A. Pengantar
Perguruan tinggi merupakan lembaga ilmiah sedangkan
kampus merupakan masyarakat ilmiah. Perguruan Tinggi
mempunyai tugas dan fungsi yang sangat strategis dalam
pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara. Kampus
sebagai masyarakat ilmiah juga mengemban misi mulia dalam
mengembangkan ekosistem ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni, agen perubahan konstruktif serta penuntun peradaban.
Perguruan Tinggi dan kampus juga diyakini sebagai benteng
terakhir dalam mengawal moral masyarakat, bangsa, dan
negara. Namun disisi lain Perguruan Tinggi dan kampus juga
tidak boleh menjadi menara gading atau mercusuar yang
terpisah dari persoalan-persoalan mendasar dan kontekstual
masyarakat. Perguruan Tinggi dan kampus memang pusatnya
ranah-ranah idealisme namun disisi lain juga harus mampu
berkontribusi secara konkrit dalam menjawab persoalan-
persoalan masyarakat. Terlebih dalam era disrupsi dan
revolusi industri 4.0 dengan segala kompleksitas masalahnya
peran perguruan tinggi dan kampus semakin menemukan
relevansinya.
Salah satu persoalan mendasar yang perlu mendapat
perhatian ialah menurunya integritas dan moral masyarakat
karena pengaruh kemajuan teknologi informasi dan
globalisasi. Banyak fenomena yang membuat kita miris
seperti tingginya angka kriminalitas, kasus narkoba, pelecehan
dan kekerasan seksual, kasus perundungan (bullying), kasus
intoleransi, maupun kasus korupsi. Fenomena tersebut
menunjukkan bahwa ada persoalan serius terkait karakter,
integritas, dan moralitas dari masyarakat kita termasuk di
kalangan generasi muda. Artinya nilai-nilai Pancasila yang
seharusnya dipahami, dihayati dan diamalkan dalam praktek
kehidupan sehari hari masih jauh dari harapan.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim (2021) menyebut
ada tiga dosa besar dalam pendidikan kita yakni perundungan
(bullying), kekerasan seksual, dan intoleransi.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan
tinggi pasal 4 dijelaskan bahwa pendidikan tinggi mempunyai
fungsi sebagai berikut: a) mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan bangsa, b) mengembangkan
sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil,
berdaya saing dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma
dan c) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.
Sedangkan dalam pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2012 tersebut
disebutkan pendidikan tinggi bertujuan: a) berkembangnya
potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten,
dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; b) dihasilkanya
lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau
teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan
peningkatan daya saing bangsa; c) dihasilkanya ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui penelitian yang
memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar
bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban
dan kesejahteraan umat manusia; dan d) terwujudnya
pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya
penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mencermati fungsi dan tujuan pendidikan tinggi tersebut
sangatlah jelas bahwa orientasi pendidikan tinggi disamping
mengembangkan, mentransformasikan dan menyebarluaskan
IPTEKS melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi juga
membangun peradaban dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan Tinggi diharapkan juga dapat mengembangkan
potensi mahasiswa menjadi manusia yang paripurna yakni
menguasai IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni)
dan kokoh dalam IMTAQ (Iman dan Taqwa) serta
menerapkan nilai-nilai humaniora (kemanusiaan). Oleh karena
itu sivitas akademika (dosen dan mahasiswa) menjadi pilar
utama untuk mewujudkan fungsi dan tujuan tersebut.
Sedangkan kampus sebagai ekosistem masyarakat ilmiah
harus mampu menjadi wadah, agent of change, motivator,
dinamisator, dan katalisator terwujudnya insan-insan kampus
yang hebat IPTEKS nya, kokoh IMTAQnya, dan luhur akhlak
budi pekertinya. Gambaran mahasiswa yang hebat penguasaan
IPTEKnya dan kokoh IMTAQnya itu linier dengan profil
mahasiswa ideal, yakni profil mahasiswa pancasila.
Namun demikian keinginan, cita-cita dan tujuan tersebut
belum sepenuhnya sesuai harapan. Banyak fenomena yang
menunjukkan dekadensi moral di kalangan pemuda, termasuk
mahasiswa. Data ICW juga menunjukkan bahwa korupsi
masih persoalan bangsa yang sangat serius. Demokrasi yang
diharapkan menghasilkan pemimpin yang tangguh ternyata
masih jauh dari harapan. Banyak pemimpin baik di eksekutif,
legislatif, yudikatif maupun pemimpin masyarakat lain seperti
ormas, parpol, pengusaha dll yang terjerat korupsi. Pelaku
korupsinya juga mencengangkan karena cukup banyak
dilakukan tokoh-tokoh yang relatif muda. Artinya anak-anak
muda yang seharusnya mempunyai idealisme yang tinggi
justru terjebak perilaku korup.
Laporan Rule of Law Index tahun 2020 yang dirilis
Indonesia Corruption Watch (ICW) 2020, menunjukkan data
bahwa Indonesia berada pada peringkat 59 dari 28 negara
dengan skor sebesar 0,53 poin dengan skala 0-1. Semakin
rendah nilainya maka indeks negara hukumnya makin buruk
ataupun sebaliknya. Tahun 2019, Indonesia berada peringkat
62 dari 126 negara dengan skor 0,52 poin. Secara peringkat
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Sedangkan
secara poin Indonesia hanya meningkat sebesar 0,01 poin.
Salah satu indikator di dalam ROLI yakni tidak adanya
korupsi. Dari indikator tersebut terdapat empat (4) variabel
yakni: 1) tidak adanya korupsi di cabang eksekutif; 2) tidak
adanya korupsi di yudisial; 3) tudak adanya korupsi di
polisi/militer; dan tidak adanya korupsi di legislatif.
Berdasarkan indikator ketiadaan korupsi dalam ROLI tahun
2020, Indonesia berada pada peringkat 92 dari 128 negara
dengan skor 0,39. Sedangkan pada tahun 2019 Indonesia
berada pada peringkat 97 dari 126 negara dengan skor 0,38.
Baik secara peringkat ataupun poin, Indonesia tidak
mengalami peningkatan yang signifikan (ICW, 2020).
Terkait kasus intoleransi di kalangan mahasiswa juga
menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Penelitian
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu
(LP3M) Universitas Jember pada tahun 2018 menunjukkan 22
persen mahasiswa di kampus tersebut terpapar radikalisme.
Data itu tak jauh beda dengan hasil riset Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Direktur PPIM, Ismatu Ropi
mengatakan dalam beberapa tahun ada kecenderungan sikap
intoleran di kalangan anak muda. Hal ini tentu sangat
mengkhawatirkan dilihat dari konteks kehidupan
keberagamaan di Indonesia.Survei PPIM UIN Jakarta
menunjukkan 69, 83 persen mahasiswa Indonesia memiliki
sikap toleransi beragama yang tinggi. Namun 30,16 persen
atau satu dari tiga mahasiswa memiliki sikap toleransi
beragama yang rendah (Tempo, 8 Agustus 2021).
Melihat data-data tersebut di atas menunjukkan
kecenderungan bahwa dekadensi moral dan integritas sedang
melanda masyarakat kita termasuk di kalangan generasi muda.
Fenomena-fenomena tersebut juga menguatkan pengtingnya
perwujudan profil mahasiswa Pancasila. Mahasiswa
Perguruan Tinggi PGRI dapat menjadi pelopor untuk
mewujudkan profil mahasiswa pancasila melalui aktivitas-
aktivitas yang produktif dan konstruktif baik di kampus
maupun di masyarakat.
B. Profil Mahasiswa Pancasila.
Mahasiswa sebagai unsur utama sivitas akademika
merupakan bagian penting dari generasi muda terpelajar,
terpilih, dan terpandang harus menjadi pelopor pengamal
nilai-nilai Pancasila. Mahasiswa sebagai generasi muda calon
pemimpin bangsa haruslah berprofil mahasiswa Pancasila.
Mahasiswa sebagai generasi muda yang multitalenta
merupakan aset bangsa yang sangat menentukan arah masa
depan bangsa. Seperti kata Soekarno “berikan aku seribu
orangtua makan akan kuguncang gunung semeru, namun
berikan aku satu pemuda niscaya akan kuguncang dunia”.
Para mahasiswa Indonesia telah mencatatkan tinta emas
dalam perjalanan sejarah babgsa Indonesia. Para mahasiswa
Indonesia adalah kaum terpelajar yang bersenyawa dengan
urat nadi perjalanan bangsa Indobesia mulai jaman pergerakan
dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pada jaman
mengisi kemerdekaan. Kepeloporan para pemuda Indonesia
tersebut sesungguhnya adalah profil pemuda Pancasila yang
sangat luar biasa. Kiprah para pelajar dan mahasiswa pada
jaman pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan
tersebut juga merupakan profil pelajar/mahasiswa Pancasila
pada konteks jamanya. Tonggak-tonggak penting peran
mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam sejarah perjuangan
bangsa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Budi Utomo 1908
Berdirinya Boedi utomo tahun 1908 merupakan
tonggak penting kesadaran kaum terpelajar tentang
pentingnya pendidikan. Boedi utomo juga memelopori
pentingnya berjuang melalui jalur organisasi modern dalam
mencerdaskan masyarakat. Boedi Utomo juga meletakkan
dasar-dasar membangun nasionalisme dari suatu
masyarakat yang bersuku-suku dengan berbagai adat
istiadat, Bahasa daerah, maupun agamanya.
2. Sumpah Pemuda 1928
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan prestasi
emas para pemuda Indonesia. Betapa tidak, berbagai
organisasi pemuda dari seluruh Nusantara seperti Jong
Java, Jong Sumatra, Jong Islamaten Bond, Pemuda
Maluku, Pemuda Papua Bersatu padu dan bersumpah:
Kami putra putri Indonesia bertumpah darah satu, tanah
Indonesia; Kami putra putri Indonesia berbangsa satu,
bangsa Indonesia; dan Kami putra putri Indonesia
menjunjung Bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Suatu
tekad dan sumpah yng memberikan motivasi dan modal
penting dalam membangun nasionalisme-patriotisme
Indonesia. Peran Sumpah Pemuda 1928 jelas sangat
penting bagi kelahiran dan kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945.
Sumpah Pemuda 1928 mengandung nilai-nilai
sebagai berikut: nilai cinta tanah air dan bangsa, nilai
persatuan dan kesatuan, nilai menerima dan menghargai
perbedaan, nilai mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara, nilai semangat persaudaraan, dan nilai
kegotongroyongan. Nilai-nilai tersebut patut diteladani oleh
pemuda-pemuda Indonesia masa sekarang dengan
tantangan jaman yang tentu berbeda. Tantangan para
pemuda Indonesia sekarang dapat diidentifikasi, sebagai
berikut: tantangan yang terkait dengan Revolusi Industri
4.0, tantangan yang terkait dengan tuntutan abad XXI,
tantangan yang terkait dengan pandemic Covid-19.
Disamping itu juga ada tantangan yang bersifat internal,
seperti memudarnya idealisme dan menguatnya pragmatism
dalam berbagai aspek kehidupan, pemahaman sejarah yang
rendah, dekadensi moral, merosotnya integritas Sebagian
penyelenggara dan warga negara, sikap hedonis dari
sebagaian masyarakat, sikap dan perilaku intoleran dll.
3. Kemerdekaan Republik Indonesia 1945
Peran pemuda dalam memproklamasikan Kemerdekaan
Republik Indonesia sungguh besar dan tidak diragukan lagi.
Dorongan pemuda untuk mengakselerasi proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia 1945 tercatat sebagai
peristiwa sejarah yang amat membanggakan. Peristiwa
Rengasdengklok yang dimotori pemuda Soekarni dkk.
Yang mendesak Soekarno-Hatta untuk segera
memanfaatkan momentum dan segera memproklamasikan
Kemerdekaan Indonesia adalah mencerminkan sikap
berani, kesatria, patriotik, sekaligus visioner. Apa yang
dilakukan para pemuda tersebut sesungguhnya adalah
pengamalan nilai-nilai kemanusiaan dan kejuangan yang
ingin lepas dari penjajahan, karena kemerdekaan adalah
hak dasar segala bangsa. Nilai-nilai kemanusiaan dan
kemerdekaan adalah nilai-nilai dasar Pancasila yang sangat
penting.