id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
D. Hasil Penelitian
1. Reliabilitas Interrater Enumerator pada Skrining Gizi Simple Nutrition Screening
Tool dan Subjective Global Assessment
Tabel 7. Hasil Uji Kappa Reliabilitas Interrater Enumerator pada Skrining Gizi
Simple Nutrition Screening Tool (SNST) dan Subjective Global
Assessment (SGA)
Hasil SNST dan SGA Nilai Kappa Nilai p
SNST
- Enumerator 1 1,000 <0,001
- Enumerator 2 1,000 <0,001
SGA
- Enumerator 1 0,839 <0,001
- Enumerator 2 1,000 <0,001
Sumber : Data primer tahun 2016, halaman 78-79
Berdasarkan Tabel 7, di dapatkan hasil uji nilai koefisien Kappa untuk
simple nutrition screening tool (SNST) sebesar 1,000 dan p valuenya <0,001
pada kedua enumerator. Sedangkan hasil uji nilai koefisien Kappa untuk
subjective global assessment (SGA) sebesar 0,839 dan 1,000, untuk p<0,001
pada kedua enumerator. Dengan hasil ini diketahui bahwa nilai p <0,05, berarti
hasil uji Kappa signifikan/bermakna, sehingga kesimpulannya ada persamaan
persepsi mengenai aspek yang diamati antara 3 orang enumerator / ahli gizi.
Kecocokan oleh 3 orang ahli gizi dari hasil skrining gizi menggunakan
SNST adalah sebanyak 100% (30/30) dan penilaian SGA adalah sebanyak
83,9% (25/30) pada enumerator 1 dan 100% (30/30) pada enumerator 2.
Jenis Kelamin
- Laki-laki 4 6,2 61 93,8 65 100 0,903 ref 0,903
- Perempuan 5 5,7 83 94,3 88 100 (0,237 – 3,564)
Pendidikan
- Tinggi 3 4,7 61 95,3 64 100 1,470 ref 0,590
- Rendah 6 6,7 83 93,3 89 100 (0,354 – 6,11)
Pekerjaan
- Bekerja 5 6,6 71 93,4 76 100 0,778 ref 0,716
- Tidak Bekerja 4 5,2 73 94,8 77 100 (0,201 – 3,016)
Lama Menderita DM
- Pendek 5 6,6 71 93,4 76 100 0,778 ref 0,716
- Lama 4 5,2 73 94,8 77 100 (0,201 – 3,016)
Komplikasi Penyakit
- Tanpa Komplikasi 2 3,6 54 96,4 56 100 2,100 ref 0,339
- Dengan Komplikasi 7 7,2 90 92,8 97 100 (0,421 – 10,477)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id
3. Hubungan Skrining Gizi Simple Nutrition Screening Tool dan Subjective Global
Assessment untuk Penilaian Indeks Massa Tubuh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id
Tabel 10. Nilai Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan Hasil
Skrining Gizi Simple Nutrition Screening Tool (SNST) dan Subjective
Global Assessment (SGA)
Hasil SNST dan SGA Mean IMT ±SD (kg/m²)
SNST Berisiko Malnutrisi 20,84 ± 2,71
SGA Gizi Kurang 21,11± 2,76
Tabel 11. Hubungan Skrining Gizi Simple Nutrition Screening Tool (SNST) dan
Subjective Global Assessment (SGA) dengan Penilaian Indeks Massa
Tubuh (IMT)
IMT
Total
Hasil SNST dan Gizi kurang Gizi Baik OR Nilai
n : 153
SGA n:9 n : 144 (95% CI) p
n % n % N %
SNST
- Berisiko 8 22,8 27 77,2 35 100 34,67
Malnutrisi (4,16-288,97) <0,001
- Tidak Berisiko 1 0,8 117 99,2 118 100 Ref
Malnutrisi
SGA
- Gizi Kurang 7 21,2 26 78,8 33 100 15,89
(3,119-80,897) <0,001
- Gizi Baik 2 1,67 118 98,3 120 100 Ref
Sumber : Data primer tahun 2016, halaman 89-90
Pada Tabel 11, dapat diketahui bahwa pada variabel SNST terdapat 8
orang (22,8%) dari 35 orang yang berisiko malnutrisi berdasarkan SNST juga
berstatus gizi kurang berdasarkan indikator IMT. Selain itu, terdapat 117 orang
(99,2%) dari 118 orang yang tidak berisiko malnutrisi berdasarkan SNST juga
berstatus gizi baik berdasarkan indikator IMT. Hasil uji statistik chi-square
dengan tingkat kepercayaan 95% dengan indikator IMT diperoleh nilai p =
<0,001, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara skrining gizi SNST
dengan status gizi berdasarkan IMT. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR =
34,667, yang artinya subjek yangcommit to user malnutrisi berdasarkan skrining
berisiko
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id
SNST, memiliki peluang sebesar 34,67 kali memiliki status gizi kurang
berdasarkan IMT. Dari Tabel juga diketahui bahwa subjek penelitian berstatus
gizi baik berdasarkan IMT, juga dapat berisiko malnutrisi berdasarkan SNST
sebanyak 77,2%.
Pada variabel SGA terdapat 7 orang (21,2%) dari 33 orang yang memiliki
status gizi kurang berdasarkan SGA juga berstatus gizi kurang berdasarkan
indikator IMT. Disamping itu, terdapat 118 orang (98,3%) dari 120 orang yang
memiliki status gizi baik berdasarkan SGA juga berstatus gizi baik berdasarkan
indikator IMT. Hasil uji statistik chi-square dengan tingkat kepercayaan 95%
dengan indikator IMT diperoleh nilai p = <0,001, maka dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan antara SGA dengan status gizi berdasarkan IMT. Dari hasil
analisis juga diperoleh nilai OR = 15,89, yang artinya subjek yang memiliki
status gizi kurang berdasarkan SGA, memiliki peluang sebesar 15,885 kali
memiliki status gizi kurang berdasarkan IMT. Dari Tabel juga diketahui bahwa
subjek penelitian berstatus gizi baik berdasarkan IMT, juga dapat berstatus gizi
kurang berdasarkan SGA sebanyak 78,8%.
besar pada SNST yaitu sebanyak 22,86 %, dan nilai prediksi negatif atau
proporsi yang tidak berisiko malnutrisi dan memiliki status gizi baik, lebih besar
pada SNST yaitu sebanyak 99,15%. Positif semu atau salah mengklasifikasikan
subjek memiliki gizi kurang padahal subjek memiliki status gizi baik, lebih
banyak pada SGA yaitu sebanyak 78,79% dan negatif semu atau salah
mengklasifikasikan subjek memiliki gizi baik padahal subjek memiliki status
gizi kurang, lebih banyak pada SGA yaitu sebanyak 1,67%.
Dari Tabel 13, dapat diketahui bahwa hasil uji kurva receiver operating
characteristic, skrining gizi simple nutrition screening tool (SNST) memiliki
nilai area under curve (AUC) sebesar 0,851 sedangkan penilaian gizi subjective
global assessment (SGA) memiliki nilai AUC sebesar 0,799. Ini berarti SNST
dapat menggambarkan indeks massa tubuh (IMT) sebesar 85,1% dan SGA dapat
menggambarkan IMT sebesar 79,9%.
E. Pembahasan
1. Reliabilitas Interrater Enumerator pada Skrining Gizi Simple Nutrition Screening
Tool dan Subjective Global Assessment
Uji interrater reliability merupakan jenis uji yang digunakan untuk
menyamakan persepsi antara peneliti dengan petugas pengumpul data.
Penilaiannya dengan melihat banyaknya skor yang sama pada variabel yang
sama antar petugas pengumpul data, kemudian dihitung dengan cara jumlah skor
yang sama tersebut dibagi jumlah skor total. Batas minimal uji Kappa adalah 0,4
(Hastono, 2007; McHugh, 2012). Dari hasil uji interrater reliability pada
penelitian yang dilakukan, diperoleh nilai Kappa sebesar 1,00 untuk skrining
simple nutrition screening tool (SNST) pada kedua enumerator dan nilai Kappa
sebesar 0,839 dan 1,00 untuk subjective global assessment (SGA). Hasil
p<0,001 pada SNST dan SGA (lampiran 11.1). Hasil ini menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan persepsi mengenai SNST dan SGA antara peneliti dan
enumerator.
tahun, sedangkan risiko malnutrisi meningkat pada usia lanjut ≥65 tahun (Sanz
Paris et al., 2013).
Subjek penelitian pada kelompok status gizi kurang maupun status gizi
baik sebagian besar berjenis kelamin perempuan. Hal ini sejalan dengan
penelitian lainnya yaitu pasien diabetes melitus rawat jalan sebagian besar
berjenis kelamin perempuan, sebanyak 69,1% (Rahmadiliyani dan Muhlisin,
2008), 62,1% (Trisnawati dan Setyorogo, 2013), 78,4% (Adnan et al., 2013),
51% dan sebagian besar pasien diabetes melitus dengan status gizi kurang
berjenis kelamin perempuan (Setyaningsih, 2013). Jenis kelamin perempuan
memiliki tingkat kesadaran dalam berobat lebih tinggi hal ini di dukung oleh
penelitian oleh Shalahudin (2011) bahwa sebagian besar pengguna pelayanan
kesehatan adalah perempuan yaitu sebanyak 76%. Dari hasil uji statistik
(lampiran 11.2b), diperoleh bahwa variabel jenis kelamin subjek penelitian tidak
memiliki hubungan yang signifikan terhadap status gizi indeks massa tubuh
(IMT). Analisis antara jenis kelamin dengan status gizi IMT tidak signifikan
pada penelitian ini, dapat disebabkan persentase subjek antara kelompok
perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang. Kebanyakan subjek penelitian
pada penelitian ini berjenis kelamin perempuan.
Subjek penelitian pada kelompok status gizi kurang maupun status gizi
baik sebagian besar memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu tidak sekolah,
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (terbanyak berpendidikan sekolah
menengah pertama). Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya yaitu pasien
diabetes melitus rawat jalan sebagian besar berpendidikan rendah, sebanyak
67,9% (Trisnawati dan Setyorogo, 2013). Dalam analisis, variabel pendidikan
dibuat menjadi dua kategori yaitu rendah dan tinggi. Pendidikan rendah yaitu
pada subjek berpendidikan dari tidak sekolah sampai tamat sekolah menengah
pertama. Sementara pendidikan tinggi yaitu bila subjek berpendidikan dari tamat
sekolah menengah atas sampai dengan tamat perguruan tinggi. Dalam analisis
univariat, terlihat bahwa sebagian besar subjek berpendidikan rendah. Dari hasil
uji statistik (lampiran 11.2c) analisis hubungan antara pendidikan dengan status
gizi indeks massa tubuh (IMT), diperoleh bahwa variabel tingkat pendidikan
subjek penelitian tidak memilikicommit to user
hubungan yang signifikan terhadap status gizi
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id
IMT. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian lain (Wang et al., 2014; Irawan,
2010) yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap status
gizi pada DM tipe 2. Tingkat pendidikan merupakan prediktor untuk
pengetahuan mengenai penyakit diabetes melitus yang dapat mempengaruhi
tingkat kesadaran terhadap pengelolaan dan pengendalian diabetes melitus
(Foma et al, 2013). Seseorang berpendidikan tinggi biasanya memiliki
pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik daripada orang dengan
pendidikan yang rendah, hal ini berkaitan dengan kemudahan menerima
informasi, sehingga dengan adanya pengetahuan tersebut, dapat meningkatkan
kesadaran dalam menjaga kesehatannya sebaliknya dengan yang berpendidikan
rendah, hanya memiliki pengetahuan yang terbatas sehingga berdampak pada
pemilihan makan yang tidak tepat dan pola makan yang tidak terkontrol,
sehingga mempengaruhi status gizi (Sharma et al., 2015; Irawan, 2010;
Notoatmodjo, 2007).
Pada status gizi kurang sebagian besar bekerja sedangkan pada status gizi
baik sebagian besar tidak bekerja. Dari analisis univariat, Sebagian besar subjek
penelitian tidak bekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya yaitu pasien
diabetes melitus rawat jalan sebagian besar tidak bekerja, sebanyak 69,7%
(Trisnawati dan Setyorogo, 2013). Hal ini dapat disebabkan oleh pada seseorang
yang tidak bekerja, memiliki banyak waktu untuk melakukan pemeriksaan di
pelayanan kesehatan, dibuktikan dengan sebagian besar subjek penelitian yaitu
perempuan dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Dari hasil uji statistik
(lampiran 11.2d) analisis hubungan antara pekerjaan dengan status gizi indeks
massa tubuh (IMT), diperoleh bahwa variabel pekerjaan subjek penelitian tidak
memiliki hubungan yang signifikan terhadap status gizi IMT. Pekerjaan
seseorang mempengaruhi tingkat ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup
(Azwar, 2013). Makin rendah status ekonomi meningkatkan prevalensi diabetes
(Kim et al., 2015). Pasien diabetes dengan status sosial ekonomi rendah
memiliki peningkatan jumlah dan memiliki beragam komplikasi kesehatan
(Bolen et al., 2015). Analisis antara pekerjaan dengan status gizi IMT tidak
signifikan karena kebanyakan subjek adalah kelompok jenis kelamin perempuan.
commit
Kelompok ini adalah ibu rumah to user
tangga. Sehingga walaupun tidak bekerja,
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id
pemenuhan kebutuhan ekonomi dapat berasal dari suami yang bekerja, sehingga
tidak bermasalah dalam pemenuhan nutrisi dan status gizi.
Pada status gizi kurang sebagian besar lama menderita diabetes melitus
(DM) pendek (<5 tahun) sedangkan pada status gizi baik sebagian besar lama
menderita DM lama (>5tahun). Dari hasil uji statistik (lampiran 11.2e),
diperoleh bahwa variabel lama menderita diabetes melitus subjek penelitian
tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap status gizi indeks massa
tubuh (IMT). Hal ini sejalan dengan penelitian Logtenberg et al. (2007) bahwa
IMT tidak meningkat dengan sejalan dengan peningkatan lama menderita
diabetes melitus. Karena pada pasien DM yang telah menderita DM lama,
kemungkinan besar telah memperoleh edukasi gizi sehingga dapat menerapkan
pola gizi seimbang serta ditambah dengan adanya dukungan keluarga untuk
menerapkan penatalaksanaan gizi sehingga kondisi hiperglikemia kemungkinan
telah dapat diperbaiki dan mempengaruhi status gizi (Shi et al., 2015; Shi et al.,
2015).
Subjek penelitian pada kelompok status gizi kurang maupun status gizi
baik sebagian besar memiliki komplikasi penyakit (terbanyak komplikasi
Mikrovaskuler). Komplikasi diabetes disebabkan kondisi hiperglikemia kronis.
Hiperglikemia pada diabetes dapat menyebabkan stres oksidatif dengan cara
meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS) dan atau dengan cara
menurunkan sistem antioksidan (Cruz et al., 2015) sehingga kadar radikal bebas
di sel dan jaringan meningkat, menyebabkan resistensi insulin dan menurunkan
kerja insulin (Pan et al., 2010). Peningkatan produksi ROS dapat menurunkan
sistem antioksidan endogen dan terjadi perubahan komponen sistem imun, hal
ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan (adiposa, hati, pankreas,
pembuluh darah), peningkatan leukosit dan kemokin, serta terjadi apoptosis dan
fibrosis jaringan. Perubahan ini menunjukkan adanya peradangan yang
menimbulkan patogenesis pada diabetes melitus tipe 2 (Mrowicka, 2011; Donath
dan Shoelson, 2011; Al-Rasheed et al., 2013; Rochette et al., 2014; Cruz et al.,
2015). Komplikasi mikrovaskuler dapat berupa retinopati, nephropati, neuropati
(gangguan sensori, termasuk riwayat lesi pada kaki; autonom, disfungsi seksual
dan gastroparesis); komplikasi commit to user dapat berupa penyakit jantung
makrovaskular
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id
3. Hubungan Skrining Gizi Simple Nutrition Screening Tool dan Subjective Global
Assessment untuk Penilaian Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan pengukuran antropometri sebagai
indikator status gizi untuk memantau ketidakseimbangan antara asupan energi
dan protein. Perhitungan IMT umumnya digunakan di rumah sakit untuk
mengukur status gizi pasien dewasa kemudian dikelompokkan menjadi kategori
kurang bila IMT < 18,5 kg/m² dan baik bila IMT ≥ 18,5-25 kg/m² (Depkes RI,
2003). Selain memiliki beberapa keunggulan, IMT memiliki beberapa
kelemahan yaitu untuk memperoleh data status gizi IMT, pasien / subjek harus
dapat berdiri tegak kemudian dilakukan pengukuran dan penimbangan,
dilanjutkan perhitungan matematika serta tidak sensitif mendeteksi perubahan
status gizi dalam waktu singkat baik berupa perubahan komposisi tubuh,
perubahan biokimia, perubahan pengeluaran energi dan perubahan fungsi sistem
tubuh (Platek et al., 2011; Hartono, 2006; Gibson, 2005).
Subjective global assessment (SGA) adalah metode penilaian gizi yang
lebih menggambarkan perubahan status gizi yang meliputi penilaian subjektif
umum berdasarkan riwayat medis dan pemeriksaan fisik (Gibson, 2005).
Beberapa penelitian yang bertujuan menguji kemampuan SGA dalam
mengidentifikasi malnutrisi telah banyak dilakukan, pada penelitian oleh
Moriana et al. (2014) yang menyebutkan bahwa SGA memiliki korelasi yang
tinggi salah satunya terhadap parameter antropometri. Hal ini sejalan dengan
hasil yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu SGA memiliki hubungan yang
signifikan dengan status gizi berdasarkan IMT (lampiran 11.5b).
Dari hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa pada subjek yang berstatus
gizi kurang maupun berstatus commit to user
gizi baik menurut indeks massa tubuh (IMT)
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id
Young et al. (2013), bahwa perlu dipilih alat skrining gizi yang hasilnya sejalan
dengan penilaian status gizi serta mudah untuk dilakukan.
subjective global assessment (SGA) untuk indeks massa tubuh (IMT) sehingga
SNST terbukti memiliki kemampuan dalam memprediksi risiko malnutrisi pada
subjek yang diteliti berdasarkan IMT pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti, simple nutrition
screening tool (SNST) terbukti memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
subjective global assessment (SGA) yaitu :
a. Waktu pengisian kuesioner yang lebih singkat daripada SGA
b. Variabel yang diisi lebih sederhana, dapat dijawab dengan cara observasi
dan wawancara kepada pasien, sedangkan SGA memiliki variabel yang
lebih banyak dan mendetail, serta memerlukan pengukuran antropometri
berat badan dan perhitungan matematika.
c. Validitas SNST lebih baik daripada SGA untuk indeks massa tubuh (IMT)
untuk mendeteksi risiko malnutrisi pada pasien diabetes melitus tipe 2.
F. Keterbatasan Penelitian
1. Kesulitan melakukan uji reliabilitas instrument dengan menggunakan realibilitas
tes-retest karena pelaksanaan pengambilan data pada unit rawat jalan, sehingga
waktu pengumpulan data terbatas.
2. Gold standar yang digunakan adalah kategori indeks massa tubuh (IMT)
berdasarkan Depkes RI tahun 2003 yang mengkategorikan IMT tanpa
menggolongkan berdasarkan umur (IMT/U) yang merupakan kategori IMT
berdasarkan WHO.
commit to user