Anda di halaman 1dari 9

BIOLOGI LAUT

NAMA : T.M ZAMZAMI

NIM : 19160031

PRODI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN

UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH

2020/2021
Ancaman Kematian Terumbu Karang Itu, Nyata Terjadi di
Perairan Lombok

Pemutihan karang (coral bleaching) adalah situasi dimana karang


mengalami stress karena berada pada kondisi lingkungan di luar batas normal. Dalam kerjadian
ini, alga (zooxanthellae) yang berasosiasi dengan karang sebagai inangnya terpaksa keluar, yang
berakibat karang berubah warna menjadi putih atau transparan tentakelnya..Sekiranya kondisi ini
berlanjut lama dan terus-menerus dapat dipastikan karang akan mengalami kematian.
Sebaliknya, jika kondisi dapat kembali normal dalam waktu singkat, zooxanthellae akan dapat
kembali ke inangnya, dan akan membuat karang dapat kembali hidup normal.

Dalam studi lapangan yang penulis amati secara langsung, penulis mengamini apa yang
saat ini dibicarakan oleh para peneliti, media massa dan media publikasi ilmiah lainnya di dunia.
Pemutihan karang sedang terjadi dan dapat mengakibatkan kematian massal karang secara
global, termasuk di Indonesi.Berdasarkan hasil survei pada 6 titik pengamatan, dijumpai karang
yang terkena dampak bleaching di daerah Sekotong merata pada semua jenis karang, meski ada
sebagian jenis karang yang masih tetap mampu bertahan hidup. Namun, jika faktor lingkungan
yaitu peningkatan suhu masih terus terjadi diperkirakan pemutihan karang akan berlanjut pada
semua jenis karang, yang pada akhirmya kematian massal tidaklah dapat dihindari.

Jenis karang yang terparah terkena dampak pemutihan dalam hamparan yang luas adalah
Acropora. Jenis lain seperti Montipora, Pocillopora, Goniopora pun mengalami pemutihan.
Porites, karang berbentuk masif yang tingkat pertumbuhannya lambat (sekitar 1 mm pertahun)
tak lepas dari pemutihan. Padahal, biasanya karang jenis ini memiliki sistem pertahanan yang
lebih bagus dibandingkan jenis karang lain.
Karang Porites sp yang mengalami pemutihan (coral bleaching) di perairan Sekotong, Lombok.
Foto: Ofri Johan

Karang Porites akan mengeluarkan mocus atau lendir berwarna transparan menyelimuti
koloninya apabila terjadi kondisi abnormal seperti peningkatan suhu seperti kejadian saat ini.
Sistem pertahanan seperti ini ternyata tidak mampu beradaptasi. Jika karang yang daya tahan
kuat saja seperti Porites terkena pemutihan, apalagi jenis lain yang lebih rentan terhadap
peningkatan suhu. Sekiranya kondisi ini berlanjut akan berdampak pada kematian massal seperti
mengulang kejadian 1997 di perairan Padang, yang juga masuk dalam isu global untuk kematian
masal karang pada tahun 1997/1998.
Dampak pemutihan di perairan Sekotong juga terjadi pada anemon, dimana ikan nemo
(clown fish) bermain pada rumah yang telah berubah warna menjadi putih. Demikian juga pada
karang yang bertentakel lainnya seperti Euphyllia glabrescens, Heliofungia
actiniformis, Goniopora sp yang dicirikan tentakel transparan yang berarti zooxanthellae sudah
banyak keluar dari inangnya atau karang. Tidak sampai disitu, karang yang hidup dalam
kedalaman hingga 15 meter pun masih terkena dampak pemutihan. Karang yang ditemukan pada
kedalaman ini seperti fungia, Heliofungia actiniformis, Halomitra pileus, Pachyseris
speciosa, Pavonacactus, Merulina sp, Plerogyrasinuosa, Pectinia spp, Stylophora pistillata, Dendr
onephthya sp (soft coral), Favia sp, Pocillopora verrucosa, Goniopora sp, Acropora
falifera (Isopera) dan Euphyllia ancora ditemukan sedang mengalami pemutihan.

Beberapa jenis karang yang memiliki hamparan yang sangat luas juga mengalami
dampak memprihatinkan yang sama yaitu Acropora sp, Goniopora sp, Goniastrea sp. Diantara
karang pertumbuhan lambat yang mengalami pemutihan diantaranya Porites
lutea, Lobophyllia sp, Platygyra sp, Trachyphyllia geofroyi, Physogyra sp, dan Symphyllia sp.
Pasti menunggu waktu yang cukup lama untuk karang dapat kembali hidup normal dalam
hamparan yang luas seperti saat ini. Ekosistem yang sudah terbentuk lama dapat berubah
seketika dengan adanya peristiwa pemutihan karang. Di perairan Sekotong, rata-rata pemutihan
yang telah terjadi adalah 40 persen, dengan pemutihan merata terjadi pada semua koloni
Acropora.

Penelitian ini menjadi penting dan sangat berharga, dimana para peneliti dapat
menjumpai langsung peristiwa saat pemutihan terjadi. Berbeda dengan Padang 1997, meskipun
dilakukan secara time series, saat itu kejadian pemutihan karang terlewatkan. Peneliti hanya
menjumpai hamparan karang mati dengan tutupan 0 persen. Ditambah, ketidaktersediaan
kamera underwater saat itu yang membuat terkendalanya dokumentasi. Penulis
merekomendasikan penelitian lapangan perlu dilakukan sekali lagi pada waktu 3-4 minggu sejak
kajian lapangan pertama untuk memastikan berapa besar dampak peristiwa pemutihan karang
yang saat ini terjadi, sekaligus untuk melakukan pendataan jenis-jenis karang yang selamat.
Karang yang selamat, selanjutnya akan menjadi induk untuk sumber larva baru bagi kawasan
tersebut.
Sekiranya terjadi kematian total, maka perlu dipikirkan sumber induk introduksi untuk
mempercepat pemulihan. Belajar dari yang terjadi di perairan Padang, maka tanpa introduksi
hingga 17 tahun pun, ekosistem karang belum kembali pulih total dari kematian massal, karena
ketiadaan induk karang yang tersisa.

Penulis berharap semoga peristiwa pemutihan karang ini cepat berakhir dan tidak mengakibatkan
kematian total bagi seluruh karang di kawasan Sekotong, Lombok. Data ini akan menjadi
informasi berharga, yang jika mampu didokumentasikan dan dikumpulkan pastinya akan
bermanfaat untuk penelitian berikut. Termasuk untuk mengetahui tingkat ketahanan dan proses
pemulihan karang dalam hubungannya dengan perubahan ekosistem
Terumbu Karang merupakan penghasil sumberdaya ikan bagi kepentingan industri
perikanan serta sebagai penghasil bahan baku alami bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetik.
Terumbu Karang adalah penopang kenaekaragaman hayati yang tinggi (sekitar 33% jenis ikan
laut) dan penopang wisata bahari (kegiatan snorkling, diving) serta berfungsi sebagai pelindung
garis pantai dari hembasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Namun pemutihan
terumbu karang telah banyak terjadi beberapa kali di Indonesia dan dipandang semakin besar
dampaknya walaupun secara konkrit dampak terhadap produktifitas perikanan maupun sosial
ekonomi masyarakat/ nelayan belum terdokumentasikan dengan baik.

Coral Bleaching pertama kali diketahui 75 tahun lalu (Hoegh – Guldberg, 1999). Coral
Bleaching sering diasosiasikan dengan fenomena ENSO (El Nino – Southern Oscilation), yaitu
misalnya pada tahun 1982 – 1983 dan 1997 – 1998. Coral Bleaching ini disebabkan oleh anomali
suhu 1 – 2 0C (lebih panas/ dingin) yang terjadi berturut-turut selama 2 – 5 minggu. Coral
Bleaching adalah karang yang mengalami proses menjadi putih karena keluarnya Zooxanthella
akibat naiknya suhu perairan disekitarnya. Warna karang tersebut ditentukan oleh Pigmen
Zooxanthella. Pada awalnya karang yang memutih belum dapat dikatakan mati karena dapat saja
dikarenakan stress. Namun bila kenaikan suhu berlanjut, dapat menyebabkan kematian pada
karang. Saat ini masih terbatasnya perhatian publik terhadap Coral Bleaching dan belum
dirasakan secara langsung efeknya terhadap masyarakat, namun perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap faktor yang mempengaruhinya. Dampak Coral Bleaching secara Sosial Ekonomi
yakni:

Kerugian ekonomi dari terdegradasinya the Great Barrier Reef di Australia dalam skenario
kenaikan suhu akibat pemanasan global telah diestimasi untuk mencapai sedikitnya US$ 2,5 – 6
milyar dalam 19 tahun (WWF, 2004)

Di Asia Tenggara, estimasi nilai jasa dan produk yang hilang dari perikanan, pariwisata dan
kerusakan keanekaragaman akibat pemutihan karang dapat mencapai US$ 38,3 miliar
(Cesar et.al., 2004)

 Tantangan bagi pengelolaan kawasan konservasi perairan yang sering ditemui yaitu
sumber penyebab pemutihan karang akibat kenaikan suhu tidak dapat dimitigasi oleh
pengelola KKP, Zonasi yang tidak melihat resellence terumbu karang dan Konektivitas
(larva sink and sources) tidak menjadi pertimbangan dalam penentuan zonasi. Oleh
karena itu, upaya kedepan yang perlu dilakukan dalam menanggulangi Coral Bleaching
adalah sebagai berikut:
 Mengoptimalkan INA GOOS/ NODC dan kemampuan prediksi parameter oseanografi
Balitbang KP untuk keperluan monitoring dan prediksi terjadinya Coral Bleaching,
 Penelitian tentang variabel kunci penyebab Coral Bleaching selain anomali suhu,
 Kajian historis kejadian Coral Bleaching,
 Penelitian tingkat kerusakan terumbu karang akibat Coral Bleaching dan tingkat
reselensi,
 Penelitian tentang dampak sosial ekonomi dengan adanya kejadian Coral Bleaching,
 Meningkatkan jejaring stakeholder utama terkait dengan penelitian, antisipasi dampak,
potensi ekonomi dan peningkatan ketahanan terumbu karang dan fenomena Coral
Bleaching.

Anda mungkin juga menyukai