Anda di halaman 1dari 5

NASKAH DRAMA BERTEMA EMPATI

JUDUL : “EMPATI TERHADAP SESAMA”

Nar: Pagi itu kelas VII.A MTs Nurul Mawaddah sedang menerima
pelajaran tentang rasa
empati. Anak-anak nampak begitu antusias mendengarkan penjelasan
dari Bu Naila.
Bu Naila : “Bagaimana Anak-anak, sudah paham semuanya ‘kan terkait
isi kandungan QS. An-Nisa ayat 8? (memandang seisi kelas).
Ada yang ditanyakan tidak?”
Anak-anak : (Terdiam)
Bu Naila : “Kalau tidak ada yang bertanya, kita ulangan saja ya.”
Anak-anak : (Berteriak) “Jangan, Bu! Jangaaaaan!”
Bu Naila : (Tersenyum) “Makanya, Ayo tanya.”
Fatimah : “Saya, Bu!” (tunjuk jari)
Bu Naila : (Mengangguk) “Silakan Fatimah,”
Fatimah : “Bagaimana sih cara untuk menumbuhkan rasa empati pada
diri kita, sehingga kita bisa lebih mudah dalam berempati?”
Bu Naila : “Pertanyaan yang bagus Fatimah.”
Nah, Anak-anak, rasa empati itu dimulai dari diri sendiri. Jadi, terlebih
dahulu kita harus melatih pribadi kita supaya peka terhadap keadaan di
sekitar. Berusahalah menolong orang yang memerlukan, sebelum
mereka sendiri yang meminta bantuan pada kita. Kita harus banyak
melatih diri, maka lama kelamaan rasa empati tersebut akan menjadi
kebiasaan yang kemudian tumbuh menjadi karakter.
“paham semuanya?”
Anak-anak : “Paham, Buuuu!”
Bu Naila : “Contoh empati, misalnya ketika kita sedang naik angkutan
umum, tiba-tiba melihat seorang nenek tua renta berdiri berdesak-
desakan dengan penumpang lainnya. Sementara kita enak-enakan duduk
di kursi. Karena kita memiliki rasa empati, maka kitapun mengalah dan
mempersilakan nenek tersebut duduk menempati kursi kita. Coba
bayangkan kalau kita yang jadi nenek tersebut, kasihan kan, sudah tua.”
Anak-anak : “Iya, Bu!”
Bu Naila : “Contoh lagi, misalnya teman kita ada yang bersedih karena
nilai ulangannya merah. Maka, kita berusaha menghibur dan
menyemangatinya. Jangan malah bercanda disampingnya. Barangkali itu
membuat dia semakin sedih, karena kita masih bisa tertawa dan senang
sementara dia tidak bisa.”
Nar : Akhirnya pelajaran pada hari itu pun berakhir satu persatu. Anak-
anak
segera pulang ke rumah untuk beristirahat. Beberapa anak masih
terngiang-ngiang dengan
pelajaran pada hari itu, termasuk Fatimah. Ia memahami betul apa
yang telah dia jelaskan
oleh gurunya. Ia berjanji akan mengamalkan ilmu yang baru
diperolehnya itu. Sementara
beberapa anak yang lain telah melupakannya.
Pagi kembali menjemput. Anak-anak kembali menjalankan aktivitas
wajibnya yaitu sekolah. Mereka berangkat dengan penuh semangat.
Begitu pun dengan siswa kelas VII.A. Meskipun belum jam tujuh tepat,
hampir semuanya sudah berkumpul di kelas. Ada yang menyapu lantai,
menghapus papan tulis, menata kursi, bercakap-cakap, dan membaca
buku cerita.
Fatimah : “Rik, sudah jam tujuh kurang seperempat ‘kok Alya belum
juga berangkat ya, biasanya kan dia paling awal sampai di kelas.”
Rika : “Iya yah, tapi kemarin Alya sempat bercerita kalau ibunya sedang
sakit parah. Katanya kena komplikasi. Penyakit apa ya itu?”
(mengerutkan dahi)
Fatimah : “Komplikasi itu penyakitnya bermacam-macam Rik. Bisa
jadi stroke, ginjal, liver, ah pokoknya lebih dari satu.”
Rika : “Ih, kasihan ya Alya, padahal dia sudah tidak punya ayah
lagi. Malah sekarang ibunya lagi sakit. Parah pula. Bagaimana
kalau sampai meningg...”
Fatimah : (Memotong cepat) “Eh, jangan gitu dong Rik, gak
sopan namanya. Lebih baik kita doakan untuk kesembuhan ibu
Alya.”
Rika : “Eh iya, Maaf deh.”
Nar : Sedang asyik ngobrol, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara
bel. Artinya, pelajaran pada pagi itu akan segera dimulai. Setelah
petugas TU memandu doa awal pelajaran dari speaker pusat, beliau
mengumumkan berita duka, bahwa Ibu dari siswi kelasVII.A yang
bernama Alya baru saja meninggal dunia pada pukul enam tadi.
Seluruh siswi kelas VII.A mengucapkan kalimat istirja’. Mereka ikut
bersedih, apalagi Fatimah dan Rika yang barusan mengobrolkannya.
Mata keduanya berkaca-kaca membayangkan Alya tengah yang
barusan mengobrolkannya. Mata keduanya berkaca-kaca
membayangkan Alya tengah sedih kehilangan ibunya. Pelajaran
pertama di kelas VII. A kebetulan diampu oleh wali kelas mereka,
Bu.ida. Akhirnya mereka sepakat untuk mengganti pelajaran pertama
tersebut dengan persiapan takziyah ke rumah Alya. Mereka
mengumpulkan uang dari guru dan teman-teman satu sekolahan untuk
membantu Alya.
Nar : Pukul delapan lebih, anak-anak kelas VII.A dan beberapa guru
MTs Nurul Mawaddah telah sampai di rumah Alya. Fatimah dan
beberapa teman yang lain menghampiri Alya yang tengah menangisi
ibunya.
Fatimah : (memeluk Alya) “Alya...”
Alya : “Hiks... hiks.... Fatimah... hiks...”
Fatimah : (ikut menangis) “Sabar yah, Al. Kami semua ikut bersedih,”
Teman-teman : (berkaca-kaca) “Iya Al, kami juga merasakan yang
kamu rasakan.”
Alya : “Ibu.... Ibu....hu hu hu hu”
Nar : Teman-teman Alya saling berpandangan, mereka merasakan betul
betapa pedihnya kehilangan seorang ibu. Terlebih karena ayah Alya
pun telah tiada semenjak dua tahun yang lalu. Mereka meneteskan air
mata duka.
Alya : “Hiks... Aku sudah tidak punya siapa-siapa... hu hu hu
hu, Ibuuu....... jangan tinggalin Alya sendiriaaaan....!” (menangis
dan menjerit)
Fatimah : “Alya, kamu masih punya Allah, kamu masih punya teman
teman, kami masih punya banyak saudara. Kamu pasti bisa, Al.”
Teman-teman : “Kita akan selalu bersamamu Al, kami akan selalu
membantumu.”
Nar : Bu Naila pun turut hadir dalam acara takziyah itu. Beliau juga
menghampiri Alya dan menghiburnya. Sementara, guru-guru teman-
teman yang lain duduk di kursi bersama para pelayat lainnya.
Bu Naila : (memeluk Alya dan membelai kepalanya) “Alya, sabar ya....
Allah takkan pernah meninggalkan hambaNya. Allah takkan menguji
hambaNya dengan cobaan di luar batas kemampuannya. Sayang, kamu
pasti bisa. Doakan Ibumu supaya tenang di sana ya ‘nak ya. Kalau kamu
terus menangis, ibumu pun jadi sedih...”
Alya : (Mengangguk-angguk)
Nar : Alya masih menangis, sewajarnya orang yang tengah sedih karena
kehilangan orang yang sangat dicintai untuk selama-lamanya.
Fatimah : “Al, aku siap menemanimu jika kamu butuh teman.”
Teman-teman : “Kami juga Al.”
Bu Naila : (Tersenyum) “Nah, kemarin baru saja kita belajar tentang
empati dan sekarang kalian telah melakukannya. Subhanallah.”
Nar : Akhirnya, prosesi pemakaman pun segera dilaksanakan setelah
jenazah di shalatkan. Alya nampak sayu. Terlalu banyak air mata yang
telah dia keluarkan hari itu. Kini ibunya telah tiada. Namun Alya sadar,
ia tak boleh putus asa. Ia tak boleh terlalu larut dalam kesedihannya,
karena ia masih memiliki Allah, saudara, guru, dan juga teman-teman
yang selalu menyemangatinya.

Anda mungkin juga menyukai