Anda di halaman 1dari 10

1.

Asas Legalitas
Asas legalitas atau the principle of legality merupakan asas yang menentukan
bahwa tindak pidana haruslah diatur terlebih dulu dalam undang-undang atau suatu
aturan hukum sebelum seseorang melakukan pelanggaran atau perbuatannya.

Kehadiran asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan


dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menerangkan bahwa suatu perbuatan tidak
dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada.

Menurut Amir Ilyas dalam Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan.

2. Asas Teritorial
Asas hukum pidana yang satu ini dilandasi oleh kedaulatan negara. Negara yang berdaulat
wajib menjamin ketertiban hukum di wilayahnya dan oleh sebab itu, negara berhak
menjatuhkan pidana bagi siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayahnya. Kehadiran
asas teritorial dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 2
KUHP yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia.

3. Asas Nasional Aktif atau Asas Personalitas


Secara sederhana, asas hukum pidana ini menitikberatkan subjek hukum sebagai warga
negara tanpa mempermasalahkan lokasi keberadaannya.

Jika diartikan, dengan asas personalitas atau nasional aktif, peraturan perundang-undangan
pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan warga negara di mana pun
warga tersebut berada, sekalipun di luar negeri.

Kehadiran asas personalitas dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan


dalam Pasal 5 KUHP yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar indonesia melakukan salah
satu atau sejumlah kejahatan (yang diatur lebih lanjut dalam sejumlah pasal) dan melakukan
salah satu perbuatan yang dipandang peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai
kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara tempat kejadian diancam dengan
pidana. Aturan lebih lanjut mengenai asas personalitas dapat ditemukan dalam Pasal 6, 7, dan
8 KUHP.

4. Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan


Menurut asas hukum pidana yang satu ini, berlakunya perundang-undangan pidana
didasarkan pada kepentingan hukum suatu negara yang dilanggar oleh seseorang di luar
negeri dengan tidak dipersoalkan kewarganegaraannya; apakah pelaku adalah warga negara
atau orang asing.

Jika disederhanakan, pada intinya asas perlindungan menitikberatkan pada perlindungan


unsur nasional terhadap siapapun dan di mana pun. Kehadiran asas perlindungan dalam
peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 4 KUHP dan diperluas
dalam Pasal 8 KUHP.

5. Asas Persamaan atau Asas Universal


Asas persamaan atau yang dikenal juga dengan asas universal menitikberatkan pada
kepentingan hukum internasional secara luas atau. Makna luas berarti hukum pidana tidak
dibatasi oleh tempat, wilayah, atau bagi orang tertentu saja, melainkan berlaku di mana pun
dan bagi siapa pun.

Diterangkan Eddy Hiariej dalam Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,  arti penting dari asas
universal adalah jangan sampai ada pelaku kejahatan internasional yang lolos dari hukuman.
Agar tidak ada pelaku yang lolos, setiap negara berhak untuk menangkap, mengadili dan
menghukum pelaku kejahatan internasional.

Kemudian, jika pelaku kejahatan internasional telah diadili dan dihukum oleh suatu negara,
negara lain tidak boleh mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional atas kasus
yang sama. Asas universal ini berlaku bagi tindak pidana yang dinilai sebagai kejahatan
internasional, bukan kejahatan transnasional.

1. Asas Legalitas dalam Upaya Paksa


Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan
perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Caranya pun juga
harus sesuai dengan peraturan undang-undang.

2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan


Proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara cepat dan
sederhana. Tujuannya adalah agar anggaran negara yang dihabiskan tidak
terlalu besar dan tidak memberatkan pihak yang berpekara.
3. Asas Praduga Tidak Bersalah
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan
di muka pengadilan dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya.
4. Asas Oportunitas
Asas oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk
tidak menuntut ke Pengadilan. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan
pada kejaksaan. Secara sederhana, asas oportunitas artinya bahwa demi
kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan
perkara pidana.
5. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Pengadilan boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali dalam
perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anak-
anak.
6. Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Hukum tidak membeda-bedakan tersangkanya dalam melakukan
pemeriksaan. Pengadilan hukum tidak boleh membeda-bedakan manusia
berdasarkan ras, gender, agama, pa ndangan politik, kebangsaan, dan
status sosial.
7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan
Hukum
Asas ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari diri tersangka
maupun terdakwa. Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka
ditangkap atau ditahan.
Pasal 54 KUHAP berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkatan
pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang
ini.”
8. Asas Akusator
Menurut asas akusator, terdakwa atau tersangka bukanlah obyek dari
persidangan. Kedudukan mereka adalah sebagai subjek pemeriksaan
sehingga dapat memberikan keterangan dengan bebas.
9. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan dilakukan oleh hakim secara langsung kepada terdakwa dan
saksi. Hal ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat
diwakili oleh kuasanya.
10. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Jika seseorang ditangkap, ditahan, atau diadili tanpa alasan yang sah
berdasarkan undang-undang, ia atau ahli warisnya memiliki hak untuk
menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. Tujuan rehabilitasi adalah sebagai
upaya untuk memulihkan nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang.

1. Asas Konsensualisme
Makna dari asas konsensualisme adalah para pihak yang mengadakan perjanjian harus
sepakat dalam setiap isi atau hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang dibuat. Asas
konsensualisme tersirat dalam salah salah satu syarat sah perjanjian berdasarkan KUH
Perdata.

Pasal 1320 KUH Perdata menerangkan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu
dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.

2. Asas Kebebasan Berkontrak


Kebebasan berkontrak tersirat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa
semua persetujuan (perjanjian) yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Kemudian, diterangkan Agus Y. Hernoko dalam Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas


dalam Kontrak Komersial, terkait asas kebebasan berkontrak, para pihaknya memiliki
kebebasan untuk hal-hal sebagai berikut.

3. Asas Pacta Sunt Servanda


Jika diterjemahkan dari bahasa latin, pacta sunt servanda berarti janji harus ditepati.
Diterangkan Harry Purwanto dalam Mimbar Hukum Volume 21 No. 1, asas pacta sunt
servanda  adalah asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law yang dalam
perkembangannya diadopsi dalam hukum internasional.

Kemudian, Purwanto juga menerangkan bahwa asas hukum perdata yang satu ini berkaitan
dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan antara para individu dan mengandung makna,
bahwa:
1. perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya; dan
2. mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian
merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.

4. Asas Iktikad Baik


Iktikad baik bermakna melaksanakan perjanjian dengan maksud (iktikad) yang baik.
Berdasarkan Simposium Hukum Perdata Nasional, iktikad baik hendaknya diartikan
sebagai:
1. kejujuran saat membuat kontrak;
2. pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabatan, para
pihak dianggap beriktikad baik; dan
1. sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian, baik
terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan kesepakatan dalam kontrak; atau
semata-mata untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak.

5. Asas Kepribadian
Diterangkan M. Muhtarom dalam Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam
Pembuatan Kontrak, asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang akan
melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan pribadi atau perseorangan saja.

alam KUH Perdata, asas hukum perdata ini tersirat dalam pasal berikut.
1. Pasal 1315 KUH Perdata yang menerangkan bahwa pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.
2. Pasal 1340 KUH Perdata yang menerangkan bahwa persetujuan hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak
ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam
hal yang ditentukan.

1.Hakim Bersifat Menunggu


Pertama, dalam asas acara perdata yaitu inisiatif untuk mengajukan gugatan diserahkan
kepada pihak yang berkepentingan atau pihak yang beperkara. Jika tidak ada gugatan, maka
tidak ada hakim.
Jadi, hakim bersifat menunggu diajukannya perkara atau gugatan. Dengan kata lain, hakim
tidak boleh aktif mencari perkara atau menjemput bola di masyarakat.
Akan tetapi, sekali suatu perkara diajukan, hakim tidak boleh menolak memeriksa dan
mengadilinya dengan alasan apapun.
2. Hakim Pasif
Asas acara perdata yang kedua yaitu hakim dalam memeriksa suatu perkara bersikap pasif.
Artinya, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim ditentukan oleh
pihak yang beperkara dan bukan oleh hakim.
Dengan kata lain, penggugat menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas
(besar) tuntutan, juga tergantung para pihak (penggugat/tergugat) suatu perkara akan
dilanjutkan atau dihentikan, misalnya lewat perdamaian atau gugatan dicabut. Semua
tergantung para pihak, bukan pada hakim.
Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan menilai siapa di antara para pihak yang
berhasil membuktikan kebenaran dalilnya dan mana yang benar dari dalil yang dikemukakan
tersebut.
3. Hakim Aktif
Hakim harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, dalam artian untuk memimpin
sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak mencari kebenaran, sampai
dengan pelaksanaan putusan (eksekusi).
Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang
tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut sebagaimana dimaksud Pasal 178
ayat (2) dan (3) HIR, Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg.
Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas acara perdata yang lainnya adalah sidang perkara perdata di pengadilan terbuka untuk
umum. Artinya, setiap orang boleh menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan perkara di
persidangan.
4. Mendengar Kedua Belah Pihak
Asas hukum acara perdata selanjutnya adalah kedua belah pihak harus diperlakukan sama,
tidak memihak, dan didengar bersama-sama. Asas acara perdata bahwa kedua belah pihak
harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem atau eines mannes rede ist
keines mannes rede, man soll sie horen alle beide.
Asas acara perdata yang satu ini mengartikan hakim tidak boleh menerima keterangan dari
salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
5. Putusan Harus Disertai Alasan
Semua putusan hakim (pengadilan) pada asas acara perdata harus memuat alasan-alasan
putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan ini merupakan argumentasi sebagai
pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan
ilmu hukum sehingga mempunyai nilai objektif. Karena alasan-alasan tersebut, putusan
hakim (pengadilan) mempunyai wibawa.
Sering kali, alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan didukung yurisprudensi dan
doktrin. Ini tidak berarti hakim terikat pada putusan hakim sebelumnya, tapi hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Asas the binding force of precedent tidak dianut di Indonesia, namun terikatnya atau
berkiblatnya hakim terhadap yurisprudensi ialah karena yakin bahwa putusan mengenai
perkara yang sejenis memang sudah tepat dan meyakinkan.
6. Hakim Harus Menunjuk Dasar Hukum Putusannya
Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[2]
Larangan ini karena anggapan hakim tahu akan hukumnya (ius curia novit). Jika dalam suatu
perkara, hakim tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[3]
7. Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan
Selain asas hukum acara perdata bahwa hakim harus menunjuk dasar hukum dalam putusan, hakim harus
memutus semua tuntutan penggugat. Hakim tidak boleh memutus lebih atau lain dari pada yang dituntut.
Ini dikenal dengan iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur adalah hakim hanya menimbang
hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya.
Misalnya penggugat mengajukan tuntutan agar tergugat dihukum mengembalikan utangnya, tergugat
dihukum membayar ganti rugi, dan tergugat dihukum membayar bunga. Maka, tidak ada satu pun dari
tuntutan tersebut yang boleh diabaikan hakim.
8. Beracara Dikenakan Biaya
Asas hukum acara perdata yang berikutnya yaitu seseorang yang akan beperkara dikenakan biaya perkara
meliputi biaya kepaniteraan, biaya panggilan, pemberitahuan para pihak, serta biaya meterai.
Tetapi, bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma
(prodeo) dengan mendapat izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara, dan dengan melampirkan
surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat.
9. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Tidak ada ketentuan yang mewajibkan para pihak mewakilkan pada orang lain (kuasa) untuk beperkara di
muka pengadilan, sehingga dapat terjadi langsung pemeriksaan terhadap para pihak yang beperkara.
Adapun beperkara di pengadilan tanpa seorang kuasa akan lebih menghemat biaya.
Namun, para pihak bisa saja memberi kuasa kepada kuasa hukumnya apabila dikehendaki. Sebab, bagi
pihak yang ‘buta hukum’ tapi terpaksa beperkara di pengadilan, kuasa hukum yang mengetahui hukum
tentu sangat membantu pihak yang bersangkutan.

Proses penanganan perkara pidana pada tahap penyelidikan , penyidikan dan Penuntutan
Penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat,
penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan
merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan
buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau
sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan
penyerahan berkas kepada penuntut umum.motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan
tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang
merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti
penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan
tindak lanjut penyidikan.

Jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan
maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan
tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan”
sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang
diduga merupakan tindak pidana. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan mulai dilakukan setelah
diketahui atau diduga telah terjadi suatu tindak pidana berdasarkan laporan, pengaduan, dan informasi dari
masyarakat. Baik laporan ataupun pengaduan serta informasi dari masyarakat yang diterima penyelidik
atau penyidik merupakan bahan yang masih mentah dan perlu diadakan penelitian dan penyaringan.
Setelah laporan diterima, petugas kepolisian segera mengambil tindakan yaitu dengan mendatangi Tempat
Kejadian Perkara (TKP).

Tindakan tersebut dilakukan untuk mencari keterangan-keterangan dan bukti guna menentukan suatu
peristiwa yang dilaporkan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan tindak pidana, melengkapi
keterangan dan bukti-bukti yang diperoleh agar menjadi jelas sebelum dilakukan tindakan selanjutnya dan
juga sebagai persiapan pelaksanaan penindakan dan atau pemeriksaan. Menurut Kanit Reskrim Polisi
Sektor Lima Puluh bahwasanya penyidikan tindak pidana berawal dari terjadinya suatu peristiwa yang
diketahui atau disampaikannya, melalui adanya:
1. Informasi.
2. Laporan atau Laporan Polisi.
3. Pengaduan.
4. Keadaan tertangkap tangan.
Tertangkap tangan, menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP, adalah tertangkapnya seseorang pada waktu
sedang melakukan tindak pidana atau tengah melakukan tindak pidana dipergoki oleh orang lain, atau
dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan. 5. Penyerahan tersangka dan atau barang
bukti dari masyarakat atau lembaga diluar polisi.

Setiap peristiwa yang diketahui, dilaporkan, diadukan kepada polri atau penyidik belum pasti tindak
pidana, untuk itu diperlukan proses penyelidikan yang menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan
tindak pidana atau bukan. Apabila merupakan tindak pidana, penyidik sesuai dengan kewajibannya
memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pe melakukan penyidikan dan secara bersamaan nyidikan
menurut cara yang ditentukan dalam KUHAP. Sebaliknya apabila bukan tindak pidana, maka penyidik
tidak mempunyai kewajiban hukum/ KUHAP tidak memberi kewenangan untuk bertindak selaku
penyidik.

Untuk memulai penyidikan tindak pidana, maka dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan, penyidik atau
penyidik pembantu melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap orang, maupun benda ataupun barang
yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Tindakan-tindakan dalam suatu penyidikan
antara lain:
1. Penangkapan
Untuk memperlancar proses pelaksanaan penyidikan tindak pidana, maka perlu dilakukan penangkapan
terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2. Penahanan
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah berwenang untuk
melakukan penahanan atas bukti permulaan yang cukup bahwa tersangka diduga keras melakukan tindak
pidana yang dapat dikenakan penahanan. Penahanan dilakukan dengan pertimbangan bahwa tersangka
dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak
pidana yang telah dilakukannya.
3. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan keterangan atau kejelasan tersangka dan atau saksi dan atau
barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan dan
peranan seseorang maupun Pemeriksaan (BAP).
4. Penggeledahan
Pertimbangan penggeledahan dan pembuatan surat perintah penggeledahan adalah laporan polisi, hasil
pemeriksaan tersangka dan atau saksi-saksi dan laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas
perintah penyidik atau penyidik pembantu. Yang berwenang mengeluarkan surat perintah penggeledahan
adalah kepala kesatuan atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu.
Sasaran penggeledahan adalah rumah dan tempat-tempat tertutup, pakaian serta badan. Penggeledahan
rumah dilakukan dengan surat perintah penggeledahan setelah mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan
Negeri setempat kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak tidak memerlukan izin terlebih
dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam hal tertangkap tangan penggeledahan dilakukan tanpa surat perintah penggeledahan maupun surat
izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
5. Penyitaan
Perkembangan penyitaan dan pembuatan surat perintah penyitaan adalah laporan polisi, hasil pemeriksaan,
laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu dan
hasil penggeledahan. Yang mempunyai wewenang mengeluarkan surat perintah penyitaan adalah Kepala
Kesatuan atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu. Penyitaan dilakukan dengan
surat perintah penyitaan setelah mendapat izin dan izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Benda-benda yang dapat disita antara lain:
1) Benda atau tagihan tersangka bila seluruh atau sebagian diduga di peroleh dari tindak
pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
2) Benda yang digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya.
3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan suatu tindak pidana.
Dimulainya Penyidikan dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
diduga merupakan perbuatan pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Jaksa Penuntut Umum
(Vide Pasal 109 ayat (1) KUHAP) Pemberitahuan dimulainya penyidikan dilakukan dengan SPDP (Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), yang dilampiri :
Laporan polisi, terkait dengan tempat kejadian perkara;
1) Resume Berita Acara Pemeriksaan saksi;
2) Resume Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;
3) Berita acara penangkapan;
4) Berita acara penahanan;
5) Berita acara penggeledahan;
6) Berita acara penyitaan.

Kegiatan-kegiatan Pokok dalam Penyidikan :


1. Penyelidikan :
Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
perbuatan tindak pidana, guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan;
2. Pemeriksaan :
Kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan Tersangka dan atau saksi terhadap
barang bukti, maupun unsur-unsur perbuatan pidana yang terjadi terhadap Tindak pidana yang terjadi
sehingga peranan seseorang atau barang bukti dalam perbuatan pidana itu menjadi terang jelas siapa yang
melakuakan suatu tindakan yang melanggar hukum dimaksud;
3. Penindakan :
Setiap tindakan hukum yang dilakukan aparat hukum terhadap orang atau barang yang ada erat
hubungannya dengan perbuatan tindak pidana yang terjadi, yang dapat berupa :
a. Pemanggilan;
b. Penangkapan;
c. Penahanan;
d. Penggeledahan;
e. Penyitaan.
Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan Tersangka
dan atau saksi atau barang bukti, maupun unsur-unsur perbuatan pidana yang terjadi, sehingga jelas
peranan atau kedudukan seseorang atau barang bukti dalam perbuatan pidana yang terjadi menjadi jelas.
Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara merupakan kegiatan akhir dari penyidikan perbuatan pidana,
meliputi :
1. Pembuatan Resume Perkara
2. Penyusunan isi Berkas perkara
3. Pemberkasan.

Anda mungkin juga menyukai