Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

SURVEILANS PENYAKIT TIDAK MENULAR (PTM)

KANKER LEHER RAHIM (SERVIKS)

MATA KULIAH

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

Dosen Pengajar :

Dr. dr. Wulan P.J. Kaunang, Grad.Dip, M.Kes, DK

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Siti R. K. Baderan 222021110067


Chlara E. Melatunan 222021110017
Maureen M. Mamesah 222021110008

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dalam mata kuliah
Surveilans Epidemiologi dengan Topik Penyakit Tidak Menular (Kanker Serviks).
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Harapan kami semoga laporan ini dapat membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca dalam mempelajarinya sehingga kedepannya kami
dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengetahuan yang kami
miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami berharap kepada para pembaca agar
kiranya memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Manado, Mei 2023

Kelompok 2

i
KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------- i
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------- ii
BAB I PENDAHULUAN ---------------------------------------------------------- 1
1.1. Latar Belakang ----------------------------------------------------------- 1
1.2. Rumusan Masalah -------------------------------------------------------- 4
1.3. Tujuan --------------------------------------------------------------------- 5
BAB II PEMBAHASAN ----------------------------------------------------------- 6
2.1. Gambaran Umum Surveilans PTM ------------------------------------ 6
2.2. Tujuan Surveilans PTM ------------------------------------------------- 8
2.3 Kebijakan dan Strategi Surveilans PTM ------------------------------ 8
2.4 Ruang Lingkup Surveilans PTM --------------------------------------- 11
2.5 Sasaran Pengembangan Surveilans PTM ----------------------------- 11
2.6 Pelaksanaan Surveilans PTM Utama Terintegrasi Berbasis
Masyarakat ---------------------------------------------------------------- 12
2.7 Gambaran tentang Penyakit Kanker Serviks ------------------------- 17
2.7.1 Definisi Kanker Serviks----------------------------------------- 17
2.7.2 Anatomi ----------------------------------------------------------- 18
2.7.3 Patofisiologi Kanker Serviks ----------------------------------- 18
2.7.4 Etiologi ------------------------------------------------------------ 20
2.7.5 Tanda dan Gejala Kanker Serviks ----------------------------- 21
2.7.6 Faktor Risiko ----------------------------------------------------- 22
2.7.7 Klasifikasi Kanker Serviks ------------------------------------- 23
2.7.8 Deteksi Dini ------------------------------------------------------ 24
2.7.9 Riwayat Alamiah Penyakit ------------------------------------- 24
2.7.10 Pengobatan Kanker Serviks ------------------------------------ 26
2.7.11 Pencegahan Kanker Serviks ------------------------------------ 27
2.8 Contoh Jurnal Penelitian tentang Surveilans PTM ------------------ 28
BAB III PENUTUP ----------------------------------------------------------------- 32
3.1. Kesimpulan --------------------------------------------------------------- 32
3.2. Saran ----------------------------------------------------------------------- 32
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------------- 33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 2016, sekitar 71 persen penyebab kematian di dunia adalah penyakit tidak
menular (PTM) yang membunuh 36 juta jiwa per tahun. Sekitar 80 persen kematian tersebut
terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah. 73% kematian saat ini disebabkan
oleh penyakit tidak menular, 35% diantaranya karena penyakit jantung dan pembuluh darah,
12% oleh penyakit kanker, 6% oleh penyakit pernapasan kronis, 6% karena diabetes, dan
15% disebabkan oleh PTM lainnya (data WHO, 2018).

Di Indonesia sendiri Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang besar. Berdasarkan laporan Riskesdas 2018, prevalensi PTM di
Indonesia meliputi; hipertensi usia ˃18 tahun (34,11%), rematik (7,30%), asma (2,4%),
diabetes melitus (1,5%), Penyakit Jantung (1,5%), gagal ginjal kronik (0,38%), stroke umur
≥ 15 tahun (10,9%), dan Kanker (1,79%) (Balitbangkes RI, 2019).

Menurut data Global Burden of Cancer Study (Globocan) yang dirilis World Health
Organization (WHO), pada tahun 2020 total kasus kanker serviks di dunia mencapai 604.127
kasus dengan total kematian sebesar 341.831 kasus. insidensi kankerserviks di dunia berkisar
13,1 per 100.000 wanita. Kejadian kanker serviks yang tinggidi Indonesia menjadikan kanker
serviks masih menjadi masalah kesehatan besar dan menjadi salah satu penyebab kematian
tertinggi. Pada tahun 2020 World Health Organization (WHO) mencatat bahwa kejadian
kanker serviks di Indonesia sejumlah 36.633 kasus atau 9,2% dari total kasus kanker dan
menempati urutan kedua setelah kanker payudara (Rasjidi I. 2009).

Kanker serviks adalah salah satu penyakit tidak menular jenis kanker dengan insiden
terbanyak kelima pada wanita di seluruh dunia. Penyakit ini banyak terdapat pada wanita
Amerika Latin, Afrika, dan negara- negara berkembang lainnya di Asia, termasuk Indonesia.
Kanker serviks di negara-negara maju menempati urutan keempat setelah kanker payudara,
kolorektum,dan endometrium. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang menempati
urutan pertama.

3
Kanker Serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks, sehingga
jaringan disekitarnya tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya dan merupakan
sebuah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks (WHO, 2020). Hampir 95%
kanker serviks pada wanita disebabkan oleh virus HPV, yaitu virus papiloma (human
papilloma virus). Infeksi Human Papilloma Virus (HPV)biasa terjadi pada perempuan di usia
reproduksi. Infeksi ini dapat menetap, berkembang menjadi displasia atau sembuh sempurna.
Ada dua golongan HPV yaitu HPV risiko tinggi atau disebut HPV onkogenik yaitu utamanya
tipe 16, 18, dan 31, 33,45, 52, 58, sedangkan HPV risiko rendah atau HPV non-onkogenik
yaitu tipe 6, 11, 32,dsb (Setianingsih E, Astuti Y, Noveri A. 2022). Penularan virus bisa terjadi
melalui hubungan seksual, terutama dengan pasanganyang sering berganti. Penularan virus
ini dapat terjadi baik dengan cara transmisi melalui organ genital ke genital, oral ke genital,
maupun secara manual ke genital (Rahayu, Dedeh Sri. 2015).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian


kanker serviks, diantaranya paritas, riwayat konsumsi pil KB lebih dari 10 tahun, perokok
pasif dan tidak mengetahui bahwa kanker serviks dapat dicegah (Putri AR, Khaerunnisa S,
Yuliati I. 2019). Juga hasil penelitian yang dilakukan oleh melalui artikel yang telah direview
diperoleh beberapa hasil faktor yang mempengaruhiterjadinya kanker serviks diantaranya
pekerjaan, pendidikan, usia hubungan seksual pertama, usia menikah, usia, paritas,
merokok, kontrasepsi KB hormonal, dan faktor lain (Setianingsih E, dkk 2022).

Berbagai faktor risiko Penyakit tidak menular (PTM) terjadi akibat merokok, diet
tidak sehat, kurang aktivitas fisik, dan konsumsi minuman beralkohol. Faktor risiko tersebut
akan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis di dalam tubuh manusia, sehingga
menyebabkan pertumbuhan sel jaringan yang upnormal, tekanan darah meningkat, gula
darah meningkat, kolesterol darah meningkat, dan obesitas. Selanjutnya dalam waktu yang
relatif lama terjadi PTM (Kemenkes RI, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran umum surveilans PTM?
2. Apa saja Tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan Surveilans PTM?

4
3. Apa saja Kebijakan dan strategi surveilans PTM?
4. Apa saja Ruang lingkup surveilans PTM?
5. Siapa saja sasaran Pengembangan Surveilans PTM?
6. Bagaimana pelaksanaan Surveilans PTM terintegrasi berbasis masyarakat?
7. Bagaimana Gambaran penyakit tidak menular Kaker Serviks?
8. Bagaimana Contoh Jurnal Penelitian Surveilans PTM?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui gambaran umum surveilans PTM.


2. Untuk mengetahui tujuan kegiatan Surveilans PTM.
3. Untuk mengetahui kebijakan dan strategi surveilans PTM.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup surveilans PTM.
5. Untuk mengetahui sasaran Pengembangan Surveilans PTM.
6. Untuk mengetahui pelaksanaan Surveilans PTM terintegrasi berbasis
masyarakat.
7. Untuk mengetahui Gambaran Penyakit tidak meular kanker Serviks
8. Untuk memberikan Contoh Jurnal Penelitian Surveilans PTM

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Surveilans PTM


Sesuai Permenkes No 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan,
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
instansi kesehatan pemerintah lainnya, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
menyelenggarakan Surveilans Kesehatan sesuai kewenangannya, termasuk penyelenggaraan
surveilans penyakit tidak menular (PTM). Surveilans PTM merupakan bagian penting dalam
upaya pengendalian PTM di Indonesia guna menghasilkan data dan informasi yang valid
sebagai bahan perencanaan, monitoring, dan evaluasi program.
Program pengendalian PTM dan faktor risikonya dilaksanakan mulai dari pencegahan,
deteksi dini, dan pengobatan, dan rehabilitasi. Kegiatan pencegahan dan deteksi dini dapat
dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat melalui Posbindu PTM, sedangkan deteksi
dini, pengobatan, dan rehabilitasi di fasilitas pelayanan kesehatan, baik fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL).
Surveilans PTM di FKTP dilaksanakan sejalan dengan kegiatan FKTP tersebut guna
mendukung penyelenggaran program pengendalian penyakit di masyarakat. Kegiatan ini
merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis dan terus-menerus.
Penyelenggaraan surveilans PTM di FKTP akan dapat menjadi sarana untuk mengukur
capaian indicator global PTM (Resolusi PBB No 68271), Rencana Pembangunan jangka
Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, dan Rencana
Strategis kesehatan daerah. Selain itu juga bermanfaat bagi fasilitas kesehatan yang
menyelenggarakan surveilans PTM dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.
Pengendalian penyakit kanker di Indonesia telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak
baik pemerintah maupun non pemerintah, namun belum berjalan secara terpadu,
komprehensif, dan berkesinambungan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1575/Menkes/Per/XI/ 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan, dibentuklah Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PPTM) yang
termasuk di dalamnya Sub Direktorat Penyakit Kanker yang bertugas mengkoordinasikan
upaya pengendalian penyakit kanker di Indonesia.

6
Pada negara-negara berkembang, hal-hal penting yang menjadi pertanyaan dalam
pengendalian kanker leher rahim adalah melakukan implementasi dan mempertahankan
kelanggengan program deteksi dini yang berbasis sitologik konvensional, di mana terkendala
pada teknisi dan infrastruktur yang dibutuhkan, bagaimana mendapatkan cakupan yang
memenuhi target dari program deteksi dini, dan bagaimana mengatasi hambatan logistik
tersebut. Program penanggulangan kanker serviks di Indonesia dilakukan terintegrasi dengan
program penanggulangan kanker secara umum. Kegiatan dimulai dengan melakukan
penilaian terhadap faktor risiko terjadinya kanker.
Khusus untuk kanker serviks dan payudara, telah dilakukan program penemuan dan
tatalaksana penderita kanker, yaitu dengan pelatihan tenaga teknis deteksi dini dan tata
laksana kanker leher rahim dan payudara, sosialisasi program, serta menyelenggarakan
proyek pilot/area deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di 6 provinsi. Kegiatan deteksi
dini dilakukan dengan metoda IVA untuk kanker leher rahim, dan SADARI (pemeriksaan
payudara sendiri) untuk kanker payudara (Rasyid & Maliani, 2018).
Diperkirakan setiap tahunnya ada 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim yang
ditemukan di Indonesia. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium
patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita
terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 Rumah Sakit di Jakarta, kanker
serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan.
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di
antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu staadium IIB -
IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengangangguan fungsi
ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus. Relative Survival pada wanita dengan
lesi pre-invasif hampir 100%. Relativ 1 dan 5 years survival masing- masing sebesat 88%
dan 73%. Apabila dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker
yang paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk kanker lokal.
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum lemah, status sosial
ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis
histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dan penderita
(Rasjidi I. 2009).

7
2.2 Tujuan Surveilans PTM
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 34 Tahun 2015 tujuan Surveilans PTM Kanker
sebagai berikut :
a. Meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi dampak sosial, budaya, serta ekonomi
akibat penyakit Kanker pada individu, keluarga, dan masyarakat;
b. Memberikan kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan masyarakat maupun
pelayanan kesehatan perorangan yang efisien dan efektif untuk membudayakan jaga
kesehatan dan meningkatkan perilaku sehat masyarakat, mengurangi faktor risiko
kesehatan masyarakat, mendiagnosis dan mengobati kasus agar terjadi penurunan angka
kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit Kanker;
c. Menjamin keberlanjutan program melalui perolehan data dan informasi status dan
derajat kesehatan masyarakat serta peningkatan mutu penyelenggaraan pelayanan
kesehatan masyarakat maupun perorangan di bidang penyakit Kanker;
d. Memperluas cakupan penapisan massal pada masyarakat sesuai dengan sasaran program
yang ditetapkan oleh Menteri; dan
e. Meningkatkan mutu profesionalisme pejabat kesehatan masyarakat dan profesi dalam
bidang penyakit Kanker di Indonesia.

2.3 Kebijakan dan Strategi Surveilans PTM


a. Kebijakan
1. Meningkatkan advokasi kebijakan yang berpihak terhadap program kesehatan dan
sosialisasi Program Pencegahan dan Pengendalian PTM.
2. Melaksanakan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif secara
komprehensif.
3. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
4. Mengembangkan dan memperkuat sistem surveilans.
5. Penguatan jejaring dan kemitraan melalui pemberdayaan masyarakat
b. Strategi
1. Meningkatkan advokasi kebijakan yang berpihak terhadap program kesehatan dan
sosialisasi Program Penanggulangan PTM.
1) Mendorong penguatan komitmen dari pengambil kebijakan untuk mendukung
Program Penanggulangan PTM terutama dalam alokasi sumber daya daerah.
8
2) Memberikan informasi dan pemahaman potensial produktifitas serta potensial
ekonomi yang hilang akibat Program Penanggulangan PTM kepada para
pengambil kebijakan lintas sektor.
3) Menumbuhkan kesadaran bahwa masalah kesehatan adalah tanggung jawab
bersama.
4) Mendorong advokasi lintas sektor untuk mewujdukan pembangunan
berwawasan kesehatan (Health in All Policy = HiAP).
2. Melaksanakan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif secara
komprehensif.
1) Menyebarluaskan secara masif sosialisasi pencegahan dan pengendalian faktor
risiko PTM kepada seluruh masyarakat.
2) Meningkatkan kemandirian masyarakat melalui penerapan budaya perilaku
CERDIK.
3) Melakukan deteksi dini dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM baik di
Posbindu maupun di fasilitas pelayanan kesehatan.
4) Melakukan penguatan tata laksana kasus sesuai standar.
5) Meningkatkan program peningkatan kualitas hidup (perawatan paliatif) sesuai
ketentuan
3. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia
1) Meningkatkan kapasitas SDM sesuai jenjang fasilitas pelayanan kesehatan dan
kompetensi didukung dengan penganggaran pusat maupun secara mandiri oleh
daerah.
2) Mendorong ketersediaan SDM secara kualitas maupun kuantitas.
3) Mendorong pemanfaatan SDM yang ada di masyarakat baik dilingkup awam,
akademisi, pegawai pemerintah dan swasta maupun organisasi profesi.
4. Mengembangkan dan memperkuat sistem surveilans
1) Melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai ketentuan.
2) Mengoptimalkan dan mengintegrasikan sistem informasi yang dibangun oleh
pusat maupun yang diupayakan oleh daerah.
3) Melakukan evaluasi dan menindaklanjuti hasil pendataan secara berkala dan
dijadikan bahan pengambilan keputusan secara berjenjang untuk perbaikan
program.
9
4) Mendorong dilakukannya penelitian PTM yang diperlukan.
5. Penguatan jejaring dan kemitraan melalui pemberdayaan masyarakat
1) Melibatkan peran serta tokoh masyarakat dan kelompok potensial lainnya.
2) Mengintegrasikan kegiatan program dalam pelaksanaan hari-hari besar yang
diwilayah masing-masing untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap
P2PTM terutama pencegahan terhadap faktor resiko (mis. melakukan deteksi
dini faktor resiko massal pada hari-hari besar).
3) Berkoordinasi dengan lintas program terkait untuk memastikan ketersediaan
sarana prasarana, obat dan SDM, penerapan mutu pelayanan meliputi akreditasi
dan tatalaksan kasus sesuai standar. d. Berkoordinasi dan menguatkan kemitraan
dengan pihak swasta lainnya.
Menurut Handayani R (2020) strategi surveilans PTM adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan penyelenggaraan surveilans PTM dengan mengintegrasikan dengan
sistem surveilans terpadu di puskesmas maupun rumah sakit serta surveilans
penyakit melalui pengembangan registri PTM terpadu berbasis komunitas, rumah
sakit, maupun spesifik seperti patologi, radiologi, laboratorium, dan lain-lain
b. Pertemuan berkala surveilans PTM dilaksanakan secara teratur atau sesuai
kebutuhan untuk melakukan validasi data, analisa situasi PTM dan faktor risikonya,
monitoring, evaluasi dan menyusun rencana kerja surveilans PTM
c. Mendorong pembiayaan surveilans PTM di semua tingkatan
d. Advokasi dan dukungan peraturan perundang-undangan
e. Pengembangan sistem surveilans PTM sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
program secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota
f. Peningkatan mutu data dan informasi epidemiologi
g. Peningkatan kapasitas SDM dalam surveilans PTM
h. Penguatan jejaring surveilans PTM
i. Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia yang
terintegrasi dan interaktif
j. Mondorong terlaksananya kegiatan teknis surveilans epidemiologi sesuai peran dan
mekanisme kerjanya

10
2.4 Ruang Lingkup Surveilans PTM
Ruang lingkup surveilans PTM adalah sebagai berikut:
a. Surveilans faktor risiko
Berdasarkan Permenkes No. 45 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan, Surveilans faktor risiko merupakan kegiatan pengamatan yang
sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kondisi yang
mempengaruhi atau berkontribusi terhadap terjadinya penyakit atau masalah
kesehatan ( Faktor Risiko PTM), sehingga memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan tindakan pengendalikan dan penanggulangan secara
efektif dan efisien).
b. Surveilans kasus
1. Data berbasis institusi (data agregat)
2. Registrasi PTM

2.5 Sasaran Pengembangan Surveilans PTM


a. Pengelola Program Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Pusat, provinsi,
kabupaten/kota, Puskesmas, unit pelaksana teknis (UPT)
b. Penanggung jawab surveilans di Rumah sakit, Puskesmas, Unit Pelaksana Teknis
(UPT), Balai pengobatan/klinik swasta, Laboratorium dan Organisasi profesi.
c. Kelompok Sasaran Skrining Kanker Leher Rahim yaitu :
1) Perempuan berusia 30 - 50 tahun
2) Perempuan yang menjadi klien pada klinik IMS dengan discharge (keluar
cairan) dari vagina yang abnormal atau nyeri pada abdomen bawah (bahkan
jika di luar kelompok usia tersebut).
3) Perempuan yang tidak hamil (walaupun bukan suatu hal yang rutin,
perempuan yang sedang hamil dapat menjalani skrining dengan aman, tetapi
tidak boleh menjalani pengobatan dengan krioterapi) oleh karena itu IVA
belum dapat dimasukkan pelayanan rutin pada klinik antenatal.
4) Perempuan yang mendatangi Puskesmas, klinik IMS, dan klinik KB
dianjurkan untuk skrining Kanker Leher Rahim.

11
2.6 Pelaksanaan Surveilans PTM Utama Terintegrasi Berbasis Masyarakat
1. Program Deteksi Dini Faktor Risiko PTM di Posbindu
a. Definisi
Deteksi dini faktor risiko PTM di Posbindu adalah upaya kesehatan berbasis
masyarakat (UKBM) yang dilaksanakan di pos pembinaan terpadu
(Posbindu), meliputi : Pengukuran tekanan darah, Pengukuran gula darah,
Pengukuran indeks massa tubuh, Wawancara perilaku berisiko dan Edukasi
perilaku gaya hidup sehat.
b. Sasaran
Adapun sasaran program Deteksi Dini Faktor Risiko PTM di Posbindu
sebagai berikut:
1) Setiap warga negara berusia 15 tahun keatas di suatu desa / kelurahan /
institusi.
2) Sasaran pemeriksaan gula darah adalah setiap warga negara berusia 40
tahun ke atas atau kurang dari 40 tahun yang memiliki faktor risiko
obesitas dan atau hipertensi.
c. Mekanisme Pelaksanaan
a) Tahap Persiapan
1) Dinas Kesehatan Provinsi :
− Menetapkan jumlah target sasaran di kabupaten/kota yang harus
dicakup dalam 1 tahun.
− Melakukan integrasi kegiatan UKBM (UKK, Posyandu Lansia,
UKS, Posyandu Remaja).
− Menetapkan sasaran di wilayah Kabupaten/Kota menggunakan
data yang telah disepakati bersama dengan Kab/Kota, dan
institusi.
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas :
− Pengelola Program Kab/Kota menetapkan jumlah target sasaran
yang harus dicakup dalam 1 tahun. Penetapan sasaran peserta
Posbindu di wilayah desa/kelurahan/institusi menggunakan data
yang telah ditetapkan secara bersama oleh pengelola program,

12
petugas puskesmas dan institusi.
− Pengelola Program Kab/Kota bersama Pengelola Program
Puskesmas menetapkan target dan sasaran puskesmas sesuai
jumlah penduduk di wilayahnya.
− Pengelola Program Puskesmas bersama Kader menetapkan
jumlah dan target sasaran di desa sesuai jumlah penduduk di
wilayahnya.
− Kegiatan dilaksanakan paling kurang 1 kali perbulan.
− Pengelola Program Puskesmas bersama Kader menetapkan
jadwal kegiatan Posbindu.
− Kader mensosialisasikan kepada masyarakat jadwal Posbindu.
− Pengelola Program Puskesmas dan Kader memastikan
ketersediaan bahan habis pakai.
b) Tahap Pelaksanaan
1) Dinas Kesehatan Provinsi :
− Memfasilitasi peningkatan kapasitas kader melalui dana
dekonsentrasi dan APBD.
− Melakukan koordinasi dengan lintas sektor terkait.
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas :
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan kegiatan dilakukan tercatat dan
dilaporkan.
− Kegiatan dilaksanakan oleh kader terlatih.
− Setiap sasaran/klien Posbindu memiliki buku monitor faktor
risiko PTM yang diisi pada setiap kunjungan.
− Kader melakukan rujukan ke FKTP sesuai ketentuan.
c) Tahap Pembinaan Dan Monev
1) Dinas Kesehatan Provinsi :
− Melakukan Monev dan Bintek berkala.
− Mengkoordinir pencatatan dan pelaporan secara berjenjang.
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas :
13
− Melakukan Monev dan Bintek berkala.
− Mengkoordinir pencatatan dan pelaporan secara berjenjang.
− Pengelola Program Kab/Kota memastikan kegiatan dilakukan
tercatat dan dilaporkan.
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
puskesmas melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi
secara berjenjang dan berkala.
2. Program Pelayanan Terpadu (Pandu) PTM
a. Pengertian
1) Kegiatan PANDU PTM adalah kegiatan penemuan dan penanganan
kasus PTM dan manajemen faktor risiko PTM di FKTP secara terpadu.
2) Kegiatan manajemen faktor risiko meliputi pemeriksaan : Perilaku
merokok, Obesitas, TD > 120/80 mmHg, Gula darah sewaktu > 200
mg/dL, Kolesterol atau kolesterol rata-rata, Wanita usia 30-50 tahun atau
wanita yang pernah berhubungan seksual, Penanganan penyandang PTM
dan Program Rujuk Balik (PRB)
b. Sasaran
Setiap warga negara yang menyandang dan memiliki faktor risiko PTM yang
berkunjung ke FKTP.
c. Mekanisme Pelaksanaan
a) Tahap Persiapan
1) Dinas Kesehatan Provinsi :
− Menetapkan sasaran menggunakan data angka kesakitan PTM,
PRB, temuan dan rujukan faktor risiko di Kabupaten/Kota.
− Menyediakan peralatan mendukung penyelenggaraan Pandu
PTM sesuai dengan dengan Permenkes 75 tahun 2014.
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas :
− Penetapan sasaran menggunakan data angka kesakitan PTM,
PRB, temuan dan rujukan faktor risiko di FKTP.
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan ketersedian alat kesehatan, bahan habis

14
pakai dan obat-obatan yang mendukung PANDU.
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan ketersedian pedoman PPK 1 dan
Pedoman pengendalian PTM terpadu sebagai acuan bagi
petugas di FKTP.
b) Tahap Pelaksanaan
1) Dinas Kesehatan Provinsi :
− Menyediakan peralatan mendukung penyelenggaraan Pandu
PTM sesuai dengan dengan Permenkes 75 tahun 2014.
− Memastikan pelaksanaan di Kabupaten Kota sesuai standar.
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas :
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan kegiatan tercatat di dalam Rekam Medis
dan dilaporkan sesuai ketentuan.
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan rujukan FKRTL sesuai indikasi medis
dan menangani kasus rujuk balik sesuai standar.
c) Tahap Pembinaan Dan Monev
1) Dinas Kesehatan Provinsi
Melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi secara berjenjang
dan berkala.
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas
Pengelola Program Kab/Kota melakukan pembinaan, monitoring
dan evaluasi secara berjenjang dan berkala.
3. Program Deteksi Dini Kanker
a. Pengertian
1) Kegiatan Deteksi Dini Kanker adalah kegiatan deteksi dini kanker
payudara dan kanker leher rahim pada wanita usia 30-50 tahun atau
wanita yang pernah berhubungan seksual, yang dilakukan di FKTP.
2) Kegiatan ini meliputi : Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) dan
Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA).

15
b. Sasaran
Setiap warga negara wanita usia 30-50 tahun atau wanita yang pernah
berhubungan seksual.
c. Mekanisme Pelaksanaan
a) Tahap Persiapan
1) Dinas Kesehatan Provinsi :
− Menetapkan target dan sasaran di Kab/Kota dengan
menggunakan data wanita usia 30-50 tahun atau wanita yang
pernah berhubungan seksual
− Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk mau
melakukan deteksi dini kanker.
− Menyediakan Alkes dan BHP yang mendukung pencegahan
kanker.
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas :
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas menetapkan target dan sasaran di satu wilayah.
Penetapan sasaran menggunakan data wanita usia 30-50 tahun
atau wanita yang pernah berhubungan seksual.
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas melakukan sosialisasi kepada target untuk mau
mendatangi FKTP melakukan deteksi dini kanker.
− Pengelola Program Kab/Kota memastikan ketersediaan tenaga
terlatih sebagai pelaksana.
− Pengelola Program Kab/Kota dan puskesmas memastikan
ketersediaan alat dan bahan habis pakai yang dibutuhkan.
b) Tahap Pelaksanaan
1) Dinas Kesehatan Provinsi :
− Memfasilitasi peningkatan kapasitas petugas mampu
SADANIS, IVA tes dan Krioterapi melalui Dana Dekonsentrasi.
− Memastikan deteksi dini kanker berjalan sesuai standar.
− Mengkoordinir pencatatan dan pelaporan secara berjenjang.

16
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan pelaksanaan sesuai standar yang
ditetapkan.
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan kegiatan tercatat dalam rekam medik
dan dilaporkan sesuai ketentuan.
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan tatalaksana IVA positif menggunakan
krioterapi oleh dokter terlatih.
− Pengelola Program Kab/Kota dan Pengelola Program
Puskesmas memastikan rujukan sesuai indikasi medis.
c) Tahap Pembinaan dan Monev
1) Dinas Kesehatan Provinsi :
− Melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi secara berkala.
− Mengkoordinir pencatatan dan pelaporan secara berjenjang.
2) Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Puskesmas :
Pengelola Program Kab/Kota melakukan pembinaan, monitoring
dan evaluasi secara berjenjang dan berkala.

2.7 Gambaran tentang Penyakit Kanker Serviks


2.7.1 Definisi Kanker Serviks
Kanker serviks adalah pertumbuhan sel-sel abnormal pada serviks yaitu sel-selnormal
berubah menjadi sel kanker. Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakanarea bagian
bawah rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker serviks terjadi apabila sel-
sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak terkendali (F. Imelda, & H. Santosa.
2020).
Hampir semua kanker leher rahim (99,7%) berkaitan langsung dengan infeksi
sebelumnya dengan salah satu atau lebih jenis HP yang onkogenik (dapat menyebabkan
kanker). Ada 2 tipe HPV (16 dan 18) menyebabkab 70% kanker serviks dan lesi serviks
prakanker. HPV yang memicu sel- sel serviks berkembang secara liar dan jumlahnya menjadi

17
tidak menentu. Infeksi HPV seringkali tidak menimbulkan gejala. Tanda- tanda infeksi yang
paling umum adalah bintik- bintik kecil berwarna merah cervical intraephiteyang muncul
disekitar kelamin dan terasa gatal atau panas seperti terbakar (Sangadji, N., dan Ayu. 2018).

2.7.2 Anatomi
Serviks merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum. Serviks berhubungan dengan
jaringan parametrium ligamentum cardinale ke arah lateral,ligamentum sakrouterina ke arah
posterior, menuju iliaka interna, iliaka eksterna, presakral, iliaka komunis, hingga paraaorta.
Sepanjang pembuluh darah iliaka sampai dengan paraaorta, terdapat pembuluh-pembuluh
dan kelenjar limfe yang berhubungan ke atas hingga mediastinum dan kelenjar getah bening
supraklavikula (Menkes RI, 2018).

2.7.3 Patofisiologi Kanker Serviks


Kanker Serviks adalah kanker yang berasal dari sel epitel skuamosa yang terjadijika sel-
sel pada serviks tumbuh tidak terkendali. Sebelum kanker terjadi, akan didahului dengan
suatu keadaan yang disebut lesi prakanker atau Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN).
Fase pra kanker ini sering disebut dengan dysplasia yang merupakan perubahan pra
keganasan dari sel-sel rahim. Terdapat tiga tahap utama prakanker yang dimulai dengan
infeksi pada sel dan berlanjut menjadi intraepithelial neoplasia (perkembangan sel-sel
abnormal pada serviks) dan pada akhirnya berubah menjadi sel kanker pada serviks.

18
Sebelum terjadinya kanker, akan didahului dengan keadaan yang disebut lesi pra
kanker atau neoplasma intraepitel serviks (NIS). NIS merupakan awal dari perubahan
menuju karsinoma serviks uterus. Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum
penyakit yang dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat
dan karsinoma in-situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif.
Konsep regresi spontan serta lesi yang persisten menyatakan bahwa tidak semua lesi
prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih cukup banyak
faktor berpengaruh Prevalensi NIS di Amerika Serikat pada perempuan yang menjalani
skrining kanker serviks sebesar 4 persen untuk NIS 1 dan 5 persen untuk NIS 2 dan 3. Lesi
tingkat tinggi biasanya didiagnosis pada wanita 25 sampai 35 tahun, sedangkan kanker
invasif lebih sering didiagnosis setelah usia 40, biasanya 8 sampai 13 tahun setelah diagnosis
lesi kelas tinggi. Pada negara yang berkembang seperti di Nigeria usia rata-rata untuk
neoplasiaintraepitel servikal ((NIS) adalah 37,6 tahun. NIS 1 menyumbang 3,6%, NIS 2
0,8% dan NIS 3 hanya 0,4%.

Perkembangan kanker invasif berawal dari terjadinya lesi neoplastik pada lapisan epitel
serviks, dimulai dari Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3atau karsinoma in
situ (KIS). Selanjutnya setelah menembus membrana basalis akan berkembang menjadi
karsinoma mikro invasif dan invasif. Pemeriksaan sitologi pap smear digunakan sebagai
skrining, sedangkan pemeriksaan histopatologi sebagai konfirmasi diagnostik (F. Imelda, &
H. Santosa. 2020).

19
2.7.4 Etiologi
Kanker serviks merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh HPV atau Human
Papilloma Virus. Lebih dari 70% kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV tipe 16 dan 18.
Infeksi HPV mempunyai prevalensi yang tinggi pada kelompok usia muda, sementara kanker
serviks baru timbul pada usia tiga puluh tahunan atau lebih. HPV dibagi menurut risiko dalam
menimbulkan kanker serviks, yaitu sebagai berikut:

1. Risiko Rendah: tipe 6, 11, 42, 43, 44 disebut tipe non onkogenik. Jika terinfeksi, hanya
menimbulkan lesi jinak, misalnya kutil dan jengger ayam.

2. Risiko Tinggi: tipe 16, 18, 31, 35, 39, 45, 51, 56, 58, 59, 68 disebut tipe onkogenik,jika
terinfeksi dan tidak diketahui maupun tidak diobati, bisa menjadi kanker.

Kanker leher rahim pertama kali berkembang dari lesi pra-kanker (secara luas dikenal
sebagai displasia 1), yang berkembang dengan pasti dari displasia ringan, menengah, sampai
parah kemudian menjadi kanker dini (CIS/Carsinoma In Situ) sebelum menjadi kanker yang
bersifat invasif. Penyebab awal (prekursor) langsung terjadinya kanker leher rahim adalah
displasia tingkat tinggi (CIN/Cervical Intraepitelial Neoplasia II atau III), yang dapat
berkembang menjadi kanker leher rahim dalam waktu 10 tahun atau lebih. Sebagian besar
displasia tingkat rendah (CIN I) dapathilang tanpa diobati atau tidak berkembang, terutama
perubahan-perubahan yangterlihat pada perempuan remaja.

HPV adalah sekelompok virus yang menyebabkan serviks terinfeksi, dan hal ini
merupakan faktor utama penyakit kanker serviks. Penularannya terjadi melalui kontak
seksual. HPV (Human Papilloma Virus) juga biasa disebut wart virus (Virus kutil). Terdapat
lebih dari 100 tipe HPV yang telah diidentifikasi, 40 tipe tersebut menyerang wilayah genital.
Dari 40 tipe tersebut, 13 diantaranya merupakan tipe onkogenik dan dapat menyebabkan
kanker serviks atau lesi prakanker pada permukaan serviks. Sedangkan tipe lain disebut
sebagai tipe risiko rendah yang lebih umum menyebabkan kutil kelamin (genital wart). HPV
dapat dengan mudah ditularkan melalui aktivitas seksual dan beberapa sumber transmisi
tidak tergantung dari adanya penetrasi, tetapi juga melalui sentuhan kulit di wilayah genital
tersebut (skin to skin genital contact), dengan demikian setiap wanita yang aktif secara
seksual memiliki risiko untuk terkena kanker serviks (F. Imelda, & H. Santosa. 2020).

20
2.7.5 Tanda dan Gejala Kanker Serviks

Pada tahap pra kanker sering tidak menimbulkan gejala. Gejala pra kanker biasanya
berupa keputihan, perdarahan sedikit yang bisa hilang. Pada tahap kanker dapat timbul gejala
berupa keputihan atau keluar cairan encer dari vagina yang berbau,perdarahan diluar siklus
haid, perdarahan sesudah senggama, timbul kembali haid setelah mati haid (menopause),
nyeri daerah panggul, dan gangguan buang air kecil. Infeksi HPV dan kanker serviks pada
tahap awal berlangsung tanpa gejala,bila kanker sudah mengalami progresivitas atau stadium
lanjut, gejalanya yaitu (F. Imelda, & H. Santosa. 2020) :

1. Keputihan: semakin lama semakin berbau busuk dan tidak berhenti-henti, terkadang
bercampur darah.

2. Pendarahan vagina yang tidak normal seperti pendarahan diantara periode regular
menstruasi periode menstruasi yang lebih lama dan lebih banyak dari biasanya,
perdarahan setelah hubungan seksual atau pemeriksaan panggul, perdarahan pada
wanita usia menopause, perdarahan kontak setelah senggama merupakan gejala kanker
serviks 75-80%, perdarahan spontan yaitu perdarahan yang timbul akibat terbukanya
pembuluh darah dan semakin lama semakin sering terjadi.

3. Nyeri yaitu rasa sakit saat berhubungan seksual, kesulitan atau nyeri saat buang airkecil,
nyeri di daerah panggul, bila kanker sudah mencapai stadium III keatas, maka akan
21
terjadi pembengkakan di berbagai anggota tubuh seperti betis, paha.

4. Anemia pada pasien kanker terjadi karena adanya aktivasi sistem imun dan inflamasi
oleh keganasan tersebut. Beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun dan
inflamasi seperti interferon (INF), tumor necrosing factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-
1) merupakan bahan-bahan yang merangsang untuk terjadinya anemia. Di samping itu,
kanker tersebut juga dapat mempunyai efek langsung untuk terjadinya anemia, Gagal
ginjal sebagai efek dari infiltrasi sel tumor ke ureteryang menyebabkan obstruksi total.

Kanker serviks memiliki beberapa gejala untuk mengenalinya, yaitu:

1. Pada stadium awal umumnya pasien tidak merasakan gejala kanker serviks. Gejalanya
baru muncul saat sel kanker serviks sudah menginvasi jaringan disekitarnya
sehingga ketika pasien mengetahuinya kanker serviks sudah berada padastadium lanjut.

2. Gejala umum yang dirasakan oleh penderita kanker serviks yaitu perdarahan vaginayang
tidak normal, pendarahan setelah bersenggama ataupun perdarahan setelah menopause,
dan keputihan.

3. Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau, dan dapat
bercampur dengan darah.

4. Penderita akan merasakan nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada
radang panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinanterjadi
hidronefrosis.

5. Pada stadium lanjut, terjadi penurunan berat badan, edema kaki, timbul iritasi kandung
kemih dan rektum, kemungkinan terjadi hidronefrosis.

2.7.6 Faktor Risiko


Ada beberapa faktor-faktor yang dianggap sebagai faktor risiko terjadi kanker
serviks diantaranya (F. Imelda, & H. Santosa. 2020) :

1. Menikah/memulai aktivitas seksual pada usia muda (kurang dari 20 tahun). Faktor ini
dianggap faktor risiko terpenting dan tertinggi.

2. Berganti-ganti pasangan seksual.

22
3. Berhubungan seks dengan laki-laki yang sering berganti pasangan.

4. Perilaku seksual: risiko >10x pada wanita dengan mitra seks lebih dari 6 dan
hubungan seks pertama pada usia muda (kurang dari 15 tahun), riwayat PMS.

5. Jumlah perkawinan: ibu dengan suami yang mempunyai lebih dari satu atau banyakistri
lebih berisiko kanker serviks.

6. Riwayat infeksi di daerah kelamin atau radang panggul.

7. Multiparitas (perempuan yang melahirkan banyak anak).

8. Nutrisi: defisiensi antioksidan.

9. Hygiene rendah yang memungkinkan infeksi kuman.

10. Infeksi virus: terutama HPV.

2.7.7 Klasifikasi Kanker Serviks

Ada beberapa tingkatan klinik atau stadium kanker serviks diantaranya sebagaiberikut
(F. Imelda, & H. Santosa. 2020) :

1. Stadium 0, Kanker serviks hanya ditemukan pada lapisan atas dari sel-sel pada
jaringan yang melapisi leher rahim. Tingkat 0 juga disebut carcinoma in situ.

2. Stadium I, Kanker masih terbatas di dalam jaringan serviks dan belum menyebarke
dalam rahim. Stadium I dibagi menjadi :
a. IA, Karsinoma yang didiagnosa baru hanya secara mikroskop dan belum
menunjukan kelainan/keluhan klinik.
b. IAI, kanker sudah mulai menyebar ke jaringan otot dengan dalam 3 mm – 5
mm) dengan lebar = 7 cm;
c. IB, Ukuran kanker sudah > dari 1A2;
d. IB1, Ukuran tumor = 4 cm;
e. IB2, Ukuran tumor >4 cm
3. Stadium II, Kanker sudah meluas melewati leher rahim ke dalam jaringan-jaringanyang
berdekatan dan kebagian atas dari vagina. Kanker serviks tidak menyerang kebagian
23
ketiga yang lebih rendah dari vagina atau dinding pelvis (lapisan dari bagiantubuh antara
pinggul). Stadium II dibagi menjadi:
a. IIA, Tumor jelas belum menyebar ke sekitar uterus.
b. IIB, Tumor jelas sudah menyebar ke sekitar uterus.

4. Stadium III, Kanker sudah menyebar ke dinding panggul dan sudah mengenai jaringan
vagina lebih rendah dari 1/3 bawah. Bisa juga penderita sudah mengalami ginjal
bengkak karena bendungan air seni (hidronefrosis) dan mengalami gangguan fungsi
ginjal. Stadium III dibagi menjadi:
a. IIIA, Kanker sudah menginvasi dinding panggul.
b. IIIB, Kanker menyerang dinding panggul disertai gangguan fungsi ginjal dan atau
hydronephrosis.

5. Stadium IV, Kanker sudah menyebar ke rongga panggul dan secara klinik sudah terlihat
tanda-tanda invasi kanker ke selaput lendir kandung kencing dan atau rektum. Stadium
IV dibagi menjadi:
a. IVA, Sel kanker menyebar pada alat atau organ yang dekat dengan kanker
serviks.
b. IVB, Kanker sudah menyebar pada alat atau organ yang jauh dari serviks.

2.7.8 Deteksi Dini

Deteksi lesi pra kanker terdiri dari berbagai metode (F. Imelda, & H. Santosa. 2020):
1. Pap Smear (konvensional atau liquid-base cytology/LBC);
2. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA);
3. Inspeksi Visual Lugol Iodin (VILI);
4. Test DNA HPV (genotyping/hybrid capture).

2.7.9 Riwayat Alamiah Penyakit


Hampir semua kanker leher rahim (99,7%) berkaitan langsung dengan infeksi
sebelumnya dengan salah satu atau lebih jenis HP yang onkogenik (dapat menyebabkan
kanker). Ada 2 tipe HPV (16 dan 18) menyebabkab 70% kanker serviks dan lesi serviks
prakanker. HPV yang memicu sel- sel serviks berkembang secara liar dan jumlahnya
24
menjadi tidak menentu. Infeksi HPV seringkali tidak menimbulkan gejala. Tanda-tanda
infeksi yang paling umum adalah bintik- bintik kecil berwarna merah cervical
intraephiteyang muncul disekitar kelamin dan terasa gatal atau panas seperti terbakar.
Setelah seorang wanita terinfeksi HPV, infeksi bisa stabil lokal, bisa membaik secara
spontan atau jika leher rahim terkena, bisa berkembang menjadi lesi derajat rendah (Low
grade squamous intraepithelial Lession = LGSILs) yang disebut dengan Neoplasia
Intraepitelial Serviks (NIS) ringan (mild cervical intraepithelial noeplasia= CIN1) atau
dipalsia awal. Lesi prakanker secara luas dikenal dengan diplasia yang terdiri dari displasia
ringan (CIN I), menengah (CIN II), sampai parah / tinggi (CIN III). Selanjutnya setelah
menembus mambrana basalis akan berkembang menjadikarsinoma mikroinvasif (karsinoma
insitu) dan invasif.
Karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai
karsinoma infasif tetapi membrana basalisnya masih utuh. Pada lesi prakanker derajat ringan
dapat mengalami regresi spontan dan menjadi normal kembali. Tetapi pada lesiderajat sedang
dan berat lebih berpotensi berubah menjadi kanker invasif.

• CIN 1- perubahan yang tidak normal yang mencakup ⅓ ketebalan kulit yang
menutupi serviks.
• CIN 2 - mencakup ⅔ dari ketebalan serviks.

• CIN 3 - ketebalan serviks tercakup sepenuhnya. jika CIN 3 tidak diobati dengan
baik, terdapat peluang sekitar 40% diman CIN tersebut bisa berkembang
menjadi kanker.
Lesi prakanker dapat terjadi dalam 2-3 tahun setelah terinfeksi. Apabila lesi tidak
diketahui dan tidak diobati dalam waktu 3-17 tahun dapat berkembang menjadi kanker leher

25
rahim. Walaupun lesi terkait dengan HPV seperti kutil dapat diobati, saatini tidak ada obat
yang dapat menyembuhkan infeksi HPV. Bila terinfeksi, seseorang sangat mungkin
terinfeksi seumur hidupnya. Dalam banyak kasus, suatu infeksi aktif dikendalikan oleh sistem
kekebalan sehingga lambat laun menjadi tidak aktif. tapi tidakdapat diprediksi apakah atau
kapan virus tersebut akan kembali aktif.

2.7.10 Pengobatan Kanker Serviks


Pemilihan pengobatan kanker serviks tergantung pada lokasi dan ukuran tumor,
stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi.
Pengobatan kanker leher Rahim antara lain adalah :

1. Pembedahan

Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif
adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya sehingga manifestasi
klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangakn tindakan paliatif adalah
tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita.
2. Terapi Penyinaran (radioterapi)
Radioterapi efektif untuk mengobati kanker invasive yang masih terbatas pada daerah
panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel
kanker dan menghentikan pertumbuhannya.
3. Kemoterapi
Apabila kanker telah menyebar ke luar panggul, maka dianjurkan menjalani
kemoterapi. Kemoterapi menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker.
Obat anti-kanker bisa diberikan melalui suntikan intravena atau melalui mulut.
4. Terapi biologis
Terapi biologis berguna untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam melawan
penyakit. Terapi biologis tersebut dilakukan pada kanker yang telah menyebar ke
bagian tubuh lainnya.
5. Terapi gen
Terapi gen dilakukan dengan beberapa cara yaitu mengganti gen yang rusak atau hilang
dan menghentikan kerja gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukansel kanker,

26
menambahkan gen yang membuat sel kanker lebih mudah dideteksi dan dihancurkan
oleh sistem kekebalan tubuh, kemoterapi, maupun radioterapi, menghentikan kerja gen
yang memicu pembuatan pembuluh darah baru di jaringan kanker sehingga sel-sel
kankernya mati (F. Imelda, & H. Santosa. 2020).

2.7.11 Pencegahan Kanker Serviks


Cara pencegahan kanker serviks antara lain:
1. Penggunaan kondom bila berhubungan seks dapat mencegah penularan penyakit
infeksi menular seperti Gonorrhea, Chlamydia, sipilis dan HIV/AIDS.
2. Menghindari merokok, meningkatkan derajat kesehatan secara umum dan mencegah
CIN (cervical intraepithelial neoplasia = pertumbuhan sel epitel kearah ganas) dan
kanker leher rahim.
3. Vaksinasi yang diberi nama “Gardasil” yang dikembangkan oleh perusahaan obat
terbesar dunia yang berada di Amerika Serikat. Vaksin ini menurut WHO, juga sangat
efektif mencegah infeksi HPV tipe 6 dan 11 yang menyebabkan hampir 90%dari semua
jenis kanker leher rahim. Pencegahan perlu dilakukan untuk berbagai macam penyakit,
agar nantinya dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas akibatpenyakit tersebut yaitu
kanker serviks. Beberapa pengobatan yang bertujuan untuk mematikan sel-sel yang
mengandung virus HPV dengan cara menyingkirkan bagian yang rusak atau terinfeksi
dengan pembedahan listrik, laser ataupun cryosurgery (membuang jaringan abnormal
dengan pembekuan). Untuk pengobatan kanker mulut rahim ditemukan oleh berat
ringan penyakit atau stadium.Umumnya pada stadium awal operasi (F. Imelda, & H.
Santosa. 2020).

27
2.8 Contoh Jurnal Penelitian tentang Surveilans Penyakit Tidak Menular (PTM)

28
Judul Kebijakan pengendalian kanker melalui
pelaksanaan Tes IVA (inspeksi visual asam
asetat) dalam upaya deteksi dini kanker leher
rahim di banjarbaru
Jurnal Jurnal Kebijakan Pembangunan
Volume dan Halaman Volume 13 Nomor 2 Desember 2018 : 123 - 128
ISSN 2085-6091 Terakreditasi No :
709/Akred/P2MI-LIPI/10/2015
Tahun 2018
Penulis M. Zainur Rasyid, dan Maliani
Reviewer Siti R. K. Baderan
Chlara E. Melatunan
Maureen M. Mamesah
Tanggal 17 Mei 2023
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan
penanggulangan kanker leher rahim di Kota
Banjarbaru melalui deteksi dini (skrining)
menggunakan metode IVA
Populasi dan Sampel -
Penelitian
Metode Penelitian Pendekatan deskriptif, data yang digunakan yaitu
data sekunder, berupa hasil studi literatur, hasil-
hasil penelitian yang telah ada, serta data dari
hasil kegiatan dan laporan Program
Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PPTM)
Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru tahun 2016
dan 2017.
Hasil Penelitian Hasil cakupan IVA pada tahun 2016 di Kota
Banjarbaru masih sangat rendah, hanya sebesar
0,5%. Dari 192 orang yang diperiksa, terdapat 10

29
orang yang menunjukkan hasil positif. (5,2%).
Data hasil tes IVA pada tahun 2017 di Kota
Banjarbaru juga menunjukkan masih rendahnya
hasil cakupan tesIVA, cakupan untuk kota
banjarbaru hanya 4,8%. Terjadi peningkatan
cakupan IVA di Kota Banjarbaru pada tahun
2016 sebesar 0,5% menjadi 4,8% pada tahun
2017. Hal ini menunjukkan deteksi dini kanker
leher rahim di Kota Banjarbaru telah mengalami
perbaikan, akan tetapi cakupan tersebut masih
rendah.
Menurut hasil evaluasi yang dilakukan oleh
Dinkes Kota Banjarbaru rendahnya cakupan IVA
Test dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: 1)
Pengetahuan, sikap, perilaku pasien terhadap
resiko penyakit kanker leher rahim; 2)
Kepatuhan terhadap prosedur skrining IVA Test;
3) Faktor budaya tabu terhadap prosedur
pemeriksaan yang mengharuskan membuka area
privasi; 4) Ketakutan terhadap hasil positif; 5)
Kesadaran terhadap keuntungan dan kerugian
skrining tes IVA; 6) Kesibukan; 7) Pembiayaan
dan asuransi; 8) Akses pelayanan skrining tes
IVAterbatas hanya pada event-event tertentu.
Untuk meningkatkan cakupan tes IVA di Kota
Banjarbaru, perlu adanya komitmen yang kuat
dari pengambil kebijakan untuk mendukung
pelaksanaan tes IVA, meningkatkan sosialisasi
pentingnya tes IVA sebagai upaya pencegahan
dan pengendalian penyakit kanker leher rahim
dan meningkatkan akses pelayanan tesIVAdi

30
masyarakat.
Kesimpulan Penelitian Hasil cakupan IVA di Kota Banjarbaru masih
sangat rendah. Cakupan IVA test pada tahun
2016 dan 2017 masih rendah (kurang dari 5%).
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
rendahnya cakupan IVA antara lain adalah;
rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
kanker leher rahim baik resiko maupun cara
pencegahannya, kepatuhan terhadap prosedur
skrining, ketakutan terhadap hasil positif,
kesibukan, faktor budaya malu terhadap prosedur
pemeriksaan yang mengharuskan membuka area
privasi, kesadaran terhadap keuntungan dan
kerugian melakukan IVA test, pembiayanan dan
asuransi serta akses pelayanan yang masih
terbatas. Komitmen dari Pemerintah Kota
Banjarbaru untuk mencegah dan mengobati
kanker serviks di Kota Banjarbaru sudah cukup
baik. Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru terus
berupaya melakukan upaya perbaikan program
yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan dan
kualitas layanan serta tindak lanjut temuan,
antara lain dengan membuat surat edaran
Walikota tentang himbauan ASN dan istri ASN
untuk melakukan deteksi dini kanker serviks dan
kanker payudara di lingkungan Pemerintah Kota
Banjarbaru, melakukan sosialisasi dan deteksi
dini kepada masyarakat, serta membuka
pelayanan gratis deteksi dini secara rutin di
seluruh puskesmas se-Kota Banjarbaru dengan
menggunakan metode IVA.

31
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Surveilans PTM merupakan bagian penting dalam upaya pengendalian PTM di
Indonesia guna menghasilkan data dan informasi yang valid sebagai bahan perencanaan,
monitoring, dan evaluasi program.
Program pengendalian PTM dan faktor risikonya dilaksanakan mulai dari
pencegahan, deteksi dini, pengobatan, dan rehabilitasi. Kegiatan pencegahan dan deteksi dini
dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat melalui Posbindu PTM, sedangkan deteksi
dini, pengobatan, dan rehabilitasi di fasilitas pelayanan kesehatan, baik fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL).
Kanker serviks adalah pertumbuhan sel-sel abnormal pada serviks yaitu sel-selnormal
berubah menjadi sel kanker. Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakanarea bagian
bawah rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker serviks terjadi apabila sel-
sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak terkendali, yang disebabkan oleh
HPV atau Human Papilloma Virus, dimana lebih dari 70% kanker serviks disebabkan oleh
infeksi HPV tipe 16 dan 18.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian
kanker serviks, diantaranya paritas, riwayat konsumsi pil KB lebih dari 10 tahun, perokok
pasif dan tidak mengetahui bahwa kanker serviks dapat dicegah. Selain itu riwayat pekerjaan,
pendidikan, usia hubungan seksual pertama, usia menikah, usia, paritas, merokok,
kontrasepsi KB hormonal juga menjadi faktor penyebab kejadian kanker serviks.

3.2 Saran
1. Bagi pengelola program untuk terus meningkatkan kegiatan surveilans epidemiologi
PTM terutama penyakit kanker serviks.
2. Bagi Masyarakat umumnya agar menghindari faktor resiko penyebab kanker serviks
seperti berhubungan seksual lebih dari 1, selalu menggunakan kondom serta
menghindari rokok.

32
DAFTAR PUSTAKA

Balitbangkes RI, 2019. Laporan Riskesdas 2018. Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia.

Dirjend P2PTM, 2019. Buku Pedoman Manajemen Penyakit Tidak Menular.


Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Tahun 2019. Jakarta Selatan.

F. Imelda, & H. Santosa. 2020. Deteksi Dini Kanker Serviks pada Wanita. CV.
Anugerah Pangeran Jaya Press, Sumatra Medan, Indonesia.

Handayani R, 2020. Modul surveilans kesehatan masyarakat. Modul 12 Surveilans


Penyakit Tidak Menular (PTM). Universitas Esa Unggul http://esaunggul.ac.id

Kemenkes RI. (2016). Kenali Gejala Kanker Serviks Sejak Dini. Diakses 2 April 2023.
Tersedia pada : Kenali Gejala Kanker Serviks Sejak Dini - Direktorat P2PTM
(kemkes.go.id)

Kemenkes RI, 2018. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


HK.01.07/MENKES/349/2018 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
KedokteranTatalaksana Kanker Serviks.

Kemenkes RI, 2015. Petunjuk teknis surveilans penyakit tidak menular. Kementerian
Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan Direktorat Pengendalianpenyakit Tidak Menular 2015.

M. Zainur Rasyid, Malian. 2018. Kebijakan pengendalian kanker melalui pelaksanaan


tes iva (inspeksi visual asam asetat) dalam upaya deteksi dini kanker leher rahim
di banjarbaru. Jurnal Kebijakan Pembangunan Volume 13 Nomor 2 Desember
2018 : 123 - 128 ISSN 2085-6091 Terakreditasi No : 709/Akred/P2MI-
LIPI/10/2015

Rasjidi I. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer. III (3).
103-108.

Setianingsih E, Astuti Y, Noveri A. 2022. Literature Review : Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Terjadinya Kanker Serviks. Jurnal Ilmiah Pannmed. 17 (1). 47-

33
54.

Rahayu, Dedeh Sri. 2015. Asuhan Ibu Dengan Kanker Serviks. Jakarta: Salemba
Medika.

Putri AR, Khaerunnisa S, Yuliati I. 2019. Cervical Cancer Risk Factors Associationin
Patients at the Gynecologic-Oncology Clinic of Dr. Soetomo Hospital
Surabaya.Indones J Cancer. 13(4):104.

Sangadji, N., dan Ayu. 2018. Modul Epidemiologi Penyakit Tidak Menular (PTM).Esa
Unggul.

World Health Organization. Cervix Uteri Source: Globocan 2020. Int Agency Res
Cancer. Diakses 2 April 2023. Tersedia pada :
https://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/ca ncers/23-Cervix-uteri-fact-sheet.pdf

34

Anda mungkin juga menyukai