Tahun Akademik
2021/2022
• Prodi : D-3 Dosen : Dr. apt. Zuhelmi Aziz, M.Si.
• Fakultas : Farmasi Esti Mulatsari., M.Sc
• Semester: III (TIGA)
A. PENDAHULUAN
B. TEORI DASAR
C. INSTRUMENTASI
D. APLIKASI
4. PENDAHULUAN
◼ Suatu zat pada suhu kamar umumnya berada pada level energi tingkat dasar
(ground state energy level).
◼ Emisi cahaya terjadi bila zat berada pada level energi eksitasi (excited state
energy level).
◼ Ada 3 cara mengeksitasi zat:
1. Reaksi Kimia
a. Bioluminesensi (bioluminescense): bakteri, fungi, kunang-kunang.
b. Kemiluminesensi (chemiluminescence): oksidasi luciferins dengan
katalisator enzim, reaksi ATP dengan ekstrak kunang-kunang.
2. Dengan Panas: nyala api atau plasma pada Emission Spectroscopy.
3. Dengan Cahaya: Fotoluminisensi (Photoluminescnce)
a. Fluoresensi : relaksasi berlangsung lebih kurang 10-9 detik.
b. Fosforesensi: berlangsung lebih lama, 10-4 detik sampai berhari-
hari
◼ Fluoresensi mengikuti Hukum Stoke yaitu energi cahaya yang
diemisikan oleh suatu zat lebih kecil (λ lebih besar) dari energi
cahaya yang diserap waktu proses eksitasi (λeksitasi < λemisi).
Sebagian energi cahaya yang diserap hilang karena kolisi dengan
molekul pelarut (vibrational relaxation) atau perpindahan energi dari
second excited electronic state ke first excited electronic state
(internal conversion).
◼ Keunggulan:
-Sensitif: batas deteksi 1000 X spektrofotometri UV-Vis.
-Selektif: Komponen lain tidak mengganggu.
-Analisis campuran dengan λem beda dimungkinan.
◼ Kelemahan:
- Penggunaan terbatas untuk senyawa berfluoresensi.
- Intensitas fluoresensi dipengaruhi oleh intensitas sumber cahaya.
- Investasi mahal.
B. TEORI DASAR
◼ Gambar 3.1 Transisi Energi pada Fluoresensi
Second excited
λex< λem
VR electronic state
Sebagian energi eksitasi
VR
IC hilang karena adanyai
VR
konversi internal dari
VR level energi eksitasi
First excited VR tingkat dua ke level
electronic state energi eksitasi tingkat
VR
satu dan/atau karena
terjadinya kolisi dengan
Eex= λex pelarut atau yang
Eex= λex
dikenal dengan relaksasi
vibrasional. Oleh karena
Ground electronic state Eem= λem
With vibrational sublevels Fluoresensi
itu λ eksitasi lebih kecil
dar λ emisi atau
fluoresensi.
VR= Vibrational
relaxation
IC = Internal
conversion
TEORI DASAR (lanjutan)
◼ Peryaratan Fluoresesnsi
- Molekul menyerap cahaya dengan kuat: senyawa
aromatik, heterosiklik, dan sistem konyugasi.
- Transisi energi hingga ketingkat kondisi eksitasi
terendah pasangan elektron singlet adalah transisi
∏ ∏*.
- Molekul yang tereksitasi kembali ke kondisi
dasar (ground state) dengan melepaskan cahaya
dengan waktu relaksasi lebih kurang 10-9 detik.
Kebanyakan zat kembali ke kondisi dasar dengan
melepaskan panas sehingga tidak berfluoresensi.
TEORI DASAR
◼ Intensitas Fluoresensi
Fraksi energi radiasi eksitasi yang diemisikan kembali sebagai fluoresensi
dinamakan efisiensi fluoresensi atau quantum yield of fluorescense, Φ.
Φ = Jml foton (cahaya) yang diemisikan / Jml. foton (cahaya) yang diserap
λex λex
#
Larutan encer
Larutan pekat
C,bpj
◼ Quenching
-Quenching adalah deaktivasi non-radiatif dari molekul tereksitasi oleh
suatu zat sehingga menurunkan intensitas fluoresensi. Zat tersebut
dinamakan quencher.
Molekul Molekul
analit + Quencher analit + Quencher + Panas
terksitasi ground state
- Quencher dapat berasal dari matrik sampel maupun pelarut. Oksigen yang
terlarut dalam pelarut yang digunakan adalah quencher yang serius bagi
beberapa senyawa hidrokarbon aromatik yang berfluoresensi. Oleh
karena itu larutan dibebaskan dari oksigen.
◼ Sensitivitas
- Limit deteksi 1000 X UV-Vis Spectrophotometry: bpm (ppb).
Limit deteksi UV-Vis Spektrophotometry = 10-8 M (A = 0,001, Єmax =
105). Pada kondisi ideal limit deteksi Spektrofluorometri dapat
mencapai 10-12M
◼ Selektivitas
- Tidak semua zat yang menyerap cahaya berfluoresensi.
- Menggunakan dua panjang gelombang pilihan
(λex dan λem).
- Identitas zat dapat dibedakan berdasarkan spektrum
eksitasi (λex tertentu vs Intensitas emisi pada rentang
λem tertentu) dan spektrum fluoresensi (Intensitas
fluoresensi pada λem tertentu vs λex dengan rentang
tertentu).
- Selektivitas dapat ditingkatkan dengan tehnik dervatif.
TEORI DASAR (lanjutan)
v2
Excited
v1
state
v0
λex λem
v2 Ground
v1
v0 state
INSTRUMENTASI
λex Sel
3 Silika
1 2
Sumber Monokromator
Cahaya Eksitasi* Monokromator
Xe 4 Emisil*
λem
* Fluorometer atau
Photofluorometer 5 6 7
menggunakan Detektor Amplifier Readout
filter gelas. -PM Tube Printer /
-Diode Array Recorder
INSTRUMENTASI (lanjutan)
1. Sumber Cahaya
Intensitas cahayanya harus kuat dan stabil,
karena berpengaruh linier terhadap intensitas
fluoresensi. Cahaya UV dari lampu tersebut
berbahaya bagi mata.
a. Filter: Filter gelas menyerap hampir semua cahaya dan meneruskan cahaya
pada daerah panjang gelombang tertentu yang sempit, misalnya dengan lebar
pita radiasi 50-100nm. Filter dapat diganti-ganti tergantung λmax analit. Filter
emisi digunakan untuk menyerap cahaya hamburan dari cahaya eksitasi.
Instrumen klasik yang menggunakan filter dinamakan Fluorometer atau
Filter Fluorometer.
b. Monokromator
Instrumen moderen atau Spektrofluorometer menggunakan
monokromator sebagai pengganti filter. Sebagai monokromator
digunakan kisi (grating). Dengan demikian Spektrofluorometer
dapat digunakan untuk membuat spektrum eksitasi maupun emisi
(fluoresensi). Disamping untuk identifikasi, kedua spektrum itu
dapat digunakan untuk menetapkan λex dan λem optimum.
Spektrum emisi sering diga anggu oleh emisi radiasi yang berasal dari
cahaya hamburan (scatterred radiation) dari pelarut, yaitu Rayleigh scattering
dan Raman scattering.
Rayleigh scattering muncul pada λex, lalu Raman scattering pada λ yang
lebih panjang, kemudian fluoresensi. Misalnya, spektrum emisi larutan asam
salisilat dalam air dengan λex 300 nm, memperlihatkan maksima pada 300
nm (Raleigh), 333 nm (Raman) dan 402 nm (fluoresensi).
ISTRUMENTASI (lanjutan)
3. Sel
Sel berfungsi sebagai wadah larutan sampel untuk pengukuran. Sel
terbuat dari gelas atau silika, keempat sisi transparan, tebal 1 cm.
- Gunakan sel dan pelarut yang cocok untuk fluoresensi.
- Sel gelas umumnya dapat digunakan pada spektrofluorometri, namun
dibawah 320 nm diperlukan sel kwarsa atau silika.
4. Detektor
Detektor berfungsi mengubah energi cahaya menjadi energi (signal)
listrik. Katode terbuat dari bahan yang mudah melepaskan elektron
bila kena cahaya. Fluorometer biasanya menggunakan detektor phototube.
Spektrofluorometer menggunakan photomultiplier tube, atau diode array
detector.
INSTRUMENTASI (lanjutan)
4. Detektor (lanjutan)
a. Phototube: Bila kena cahaya, katode yang fotosensitif melepaskan elektron
hv ke anode yang dipercepat oleh perbedaan potensial diantara kedua
elektroda tersebut sehingga terjadi arus listrik.
Anode
•
Cathode
b. Photomultiplier Tube: Lebih responsif dan sensitif dari phototube karena
-I
To
mampu menggandakan elektron yang dilepaskan katode. Terdiri dari satu
•
Amplifier
seri elektrode (dynode) dengan potensial yang makin positif dibandingkan
R
dengan katoda. Fotoelektron primer dari katode difokuskan ke elektrode
• kedua yang kemudian dilipatgandakan menjadi elektron-elektron
sekunderyang kemudian lebih dilipatgandakan lagi oleh elektrode ke
Phototube tiga yang lebih positif dan demikian seterusnya ke elektrode berikutnya
hingga dihasilkan arus listrik yang cukup kuat. Untuk meningkatkan
sensitivitas, arus tersebut diperbesar dengan amplifier. Peningkatan
sensitivitas detektor, memungkinkan pengecilan celah (slit)
monokromator agar resolusi sprektra meningkat.
c. Diode Array: Sangat responsif dan sensitif serta mampu
menghasilkan satu set data tiga dimensi, misalnya
hubungan antara intesitas fluoresensi, λex dan λem.
Hal ini sangat bermanfaat pada analisis campuran.
Komputerisasi memungkinkan penyajian atau
perekaman data analisis.
INSTRUMENTASI (lanjutan)
◼ Contoh
1. Senyawa anorganik, ion uranil UO22+, khelat metal Al, Be.
2. Adrenolutin yang berasal dari adrenlin, dalam suasana alkalis
berfluoresensi kuat (λex 360 nm, λem 530 nm).
3. Vitamin: Riboflavin, Piridoksin danTiokrom yang berasal dari
Tiamin setelah dioksidasi dengan larutan basa ferisianida (λex
365 nm, λem 440 nm .
4. Asam salisilat, Asetosal, Amfetamin, Barbiturat, Kuinin..
5. Asam amino: Tirosin, Triptofan. Asam amino yang lain
tidak berfluoresensi, tetapi derivatisasi dengan
fluoresamin atau dansil klorida [5-(dimetilamino)naftalen-
1-sulfonil klorida) membentuk derivat yang
berfluoresensi kuat.
6. Polutan: Hidrokarbon aromatik polisiklik.
APLIKASI (lanjutan)
◼ Penetapan Kadar Larutan Kuinin Sulfat
Larutan Stok
Timbang saksama lebih kurang 10 mg kuinin sulfat baku, larutkan
dalam asam sulfat 0,1N hingga 1000 ml.
Larutan Uji
Sampel larutan kuinin sulfat.
Prosedur
1. Buat satu seri larutan dengan mengencerkan berturut-
turut 1.0, 2.0, 3.0, 4.0 dan 5.0 ml Larutan Stok hingga
100 ml.
2. Buat spektrum eksitasi pada 200-400nm λex maksimum
dengan menggunakan larutan seri terpekat.
3. Buat spektrum emisi pada 400-600 nm dengan λem 450
nm. Set alat dengan larutan asam sulfat 0,1N hingga
F = 0 pada λex maksimum dan λem 450 nm .
4. Ukur fluoresensi seri larutan tersebut di atas.
5. Buat kurva kalibrasi.
6. Ukur fluoresensi larutan sampel.
7. Hitung kadar (%) larutan sampel.