Anda di halaman 1dari 3

Beberapa Catatan dalam Aplikasi

SPRINGS CONSTANT dan COEFFICIENT OF SUBGRADE REACTION

oleh: GOUW Tjie Liong

1. PERMASALAHAN

Membaca diskusi di "Indo-construction" oleh Pak Irawan Firmansyah, Pak Limasalle, Pak Yulman Munaf
dan Pak Benny Kumara, penulis merasa tergelitik untuk ikut urun rembuk dalam pembicaraan mengenai
konsep Spring Constant ini.

Kebetulan tahun 1998 lalu penulis mendapatkan kesempatan untuk me-review rancang bangun proyek
stasiun kereta bawah tanah di luar negeri. Kepadatan tanah di lokasi stasiun tersebut lebih kurang
sebagai berikut (sayang tidak bisa melampirkan gambar dalam forum diskusi ini):

Kedalaman 0 - 6 m : 0 < N < 12


Kedalaman 6 –11 m : 5 < N < 26
Kedalaman 11 –17 m : 15 < N < 68
Kedalaman 17 – 27 m : 30 < N < 80
Kedalaman > 27 m : 50 < N < 80

Disini konsep spring constant digunakan dalam mendesain pondasi raft. Ahli struktur meminta parameter
spring constant tersebut kepada Geotechnical Engineer, yang kemudian memberikan parameter coef. of
subgrade reaction (dinotasikan sebagai k dan dalam satuan kg/cm3). Parameter ini kemudian
dikonversikan ke dalam ks dengan menggunakan persamaan Terzaghi sbb:

ks = k { (B+0.3) / (2B) }^2 (maksudnya: pangkat dua)

Dimana B adalah lebar pondasi raft. Parameter terakhir ini kemudian dipakai sebagai spring constant
oleh ahli struktur dengan mengalikan ks tersebut dengan area per m persegi di bawah pondasi raft
sehingga diperoleh satuan dalam kg/cm. Desain yang dihasilkan kemudian di-approved oleh PE
(Professional Engineer) dan dikeluarkan dengan embel-embel "For Construction".

Tanpa menuding siapa yang salah, jelas ini suatu penerapan parameter tanah yang terlalu gegabah!!
Mengapa gegabah? Begini, dalam persamaan diatas terlihat bahwa semakin besar B (untuk B > 0.3m)
semakin kecil nilai ks, jelas persamaan diatas hanya memperhitungkan faktor geometris semata tanpa
memperhatikan faktor kekerasan tanah. Data tanah jelas menunjukkan bahwa semakin dalam tanah
semakin keras. Ini berarti tanah semakin kaku, yang selanjutnya berarti nilai ks harusnya semakin besar.

Lalu apa akibat penerapan konstanta secara salah tersebut?? Dengan maksud untuk mengurangi
penurunan yang terjadi, stasiun tersebut di-desain dengan bagian tengahnya diperkuat dengan 20 lebih
bored pile. Hal mana kemudian penulis buktikan tidak perlu. Namun, sayangnya, semata-mata untuk
menjaga gengsi perusahaan, rancangan yang dirancang oleh junior engineers, diperiksa senior
engineers, di-cap oleh Profesional Engineer dan telah dikeluarkan untuk pelaksanaan itu tetap dijalankan.
Kasus diatas merupakan contoh suatu penerapan konsep konstanta pegas tanpa memperhatikan sifat-
sifat dan prilaku tanah. Dan merupakan contoh adanya unsur kelalaian, gap dan kelemahan dalam
hubungan antara ahli geoteknik dengan ahli struktur.
2. ULASAN

"Berapakah konstanta pegas di lokasi ini?" atau "Berapakah coef. of subgrade reaction di lokasi ini?"
merupakan pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para ahli struktur kepada kita selaku ahli geoteknik.
Pertanyaan yang jarang memiliki jawaban yang langsung, apalagi jawaban yang sederhana.

Sebagaimana dikatakan oleh Pak Benny Kumara, konsep spring constants ini pertama kali diperkenalkan
oleh Wrinkler pada tahun 1867. Wrinkler memodelkan pondasi dangkal diatas tanah sebagai pondasi
yang berdiri diatas pegas-pegas diskrit yang berdiri sendiri-sendiri. Tahun 1955, Karl Terzaghi dalam
makalahnya ‘Evaluation of coefficients of subgrade reaction’ menyajikan metoda untuk memperkirakan
besaran spring constants ini. Pendekatan yang disajikan Terzaghi ini kemudian menjadi populer dan
diterapkan dalam perancagan pondasi rakit dengan menggunakan model subgrade reaction. (selanjutnya
penulis akan menggunakan istilah modulus of subgrade reaction atau di Indonesiakan menjadi modulus
reaksi subgrade)

Kalau kita kembali ke asal muasal dari konsep ini, kita akan melihat bahwa modulus reaksi subgrade,
ks(x), ini didefinisikan sebagai tekanan pondasi, p(x), dibagi dengan penurunan tanah, d(x), yang terjadi,
(catatan: x adalah jarak horisontal dari tepi pondasi ke titik yang ditinjau) yaitu:

ks(x) = p(x) / d(x)

Dalam konsep ini reaksi subgrade sesungguhnya merupakan penyebaran tegangan, p(x), yang terjadi
akibat reaksi tanah (subgrade) di bawah pondasi. Sesungguhnya penyebaran tegangan di bawah
pondasi tidaklah linear, melainkan berbentuk kurva. Dalam tanah lempung, kurva reaksi yang timbul
umumnya menyerupai parabola terbalik dengan reaksi terbesar di-tepi pondasi dan terkecil ditengah. Dan
di dalam tanah pasir berbentuk parabola dengan reaksi nol di tepi-tepi pondasi. Tegangan yang timbul ini
sesungguhnya merupakan fungsi dari posisi x, bentuk pembebanan dan kekakuan (EI) relatif dari struktur
pondasi terhadap subgrade.

Konsep reaksi subgrade dengan memodelkan reaksi tanah sebagai pegas-pegas diskrit (Wrikler model)
merupakan suatu penyederhanaan formulasi matematik dalam model elastis. Konsep konstanta pegas ini
tidak memperhitungkan kenyataan bahwa reaksi pondasi disebarkan ke bawah dan membentuk bulb
pressure. Penurunan tanah yang terjadi dibawah pondasi merupakan akumulasi interaksi antara
tegangan-tegangan tanah dan parameter elastik tanah di setiap titik dalam bulb pressure yang terbentuk.
Dengan asumsi tanah di bawah pondasi dan dalam bulb pressure yang terbentuk memiliki sifat-sifat yang
seragam, Vesic (1961) mengembangkan model Wrikler ini ke dalam model elastik dan menurunkan
persamaan di bawah ini:

Ks = Es / {B.Ip.(1-v^2)} (catatan: v^2 adalah poisson ratio pangkat dua)

Jelas bahwa reaksi subgrade, ks, tergantung tidak saja dari parameter elastik tanah, Es dan nv (poisson
ratio), melainkan juga dari lebar pondasi, B, dan bentuk pondasi Ip.

Bilamana tanah pondasi tidak bersifat sama, melainkan berlapis-lapis dengan parameter elastik yang
berbeda-beda, maka harus diterapkan suatu metoda untuk sampai kepada parameter elastik yang
representatif untuk diterapkan ke dalam persamaan diatas. Poulos dan Davis, 1974, telah
mengembangkan berbagai persamaan matematis untuk menghitung penurunan tanah pondasi dengan
model elastik ini.

Nah, jelas bahwa untuk sampai kepada nilai modulus reaksi subgrade yang representatif, haruslah
terlebih dahulu dihitung besarnya penurunan yang akan terjadi. Lalu mengapa kita harus repot-repot
untuk meng-konversikan kembali hasil perhitungan penurunan tersebut kedalam besaran konstanta
pegas hanya untuk menjawab pertanyaan ahli struktur? Para ahli struktur menanyakan angka tersebut
karena ingin memasukkan parameter tersebut ke dalam program komputer yang mereka miliki.
Sepanjang pengetahuan penulis program-program komputer tersebut tidak memasukkan parameter-
parameter geoteknik, karena memang bukan dikembangkan untuk itu.

Suatu hal lagi yang perlu ditekankan disini model konstanta pegas itu berdasarkan asumsi tanah
berprilaku linear atau elastik (juga sutatu pendekatan ahli struktur). Dalam kenyataannya sejak teori
Wrikler itu dikembangkan (tahun 1867), 133 tahun telah lewat dan telah diketahui bahwa tanah tidaklah
berprilaku elastik. Telah dikembangkan berbagai pemodelan tanah, dari mulai teori elastik, elasto-plastik,
plastik, dan hingga ke Modified Cam Clay theory. Wrinkler diikuti Terzaghi menyederhanakan formulasi
matematis ke dalam persamaan sederhana agar bisa diterapkan secara cepat oleh para engineer. Yang
kemudian, seperti dibahas diatas, dikembangkan lebih lanjut oleh Vesic, Poulos dan Davis dan lain-lain
pakar . Hingga era tahun-tahun 80-an dimana era komputer belum lagi seperti sekarang hal diatas dapat
dimengerti. Namun, dalam era komputer seperti sekarang dimana hampir setiap engineer memiliki
komputer pribadi yang sanggup menjalankan metoda finite element secara cepat dan murah, mengapa
kita tidak menggunakan metoda finite element yang dikembangkan secara khusus untuk membahas soil
structure interaction? Misalnya program PLAXIS yang dibuat untuk penerapakan geoteknik, dimana telah
dimasukkan berbagai model tanah, dari model elastik, soft soil model, hard soil model hingga cam-clay
model. Program teresebut telah dapat membahas soil structure interaction secara memadai, bahkan
untuk pembebanan dinamis. Dan malah dalam waktu dekat akan dikeluarkan versi tiga dimensi-nya,
dimana dengan program ini dapat dimodelkan pile raft foundation.

3. KESIMPULAN

Para ahli struktur sebaiknya berkomunikasi dengan ahli geoteknik dalam penerapan parameter konstanta
pegas yang dapat dikatakan telah sedikit ketinggalan jaman ini.

Secara bersama ahli struktur dan ahli geoteknik membahas dan menyelesaikan masalah soil structure
interaction ini. Ahli struktur dari segi struktur dan ahli geoteknik dari segi geoteknik.

Sedapat mungkin menggunakan model-model tanah yang lebih tepat dengan bantuan program komputer
yang dikembangkan khusus untuk tujuan geoteknik. Namun, perlu pula diingat bahwa penentuan
parameter tanah yang dipakai sangatlah penting. Ingat bahwa tidak perduli seberapa canggih program
komputer tetap saja: "Garbage in Garbage out".

GTL, tahun 2001

Anda mungkin juga menyukai