukai