Surat Al-Furqon: 67
ﭧﭐﭨﭐﱡﭐ ﳇ ﳈ ﳉ ﳊ ﳋ ﳌ ﳍ ﳎ ﳏ ﳐ ﳑ ﳒ ﱠ
Termasuk sikap hamba dari Allah Ta’ala adalah mereka yang tepat dalam
membelanjakan hartanya, tidak terlalu berlebihan, juga tidak pula kikir.
Surat Al-A’raf: 31
ﭧﭐﭨﭐﱡﭐ ﱂ ﱃ ﱄ ﱅ ﱆ ﱇ ﱈ ﱉ ﱊ ﱋ ﱌﱍ ﱎ ﱏ ﱐ ﱑ ﱒ ﱠ
Surat Al-Bayyinah: 5
ﭧﭐﭨﭐﱡﭐ ﲬ ﲭ ﲮ ﲯ ﲰ ﲱ ﲲ ﲳ ﱠ
Hadits pertama
Hal ini menuntut kita untuk menyeleksi jenis makanan yang dibutuhkan.
Disamping itu, perlu diperhatikan juga makanan dan minuman yang
harganya lumrah dan terjangkau oleh daya beli kita, tetapi layak untuk
dimakan dan tidak membahayakan kita, baik dalam urusan ukhrawi
maupun duniawi.
Sunnah dalam makan dan minum adalah dengan membagi lambung kita,
sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk
nafas kita.
Hadits kedua
ت ِه ْجَرتُهُ إِلَى اللَّ ِه َوَر ُسولِِه فَ ِه ْجَرتُهُ إِلَى اللَّ ِه ن ا ك
َ ن م ف
ْ َ ْ َ َ ََ َ ْ ى و ن ا م ئ ِ
ر ام لِ كُ ِ
لوَ
ِ
ة ي
َِّالن ِ
ب ال
ُ م
َ َع
ْ األ
ْ ا م
َ َّ
ن ِإ
اجَر إِلَْي ِه ه ا م ى ل
َ ِ
إ ه تر ج ِ
ه ف
َ ا ه ج و
َّز ت ي َةأ
ر ام ِ
و َ
أ ا ه يب صِ ي ا ي ن
ْ لد ه تر ج ِ
ه ت ن
َ ا ك
َ ن م و ِ
ه ِ
ول س ر و
َ َ َ ُ ُ َ ْ َ ُ َ ََ َ ْ َ ُ ُ َ ُ ُ ُ َ ْ ْ ْ َ َ ُ ََ
Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai
niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya
karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya
itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibadah itu urusan hati, dan Allah Maha Tahu tentang isi hati. Niat itu
tidak ada seorangpun yang tahu, tetapi Allah tidak bisa ditipu
Setiap perkara dalam agama mesti disertai niat. Urusan dunia bisa
berpahala manakala diniatkan untuk beribadah
Hadits ketiga
Hiduplah sederhana agar tidak berat hisab kita nanti. Yakinlah bahwa
setiap harta sesekali tidak akan luput dari perhitungan Mahsyar.
Saat Umar Bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu memasuki kamar Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam ia bercerita:
Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan
daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang
yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air
mata tanpa dapat kutahan”.
Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu
telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain
dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar Romawi dan raja Persia
bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah
utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar
pengasingan seperti ini”.
Orang itu lalu pergi kemudian datang lagi menemui tamu-tamunya itu
dengan membawa sebuah batang kurma -berlobang- berisikan kurma
berwarna, kurma kering dan kurma basah. Iapun berkata: “Silahkanlah
makan.”. Selanjutnya ia mengambil pisau, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda: “Jangan menyembelih yang mengandung air susu.”.
Orang Anshar itu lalu menyembelih untuk tamu-tamunya itu, kemudian
mereka makan kambing itu, juga kurma dari batang kurma tadi serta minum
pulalah mereka.
Setelah semuanya itu kenyang dan segar -tidak kehausan- lalu Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di dalam
genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya engkau semua akan ditanya dari
kenikmatan yang engkau semua rasakan ini pada hari kiamat. Engkau
semua dikeluarkan dari rumahmu oleh kelaparan. Kemudian engkau semua
tidak kembali sehingga engkau semua memperoleh kenikmatan ini”.
Ayahnya adalah makhluk Allah Ta’ala yang terbaik, Muhammad bin Abdullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam . Ibunya adalah Ummul Mukminin, Khadijah
binti Khuwailid Radhiallahu ‘Anha, salah satu dari empat wanita penghulu
surga. Suaminya adalah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, salah satu dari
sepuluh orang Amirul Mukminin yang dijanjikan masuk surga. Dua putranya
adalah pemuka pemuda-pemudi surga yakni Hasan ra dan Husain
Radhiallahu ‘Anhuma. Pamannya adalah pemuka para syuhada bergelar
singa Allah dan Rasul-Nya, Hamzah bin Abdul Muttalib Radhiallahu ‘Anhu.
Fatimah bergelar Az-Zahra sebab wajahnya senantiasa cerah laksana
sekuntum bunga. Kunyah-nya adalah Ummu Abiha sebab ia begitu mirip
dengan sang ayah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Terlahir di tengah masyarakat jahiliyah yang malu dengan kelahiran anak
perempuan, Rasulullah begitu gembira menerima putrinya. Madrasahnya di
rumah kenabian. Ia berguru langsung pada Sang Murabbi sepanjang zaman.
Fatimah kecil menjelma menjadi seorang muslimah yang taat pada Tuhan-
Nya. Ketika bundanya tiada, ia menggantikan peran sebagai penyokong
habis-habisan dakwah sang ayah.
Pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib
Menginjak usia 15 tahun, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib setelah
sebelumnya lamaran Abu Bakar dan Umar untuknya ditolak oleh sang ayah.
Bersama Ali, Fatimah turut menjalani hidup dalam kemiskinan, kelaparan,
keletihan, dan derita kehidupan. Bahkan mahar tak seberapa dari Ali, ia
hadiahkan kembali padanya.
Fatimah rela tinggal di rumah suaminya yang tak memiliki perabot. Hanya
terdapat kulit biri-biri sebagai alas tidur, bantal berisi sabut tamar,
penggiling gandum, ayakan, dan sekantung susu. Letaknya pun jauh dari
kediaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Semua urusan rumah tangga diurus sendiri oleh Fatimah. Ia mengurus anak-
anak, menggiling biji-biji gandum lalu mengayaknya untuk membuat adonan
roti. Sedangkan sejak kecil Fatimah sakit-sakitan. Badannya pun kurus
karenanya. Ia merasa kelelahan hingga tangannya pecah-pecah akibat
terkena alat penumbuk gandum.
Sejak saat itu, Ali dan Fatimah mengamalkan dzikir tersebut hingga akhir
hayat. Tak pernah lagi Fatimah meminta pembantu. Tak lagi ia mengeluh
atas keletihan yang menderanya. Padahal sebagai putri Rasulullah, bisa saja
Fatimah ngotot minta pelayan. Toh, siapa yang berani menolak jika
Rasulullah memerintahkan seorang budak untuk membantu Fatimah?
Siapalah di antara kita yang masih tidur beralaskan tikar yang koyak? Kasur
kapas pun kini terlalu sederhana.
Tak perlu repot-repot mencuci gunungan baju kotor, mesin cuci dijual
dengan harga yang terjangkau.
“Ah, bosan banget hidup gini-gini terus ngurus rumah. Kapan keluarnya?
Bisa jamuran gue lama-lama.”
“Andai saja gaji suamiku lebih besar, hidupku tak akan semalang ini.
Mupeng liat temen-teman pada rutin nge-mall”
“Pusyiiiinggg! Pembantu mudik, jadi rempong deh. Susah amir jadi wanita!”
Ada lagi
“Duh, gak enak banget kerja di sana. Temenku pada resek, tukang gosip,
nyebelin bla bla bla …!”
Yang putus cinta, tak kalah nestapa. Hampir tiap menit status Facebook ter-
update dengan kata-kata menyayat seolah dunia runtuh tanpa kinasih. Ia
kabarkan pada penghuni jagat maya jika hatinya tengah dirambah gundah
gulana lir kepedihan Romeo kehilangan Julianya.
Terkadang hidup kita rasakan sedemikian berat. Ujian datang silih berganti.
Air mata menjadi teman setia. Hidup kita, berkalang derita.
Benarkah? Mari kita bertanya pada nurani, lebih beratkah daripada derita
sayyidah Fatimah? Lebih beratkah daripada perjuangan para shahabiyah?
Jika mereka sanggup menjalani hidup yang sedemikian berat, maka
merekalah tauladan kita. Kekuatan, keteguhan, kebersahajaan, dan segala
kebaikan mereka adalah guru abadi sepanjang zaman.
Selama nafas masih di badan, hidup tak akan lepas dari masalah. Masalah
berat ataukah tidak, tergantung bagaimana kita memandangnya. Marilah
berkaca pada sayyidah Fatimah.
Ketika beban hidup dipandang sebagai jalan menuju surga atau jalan bagi
Allah untuk menaikkan derajat seorang hamba, maka ia tak lagi terasa berat.
Kelelahan dan kemiskinan tak berat dirasa manakala tergantikan dengan
dzikir yang kelak menjadikan mereka orang-orang yang kaya di surga. Bagi
sayyidah Fatimah yang berjiwa besar, derita yang berat dipandangnya
ringan dibanding pahala yang diraupnya.
Di mata orang-orang besar masalah besar terlihat kecil. Dan di mata orang-
orang kecil, masalah kecil menjadi besar. Kita, pilih yang mana?
Sebagai pengganti Khalifah Abu Bakar, mestinya Khalifah Umar bin Khattab
mendapatkan gaji yang lebih besar dibandingkan Abu Bakar. Sebab wilayah
kekhalifahan Islam semakin luas, sehingga semakin banyak pula tugas dan
kewajiban Khalifah Umar. Selain itu, rakyatnya pun semakin makmur. Tetapi
yang diherankan, Khalifah Umar malah meminta penerimaan gajinya sama
dengan yang diterima oleh Abu Bakar selama menjabat sebagai khalifah.
Para sahabat merasa iba dan prihatin atas sikap dan kesederhanaan Khalifah
Umar bin Khattab. Beberapa kali mereka mengusulkan agar Khalifah Umar
mau menerima gaji yang sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya,
namun usulan tersebut selalu ditolaknya.
"Mengapa kalian selalu memaksaku untuk menerima gaji yang melebihi dari
kebutuhanku?". Kata Khalifah Umar.
"Ketahuilah, meskipun Rasulullah diampunkan dosanya yang telah lewat
dan yang akan datang, namun beliau tetap memilih hidup sederhana, tetapi
semangat dalam beribadahnya tetap tinggi. Apalagi Aku?"
Karena jubah yang dikenakan selalu itu saja, maka para sahabat
mengusulkan agar Khalifah Umar mengganti jubah yang lusuh dan penuh
tambalan itu dengan yang baru. Hal itu merupakan pertimbangan para
sahabat yaitu demi menjaga kewibawaan seorang Amirul Mukminin.
Untuk itu, para sahabat bersepakat menunjuk Ali bin Abi Thalib mewakili
mereka agar menyampaikan usulan tersebut. Mengingat Ali adalah menantu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ketika usulan tersebut disampaikan kepada Ali, Ali menolak dengan halus
permintaan para sahabat: "Aku tidak berani menyampaikan usulan kalian.
Mengapa kalian tidak temui saja para istri Rasulullah. Merekalah para
Ummul Mukminin, jadi lebih pantas untuk menyampaikannya".
Setelah mendapatkan jawaban dari Ali, para sahabat pun menemui Aisyah,
istri baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka pun
mengutarakan maksud kedatangan mereka. Setelah mendengarkan usulan
para sahabat, akhirnya Aisyah pun bersedia menyampaikan maksud para
sahabat kepada Khalifah Umar. Dengan disertai salah seorang sahabat,
Aisyah pun menemui Khalifah Umar.
"Bolehkah aku menyampaikan sesuatu kepadamu, wahai Amirul
Mukminin?". Kata Aisyah.