Anda di halaman 1dari 2

Tugas sejarah

DIANKRONIK
Perang ini adalah Perang Jawa atau Perang Diponegoro
berlangsung selama 5 tahun, sejak 1925 hingga 1930.

Pendorong terjadinya perang Diponegoro


Pertama, kekuatan kolonial sejak awal 1800-an, yang berusaha menanamkan pengaruh di Jawa,
khususnya pada pemerintahan kerajaan yang ada.Kedua, pertentangan politik yang dilandasi kepentingan
pribadi dalam keraton semakin lama semakin meruncing. Pengangkatan Hamengkubuwono V yang masih
kecil, membawa banyak kepentingan pribadi dari Dewan Perwalian yang dibentuk.ketiga, beban rakyat
akibat pemberlakuan pajak yang berlebihan mengakibatkan keadaan masyarakat semakin tertekan.
Misalnya, pintu rumah dikenakan bea pacumpleng, pekarangan rumah dikenakan bea pengawang-awang,
bahkan pajak jalan pun dikenakan bagi tiap orang yang melintas, termasuk barang bawaannya.

Pada tanggal 9 Juni 1826, Plered mendapatkan serangan besaran besaran dari Belanda. Beruntungnya,
penyerangan itu dapat digagalkan.

Pada 20 Juli 1825, keraton memberikan perintah untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Hal ini
dilakukan karena ia telah dicap sebagai pengkhianat dan musuh keraton.
Saat itu, kediaman Diponegoro telah jatuh dan dibakar, meski pangeran dan sebagian besar pengikutnya
berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.

Sekitar bulan Oktober 1826, pasukan Pangeran Diponegoro melakukan serangan balasan. Mereka
menyerang markas Belanda yang ada di Gawok.
Pada bulan November tahun 1826, Pangeran Diponegoro mengerahkan pasukannya untuk menyerang
tentara Belanda di Pengasih. Ia sempat mendirikan markas di Sambirata, namun kemudian mendapatkan
serangan balik. Beruntungnya, pasukannya dapat meloloskan diri.
Penyebab melemahnya kekuatan pasukan Diponegoro dalam peperangan adalah ditangkapnya Kiai
Modjo pada tanggal 12 Oktober 1828. Beberapa hari berselang, Sentot Prawirodirdjo juga ikut
tertangkap.

Penangkapan kedua senopati tersebut tentu saja membuat pilar penumpu perjuangan menjadi timpang.
Selain itu, Belanda juga turut menangkap istri pangeran Diponegoro dan putranya.
Pemimpin Perang Jawa tersebut bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yaitu Jan Clareens pada
tanggal 16 Febuari 1830. Perundingan memang berjalan dengan lancar. Namun sayangnya, pertemuan itu
tidak menghasilkan kesepakatan yang diharapkan.

Selanjutnya, ia kemudian menemui Jenderal De Kock di Menoreh pada tanggal 21 Februari 1830. Pada
waktu itu, bulan Ramadhan berlangsung dari tanggal 25 Februari hingga 27 Maret. Maka untuk
menghormati bulan suci, ia pun meminta untuk tidak ada perundingan yang serius.
Datang tepat di hari Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 28 Maret 1830.

Pada mulanya, pertemuan berjalan biasa saja. Akan tetapi, suasana menjadi panas ketika tiba-tiba sang
jenderal mengatakan akan menangkap Pangeran Diponegoro.

Suasananya pun semakin memanas ketika keduanya terlibat adu mulut. Meskipun ada yang menengahi,
tapi itu tidak terlalu berpengaruh banyak. Bahkan, terbersit di benak sang pangeran untuk menusuk De
Kock menggunakan keris.

Hal tersebut terjadi karena perlakuan dan perkataan jenderal yang tidak sopan dan sangat merendahkan.

Ia lalu diasingkan di Ungaran. Selanjutnya pada tanggal 5 April, ia dikirim ke Batavia dan menjalani
pengasingan di Gedung Museum Fatahillah.

Tidak berhenti di situ, sang pangeran bersama kelurga dan beberapa pengikutnya lalu dibuang ke Manado
pada tanggal 3 Mei 1830. Empat tahun kemudian, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar dan
meninggal pada tanggal 8 Januari 1855.

Anda mungkin juga menyukai