Teater kelas 9A
Sutradara:
- Syaira Anindya Akbar
- Dzakira Zayyani
- Raina Rachel Humaira
- Zahra Wardatulatifah
SINOPSIS
Cerita ini berisikan tentang gelapnya hati manusia, jika sudah dikuasai oleh keserakahan dan
bahwa sesungguhnya perkataan yang terucap dari sebuah lidah adalah doa. Tentang Naya,
Si Pendengki dengan Alana, Si Baik Hati. Semua berawal dari sebuah bibit rasa iri yang
kemudian bertumbuh menjadi kebencian mendalam, berakhir tragis menyisakan kesedihan.
Sejak awal, hubungan mereka memang sangat lancar dan tidak memiliki masalah apa pun.
Hubungan mereka sangat sehat. Sehingga suatu saat, tumbuhnya rasa sayang itu menjadi
rasa benci yang tak tertahankan. Kasih sayang, dua kata yang mudah diucapkan, namun
susah untuk dilakukan. Apa yang membuat mereka susah untuk memberikan kasih sayang
kepadanya? Gengsi? Lucu sekali, mereka dikalahkan oleh gengsi yang besar.
Berimajinasi. Mungkin itu yang hanya bisa dilakukan Naya saat ini. Imajinasi menyingkirkan
Naya dari hidupnya dan imajinasi mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Tapi, siapa
yang tahu jika imajinasi itu akan terwujud? Sudah dikatakan sebelumnya ‘kan, ucapan
adalah doa.
Ketika memiliki waktu luang, Naya lebih memilih untuk belajar dan terus belajar dibanding
bergaul dengan temannya yang sedang bersenang-senang di luar sana. Hanya cara itu saja
yang Naya dapat lakukan untuk mendapatkan perhatian dari orang tuanya.
Apakah orang tuanya akan tetap memberi perhatian kepadanya jika mereka membaca
sebuah buku catatan milik Naya yang berisikan tentang keluh kesahnya? Tindakan apa yang
akan dilakukan oleh orang tuanya? Tidak ada yang tahu. Hanya mereka berdua saja yang
tahu tindakan apa yang akan mereka lakukan. Keji sekali.
Hingga suatu ketika Naya menumpahkan seluruh perasaannya kepada seorang guru di
sekolahnya, ia tersadar, dan merasa lega setelahnya. Namun di saat yang sama, ia dihantui
perasaan bersalah. Hatinya terbuka, ia berniat meminta maaf.
Untuk mengembalikan hubungan yang sehat itu, tentu saja Naya harus mengeluarkan
semua yang telah ditahannya kepada Alana. Sudah pastinya Alana terkejut mendengarkan
apa yang dikeluarkan oleh Naya. Tetapi, apa yang dipikirkan oleh orang polos seperti Alana
itu? Apa dia menganggap ini adalah sebuah lelucon? Walau Naya telah mengeluarkan
semuanya, Alana tetap bisa mengondisikan dirinya sendiri di dalam situasi yang rumit.
Persahabatan mereka kembali terjalin di setiap hati masing-masing, namun, apakah itu akan
berlangsung lama? Atau hanya dengan hitungan jam?
AWAL (DIBACAKAN OLEH NARATOR)
Malam yang tak seperti biasanya, sangat sunyi, bintang dan bulan bersembunyi di balik
langit yang sangat hitam pekat itu, dan sinar tidak memancarkan cahayanya. Hujan turun
dengan lebat dan kilat petir menampakkan dirinya, seolah tahu apa yang dirasakan olehnya
saat ini.
“Hati-hati dengan ucapanmu. Bisa jadi itu adalah masa depan mu.”
Dialog
Narator: Nasib yang diberikan oleh Tuhan itu, bisa berbeda di tiap orangnya. Di suatu
lingkungan yang sempit, ada si kaya, dan juga si miskin, atau si bahagia dan sengsara. Saking
sempitnya, contoh dari dua orang itu memiliki ikatan yang kuat.
Narator: Alana, si sederhana yang mendapatkan cukup kasih sayang tetapi berasal dari
keluarga yang biasa. Atau Naya, si kaya yang mendapatkan kurang kasih sayang, tumbuh
ditemani pengasuh, bukan seorang Ibu.
Narator: Semua ini bukan tentang si kaya atau si miskin, tetapi tentang bagaimana
seseorang menerima kekurangan dalam hidupnya, dan mencari kebahagiaan murni dalam
hidupnya.
Narator: Tetapi, janganlah Engkau serakah, mencari kebahagiaan murni, dengan merenggut
kebahagiaan orang lain.
(DI KELAS)
Naya sedang mengemasi buku pelajarannya di jam istirahat dan mempersiapkan buku untuk
mata pelajaran selanjutnya, tak lama, Alana datang.
Alana: Nay… Nay!!
Naya: Kenapa? Excited banget….
Alana: Kamu lagi gak sibuk, ‘kan? Aku mau cerita!
Naya: (Mengangguk kecil) Boleh, cerita aja.
Alana: ‘Kan nilai matematika ku kemarin 87, terus Ibuku ngasih aku kado. Nih kadonya, jam
tangan, bagus, ‘kan?? Padahal Cuma naik 5 angka, hehehe.
Naya: (Mengangguk) lihat dong, jam tangannya.
Alana: (Menyodorkan jam miliknya)
Naya: Cantik, ya. Pengen deh, Ibu kamu belinya di mana?
Naya: (dalam hati) Enak ya, jadi kamu.
Alana: Kurang tahu, aku juga dikasih begitu aja, mau aku tanyain nanti? ‘Kan habis ini kamu
mau main ke rumah aku.
Naya: (Menggeleng) Enggak usah, hehe. By the way, kita nanti buat presentasi ngerjain bab
apa?
Alana: Kalau gak salah… Kita tim kedua, ‘kan. Birrul Walidain? Tapi materinya belum
disampaikan, sih.
Naya: Oh, iya…ya…
Alana: … Naya kamu sakit, ya? Kok mukanya terlihat masam dan pucat gitu?
Naya: Apa sih… engga, kok. Aku biasa aja. Hehehe. Cuma stres banyak tugas.
Naya: (Dalam hati) Aku iri.
Alana: Ooh.. aku kira kamu lagi gaenak badan gitu. Semangat, ya! Emang mapel kelas
sembilan akhir gak ngotak. (Tertawa)
Naya: (mengangguk) Iya, makasih, ya.
Narator: Setelahnya, bel berbunyi dan seluruh siswa duduk di kursinya masing-masing
termasuk Naya dan Alana untuk mengikuti jam pelajaran selanjutnya.
Zhea (Guru Agama): (Memasuki kelas)
Zhea: Assalamualaikum anak-anak! Apa kabarnya hari ini?
Seluruh murid: Waalaikumsalam, Alhamdulilah baik Bu…!
Zhea: Alhamdulillah, ya. Hari ini kita akan mempelajari Bab Birrul Walidain. Sebelumnya, Ibu
mau tanya dulu, nih. Kalian ada yang bisa ngejelasin engga, apa contoh sikap Birrul Walidain
atau tindakan berbakti pada orangtua? Yang tahu boleh ngacung, ya!
Alana: Aku!
Zhea: Oke… Alana, coba berikan contohnya..!
Alana: Tidak boleh membentak dan menghaluskan suara…
Zhea: Tepat sekali! Yang lain? Ada contohnya lagi?
(Semua murid diam)
Zhea: Wah, malu-malu, nih? Oke, Ibu tunjuk aja, ya! Naya, bisa berikan contoh?
Naya: …..em….
Zhea: Ayo, Naya?
Naya: Anu… Ibu… Sebelumnya, saya mau bertanya..
Zhea: Boleh, silakan!
Naya: Bu… apa pengasuh bisa dikatakan sebagai orangtua?
(Seluruh murid tertawa kecil)
Zhea: Aduh.. Naya, Naya. Ada-ada aja. Tentu saja bisa, sama seperti guru di sekolah,
pengasuh juga bisa dikatakan sebagai orangtua kedua. Apalagi sudah menjaga Naya sejak
kecil. Iya, ‘kan? Nah sekarang beri contohnya, ya..
Naya: Oh, em… membantunya membereskan rumah?
Zhea: Bagus! Ada contoh lain?
(Seluruh murid diam)
[MALAM HARI-RUMAH NAYA]
Naya: Papa, Mama! Aku dapat nilai 100 lagi untuk matematika kali ini!
Naya: Papa…? Mama…?
Naya: Huh, bodohnya aku, apa yang aku harapkan dari mereka… (tersenyum paksa)
Naya: Aku harap papa dan mama dapat mengapresiasi aku…
(Suara pintu dibuka)
Bu Ayu: Naya? Apa yang sedang kau lakukan?
Naya: Mama…! Aku mendapatkan nilai 100!
Naya: (Dalam hati) Untuk kali ini, tolong apresiasi aku… Setidaknya satu kali saja…
Ayu: Oh, ya. Baiklah. Semoga nilaimu yang lain juga bagus.
Naya: Ma…
Ayu: Apa?
Naya: A…apa aku akan dapat hadiah? Seperti Alana…
Ayu: Hadiah? Cari saja sendiri. (Menutup pintu)
Naya: Tunggu, Ma-!
Naya:….
(Di dalam kamar)
Agam: Siapa tadi?
Ayu: Naya.
Agam: Mau apa dia?
Ayu: Menunjukkan nilai Matematika.
Agam: Lalu? Apa yang kau lakukan?
Ayu: Entah. Sedikit memuji, mungkin?
Agam: Jangan terlalu memanjakannya. Anak zaman sekarang jika dimanja sedikit melunjak
luar biasa.
Ayu:… baiklah.
Ayu: (dalam hati) Rasanya aku tak memanjakannya sedikit pun.
(Ayu duduk di kursinya dan membuka lembaran novel yang tertunda)
Narator: Sembari membaca, Ayu memikirkan eskpresi Naya ketika ia menutup pintu
kamarnya. Terlihat putus asa. Kadangkala ia merasa prihatin dengan Naya yang sendirian di
rumahnya dengan pengasuh yang bukan orangtuanya. Tetapi Ayu terlalu sulit
mengekspresikan rasa sayangnya pada Naya dan berakhir mengacuhkannya.
Narator: Sementar itu di kamar Naya, hatinya terasa semakin hancur karena ucapan Mama
nya. Ingin rasanya ia lupa ingatan agar tidak mendengar perkataan Mamanya. Dan ia
merutuki dirinya sendiri dengan apa yang ia lakukan.
Naya: Padahal aku tahu Mama akan bereaksi seperti apa, tetapi aku tetap datang ke kamar
Mama dan Papa sejak awal. Dasar bodoh.
Drrrtt drrrtt
Naya: (Mengangkat telepon) Hai, Alana.
Alana: Naya! Bagaimana? Apa orangtuamu sangat senang dengan nilaimu?
Naya: …
Alana: … Naya? Kamu gapapa?
Naya: Ah, aku gapapa. Mereka senang kok dengan nilaiku. Bagaimana denganmu?
Alana: Kamu pasti tahu dong jawabannya. Ibuku sangaatt senaangg sekalii!! Ia sampai
memberikanku hadiah lagi!
Naya: Wah, menyenangkan, ya.
Alana: Hehe, iya dong! Ibuku yang terbaik memang! Kamu dapat hadiah?
Naya: Aku… (Melihat sekitar)
Naya: (Mengambil barang yang ada di dekatnya) Tentu! Aku mendapatkan boneka ini.
Alana: Bonekamu sangat lucu! Bawa besok, ya! Kita kenalan hadiah yang kita dapat.
Naya: (Tersenyum) Iya…
Naya: (Dalam hati) Lagi-lagi dia. Selalu dia yang mendapatkan kebahagiaan. Kenapa aku
tidak bisa sepertinya? Kapan aku bisa diperhatikan dan diapresiasi atas usaha yang telah
kulakukan? Apa mereka pikir aku ini robot yang hanya peduli dengan nilai? Padahal, aku
juga butuh semua itu. Aku juga ingin sepertinya!
Naya: Aku matikan ya teleponnya, mama ku sudah menyuruhku untuk tidur.
Alana: Iya, selamat malam, Nayaa. Semoga mimpi indah, haha. (Kiss bye)
Naya: Iya, kamu juga.
(Suara telepon dimatikan)
Naya: Huft… Aku sangat lelah…
(Merebahkan diri di kasur dan melayangkan pandangannya ke langit-langit ruangan)
Narator: Usai berbicara dengan Alana di telepon, pikiran Naya yang sudah diliputi rasa iri
dengki, memunculkan gambaran-gambaran jahat untuk mencelakai Alana, dan menduduki
tempatnya.
Naya: Andai aku memiliki kekuatan yang dapat membunuh orang yang dapat kubenci.
Naya: Aku tidak suka berada di sini… Aku ingin pergi. Aku tidak suka berada di samping
Alana. Dia sangat menggangguku, apalagi kalau dia bersama dengan ibunya.
Naya: (Menghela napas) Rasanya aku ingin menghancurkannya agar aku mendapatkan
kasih sayang dari ibunya. Mama ku sangat tidak peka. Papa ku sangat kejam. Mata mereka
berdua sangat kosong. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka berdua…
Naya: Apa yang harus kulakukan untuk menyingkirkan Alana dari hadapanku?
Naya: Oh, aku harap dia segera pergi dari kehidupanku. Kehadirannya sangat membuatku
terganggu. Aku sangat tidak nyaman. Ia selalu memamerkan apa yang ia punya. Ia selalu
memberitahu hal yang tidak penting, padahal pada dasarnya aku tidak perlu tahu.
Naya: Alana… Maaf, tapi kamu sangat menjengkelkan.
Narator: Naya mulai berpikiran dengan aneh-aneh. Perasannya benar-benar mengendalikan
dirinya saat ini. Dia sangat terbawa suasana.
Naya: Hmm, apa yang harus kulakukan?
Naya: (Tertawa kecil) Bagaimana kalau aku hilangkan saja jejak dirinya? Tapi, bagaimana
cara aku melakukan itu…
Naya: Engga! Aku gak boleh melakukan tindakan kriminal. Itu tidak membuatku aman, aku
harus cuek dengan segalanya. Aku tidak boleh terpengaruh.
Naya: Tapi… Aku sangat penarasan apa yang akan terjadi jika ia menghilang dari
hadapanku. Ini akan membuka celahku agar menduduki posisi Alana, bukan?
Keluarga Alana
Hari ini aku main ke rumah Alana, aku ketemu sama Tante Kasih. Dia baik banget, sering
ngasih aku souvernir sama kue-kue buatan rumahan. Enak banget. Aku iri banget sama
Alana.
Mama-Papa
Mereka udah berminggu-minggu dinas, dan belum pulang juga. Katanya Cuma seminggu,
tapi ini udah kelewatan. Aku sendiri lagi sama Mbak di rumah, aku pengen ada quality time
sama mereka, tapi mereka sibuk terus. Gaada waktu buat aku. Aku gaenak ngobrol sama
Mbak, beliau kayak capek ngurus rumah sama aku sendirian, harusnya Mama atau Papa
tambahin pembantu baru biar Mbak engga kecapean.
Benci Mama-Papa
Mereka sukanya ngomong aja kalau kerja demi aku, tapi engga ada waktu buat aku? AKU
BENCI. BENCI BANGET. AKU HARAP AKU LAHIR JADI ANAKNYA TANTE KASIH DARIPADA JADI
ANAK MAMA SAMA PAPA.
Naya:(Bangun dari tidur dan berjalan keluar dari kamar dan mendapati Agam sedang duduk
di sofa sembari menonton televisi)
Naya: Papa....
Agam: Sudah bangun? Cepat sarapan dengan Mamamu di meja makan.
Naya: ketus sekali...
Naya: (berjalan ke meja makan) Mama....
Ayu: Oh, halo Naya. Ayo cepat sarapan. Biar nanti engga telat.
Naya: Iya, Ma.
Narator: Naya dan Ayu melewati sarapan tanpa topik apapun. Naya yang merasa berat hati
segera menyelesaikan makannya dengan cepat dan segera bersiap untuk sekolah.
Pengasuh: Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa bekalnya dimakan.
Naya: Iya, Mbak.
Narator: Naya berjalan kaki menuju sekolahnya yang letaknya sangat dekat dari rumahnya
dan ia berpapasan dengan Alana yang berada di lingkungan tempat tinggal yang sama
dengannya.
Alana: Nayaa!! Met pagi! (Merangkul Naya)
Naya: Oh, haai! Met pagi juga.
Alana: Masih pagi udah murung, nih! Mimpi apa kamu semalem?
Naya: gaada, sih. Aku gak mimpi.
Alana: Haha, masa? Semalem aku mimpi jatuh dari gedung, tahu. Sampai kaget di dunia
nyata.
Naya: Ooh, mimpi gitu juga aku kadang-kadang ngalamin.
Alana:.... Nay serius deh kamu kkenapa LG Banyak pikiran, ya?
Naya: Apasihhh, engga kok, hehe.
Alana: Gapapa, ngobrol aja bestie, ak akan dengerin kamu, kokk.
Narator: Naya merasa bersalah dengan apa yang sudah ia pikirkan tentang Alana beberapa
hari terakhir dan Alana yang tak mengetahui apa pikiran jahat Naya bersikap biasa saja
membuat Naya merasa terbebani.
Naya:... Lan...
Alana: Hm? Kenapa?
Naya: Kalau... semisal aku nyelakain kamu, gimana? Semisal aku jadi jahat ke kamu... apa
kamu bakal tetap mau main sama aku?
Alana: Ha.... (Terdiam)
Alana: Aku rasa... aku bakal menerima itu dengan lapang dada, kamu berbuat jahat ke aku
pasti ada alasannya, bukan? Sebenarnya, mau ada alasan atau tidak, aku bakal maafin kamu,
karena meskipun kamu jahat, tapi sebelumnya kamu baik ke aku. Tapi kalau diteminin atau
engganya sih, ya. Aku gak mau jawab untuk saat ini. LAGIPULA KAMU KAN BAIK BANGET,
MASA IYA NAYA YANG GINI BERBUAT JAHAT KE AKU? (Tertawa)
Narator: Naya yang mendengar itu semakin sesak hatinya, terlebih Alana memiliki pemikiran
yang sangat positif terhadapnya.
Naya: Maaf...
Alana: Hah? Buat?
Naya: Maaf Lan, Maaf. Aku bener-bener minta maaf... (Menangis)
Alana: HAH? APA? HEI HEI JANGAN NANGIS INI MASIH PAGI, AKU GAK KENAPA-NAPA, LHO?!
KENAPA KAMU MINTA MAAF???
Naya: MAAAAF!!!
Alana: NAYAAA?? HEI TENANG DULU CERITAIN KENAPA KAMU NANGIS, KALEM, OKE??
(memeluk Naya) ORANG-ORANG NGELIATIN, TUH!
Narator: Saat itu, Naya membeberkan semua apa pikirannya tentang Alana selama ini, di
jalan menuju sekolah. Alana syok untuk beberapa saat mendengar pengakuan itu, namun ia
bersikap tenang, dan memeluk Naya tanpa berucap apa-apa.
(DI KELAS)
Narator: Sesampainya di kelas, keduanya memisahkan diri karena perbedaan tempat duduk
Naya:(Duduk di kursinya dan menutupi wajah dengan kedua tangan)
Alana: Naya! (Menaruh sebotol minuman di atas meja Naya) Ini buat kamu, kita minum
bareng. Hehe
Naya:...Lan...
Alana: Hm?
Naya: Kok bisa-bisanya kamu bersikap biasa aja, setelah aku beberin semua? (Masih
menyembunyikan wajah)
Alana:.... sebenarnya aku juga kaget. Aku engga nyangka kamu punya pemikiran seperti itu
ke aku dan keluargaku yang cenderung biasa saja dibandingkan keluargamu yang kaya dan
lebih berkecukupan. Tetapi satu hal yang aku tahu, aku harus maafin seseorang, kalau dia
sudah minta maaf. Dan aku hargai keberanian kamu buat ngungkapin semua, karena gak
semua orang mau mengakui kesalahannya di depan orangnya langsung.
Naya: benar?
Alana: Hm?
Naya: benar aku dimaafin?
Alana: Benar lah! Kamu tetep sahabat aku, mau bagaimanapun juga. Hehe.
Narator: setelah Alana berkata seperti itu, Naya tak bisa membendung air matanya, namun
ia menyembunyikan nya dibalik kedua tangannya. Ia tak mengira Alana akan memaafkannya
setelah apa yang sudah ia lakukan, benar-benar tak mengira.
Narator: Hingga hari yang berlangsung cepat, membawa keduanya memasuki jam terakhir
pelajaran pada pukul 2 siang. Seluruh siswa mengemasi barang-barang mereka dan
bergegas pulang, termasuk Naya.
Naya: kamu enggak pulang?
Alana: hm? Aku ada ekskul sampai sore hari. Duluan dulu saja....
Naya: Oh, oke... dadah! (Berlari keluar dari kelas, menuju gerbang)
(Naya berlari kecil menuju gerbang sembari melirik acak ke beberapa arah, mencari apakah
ada Bu Rhea, hendak mengucapkan terimakasih atas nasihatnya. Tetapi ia tak
menemukannya, dan berakhir langsung kembali ke rumah)
(DI RUMAH)
Naya: Ma, Pa, Mbak. Aku pulang. (Membuka sepatu)
Pengasuh: Selamat datang, Naya.
Naya: Mama dan Papa dimana?
Pengasuh: Ada, lagi duduk-duduk di ruang keluarga...
Naya: Ooh, yaudah makasih, ya. (Masuk kamar)
(Disini Naya melepas tas, jaket dllnya lalu ditaruh sembarang karena sudah lelah. Dia melirik
ke arah kalender)
Naya: Oh iya, besok Alana ulang tahun, ya... Aku lupa, kebetulan besok libur, aku surprise-in,
ah! Kuenya aku pesan online saja, besok baru kuambil
(Naya membuka handphone nya lalu memesan kue secara online dan membeli ukuran yang
kecil dan akan mengambilnya esok hari)
Naya: diambil pukul sembilan? Oke...
Narator: terlepas dari Naya yang tengah sibuk memesan kue nya, di ruang tengah, Ayu dan
Agam tengah berseteru hebat. Agam duduk tenang di kursi sofa, sementara Ayu memaki-
maki suaminya itu dengan frustasi.
Ayu: Ini bukan jalan yang benar! Aku menghargai kau mau memberikan Naya apa yang
seharusnya dia dapat. Tapi bukan begini caranya....
(Ayu menahan suaranya agar tidak terdengar sampai ke kamar Naya)
Agam: Memang kenapa?;
Ayu: Kau bilang kenapa?! Itu bukan jalan yang baik!
Agam: Kita memang dari awal tidak bisa membuatnya mendapatkan apa yang harusnya ia
dapat. Makanya aku merencanakan ini.
Agam: Lihat saja dirimu, boro-boro bisa mengasuh anak, memasak saja tidak bisa. Kalau
bukan karena koneksi keluargamu dengan bisnis, sebenarnya kita tak perlu menikah.
Agam: Lagipula ...
Ayu:....?
Agam: Hal seperti ini, sudah biasa kita lakukan, kan.
Ayu: DASAR KAU...!
Naya: Mama...? (Muncul dari balik pintu ruang keluarga)
Ayu: O-oh, halo, Nak. Sudah sekolahnya?
Naya: Tadi... Ada ribut-ribut apa?
Ayu: Aah, tidak, kok. Kita Cuma lagi ngomongin masalah pekerjaan, Naya istirahat saja, ya...
Naya: ...oke, kalau ada apa-apa panggil aku...
Ayu: iya...
(Naya kembali ke kamarnya)
Agam: pfftt-
Ayu: kenapa kau tertawa? Apa yang lucu?
Agam: Lihatlah, sekarang kau mulai melakukan drama keluarga, padahal dulu kau sangat
ingin menggugurkan janin Naya ketika masih berumur 3 minggu. Apa kau sekarang mencoba
menjadi Ibu yang baik? Kurasa sudah terlambat. Naya juga sudah benci dengan kita berdua
sejak ia masih berumur 8 tahun.
Ayu: Agam...!
Agam: kenapa? Aku mengatakan fakta.
Ayu: tidak usah mengada-ngada, tahu darimana kau jika Naya sudah benci dengan kita
berdua? Di buku hariannya saja kau hanya membaca sehalaman.
(Ayu tahu bahwa Naya membencinya sejak ia membaca buku hariannya. Tetapi ia tidak tahu
tepat sejak kapan Naya sudah membencinya)
Agam:(Menyeringai) Engga ada yang engga kuketahui, tentang Naya. Teman, guru,
sahabatnya, apa yang dia lakukan selama sendirian. Aku jauh lebih tahu tentang Naya
daripada kau. Terlepas dari pekerjaan ku yang mengharuskan ku pergi keluar dari rumah.
(Beranjak dari sofa)
Ayu:..... mau kemana, kau?
Agam: Ayu, kau ingat, yang kau beli sebagai oleh-oleh?
Ayu:...ya
Agam: Bawa itu padaku, akan kujadikan itu sebuah kejutan untuk Naya
Agam: Ayu, anggap saja ini sebuah hadiah bagi Naya. Bukankah kau sudah terbiasa
melakukannya?
(Agam memutuskan pembicaraan secara sepihak. Ayu mengeraskan gigi dan berbalik pergi )
Naskah :
1. Syaira Anindya A
2. Dzakira Zayyani
3. Zahra Wardatullatifah
4. Raina Rachel H
Narator :
- Ghiani
Pemeran :
1. Naila Aisha sebagai Naya
2. Sofie Rizqiany sebagai Alana
3. Syaira Anindya sebagai Pak Agam ( Ayah Naya )
4. Khalisha M sebagai Bu Ayu ( Ibunda Naya )
5. Sekarnira A sebagai Bu Kasih ( Ibunda Alana )
6. Raya Oktariane sebagai Bu Rhea ( Guru BK )
7. Dzakira Z sebagai Bu Zhea ( Guru Agama )
8. Indhira Ayesha sebagai Mbak ( Pengasuh Naya )
Rias :
1. Ahya Shofa T
2. Ara Putri H
3. Asyifa Septi M
4. Bunga Sabiila A
5. Zahratu Sitta
Backsound :
1. Alifa Amalia
2. Rifka Aulia
3. Firial Wardah S
4. Marsya Chalifa