Anda di halaman 1dari 97

PEMERINTAH KOTA TEGAL

DINAS KESEHATAN
Din PUSKESMAS MARGADANA Puskesmas
kes Kota Tegal Jln. Dr. Cipto Mangunkusumo Tegal. Tlp/Fax 0283.358604
Margadana
Website : www.puskesmas-margadana.com

KERANGKA ACUAN DIARE

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga saat ini penyakit Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya angka kesakitan diare dari tahun ke
tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal setiap tahun karena diare, sebagian
kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Parashar, 2003). Menurut WHO, di
negara berkembang pada tahun 2003 diperkirakan 1,87 juta anak balita meninggal karena
diare, 8 dari 10 kematian tersebut pada umur < 2 tahun. Rata-rata anak usia < 3 tahun di
negara berkembang mengalami episode diare 3 kali dalam setahun. (WHO, 2005). Hasil
survey Subdit diare angka kesakitan diare semua umur tahun 2000 adalah 301/1000
penduduk, tahun 2003 adalah 374/1000 penduduk, tahun 2006 adalah 423/1000
penduduk. Kematian diare pada balita 75,3 per 100.000 balita dan semua umur 23,2 per
100.000 penduduk semua umur (Hasil SKRT 2001). Diare merupakan penyebab
kematian no 4 (13,2%) pada semua umur dalam kelompok penyakit menular. Proporsi
diare sebagai penyebab kematian nomor 1 pada bayi postneonatal (31,4%) dan pada anak
balita (25,2%) (Hasil Riskesdas 2007).

B. Tujuan
- Umum : Menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare bersama lintas
program dan sektor terkait.
- Khusus :
a. Tercapainya penurunan angka kesakitan.
b. Terlaksananya talalaksana diare sesuai standar.
c. Diketahuinya situasi epidemiologi dan besarnya masalah penyakit diare di
masyarakat, sehingga dapat dibuat perencanaan dalam pencegahan,
penanggulangan maupun pemberantasannya di semua jenjang pelayanan.
d. Terwujudnya masyarakat yang mengerti, menghayati dan melaksanakan hidup
sehat melalui promosi kesehatan kegiatan pencegahan sehingga kesakitan dan
kematian karena diare dapat dicegah.
e. Tersusunnya rencana kegiatan Pengendalian Penyakit Diare di suatu wilayah
kerja yang meliputi target, kebutuhan logistik dan pengelolaannya.

C. Kebijakan
Pedoman ini diharapkan dapat
 melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar, baik di Sarana Kesehatan
maupun masyarakat/rumah tangga,
 melaksanakan Surveilans Epidemiologi dan Penanggulangan KLB Diare,
 mengembangkan pedoman pengendalian penyakit diare,
 meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam pengelolaan program
yang meliputi aspek manajerial dan tehnis medis,
 mengembangkan jejaring lintas program dan sektor di pusat, propinsi dan
kabupaten/kota,
 meningkatkan pembinaan tehnis dan monitoring untuk mencapai kualitas pelaksanaan
pengendalian penyakit diare secara maksimal, dan
 melaksanakan evaluasi untuk mengetahui hasil kegiatan program dan sebagai dasar
perencanaan selanjutnya.

D. STRATEGI
1) Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana Kesehatan melalui
Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE)
2) Meningkatkan tatalaksana penderita diare di rumah tangga yang tepat dan benar
3) Meningkatkan SKD dan penanggulangan KLB Diare
4) Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif.
5) Melaksanakan monitoring dan evaluasi

E. KEGIATAN
1) Tatalaksana Penderita Diare
2) Surveilans Epidemiologi
3) Promosi Kesehatan
4) Pencegahan Diare
5) Pengelolaan Logistik
6) Kunjungan Rumah Pemantauan dan Evaluasi

F. RENCANA KEGIATAN DAN PEMBIAYAAN

NO Nama Kegiatan Tempat PJ Pelaksanaan Sumber Dana


1. Tatalaksana Poliklinik dr. Setiap hari di jam APBN
penderita diare Puskesmas Fikrie kerja Puskesmas
2. Surveilans PWS Ahmad Kasuistik APBN
Epidemiologi Diare Zaeni
3. Promosi Kesehatan Wilayah Riwanto Setiap bulan APBD
Diare kerja , SKM
Puskesmas
4. Pencegahan Diare PWS Riwanto Setiap bulan APBD
, SKM
5. Pengelolaan Logistik Apotik Aang Setiap hari di jam APBN
Diare Kunaedi, kerja Puskesmas
Amd
Farm
6. Kunjungan Rumah Rumah Desy 2 kegiatan x 6 bulan BOK 2017
Penderita Diare Penderita Februari s/d Juli
G. SASARAN :
1. Pasien penderita gangguan ISPA dan Pneumonia
2. Masyarakat

H. PENCATATAN, PELAPORAN DAN DOKUMENTASI


1. Laporan bulanan dikirim ke P2P Dinas Kesehatan setiap maksimal tanggal 5 di bulan
berikutnya.
2. Laporan Kunjungan Rumah dan Penyuluhan Kesehatan dibuat setiap melakukan
kegiatan.
3. Dokumentasi penunjang dan foto kegiatan.

Mengetahui,
Kepala Puskesmas Margadana Penanggung Jawab
Pelaksana Kegiatan

dr. W A H I D I N Desy Riski A


NIP. 19800322 201001 1 019 NIP. 19861223 200903 2 004
II. TATALAKSANA KASUS DIARE
A. TUJUAN
1) Mencegah dehidrasi
2) Mengobati dehidrasi
3) Mencegah gangguan nutrisi dengan memberikan makan selama dan sesudah diare
4) Memperpendek lamanya sakit dan mencegah diare menjadi berat

B. PEMBAGIAN DIARE
B.1 Diare Akut Cair
1. Batasan
Diare akut adalah buang air besar yang frekuensinya lebih dari 3 kali per hari dengan
konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7 hari.
Diare akut adalah buang air dengan konsistensi cair yang frekuensinya lebih sering dari
biasanya (pada umumnya 3 kali atau lebih) per hari dan berlangsung kurang dari 7 hari.
Pada neonatus yang mendapat ASI, diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi
lebih sering (biasanya 5-6 kali per hari) dengan konsistensi cair.

2. Etiologi

Secara klinis penyebab diare akut dibagi dalam 4 kelompok, tetapi yang sering
ditemukan di lapangan ataupun klinis adalah diare yang disebabkan infeksi terutama infeksi
virus. Untuk mengenal penyebab diare akut digambarkan dalam bagan berikut:

PENYEBAB PENYAKIT DIARE AKUT

Infeksi masih merupakan penyebab utama diare. Pada penelitian yang dilakukan oleh
IRSN dan Litbangkes pada pasien anak di 6 Rumah Sakit disebabkan terutama oleh Rotavirus
dan Adenovirus (70%) sedangkan infeksi karena bakteri hanya 8,4%

Kerusakan vili usus karena infeksi virus (rotavirus) mengakibatkan berkurangnya


produksi enzim laktase sehingga menyebabkan malabsorpsi laktosa.

Diare karena keracunan makanan disebabkan karena kontaminasi makanan oleh


mikroba misalnya: clostridium botulinum, Stap. Aureus dll (lihat Lampiran 2.1).

DTA terjadi karena penggunaan antibiotika selama 3 sampai 5 hari yang menyebabkan
berkurangnya flora normal usus sehingga ekosistem flora usus didominasi oleh kuman patogen
khususnya clostridium difficile. Angka kejadian DTA berkisar 20-25%.

3. Epidemiologi

Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada
anak, terutama pada anak berumur kurang dari 5 tahun (balita). Di negara berkembang, sebesar
2 juta anak meninggal tiap tahun karena diare, dimana sebagian kematian tersebut terjadi di
negara berkembang (Parashar, 2003). Berdasarkan laporan WHO, kematian karena diare di
negara berkembang diperkirakan sudah menurun dari 4,6 juta kematian pada tahun 1982
menjadi 2 juta kematian pada tahun 2003 (WHO, 2003), Di Indonesia, angka kematian diare
juga telah menurun tajam. Berdasarkan data hasil survei rumah tangga, kematian karena diare
diperkirakan menurun dari 40% pada tahun 1972 hingga 26,9% pada tahun 1980, 26,4% tahun
1986 hingga 13% tahun 2001 dari semua kasus kematian.

Walaupun angka kematian karena diare telah menurun, angka kesakitan karena diare
tetap tinggi baik di negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia, dilaporkan bahwa
tiap anak mengalami diare sebanyak 1,3 episode per tahun (Depkes, 2003). Berdasarkan Survei
Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2002 – 2003, prevalensi diare pada anak-anak dengan
usia kurang dari 5 tahun di Indonesia adalah: laki-laki 10,8 % dan perempuan 11,2 %.
Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6 – 11 bulan (19,4%), 12 – 23 bulan
(14,8%), dan 24 – 35 bulan (12,0%) (Biro Pusat Statistik, 2003).

Kesakitan balita karena diare makin meningkat sehingga dikhawatirkan terjadi


peningkatan kasus Gizi buruk

B.2. Patofisiologi

1. Diare sekretorik

Disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang terjadi akibat
gangguan absorpsi natrium oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi klorida tetap
berlangsung atau meningkat. Keadaan ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh
sebagai tinja cair. Diare sekretorik ditemukan pada diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri
akibat rangsangan pada mukosa usus oleh toksin, misalnya toksin E.coli atau V.cholera 01.

2. Diare Osmotik

Mukosa usus halus adalah epitel berpori yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit dengan
cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dan cairan ekstrasel. Oleh
karena itu, bila di lumen usus terdapat bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap akan
menyebabkan diare, Bila bahan tersebut adalah larutan isotonik, air atau bahan yang larut maka
akan melewati mukosa usus halus tanpa diabsorpsi sehingga terjadi diare.

B.3. Prinsip Tatalaksana Penderita Diare

Prinsip tatalaksana penderita diare adalah LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare),
yang terdiri atas :

1. Oralit dengan Osmolaritas Rendah


Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan
Oralit. Bila tidak tersedia, berikan minuman lebih banyak cairan rumah tangga yang
mempunyai osmolaritas rendah yang dianjurkan seperti air tajin, kuah sayur dan air matang.
macam cairan yang digunakan bergantung pada:

a) Kebiasaan setempat dalam mengobati diare


b) Tersedianya cairan sari makanan yang cocok
c) Jangkauan pelayanan kesehatan

Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas
kesehatan atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat.

2. Zinc
Di negara berkembang, umumnya anak sudah mengalami defisiensi Zinc. Bila anak diare,
kehilangan Zinc bersama tinja, menyebabkan defisiensi menjadi lebih berat.

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Lebih dari 300 macam
enzim dalam tubuh memerlukan zinc sebagai kofaktornya, termasuk enzim superoksida
dismutase (Linder, 1999). Enzim ini berfungsi untuk metabolisme radikal bebas superoksida
sehingga kadar radikal bebas ini dalam tubuh berkurang. Pada proses inflamasi, kadar
radikal bebas superoksida meningkat, sehingga dapat merusak berbagai jenis jaringan,
termasuk jaringan epitel dalam usus (Cousins et al, 2006). Zinc juga berefek dalam
menghambat enzim iNOS (inducible nitric oxide synthase), dimana ekspresi enzim ini
meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan
dalam epiteliasisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama
sebagian besar kejadian diare. Kerusakan morfologi epitel usus antara lain terjadi pada diare
karena rotavirus yang merupakan penyebab terbesar diare akut (Wapnir, 2000).
Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat Gizi
burukarahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta
menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya (Black, 2003). Penelitian
di Indonesia menunjukkan bahwa zinc mempunyai efek protektif terhadap diare dan
menurunkan kekambuhan diare sebanyak 11% dan menurut hasil pilot studi menunjukkan
bahwa zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Hidayat, 1998, Soenarto, 2007).
Berdasarkan bukti ini, semua anak dengan diare harus diberi zinc segera saat anak
mengalami diare.

Zinc diberikan pada setiap diare dengan dosis, untuk anak berumur kurang dari 6 bulan
diberikan 10 mg ( ½ tablet) zinc per hari, sedangkan untuk anak berumur lebih dari 6 bulan
diberikan 1 tablet zinc 20 mg. Pemberian zinc diteruskan sampai 10 hari, walaupun diare
sudah membaik. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kejadian diare selanjutnya selama 3
bulan ke depan.

Cara pemberian tablet zinc:


Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang, atau ASI.
3. Pemberian ASI / makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita
terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat
badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu
formula diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi
yang telah mendapat makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna sedikit
demi sedikit tetapi sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan
selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan anak
4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare yang
memerlukannya (8,4%). Antibiotik hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah
(sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera, dan infeksi-infeksi di luar saluran
pencernaan yang berat, seperti pneumonia. Walaupun demikian, pemberian antibiotik yang
irasional masih banyak ditemukan. Sebuah studi melaporkan bahwa 85% anak yang
berkunjung ke Puskesmas di 5 propinsi di Indonesia menerima antibiotik (Dwiprahasto,
1998).

Antibiotika Yang Digunakan Dalam Pengobatan Kolera Antibiotikaa(diberikan selama 3 hari)


Anak-anak

Doxycline Dosis tunggal 4mg/kgBB/hari

Tetracycline 4 x sehari 12,5 mg/kg BB

Trimethoporim (TMP)

sulfamethoxazole (SMX) 2 x sehari TMP 5 mg/kg BB

dan SMX 25 mg/kgc

Obat-obatan “anti-diare” tidak boleh diberikan pada anak dengan semua macam diare
karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat.
Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, sebagian
menimbulkan efek samping berbahaya, terkadang berakibat fatal. Obat antiprotozoa
digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).

5. Pemberian Nasihat

Ibu atau keluarga yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasihat tentang :

 Cara memberikan cairan dan obat di rumah.


 kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan:
 Diare lebih sering!
 Muntah berulang!
 Sangat haus!
 Makan atau minum sedikit!
 Timbul demam!
 Tinja berdarah!
 Tidak membaik dalam 3 hari!

B.4. Prosedur Tatalaksana Penderita Diare

1. Riwayat penyakit

 Berapa lama anak diare?


 Berapa kali diare dalam sehari?
 Adakah darah dalam tinja?
 Apakah ada muntah? Berapa kali ?
 Apakah ada demam?
 Makanan apa yang diberikan sebelum diare?
 Jenis makanan dan minuman apa yang diberikan selama sakit?
 Obat apa yang sudah diberikan?
 Imunisasi apa saja yang sudah didapat?
 Apakah ada keluhan lain?

2. Menilai Derajat Dehidrasi

Tabel Penilaian Derajat Dehidrasi

PENILAIAN

Bila ada 2 tanda atau A B C


lebih lihat :
Keadaan Umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai atau
tidak sadar
Mata Normal cekung Cekung

Rasa Haus (beri air Minum biasa, Haus, Malas minum atau
minum) Tidak haus ingin minum banyak tidak bisa minum

Raba : Kembali cepat Kembali lambat Kembali sangat


Turgor Kulit Lambat (lebih dari 2
detik
Tentukan Derajat Tanpa dehidrasi Dehidrasi Ringan- Dehidrasi berat
Dehidrasi Sedang (dehidrasi tidak
berat)

Rencana Pengobatan Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C


Catatan : Hati-hati dalam mengartikan cubitan kulit, karena :

Pada penderita yang gizinya buruk, kulitnya mungkin saja kembali dengan lambat walaupun dia
tidak dehidrasi
Pada penderita yang obesitas (terlalu gemuk), kulitnya mungkin saja kembali dengan cepat
walaupun penderita mengalami dehidrasi.

3. Menentukan Rencana Pengobatan

Berdasarkan hasil penilaian derajat dehidrasi gunakan Bagan rencana pengobatan yang sesuai :

 Rencana terapi A untuk penderita diare tanpa dehidrasi di rumah


 Rencana terapi B untuk penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang (tidak berat) di Sarana
Kesehatan untuk diberikan pengobatan selama 3 jam
 Rencana terapi C untuk penderita diare dengan dehidrasi berat di Sarana Kesehatan dengan
pemberian cairan Intra Vena.

III. DIARE BERMASALAH


Diare bermasalah terdiri dari diare berdarah, kolera, diare berkepanjangan (prolonged
diarrhea), diare persisten/ kronik dan diare dengan malnutrisi.
A. DIARE BERDARAH
1. Batasan
Diare berdarah atau disentri adalah diare dengan darah dan lendir dalam tinja dapat
disertai dengan adanya tenesmus.
Disentri berat adalah diare berdarah dengan komplikasi.
2. Etiologi dan Epidemiologi
Diare berdarah dapat disebabkan oleh kelompok penyebab diare, seperti oleh infeksi
bakteri, parasit, alergi protein susu sapi, tetapi sebagian besar disenteri disebabkan oleh
infeksi bakteri. Penularannya secara fekal oral, kontak dari orang ke orang. Infeksi ini
menyebar melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan biasanya terjadi pada daerah
dengan sanitasi dan hygiene perorangan yang buruk.

Di Indonesia penyebab disenteri adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter jejuni,


Escherichia coli (E.coli), dan Entamoeba histolytica. Disenteri berat umumnya disebakan
oleh Shigella dysentriae, Shigella flexneri, Salmonella dan Entero Invasive E.coli (EIEC).

Angka kejadian disenteri sangat bervariasi dibeberapa negara. Di Bangladesh selama 10


tahun (1974-1984) angka kejadian disenteri berkisar antara 19,3%-42%. Di Thailand di
laporkan disenteri merupakan 20% dari pasien rawat jalan di rumah sakit anak di Bangkok.
Di Indonesia dilaporkan dari hasil survei evaluasi tahun 1989-1990 diperoleh angka kejadian
disenteri sebesar 15%. Hasil survei pada balita di rumah sakit di Indonesia menunjukan
proporsi spesies Shigella sebagai etiologi diare : S. dysentriae 5,9%, S. flexneri 70,6%, S.
boydii 5,9%, S. sonei 17,6%.(Pakai hasil penelitian terbaru) Hasil penelitian Litbangkes dan
Namru II tahun 2005-2007 shigella sonei 12%, shigella flexneri 13%. . Meskipun proporsi S.
dysentriae rendah, tetapi kita harus selalu waspada, karena S. dysentriae dapat muncul
sebagai epidemi karena higiene sanitasi lingkungan dan perorangan belum baik . Epidemi
ini juga dapat disebabkan oleh Shigella dysentriae yang telah resisten terhadap berbagai
antibiotika. Proporsi penderita dengan disenteri di Indonesia di laporkan berkisar antara 5-
15%. Proporsi disentri berat belum diketahui. Hasil survailans tahun 2005-2007 terhadap
anak yang menderita diare di rumah sakit tipe A di Yogyakarta ditemukan Shigella flexneri
sebesar 1,5%, dan S. sonei sebesar 0,4%,,dimana Shigella merupakan bakteri penyebab
diare disenteri tertinggi (Putnam et al., 2007)
3. Patogenesis
Faktor risiko yang menyebabkan beratnya disentri antara lain: gizi kurang, usia sangat
muda, tidak mendapat ASI, menderita campak dalam 6 bulan terakhir, mengalami
dehidrasi, serta penyebab disentrinya, misalnya Shigella, yang menghasilkan toksin dan
atau multiple drug resistent.

Pemberian spasmolitik memperbesar kemungkinan terjadinya megakolon toksik.


Pemberian antibiotika dimana kuman penyebab telah resisten terhadap antibiotika
tersebut akan memperberat manifestasi klinis dan memperlambat sekresi kuman penyebab
dalam fases penderita.

Shigella menghasilkan sekelompok eksotoksin yang dinamakan Shiga-toxin (St). kelompok


toksin ini mempunyai 3 efek : neurotosik, sitotosik, dan enterotoksik. Beberapa bakteri
enterik lain menghasilkan toksin dengan efek yang sama, dinamakan Shiga like toxin (Slt).
Toksin ini mempunyai dua unit yaitu unit fungsional yang menimbulkan kerusakan dan unit
pengikat yang menentukan afinitas toksin terhadap reseptor tertentu. Perbedaan unit inilah
yang menetapkan bentuk komplikasi yang terjadi. Komplikasi yang muncul akibat toksin
bersifat dose related. Dapat dimengerti, kalau kita berhadapan dengan infeksi yang lebih
besar Shiga-toxin ini dapat menimbulkan kerusakan yang lebih berat kalau bekerja sama
dengan endotoksin: lipopolisakarida (LPS) bakteri. Paparan lebih awal terhadap LPS lebih
mempercepat dan memperberat kerusakan, dalam arti kata lebih memperbesar
kemungkinan munculnya komplikasi.

Disamping itu infeksi Shigella dysentriae dan Shigella flexneri telah dibuktikan menurunkan
imunitas, antara lain disebabkan peningkatan aktifitas sel T supresor dan penekanan
kemampuan fagositosis makrofag. Infeksi Shigella menimbulkan kehilangan protein melalui
usus yang tercermin dengan munculnya hipoalbuminemia, juga disertai penurunan nafsu
makan. Patogenesis penyakit ini akan mempermudah munculnya KEP(Gizi buruk) dan
infeksi sekunder.

4. Gambaran Klinis
Diare pada disenteri umumnya diawali oleh diare cair, kemudian pada hari kedua atau
ketiga baru muncul darah, dengan maupun tanpa lendir, sakit perut yang diikuti munculnya
tenesmus, panas disertai hilangnya nafsu makan dan badan terasa lemah. Pada saat
tenesmus terjadi, pada kebanyakan penderita akan mengalami penurunan volume diarenya
dan mungkin tinja hanya berupa darah dan lendir.Pada kondisi seperti ini perlu dipikirkan
kemungkinan invaginasi terutama pada bayi.

Gejala infeksi saluran napas akut dapat menyertai disenteri. Disenteri dapat menimbulkan
dehidrasi, dari yang ringan sampai dengan dehidrasi berat, walaupun kejadiannya lebih
jarang jika dibandingkan dengan diare cair akut. Komplikasi disenteri dapat terjadi lokal di
saluran cerna, maupun sistemik.

5. Komplikasi pada Saluran Cerna


- Perforasi
Perforasi terjadi akibat vaskulitis atau ulkus transmural dan biasanya terjadi pada anak
dengan KEP(Gizi buruk) berat. Angka kejadian perforasi kecil. Pada penelitian di
Bangladesh pada 173 kasus disenteri yang diotopsi didapatkan hanya 3 kasus yang
mengalami perforasi. Diagnosis ditegakkan secara klinis dan dibantu dengan
pemeriksaan radiologis berdasarkan temuan udara bebas intraperitoneal, serta
ditemukannya tanda-tanda peritonitis.
- Megakolon Toksik
Megakolon toksik biasanya terjadi pada pankolitis. Diduga Shiga-toxin yang bersifat
neurotoksik berperan penting dalam mempengaruhi motilitas usus, dimana terjadi
penurunan motilitas kolon yang berat diikuti oleh distensi usus yang berat. Keadaan ini
terjadi terutama di sekitar ulkus transmural sehingga disebut multiple ulcers. Distensi
dan penurunan motilitas akan menyebabkan overgrowth bacteria/ bakteri tumbuh
lampau, ballooning effect (usus menggelembung), sehingga seluruh lapisan dinding
menipis, terjadi penyempitan pembuluh darah yang menimbulkan anoksia,
melumpuhkan fungsi usus, serta memperlemah mekanisme pertahanan, sehingga
gabungan pankolitis dan megakolon toksik sering menimbulkan gejala sepsis.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis. Di Bangladesh dilaporkan 3% dari


penderita disenteri yang meninggal di rumah sakit dan diotopsi disertai dengan gejala
ileus paralitik, sehingga harus dipikirkan sebagai diagnosis banding megakolon toksik.

6. Komplikasi Sistemik
- Hipoglikemia
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada Shigellosis dibanding penyebab disenteri lain.
Hipoglikemia sangat berperan dalam menimbulkan kematian. Hipoglikemia terjadi
karena gagalnya proses glukoneogenesis. Secara klasik, manifestasi klinis hipoglikemia
adalah kaki tangan berkeringat dingin, takikardi dan letargi. Hipoglikemia berat dapat
menimbulkan perubahan kesadaran dan kejang. Tetapi gejala ini akan tersamar kalau
ditemukan komplikasi lain. Jadi pada tiap disenteri dengan komplikasi harus diperiksa
kadar glukosa darahnya. Diagnosis ditegakkan melalui pengukuran kadar gula darah.
- Hiponatremia
Komplikasi ini juga banyak terjadi pada Shigellosis dibanding penyebab lain.
Hiponatremia muncul akibat gangguan reabsorpsi natrium di usus. Kematian pasien
dengan hipoglikemia lebih sering dibanding hiponatremia. Manifestasi klinis
hiponatremia adalah hipotonia dan apati, kalau berat dapat menimbulkan kejang.
Tetapi gejala ini juga akan tersamar kalau ditemukan komplikasi lain. Jadi, pada tiap
disentri dengan komplikasi harus diperiksa kadar natrium darahnya. Sebaiknya
sekaligus diperiksa juga kadar kalium darahnya.
- Sepsis
Komplikasi ini paling sering menyebabkan kematian dibanding komplikasi lainnya.
Data dari ICCDR,B menunjukkan bahwa 28,8% dari 239 kasus kematian akibat
Shigellosis meninggal karena sepsis. Pengertian sepsis saat ini telah berubah. Dulu
sepsis didefinisikan sebagai bakteremia yang disertai gejala klinis. Sekarang bakteremia
tidak lagi merupakan persyaratan diagnosis sepsis.

Bila ditemukan manifestasi umum infeksi yang disertai gangguan fungsi organ multipel
(Sistemic Inflamatory Response Syndrome/SIRS) yang dapat ditimbulkan oleh mediator
kimiawi, endotoksin, eksotoksin atau septikemianya sendiri. Manifestasi
umum/gangguan fungsi organ multipel ini dapat berupa hiperpireksia, cutis
marmoratae (akibat distensi kapiler), menggigil, gaduh gelisah,dan proteinuria. Yang
paling menonjol terjadinya gangguan sirkulasi yang menimbulkan syok septik.

Gangguan fungsi organ multipel (MOD) ini akan berlanjut menjadi gagal organ multipel
(MOF), syok menjadi irreversibel. MOF hampir selalu diikuti kematian. Syok septik
sangat sulit ditangani. Untuk mencegah kematian kita harus mengambil tindakan
intensif pada tahap awal, dimana baru muncul tanda umum infeksi dan gangguan
fungsi organ awal. Bakteremia pada disenteri dengan sepsis jarang yang disebabkan
langsung oleh Shigella/kuman penyebab disenteri lain. Lebih banyak disebabkan invasi
bakteri enterik. Jadi dalam memilih antibiotika, disamping memberikan antibiotika
yang dapat membunuh penyebab disentrinya, kita juga harus memberikan antibiotika
yang dapat mengatasi bakteri enterik yang berinvasi ini.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis gejala umum infeksi serta gangguan
fungsi organ multipel, dibantu dengan temuan pemeriksaan penunjang: leukopenia
atau leukositosis, disertai hitung jenis yang bergeser ke kiri, adanya granulasi toksik,
trombositopenia, anemia dan C-Reactive Protein positif. Juga terjadi gangguan faktor
pembekuan: penurunan kadar protombin, fibrinogen, faktor VIII, serta manifestasi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan bakteremia.
- Kejang dan Ensefalopati
Kejang yang muncul pada disenteri tentu saja dapat berupa kejang demam sederhana
(KDS). Tetapi kejang dapat merupakan bagian dari ensefalopati, dengan kumpulan
gejala: hiperpireksia, penurunan kesadaran dan kejang, yang dapat membedakannya
dengan KDS. Ensefalopati muncul akibat ST/SLT. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
temuan klinis.
- Sindrom Uremik Hemolitik
Sindrom ini ditandai dengan trias anemia hemolitik akibat mikroangiopati, gagal ginjal
akut dan trombositopenia. Anemia hemolitik akut ditandai dengan ditemukannya
fragmentosit pada sediaan apus. Gagal ginjal akut ditandai oleh oliguria, perubahan
kesadaran, peningkatan kadar ureum dan kreatinin. Trombositopenia dapat
menimbulkan gejala perdarahan spontan. Manifestasi perdarahan juga dapat
disebabkan oleh mikroangiopati, yang dapat berlanjut menjadi Disseminated
Intravasculair Coagulation (DIC). Kematian dapat disebabkan oleh terjadinya gagal
ginjal akut dan gagal jantung.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis serta pemeriksaan penunjang untuk


memastikan adanya trombositopenia, anemia hemolitik akut, serta peningkatan kadar
ureum/kreatinin. Pada keadaan yang berat bisa menyebabkan kematian karena gagal
ginjal.

- Pneumonia
Komplikasi Pneumonia bisa juga terjadi pada disenteri terutama yang disebabkan oleh
Shigella karena penurunan daya tahan tubuh menurun sehingga terjadi super infeksi.
Dari laporan ICDDR,B pada penderita yang meninggal karena disenteri, 32% ditemukan
pneumonia setelah dilakukan otopsi.
- Kurang Energi Protein/KEP (Gizi buruk)
Disentri terutama karena Shigella bisa menyebabkan gangguan gizi atau KEP pada anak
yang sebelumnya gizi kurang. Hal ini bisa terjadi karena asupan yang kurang,
pemakaian kalori yang meningkat karena proses radang dan hilangnya nutrien,
khususnya protein selama diare (Protein Lossing Enteropathy). KEP sendiri
mempermudah terjadinya disenteri. Disenteri yang terjadi selama atau sesudah
menderita campak sangat cepat menimbulkan gizi buruk.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pengukuran berat badan serta kadar albumin
darah secara berkala sehingga dapat menggambarkan derajat progresifitas timbulnya
KEP

5. Indikasi Rawat Inap

Disenteri dengan faktor risiko menjadi berat merupakan indikasi rawat inap, antara lain anak dengan
gangguan gizi berat, umur kurang dari satu tahun, menderita campak pada enam bulan terakhir, disentri
disertai dehidrasi berat dan disenteri yang datang sudah dengan komplikasi.
6. Tatalaksana Disenteri

Secara umum disenteri dikelola sama dengan kasus diare lain sesuai dengan acuan tatalaksana diare
akut. Aspek khusus penatalaksanaan disenteri adalah beri pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari),
yang masih sensitif terhadap Shigella menurut pola setempat atau di negara tersebut. Obat lini pertama
untuk disenteri adalah Cotrimoksasol atau Ciprofloxaxin tergantung sensitifitas setempat sedangkan lini
kedua adalah Cefixime.

Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dimana S. flexneri yang terbanyak, antibiotik yang sensitif (100%) antara
lain adalah siprofloksasin, kloramfenikol, asam nalidiksat, seftriakson, dan azitromisin. Trimetropim yang
dulu disarankan sebagai lini pertama sudah tidak sensitif (0%) lagi (Putnam et al, 2007). Sedangkan
penelitian di Jakarta pada bulan Juli hingga Oktober 2005 menunjukkan bahwa Shigella sonnei dan
Shigella flexneri sensitif terhadap siprofloksasin, kloramfenikol, asam nalidiksat, dan sefiksim; sedangkan
kotrimoksazol, kolistin, dan tetrasiklin sudah mengalami resistensi (Elvira et al., 2007). Asam nalidiksat
tidak banyak beredar di pasaran. Dosis siprofloksasin untuk anak-anak adalah 15 mg/kgBB 2x perhari
selama 3 hari, peroral. (WHO, 2005).

Penderita dipesan untuk kontrol kembali jika:

Tidak membaik selama 2 hari

Muncul tanda-tanda komplikasi yang mencakup panas tinggi, kejang, penurunan kesaradan, tidak mau
makan, menjadi lemah.
Pada kunjungan ulang, penderita yang tidak membaik pada hari kedua, antibiotik diganti pilihan kedua.
Bila 2 hari pemakaian antibiotik lini ke2 tidak membaik, maka antibiotik diganti dengan Metronidasol.
Jika membaik antibiotik diteruskan sampai 5 hari. Jika dalam 2 hari tidak membaik dengan Metronidasol,
rujuk dan evaluasi ke Pusat Rujukan yang lebih lengkap

Langkah diagnosis yang dapat dilakukan adalah :

Jika tidak membaik dengan ketiga antibiotik yang telah diberikan pikirkan penyebab lain yaitu: alergi
protein susu sapi, campylobacter jejuni dan Invaginasi.

Melakukan pemeriksaan mikroskopik tinja. Trofozoid Entamoeba atau Giardia mendukung diagnosis
Amubiasis atau Giardiasis. Leukosit dalam jumlah yang banyak (≥10/LPB) atau makrofag mendukung
diagnosis Shigella atau bakteri invasif lain. Telur Trichiuris, mengarahkan kita pada peranan Trichiuris
sebagai penyebab disentri, walaupun telur Trichiuris hanya ditemukan pada penderita diare dengan
jumlah kecil.

Melakukan pemeriksaan darah tepi. Leukositosis mendukung diagnosis Shigellosis atau kemungkinan
adanya infeksi sistemik (infeksi diluar saluran cerna).

Biakan Tinja. Lakukan biakan untuk Shigella, Salmonella, Camphylobacter dan E. coli pathogen.

Giardasis diberi metronidazol dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari.

Infeksi Campylobacter diobati dengan eritromisin 10 mg/kgBB maksimum 500 mg per dosis setiap 6 jam
selama 5-7 hari.

Infeksi Salmonella diobati dengan kloramfenikol 50-75 mg/kgBB/hari maksimal 2 gram per hari dibagi 4
dosis.

Infeksi Clostridium difficile diobati dengan metronidazol dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 7-10 hari.

Lakukan tatalaksana LINTAS Diare

7. Penanganan Komplikasi

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 55 mg/dl pada Gizi buruk. Jika penderita tidak sadar,
berikan 1 ml/kgBB, 10% glukosa intravena dengan drip selama 15 menit. Apabila tidak mempunyai
glukosa intravena, maka berikan 50 ml air gula lewat pipa nasogastrik.
Apabila anak sadar dan dapat menelan, beri 50 ml air peroral. Periksa kadar gula darah setelah 30 menit
pemberian gula di atas, bila masih rendah ulangi pemberian di atas, bila sudah normal, ulangi setelah 2
jam, apabila rendah, maka ulangi lagi pemberiannya

b.Hiponatremia

Jika kadar Na kurang dari 120 meq/dl dilakukan intervensi khusus berupa pemberian NaCl 3%.

Jumlah kebutuhan Na dalam meq adalah :

(Kadar Na normal – Kadar Na sekarang) x 0,3BB(kg)

(135 -120) x 0,3 x 15 kg =67,5 meq

1000 ml NaCl 3% mengandung 532 meq NaCl, sehingga jumlah NaCl 3% (dalam ml) yang dibutuhkan
sama dengan kebutuhan NaCl (dalam meq) = 67,5/532x1000ml= 126,8ml.

Untuk memudahkan perhitungan kebutuhan NaCl 3% adalah 67,5 dikalikan 2.

Cairan diberikan habis dalam waktu 2 jam. Jika kadar Na lebih dari 120 mg%, hiponatremia dapat diatasi
dengan pemberian oralit, atau cairan intravena dengan kadar Na yang relatif tinggi, misalnya Ringer
Laktat atau NaCl fisiologis.

c. Sepsis

Antibiotika harus diberikan secara parenteral. Harus diingat, spektrum antibiotik yang dipakai disamping
untuk membunuh Shigella, sekaligus ditujukan pada bakteri enterik. Pilihan antibiotika yang dapat
dipakai adalah (dimulai dari yang paling sederhana dan relatif lebih murah) :

Kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena 3 kali sehari dan gentamisin 5 mg/kgBB/hari, dua kali
sehari.

Ceftriakson 100 mg/kgBB/hari, intravena sekali sehari.

Seftazidim 100 mg/kg/BB/hari, intravena dua kali sehari.

Difenem 30 mg/kgBB/hari, intravena tiga kali sehari.

Pilihan tiga pertama sebaiknya ditambah dengan metronidazol (untuk kuman anaerob) yang diberikan
secara drip dengan dosis 8 mg/kgBB/hari.

Jika disertai dengan syok dan atau ensefalopati diberikan kortikosteroid, berupa deksametason dengan
dosis 1-3mg/kgBB/hari intravena. Semua penderita syok diberi oksigen. Syok diatasi dengan terapi
cairan :
Ringer Laktat 20 ml/kgBB dalam 30 menit sampai 1 jam pertama.

Bila tekanan darah membaik, diteruskan dengan Ringer laktat – dekstrosa 5% atau Ringer dekstrosa
untuk memenuhi kebutuhan cairan, sambil diobservasi, sehingga kecepatan pemberian cairan dapat
disesuaikan.

Bila tidak ada perbaikan, diberikan plasma atau plasma expander 10-20 ml/kgBB serta RL-dekstrosa 10-
20 ml/kgBB dalam 1 jam.

Bila tekanan darah belum membaik sebaiknya kecepatan cairan disesuaikan dengan tekanan vena
sentralis. Bila kita tidak mampu melakukannya, terapi cairan RL – dekstrosa diteruskan.

d. Kejang dan Ensefalopati

Kejang biasanya karena kejang demam

Atasi demam dengan memberikan parasetamol 10 mg/kgBB/dosis.

Jika kejang lebih dari lima menit, maka mulai terapi.

Apabila hanya ada diazepam, berikan diazepam 0,3 mg/kgBB intravena atau 0,4 mg/kgBB per-rektum
(lewat dubur), tunggu 10 menit, jika masih kejang, ulangi dosis diazepam diatas dan tunggu 10 menit;
jika masih kejang dan pernafasan baik, ulangi dosis diazepam dengan pengawasn ketat terhadap
pernafasannya.

Apabila hanya ada fenobarbital, berikan dosis loading 15 mg/kgBB intravena atau; tunggu 30 menit, jika
masih kejang berikan dosis kedua yaitu 10 mg/kgBB intravena atau ensefalopati tidak memerlukan
antibiotika tambahan. Antibiotika yang diberikan untuk shigellosis-nya dapat diberikan secara
parenteral. Berikan kortikosterid, berupa deksametason dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari intravena dibagi
dalam 3 dosis.

Bila obat di atas tidak berhasil pikirkan kejang persisten, dan komplikasi-komplikasi lain yang bisa
memicu hipoglikemi, hiponatremi, hipernatremi, ensefalopati dan HUS (Hemolitic Uremic Syndrome)/
Sindrom Uremik Hemolitik

e. Megakolon Toksik

Penderita megakolon toksik dikelola sebagai penderita sepsis. (Lihat sepsis). Tindakan paliatif yang
penting adalah melakukan dekompresi, berupa pemasangan pipa dari anus dilanjutkan pengisapan
secara berkala. Makanan enteral sementara waktu dihentikan. Pemberian makanan secara parenteral
dengan adekuat…

Sindrom Uremik Hemolitik


Anemia/perdarahan diatasi dengan transfusi, termasuk transfusi trombosit sesuai kebutuhan. Untuk
mengatasi gagal ginjal sebaiknya penderita segera dikirim ke RS yang mampu melakukan dialisis
peritoneal serta pemeriksaan kadar elektrolit serum dan analisa gas darah secara berkala. Sambil
menunggu rujukan, dapat dibantu dengan pengaturan asupan cairan serta melakukan forced diuresis
dengan furosemid dengan dosis 2 mg/kgBB perkali secara intravena. Antibiotika yang dipakai sebaiknya
antibiotika yang tidak nefrotoksik, salah satu contoh adalah seftriakson.

Perforasi

Perforasi diatasi dengan laparatomi. Antibiotika sama dengan yang diberikan pada sepsis, tetapi selalu
digabung dengan metronidazol 8-15 mg/kgBB/hari intravena diberikan secara drip.

Pneumonia

Pneumonia diatasi berdasar Standar Pelayanan Medik (SPM) yang berlaku. Antibiotika harus sekaligus
dapat mengatasi shigellosis. Jika belum multiple drug resistent dapat diberikan ampisilin 100
mg/kgBB/hari intravena 3 kali sehari dan gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari 2 kali sehari.

C.2. KEP (GIZI BURUK)

KEP (Gizi Buruk) yang telah terjadi diatasi sesuai SPM yang berlaku. Yang tak kalah penting adalah
mencegah terjadinya gizi buruk, sehubungan dengan kehilangan protein, penurunan nafsu makan dan
kemampuan makan penderita.

Secara umum acuan pemberian makanan pada kasus disentri adalah :

Beri makanan sedikit-sedikit tapi sering dengan high density diet (TKTP)

Anak dibujuk dan diberi perhatian khusus agar makan dalam jumlah yang cukup.

Pemberian makanan ekstra, minimal sampai dua minggu setelah sakit.

Biasanya nafsu makan sudah kembali 1-2 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat.

C.3. DIARE BERGIZI BURUK PANJANGAN (PROLONGED DIARRHEA)

Diare bergizi buruk panjangan, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 7 hari dan kurang dari 14 hari.
Penyebab diare bergizi buruk panjangan berbeda dengan diare akut. Pada keadaan ini kita tidak lagi
memikirkan infeksi virus melainkan infeksi bakteri, parasit, malabsorpsi, dan beberapa penyebab lain
dari diare persisten. Tatalaksana sama dengan diare persisten

C.4. DIARE PERSISTEN / DIARE KRONIK

Batasan

Diare persisten/Diare kronik adalah diare dengan atau tanpa disertai darah, dan berlangsung selama 14
hari atau lebih. Bila sudah terbukti disebabkan oleh infeksi disebut sebagai diare persisten.

Etiologi dan Epidemiologi

Sesuai dengan batasan bahwa diare persisten dan diare kronik adalah diare akut yang menetap, dengan
sendirinya etiologi diare persisten dan diare kronik merupakan kelanjutan dari diare akut.

Faktor risiko berlanjutnya diare akut menjadi diare persisten adalah :

Usia bayi kurang dari 6 bulan.

Tidak mendapat ASI

Gizi buruk

Diare akut dengan etiologi bakteri invasif

Tatalaksana diare akut yang tidak tepat :

Memakai antibiotika yang tidak tepat

Memuasakan penderita

Imunokompromise antara lain AIDS, keganasan

Patogenesis

Titik sentral patogenesis diare persisten /diare kronik adalah kerusakan mukosa usus. Pada tahap awal
kerusakan mukosa usus disebabkan oleh etiologi diare akut. Berbagai faktor, melalui interaksi timbal
balik mengakibatkan lingkaran setan. Keadaan ini tidak hanya menyebabkan penyembuhan kerusakan
mukosa terhambat, tetapi juga menimbulkan kerusakan/atrofi mukosa yang lebih berat. Keadaan ini
dapat menyebabkan gangguan absorbsi, kehilangan protein (Protein lossing enterophaty), gangguan
imunitas mukosa usus yang memacu lingkaran setan diare, Gizi buruk dan infeksi
Faktor-faktor yang memicu terjadinya lingkaran setan tersebut atara lain :

Berlanjutnya paparan etiologi infeksi. Misal : infeksi Giardia yang tidak terdeteksi. Infeksi Shigella yang
multiple drug resistent.

Infeksi intestinal sekunder. misalnya superinfeksi dari patogen lain dan jamur.

Infeksi parenteral sering terjadi sebagai penyakit penyerta misalnya campak, OMA (otitis media akuta),
ISK (infeksi saluran kencing) dan pneumonia.

Bakteri tumbuh lampau (bacterial over growth/bakteri tumbuh berlebihan) di usus halus menyebabkan
AAD Metabolit hasil penghancuran makanan oleh bakteri serta dekonjugasi dan dehidroksilasi garam
empedu bersifat toksik terhadap mukosa. Gangguan metabolisme garam empedu menimbulkan
gangguan penyerapan lemak. Bakteri tumbuh lampau berkompetisi dengan enterosit mendapatkan
mikronutrien, misalnya vitamin B12.

Gangguan gizi yng terjadi sebelum sakit, yang diperberat oleh berkurangnya asupan, bertambahnya
kebutuhan, serta kehilangan nutrien melalui usus. Gangguan gizi tidak hanya mencakup makronutrien
yang dapat menimbulkan KEP(GIZI BURUK), tetapi juga defisiensi mikronutrien seperti Zinc, termasuk
vitamin, elektrolit dan trace elements.

Menurunnya imunitas yang disebabkan oleh protein lossing enteropathy pada shigellosis, GIZI BURUK,
kurang mikronutrien (vitamin A, zinc dan cuprum).

Malabsorpsi yang sering terjadi adalah malabsorpsi laktosa. Sebagian besar diikuti intoleransi laktosa.

Pada diare lebih mudah terjadi penyerapan molekul makro. Molekul makro ini memacu sensitisasi dan
dapat menimbulkan reaksi alergi.

Pada diare persisten yang berlangsung lama akan menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan
elektrolit dan hipoglikemia.

Langkah Diagnosis

Dehidrasi

Derajat dehidrasi pada diare persisten ditetapkan sesuai dengan acuan tatalaksana diare akut. Namun
demikian, perlu berhati-hati pada diare persisten yang disertai Gizi buruk dan penyakit penyerta, dapat
mengganggu penilaian indikator derajat dehidrasi.

Perlu dilakukan juga pemeriksaan kadar Na, K, Ca serta kadar glukosa, jika sarana tersedia dilakukan
pemeriksaan analisa gas darah secara berkala.
Malabsorpsi dan Nutrisi

Status gizi ditetapkan berdasarkan klinis dan antropometri. . Kekurangan vitamin A dan Zinc dapat
memperpanjang lama (durasi) diare, tetapi manifestasi nya subklinik tetapi sudah terjadi defisiensi
sistem imun mukosa. Memeriksa kadar mikronutrien ini relatif sukar dan mahal, sehingga dalam praktik,
tanpa pemeriksaan lebih dulu, semua penderita dengan diare persisten diberi suplementasi
mikronutrien tertentu.Hal ini disebabkan ok tingginya defisiensi mikronutrien sering terjadi di negara
berkembang ok asupan yang kurang dan diare yang lama

Kemampuan makan dinilai dari , keadaan umum pada waktu sakit serta pengamatan cara pemberian
makan :

Apakah sepenuhnya makanan dapat diberikan secara enteral, atau partial enteral nutrition, atau total
parenteral nutrition.

Apakah nutrisi enteral yang diberikan : cair, saring, lunak atau biasa.

Makan melalui NGT

Kemampuan pencernaan anak dinilai berdasarkan riwayat makan sewaktu sehat, dan selama sakit,
dihubungkan dengan manifestai klinis yang muncul sampai dugaan apakah ada intoleransi terhadap
jenis makanan tertentu.

Penetapan adanya intoleransi dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain :

Pemeriksaan pH tinja

Pemerisaan gula tinja dengan tablet clinic test (uji klinik) atau tes Benedict

Pemeriksaan mikroskopik tinja untuk melihat butir lemak.

Steatokrit

Terdapat serangkaian pemeriksaan lain, misalnya lactose loading test/uji intoleransi laktosa dan
hydrogen breath test/ uji hidrogen pernafasan, yang relatif lebih sukar dilakukan.Dianjurkan untuk
dirujuk ke Rumah Sakit rujukan yang lebih tinggi

Dalam praktek, adanya intoleransi baik yang disebabkan alergi protein ditegakkan melalui uji withdrawal
(avoidance) dan challenging (henti dan tantang) pemberian makanan. Kelainan yang muncul pada uji
tersebut tidak hanya dinilai berdasarkan manifestasi klinis, tetapi juga berdasarkan pemeriksaan
penunjang.
Dari rangkaian langkah diagnosis ini kita dapat sampai pada kesimpulan apakah keadaan penderita :

Intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa ditemukan pada lebih dari 80% diare persisten, sehingga dalam
penanggulangan diare persisten, jika tidak memakai ASI, pada tahap awal selalu diberikan makanan yang
rendah atau bebas laktosa.

Alergi protein susu sapi.

Alergi protein susu kedelai

Intoleransi lemak (Steatorrhoe)

Penyebab Infeksi

Bila pada tatalaksana diare akut kita tidak dituntut untuk menelusuri jenis kuman penyebab diare maka
pada diare persisten kita harus mencari faktor penyebab ini dengan aktif. Langkah diagnosis yang dapat
dilakukan adalah :

Mempelajari perjalanan penyakit, dengan harapan dapat mengarahkan kita pada kemungkinan etiologi.

Melakukan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik tinja. Temuan trofozoit Entamoeba atau Giardia
mendukung diagnosis amoebiasis atau giardiasis.–> lihat di depan

Temuan lekosit dalam jumlah banyak (≥) 10/LPB) atau makrofag mendukung diagnosis Shigella atau
bakteri invasif yang lain. Infeksi cacing tertentu, misalnya Strongyloides atau Trichiuris diperkirakan
dapat menimbulkan diare.

Melakukan pemeriksaan darah tepi. Leukositosis mendukung infeksi bakteri invasif, khususnya
shigellosis (lht depan). Eosinofilia mendukung adanya infestasi parasit.

Biakan tinja, dimintakan biakan untuk kuman enteric pathogen, antara lain Shigella, Salmonella,
Campylobacter, Yersinia ,E. Coli dan kuman patogen lain.

C.4. Penyakit Penyerta

Diare persisten sering disertai penyakit penyerta. Diagnosis ditegakkan sesuai dengan SPM.

a. Indikasi Rawat Inap

Bayi muda yang berumur kurang dari 2 bulan


Mengalami dehidrasi

Menderita Gizi buruk

Menderita infeksi berat

Indikasi berdasarkan penyakit penyerta lain

Penderita diperkirakan tidak akan dapat mengkonsumsi makanan sesuai dengan jenis, bentuk dan
jumlah yang direkomendasikan.

b. Tatalaksana

Tatalaksana diare persisten meliputi rehidrasi, nutrisi dan pengobatan penyakit penyerta.

Rehidrasi

Oralit efektif untuk sebagian besar penderita dengan diare persisten. Pada sebagian kecil penderita,
mungkin terjadi gangguan absorpsi monosakarida (glukosa), sehingga diare menjadi berat. Pada kasus-
kasus demikian dilakukan rehidrasi secara intravena. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
diatas sesuai dengan Tatalaksana Diare cair akut dan Disentri.

Nutrisi

Sasaran akhir ditujukan untuk menjamin tumbuh kembang yang optimal dengan mengkonsumsi diet
yang sesuai dengan umur berdasar pada kondisi klinik yang normal. Untuk itu kita harus mengupayakan
regenerasi mukosa usus dengan mematahkan lingkaran setan yang memperberat kerusakan mukosa
usus. Pasokan nutrien yang adekuat, baik dalam jumlah maupun komposisinya, merupakan langkah
kunci untuk mencapainya. Pada diare persisten perlu ditekankan adanya malabsorpsi ganda dan berat,
sehingga usaha pemberian nutrisi harus disesuaikan dengan kemampuan/kapasitas digesti dan absorpsi
saluran cerna. Pemberian nutrisi optimal akan memacu regenerasi mukosa, meningkatkan kapasitas
digesti dan absorpsi, sehingga akan memperluas pilihan jenis, bentuk, dan cara pemberian makanan.
Kemajuan dalam terapi nutrisi parenteral, sangat membantu penanganan diare persisten. Tetapi harus
diingat, nutrisi enteral harus lebih diutamakan, karena lebih murah, efek sampingnya lebih sedikit, dan
yang paling penting, ternyata rehabilitasi mukosa jauh akan lebih cepat dan sempurna kalau diberi
nutrisi intra luminal, yang hanya dapat dipasok melalui nutrisi enteral.

Banyak acuan dan cara pemberin makanan pada penderita diare persisten. Makanan akan diberikan
dalam bentuk padat atau cair, alami atau hidrolisat atau produk nutrisi elemental sintesis; kontinyu atau
intermiten; diberian secara oral atau melalui pipa lambung atau pemberian nutrisi parenteral secara
perifer atau sentral. Nutrisi enteral harus merupakan prioritas walaupun terjadi peningkatan volume dan
frekuensi defekasi. Keadaan ini dapat ditolelir sepanjang keseimbangan nutrisi tetap positif.
Nutrisi Enteral

Langkah pertama adalah menetapkan pilihan jenis makanan yang diberikan. Faktor yang
dipertimbangkan :

Umur anak

Kebiasaan makan sebelum dan selama sakit

Kemampuan pencernaan anak

Acuan yang dipakai :

Jika anak mendapat ASI, ASI harus tetap diberikan karena efek imunologis dan efek anti infeksi dari ASI..
Kalau anak tidak dapat menyusui, ASI dapat diperas.

Laktosa tidak dianjurkan untuk diberikan pada diare persisten,. Pada bayi yang tidak minum ASI
diberikan susu rendah atau bebas laktosa.

Apabila anak sudah dapat mengkonsumsi bahan makanan biasa, pilihan yang dianjurkan adalah:

Sumber karbohidrat yang mudah diserap (polimer glukosa): beras, gandum, mie,bihun, umbi-umbian
dan roti, tepung sagu dan tapioka.
Sumber protein yang mudah dicerna : daging ayam, tempe, atau telur

Sumber lemak yang mudah dicerna (MCT/Middle Chain Trigliserida) : minyak sayur.

Langkah berikutnya adalah menentukan bentuk makanan, apakah cair, saring, lunak, atau biasa. Bentuk
yang dipilih disamping tergantung jenis makanan yang akan diberikan, juga mengikuti pilihan cara
pemberian makanan, yang dapat berupa: melalui mulut (makan sendiri, disendokkan)

Bayi yang berumur lebih dari 6 bulan, diberikan makan 6-8 kali sehari, segera setelah bisa makan.
Kebanyakan mengalami anoreksia selama 1-2 hari sampai infeksi dapat ditanggulangi. Dalam hal ini
mereka membutuhkan makanan lewat pipa lambung. Dua macam makanan dapat merupakan pilihan
untuk diare persisten :

Gunakan susu sebagai sumber protein hewani. Berikan tidak lebih dari 3.7 g laktosa/kgBB/hari. Kurang
lebih 70% dari anak-anak akan membaik dengan diet ini. Jika anak tidak membaik dalam tujuh hari, atau
apabila diare atau dehidrasi memberat, hentikan diet dan berikan diet kedua. Kedua pilihan diet
tersebut paling sedikit mengandung 70 kkal/100g, dan yang mengandung minimal 10% dari kalori yang
diberikan oleh protein.

Contoh :

Campurkan 40 g nasi (5 sendok teh penuh) yang terbuat dari 15 g beras dengan:
85 ml susu segar (2/5 cangkir)

3,5 g minyak (3/4 sendok teh)

3 g gula/glukosa (2/3 peres sendok the)

Tambahkan air sampai 200 ml (satu cangkir penuh)

Berikan 200 ml/kgBB/hari

Diet rendah tepung dan bebas laktosa

Gunakan telur, ayam atau ikan sebagai sumber protein

Contoh :
Campurkan 8 g nasi (1 sendok teh penuh)

dibuat dari 3 g beras dengan :

64 g telur (2 telur kecil) atau 12 g ayam atau ikan cincang

4 g minyak (1 sendok teh)

3 g gula/glukosa (2/3 peres sendok teh)

Tambahkan air sampai 200 ml. Jika menggunakan telur mentah, masaklah terlebih dahulu.

Berikan 200 ml/kgBB/hari selama tujuh hari.

Bubur tempe juga bisa diberikan apabila tersedia atau bisa dibuat sendiri dengan cara sebagai berikut:

Bahan:

Beras 40 g ½ gelas

Tempe 50 g 2 potong
Wortel 50 g ½ gelas

Cara membuat:

Buatlah bubur. Sebelum matang masukkan tempe dan wortel.

Setelah matang diblender (atau dihancurkan dengan saringan) sampai halus.

Bubur tempe siap disajikan.

Supplemen multivitamin dan mineral.

Semua anak dengan diare kronis/persisten perlu diberi supplemen multivitamin dan mineral setiap hari
selama dua minggu. Ini harus bisa menyediakan berbagai macam vitamin dan mineral yang cukup
banyak, termasuk minimal dua RDAs (Recommended Daily Allowance) folat, vitamin A, magnesium dan
copper.

Sebagai panduan, satu RDA untuk anak sampai umur 1 tahun adalah:
folat 50 micrograms

zinc 10 mg

vitamin A 400 micrograms

zat besi 10 mg

copper 1 mg

magnesium 80 mg.

Monitoring

Perawat harus memeriksa hal-hal dibawah ini setiap hari:

berat badan

suhu badan

asupan makanan

frekunsi BAB

Sonde lambung
Pada anak yang kondisinya relatif lemah dan kemampuan pencernaannya sangat terbatas, nutrisi dapat
diberikan melalui sonde lambung.

Nutrisi Parenteral

Nutrisi parenteral adalah suatu teknik untuk memberikan nutrisi yang diperlukan tubuh melalui
intravena. Nutrien yang diberikan terdiri dari air, elektrolit, glukosa, , asam amino, lemak, mineral,
vitamin dan trace elements. Nutrisi parenteral mempunyai komplikasi yang dapat disebabkan oleh
faktor metabolik, mekanik atau infeksi. Bila dilaksanakan dengan hati-hati, komplikasi dapat ditekan
serendah mungkin. Nutrisi parenteral dapat diberikan secara sentral atau perifer, total atau parsial
tergantung pada keadaan klinik penderita.

Pertumbuhan dan kenaikan berat badan bayi dan anak yang mendapatkan nutrisi parenteral secara
sentral sama seperti bayi yang minum ASI atau susu formula standar. Dengan adanya nutrisi parenteral
angka kematian pada diare persisten menurun dari 70%-90% menjadi kurang dari 10%. Pelaksanaan
nutrisi parenteral total secara rinci tidk dibicarakan disini, karena merupakan topik yang luas dan
mendalam yang memerlukan tatalaksana tersendiri. Lazimnya di Indonesia baru dapat dilaksanakan di
sarana pelayanan tersier.

Secara umum terapi nutrisi parenteral parsial lebih mungkin dilaksanakan. Prosedur ini tetap sangat
membantu, karena pada kasus berat dengan kemampuan perencanaan sangat minimal, dengan
menggabung terapi nutrisi enteral dan parenteral kita dapat memberikan pasokan nutrien yang lebih
adekuat. Dengan demikian diharapkan rehabilitasi mukosa usus akan lebih baik sehingga kemampuan
pencernaan akan meningkat. Dengan kemampuan pencernaan yang meningkat, porsi makanan enteral
dapat ditingkatkan sedangkan porsi parenteral dikurangi dan akhirnya dihentikan.

Sebagai pegangan untuk melaksanakan terapi nutrisi parenteral parsial ini dapat digunakan patokan
berikut :

Kebutuhan air :

BB 0-10 kg : 100 ml/kgBB

BB 11-20 kg : 1000 ml + 50 ml x (BB – 10)

BB > 20 kg : 1500 ml + 20 ml x (BB – 20)

Kebutuhan kalori

BBLR : 150 kkal/kgBB

BB 0-10 kg : 100 kkal/kgBB

BB 11-20 kg : 1000 kkal + 50 kkal x (BB – 10)

BB > 20 kg : 1500 kkal + 20 kkal x (BB – 20)

Sumber kalori berupa :


20-30% dalam bentuk lemak. Lemak yang tersedia di pasaran dengan konsentrasi 10% – 1,1 kkal per ml,
20% – 2,2 kkal/ml. Sebagai ilustrasi : memberikan lemak 10% 20 ml/kgBB sudah memenuhi 22%
kebutuhan kalori anak di bawah 10 kg.

Karbohidrat dalam bentuk dekstrosa. Untuk mencegah phlebitis pada pemberian intravena perifer,
sebaiknya kadarnya tidak lebih dari 10%. Kalori 4 kkal/g. Sebagai ilustrasi, dengan memberikan glukosa
10% 50cc/kgBB, kita baru memberikan 20 kkal/kgBB (20% dari kebutuhan anak dibawah 10 kg).

Pada tahap awal diberikan bertahap untuk memacu pembentukan insulin endogen agar tidak terjadi
hiperglikemia.

Kebutuhan asam amino :

BBLR 2,5 – 3 g/kgBB

Usia 0 – 1 tahun : 2,5 g/kgBB

Usia 2 – 13 tahun : 1,5 – 2 g/kgBB

Kebutuhan mikronutrien :

Kalium 1,5 – 2,5 meq/kgBB

Natrium 2,5 – 3,5 meq/kgBB

Tubuh tetap membutuhkan mikronutrien lain, baik berupa vitamin maupun trace elements yang dapat
diberikan secara enteral maupun parenteral.
Kebutuhan natrium dan Kalium dapat diberikan secara intravena. Dalam menetapkan kadar elektrolit
cairan yang kita pakai kita harus memperhatikan defisit yng telah terjadi, dan kehilangan yang sedang
berlangsung. Juga harus diperhitungkan elektrolit yang dapat diberikan secara oral.

Dengan menilai pasokan nutrien secara enteral, dan mengacu pada pegangan di atas kita dapat
menetapkan jenis dan kecepatan cairan nutrisi parenteral parsial melalui vena perifer yang akan kita
pakai. Tentu kita harus mempelajari komposisi cairan yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein
yang tersedia di pasar.

Terapi Medikamentosa

Obat antidiare

Sama dengan kebijakan pada diare akut, kita tidak memakai obat anti diare pada diare persisten.

Ada beberapa obat telah diujicobakan pada anak dengan diare kronis, misalnya obat antikolinergik, bile
salt sequestering agent, preparat enzim pankreas, penghambat prostaglandin, dan dilaporkan
menunjukan khasiat dalam memperingan diare. Tetapi, sebagai pegangan umum, tidak dianjurkan
memakai obat-obat ini pada diare persisten yang merupakan kelanjutan dari diare akut.
Antibiotika

Pemberian antibiotika secara rutin tidak diperlukan. Tetapi antibiotika diberikan sesuai indikasi (lihat
butir C langkah diagnostik) atau apabila ada infeksi non-intestinal seperti pneumonia, infeksi saluran
kencing atau sepsis.

Terapi zinc

Disesuakan tatalaksana diare akut diberikan 14 hari

Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta ditanggulangi sesuai dengan standar penyakit penyertanya.

C.5. GIZI BURUK

1. Batasan
Gizi buruk yang dimaksud adalah Gizi buruk tipe marasmus atau kwarsiorkor, yang secara nyata
mempengaruhi perjalanan penyakit dan tatalaksana diare yang muncul.

Diare yang terjadi pada GIZI BURUK cenderung lebih berat, lebih lama dan dengan angka kematian yang
lebih tinggi dibandingkan dengan diare pada anak dengan gizi baik. Walaupun pada dasarnya
tatalaksana diare pada GIZI BURUK sama dengan pada anak dengan status gizi baik, tetapi ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan. Perlu dipahami perubahan morfologis dan fisiologis saluran cerna pada GIZI
BURUK pengaruhnya terhadap perjalanan klinik diare dan penyesuaian yang perlu dilakukan pada
tatalaksananya.

2. Etiologi

Pada dasarnya spektrum etiologi diare pada GIZI BURUK sama dengan yang ditemukan pada diare yang
terjadi pada anak dengan gizi baik. Tetapi sehubungan dengan berkurangnya imunitas pada GIZI BURUK,
kemungkinan munculnya diare akibat kuman yang oppurtinistik menjadi lebih besar. Demikian pula
peranan penyebab malabsorpsi menjadi lebih besar.

Patogenesis
Patogenesis diare pada GIZI BURUK mirip pada diare persisten, yaitu bertumpu pada kerusakan mukosa.
Bedanya, jika pada diare persisten kerusakan mukosa terjadi pada mukosa sehat, pada GIZI BURUK
kerusakan mukosa terjadi pada mukosa yang telah atropik dan mengalami metaplasi. Sehingga dampak
patofisiologisnya menjadi lebih besar dan pemulihannya menjadi lebih sulit dan lama. Faktor-faktor yang
berinteraksi timbal balik, sehingga menimbulkan lingkaran setan, yang menghambat rehabilitasi
kerusakan mukosa sebagaimana halnya pada diare persisten juga ditemukan pada diare dengan GIZI
BURUK. Yaitu :

Berlanjutnya paparan etiologi infeksi.

Infeksi intestinal sekunder..

Infeksi parenteral, baik sebagi komplikasi maupun sebagai penyakit penyerta

Bakteri tumbuh lampau di usus halus.

Malnutrisi makronutrien dan mikronutrien

Menurunnya imunitas, sistemik dan lokal

Malabsorpsi.

Alergi.

Interaksi faktor-faktor yang berperan pada lingkaran setan ini jauh lebih berat dibandingkan pada diare
persisten yang terjadi pada anak dengan gizi baik. Berdasarkan kondisi khusus ini beberapa hal perlu
diperhatikan, antara lain, bahwa pada anak dengan GIZI BURUK :
Telah terjadi atrofi mukosa usus halus dan insufiensi pankreas. Kita harus mengantisipasi
penatalaksanaan yang lebih rumit dan penyembuhan yang lebih lambat. Misalnya harus lebih waspada
terhadap kemungkinan bertambah beratnya diare akibat pemberian makanan.

Lebih sering terdapat kurang mikronutrien, seperti asam folat, besi, seng, magnesium dan vitamin A.

Pada anak GIZI BURUK cenderung terjadi hipoglikemia karena cadangan glikogen yang terbatas dan
adanya gangguan fungsi hati dalam glukoneogenesis. Implikasinya adalah penderita jangan dipuasakan.

Pada anak dengan GIZI BURUK biasanya telah terjadi deplesi kalium dan akan bertambah buruk dengan
adanya diare. Implikasinya adalah memberikan kalium secukupnya pada terapi rehidrasi dan terapi
nutrisi.

Pada anak GIZI BURUK terdapat retensi cairan dan merendahnya cadangan kapasitas jantung dan
sirkulasi. Anak dengan GIZI BURUK sangat sensitive terhadap kelebihan pemberian natrium yang dengan
cepat dapat menimbulkan hipervolumia, udem paru dan gagal jantung. Implikasinya kita harus sangat
membatasi pasokan Na baik secara parenteral maupun secara enteral.

Karena gangguan sistem imunitas, pada anak dengan GIZI BURUK mudah terjadi infeksi. Implikasinya
antara lain jangan terlalu cepat memutuskan pemberian terapi rehidrasi parenteral bila pemberian
terapi rehidrasi oral atau melalui pipa nasogastrik masih memungkinkan.

Harus diperhatikan penyakit infeksi penyerta yang mungkin ada, seperti misalnya sepsis,
bronkopneumonia, faringitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dam lain-lain. Disamping itu infeksi
berat pada GIZI BURUK sering tidak disertai gejala klinik yang klasik. Gejala klasik infeksi adalah demam
tetapi pada Gizi buruk sering muncul gejala hipotermi. Penanggulangan penyakit penyerta sangat
menentukan keberhasilan penanggulangan diare maupun GIZI BURUK-nya sendiri.

Terdapat kesulitan dalam menentukan status hidrasi pada pasien GIZI BURUK yang menderita diare
karena tanda-tanda klinik untuk menentukan dehidrasi tidak dapat dipercaya, seperti turgor misalnya.

Langkah Diagnosis

Langkah diagnosis diare pada GIZI BURUK sejalan dengan langkah diagnosis pada diare persisten. Rincian
pelaksanaanya mengacu pada langkah diagnosis Tatalaksana Kasus Diare Persisten.

Dehidrasi

GIZI BURUK dan penyakit penyerta yang menyertainya menganggu penilaian indikator derajat dehidrasi,
sehingga tingkat kesalahan menjadi lebih besar. Di lain pihak akibat merendahnya cadangan, anak
menjadi lebih berisiko terhadap kelebihan pemeberian cairan. Frekuensi dan kualitas denyut nadi,
produksi urin, dan hemaktokrit mungkin dapat digunakan untuk memantau status dehidrasi. Langkah
pengamanan yang diambil adalah : membatasi jumlah cairan rehidrasi yang direncanakan, dan
melakukan observasi yang lebih ketat selama proses rehidrasi.
Pada GIZI BURUK kita mungkin berhadapan dengan syok septik yang dapat muncul bersama atau tanpa
dehidrasi. Syok pada GIZI BURUK yang terjadi tanpa dehidrasi atau syok yang belum hilang setelah
dehidrasi teratasi dianggap sebagai syok septik.

Penetapan derajat dehidrasi dilanjutkan dengan penelusuran pemeriksaan kadar Na, K dan Ca serta
kadar glukosa. Jika tersedia tentu dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah secara berkala.

Nutrisi

Status gizi ditetapkan berdasarkan klinis dan antropometri yaitu BB/PB.

Kurang mikronutrien, seperti vitamin A dan seng lebih sering ditemukan. Manifestasi klinis kurang
mikronutrien ini juga relatif lebih sering ditemukan. Semua penderita GIZI BURUK dengan diare diberi
suplementasi mikronutrien tertentu.

Kemampuan makan anak. Kita harus dapat menyimpulkan cara dan bentuk pemberian makanan.

Apakah sepenuhnya dapat diberikan makanan enteral, atau memerlukan makanan parenteral.

Apakah bentuk makanan enteral yang diberikan : cair, saring, lunak atau biasa.

e. Penyakit Penyerta
GIZI BURUK hampir selalu disertai penyakit penyerta. Manifestasi klinis sering tidak lengkap atau sesuai
dengan yang muncul pada anak dengan gizi baik. Diagnosis ditegakkansesuai SPM. Lakukan langkah
diagnostik lebih lanjut atas indikasi, untuk menyingkirkan kemungkinan tuberkulosis primer. Meskipun
tidak ada kelainan urinalisis, kita melakukan biakan urin pada semua kasus GIZI BURUK

f. Tatalaksana

Semua penderita diare pada GIZI BURUK dirawat inap. Ada yang membagi tatalaksana GIZI BURUK
menjadi 3 tahapan Tahapan resusitasi

Tahapan realimentasi

Tahapan rehabilitasi

Pada tahapan resusitasi dilakukan penanggulangan gangguan fungsi vital tubuh. Penanggulangan
gangguan fungsi pernapasan dan fungsi serebal secara intensif belum dapat dilakukan di semua rumah
sakit. Kegiatan utama penyelamatan lebih bertumpu pada resusitasi ganguan sirkulasi serta mengatasi
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa yang menyertainya. Kegiatan ini lebih kurang sejalan
dengan langkah penanggulangan dehidrasi.
Pada tahapan realimentasi secara bertahap kita menilai dan memberikan makanan yang sesuai yang
dapat ditolerir anak, untuk sampai pada makanan optimal yang akan diberikan pada tahapan
penyembuhan.

Pada tahapan rehabilitasi kita melakukan langkah-langkah pendidikan dan bimbingan serta langkah
preventif dan promotif lainnya, sehingga ibu dapat merawat anaknya dan diharapkan tetap tumbuh
kembang optimal. Dalam praktek tahapan-tahapan ini tidak terpisah dan berdiri secara ekslusif,
misalnya kita sudah dapat memulai langkah pembinaan dari awal. Kita harus mencari dan mengobati
penyakit penyerta begitu keadaan memungkinkan.

g. Perawatan penderita

Ada sepuluh langkah pokok dalam penanganan anak diare dengan GIZI BURUK (Child Health Dialogue,
1996) :

Atasi hipoglikemia

Atasi hipotermia

Atasi dehidrasi
Koreksi gangguan elektrolit

Terapi infeksi

Koreksi kurang mikronutrien (vitamin & mineral)

Mulai pemberian makanan secara hati-hati

Kejar pertumbuhan

Stimulasi, bermain, dan asuhan kasih sayang

10. Persiapan tindak lanjut setelah penderita pulang

Langkah kesembilan dan sepuluh merupakan langkah penting yang sering dilupakan dalam pelayanan
medik, yang sangat menentukan dalam kualitas hidup anak.

Hipoglikemia dan Hipotermia

Hipoglikemia dan hipotermia merupakan pencetus memburuknya keadaan umum anak dengan GIZI
BURUK yang dapat berlanjut menjadi kematian. Kadar glukosa darah anak harus diperiksa dan kalau
terdapat hipoglikemia maka ditangani secara intensif. Semua anak dengan hipotermia (suhu rektal 35,5°
C atau kurang ) harus diperiksa dan kalau terdapat hipoglikemia. Jika tidak tersedia sarana pemeriksaan
glukosa darah, semua anak dengan GIZI BURUK pada tahap awal harus dianggap menderita
hipoglikemia. Kita harus sudah melakukan tindakan koreksi jika kadar glukosa darah < 3 mmol/l (55
mg/dl). Sehubungan dengan acuan membatasi pemberian cairan parenteral hipoglikemia dikoreksi
dengan pemberian glukosa 10% atau sukrosa 10% secara enteral sebanyak 50 ml ; diberikan setiap 30
menit selama 2 jam. Kalau perlu dapat diberikan setiap 30 menit selama 2 jam dinilai kembali kadar
glukosa darah.
Cairan rehidrasi parenteral harus mengandung glukosa. Makanan harus diberikan sesegera mungkin.
Kalau pasokan nutrien masih terbatas, kadar gula darah diperiksa secara berkala.

Anak harus dirawat dalam lingkungan yang hangat dan diselimuti. Kalau memungkinkan dirawat pada
couvouse BBLR (Berat Badan Lahir Rendah).

Infeksi sekunder mudah terjadi, dan kalau terjadi di rumah sakit dalam bentuk infeksi nosokomial yang
sulit diobati. Karena itu perawatan yang intensif sangat penting. Misalnya memperhatikan hygiene
mulut dan daerah perineum. Kebersihan tempat tidur sangat penting diperhatikan.

Rehidrasi

Pada dehidrasi ringan/sedang, tetap upayakan memberikan terapi rehidrasi oral, apabila tidak mungkin
cairan diberikan melalui pipa nasogastrik sampai anak bisa minum.

Untuk rehidrasi atau untuk mencegah dehidrasi gunakan larutan oralit standar yang telah dimodifikasi,
karena oralit mengandung terlalu banyak natrium dan terlalu sedikit kalium untuk anak dengan GIZI
BURUK. Modifikasi tersebut dinamakan cairan ReSoMal.
Pada larutan tersebut didapatkan kadar natrium 45 mmol dan kalium 40 mmol. Jangan menggunakan
infus kecuali dalam keadaan syok untuk mencegah kelebihan cairan dan beban jantung yang terlalu
berat.

Untuk rehidrasi, berikan cari berapa ml/kgBB:

ml/kgBB cairan ReSoMal setiap 30 menit dalam 2 jam peroral atau pipa nasogastrik, kemudian

ml/kgBB setiap jam untuk untuk 4-10 jam berikutnya

Jumlah yang sesungguhnya yang harus diberikan ditentukan sebanyak anak mau, jumlah dan volume
tinja yang keluar dan apabila ada, muntahan yang keluar.

Mulailah pemberian makanan secepatnya setelah dehidrasi teratasi. Monitor keadaan setiap 30 menit
pada dua jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam berikutnya. Disini termasuk mengukur nadi,
pernapasan, buang air kecil, buang air besar dan muntah. Apabila kecepatan napas dan nadi tetap tinggi
maka dipikirkan adanya infeksi, gagal jantung dan kelebihan cairan yang masuk.

Apabila ada tanda-tanda tersebut maka pemberian cairan dihentikan dan dievaluasi 1 jam kemudian.

Untuk mencegah dehidrasi apabila anak menderita diare cair :

Berikan makanan secepatnya

Segera ganti sebanyak cairan yang keluar dengan ReSoMal

Teruskan pemberian ASI

Bila diperlukan rehidrasi parenteral pada keadaan dehidrasi berat dengan syok, cairan parenteral
sebanyak 200 ml/kg BB diberikan dalam waktu 24 jam dengan rincian : 60 ml/kgBB diberikan selama 4-8
jam pertama, dan sisanya diberikan dalam waktu 16-20 jam berikutnya. Gunakan cairan parenteral
dengan kandungan kalium tinggi, misalnya larutan Darrow-Glukosa 10%. Pantau dengan ketat
pemberian cairan untuk mencegah kelebihan cairan dengan perhatian khusus pada tanda udem dan
produksi urin.

Tanda awal udem paru akibat kelebihan cairan apabila dalam waktu setengah jam:
Bertambahnya frekuensi napas 5 kali dalam semenit

Bertambahnya hitung nadi 30 kali dalam semenit

Karena itu hitung napas dan hitung nadi harus dilakukan tiap setengah jam.

Ronki basah kasar tak nyaring merupakan tanda nyata udem paru

Jika syok tidak teratasi dengan rehidrasi parenteral, kita harus memikirkan syok septik. Syok septik
diatasi sesuai dengan standar. Cara mengatasi GIZI BURUK dengan syok yang dianjurkan oleh WHO :

Berikan Ringer laktat dekstrosa 5% 15 ml/kgBB dalam 1 jam. Dinilai apakah ada perbaikan nadi dan
frekuensi napas.

Jika terdapat perbaikan nadi dan frekuensi napas, ulangi pemberian cairan yang sama satu jam lagi.
Kemudian pindah ke rehidrasi oral.
Jika tidak membaik, anak dianggap menderita syok septik, diberi cairan yang sama dengan kecepatan 4
ml/kgBB/jam sambil mempersiapkan pemberian darah sebanyak 10 ml/kgBB yang diberikan dalam 3
jam. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian formula starter.

Sesuai dengan acuan rehidrasi intravena yang dianjurkan di atas, jika syok masih belum teratasi dengan
pemberian cairan rehidrasi setelah 4 jam pertama, kita dapat mengadopsi anjuran WHO ini, dengan
menambahkan pemberian darah, dengan catatan kita harus sangat berhati-hati memberikan alokasi
cairan untuk 20 jam berikutnya, agar tidak terjadi hipervolumia.

Bila memungkinkan, periksa secara berkala analisis gas darah (pH dan defist basa). Jika asidosis belum
dapat teratasi melalui basa yang terdapat pada cairan rehidrasi, dapat dilakukan koreksi tambahan
dengan perhitungan sebagai berikut.

Kebutuhan basa dalam meq = (deficit basa) x 1/3 x berat badan (kg)

Di pasar tersedia cairan natrium bikarbonat 7,5% atau 8,54%, dimana 1 ml dapat dianggap mengandung
satu meq ion bikarbonat. Larutan bikarbonat bisa diberikan secara bolus, dengan menyuntikkannya
perlahan-lahan secara intravena, setelah diencerkan dengan glukosa 5% atau ditambahkan pada cairan
rehidrasi. Jika tidak tersedia sarana pemeriksaan defisit basa, sedangkan anak dilakukan koreksi
berdasarkan asumsi terdapat defisit basa sebesar 5 meq/dl.

Nutrisi
Sama halnya dengan Tatalaksana Diare Persisten, sasaran akhir adalah untuk menjamin tumbuh
kembang yang optimal, dalam arti bahwa anak dapat mengkonsumsi diet yang lazim sesuai dengan
umurnya berdasarkan kondisi klinik yang normal. Langkah terapi nutrisi diet persisten dapat digunakan
sebagai acuan terapi nutrisi diare pada GIZI BURUK berat. Dalam hal ini pemberian suplemantasi
mikronutrien menjadi suatu keharusan. Langkah-langkah terapi mengacu pada Tatalaksana Kasus Diare
Persisten.

Harus diingat bahwa upaya regenarasi mukosa usus lebih sulit dan lama karena kita berhadapan dengan
mukosa yang telah atropik. Jadi kita harus mengantisipasi upaya penyesuaian pemberian makanan yang
lebih bertahap dan lebih lama, diikuti dengan upaya pemulihan yang lebih lama pula.

Dalam Tatalaksana Kasus GIZI BURUK acuan WHO, pada tahap awal dapat diberikan starter dalam
bentuk makanan cair dengan komposisi :

Susu skim 25 g

Gula 100 g

Minyak sayur 30 g

Larutan suplementasi mineral 20 ml

Tambahkan air menjadi 1000 ml

Kandungan kalori 75 kkal/dl


Kemudian diteruskan dengan formula catch up dengan komposisi :

Susu skim 80 g 90 g

Gula 50 g 65 g

Minyak sayur 60 g 75 g

Larutan suplementasi meineral 20 ml 20 ml

Tambahkan air menjadi 1000 ml 1000 ml

Kandungan kalori 100 kkal/dl 135 kkal/dl

Catatan: Gula dapat diganti dengan tepung beras yang sudah dimasak. Keuntungannya adalah
osmolaritas lebih rendah.

Terapi medikamentosa

Obat antidiare

Sama dengan kebijakan pada diare akut, kita tidak memakai obat antidiare pada diare persisten
Antibiotika

Indikasi pemberian antibiotika pada diare akut diterapkan pada diare pada GIZI BURUK berat, tentunya
dengan memperhatikan penelusuran aktif penyebab infeksi diare pada GIZI BURUK berat.

Semua penderita GIZI BURUK berat yang keadaan umumnya tidak membaik setelah koreksi
hipoglikemia, hipotermia dan dehidrasi, harus diperkirakan menderita infeksi sekunder dan diberikan
antibiotika. Antibiotika pilihannya adalah :

Kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari, i.v. 3 kali sehari dan gentamisin 5 mg/kgBB/hari, dua kali sehari

Seftriakson 100 mg/kgBB/hari, i.v. sekali sehari

Seftazidim 100 mg/kgBB/hari, i.v., dua kali sehari

Semua kasus dianggap menderita syok septik diberi antibiotika yang adekuat. Antibiotika yang dipakai
sejalan dengan acuan pada Tatalaksana Kasus Disentri Berat. Pemberian antibiotika untuk penyakit
penyerta disesuaikan dengan standar.

Stimulasi, bermain dan asuhan kasih sayang


Pada GIZI BURUK terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku.

Sejak awal perawatan berikan asuhan Gizi burukerawatan yang:

Penuh kasih sayang

Menyediakan permainan dan kegiatan fisik segera setelah anak mampu melakukannya

Memberikan suasana lingkungan menyenangkan dan ceria

Mendorong keterlibatan ibu dalam perawatan yang memungkinkan, seperti memandikan, memberi
makan dan bermain.

Persiapan tindak lanjut setelah pulang

Langkah ini sudah merupakan awal dari persiapan tindak lanjut setelah pulang. Sehingga di rumah, para
ibu atau yang mengasuh lainnya mempunyai Gizi burukercayaan serta dapat melakukannya jika sudah di
rumah. Anak dapat dipulangkan apabila sudah mencapai 90% berat badan perpanjang badan. Anak
sangat mungkin masih mempunyai berat badan yang rendah menurut umur, karena menderita stunting
(kerdil), ibu/keluarga :

Memberikan makanan tinggi kalori dan nutrien paling sedikit lima kali sehari.
Bermain dengan anak dengan cara yang memperbaiki perkembangan mental anak.

Diingatkan untuk mengikuti program imunisasi dan pemberian vitamin A. Jika belum mendapatkan
supaya diberikan sebelum anak dipulangkan, untuk menghindari missed opportunity atau kehilangan
kesempatan memperoleh imunisasi.

Penyakit penyerta

Penyakit penyerta ditanggulangi sesuai dengan standar yang berlaku. Perlu diingat, keberhasilan
penanggulangan diare pada GIZI BURUK berat juga ditentukan oleh keberhasilan penanggulangan
penyakit yang menyertainya.

C.6. DIARE DENGAN PENYAKIT PENYERTA

1. Pendahuluan
Anak yang menderita diare (diare akut atau diare persisten) mungkin juga disertai dengan penyakit lain.
Tatalaksana penderita tersebut selain berdasarkan acuan baku tatalaksana diare juga tergantung dari
penyakit yang menyertai.

Penyakit yang sering terjadi bersamaan dengan diare :

Infeksi saluran napas (bronkhopneumonia, bronkhiolitis, dll)

Infeksi sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis, dll)

Infeksi saluran kemih

Infeksi sistem lain (sepsis, campak, dll)

Kurang gizi (GIZI BURUK berat, kurang vitamin A, dll)

Penyakit yang dapat disertai dengan diare tetapi lebih jarang terjadi :

Penyakit jantung yang berat/gagal jantung

Penyakit ginjal/gagal ginjal

2. Tatalaksana
Dalam penatalaksanaannya harus dipertimbangkan :

Kemampuan untuk makan minum peroral

Fungsi dan kemampuan sistem sirkulasi

Cadangan jantung yang rendah, misalnya pada pneumonia berat (akibatnya terjadi risiko cor pulmonale
akut) atau GIZI BURUK berat (akibat atropi dan hipoksia otot jantung).

Dehidrasi terjadi pada seluruh kompartemen cairan : intravaskular, ekstraselular dan intraselular).
Sedangkan kita memberikan cairan rehidrasi melalui kompartemen intravaskular. Dibutuhkan waktu
bagi cairan menyebar ke kompartemen lain. Jadi kita seperti berhadapan dengan hipervolumia
temporer. Berkurangnya cadangan kardiovaskular menyebabkan rehidrasi cepat menjadi berbahaya
sehingga kita harus menyesuaikan kecepatan pemberian cairan rehidrasi (lihat Tatalaksana Diare dengan
GIZI BURUK Berat).

3. Penyakit atau keadaan yang memerlukan restriksi cairan

Seperti pada ensefalitis atau dekompensasi kordis.

Kita harus memperhitungkan jumlah cairan yang kita beri berdasarkan pada asumsi tertentuMisalnya
pada dehidrasi berat diperkirakan berdasarkan kehilangan cairan 12,5% dari berat badan. Akan tetapi
dapat saja pada kasus tertentu kehilangan cairan hanya 10%, sehingga kalau kita melakukan rehidrasi
berdasarkan rumus, mungkin anak akan mendapat cairan sedikit lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Pada umumnya anak dapat mentolerir kelebihan ini. Tetapi pada keadaan khusus, kelebihan ini dapat
berbahaya. Langkah penyesuaian yang diambil antara lain memberikan cairan ¾ atau 80% dari
perhitungan, diikuti dengan observasi yang lebih ketat. Tentu kita juga harus memperlambat kecepatan
pemberian cairan rehidrasi.
4. Fungsi Ginjal

Dapat dimengerti bahwa gangguan fungsi ginjal mengharuskan kita menyesuaikan jumlah, komposisi
elektrolit dan asam basa pemberian cairan

5. Interaksi perjalanan penyakit

Pada GIZI BURUK berat telah tercermin interaksi perjalanan penyakit diare dan penyakit lain. Misalnya
pada meningitis bakterial yang diobati dengan seftriakson, sefalosporin ysng dieliminasi melalui
empedu, dapat menimbulkan gangguan ekosistem usus dan memperberat diare.

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan di atas, langkah penyesuaian dapat mencakup :

a. Terapi cairan
Kebutuhan cairan anak dalam keadaan diare dalam 24 jam dapat dipilah menjadi :

Untuk mengatasi kehilangan cairan yang sedang berlangsungon going losses (mencegah dehidrasi).
Jumlahnya sekitar 25-50 ml/kgBBKadar natrium-nya sekitar 50 mmol. Ditambah basa (Bic nat) dan
kalium.

Untuk rehidrasi. Komposisinya lebih kurang sama dengan komposisi cairan ekstra selular (kadar natrium
sekitar 140 mmol). Cairan yang hilang saat ini Jumlahnya pada dehidrasi berat 100 -125 ml/kgBB.
Ditambah suplementasi untuk mengatasi defisit kalium dan basa.

Untuk memenuhi kebutuhan. Jumlahnya sekitar 100 ml/kgBB. Kadar natrium sesuai kebutuhan, sekitar
30 mmol dan kalium 20 mmol. Pada anak dengan diare tanpa gangguan penyakit penyerta cairan
rehidrasi diberikan dalam bentuk oralit secara oral atau Ringer laktat secara intravena. Cairan pencegah
dehidrasi dalam bentuk oralit atau cairan rumah tangga secara oral. Pemenuhan kebutuhan diberikan
dalam bentuk “makan minum seperti biasa”.

Jika akibat penyakit penyerta anak tidak mungkin minum peroral, maka ketiga kelompok cairan tersebut
diatas harus diberikan secara intravena. Jumlahnya pada dehidrasi berat sekitar 250 ml/kgBB. Pada
dehidrasi yang lebih ringan jumlahnya tentu harus disesuaikan. Komposisi natrium yang harus diberikan
sekitar 60-75 mmol. Sejalan dengan kebuthan suplementasi kalium dan basa, cairan yang kira-kira
mendekati komposisi yang dibutuhkan adalah cairan Darrow-glukosa.
Karena umumnya kita juga harus memeperlambat kecepatan pemberian cairan, sebagai acuan kita
dapat memakai rumus lama yang diajukan oleh Soetedjo, yaitu 60 ml pada empat jam pertama, sisanya
diberikan dalam 20 jam berikutnya

Jika kita berhadapan dengan risiko overhidrasi yang lebih besar, atau penyakit penyertanya
mengharuskan dilakukan restriksi pemberian cairan, jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi
menjadi 75% – 80% dari perhitungan.

Di samping itu diperlukan pengawasan yang lebih ketat untuk dapat melakukan penyesuaian-
penyesuaian yang cepat dan tepat. Penderita diawasi setiap 30 menit. Hal yang perlu diperhatikan :
kemajuan hidrasi, jumlah dan frekuensi diare serta keadaan anak seusai penyakit penyertanya bila perlu
kecepatan pemberian cairan dapat dinaikkan/status hidrasi anak.

Berdasarkan hasil penilaian ini jumlah sisa cairan/24 jam yang harus diberikan dapat disesuaikan.

Sebagai pegangan praktis dapat dipakai acuan berikut :


a. Penderita dengan dehidrasi tidak berta yang dapat minum

Dilakukan rehidrasi dengan oralit : 75 ml/kgBB, diberikan dalam 4 jam

Selama periode ini ASI diteruskan. Bila bayi < 6 bulan dan tidak mendapat ASI, berikan juga air masak
100-200 ml

Setelah 3-4 jam, harus diselingi dengan pemberian makanan

Bila telah tercapai rehidrasi, selanjutnya penderita diberikan oralit tiap kali diare sebanyak5-10ml/kg
BB/diare.

Penderita dengan dehidrasi berat yang tak dapat minum

Rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan intravena, dengan larutan Darrow glukosa sebanyak :

Untuk anak berumur < 12 bulan


Jam pertama : 15 ml/kgBB

5 Jam berikutnya : 60 ml/kgBB

Untuk anak berumur > 12 bulan

½ Jam pertama : 15 ml/kgBB

3,5 Jam berikutnya : 60 ml/kgBB

Penderita dengan dehidrasi berat

Rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan intravena, dengan larutan Darrow glukosa sebanyak :

Untuk anak berumur < 12 bulan

Jam pertama : 20 ml/kgBB

5 Jam berikutnya : 80 ml/kgBB

Untuk anak berumur > 12 bulan


½ Jam pertama : 20 ml/kgBB

3,5 Jam berikutnya : 80 ml/kgBB

Setelah 4 jam (untuk anak besar) atau 6 jam (untuk bayi) dilakukan penilaian kembali. Bila telah
rehidrasi, pemberian cairan intravena diteruskan 100 ml/kgBB/18 jam.atau anak besar dalam 20 jam

Terapi nutrisi

Kita tetap berpegangan pada patokan tidak memuasakan anak dengnan diare. Jika pemberian makanan
secara enteral tidak dapat dilakukan, maka kita harus memberikan nutrisi parenteral. Cara yang
digunakan dapat dianalogikan dari cara yang diuraikan pada Tatalaksana Diare Persisten. Sesuai dengan
kemajuan keadaan umum anak, kita harus memberikan makanan secara oral begitu keadaan
memungkinkan. Tentu saja kita harus memperhatikan kebutuhan terapi nutrisi khusus sesuai dengan
penyakit penyerta yang dihadapi.

Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa untuk menanggulangi penyakit penyerta tentu harus diberikan seoptimal
mungkin. Bila diperlukan pemberian antibiotika, perlu dipertimbangkan penggunaan antibiotika yang
tidak menimbulkan efek samping yang memperburuk diare. Begitu pula kita harus mempertimbangkan
dampak pemakaian obat yang mempunyai efek samping terhadap traktus gastrointestinal.
B. SARANA REHIDRASI

Sarana rehidrasi dapat digolongkan menurut tempat pelayanan, yaitu di Puskesmas, disebut pojok
upaya rehidrasi oral (URO) atau lebih dikenal nama pojok oralit dan di rumah sakit disebut kegitan
pelatihan diare (KPD).

D.1. POJOK ORALIT

Pojok oralit didirikan sebagai upaya terobosan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat/ibu rumah tangga, kader, petugas kesehatan dalam tatalaksana penderita diare. Pojok oralit
juga merupakan sarana rujukan penderita diare, baik yang berasal dari kader maupun masyarakat.
Melalui pojok URO diharapkan dapat meningkatkan Gizi burukercayaan masyarakat dan petugas
terhadap tatalaksana penderita diare, khususnya dengan upaya rehidrasi oral.

a. Fungsi

mempromosikan upaya-upaya rehidrasi oral (URO)


memberi pelayanan penderita diare

memberikan pelatihan kader (Posyandu)

b. Tempat

Pojok oralit adalah bagian dari suatu truangan di Puskesmas (di sudut ruangan tunggu pasien) dengan 1-
2 meja kecil. Seorang petugas puskesmas dapat mempromosikan RO Gizi burukada ibu-ibu yang sedang
menungu giliran untuk suatu pemeriksaan. Bila seseorang penderita memerlukan URO, maka penderita
tersebut dapat duduk di kursi dibantu oleh ibu/keluarganya untuk melarutkan dan meminum oralit
selama waktu observasi 3 jam.

c. Sarana Pendukung

Tenaga pelaksana : dokter dan paramedis terlatih

Prasarana :

Tempat pendaftaran

Ruang tunggu, sebagai tempat pojok oralit yang dilengkapi dengan :meja, termos es, ceret, oralit 200 ml,
sendok, handuk, baskom, tempat cuci tangan, ember, hoster, untuk penyuluhan dan tatalaksana
penderita diare, termasuk cara melarutkan dan cara menyimpannya.

Kamar periksa yang dilengkapi dengan sarana penyuluhan penyakit diare atau kamar periksa yang
tersedia di Puskesmas.
d. Cara Membuat Pojok Oralit

1. Pilihan lokasi untuk “Pojok Oralit”

Dekat tempat tunggu (ruang tunggu), ruang periksa, serambi muka yang tidak berdesakan.

Dekat dengan toilet atau kamar mandi

Menyenagkan dan baik ventilasinya

2. Pengaturan model di “Pojok Oralit”

Sebuah meja untuk mencampur larutan oralit dan menyiapkan larutan

Kursi atau bangku dengan sandaran, dimana ibu dapat duduk dengan nyaman saat memangku anaknya.

Sebuah meja kecil dimana ibu dapat menempatkan gelas yang berisi laritan oralit

Oralit paling sedikit 200 bungkus

3 buah botol/gelas ukur yang dapat mengukur berbagai macam gelas yang dipunyai ibu

3 buah gelas

3 buah sendok

2 buah pipet (mungkin lebih memudahkan untuk dipakai, daripada sendok untuk beberapa bayi)
Pamflet (yang menerangkan Gizi burukada ibu, bagaimana mengobati atau merawat anak diare), untuk
dibawa pulang ke rumah

Sabun untuk cuci tangan

Waskom (untuk cucui tangan)

Media penyuluhan

Media penyuluhan dalam bentuk poster yang menarik tentang pengobatan dan pencegahan diare
penting diketahui oleh ibu. Selama duduk di Pojok Oralit sangat bermanfaat bagi mereka untuk belajar
mengenai Upaya Rehidrasi Oral serta hal-hal yang penting lainnya, misal : pemberian ASI, perbaikan
makanan tambahan, penggunaan air yang bersih, mencuci tangan dengan penggunaan jamban, juga
termasuk poster tentang imunisasi

e. Kegiatan Pojok Oralit

Penyuluhan URO

Memberikan demonstrasi tentang bagaimana mencampur larutan oralit dan bagaimana cara
memberikannya.

Menjelaskan cara mengatasi kesulitan dalam memberikan larutan oralit bila ada muntah.

Memberikan dorongan Gizi burukada ibu untuk memulai memberikan makanan pada anak atau ASI
pada bayi (Puskesmas perlu memberikan makanan pada anak yang tinggal sementara di fasilitas
pelayanan).

Mengajari ibu mengenai bagaimana meneruskan pengobatan selama anaknya di rumah dan mentukan
indikasi kapan anaknya dibawa kembali ke Puskesmas.
Petugas kesehatan perlu memberikan penyuluhan Gizi burukada pengunjung Puskesmas dengan
menjelaskan tatalaksana penderita diare di rumah serta cara pencegahan diare.

Pelayanan penderita

Setelah penderita diperiksa, tentukan diagnosis dan derajat rehidrasi di ruang pengobatan, tentukan
jumlah cairan yang diberikan dalam 3 jam selanjutnya dan bawalah ibu ke Pojok URO untuk menunggu
selama diobservasi serta :

Jelaskan manfaat oralit dan ajari ibu membuat larutan oralit.

Perhatikan ibu waktu memberikan oralit

Perhatikan penderita secara periodik dan catat keadaannya (pada catatan klinik penderita diare rawat
jalan) setiap 1-2 jam sampai penderita teratasi rehidrasinya (3-6 jam)

Catat/ hitung jumlah oralit yang diberikan.

Berikan pengobatan terhadap gejala lainnya seperti penurunan panas dan antibiotika untuk mengobati
disentri dan kolera

D.2. Kegiatan Pelatihan Diare (KPD)

1. Fungsi
KPD didirikan sebagi upaya penanggulangan diare dengan fungsi :

Pusat pengobatan diare, terutama upaya rehidrasi oral (URO).

Pusat untuk latihan mahasiswa kedokteran dan peserta latihan lain

2. Tempat

Lokasi KPD ditempatkan dimana:

Petugas sering lalu lalang, sehingga mereka dapat mengamati kemajuan anak

Dekat dengan sumber air

Dekat dengan WC dan tempat cuci tangan

Menyenangkan dan berventilasi baik

Sarana Pendukung

Tenaga pelaksana dokter dan paramadis terlatih


Prasarana :

Sebuah meja yang dilengkapi dengan ceret, oralit, gelas, sendok, handuk, baskom, tempat cuci tangan,
ember dan poster.

Kamar periksa yang dilengkapi dengan sarana penyuluhan penyakit diare atau kamar periksa yang sudah
ada

Logistik : Oralit, Cairan RL, Infuse set, Wing needle, Antibiotika yang diperlukan.

Kegiatan

Pelayanan derita

Setelah diperiksa, ditentukan diagnosis dan derajat dehidrasi serta tentukan jumlah cairan yang
dibutuhkan, kemudian berikan rehidrasi sesuai derajat dehidrasinya. Bila penderita dehidrasi, lakukan
observasi selama 3 jam sambil memberikan penyuluhan tentang :

Jelaskan manfaat oralit dan cara membuatnya

Perhatikan ibu waktu memberikan oralit

Menjelaskan cara-cara mengatasi kesulitan dalam memberikan larutan oralit bila muntah

Mengajari ibu mengenai bagaimana meneruskan pengobatan selama anaknya diare dirumah.
Pelatihan

Melaksanakan pelatihan untuk staf RSU yang bersangkutan

Melatih mahasiswa fakultas kedokteran dan Gizi burukerawatan

Penelitian

Beberapa KPD digunkan untuk melaksanakan penelitian.

BAB III

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
Surveilans epidemiologi penyakit diare adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap penyakit diare dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit diare agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan.

A. Tujuan

Diketahuinya situasi epidemiologi dan besarnya masalah penyakit diare di masyarakat, sehingga dapat
dibuat perencanaan dalam pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya di semua jenjang
pelayanan.

B. Pengertian

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari kejadian penyakit yang menimpa sekelompok penduduk
(Epi artinya atas, Demos artinya penduduk, Logos artinya ilmu).

Surveilans adalah pengamatan yang cermat dan terencana terhadap suatu penyakit melalui
pengumpulan data epidemiologis secara terus menerus dan pengkajian tersebut secara dini dan
menemukan cara penyelesaian secara tepat.
Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang biasa pada waktu dan daerah tertentu
serta dapat menimbulkan malapetaka.

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Yaitu kejadian kesakitan atau kematian yang menurut pengamatan epidemiologis dianggap terjadi
peningkatan yang bermakna pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu, dengan salah
satu kriteria sebagai berikut :

Jumlah penderita dan atau kematian penderita diare di suatu daerah meningkat 2 kali lipat atau lebih
dalam suatu periode (harian/mingguan/bulanan).

Peningkatan jumlah penderita dan atau kematian/CFR karena diare dalam periode tertentu
(mingguan/bulan) dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Terdapat satu atau lebih penderita atau kematian karena diare dengan gejala suspek kolera dalam satu
wilayah.

Apabila ada penderita/kematian karena diare yang dari usap duburnya diketahui kuman vibrio cholera.

Prosedur Surveilans

Ada tiga cara pengumpulan data diare, yaitu melalui :


a.1. Laporan rutin

Dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit melalui SP2TP (LB), SPRS (RL), STP dan rekapitulasi diare.
Karena diare termasuk penyakit yang dapat menimbulkan wabah maka perlu dibuat laporan mingguan
(W2). Untuk dapat membuat laporan rutin perlu pencatatan setiap hari (register) penderita diare yang
datang ke sarana kesehatan, posyandu atau kader agar dapat dideteksi tanda–tanda akan terjadinya
KLB/wabah sehingga dapat segera dilakukan tindakan penanggulangan secepatnya. Laporan rutin ini
dikompilasi oleh petugas RR/Diare di Puskesmas kemudian dilaporkan ke Tingkat Kabupaten/Kota
melalui laporan bulanan (LB) dan STP setiap bulan.

Petugas/Pengelola Diare Kabupaten/Kota membuat rekapitulasi dari masing-masing Puskesmas dan


secara rutin (bulanan) dikirim ke tingkat Propinsi dengan menggunakan formulir rekapitulasi Diare. Dari
tingkat Propinsi direkap berdasarkan kabupaten/kota secara rutin (bulanan) dan dikirim ke Pusat (Subdit
Diare, Kecacingan & ISPL) dengan menggunakan formulir rekapitulasi Diare (lihat Lampiran 3.1).

a.2. Laporan KLB/wabah

Setiap terjadi KLB/wabah harus dilaporkan dalam periode 24 jam (W1) dan dilanjutkan dengan laporan
khusus (lihat Lampiran 3.2) yang meliputi :
1) Kronologi terjadinya KLB

2) Cara penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya

3) Keadaan epidemiologis penderita

4) Hasil penyelidikan yang telah dilakukan

5) Hasil penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut

a.3. Pengumpulan data melalui studi kasus

Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun sekali, misalnya pada pertengahan atau akhir tahun.
Tujuannya untuk mengetahui “base line data” sebelum atau setelah program dilkaksanakan dan hasil
penilaian tersebut dapat digunakan untuk perencanaan di tahun yang akan datang.

Pengolahan, analisis dan interpretasi


Data-data yang telah dikumpulkan diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel-tabel atau grafik,
kemudian dianalisis dan diinterpretasi. Analisis ini sebaiknya dilakukan berjenjang dari Puskesmas
hingga Pusat, sehingga kalau terdapat permasalahan segera dapat diketahui dan diambil tindakan
pemecahannya.

Penyebarluasan hasil interpretasi

Hasil analisis dan interpretasi terhadap data yang telah dikumpulkan, diumpan balikkan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan yaitu kepada pimpinan di daerah (kecamatan hingga Dinkes Propinsi) untuk
mendapatkan tanggapan dan dukungan penangganannya

C. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)

Definisi :

SKD adalah salah satu kegiatan dari Surveilan Epidemilogi yang kegunaannya untuk mewaspadai gejala
akan timbulnya KLB Diare.
Tujuan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) diare adalah :

Menumbuhkan sikap tanggap terhadap adanya perubahan dalam masyarakat yang berkaitan dengan
kesakitan dan kematian.

Mengarahkan sikap tanggap tersebut terhadap tindakan penanggulangan secara cepat dan tepat untuk
mengurangi /mencegah kesakitan / kematian.

Memperoleh informasi secara cepat, tepat dan akurat.

Tahap Pelaksanaan

Pengamatan SKD KLB mencakup :

a. Pengamatan ditujukan pada :


1) Jumlah Penderita berdasarkan tempat, waktu dan orang.,

2) Kesehatan Lingkungan

3) Perilaku masyarakat

4) KLB diare sebelumnya

5) Perubahan kondisi : iklim ( climate change ), pengungsian, bencana alam, musim (musim buah
dsb), perpindahan penduduk, pesta/kenduri.

Sumber informasi :

1) Pencatatan dan pelaporan rutin

2) Masyarakat

3) Mass Media

4) Instansi/ lembaga terkait, misalnya BMG dan LSM.

5) Hasil Survey/studi kasus.


c. Indikator

1) Meningkatnya jumlah penderita diare berdasarkan waktu (minggu) tempat (desa) dan orang .

2) Kesehatan lingkungan

a) Cakupan penggunaan jamban <80%

b) Cakupan penggunaan air bersih <80%

c) Cakupan pengelolaan sampah <80%

d) Cakupan penggunaan SPAL <80%

e) Cakupan laik penyehatan TPM < 80%

3) Perilaku masyarakat :
a) Cakupan cuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar < 80%.

b) Merebus air untuk minum

c) Membuang sampah pada tempatnya

4) KLB diare sebelumnya :

a) Frekuensi KLB berdasarkan wilayah

b) Waktu (bulan) terjadinya KLB

c) Lama KLB berlangsung

d) Kelompok umur, pekerjaan

e) Tindakan penanggulangan KLB

f) Faktor risiko (sumber dan cara penularan)


Tindak lanjut SKD KLB

1) Tingkat Puskesmas, yang meliputi :

a) Pengamatan terhadap kasus dan factor resiko

b) Refreshing dan pelatihan kader/masyarakat

c) Menyiapkan stok oralit (logistik) dan mendistribusikan ke Posyandu

d) Perbaikan sarana kualitas air bersih dan sanitasi melalui desinfeksi, perbaikan konstruksi dan
pembuatan sara baru sebagai percontohan

e) Perbaikan kualitas air dan lingkungan melalui inspeksi sanitasi (IS) dan pengambilan sample

f) Penyuluhan kesehatan intensif secara kelompok dan keliling dalam hal pencegahan dan
pembuatan media sederhana

g) Desiminasi informasi kepada kepala wilayah dan kepala desa

h) Menyiapkan carry and blair dan pengambilan spesimen tinja (rectal swab), dan segera dikirim ke
Laboratorium
2) Tingkat Kabupaten/Kota

a) Pelatihan/refreshing tenaga Puskesmas + masyarakat (pengusaha dan penjual makanan)

b) Pemeriksaan bakteriologis terhadap air, makanan dan peralatan makanan

c) Memberikan masukan kajian data kepada pengambil keputusan untuk mendapatkan dukungan
politis, dana, produk, hokum, dan lain-lain

d) Perencanaan logistik (oralit, cairan ringer laktat, antibiotika, regensia,media transport)

e) Produksi media cetak sederhana

f) Penyuluhan melalui mass media, cetak, elektronik

g) Desiminasi informasi lintas sector terkait

h) Menyiapkan tim penanggulangan bila terjadi KLB diare

3) Tingkat Propinsi
a) Melatih petugas Kabupaten/Kota

b) Membantu pemenuhan kebutuhan logistik (membuat buffer stok)

c) Menyusun juknis sesuai spesifikasi masing-masing

d) Menetapkan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan criteria daerah untuk kesehatan lingkungan

e) Memberi masukan kajian data kepada pengambil keputusan

f) Memproduksi media penyuluhan elektronik + cetak dan menyebar luaskan ke lokasi KLB

g) Intensifikasi penyuluhan melalui berbagai media massa

h) Menyusun perencanaan menyeluruh di daerah sesuai kompetensinya

i) Menyiapkan tim penanggulangan bila terjadi KLB diare

4) Tingkat Pusat
a) Menyusun pedoman

b) Menyusun norma standar prosedur dan kriteria serta indikator

c) Menyusun perencanaan program (logistik, pengamatan, pencegahan, penyuluhan)

d) Melakukan kajian melalui studi khusus

e) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan SKD

D. Pengorganisasian

Pengorganisasian SKD KLB diare dilakukan mulai dari tingkat Puskesmas, Kabupaten/kota, Propinsi,
lintas batas dan Pusat.

Pengorganisasian sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari :


Tingkat Puskesmas dengan ketentuan :

1) Pelaksanaan SKD – KLB dikoordinir oleh Kepala Puskesmas

a) Petugas P2M, terutama petugas diare

b) Petugas kesehatan lingkungan

c) Petugas pencatatan dan pelaporan (RR)

2) Fungsi dan Peranan

a) Melakukan analisis terhadap penderita diare dari kunjungan Puskesmas per mingguan

b) Melakukan analisis terhadap kesehatan lingkungan pada lokasi/desa yang cakupannya rendah

c) Melakukan pengamatan intensif di desa yang pada periode sebelumnya (minggu, bulan periode
yang sama tahun lalu) terjadi peningkatan kasus/KLB diare.
d) Membuat laporan mingguan mengenai keadaan penderita diare di wilayahnya dan melaporkan
kepada Kabupaten/Kota.

Tingkat Kabupaten/Kota dengan ketentuan :

1) Pelaksanaan, dikoordinir oleh Kepala Dinas Kesehatan, dibantu oleh pengelola program terkait
dalam KLB diare (surveillans, diare, Kesling promosi kesehatan) atau disesuaikan dengan
struktur/organisasi setempat.

2) Fungsi dan Peranan :

a) Melakukan analisis laporan mingguan penyakit diare

b) Melakukan telaah dan kajian terhadap factor resiko yang ada dari aspek kualitas kesehatan
lingkungan dan perilaku masyarkat

c) Menyusun rencana tentang logistik dan kegiatan pencegahan yang ditujukan terhadap factor risiko
dan tatalaksana penderita serta penyuluhan
d) Membuat laporan untuk penanggung jawab tingkat propinsi dan deseminasi informasi kepada
pihak sektor terkait serta membuat rekomendasi untuk kepala Daerah Kabupaten/Kota.

e) Mengembangkan pelatihan petugas dan masyarakat dengan dana yang bersumber DIP
Kabupeten/Kota atau APBD Kabupaten/Kota.

f) Menyusun rencana kerjasama lintas program dan lintas sektor secara berkala

Tingkat Propinsi :

1) Pengelola program terkait antara lain Kesehatan Lingkungan,

Pengendalian penyakit diare, Surveilans dan Promosi Kesehatan atau di sesuaikan dengan struktur
organisasi kesehatan setempat.

2) Fungsi Dan Peranan :

a) Melakukan analisis terhadap daerah rawan KLB dan faktor risikonya serta pemetaan.
b) Melakukan penyusunan kegiatan untuk bantuan logistik, pengamatan dan perbaikan kualitas
kesehatan lingkungan.

c) Mengembangkan metode dan media penyuluhan yang tepat untuk daerah sasaran.

d) Mengembangkan pelatihan bagi petugas Kabupaten/Kota.

e) Menyusun Petunjuk Teknis untuk pengamatan kasus dan faktor risiko.

f) Melakukan dan mengirimkan hasil kajian/pelaporan ke Pusat.

g) Melakukan disminasi informasi bagi instansi terkait dan advokasi untuk pimpinan daerah.

h) Menyusun dan mengembangkan standar dan kriteria daerah.

i) Menyusun pertemuan berkala LP/LS di tingkat Propinsi.

Lintas Batas daerah yang mengalami KLB di wilayah Puskesmas, Kabupaten/Kota dan Propinsi lain, yang
ditunjuk sebagai penanggung jawab atau koordinator.

Menyampaikan kajian kegiatan yang dilakukan secara berjenjang sampai kejadian diare sudah
dinyatakan aman atau terkendali.

Melakukan pertemuan dengan penanggung jawab dari wilayah yang berbatasan.


Menyusun kesepakatan bersama dalam pengamanan penderita, antisipasi atau kesiapsiagaan di wilayah
masing-masing.

Menyusun kesepakatan untuk sistim informasi tentang kondisi diare di wilayah masing-masing.

3. Tingkat Pusat :

Pelaksana, terdiri dari:

1) Direktorat Epim dan Kesmas cq Subdit Surveilans sebagai koordinator.

2) Direktorat P2ML cq Subdit Diare, Kecacingan & ISPL (teknis)

3) Direktorat PL

4) Pusat Promosi Kesehatan

5) Pusat Penanggulangan Krisis

Fungsi dan Peranan

1) Melakukan kajian terhadap KLB yang terjadi di daerah.

2) Menyusun dan mengembangkan pedoman tknis untk SKD-KLB


3) Mengembangkan pelatihan bagi petugas propinsi

4) Menyusun dan mengembangkan norma, standar, prosedur, kriteria tatalaksana kasus dan
kesehatan lingkungan.

5) Melakukan diseminasi informasi bagi pihak dan instansi terkait.

6) Melaksanakan studi kasus mengkaji karakteristik daerah rawan KLB.

7) Menyusun pertemuan berkala LP/LS tingkat Pusat.

E. Manajemen KLB Diare

Manajemen KLB/Wabah diare dapat dibagi tiga fase yaitu pra-KLB/Wabah, saat KLB/Wabah dan pasca
KLB/Wabah.

1. Pra-KLB/Wabah

Persiapan yang perlu diperhatikan pada pra KLB/Wabah adalah:


Kab/Kota, Propinsi dan Pusat perlu membuat surat edaran atau instruksi kesiapsiagaan di setiap tingkat

Meningkatkan kewaspadaan (SKD) di wilayah Puskesmas terutama di Desa rawan KLB

Mempersiapkan tenaga dan logistik yang cukup di Puskesmas, Kabupaten/Kota dan Propinsi dengan
membentuk Tim TGC.

Meningkatkan upaya promosi kesehatan

Melaksanakan pemeriksaan usap dubur secara berkala

Meningkatkan kegiatan lintas program dan sektor

2. Saat KLB/Wabah

Kegiatan saat KLB :

Penyelidikan KLB

Tujuan :

1) Memutus rantai penularan

2) Menegakkan diagnosa penderita yang dilaporkan


3) Mengidentifikasi etiologi diare.

4) Memastikan terjadinya KLB Diare

5) Mengetahui distribusi penderita menurut waktu, tempat dan orang.

6) Mengidentifikasi sumber dan cara penularan penyakit diare

7) Mengidentifikasi populasi rentan

Tahapan penyelidikan KLB :

a) Mengumpulkan, mengolah dan menganalisis informasi termasuk faktor risiko yang ditemukan.
(contoh formulir investigasi KLB Diare terlampir)

b) Membuat kesimpulan berdasarkan :

2). Faktor tempat yang digambarkan dalam suatu peta (spotmap) atau tabel tentang :

(1) Kemungkinan faktor risiko yang menjadi sumber penularan.


(2) Keadaan lingkungan biologis (agen, penderita), fisik dan sosial ekonomi.

(3) Cuaca

(4) Ekologi

(5) Adat kebiasaan

(6) Sumber air minum dan sebagainya.

2). Faktor waktu yang digambarkan dalam grafik histogram yang menggambarkan hubungan waktu
(harian), masa tunas serta agen. Setelah dibuat grafiknya dapat diinterpretasikan :

(1) Kemungkinan penyebab KLB

(2) Kecenderungan perkembangan KLB

(3) Lamanya KLB


3) Faktor orang yang terdiri dari : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, suku bangsa,
adat istiadat, agama/kepercayaan dan sosial ekonomi.

Penanggulangan KLB

b.1. Mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC)

TCG terdiri dari unsur lintas program dan lintas sektor

b.2. Pembetukan Pusat Rehidrasi (Posko KLB Diare)

Pusat Rehidrasi dibentuk dengan maksud unuk menampung penderita diare yang memerlukan
perawatan dan pengobatan. Pusat Rehidrasi dipimpin oleh seorang dokter dan dibantu oleh tenaga
kesehatan yang dapat melakukan tatalaksana kepada penderita diare. Tempat yang dapat dijadikan
sebagai Pusat Rehidrasi adalah tempat yang terdekat dari lokasi KLB diare dan terpisah dari pemukiman.

Tugas-tugas di Pusat Rehidrasi :


1) Memberikan pengobatan penderita diare sesuai dengan Tatalaksana standar serta mencatat
perkembangan penderita

2) Melakukan pencatatan penderita : nama, umur, jenis kelamin, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala,
diagnosa/klasifikasi dan lain-lain.

3) Mengatur logistik obat – obatan dan lain lain

4) Pengambilan usap dubur penderita sebelum diterapi

5) Penyuluhan kesehatan kepada penderita dan keluarganya

6) Memberikan pengobatan preventif sesuai standar

7) Menjaga agar Pusat Rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (dengan mengawasi pengunjung,
isolasi dan desinfeksi)

8) Membuat laporan harian/mingguan penderita diare baik rawat jalan maupun rawat inap.

a) Penemuan penderita Diare secara aktif untuk mencegah kematian di masyarakat, dengan kegiatan :

(1) Penyuluhan intensif agar penderita segera mencari pertolongan

(1) Mengaktifkan Posyandu sebagai Pos Oralit


(2) Melibatkan Kepala Desa/RW/RT atau tokoh masyarakat untuk membagikan oralit kepada warganya
yang diare

b) Analisis tatalaksana penderita untuk memperoleh gambaran :

(1) Ratio pengunaan obat (oralit, Zinc, RL, antibiotika)

(2) Proporsi derajat dehidrasi

(3) Proporsi penderita yang dirawat di Pusat Rehidrasi.

(4) Dan lain-lain

e) Pemutusan rantai penularan meliputi :

1) Peningkatan kualitas kesehatan lingkungan yang mencakup : air bersih, jamban, pembuangan sampah
dan air limbah.

2) Promosi kesehatan yang mencakup : pemanfaatan jamban, air bersih dan minum air yang sudah
dimasak, pengendalian serangga/lalat
Untuk melaksanakan penanggulangan KLB dapat menggunakan formulir penanggulangan KLB
(terlampir).

c. Pasca KLB

Setelah KLB/wabah tenang, beberapa kegiatan yang perlu dilakukan :

 Pengamatan intensif masih dilakukan selama 2 minggu berturut-turut, untuk melihat kemungkinan
timbulnya kasus baru
 Perbaikan sarana lingkungan yang diduga penyebab penularan
 Promosi kesehatan tentang PHBS

Anda mungkin juga menyukai