2. Temperature
Supriharyono (2007) menyatakan pertumbuhan karang optimal pada kisaran
temperatur antara 25-32 derajat celcius.
3. Salinitas
Supriharyono (2007) menyatakan, binatang karang hidup subur pada kisaran
salinitas antara 3436 0/00. Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan
karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut sekitar dan
pengaruh alam seperti hujan. Berdasarkan angka toleransi tersebut, dapat
dikatakan daerah penelitian dalam keadaan yang baik, yang memungkinkan
biota karang dan simbionnya dapat hidup atau tumbuh optimal.
4. Derajat Keasaman pH
Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu
perairan laut rata-rata tahunan antara 25-290C (Wells, 1954 dalam
Supriharyono, 2000). Kinsman (1964), dalam Supriharyono, (2000)
menyatakan bahwa batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16
17 0C dan sekitar 360C. Namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa
ditolerir oleh spesies tertentu dari jenis karang hermatifik untuk dapat
berkembang dengan baik. Karang hermatifik dapat bertahan pada suhu
dibawah 200C selama beberapa waktu. Dan dapat mentolerir suhu sampai
360 C dalam waktu yang singkat. Kisaran suhu yang relatif sempit ini
(stenotermal), menyebabkan penyebaran karang hanya pada daerah tropik
5. Kecerahan
Cahaya Matahari merupakan saah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari
merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik
dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan
berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk
terumbu (CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat
berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang.
Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer
sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman dimana
kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15%-20% dari intensitas cahaya
di lapisan permukaan air.
6. Sedimentasi
Sedimentasi merupakan salah satu pembatas pertumbuhan karang. Daerah
yang memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat yang
baik bagi pertumbuhan karang. Tingginya sedimentasi menyebabkan
penetrasi cahaya di air laut akan berkurang. Hal ini akan menganggu proses
7. Arus
Arus diperlukan pada proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai dan
mendistribusikan nutrien dan makanan berupa mikroplankton. Polip yang
mempunyai cambuk atau tentakel juga dapat menangkap makanan sendiri
pada malam hari. Pergerakan air diperlukan untuk penyedian nutrien dan
oksigen terutama pada malam hari dimana tidak terjadi fotosintesis (Nontji,
1987). Menurut Widjatmoko et al (1999), pertumbuhan karang batu ditempat
yang airnya selalu teraduk oleh angin, arus dan ombak akan lebih baik jika
dibandingkan dengan daerah yang tenang dan terlindung
1. Hasil Perhitungan
N
O
A. aspera
W1
W2
W3
W4
254
249
287
317
276,7
5
27675
00
115
105
116
116
113
11300
00
129
139
171
162
150,2
5
Rata-rata
Densitas
W1
W2
A.
hyacinthus W3
W4
Rata-rata
Densitas
W1
W2
A.
intermedia W3
W4
Rata-rata
Densitas
W1
W2
H. rigida
W3
W4
Rata-rata
44
70
60
119
73,25
73250
0
Densitas
2
3
1
2
1
1
0
0
0,5
20000
2
2
3
2
2,25
5000
5
4
5
4
4,5
22500
6
7
3
2
45000
11
11
7
2
4,5
7,75
104
73
51
49
69,25
2
3
1
1
1,75
692500
17500
Dari hasil praktikum ini diketahui bahwa semua sample terumbu karang masuk
dalam kategri sehat tau normal karena Secara umum, jumlah densitas
zooxanthellae yang terkandung pada terumbu karang normal adalah berkisar
6
antara 0,23-1,75x 1 0
terpadat di dapat pada spesies Acropora aspera dengan rata rata densitas 276,75 x
1 04
1 04
Barnes, D.J and B.E. Chalker. 1990. Calcification and photosynthesis in reef-building
corals and algae. In Z. Dubinsky (Ed) Ecosystems of the World. Vol. 25 Coral Reefs.
New York : Elsevier, pp 109-131
Buddemier, R.W. and Fautin, D.G. 1993. Coral Bleaching as an adaptive mechanism.
BioScience 43:320-326
Costa, C.F. & F.D. Amaral. 2000. Density and size differences of symbiotic
dinoflagellates from five reef-buliding coral species from Brazil. Proceedings of the
6th International Coral Reef Symposium: 159-162
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan MJ, Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Pratama, Jakarta.
Davies, P.S. 1993. Endosymbiosis in marine cnidarians. In DM John, S.J. Hawkins and
J.H. Price (Eds). Plant-animal interactions in the marine benthos. Oxford, UK
Clarendon Press, pp 551-540.
Falkowski , P.G.; Z. Dubinsky; L. Muscatine and J.W. Porter. 1984. Light and the
Bioenergetic of a Symbiotic Coral. Bioscience 34 : 705 709
Glynn P. W. 1990. Coral Mortality And Disturbance In Coral Reefs In The Tropical
Eastern Pacific.Pp. 55-126 in Global Ecological Consequences of the 1982-83 El-Nino
Southern Ocillation.P. W. Glynn ed. Elsevier, Amsterdam.
Juniarti, R., Alsyah N.E dan Munasik. 2005. Study Perubahan Densitas Zooxanthella
Pada Translokasi Dan Transplantasi Karang Acropora Aspera Dan Stylophora
Pestillata di Jepara. Jurnal Ilmiah Pengembangan Ilmu Kelautan. Volume 10. No. 4
Desember 2005. Hal 221-228
Muller-Parker G. and DElia C. 1997. Interactions between corals and their symbiotic
algae. In Birkeland C (Ed) Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York,
pp : 96- 113
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman, M.,
Koesoebiono, D.G. Begen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo [Penerjemah]. Terjemahan
dari: Marine Biology: An Ecological Approach. PT. Gramedia. Jakarta
Porter, J.W., Fitt, W.K., Spero, H.J., Rogers, C.S and White, M.W. 1989. Bleaching in
coral reefs : Physiological and stable isotope response. Proc. Nat. Acad. Sci. U.S.A.
86:9342-9346.
Rachmawati, R. 2001. Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi
Kelautan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta
Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta
Veron, J. E. N. 1995. Coral in space and time. Australian Institute of Marine Science
Cape Ferguson, Townsville, Quensland.