Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

VERTIGO
A. Konsep dasar medis
1. Defenisi
Vertigo adalah sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar) tanpa
sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan yang
berputar. Vertigo bisa mengenai semua golongan umur, dengan jumlah insidensi 25% pada
pasien usia lebih dari 25 tahun, dan 40% pada pasien usia lebih dari 40 tahun. Dizziness
dilaporkan sekitar 30% pada populasi berusia lebih dari 65 tahun.
Vertigo merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien pasca mengalami trauma pada
kepala, leher atau craniovertebral junction. Trauma bisa terjadi karena cedera akibat
jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera kontak saat olah raga dan trauma akibat
ledakan. Telinga bagian dalam dan otak rentan terhadap benturan sehingga gejala bisa
timbul walaupun tanpa cedera yang substansial. Vertigo pasca trauma diklasifikasikan
menjadiperifer dan sentral tergantung pada struktur yang terkena. (EB, 2016)
2. Klasifikasi
Vertigo dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu vertigo vestibular dan non-
vestibular. Vertigo vestibular adalah vertigo yang disebabkan oleh gangguan sistem
vestibular, sedangkan vertigo non vestibular adalah vertigo yang disebabkan oleh
gangguan sistem visual dan somatosensori.
Tabel 1. Perbedaan Vertigo Vestibular dan Non-vestibular
Karakteristik Vertigo Vestibular Vertigo Non-vestibular
Waktu Episodik Konstan
Sifat Vertigo Berputar Melayang
Faktor pencetus Gerakan kepala, perubahan Stress, hiperventilasi
posisi
Gejala Penyerta Mual, muntah, tuli, tinnitus Gangguan mata, gangguan
somatosensorik

Vertigo vestibular selanjutnya dapat dibedakan menjadi vertigo vestibular perifer dan
sentral. Vertigo vestibular perifer adalah vertigo yang terjadi akibat gangguan alat
keseimbangan tubuh di labirin (telinga dalam) atau di ganglion vestibular atau di saraf
kranial VIII (Saraf Vestibulokoklear) divisi vestibular. Contoh penyakit-penyakit di
labirin adalah BPPV, penyakit peniere, fistula perilymph, obat-obat ototoksiksik dan
labirintitis. Obat-obat ototoksik mencakup: streptomisin, kinine, berbiturat, alcohol,
aspirin, caffeine, antikonvulsan, antihipertensi, tranquilizer, psikotropik dan obat
hipoglikemik. Contoh penyakit di nervus vestibularis adalah neuritis vestibularis dan
neuroma akustikus.
Vertigo vestibular sentral adalah vertigo yang terjadi akibat gangguan alat
keseimbangan tubuh di sistem saraf pusat, baik di pusat integrasi (serebelum dan batang
otak) ataupun di area persepsi (korteks). Penyebab vertigo sentral antara lain adalah
perdarahan atau iskemik di serebelum, nukleus vestibular, dan koneksinya di batang otak,
tumor di sistem saraf pusat, infeksi, trauma, dan sklerosis multiple. Vertigo yang
disebabkan neuroma akustik juga termasuk dalam vertigo sentral. Vertigo akibat
gangguan di korteks sangat jarang terjadi, biasanya menimbulkan gejala kejang parsial
kompleks.
Perbedaan Vertigo Sentral dan Perifer sebagai berikut:
1. Vertigo perifer beronset akut, sedangkan vertigo sentral beronset kronis atau perlahan
(gradual). Dengan kata lain, durasi gejala pada vertigo perifer terjadi dalam hitungan
menit, harian, mingguan, namun berulang(recurrent)
2. Penyebab umum vertigo perifer adalah infeksi (labyrinthitis), Ménière's, neuronitis,
iskemia, trauma, toksin. Penyebab umum vertigo sentral adalah vaskuler,
demyelinatin, neoplasma
3. Intensitas vertigo perifer sedang hingga berat, sedangkan vertigo sentral ringan hingga
sedang
4. Mual (nausea) dan muntah (vomiting)  umumnya terjadi pada vertigo perifer dan
jarang terjadi pada vertigo sentral.
5. Vertigo perifer umumnya berhubungan dengan posisi (positionally related),sedangkan
vertigo sentral jarang berhubungan dengan posisi.
6. Kehilangan pendengaran (hearing loss) hingga ketulian (deafness) umumnya terjadi
pada vertigo perifer dan jarang terjadi pada vertigo sentral.
7. Tinnitus (telinga berdenging) seringkali menyertai vertigo perifer. Pada vertigo sentral,
biasanya tidak disertai tinnitus.
8. Pada vertigo perifer tidak ada defisit neurologis. Defisit neurologis (neurologic
deficits) umumnya terjadi pada vertigo sentral.
9. Sifat nistagmus pada vertigo perifer adalah fatigable, berputar (rotary)atau horisontal,
dan dihambat oleh fiksasi okuler, sedangkan sifat nystagmus pada vertigo sentral
adalah nonfatigable,banyak arah(multidirectional), dan tidak dihambat oleh fiksasi
okuler.
3. Etiologi
Penyebab vertigo dapat diklasifikasikan menjadi penyebab sentral (melibatkan otak)
dan penyebab perifer (melibatkan jaringan saraf). Penyebab vertigo yang paling umum
adalah penyebab perifer yang melibatkan telinga dalam. Benign Paroxysmal Positional
Vertigo adalah bentuk paling umum dari vertigo dan ditandai dengan sensasi bergerak
yang dimulai dengan pergerakan tiba-tiba dari kepala atau menggerakkan kepala ke arah
tertentu. Vertigo juga dapat disebabkan oleh labirinitis (peradangan pada telinga dalam),
yang ditandai dengan onset vertigo yang tiba-tiba dan mungkin berhubungan dengan
ketulian.
Vertigo merupakan suatu gejala,sederet penyebabnya antara lain akibat kecelakaan,
stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran
darah ke otak dan lain-lain. (Sielskiet al., 2015).
4. Patofisiologi
Vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan
ketidakcocokan antara posisi tubuh ysng sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh
sususan saraf pusat. Jika ada kelainan pada lintasan informasi dari indera keseimbangan
yang dikirim kesistem saraf pusat, atau kelainan pada pusat keseimbangan, maka proses
adaptasi yang normal tidak akan terjadi tetapi akan menimbulkan reaksi alarm. Keadaan
ini berhubungan dengan serat-serat di formasio retikularisbatang otak yang berhubung
dengan aktivitas sistem kolinergik dan adrenergik.
Teori-teori yang dapat menjelaskan tentang terjadinya vertigo adalah :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebab kan
hiperemi kanalis semisir kularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akantimbul
vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidak cocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif, atau
ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan.
Ketidak cocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga
timbul respons yang dapat berupa nnistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau
sulit berjalan (gangguan vestibuler,serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal
dari sensasikortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih
menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori iniotak
mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jikapada suatu
saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah
tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru
tersebut dilakukan berulang-ulang akanterjadi mekanisme adaptasi sehingga
berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usahaadaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatisterlalu
dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin
(Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam
pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai perananneurotransmisi
dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi padaproses adaptasi, belajar dan
daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF
(corticotropin releasing factor),peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan
susunan sarafsimpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi
berupameningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik.
Teori ini dapat meneangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat,
berkeringat di awalserangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang
menjadi gejalamual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat
dominasiaktivitas susunan saraf parasimpatis
Vertigo akan timbul bila terdapat gangguan pada alat-alat vestibular atau pada
serabut-serabut yang menghubungkan alat/nuklei vestibular dengan pusat-pusat di
cerebellum dan korteks cerebri. Vertigo ini akan timbul bila terdapat ketidakcocokan
dalam informasi yang oleh susunan-susunan aferen disampaikan kepada kesadaran
kita. Sususnan aferen yang terpenting dalam hal ini adalah susunan vestibular atau
keseimbangan yang secara terus-menerus menyampaikan impuls-impuls ke
serebellum. Namun demikian susunan-susunan lain, seperti misalnya susunan optik
dan susunan proprioseptif dalam hal ini pula memegang peranan yang sangat penting.
Penting pula sususnan yang mrnghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N.III,
IV, dan VI, sususnan vestibulo-retikularis susunan vestibulo-spinalis dll. (Setiawati M.
& Susianti, 2016).
5. Manifestasi klinis
1. Gejala Umum
Secara garis besar, gejala vertigo dimulai dengan sensasi rasa pusing yang disertai
dengan kondisi kepala yang berputar-putar atau kliyengan. Selain itu, biasanya
penderita juga akan merasakan sensasi lain saat kepala mereka terasa berputar-putar,
seperti:
a. Pusing
b. Kepala terasa sakit disertai dengan berputar-putar atau kliyengan
c. Mual
d. Rasa ingin muntah
e. Berkeringat
f. Pergerakan arah pandangan yang tidak normal
g. Hilangnya pendengaran
h. Tinnitus atau telinga berdenging
2. Gejala Tambahan
a. Anggota tubuh yang mulai terasa lemas
b. Penglihatan yang mulai ada bayang-bayangnya
c. Kesulitan untuk bicara
d. Disertai demam
e. Kesulitan untuk berdiri atau bahkan berjalan
f. Respon yang lambat
g. Penurunan kesadaran
h. Pergerakan mata yang mulai tidak normal
(EB, 2016)
6. Pemeriksaan penunjang
a. Uji Romberg, Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan mula-mula dengan
kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30
detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya
dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada
mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian
kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada
kelainan serebral badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun
pada mata tertutup.
b. Tandem Gait, Penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung
jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan
menyimpang dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.
c. Uji Unterberger, Penderita berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan dan
jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada
kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang atau berputar ke arah lesi
dengan gerakan seperti orang melempar cakram yaitu kepala dan badan berputar ke
arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan
yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
d. Uji Tunjuk Barany (past-ponting test), Penderita diinstruksikan mengangkat
lengannya ke atas dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, kemudian
diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-
ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat
penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.
e. Uji Babinsky-Weil, Penderita berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke
belakang selama setengan menit dengan mata tertutup berulang kali. Jika ada
gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.
(Setiawati M. & Susianti, 2016).
7. Penatalaksanaan
1. Vertigo posisional Benigna (VPB)
a. Latihan : latihan posisional dapat membantu mempercepat remisi pada sebagian
besar penderita VPB. Latihan ini dilakukan pada pagi hari dan merupakan
kagiatan yang pertama pada hari itu. Penderita duduk dipinggir tempat tidur,
kemudian ia merebahkan dirinya pada posisinya untuk membangkitkan vertigo
posisionalnya. Setelah vertigo mereda ia kembali keposisi duduk \semula.
Gerakan ini diulang kembali sampai vertigo melemah atau mereda. Biasanya
sampai 2 atau 3 kali sehari, tiap hari sampai tidak didapatkan lagi respon vertigo.
b. Obat-obatan : obat anti vertigo seperti miklisin, betahistin atau fenergen dapat
digunakan sebagai terapi simtomatis sewaktu melakukan latihan atau jika muncul
eksaserbasi atau serangan akut. Obat ini menekan rasa enek (nausea) dan rasa
pusing. Namun ada penderita yang merasa efek samping obat lebih buruk dari
vertigonya sendiri. Jika dokter menyakinkan pasien bahwa kelainan ini tidak
berbahaya dan dapat mereda sendiri maka dengan membatasi perubahan posisi
kepala dapat mengurangi gangguan.
2. Neurotis Vestibular
Terapi farmokologi dapat berupa terapi spesifik misalnya pemberian anti  biotika
dan terapi simtomatik. Nistagmus perifer pada neurinitis vestibuler lebih meningkat
bila pandangan diarahkan menjauhi telinga yang terkena dan nigtagmus akan
berkurang jika dilakukan fiksasi visual pada suatu tempat atau benda.
3. Penyakit Meniere
Sampai saat ini belum ditemukan obat khusus untuk penyakit meniere. Tujuan 
dari terapi medik yang diberi adalah:
a. Meringankan serangan vertigo: untuk meringankan vertigo dapat dilakukan upaya
: tirah baring, obat untuk sedasi, anti muntah dan anti vertigo. Pemberian
penjelasan bahwa serangan tidak membahayakan jiwa dan akan mereda dapat
lebih membuat penderita tenang atau toleransi terhadap serangan berikutnya.
b. Mengusahakan agar serangan tidak kambuh atau masa kambuh menjadi lebih
jarang. Untuk mencegah kambuh kembali, beberapa ahli ada yang menganjurkan
diet rendah garam dan diberi diuretic. Obat anti histamin dan vasodilator
mungkin pula menberikan efek tambahan yang baik.
c. Terapi bedah: diindikasikan bila serangan sering terjadi, tidak dapat diredakan
oleh obat atau tindaka konservatif dan penderita menjadi infalid tidak dapat
bekerja atau kemungkinan kehilangan pekerjaannya.
4. Presbiastaksis (Disekuilibrium pada usia lanjut)
Rasa tidak setabil serta gangguan keseimbangan dapat dibantu obat supresan
vestibular dengan dosis rendah dengan tujuan meningkatkan mobilisasi. Misalnya
Dramamine, prometazin, diazepam, pada enderita ini latihan vertibuler dan latihan
gerak dapat membantu. Bila perlu beri tongkat agar rasa percaya diri meningkat dan
kemungkinan jatuh dikurangi. (Setiawati M. & Susianti, 2016)
B. Konsep dasar asuhan keperawatan
1. Pengkajian
1) Identitas
a) Identitas pasien : nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan, Pendidikan,
alamat.
b) Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat,
hubungan dengan pasien, agama.
2) Riwayat sakit dan Kesehatan
a. Keluhan utama : pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah atau seluruh kuadran.
b. Riwayat penyakit sekarang
c. Riwayat penyakit sekarang : Apakah pasien pernah menderita penyakit seperti
ISPA, TBC paru, jantung, dan penyakit lainnya.
d. Riwayat Kesehatan keluarga : Apakah keluarga pernah mengalami penyakit yang
sama.
e. Riwayat alergi : Apakah pasien memiliki Riwayat alergi terhadap beberapa obat,
makanan, udara, debu.
3) Pemeriksaan fisik keperawatan
a. Kesadaran umum : tampak lemas, ekspresi wajah meringis
b. Kesadaran : sesuai tingkat keparahan penyakit, (composmentis)
c. Tanda – tanda vital :
TD : Normal, hipertensi, hipotensi
Nadi : Normal, takkardi, brakikardi
RR : Takipnea, dispnea, napas dangkal
Suhu : Hipertermi, hipotermi
d. Kepala : Tidak ada kelainan
e. Mata : Konjungtiva anemis/ananemis
f. Hidung : Tidak terdapat pernapasan cuping hidung
g. Bibir : mukosa bibir kering
h. Dada toraks posterior, meliputi warna kulit dan kondisi, skar, lesi massa dan
gangguan tulang belakang.

4) Aktivitas / istirahat
a. Gejala : Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat, duduk,
mengemudi dalam waktu lama, membutuhkan papan?matras waktu tidur,
penurunan rentan gerak dari ekstermitas pada salah satu bagian tubuh, tidak
mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.
b. Tanda : Atropi otot pada bagian tubuh yang terkena, gangguan dalam berjalan.
5) Eliminasi :
a. Gejala : Konstribusi, mengalami kesulitan dalam defekasi, adanya
inkontenensia/retensi urine
6) Integritas ego
a. Gejala : Ketakutan akan timbulnya paralysis, ansietas masalah pekerjaan,
finansial keluarga.
b. Tanda : Tampak cemas, depresi, menghindar dari keluarga/orang terdekat.
7) Neurosensori
a. Gejala : kesemutan, kekakuan, kelemahan dari tangan/kaki
b. Tanda : Penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, hipotania, nyeri
tekan/spasme pavavertebralis, penurunan persepsi nyeri (sensori)
8) Nyeri / kenyamanan
a. Gejala : nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan adanya
batuk, bersin, membengkokan badan, mengangkat defekasi, mengangkat kaki,
atau fleksi pada leher, nyeri yang tidak ada hentinya atau adanya episode nyeri
yang lebih berat secara interminten: nyeri menjalar ke kaki, bokong (lumbal) atau
bahu/ lengan: kaku pada leher (servikal). Terdengar adanya suara “krek” saat
nyeri baru timbul/saat trauma atau merasa “punggung patah”, keterbatasan untuk
mobilisasi/ membungkuk kedepan.
b. Tanda : dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena, perubahan cara
berjalan : berjalan dengan terpincang-terpincang, pinggang terangkat pada bagian
tubuh yang terkena, nyeri pada palpasi.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
2. Risiko jatuh b.d gangguan keseimbangan
3. Defisit pengetahuan tentang vertigo b.d kurang terpapar informasi
4. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan pendengaran
5. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pendengaran
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan status kesehatan
3. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Teraupeutik
a) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
c) Fasilitasi istirahat dan tidurr
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e) Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a) Kolaborasikan pemberian analgetik, jika perlu
2. Risiko jatuh b.d gangguan keseimbangan
Observasi :
a) Identifikasi faktor risiko jatuh
b) Identifikasi risiko jatuh setidaknya sekali setiap shift atau sesuai dengan kebijakan
institusi
c) Identifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh
d) Hitung risiko jatuh dengan menggunakan skala
e) Monitor kemampuan berpindah dari tempat tidur kekursi roda dan sebaliknya
Teraupeutik
a) Orientasikan ruangan pada pasien dan keluarga
b) Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda selalu dalam kondisi terkunci
c) Pasang handrail tempat tidur
d) Gunakan alat bantu berjalan
Edukasi
a) Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk berpindah
b) Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin
c) Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh
d) Anjurkan melebarkan jarak kedua kaki untuk meningkatkan keseimbangan saat
berdiri
3. Defisit pengetahuan tentang vertigo b.d kurang terpapar informasi
Observasi
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
b) Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan motivasi
perilaku hidup bersih dan sehat
Teraupeutik
a) Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
b) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
c) Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
a) Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
b) Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
c) Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku hidup bersih
dan sehat
4. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan pendengaran
Observasi
a) Periksa kemampuan pendengaran
b) Monitor akumulasi serumen berlebihan
c) Identifikasi metode komunikasi yang disukai pasien
Teraupeutik
a) Gunakan bahasa sederhana
b) Gunakan bahasa isyarat, jika perlu
c) Fasilitasi penggunaan alat bantu dengar
d) Berhadapan dengan pasien secara langsung selama berkomunikasi
e) Pertahankan kontak mata selama berkomunikasi
f) Hindari kebisingan saat berkomunikasi
g) Hindari berkomunikasi lebih dari 1 meter dari pasien
h) Pertahankan kebersihan telinga
Edukasi
a) Anjurkan menyampaikan pesan dengan isyarat
b) Anjurkan cara membersihkan serumen dengan tepat
5. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pendengaran
Observasi
a) Periksa status mental, status sensori, dan tingkat kenyamanan
Teraupeutik
a) Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori
b) Batasi stimulus lingkungan
c) Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat
d) Kombinasikan prosedur/tindakan dalam satu waktu, sesuai kebutuhan
Edukasi
a) Ajarkan cara meminimalisasi stimulus
Kolaborasi
a) Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/tindakan
b) Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi persepsi stimulus
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
Observasi
a) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
b) Monitor kelelahan fisik dan emosional
c) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas

Terapeutik

a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan)
b) Lakukan Latihan rentang gerak pasif dan/ atau aktif
c) Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
d) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan

Edukasi

a) Anjurkan tirah baring


b) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
c) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang
d) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Kolaborasi

a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan


7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan status Kesehatan
Observasi
a) Identifikasi pola aktivitas dan tidur
b) Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik dan / atau psikologis
c) Identifikasi maknanan dan minuman yang mengganggu tidur ( mis. kopi, the,
alcohol, makan mendekati waktu tidur, minum banyak air sebelum tidur)
d) Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi

Terapeutik
a) Modifikasi lingkungan (mis. pengcahayaan, kebisingan, suhu, matras, dan tempat
tidur)
b) Batasi waktu tidur siang, jika perlu
c) Fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur
d) Tetapkan jadwal tidur rutin
e) Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis. pijat, pengaturan posisi,
terapi akupresur)
f) Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/ atau Tindakan ubtuk menunjang siklus tidur
terjaga

Edukasi

a) Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit


b) Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
c) Anjurkan menghindari makanan/minuman yang mengganggu tidur
d) Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak mengandung supresor terhadap tidur
REM
e) Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur
( mis.psikologis, gaya hidup, sring berubah shift bekerja)
f) Ajarkan relaksasi otot autogenic atau cara ninfarmakologi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

EB, B. (2016). posttraumatic Vertigo Treatment and Management. Otolaryngology and Facial
Plastic Surgery. medscape.

Edwar, Y., & Rosa, Y. (2014). Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) .
Jurnal kesehatan Andalas.

Farida. (2017). PENGARUH BRANDT DAROFF EXERCISE TERHADAP KELUHAN.


Publikasi Ilmiah, 1-8.

Setiawati, M., & Susianti. (2016). Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo. Majority, 91-95.
Sielski, G., Sielska, M., Podhorecka, M., Gebka, D., Szymkowiak S Marta.,Ciesielka, N., Rolka,
L., Porzych, K dan Kornatowska S Kornelia. 2015.Dizziness In Older People. Diakses :
28 Desember 2016.http://dx.doi.org/10.12775/MBS.2015.02

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia "Defenisi dan
Indikator Diagnostik". Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia "Defenisi dan
Tindakan Keperawatan". Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai