Anda di halaman 1dari 2

‘Bisakah kamu mengambil fotoku’ terdengar suara yang familiar dari kejauhan.

Saat itu aku


sedang berjalan besama anak-anak Talekoi sambil menenteng kamera Fujifilm aX10, kamera
mirorrles yang dirancang khusus untuk para pemula. Setelah menemukan sumber suara yang
memanggil ternyata Ineh Irian yang sedang berdiri di jembatan kayu tepat disamping
rumahnya. Dia sudah siap berdiri dengan pose kecenya, dua jari diarahkan disamping wajahnya
lengkap dengan senyum simpulnya.

Setiap kali kami ke desa Talekoi, Ineh Irian selalu dengan ramah mengajak kami menginap
dirumahnya. Dia tinggal sendirian, jauh dari keramaian desa. Seingatku hanya sekali kami tidur
dirumah Ineh, itupun hanya satu malam. Kala itu, kami sudah menginap di rumah pak Parestu,
tetangga satu-satunya Ineh. Berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya, kali ini Ineh
Irian tidak lagi berbagi canda ketika kami sampai ke desa. Suaranya serak karena batuk,
matanya redup, dia terlihat kelelahan. Jadi malam harinya aku putuskan untuk mengajak Rina
dan Rini, dua siswa SMA yang jadi relawan tari kami untuk tinggal bersama Ineh.

Ketika malam itu kami mengetuk pintu rumah ineh, dia langsung menyiapkan kasur, dan
selimut, dan obat nyamuk. Ada speaker besar yang ketika di hidupkan akan berkelap kelip
seperti disko dirumah Ineh. Katanya itu untuk mengusir sepi. Rumah kayu Ineh begitu
sederhana. Pasti bangunan tua itu memegang banyak kenangan.

Sepanjang malam aku terjaga karena Ineh Irian seperti ‘tersiksa dengan batuknya’. Terkadang
aku dengar dia mengalami sesak nafas. Sambil memijat tangan, kaki dan punggungnya aku
duduk di atas kasur Ineh, berharap itu sedikit bisa membuatnya merasa lebih baik. Setiap kali
dia terbangun untuk mengeluarkan dahak yang sepertinya menjerat dadanya, aku
membuatkannya minuman. Melihat ineh malam itu benar-benar mengiris jantungku.
‘Bagaimana ya jika dia sakit lagi, siapa yang akan merawat’?

Syukurnya ketika mentari pagi terbit, kondisi ineh irian menjadi sangat baik. Tapi sejak saat itu,
setiap kali ke Talekoi, aku selalu menyempatkan ke rumah indeh dengan membawa kue, untuk
diam-diam menge-chek kondisi Ineh Irian. Mungkin itu sebabnya dia selalu menangis ketika
kami pulang ke Palangka.

Tapi tanpa pernah aku katakan padanya, aku sangat senang bertemu dengan Ineh Irian. Dalam
kesederhanaannya dia selalu berbagi dan memberi yang terbaik kepada kami. Dia juga selalu
memberkati kami dengan doa-doa yang ia tuturkan ketika menghantarkan kami pulang.

Hari ini berita duka dikirimkan kepadaku, Ineh Irian telah berpulang ke Yang Kuasa. My heart
stopped when I read the message. Aku pikir aku masih punya waktu untuk mengirimkan baju
rajut yang ia inginkan sebagai hadiah natal. Dan dalam doa, aku berharap dia berharap dalam
tenang dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan.

Terimakasih untuk segalanya Ineh Irian. Love Sue


‘Bisakah kamu mengambil fotoku’ terdengar suara familiar Ineh Irian dari kejauhan. Dia sedang
berdiri di jembatan kayu tepat disamping rumahnya, siap dengan pose kecenya, dua jari
diarahkan disamping wajah lengkap dengan senyum simpulnya.

Hari ini berita duka dikirimkan kepadaku, Ineh Irian telah berpulang ke Yang Kuasa. My heart
stopped when I read the message. Aku pikir aku masih punya waktu untuk mengirimkan baju
rajut yang ia inginkan sebagai hadiah natal. Dan dalam doa, aku berharap dia tenang ‘disana’
dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan.

Setiap kali kami ke desa Talekoi, Ineh Irian selalu dengan ramah mengajak kami menginap
dirumahnya. Dia tinggal sendirian, jauh dari keramaian desa. Seingatku hanya sekali kami tidur
dirumah Ineh, itupun hanya satu malam. Kala itu, kami sudah menginap di rumah pak Parestu,
tetangga satu-satunya Ineh. Tapi suara serak Ineh yang terus diringi batuk membuatku
memutuskan untuk mengajak Rina dan Rini, dua siswa SMA yang jadi relawan tari kami untuk
tinggal bersama Ineh untuk satu malam.

Saat kami masuk ke rumah Ineh, dia langsung menyiapkan kasur, selimut, dan obat nyamuk.
Ada speaker besar di rumah sederhana Ineh. Katanya untuk mengusir sepi. Ada banyak foto di
dinding, rumah tua itu seperti memegang banyak kenangan.

Sepanjang malam aku terjaga karena Ineh Irian seperti ‘tersiksa dengan batunya’. Sambil
memijat tangan, kaki dan punggungnya aku duduk di atas kasur Ineh, berharap itu sedikit bisa
membuatnya merasa lebih baik. Setiap kali dia terbangun untuk mengeluarkan dahak yang
menjerat dadanya, aku membuatkannya minuman. Hanya itu yang bisa aku lakukan.

Melihat ineh malam itu benar-benar mengiris jantungku. ‘Bagaimana ya jika dia sakit lagi, siapa
yang akan merawat’? Itulah mengapa setiap ke Talekoi, kami selalu menyempatkan ke rumah
Ineh untuk mengecek kondisinya.

Tanpa pernah aku katakan padanya, aku sangat senang bertemu dengan Ineh Irian. Dalam
kesederhanaannya, dia selalu berbagi dan memberi yang terbaik kepada kami. Dia juga selalu
memberkati kami dengan doa-doa yang ia tuturkan sambil meneskan air mata ketika
menghantarkan kami pulang.

Terimakasih untuk segalanya Ineh Irian. Love Sue

Anda mungkin juga menyukai