Anda di halaman 1dari 6

Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya simbiosis dengan

zooxanthellae. Dari hubungan konservatif ini maka terbentuk bangunan terumbu


karang yang banyak ditemukan di lingkungan perairan benthic tropis (Muller-Parker
dan DElia, 1997). Dalam hal ini zooxanthellae menyediakan lebih kurang 95% hasil
fotosintetik mereka kepada inang karang, dan produk ini dimanfaatkan karang
untuk pertumbuhan, reproduksi, dan pemeliharaan fisiologisnya. Sebagai umpan
balik, inang karang menyediakan kebutuhan fisiologi endosimbion berupa nutrien
dan perlindungan di dalam jaringan-jaringan polipnya (Davies, 1993; Falkowski et al.
1984, Barnes and Chalker 1990, Muller-Parker and DElia 1997).
Zooxanthellae adalah alga dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis pada
hew an, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Sebagian besar zooxanthella
berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae pada karang diperkirakan >
1 juta sel/cm2 permukaan karang, ada yang mengatakan antara 1-5 juta sel/cm2.
Meski dapat hidup tidak terikat induk, sebagian besar zooxanthellae melakukan
simbiosis
Bagi biota karang atau biota sessile lainnya di lingkungan ekosistem terumbu
karang, zooxanthellae mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam sejarah
kehidupan karang hampir tidak ditemukan biota karang yang hidup tanpa
bersimbiosis dengan zaooxanthellae (Veron, 1995). Disamping hal tersebut,
keberadaan zooxanthellae dalam jaringan karang diduga menjadi faktor utama bagi
karang dalam mensiasati kondisi terburuk yang dialaminya untuk mampu bertahan
hidup (Buddemier dan Fautin, 1993). Menurut Porter et al, 1989, Fitt et al (1993)
dan Gleason (1993) kemampuan karang untuk mempertahankan zooxanthellae
dalam jaringannya akibat bleaching (bleaching parsial) merupakan salah satu
petunjuk dimungkinkannya karang untuk pulih.
Faktor Faktor Pertumbuhan zooxanthellae
1. Kedalaman
Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari
50-70 meter. Kebanyakan terumbuh tumbuh pada kedalaman 25 meter atau
kurang, karena zooxanthellae sebagai alga simbiotik memerlukan cahaya.
Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang sehingga bersama
dengan itu kemampuan karang dalam menghasilkan kalsium karbonat akan
berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan
kedalaman dimana intensitas cahaya kurang sampai 15-20% dari intensitas
permukaan (Nybakken 1992). Faktor kedalaman juga membatasi kehidupan
binatang karang. Perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa
sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga
dapat hidup pada perairan yang cukup dalam. Namun secara umum karang
tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 meter (Kinsman, 1964 dalam
Supriharyono 2007). Distribusi vertikal terumbu karang hanya mencapai
kedalaman efektif sekitar 10 meter dari permukaan laut. Hal ini disebabkan
karena kebutuhan sinar matahari masih dapat terpenuhi pada kedalaman
tersebut (Dahuri et al. 1996)

2. Temperature
Supriharyono (2007) menyatakan pertumbuhan karang optimal pada kisaran
temperatur antara 25-32 derajat celcius.
3. Salinitas
Supriharyono (2007) menyatakan, binatang karang hidup subur pada kisaran
salinitas antara 3436 0/00. Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan
karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut sekitar dan
pengaruh alam seperti hujan. Berdasarkan angka toleransi tersebut, dapat
dikatakan daerah penelitian dalam keadaan yang baik, yang memungkinkan
biota karang dan simbionnya dapat hidup atau tumbuh optimal.
4. Derajat Keasaman pH
Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu
perairan laut rata-rata tahunan antara 25-290C (Wells, 1954 dalam
Supriharyono, 2000). Kinsman (1964), dalam Supriharyono, (2000)
menyatakan bahwa batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16
17 0C dan sekitar 360C. Namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa
ditolerir oleh spesies tertentu dari jenis karang hermatifik untuk dapat
berkembang dengan baik. Karang hermatifik dapat bertahan pada suhu
dibawah 200C selama beberapa waktu. Dan dapat mentolerir suhu sampai
360 C dalam waktu yang singkat. Kisaran suhu yang relatif sempit ini
(stenotermal), menyebabkan penyebaran karang hanya pada daerah tropik

5. Kecerahan
Cahaya Matahari merupakan saah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari
merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik
dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan
berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk
terumbu (CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat
berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang.
Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer
sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman dimana
kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15%-20% dari intensitas cahaya
di lapisan permukaan air.
6. Sedimentasi
Sedimentasi merupakan salah satu pembatas pertumbuhan karang. Daerah
yang memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat yang
baik bagi pertumbuhan karang. Tingginya sedimentasi menyebabkan
penetrasi cahaya di air laut akan berkurang. Hal ini akan menganggu proses

fotosintesis zooxanthella di dalam polip sehingga proses pengkapuran juga


terganggu. Sedimentasi yang tinggi juga menyebabkan ruang-ruang dalam
polip akan tertutup. Polip kemudian akan menghabiskan sebagian energinya
untuk membersihkan tubuhnya dengan silia. Kegiatan ini memakan cukup
banyak energi dari hewan karang sehingga proses pertumbuhannya akan
terhambat.

7. Arus
Arus diperlukan pada proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai dan
mendistribusikan nutrien dan makanan berupa mikroplankton. Polip yang
mempunyai cambuk atau tentakel juga dapat menangkap makanan sendiri
pada malam hari. Pergerakan air diperlukan untuk penyedian nutrien dan
oksigen terutama pada malam hari dimana tidak terjadi fotosintesis (Nontji,
1987). Menurut Widjatmoko et al (1999), pertumbuhan karang batu ditempat
yang airnya selalu teraduk oleh angin, arus dan ombak akan lebih baik jika
dibandingkan dengan daerah yang tenang dan terlindung

1. Hasil Perhitungan

N
O

PERHITUNGAN DENSITAS ZOOXANTHELLAE


Q
RUANG
SPECIES
Norm
Abnor
Prolofe
HITUNG
al
mal
rasi
W1
326
27
7
W2
129
8
2
A.nasuta
W3
139
11
1
W4
67
2
0
165,2
Rata-rata
5
12
2,5
1652
12000
Densitas
500
0
25000
W1
18
3
1
W2
24
1
1
A. formosa
W3
33
2
1
W4
39
4
0
Rata-rata
28,5
2,5
0,75
28500
Densitas
0
25000
7500

A. aspera

W1
W2
W3
W4

254
249
287
317
276,7
5
27675
00
115
105
116
116
113
11300
00
129
139
171
162
150,2
5

Rata-rata

Densitas
W1
W2
A.
hyacinthus W3
W4
Rata-rata
Densitas
W1
W2
A.
intermedia W3
W4
Rata-rata
Densitas
W1
W2
H. rigida
W3
W4
Rata-rata

44
70
60
119
73,25
73250
0

Densitas

2
3
1
2

1
1
0
0

0,5

20000
2
2
3
2
2,25

5000
5
4
5
4
4,5

22500
6
7
3
2

45000
11
11
7
2

4,5

7,75

104
73
51
49
69,25

2
3
1
1
1,75

692500

17500

Dari hasil praktikum ini diketahui bahwa semua sample terumbu karang masuk
dalam kategri sehat tau normal karena Secara umum, jumlah densitas
zooxanthellae yang terkandung pada terumbu karang normal adalah berkisar
6

antara 0,23-1,75x 1 0

sel/cm2 (Costa & Amaral, 2000). Densitas zooxanthellae

terpadat di dapat pada spesies Acropora aspera dengan rata rata densitas 276,75 x

1 04

dan densitas zooxanthellae dengan densitas terendah Acropora Formosa

dengan rata rata densitas zooxanthellae 28,5 x

1 04

sel/cm2. Menurut Juniarti et

al (2005), karang mempunyai kemampuan untuk mengatur jumlah zooxanthella


yang berada pada jaringan tubuhnya. Dalam keadaan normal jumlah zooxanthella
berubah sesuai dengan musim sebagai penyesuaian karang terhadap lingkungan.

Perubahan jumlah zooxanthella baik zooxanthella yang sehat, berpoliferasi maupun


zooxanthella terdegradasi mempengaruhi proses fisiologi karang dan laju
fotosintesis. Struktur zooxanthella yang sehat memperlihatkan adanya dinding sel
yang masih utuh dan bundar, berwarna kuning dan di bagian dalam sel terlihat
pyrenoid dan accumulation body. Zooxanthella berpoliferasi ditandai adanya
pembelahan zooxanthella yang sehat menjadi sel yang sama. Sedangkan
zooxanthella terdegradasi ditunjukkan adanya bentuk dinding sel yang tidak
teratur, berwarna coklat kekuningan, merah kehitaman atau transparan (pucat),
ukurannya kecil dibandingkan zooxanthella sehat dan bagian dalam sel
zooxanthella terdegradasi terdapat vakuola. Berikut merupakan grafik densitas
zooxanthella normal, proliferasi, dan yang terdegradasi.
Pada table diatas , sebagian besar zooxanthella yang terdapat pada karang adalah
yang normal di mana jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang terdegradasi
maupun yang proliferasi. Di mana hal itu menandakan bahwa kondisi zooxanthella
secara umum yang terdapat pada karang tersebut masih terbilang baik dan dapat
melakukan metabolisme dengan baik karena kondisinya yang sebagian besar masih
normal.

Perbedaan banyaknya densitas zooxanthellae sehat pada setiap spesies terumbu


karang di tentukan oleh eh faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi,
kecerahan, kandungan kalsium karbonat, turbiditas, sedimentasi, salinitas, pH dan
nutrient. Glynn (1990) menjelaskan bahwa di alam tidak bisa dihindari perubahan
densitas zooxanthella di dalam jaringan tubuh karang, dimana densitas
zooxanthella yang dikandung karang berfluktuasi sepanjang waktu, karena di alam
berbagai faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi densitas zooxanthella bisa
ditemukan setiap waktu. Secara relatif sedikit saja perubahan parameter lingkungan
laut secara drastis mempengaruhi stabilitas zooxanthella

Barnes, D.J and B.E. Chalker. 1990. Calcification and photosynthesis in reef-building
corals and algae. In Z. Dubinsky (Ed) Ecosystems of the World. Vol. 25 Coral Reefs.
New York : Elsevier, pp 109-131
Buddemier, R.W. and Fautin, D.G. 1993. Coral Bleaching as an adaptive mechanism.
BioScience 43:320-326
Costa, C.F. & F.D. Amaral. 2000. Density and size differences of symbiotic
dinoflagellates from five reef-buliding coral species from Brazil. Proceedings of the
6th International Coral Reef Symposium: 159-162
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan MJ, Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Pratama, Jakarta.

Davies, P.S. 1993. Endosymbiosis in marine cnidarians. In DM John, S.J. Hawkins and
J.H. Price (Eds). Plant-animal interactions in the marine benthos. Oxford, UK
Clarendon Press, pp 551-540.
Falkowski , P.G.; Z. Dubinsky; L. Muscatine and J.W. Porter. 1984. Light and the
Bioenergetic of a Symbiotic Coral. Bioscience 34 : 705 709
Glynn P. W. 1990. Coral Mortality And Disturbance In Coral Reefs In The Tropical
Eastern Pacific.Pp. 55-126 in Global Ecological Consequences of the 1982-83 El-Nino
Southern Ocillation.P. W. Glynn ed. Elsevier, Amsterdam.
Juniarti, R., Alsyah N.E dan Munasik. 2005. Study Perubahan Densitas Zooxanthella
Pada Translokasi Dan Transplantasi Karang Acropora Aspera Dan Stylophora
Pestillata di Jepara. Jurnal Ilmiah Pengembangan Ilmu Kelautan. Volume 10. No. 4
Desember 2005. Hal 221-228
Muller-Parker G. and DElia C. 1997. Interactions between corals and their symbiotic
algae. In Birkeland C (Ed) Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York,
pp : 96- 113
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman, M.,
Koesoebiono, D.G. Begen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo [Penerjemah]. Terjemahan
dari: Marine Biology: An Ecological Approach. PT. Gramedia. Jakarta
Porter, J.W., Fitt, W.K., Spero, H.J., Rogers, C.S and White, M.W. 1989. Bleaching in
coral reefs : Physiological and stable isotope response. Proc. Nat. Acad. Sci. U.S.A.
86:9342-9346.
Rachmawati, R. 2001. Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi
Kelautan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta
Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta
Veron, J. E. N. 1995. Coral in space and time. Australian Institute of Marine Science
Cape Ferguson, Townsville, Quensland.

Anda mungkin juga menyukai