Anda di halaman 1dari 12

“Volume 2, No.

1, Mei 2021”

PERSPEKTIF FIQIH TERHADAP LINGKUNGAN

Oleh:
Faiz Zainuddin
faizzainuddin130587@gmail.com
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Universitas Ibrahimy Situbondo

Abstract
Fiqh as Islamic law that regulates the pattern of human relations with God
and each other, takes part in discussing the relationship between humans
and their environment. The role of fiqh in the matter of efforts to maintain
environmental harmony by providing rules or codes of ethics for human
relations with their environment. Such as the prohibition of damaging the
environment and the obligation to preserve the environment. The
arrangement of environmental law is based on tafsiliy arguments, namely
al-Qur'an-al-Hadith, and general principles of legal legislation.
When fiqh takes part in environmental preservation, it is hoped that there
will be new awareness for all mukallaf, especially awareness related to
environmental problems. They have a high concern for the environment.
Giving rights that belong to the environment, such as the right to live and
the right to develop, not to seize and exploit. That way the environment
remains sustainable, beautiful and conducive. Humans and all other
creatures will peacefully inhabit this rice field. There is no longer the
threat of global catastrophe that currently haunts people's days.
Keywords: Perspective, fiqh, environment
A. Pendahuluan
Diakui secara empiris bahwa al-Qur'an dan hadist sebagai sumber
ilmu Islam pertama, bukan ilmu pengetahuan. Diharapkan bisa membahas
tuntas persoalan-persoalan yang terjadi di dunia ini secara mendetil. Apalagi
masalah ilmu alam dan teknologi (termasuk di dalamnya juga masalah
lingkungan hidup). Tapi pada hakekatnya al-Qur'an dan al-hadist tidak
menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.1 Kita jumpai di beberapa
tempat ayat al-Qur'an dan al-hadist mendorong manusia agar terus menggali
ilmu pengetahuan agar menemukan kebenarannya.2 Bahkan prinsip-prinsip

1
Al-Qur’an mendukung perkembangan ilmu dan teknologi bahkan memberikan dasar-
dasarnya untuk kemudian dijadikan pijakan penelitian. Tapi al-qur’an juga mendambakan
kelestarian lingkungan hidup. Teknologi boleh berkembang pesat, dan lingkungan hidup tetap
lestari. Pandnagan ini dikenal dengan pandangan meta-sosial-sistem, Lihat: Mujiono Abdillah,
Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 2001, hlm: 127
2
Kitab suci al-Qur'an memotivasi untuk memikirkan ayat-ayatnya, sebagaimana yang
termaktub dalam surah shad (38): 29: ulul albab adalah orang-orang yang memiliki akal murni
yang tidak diselubungi oleh 'kulit', yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam
berpikir. Berkah didalam makna-makna yang dikandungnya, karena al-Qur'an adalah sumber

JURNAL AL-HUKMI 41
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

umum tentang ilmu pengetahuan telah dipampangkan oleh al-Qur'an,


demikian juga ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah tidak bertentangan
dengan al-Qur'an.3
Namun demikian bukan berarti Islam bungkam terhadap persolan
lingkungan. Al-Qur'an4 dan al-hadist berulang kali menitik beratkan
perhatiannya terhadap persoalan bencana. Kata musibah ditemukan 10 kali
dalam al-Qur'an disamping bentuk kata lain yang semakna dengannya, yang
keseluruhannya berjumlah 76 kali.5
Tapi para ulama tafsir seluruhnya menghubungkan terjadi bencana
dengan kemaksiatan, kedhaliman dan kekufuran. Masih belum ditemukan
dalam literatur tafsir, mufassir (penafsir) yang menghubungkan terjadi
bencana dengan hilangnya stabilitas ekologi (lingkungan ) atau
keseimbangan alam. Padahal al-Qur'an sejak awal mengatakan bahwa
bencana terjadi bukan karena kedhaliman tuhan, tapi karena berbuatan
tangan jahil manusia sendiri.6 Pada ayat lain Allah juga mengaitkan musibah
dengan perbuatan manusia. Berupa perbuatan maksiat, pengrusakan alam,
dan perbuatan mungkar lainnya.7
Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam semesta.8 Islam tidak
hanya memedulikan persoalan ukhrawi (akhirat), tapi juga sangat peduli
terhadap persoalan duniawi (dunia)9. Bahkan Islam menganjurkan kepada

yang tak kering, sehingga betapun ditafsirkan selalu saja ada makna baru yang belum terungkap
sebelumnya. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 12, 138
3
Ibid, hal: 27
4
Lafadz al-Qur'an berakar dari kata qa-ra-a, sewazan dengan al-qhufron. Secara
terminologi al-Qur'an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan melalui perantara ruh al-amin
(jibril) ke dalam kalbu Rasulullah dengan menggunakan bahasa arab dan dengan keluasan
samudera maknanya, agar dijadikan hujjah dalam pengakuannya sebagai rosul, dan dijadikan
sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia, serta bernilai ibadah yang
membacanya.lihat, Opcit, Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Bairut: Dar al-'Ilm, 1978), 23
5
M. Qurasy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, Lentera Hati, Jakarta Selatan, Cet.I, April 2006
6
Qs. Asy-syura [42]: 30. Dan apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesahanmu)
7
Qs: Ar-Rum: 41. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagai dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” Secara terperinci, Dzunnun al-
Mishry menjelaskan bahwa, perbuatan manusia yang bisa menyebabkan terjadinya musibah
antara lain (1) lemahnya komitmen untuk melakukan amal kebajikan (2) perbuatan manusia
selalu diperbudak oleh hawa nafsunya (3) suka berangan-angan dan lupa kepada akhirat
padahal ajalnya sudah hampir tiba (4) mendahulukan kepentingan dan kehendak sendiri
ketimbang mendapatkan ridla Allah (5) Meninggalkan ajaran-ajaran Rasulullah dengan menuruti
bisikan nafsunya (6) manusia banyak mengikuti pola pikir (hujjah) syaithani yang sesat,
sementara kebenaran ditinggalkan bahkan ditutup-tutupi (al-Risalah al-Qusyairiyyah, 101)
8
Qs: (18): 107: artinya:" dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melaikan
sebagai rahmat bagi alam semesta."
9
Dalam hadist diterangkan, yang artinya: "beramal engkau untuk kepentingan duniamu
seakan engkau akan hudup selamanya dan bermal engkau untuk akhiratmu seakan engkasu
akan mati besok". Hadist ini menganjurkan kepada umat Islam agar kepentingan dunia dan

JURNAL AL-HUKMI 42
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

manusia agar menggapai kebahagian keduanya (dunia-akhirat) secara


balance(seimbang). Untuk menggapai kebahagian ini Islam mengaharuskan
kepada pemeluknya untuk tekun beribah (ritual) menyembah Allah, serta
senantiasa berbuat kebajikan (amal shaleh). Amal saleh tidak hanya kepada
sesama manusia tapi juga terhadap ekologi.
Kepedulian Islam10 terhadap harmoni lingkungan hidup, bisa dilihat
dalam al-Qur'an dan al-hadist. Dalam hadist kebersihan dihubungkan dengan
sesuatu yang sangat esensial yaitu iman.11 Orang yang beriman tentu akan
selalu menjaga kebersihan lingkungan (darat, laut dan udara). Jika kebersiah
lingkungan bisa terjaga maka akan tercipta suasana yang sejuk dan
menyenangkan. Udara, air (laut dan sungai) bebas polusi, dan lingkungan
tanpak asri. Penghuni bumi pasti akan sehat.
Disamping itu juga al-Qur'an mengutuk orang-orang yang berbuat
kerusakan di muka bumi (tufsiduna fil-ard).12 Al-qur'an menganjurkan
kepada manusia agar senantiasa berbuat kebaikan (amalu ash-shaleh) baik
kepada sesama, binatang maupun lingkungan hidup. Dunia diciptakan oleh
Allah beserta sistemnya yang teratur diperuntukkan kepada kemaslahatan
manusia. Darat dan laut ditundukkan oleh Allah agar manusia bisa
memanfaatkannya. Namun demikian manusia tidak boleh serta merta
mengeruk kekayaan alam tanpa batas. Sebab jika kekayaan alam terus
diekploitasi tanpa henti maka akan kehilangan keseimbangannya. Akibatnya
alam tidak lagi bisa memberikan manfaat bagi manusia, bahkan justru
sebaliknya. Alam akan menyuguhkan malapetaka.
Untuk itu Allah menciptakan manusia di muka bumi ini disamping
agar ia menyembah keda-Nya, juga serbagai pengganti Allah (khalifah Allah
fil-ard)13. Dalam arti manusia diberi wewenang oleh Allah untuk mengelola,
mengatur dan memanfaatkan (isti'mar fi al-ard)14 sumber daya alam (SDA)
sesuai dengan kebutuhannya. Tidak sampai melampaui batas kewajaran.
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Dari paparan di atas pada hakikatnya Islam agama yang sangat peduli
dan ramah terhadap ekologi (al-biah). Tapi sampai saat ini masih belum ada
satu formulasi kongkrit dan sistematis secara tematik (maudhui'e)

akhirat dipenuhi secara seimbang, tanpa menyampingkan salah satunya. (Faidul al-Qadir, juz, II:
46)
10
Islam ialah agama yang dibawa oleh Nabi muhammad SAW. yang bertujuan untuk
menyelamatkan manusia baik di dunia ('ajal) maupun di akhirat (ajal).
11
Dalam hadist dijelaskan, "kebersihan bagian dari iman". Berarti jika seseorang tidak
menjaga kebersihan keimannya tidak sempurna.
12
Lihat Qs; al- Qashash [77], al-Baqarah: [11] dan al-A'raf: [55 & 84]. Dalam ayat ini Allah
mengutuk orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Sebab Allah telah
memperbaikinya dan mengaturnya dengan baik dan bijaksan.
13
Qs: Al-baqarah: 30. Artinya: "sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah (Adam)
dimuka bumi."
14
Qs: Hud (11): 61 "Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan
kamu sebagai pemakmurnya". Maksudnya manusia dijadikan penghuni bumi untuk menguasai
dan memakmurkanya.

JURNAL AL-HUKMI 43
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

membahas masalah lingkungan. Padahal masalah kelestarian lingkungan


merupakan kebutuhan utama yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Tujuannya
tak lain demi kelangsungan mahluk hidup (manusia) di dunia.
Maka dari sisnilah peneliti menemumakn rumusan bagaimana
pandangan fikih terhadap harmonisasi lingkungan. Untuk mengukur
keberhasilan suatu penelitian, banyak ditentukan oleh metode yang
digunakan. Berdasarkan masalah yang akan diteliti, data yang dikumpulkan
bersifat kualitatif karena berupa pemikiran, yaitu rekonstruksi fiqh ekologi
(lingkungan) dalam perspektif maqasid asy-syari'ah. Konsep ini akan
dibangun berdasarkan dalil-dalil al-Qur'an dan al-hadist yang secara khusus
menyinggung masalah ekologi. Sehingga Islam memiliki satu panduan
khusus, kongkrit, sitematis berkenaan dengan masalah lingkungan. Peneliti
istilahkan dengan "fiqh lingkungan" (fiqh al-biah).
B. Pembahasan
1. Pandangan Fiqh Terhadap Harmonisasi Lingkungan
Fiqh merupakan penjabaran dari kandungan nash (al-Qur’an15 dan al-
Hadits).16 Sebagai penjabaran dari nash, fiqh berisi sekumpulan rumusan
hukum praktis yang diproduk oleh para mujdtahid dari dalil-dalil nash
parsial. Hukum yang tersimpul dalam kerangka fiqh seluruhnya bermuara
terhadap kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat. hukum takkan
pernah terlahir tanpa membawa maslahah. Asy-syathiby (w. 790 H)
mengatakan, “bahwa pada prinsipnya hukum disyari’atkan oleh Allah demi
kemaslahatan manusia. Inilah puncak tujuan (ghayah al-makshudah) hukum
Islam.”17 Selaras dengan perkataan Ibnu Qayyim, “seluruh syari’at
mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah”. Karena itu,
masalah ini ditekuninya dengan serius sehingga menghasilkan banyak karya-
karya yang menjadi solusi bagi umat Islam.18
Maslahah secara etemologi berarti; manfaat, keuntungan, kenikmatan,
kegembiraan atau upaya untuk mendatangkan hal itu.19 Secara terminologi,
maslahah adalah sebuah upaya untuk mendatangkan kebaikan dan
menghindar dari kerusakan. Karena maslahah puncak tujuan dari legesalasi
hukum, prinsipnya maqasid asy-syari’ah sifatnya qath’i, universal dan
konstan. Wasilah untuk mencapai maqasid sifatnya dhanny.20 Barometer

15
Lafadz Al-Qur’an berakar dari kata qa-ra-a, sewazan dengan al-qhufron. Secara
terminologi Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan melalui perantara ruh al-amin
(jibril) ke dalam kalbu Rasulullah dengan menggunakan bahasa arab dan dengan keluasan
samudera maknanya, agar dijadikan hujjah dalam pengakuannya sebagai rosul, dan dijadikan
sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia, serta bernilai ibadah yang
membacanya.lihat, Opcit, Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Bairut: Dar al-'Ilm, 1978), 23
16
Hadist adalah segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari nabi yang
berhubungan pensyari’atan hukum.
17
Asy-Syathiby, Al-Muafaqot Fiy Usul Asy-Syari’ah, juz II, hlm: 6
18
http://www.immasjid.com/?pilih=lihat&id=299
19
Dr. H. Abu Yazid, LL.M, Islam Akomudatif, LKiS, hlm: 75
20
Lihat: DR. KH. Sahal Mahfudh, Ahkamu Al-Fiqoha’, hal: I

JURNAL AL-HUKMI 44
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

untuk menentukan maslahah dalam syari’ah (fiqh) ialah tercapainya


kebahagian kehidupan dunia dan akhirat.
Maslahah ada tiga macam21 yaitu; Pertama, maslahah ad-daruriyat
(kemaslahatan primer), yaitu kemaslahatan yang menjadi acuan utama bagi
implementasi syari’at islam. Jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan
ketidak adilan yang mengakibatkan ambruknya tatana sosial. Contoh
maslahah ini terangkum dalam bingkai kulliyat al-khams (lima prinsip dasar).
Kedua, maslahah al-hajiyat (maslahah sekunder), yaitu maslahah yang tidak
menyebabkan ambruknya tatanan sosial dan hukum, melaikan sebagai upaya
untuk meringankan bagi pelaksanaan sebuah hukum. Misalnya dalam hal
ibadah diberikan despensasi (rukhsoh) apabila dalam pelaksanaan terdapat
kesulitan. Ketiga, maslahah at-tahsiniyat (maslahah suplementer), yaitu
maslahah yang memberiakn perhatian kepada masalah etika dan estetika.
Misalnya ajaran tentang kebersihan, berhias diri, shadaqah dan bantuan
kemanusian.
Lima prinsip dasar (kulliyatat al-khams) di atas adalah, hifdhu ad-din
(memelihara agama), hifdhu an- nafs (menjaga jiwa), hifdlu al-‘aql (menjaga
akal), hifdhu al-mal (menjaga harta), dan hifdhu an-nasl (menjaga
keturunan).22 Kelimanya menjadi acuan utama dalam merealisasikan
kemaslatan hidup manusia dari dunia - sampai akhirat. Jika salah satu di
antara yang lima tidak tercapai, berarti maslahah masih belum terwujud.
Mengingat pentinganya menjaga lingkungan hidup, dipandang perlu
untuk memasukkan persoalan lingkungan hidup (ekosistem) kedalam
bingkai kulliyat al-khams. Karenanya kalangan progresip NU, menambahkan
hifdlu al-biah (memelihara lingkungan) dalam bingkai mabadi’ at-tasyri’iyat
(prinsip-prinsip legeslasi hukum).23 A. Khozin Nasuha menambahkan24 hifdlu
al-biah (memelihara ekosistem). Sebab kalau hidup manusia perlu
dipertahankan, maka kelestarian lingkungan harus dijaga pula.25 Mana
mungkin kemaslahatan itu seluruhnya bisa tercapai tanpa didukung oleh
kebaikan dan kelestarian lingkungan hidup.
2. Hukum Menjaga Lingkungan
Menjaga keharmonisan dan keseimbangan lingkungan hidup
merupakan pilar penting terwujudnya kehidupan manusia. Manusia tidak
akan bisa hidup dengan baik tanpa didukung oleh lingkungan yang baik.
Sebab manusia bagian kecil dari lingkungan dan ia tak pernah bisa lepas dari
lingkungan kosmos sekalipus mati. Demikian juga seluruh mahluk hidup di

21
Lihat: Dr. Wahbah az-Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islamy, Juz, II, hlm: 755
22
Ibid,
23
Lihat: DR. KH. Sahal mahfudh, ahkamu al-fiqoha’, hal: I
24
Prof. drs. H. A. djazuli (dosen usul fiqh IAIN bandung) mengatakan perlunya
menamabahkan hifdu al-ummah (memelihara keutuhan ummat) sementara kalangan progresip
NU menambahkan, hifdu al-bi’ah, al-‘addhalah, al-syura, al-musawah wa at-tawazun, dan at-
tasamuh. Lihat: DR. KH. Sahal mahfudh, opcit, hal: I
25
M. Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Al-
Masa’il, Lakpesdam, cet Islam, 2002, hlm: 179

JURNAL AL-HUKMI 45
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

dunia ini. Semuanya sangat terikat oleh ruang dan waktu. Jika lingkungan
hidup stabil dan harmonis seperti sedia kala (awal penciptaan), maka
kualitas kehidupan akan semakin baik. Sebaliknya jika lingkungan kian
terpuruk, maka kualitas kehidupan akan semakin terpuruk pula.
Bagi orang mukallaf dilarang melakukan tindakan yang dapat
merusak lingkungan hidup. Hukum menjaga lingkungan adalah fardlu
kifayah.26 Semua orang, baik individu maupun kelompok dan perusahakan
bertanggung jawab atas pelestarian lingkungan hidup, dan harus dilibatkan
dalam penanganan kerusakan lingkungan hidup. Hanyasanya yang paling
bertanggung jawab dan menjadi pelopor atas kewajiban ini adalah
pemerintah.27
Hukum fardhu kifayah dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup
telah disokong oleh sebuah upaya kalangan progresip NU, menambahkan
hifdlu al-biah (memelihara lingkungan) dalam bingkai mabadi’ at-tasyri’iyat
(prinsip-prinsip legeslasi hukum).28 A. Khozin Nasuha menambahkan29 hifdlu
al-biah (memelihara ekosistem). Sebab kalau hidup manusia perlu
dipertahankan, maka kelestarian lingkungan harus dijaga pula.30 Mana
mungkin kemaslahatan itu seluruhnya bisa tercapai tanpa didukung oleh
kebaikan dan kelestarian lingkungan hidup.
Dengan memasukkan hifdlu al-biah (memlihara lingkungan) dalam
bingkai mabadi’ at-tasyri’, maka diwajibkan bagi manusia untuk menjaga dan
memlihara lingkungan hidupnya. Pemeliharan terhadap lingkungan paling
tidak berupa menghindari tindakan ekploitataif sumber daya alam. Hutan
tidak boleh ditepang secara liar, membabi buta atau dibakar. Sebab hutan
satu-satunya paru-paru dunia. Maka hal niscaya jika hutan dikatakann sangat
menentukan terhadap harmonisasi lingkungan. Hutanlah yang menjadi cagar
alam.
3. Hukum Merusak Lingkungan
Bencana berhubungan erat dengan kerusakan. Bencana terjadi karena
ada perbuatan destruktif terhadap alam sebelumya. Tanpa pengrusakan
terhadap alam sangat kecil kemungkinan terjadinya bencana. Kata musibah
(bencana) ditemukan 10 kali dalam Al-Qur’an disamping bentuk kata lain
yang semakna dengannya, yang keseluruhannya berjumlah 76 kali.31

26
Fardhu kifayah adalah tuntutan melakukan sesuatu oleh syari’ terhadap sekelompok
orang, tidak secara individu, apabila salah satu di antara mereka melakukannya, maka gugurkan
kewajiban bagi yang lain. Lihat: Abdul Wahhab Khalaf, Opcit, hlm: 108
27
Ali yafie, Opcit, hlm: 200
28
Lihat: DR. KH. Sahal Mahfudh, Ahkamu Al-Fiqoha’, hlm: I
29
Prof. Drs. H. A. djazuli (dosen usul fiqh IAIN bandung) mengatakan perlunya
menamabahkan hifdu al-ummah (memelihara keutuhan ummat) sementara kalangan progresip
NU menambahkan, hifdu al-bi’ah, al-‘addhalah, al-syura, al-musawah wa at-tawazun, dan at-
tasamuh. Lihat: Ibid, hlm: I
30
M. Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Al-
Masa’il, Lakpesdam, cet Islam, 2002, hlm: 179
31
M. Qurasy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, Lentera Hati, Jakarta Selatan, Cet.I, April 2006

JURNAL AL-HUKMI 46
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

Sementara kata fasad di sebutkan sebanyak lima puluh kali dengan aneka
bentuknya (sighat),32 dan lima kali dengan kata atsaw (kerusakan).33
Kata fasad yang menunjukkan kepada kerusakan disebutkan dalam al-
Qur’an surat ar-Rum: 41
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan
yang benar.”34
Kata al-fasad menurut al-Asfahany adalah keluarnya sesuatu dari
keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan
menunjukkan apa saja, baik jasmani, jiwa maupun lainnya. Ia juga diartikan
antonim dari as-shalah yang berarti manfaat atau berguna.35
Sementara ulama membatasi arti kata fasad dengan kemusyrikan dan
pembunuhan Qabil terhadap Habil dan lain-lain. Pendapat-pendapat itu tidak
memiliki dasar yang kuat. Beberapa ulama kontemporer memahami dalam
arti kerusakan lingkungan, karena ayat di atas mengaitkan fasad dengan kata
darat dan laut.36
Ayat lain yang membicarakan masalah ifsad (pengrusakan) dalam al-
Qur’an surat al-A’raf: 56
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut tidak akan
diterima dan harapan akan dikabulkan Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Aly yafie memahami ayat ini dengan arti, “jangan merusak alam ini
atau merusak bumi ini sesudah ditata sedemikian baik. Sedang kalimat
(ba'da ishlaahiha) dimaknai dengan keseimbangan. Dengan itu dapat
dipahami bahwa Allah swt. melarangan melakukan kerusakan pada alam
raya (di muka bumi) setelah Allah menciptakannya dengan harmoni dan
balance (seimbang). Manusia sebagai hambanya diperintahkan untuk
menjaga dan memperbaiki alam.37
Segala sumber daya alam yang tersedia di bumi ini untuk memenuhi
hajat manusia. Manusia bisa memanfaatkannya tapi tidak boleh melampaui
batas kebutuhan. Untuk memperoleh kemanfaatan sumber daya alam, ia
harus berusah,spiritual seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an surat al-
Qashash ayat 77;
32
Lihat; Faidullah al-Husny, Fathur Rahman Lithalibi Ayati Al-Qur’an, hlm: 343
33
Ibid, hlm: 290
34
Kata dahara pada mulanya berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi. Sehingga
karena dia dipermukaan, maka menjadi nampak dan terang serta diketahui dengan jelas.
Lawannya adalah bathana, yang berarti terjadinya sesuatu di perut bumi, sehingga tidak tampak.
Demikian al-Ashfahany dalam maqayisnya. Kata dahara pada ayat di atas dalam arti banyak dan
tersebar. M Quraisy Shihab, Tafsir Mishbah, Vol, 11, hlm: 78
35
Ibid
36
Ibid
37
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id= 282020&kat_id=
105 &kat_

JURNAL AL-HUKMI 47
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu


kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para
pembuat kerusakan di muka bumi.”
Menurut Quraisy Shihab kata ahsin (berbuat baiklah) pada ayat di atas
terambil dari kata hasan yang berarti baik. Patron kata yang digunakan ayat
ini adalah perintah dan membutuhkan objek. Namun objeknya tidak disebut,
sehingga ia menckup segla sesuatu yang bisa disentuh oleh kebaikan.
Bermula terhadapa lingkungan, harta benda, tumbuh-tumbuhan, binatang,
manusia, baik orang lain mapun dirinya sendiri.38 Kewajiban berbuat baik
terhadap segala sesuatu ditegaskan dalam Hadist, “sesungguhnya Allah
mewajibkan ihsan atas segala sesuatu.” (HR. muslim dan lain-lain melalui
Syaddad Ibnu Aus).
Dalam literatur fiqh ditemukan masalah pencemaran lingkungan
secara sharih (jelas). Abd Rahman Bin Muhammad mengatakan dalam
kitabnya, Bughyatul Mustarsyidin, “diperbolehkan menggali parit untuk
irigasi ditanah milik pribadi, walapun bau air itu mengganggu terhadap
tetangganya atau milik orang lain selama tidak menyebabkan dibolehkannya
tayammum (keadaan yang memberatkan pada umumnya) dan dengan syarat
penggunaan bangunan itu sesuai dengan adat tapi jika tidak sesuai dengan
adat (semena-mena), maka ia wajib mengganti segala kerugian yang
ditimbulkannya”.39
Pendapat serupa dikemukakan oleh shabul Jamal, diperbolehkan
memanfaatkan pinggir sungai untuk menaruk barang-barang berharga dan
membuat kandang dari bambu untuk menjaga barang-barang itu sebagimana
terjadi di Mesir dulu. Hal ini Jika ia melakukan itu bertujuan untuk
melancarakan pekerjaan (irtifaq) dan tidak berbahaya pada pemanfaatan
oleh orang lain, tidak mempersulit orang lewat, tidak menghilangkan atau
mengurangi manfaat sungai.40
Jika terjadi pencemaran melewati batas milik pribadi, maka ia harus
bertanggung jawab. Dan pihak yang dirugikan bisa meminta ganti rugi. Dan
apabila mengurangi kemanfaatan umum harus membayar ongkos ganti rugi
pada pemerintah untuk kepentingan bersama.41
Menjaga keharmonisan dan keseimbangan lingkungan hidup tak bisa
diwar-tawar lagi. Segala bentuk prilaku yang dapat merusak terhadap

38
M Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol, 10 hlm: 407
39
Abd Rahman Bin Muhammad Bin Husain Bin Umar, Bughyatu Al-Mustarsyidin, Al-
Hidayah, hlm: 142
40
Al-jamal, juz II, hlm: 564 bandingkan dengan Ghayatu At-Talkhish, hlm: 140 dan Fathul
Wahhab, juz II, hlm: 144
41
Tuhfatur Rohabah: Taya Jawab Masalah Agama, PP. al-Falah Ploso Kediri, jld V, hlm:
100-102

JURNAL AL-HUKMI 48
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

keseimbangan, keharmonisan dan keindahan lingkungan dilarangan keras.


Demi terwujudnya kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera.
4. Peranan Ulama dan Mara' Dalam Melestarikan Lingkungan
Rusulullah merupakan panutan ideal teragung bagi umat Islam. Segala
tindak-tanduk beliau (perkataan, perbuatan dan ketetapannya) menjadi
tauladan yang baik (uswatun hansanah).42 Bahkan menjadi sumber hukum
setelah al-Qur'an. Ini senada dengan sabda nabi, bahwa al-Qur'an dan al-
Hadist merupakan pusaka umat Islam. Jika umat Islam berpegang teguh pada
keduanya maka dijamin ia takkan sesat untuk selamanya. Taat kepada Rasul
menjadi bagian dari kesungguhan seseorang menyakini nabi sebagai utusan
Allah.
Namun demikian ulama hanya memiliki otoritas dalam penafsiran
Nash. Sementara dibidang pelaksanaan hukum mereka sama sekali tidak
memiliki otoritas. Mereka hanya bisa menjelaskan hukum dan tata-
pelaksanaanya. Apakah masyarakat (umat Islam) melaksanakan atau tidak
itu bukan urusan ulama melaikan urusan pihak yang mempunyai otoritas.
Pihak yang punyak otoritas itu tak lain adalah umara' (pemerintah).
Pemerintah punyak kemampuan memaksa kepada rakyatnya untuk
melaksanakan suatu berbuatan. Jika rakyat (umat) tidak melaksanakannya,
pemerintah bisa memberikan sangsi tegas. Akhirnya mereka menjadi jera
untuk tidak mentaati perintah dan larangan pemerintah.
Mentaati Rasul, para ulama dan umara' (pemerintah) merupakan
perintah Allah. akan tetapi mentaati ulama' dan umara' dalam batas kebaikan
saja. Sementara dalam perbuatan yang maksiat kepada Allah umat tidak
dilarang mematuhinya. Karena pada prinsipnya tidak ada ketaatan dalam
tindakan yang bermaksiat pada sang khalik (la tha'ata fiy ma'siati al-khaliq).
Dalam pada ini (persoalan fiqh lingkungan) ulama' memiliki peranan
yang sangat besar teruma dalam merumuskan aturan hukum tentang prilaku
ekologis masyarakat muslim yang digali dari nash-nash syar'i, dan prinsip-
prisip – tujuan legeslasi Islam. Disamping itu juga ulama memiliki tugas
untuk memberikan penyadaran terhadap masyaraka muslim tentang
kewajiban melestarikan lingkungan.
Setelah para ulama merumuskan konsep fiqh lingkungan dengan
komprehensip (syamil) mekanisme pelaksanaan aturan hukum tersebut
mutlak tanggung jawab pemerintah. Pemerintah harus membuat badan
hukum yang bisa memayungi pelaksanaan hukum tersebut. Bahkan
pemerintah diberi otoritas membuat aturan tersendiri demi kemaslahatan
bersama. Aturan yang dibuat pemerintah adalah aturan tentang persoalan
yang masih belum diatur oleh Allah dan Rasul-Nya.

42
Qs, al-Ahzab: 21, al-Mumtahinah: 4 -6. Pada tiga ayat ini Allah mejelaskan bahwa Nabi
Muhammad teladan yang paling baik bagi umat Islam. Setiap langkahnya dalam hidup dan
kehidupannya senantiasa kita jadikan panutan. Bahkan semua ucapan, perbuatan dan ketetapan
Rasul merupakan wahyu dari Allah (Qs, an-Najm: 3)

JURNAL AL-HUKMI 49
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

Dengan tauzi' sulthani (otoritas kekuasan)43 pemerintah bisa


membuat aturan berkenaan dengan kelestarian lingkungan. Peraturan ini
harus benar-benar populis dan terlaksana. Dan perlu dijaga oleh aparat
penegak hukum yang bijaksana. Sehingga tujuan mulia berupa menjaga
kesimbangan alam dengan cara ramah terhadap lingkungan bisa terwujud
dengan kongkrit sesuai dengan cita-ideal Islam.
Sebagai catatan bagi pemerintah yang akan membuat peraturan,
hendaknya berpijak pada kepentingan masyarakat umum, bukan
kepentingan keteraturan saja. Apalagi kepentingan kalangan elit tanpa peduli
terhadap kentingan rakyat. Hal ini senada dengan kaidah al-fiqh, "kebijakan
seorang imam (pemerintah) terhadap rakyatnya harus berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan rakyat". 44
5. Fiqh Lingkungan Sebagai Doktrin
Agar kelestarian lingkungan dapat terjaga dengan baik, maka perlu
membuat suatu terobosan untuk menjadikan keramahan terhadap
lingkungan sebagai doktrin agama. Jika masalah pentingnya melestarikan
lingkungan hanya berkutat dari seminar-keseminar lain atau buku - kebuka,
maka sangat mustahil kita bisa mencapai hasil yang diinginkan. Menjadikan
doktrin adalah satu upaya yang sangat baik. Sebab ajaran agamalah (doktrin)
sejatinya membentuk prilaku umat manusia dalam segala aspeknya.
Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan sebagai doktrin ekologis.
1. Cinta Lingkungan Bagian Dari Iman
Islam terhadap lingkungan sangat besar sekali. Iman yang menjadi
tulang punggung amal-ibadah manusia menjadi doktrin dalam melestarikan
lingkungan. Keimanan seseorang tidak hanya diukur ditempat ritual ibadah.
Akan tetapi bisa kita lihat dari prilaku terhadap ekologis. Memedulikan
terhadap ekologi menunjukkan kesempurnaan iman seseorang. Sebab sabda
Rasul, "kebersihan bagian dari iman". Dari hadist ini dapat kita pahami bahwa
menjaga kebersihan lingkungan (dari segala bentuk polusi) adalah bagian
dari keberimanan kepada Allah.45
Menjaga kebersihan lingkungan berarti kita harus menjauhkan hal-hal
yang bisa merusak kebersihan. Lingkungan yang dimaksudkan di sini
meliputi darat, lau dan udara. Di darat air bebas polusi, limbah pabrik dan
sampah yang tak tertata. Bumi subur dan kotor karena tanpa pengaruh
limbah plastik atau pembuangan sampah sembarangan. Di laut, air laut tidak
43
Tauzi' ada tiga macam. Pertama, tauzi' jibilly. Yaitu kecendrungan jiwa/fithrah
manusia untuk mencapi manfaat dan menghindar dari kerusakan. Seseorang akan memenuhi
kepentingan jiwanya sekalipun tidak ada aturan dari agama dan negara. Kedua, tauzi' diny, yaitu;
peraturan yang dibuat oleh agama demi terlaksananya kepentingan agama. Ketiga, tauzi'
sulthany yaitu; peraturan yang dibuat oleh pemerintah demi menjaga kemaslahatan dan
menghindar dari kerusakan. Peraturan ini khusus bagi masalah yang masih belum diatur oleh
agama. Hal ini selaras dengan perkataan Usman Bin Affan, "Allah menyerahkan pengaturan
sesuatu yang belum diatur dalam al-qur'an kepada sultan" (lihat, Nahwa Taf'ilu Al-Maqasid, Dr.
Jamalu Ad-Din 'Athiyah, Dar Al-Fikr, hlm; 50).
44
Al-Ashbah Wan An-Nadhair, 83-84
45
Hatim Ghazali, Buletin an-Nadhar, edisi 50

JURNAL AL-HUKMI 50
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

tercemari sampah dan limbah pabrik. Dan tidak tersemari pula oleh minyak
tanah yang dibawa oleh kapal-kapal raksasa yang bucur atau tenggelam.
Sementara di udara, langit tidak tertutupi asap pabrik atau kebakaran hutan.
Dan lapisan ozon tetap utuh seegaimana semula. Inilah hakikat dari
kebersihan yang dicita-citakan agama.
2. Ramah Lingkungan Bagian Dari Ibadah
Manusia diciptakan oleh Allah agar beribadah kepada-Nya.46
Beribadah berarti menghambakan dirinya di hadapan sang khalik. Ia merasa
hina-dina dan bersujud di bawah keagungannya. Siap melaksanakan seluruh
titah (khitab) dari yang disembah. Beribadah bukan hanya berbentuk ritual
semata dalam format shalat, puasa, menunaikan haji dan lainnya. Akan tetapi
menjaga lingkungan (al-biah) juga termasuk ibadah.
Karena melestarikan lingkungan merupakan bagian dari perintah
Allah. Maka kesadaran terhadap harmoni lingkungan adalah ibadah di sisi
Allah. bagi yang melaksanakannya akan dapat pahala. sedangkan tindakan
yang mengarah terhadap pengrusakan ekologi adalah larangan Allah. bagi
yang melanggar tentu akan dapat dosa. Kita sebagai hamba Allah harus taat
dan patuh kepada perintahnya (ramah lingkungan) dan menjahui segala
larangannya (eksploitasi alam). Inilah bentuk ketaqwaan kita kepada Rabul
'Alamin.
3. Ekologi Ajaran Pokok (Usuliyah)
Menempatkan wacana ekologi dalam persoalan usulyah (pokok)
bukan furu'iyah (cabang). Artinya ekologi menjadi bagian dari tujuan dasar
legeslasi hukum Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh yusuf qardhawi
dalam ri'ayah al-biah fiy syar'iyah al-Islam (2001), bahwa memelihara
lignkungan sama halnya menjaga lima tujuan dasar legeslasi hukum Islam
(maqasid asy-syari'ah). Sebab memelihara lingkungan merupakan upaya
untuk memelihari lima tujuan dasar Islam.
4. Perusak Lingkungan Kafir Ekologi47
Diantara tanda-tanda kebesaran Allah adalah pencitaan alm semesta.
Karena itu merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap
kebesaran Allah.48 Ayat ini menunjukkan bahwa memahami alam dengan
dengan sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Terlebih ia
melakukan pengrusakan terhadap alam semesta.
Pelabelan kafir ini tidak hanya kepada orang yang ingkar terhadap
Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi juga bagi orang yang enggan bersyukur akan
nikmat yang dikaruniakan oleh Allah.49 Orang ini dikatakan kafir bi an-
nikmah (ingkar terhadap nikmat). Ia juga akan mendapat siksaan yang tak
jauh beda dengan orang yang kafir billah (ingkar tehadap Allah).

46
Qs, adz-Dzariyat: 56
47
Lihat: Buletin at-Tafaqquh, edisi03
48
Qs: Shad/38: 27
49
Qs, Ibrahym: 7

JURNAL AL-HUKMI 51
“Volume 2, No. 1, Mei 2021”

C. Simpulan
Bertolak dari rumusan masalah dan hasil penelitian yang telah
peneliti paparkan dalam tulisan ini serta analisa yang telah peneliti lakukan,
maka peneliti dapat memngambil kesimpulan sebagai berikut;
Fiqh memiliki konsepsi harmonisasi lingkungan. Konsepsi ini dapat peneliti
simpulkan menjadi tiga kategori yaitu; a) konsepsi kesucian air batu dan
tanah, b) konsepsi udara bersih dari polusi, dan c) konsepsi pelestarain flora
dan fauna. Fiqh mempunyai pandangan mederatisme terhadap lingkungan.
Yaitu pandangan tawsuth, tidak ekstrim dan tidak liberal dalam hubungannya
dengan lingkungan. Dengan kata lain, manusia memiliki derajat lebih tinggi
daripada mahluk lainnya. Akan tetapi manusia berkewajiban (wajib 'ain)
untuk menjaga hak-hak lingkungan, seperti hak hidup dan berkembang
sesuai dengan sunnatullah. Fiqh memberikan kebebasan pada manusia untuk
memanfaatkan suber daya alam yang telah disediakan oleh Allah.
Pemanfaatan tidak boleh melebihi batas kebutuhan hadd al-kifayah.
Daftar pustaka
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Bairut: Dar al-'Ilm, 1978
Asy-Syathiby, Al-Muafaqot Fiy Usul Asy-Syari’ah, juz II,
Dr. H. Abu Yazid, LL.M, Islam Akomudatif, LKiS,
DR. KH. Sahal Mahfudh, Ahkamu Al-Fiqoha’,
Dr. Wahbah az-Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islamy, Juz, II,
Faidullah al-Husny, Fathur Rahman Lithalibi Ayati Al-Qur’an,
Hadist adalah segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari
nabi yang berhubungan pensyari’atan hukum.
http://www.immasjid.com/?pilih=lihat&id=299
M. Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma
Bahtsul Al-Masa’il, Lakpesdam, cet Islam, 2002,
M. Qurasy Syihab, Menabur Pesan Ilahi, Lentera Hati, Jakarta Selatan, Cet.I,
April 2006
Prof. drs. H. A. djazuli (dosen usul fiqh IAIN bandung) mengatakan perlunya
menamabahkan hifdu al-ummah (memelihara keutuhan ummat)
sementara kalangan progresip NU menambahkan, hifdu al-bi’ah, al-
‘addhalah, al-syura, al-musawah wa at-tawazun, dan at-tasamuh. Lihat:
DR. KH. Sahal mahfudh, opcit,

JURNAL AL-HUKMI 52

Anda mungkin juga menyukai