Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN

BIMBINGAN TEKNIS
GURU PEMBIMBING KHUSUS
TAHAP PENGUASAAN KONSEP
TAHUN 2022

Disusun Oleh:

NGATINI, S.Pd

SMP NEGERI 5 TAYAN HILIR, KABUPATEN


SANGGAU KALIMANTAN BARAT

2022
PENGESAHAN

LAPORAN BIMTEK

BIMBINGAN TEKNIS TAHAP PEMAHAMAN KONSEP


GURU PEMBIMBING KHUSUS
PENDIDIKAN INKLUSI
TAHUN 2022

Tanggal 20 – 29 Oktober 2022

Oleh:

NGATINI, S.Pd,

NIP . 19810207 200604 2 013

Sejotang, 08 November 2022

Kepala sekolah

Egi Wanherianto, S.Pd


NIP. 19850201 200902 1003
IDENTITAS GURU

1. NAMA SEKOLAH : SMP NEGER 5 TAYAN HILIR

2. NAMA GURU : NGATINI, S.Pd,

3. NIP : 19810207 200604 2 013

4. PANGKAT/ JABATAN/ GOL : PENATA TK 1/ GURU MUDA/III D

5. ALAMAT SEKOLAH

* JALAN : SIMPANG ATEL, DESA SEJOTANG, KEC TAYAN

HILIR

* KOTA : KABUPATEN SANGGAU

* PROPINSI : KALIMANTAN BARAT

6. TUGAS MENGAJAR

* MATA PELAJARAN : ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


TERPADU
LAPORAN KEGIATAN
BIMBINGAN TEKNIS GURU PEMBIMBING KHUSUS
TAHAP PENGUASAAN KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI

A. Latar Belakang

Pendidikan inklusif secara sederhana dapat di artikan sebagai


pendidikan yang mencakup dan melibatkan semua peserta didik dengan
keberagamannya termasuk di dalam mya peserta didik yang rentan terhadap
marginalisasi dan pemisahan.merupakan bentuk reformasi pendidikan yang
merangkul keberagaman dan menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan
persamaan hak dan kesempatan, keadilan dan perluasan akses dan mutu
pendidikan bagi semua. Pendidikan inklusif sebagai suatu sistem harus
mengakomodasi keterlibatan semua peserta didik untuk mengikuti pendidikan
tanpa kecuali. Implikasinya semua satuan layanan pendidikan (formal dan
nonformal) harus melayani semua peserta didik tanpa mempedulikan keadaan
fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisikondisi lain, anak-anak
dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa (gifted and talented
children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak
dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anakanak yang tidak beruntung
dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994).
Dengan demikian semua peserta didik memperoleh pendidikan yang adil dan
berimbang (equity dan equality) sesuai dengan kebutuhannya. Inilah yang
dimaksud dengan merangkul atau mengakomodasi keberagaman.
Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif menjadi sebuah keniscayaan,
ketika semua warga negara mempunyai hak untuk mendapat layanan
pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu tidak serta merta
membutuhkan pelayanan yang sempurna, melainkan layan pendidikan yang
mampu mengakomodasi keberagaman peserta didik. Bentuk akomodasi
terhadap keberagaman peserta didik antara lain harus didukung oleh
kompetensi guru yang memadai. Sehingga guru yang bersangkutan mampu
untuk memberikan akomodasi yang layak bagi peserta didiknya. Kebijakan
Pemerintah tentang merdeka belajar, telah menyemangati kita semua untuk
berbuat yang terbaik bagi peserta didik kita.
Menurut undangundang semua anak memiliki hak yang sama untuk
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, yaitu pendidikan yang sesuai
dengan karakteristik mereka yang beragam. Inilah makna belajar merdeka
dalam konteks pemebelajaran bagi peserta berkebutuhan khusus. Bentuk-
bentuk akomodasi layanan pendidikan didasarkan kepada keberagaman
potensi, keberagaman hambatan, keberagaman kebutuhan, keberagaman gaya
belajar, dan keberagaman passion dalam belajar. Oleh karena itu para
pendidik seyogyanya terus meningkatkan kualifikasi kompetensinya agar
mampu memberikan layan terbaik bagi peserta didiknya. Sejalan dengan
makin bertambahnya kesadaran masyarakat terhadap isu keberagaman dan
pentingnya pendidikan bagi semua, hingga saat ini jumlah sekolah yang
menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif terus bertambah.
Termasuk semakin banyak daerah-daerah yang mendeklarasikan
kabupaten/kota inklusif dan bahkan provinsi yang inklusif. Maka akan
semakin banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang dilayani, baik dilayani
di sekolah khusus maupun di sekolah umum yang menyelenggarakan
pendidikan inklusif. Keberadaan guru-guru pembimbing khusus di sekolah
inklusif diharapkan tidak hanya bertindak sebagai pembimbing anak-anak
berkebutuhan khusus di sekolahnya, melainkan dapat menjadi motor
penggerak bagu guru-guru lainnya untuk terus belajar melayani anak-anak
berkebutuhan khusus.
Sehingga sejalan dengan yang digulirkan oleh pemerintah tentang guru
penggerak. Namun demikian, peningkatan jumlah layanan pendidikan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus belum sejalan dengan penyediaan guru-guru
yang memiliki kompetensi dalam melayani anak-anak berkebutuhan khusus.
Khususnya, pelayanan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah umum.
Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan guru yang memiliki kompetensi dalam
melayani anak-anak berkebutuhan khusus saat ini menjadi sangat penting.
Pemenuhan kebutuhan guru, seyogyanya tidak hanya dalam
pemenuhan kebutuhan secara kuantitas, akan sangat baik pemenuhan juga
dalam arti peningkatan kualifikasi kompetensinya. Guna memenuhi tantangan
tersebut di atas, pemerintah dalam hal ini Direktorat Guru dan Tenaga
Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, menyusun
program pemenuhan kekurangan guru pembimbing khusus di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif dan sekolah umum yang melayani
keberagaman peserta didik. Program pemenuhan kekurangan guru
pembimbing khusus dilakukan melalui kegiatan bimbingan teknis. Petunjuk
teknis ini merupakan acuan dalam pelaksanaan program pemenuhan guru
pembimbing khusus.
I. Dasar Hukum Pelaksanaan
Dasar penyelenggaraan bimtek mengacu pada antara lain:
1. Surat pemberitahuan dari kementrian pendidikan dan kebudayaan riset
dan teknologi , Direktorat jendral guru dan tenaga kependidikan No
1426/B6/ DT.00.09/2022 tentang Bimbingan Teknis P emenuhan Guru
Pembimbing Khusus secara daring. Terlampir
2. Daftar sasaran sekolah yang melaksanakan bimbingan teknis GPK.
terlampir
3. Surat tugas dari kepala sekolah SMP N 5 Tayan Hilir Nomor 422/065
Dikbud.SMP.05/2022 untuk mengikuti Bimtek. Terlampir

B . Dasar Pelaksanaan
Bimbingan Teknis Guru Pembimbing Khusus Pendidikan Inklusi di selengarakan
oleh Direktorat Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Direktorat Jendral
Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi

C. Penyelengara
Kegiatan bimtek di selengarakan oleh Direktorat Guru Pendidikan dan
Pendidikan Khusus Direktorat Jendral Guru Kementrian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset dan Teknologi

D. Jadwal dan Kegiatan


Jadwal kegiatan bimbingan teknis guru pembimbing khusus secara daring di
laksanakan dari tanggal 20 Oktober sampai 29 Oktober 2022, jadwal harian
bimbingan teknis tahap penguasaan konsep terlampir

E. Pihak yang terlibat


Peserta berjumlah 40 orang Guru untuk mengikuti bimbingan teknis tahap
pemahaman konsep daring, 1 nara sumber dan 1 fasilitator tergabung dalam
kelas 8-46
Peserta Bimtek GPK kelas 8-46
no Nama peserta Asal sekolah
1 Wiwik subekti, S.Pd SMPIT AL AQSHA, tulung agung jawa timur
2. Sabti Wulandari SMP N 1 Kauman, Tulung agung, jawa timur
3. Rahma Ika Victoria, S.Pd SMP S IT Tahfidzil Quran, Tulung agung , jawa timur
4. Dra. Ririn dwiretnomaindah SMP N 1 Karang anyar , Ngawi , jawa timur
5. Nur Hidayah, S.Pd SMP N 1 Kerek, Tuban , jawa timur
6. Siti Munawaroh, S.Pd SMP islam, trengalek, jawa timur
7. Herfin Setiawan, S.Pd SMP N 6 Sambas, kalimantan Barat
8. Asiah, S.Pd SMP N 23 Pontianak, kalimantan Barat
9. Hartatik, S.Pd SMPK Mardi Wiyata, kediri , jawa timur
10. Cholishotus Saidah, S.Pd SMP harapan, Tulangan, sidoarjo, jawa timur
11. Fuji Anugerah Emily, S.Pd SMP harapan masa depan cerah 01 Manis mata
ketapang
12. Sunarsih SMP N 3 sukadana , kayong utara, kalimantan barat
13. Khoridatul awaliyah. M, S.P SMP Mohammadiyah 1 Blitar, Jawa timur
14. Sulistyowati, S.Pd SMP N 2 Mlandingan, situbondo, jawa timur
15. Triyono, S.Pd SMP PGRI 1 Panggul, Trengalek, jawa timur
16. Lidia Katarina, S.Pd SMP N 3 Sintang, Kalimantan barat
17. Nurmala Putri. A, S.Pd SMPI TarbiyahSalawiyah, pasuruan, jawa timur
18. Nety herawati, S.Pd SMP N 4 trengalek, jawa timur
19. Tika Pratiwi, S.Pd

Narasumber
1. Yuwono Islamy kusriyanto, GTK Kemendikikbudristek, sebagai
fasilitator / Admin GBK kelas 8-46
2. Betya Sahara, SLB negeri kota Banjar Baru sebagai nara sumber
F.Hasil kegiatan/luaran/output
No Materi Bimbingan Teknis Alokasi Waktu
A Materi Umum
1 Kebijakan Pendidikan nasional 2

B Materi Pokok
1 Konsep Dasar Pendidikan Inklusi 4
2 Keberagaman Jenis Kebutuhan Peserta Didik 4
3 Bentuk Layanan Pendidikan bagi ABK 4
4 Sistem Layanan Pembelajaran 6
5 Pengenalan Program Kekhususan 8
6 Sistem Dukungan 6
C Materi Penunjang
1 Profil Belajar Siswa 2

JUMLAH 36

II. Pelaksanaan Kegiatan


Kegiatan dilaksanakan mulai tanggal 20 – 29 Oktobe2 2020. vitcom
pembukaan dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2022 pukul 14.00,
dilanjutkan dengan tes awal dan materi materi tentang pengantar kebijakan ,
panduan kegiatan, petunjuk pembelajaran daring
1. Materi 1.Tentang pengantar , kebijakan , panduan kegiatan, petunjuk
pembelajaran daring.
2. Materi 2. Penjelasan materi konsep dasar pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif pada hakekatnya merupakan filosofi pendidikan
hidup dengan keberagaman,belajar dari keberagaman dan belajar dengan
keberagaman.oleh karena itu pendidikan inklusif di pandang sebagai sebuah
proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui
peningkatan partisipasi dalam belajar,budaya dan masyarakat dan mengurangi
exklusivitas di dalam dan dari poendidikan ( booth 1996). Dalam pedodikan
inklusif tidak menganggap keragaman sebagai masalah tetapi lingkungan lah
yang membuat masalah
Menurut UNESCO( 2005: 15-16) ada empat elemen dalam inklusi
yaitu 1. Inklusi adalah proses, 2. Inklusi adalah berkaitan dengan identifikasi
dan menghilangkan hambatan, 3. Inklusi adlah tentang kehadiran, partisipasi
dan prestasi semua siswa, 4.inklusif melibatkan penekanan khusus pada
kelompok pada peserta didik yang mungkin berada di posisi terpingirkan,
kurang berprestasi.
Awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model
segregasi yaitu yang menempatkan anak kebutuhan khusus di sekolah
khusus/ sekolah Luar Biasa yang terpisah dari teman sebayanya. Dengan kata
lain anak di sekolah ini di pisahkan dari sistem sekolah yang di selengarakan
secara reguler. Misalnya di sekolah Luar biasa ( SLB )mulai dari Sekolah luar
biasa TK (TKLB), sekolah luar biasa dasar ( SD SLB), sekolah luar biasa
menengah (SMPLB), sekolah luar biasa tingkat atas(SMALB). Sekolah
dengan segregasi tersebut menerima siswa dengan hambatan yang sama, maka
ada SLB tuna runggu, tuna daksa, tuna grahita, tunalaras.
Dari sudut pandang peserta didik model segregasi merugikan
sebagaimana pandangan reynolds dan birch (1988) karena tidak menjamin
kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara
optimal, karena kurikulum di rancang berbeda dengan kurikulum sekolah
biasa.secara filosofi model segregasi tidak logis karena menyiapkan peserta
didik untuk kelak dapat berintergrasi dengan masyarakat pada umumnya, akan
tetapi di pisahkan dengan masyarkat umumnya.
Dengan model segregasi ini ( DEPDIKNAS 2007: 1) Menjelaskan
bahwa tidak menjamin kesempatan anak kebutuhan khusus mengembangkan
potensi secara optimal,karena kurikulum di rancang berbeda dengan
kurikulum biasa.peserta didik tidak di persiapkan untuk bisa berintegrasi
dengan masyarakat normal, mereka di pisahkan dari masyarakat normal,
sehingga perkembangan emosional dan sosial siswa menjadi kurang luas
karena lingkungan yang terbatas.
Melalui pendidikan inklusif anak berkebutuhan khussu peserta didik di
didik bersama sama anak lain nya ( reguler ) untuk mengoptimalkan potensi
yang di milikinya. Oleh karena itu anak berkebutuhan khusus perlu di beri
kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan
pelayanan pendidikan di sekolah.pendidikan inklusif di harapakn dapat
memecahkan salah satu persoalan dalam penangganan pendidikan di
sekolah.tidak mungkin membangun SLB di setiap desa atau kecamatan karena
memakan biaya besar dan waktu yang cukup lama.
Landasan pendidikan inklusi , ada 3 landasan dasar pendidikan
inklusif yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, landasan empiris
a. Landasan filosofis
Menurut abdulrahman dalam kemendikbut ( 2011) mengemukakan
bahwa landasan filosofis pendidikan inklusif di indonesia adalah
Pancasila yang merupakan pilar sekaligus cita cita atas pondasi yang
lebih mendasar lagi yaitu BHINEKA TUNGGAL EKA, filosofis ini
sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia baik vertikal maupun
horisontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka
bumi. Kebinekaan vertikal di tandai dengan perbedaan kecerdasan,
kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan,kemampuan
pengendalian diri, sedangkan kebhinekaan horisontal di warnai dengan
perbedaan suku bangsa, ras, agama,budaya, tempat tinggal daerah,
afiliansi politik dll. Jadi walaupun beragam namun dengan kesamaan
misi yaitu membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi saling
menghormati. Bertolak dari filosofi kebhineka tunggal eka, anak
kebutuhan khusus juga merupakan salah satu bentuk kebenekakann, di
dalam anak anak kebutuhan khusus juga pasti ada keunggulan
keunggulan dan potensi dari setiap berkebutuhan khusus,oleh karena
itu sisitem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan
interaksi antar peserta didik yang beragam sehingga mendorong sikap
silih asah , silih asih, silih asuh. Dalam semangat toleransi dalam
kehidupan sehari hari
b. Landasan yuridis
Landasan yuridis memiliki kerangka landasan bahwa implementasi
pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk di laksanakan
yaitu dalam undang undang dasar amandemen 1945 pasal 31 ayat i
yang menyatakan ‘ setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan” dan ayat 2 “setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya” dalam undang
undang perlindungan anak yaitu undang undang no 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak pasal 48 bahwa “ pemerintah wajib
menyelengarakan wjib belajar pendidikan dasar dasar selama 9 tahun
untuk semua anak.kemudian pasal 48 dari undang undang
perlindungan anak di nyatakan bahwa “ negara, pemerintah, keluarga,
dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas luasnya
kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Dalam kontek pendidikan
nasional pendidikan inklusif di nyatakan dalam undang undang no 20
tahun 2003 tentang sisitem pendidikan nasioanl indonesia pasal 5 ayat
1 di nyatakan “ setiap warga negara berhak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”dan ayat 2 “ setiap warga
negara yang memiliki hambatan fisik, emosional, mental, intelektual
dan atau sosial berhak mendapatkan pendidikan khusus.dalam hal
aksesibilitas pendidikan di nyatakan dalam pasal 11 ayat 1 dan 2 “
pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan dan menjamin terselengaranya pendidikan yang bermutu
bagi semua warga negara tanpa diskriminasi. Pasal 32 ayat 1
“pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa
c. Landasan empiris
Terkait dengan landasan empiris hasil penelitian menunjukna bahwa
klasifikasi dan penempatan peserta didik khusus di tempat khusus,
tidak efektif dan diskriminatif, menurut penelitian nasioanl maupun
internasional
3. Materi 3. Keberagaman jenis kebutuhan peserta didik
Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik Keberagaman peserta didik di
sekolah inkusif adalah suatu kenyataan yang tidak untuk dibuat sebagai
“sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut harus
menjadi sebuah “tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan
pembelajaran akomodatif bagi setiap peserta didik. Peserta didik
reguler/tipikal maupun peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hak yang
sama untuk memperoleh layanan pembelajaran dalam upaya mencapai
kualitas hidup. Ada empat indikator kualitas hidup bagi setiap peserta didik,
yakni sebagai berikut:
1. To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memiliki hak untuk
hidup mengembangkan potensi dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi
oleh kondisi Hambatan yang dimilikinya. Peserta didik berkebutuhan khusus
di sekolah inklusif tidak boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota
kelas inklusif”, tetapi keberadaan peserta didik di kelas inklusif harus menjadi
tantangan bagi guru untuk berkreatif dalam mengembangkan layanan
pembelajaran akomodatif.
2. To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa
terlindungi, mengikuti kegiatan pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya
secara ramah, nyaman dan tidak dibiarkan mendapat bully dari peserta didik
lainnya. Bahkan guru harus mengembangkan sikap saling menyayangi,
mencintai sebagai sesama warga sekolah.
3. To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperoleh
kesempatan yang sama untuk mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan
bermain di sekolah,
seperti dalam diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan perlombaan
yang diadakan sekolah. Peserta didik berkebutuhan khusus harus memperoleh
hak yang sama untuk memperoleh kesempatan aktivitas permainan di kelas
dan lingkungan sekolah.
4. To Work, setiap peserta didik di sekolah inklusif memperoleh hak
yang sama untuk mengembangkan dirinya dalam upaya mengembangkan
potensi dirinya untuk nantinya menjadi individu yang mandiri dalam
memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan khusus tidak boleh
dihadirkan di kelas hanya sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi harus
diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan layanan
pendidikannya.
C. Klasifikasi PDBK Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
PDBK dapat diklasifikan menjadi PDBK temporer dan PDBK permanen.
Pembagian klasifikasi ini menjadi dasar untuk memberikan layanan
pendidikan yang sesuai bagi PDBK. PDBK temporer dapat terdiri atas banyak
kondisi dan belum ada klasifikasi khusus PDBK temporer baik di Indonesia
maupun di mancanegara. Berbanding terbalik, PDBK permanen baik di
Indonesia maupun mancanegara memiliki pengelompokan jenis-jenis PDBK
permanen. Landasan hukum yang masih berlaku dalam pengelompokan dan
penggunaan istilah PDBK di Indonesia meliputi Permendiknas Nomor 70
tahun 2009 mengenai Pendidikan Inklusif dan UU Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Hambatan. Di dalam dua aturan tersebut disebutkan
beberapa jenis PDBK permanen. Perlu diketahui, terdapat perbedaan
penggunaan istilah pada beberapa kelompok PDBK pada masing-masing
aturan tersebut, meskipun merujuk pada kelompok PDBK yang sama. Lebih
lanjut perlu menjadi perhatian bahwa pengelompokkan PDBK ini berfungsi
untuk mempermudah dalam mengenali karakteristik peserta didik dan
menyusun strategi pembelajaran yang sesuai, tetapi pengelompokkan ini tidak
dimaksudkan untuk memberi label atau identitas baru pada peserta didik yang
teridentifikasi dalam kelompok PDBK tersebut. Dalam perkembangannya
beberapa istilah lebih disarankan digunakan (sebagai contoh Hambatan)
dibanding istilah lain (penggunaan kata tuna) karena dampak psikis dari
istilah tersebut. Meskipun dalam penerapannya istilah-istilah tersebut
dipergunakan bergantian. Adapun

pengelompokan PDBK permanen adalah sebagai berikut:


1. PDBK dengan Hambatan Sensorik PDBK sensorik adalah PDBK
yang mengalami Hambatan sensorik menurut UU Nomor Tahun 2016. PDBK
sensorik terbagi atas PDBK dengan Hambatan penglihatan dan Hambatan
pendengaran.
a) Hambatan Penglihatan/Tunanetra PDBK dengan Hambatan
penglihatan menurut Gunawan (2011) adalah PDBK yang mengalami
gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan,
khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Dilihat dari sisi pendidikan
dan rehabilitasi peserta didik Hambatan penglihatan adalah mereka yang
memiliki Hambatan penglihatan sehingga menghalangi dirinya untuk
berfungsi dalam pendidikan dan aktivitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat
khusus, material khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus.
Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan
dan dalam perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok low vision dan
Hambatan penglihatan total (Totally Blind). − Low vision Kelompok ini
adalah kelompok Hambatan penglihatan yang masih mampu melihat dengan
ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari
jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan penglihatan orang
normal (21 meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu
mengenal bentuk objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai
jarak. − Hambatan penglihatan total Peserta didik dikatakan memiliki
Hambatan penglihatan secara total mereka yang tidak bisa memfungsikan
kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan ataupun mereka yang bisa
merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam tanpa
mengetahui sumber cahayanya.
Akibat dari adanya Hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami
kemampuan membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk
membantu mereka dalam menjalankan daily activities.
b) Hambatan Pendengaran/Tunarungu Banyak istilah yang digunakan
untuk menggambarkan seseorang yang mengalami kehilangan/gangguan
pendengaran. Istilah yang justru lebih nyaman bagi individu dengan
Hambatan ini adalah tuli. Nakata dalam Rahardja (2006) yang
mengungkapkan PDBK tunarungu adalah mereka yang mempunyai
kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu
mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk memahami
suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu
dengar atau alat- alat lainnya. Akibat dari adanya kerusakan itu akan
mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran. PDBK mengalami
kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif,
sehingga dapat menimbulkan Hambatan dalam melakukan interaksi dan
komunikasi secara verbal. Pengelompokkan (klasifikasi) bagi PDBK yang
mengalami Hambatan pendengaran yang saat ini digunakan pada umumnya
menurut Kirk (dalam Depdikbud, 1995:29) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut : ● 0 dB Menunjukkan pendengaran yang optimal. ● 0 – 26 dB
Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal. ● 27 –
40 dB Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh,
membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi
bicara (tergolong tunarungu ringan). ● 41 – 55 dB Mengerti bahasa
percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu
dengar dan terapi bicara (tunarungu sedang). ● 56 – 70 dB Hanya bisa
mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran
untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar
serta dengan cara yang khusus
(tunarungu agak berat). ● 71- 90 dB Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat
dekat, kadang – kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa
yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara
khusus (tunarungu berat). ● 91 dB ke atas mungkin sadar akan adanya bunyi
atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan daripada
pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan
dianggap tuli (tunarungu berat sekali) Lebih lanjut, menurut Moores dalam
Alimin (2007) menjelaskan bahwa PDBK mengalami disability dalam
berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi pendengaran (impairment).
Istilah hearing impairment diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
istilah tunarungu, yang di dalamnya terkandung dua kategori yaitu yang
disebut dengan deaf dan hard of hearing. Moores (1982:6) menjelaskan “tuli”
adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan mendengar dalam tingkat 70
dB ISO atau lebih, sehingga tidak mengerti pembicaraan orang lain
mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui
pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain
dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar (hearing aid).
Adapun orang yang “kurang dengar” adalah mereka yang memiliki
ketidakmampuan dengar dalam tingkat 35 sampai 69 dB. Berdasarkan definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan pendengaran (tuli atau kurang
dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang
mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera
pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun
demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena
gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek di bawah ini. 1) Aspek
Motorik PDBK tunarungu yang tidak memiliki Hambatan lain dapat mencapai
tugas-tugas perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti
duduk,
merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang
terjadi pada PDBK yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007). Namun
demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa PDBK dengan
Hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan
koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan
kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam
Alimin, 2007). 2) Aspek bicara dan bahasa Keterampilan berbicara dan
bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak dipengaruhi
oleh Hambatan pendengaran. Khususnya PDBK dengan Hambatan
pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi PDBK dengan
Hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat
didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar. Individu
tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka
sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh PDBK dengan
Hambatan pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka
mengalami kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan
tekanan suara.
2. PDBK dengan Hambatan Intelektual Hambatan intelektual
merupakan kondisi kemampuan intelektual individu yang berada di bawah
rata-rata berdasarkan hasil tes IQ. Adapun perkembangan terbaru berdasarkan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-Fifth Edition Text
Revised 2022 (DSM-V TR) Hambatan intelektual juga ditandai dengan
kesulitan individu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Termasuk dalam
kelompok ini adalah tunagrahita dan lambat belajar/slow learner.
a) Hambatan Intelektual/Tunagrahita Menurut Gunawan (2011)
PDBK mengalami Hambatan intelektual adalah PDBK
yang secara nyata mengalami Hambatan dan keterbelakangan perkembangan
mental-intelektual dibawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka memerlukan layanan pendidikan
khusus. PDBK mengalami Hambatan intelektual ialah PDBK yang
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Berbagai istilah yang
dikemukakan mengenai PDBK mengalami Hambatan intelektual, selalu
menunjuk pada fungsi kecerdasan secara umum berada di bawah usia
kronologisnya secara meyakinkan sehingga membutuhkan layanan pendidikan
khusus. Potensi dan kemampuan setiap PDBK PDBK mengalami Hambatan
intelektual berbeda-beda, maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan
pengelompokkan PDBK mengalami Hambatan intelektual. Pengelompokkan
itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu PDBK tunagrahita
dapat dikelompokkan. 1) Hambatan Intelektual Ringan PDBK mengalami
Hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak
berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk
kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca,
menulis dan berhitung, PDBK PDBK mengalami Hambatan intelektual ringan
biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum. 2)
Hambatan Intelektual Sedang PDBK PDBK mengalami Hambatan intelektual
sedang termasuk kelompok latih. Kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi
ada sebagian PDBK mengalami Hambatan intelektual yang mempunyai fisik
normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya
menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD Umum. 3) Hambatan
Intelektual Berat Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya
tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. PDBK PDBK
mengalami Hambatan intelektual berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ
mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka
membutuhkan bantuan orang lain.
Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan
berada di bawah rata-rata. PDBK mengalami Hambatan intelektual
mengalami Hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua
gangguan tersebut berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya.
Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan
PDBK mengalami Hambatan intelektual apabila memiliki tiga indikator,
yaitu:
− keterHambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata;
− ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif; dan
− Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu
sampai dengan usia 18 tahun.

Materi 3 pengenalan program kebutuhan khusus


Dalam Permendikbud 157 tahun 2014 pasal 10 disebutkan bahwa
Program
kebutuhankhusus pada kurikulum pendidikan regular dan pada kurikulum
pendidikan
khusus dikembangkan sebagai penguatan bagi peserta didik berkelainan atau
berkebutuhan khusus untuk meminimalkan hambatan dan meningkatkan
capaian kompetensi secara optimal
Program kebutuhan khusus memiliki tujuan secara umum yaitu
memfasilitasi
anak yang mengalami hambatan belajar ataupun perkembangan untuk
mengembangkan potensi yang ada sehingga dapat berkembang secara
optimal.
Peserta didik berkebutuhan khusus dibimbing untuk mengembangkan
keterampilan hidupnya. Keterampilan hidup (life skills) adalah kemampuan
untuk
beradaptasi dan menunjukkan perilaku positif yang pada akhirnya
memampukan
individu untuk menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari
dengan efektif

Jenis Program Kebutuhan Khusus.


Dalam Dalam Permendikbud 157 tahun 2014 dan Perdirjen No 10 tahun 2017
disebutkan bahwa program kebutuhan khusus ada 5 jenis, yaitu:
1) Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial dan Komunikasi untuk
Tunanetra
2) Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi, dan Irama untuk Tunarungu
3) Pengembangan Diri untuk Tunagrahita
4) Pengembangan Diri dan Gerak untuk peserta didik Tunadaksa; dan
5) Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku untuk peserta
didik Autis
Dalam implementasi kurikulum merdeka kedudukan program
kebutuhan khusus
berbeda dengan kurikulum sebelumnya, seperti yang tertera pada
Permendikbudristek no 7 tahun 2022 tentang standar isi program kebutuhan
khusus
menjadi sebuah mata pelajaran yang ruang lingkup materi umum dan khusus
dinyatakan pada setiap jenjang baik dasar, menengah maupun lanjutan.
Program Kebutuhan Khusus menjadi mata pelajaran wajib di SDLB, SMPLB
dan
SMALB dengan pertimbangan mempersiapkan peserta didik agar mampu
hidup
mandiri di lingkungan masyarakat. Pada struktur kurikulum pembelajaran
Program
Kebutuhan Khusus diselenggarakan dengan jumlah jam pembelajaran yang
berbeda
pada setiap tingkatan kelas dan satuan.
Pengampu mata pelajaran Program Kebutuhan Khusus adalah guru
pendidikan
khusus, guru mata pelajaran lain atau guru kelas yang telah dinilai layak oleh
kepala
satuan pendidikan; Selanjutnya guru mata pelajaran lain atau guru kelas yang
dimaksud wajib mendapatkan pelatihan kompetensi program kebutuhan
khusus
(terstandar); Penentuan fase pada peserta didik didasarkan pada hasil asesmen
diagnostik, sehingga pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
peserta
didik, misalnya: salah satu peserta didik pada kelas X SMALB (fase E)
berdasarkan hasil
asesmen diagnostik berada pada fase C sehingga pembelajaran peserta didik
tersebut
tetap mengikuti hasil asesmen diagnostik yaitu fase C; Mekanisme
pelaksanaan
pembelajaran Program Kebutuhan Khusus di SPPI masih sama yaitu secara
indidual
atau diingrasikan pada Mata Pelajaran lainya, sesuai kebutuhan peserta didik.
4. Materi sistem dukungan
Unit Layanan Disabilitas (ULD) 1. Pengertian ULD merupakan
lembaga yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Undang-undang
yang dimaksud adalah Undang-undang nomor 8 tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas. Menurut UU tersebut ULD merupakan unit yang
menyediakan layanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas. ULD tidak
hanya terdapat di bidang pendidikan saja, melainkan terdapat di berbagai
bidang, antara lain di lembaga permasyarakatan, di bidang ketenagakerjaan, di
perguruan tinggi, dan tentu saja di bidang pendidikan. Bahkan, jika satu
perguruan tinggi tidak memiliki ULD, akan segera mendapatkan sanksi dari
Pemerintah. Sanksi paling ringan berupa teguran, sanksi terberat berupa
pencabutan izin operasional. Pada bidang pendidikan, ULD secara eksplisit
disebutkan dibentuk untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif
tingkat dasar dan menengah. Pembentukkannya diinisiasi oleh Pemerintah
Daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pembentukan
ULD di daerahnya masing-masing. Di beberapa daerah, saat ini telah
terbentuk ULD-ULD. Tujuan utama pembentukan ULD adalah untuk
mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas
menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.
3. Fungsi Unit Layanan Disabilitas Fungsi ULD dalam bidang pendidikan,
secara rinci disebutkan dalam undang-undang tentang penyandang disabilitas
dinyatakan sebagai berikut
. a. Meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah
reguler dalam menangani peserta didik penyandang disabilitas.

b. Menyediakan pendampingan kepada peserta didik penyandang disabilitas


untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran.

c. Mengembangkan program kompensatorik.

d. Menyediakan media pembelajaran dan alat bantu yang diperlukan peserta


didik penyandang disabilitas.

e. Melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan calon
peserta didik penyandang disabilitas.

f. Menyediakan data dan informasi tentang disabilitas.


g. Menyediakan layanan konsultasi. h. Mengembangkan kerja sama dengan
pihak atau lembaga lain dalam upaya
Pusat Sumber (Resource Center)
1. Pengertian pusat sumber dalam konteks pendidikan inklusif
Pertanyaan ini dilatarbelakangi banyaknya istilah pusat sumber. Oleh karena
itu, perlu lebih dijelaskan pusat sumber dalam konteks apa. Pusat sumber
dalam konteks pendidikan khusus dan pendidikan inklusif adalah lembaga
khusus yang ditunjuk oleh pemerintah (pemerintah pusat/pemerintah daerah)
sebagai pusat sumber dalam pengembangan pendidikan khusus dan
pendidikan inklusif. Pusat sumber ini dapat dimanfaatkan oleh semua pihak
yang berhubungan anak berkebutuhan khusus, khususnya dalam penangan dan
pendidikannya. Dengan demikian pusat sumber dapat menjadi sumber bagi
orang tua, keluarga, sekolah biasa/sekolah luar biasa, masyarakat dan
pemerintah serta pihak lain yang berkepentingan. Saat ini yang dimaksud
dengan pusat sumber dalam konteks pendidikan khusus dan pendidikan
inklusif adalah sekolah-sekolah khusus atau SLB yang ditunjuk oleh Dinas
Pendidikan setempat. SLB yang menjadi pusat sumber merupakan SLB Inti
atau SLB Pembina yang berada di kabupaten atau kota setempat. Meski
keberadaannya tidak selalu ada di setiap kabupaten atau kota. Meskipun pusat
sumber itu berada di sekolah khusus tertentu tidak serta merta pengurusnya
berasal dari sekolah tersebut. Pengurus pusat sumber memungkinkan berasal
dari lembaga-lembaga yang berbeda. Berikut contoh kepengurusan pusat
sumber di DI Yogyakarta.
2. Fungsi Pusat Sumber Fungsi pusat sumber dalam implementasi
pendidikan inklusif di sekolah inklusif adalah:
a. Sebagai inisiator yang aktif dalam pelaksanaan pengembangan
layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus, baik di sekolah
inklusif maupun di sekolah khusus.
b. Sebagai sumber dukungan dalam pengembangan proses
pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus, baik di sekolah inklusif
maupun di sekolah khusus.
c. Sebagai pusat informasi bagi orang tua, keluarga, sekolah khusus
dan sekolah inklusif, serta masyarakat lain di sekitarnya.
d. Sebagai home base guru pembimbing khusus, hingga saat ini lokasi
pusat sumber berada di SLB atau sekolah khusus, dengan demikian pusat
sumber bisa jadi merupakan tempat berkumpulnya guru-guru SLB dan atau
Guru Pembimbing Khusus.
e. Sebagai koordinatoriat layanan pendidikan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus, khususnya dalam melayani peserta didik di sekolah
inklusif. Misalnya saat melakukan terapi, intervensi, konsultansi, dan atau
asesmen.
f. Sebagai mediator kerja sama antara sekolah dengan mitra-mitra
kerja yang lain.
Sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB) Sekolah khusus
semestinya menjadi mitra dari sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif. Sebagai mitra kerja antar keduanya perlu melakukan kerja sama.
Pengertian kerjasama bisa jadi diwujudkan dalam secara formal artinya
kerjasama diwujudkan dengan adanya naskah kerjasama (naskah MoU).
Kebutuhan utama sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah
ketersediaan guru pembimbing khusus yang idealnya dapat dipenuhi dengan
memberdayakan guru-guru di sekolah khusus. Hal ini dirasakan sulit
terwujud, karena kenyataannya guru jumlah guru di SLB pun masih kurang.
Oleh karena itu kerja sama antara SLB dengan sekolah inklusif menjadi
sangat penting guna menunjang pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah
tersebut. Alasan-alasan yang muncul atas tidak terjadinya kerja sama antara
sekolah inklusif dengan sekolah khusus, khususnya dalam hal penyediaan
guru pembimbing khusus di sekolah inklusif antara lain karena masalah
kurangnya komunikasi. Di sisi lain masih terbatasnya jumlah guru di sekolah
khusus menjadi faktor utama kesulitan sekolah khusus untuk membantu
menyediakan guru pembimbing khusus di sekolah inklusif. Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif kadang merasa kesulitan untuk
berkomunikasi dengan sekolah khusus. Karena sekolah inklusif yang
membutuhkan guru pembimbing khusus, maka seharusnya mereka proaktif
untuk menghubungi sekolah khusus terdekat.
Dunia Usaha dan Dunia Industri Peran DUDI dalam pengembangan
pendidikan vokasional, tampak lebih nyata dibanding dengan di sekolah
inklusif atau sekolah khusus. Di beberapa daerah kerja sama antara sekolah
menengah kejuruan (SMK) dengan DUDI sudah banyak terwujud. Di sekolah
menengah kejuruan, seorang peserta didik belum bisa menyelesaikan studinya
tanpa terjun langsung ke dunia usaha dan dunia industri. Penyelesaian studi
dilengkapi dengan sertifiikat lulus mengikuti praktik kerja industri (Prakerin).
Hal ini sangat berbeda dengan di sekolah inklusif atau sekolah khusus. Namun
demikian, tidak berarti tidak pernah terjadi. Seiring dengan meningkatnya
awareness masyarakat terhadap layanan pendidikan bagi peserta penyandang
disabilitas, maka perhatian dunia usaha dan dunia industri pun semakin besar.
1. Dunia usaha Selama ini antara dunia usaha dan dunia industri
seperti tidak terpisah. Namun sebenarnya, keduanya bisa dibedakan. Dunia
usaha berkaitan dengan berbagai usaha yang melibatkan fungsi-fungsi sosial
dan ekonomi. Sedangkan dunia industri, merupakan jenis aktivitas pekerjaan
yang berkaitan dengan produk suatu bahan atau benda. Dunia usaha meliputi
usaha-usaha perdagangan, perbankan, dan berbagai usaha perkantoran
lainnya.
Bersamaan dengan peningkatan kepedulian dan keinginan untuk melibatkan
lebih banyak penyandang disabilitas dalam berbagai aktivitas bisnis (usaha).
Pelibatan penyandang disabilitas dalam berbagai kegiatan usaha disesuaikan
dengan potensi dan kekhasan mereka. Penyandang disabilitas yang lebih peka
terhadap rasa, sering dijumpai di café-café atau restoran-restoran. Suatu saat
kita memperoleh informasi tetang penyandang disabilitas yang mempu secara
jeli membedakan kualitas rasa kopi di perusahaan kopi terbaik di dunia. Dunia
usaha memang sangat memungkinkan melibatkan berbagai penyandang
disabilitas, meski memang harus memperhitungkan kondisi dari setiap
penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas netra, atau seseorang yang
memiliki hambatan penglihatan, memungkinkan untuk bekerja di bidang jasa,
misalnya sebagai penerima telpon atau operator jasa telekomunikasi. Seorang
penyandang disabilitas rungu, atau seseorang yang memiliki hambatan
pendengaran, memungkinkan bekerja sebagai akuntan, pembukuan, dan
bidang administrasi lainnya. Karena biasanya, secara fisik dan intelektual,
penyandang disabilitas rungu dan wicara tidak memiliki hambatan.
2. Dunia industri Jika konsep antara dunia usaha dan dunia industri
dipisah, maka dunia usaha lebih strategis untuk melibatkan para penyandang
disabilitas dibanding dengan dunia industri. Dunia industri secara kasat mata
merupakan dunia kerja yang memerlukan kegiatan fisik. Hal ini berkitan
dengan proses produksi dari berbagai kebutuhan hidup manusia. Industri
mobil misalnya, merupakan serangkaian produksi alat dan komponen atau
bahan yang diperlukan untuk menyusun sebuah kendaraan hingga menjadi
utuh. Tetapi, tidak berarti para penyandang disabilitas tidak akan mampu
untuk mengikuti semua proses produksi di sebuah industri. Karena di bagian-
bagian tertentu selalu diperlukan bagian-bagian lain yang sangat saling
membantu. Misalnya, pada industri kendaraan bermotor, dipastikan
diperlukan teaga administra untuk mengelola sumber daya pada industri
tersebut. Penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan mobilitas dan
gerak tidak terganngu bisa bekerja di bagian tersebut. Seorang penyandang
disabilitas rungu, atau seseorang yang memiliki hambatan pendengaran,
memungkinkan bekerja sebagai operator mesin, misalnya operator mesin
pemotong kayu, operator mesin pencuci lantai dan lain sebagainya.
Keterbatasan dalam pendengaran memungkinkan seorang penyandang
disabilitas rungu bisa bekerja di ruangan yang berisik.
4. Program Transisi Program transisi merupakan program yang diberikan kepada
peserta didik berkebutuhan khusus menjelang berakhirnya masa pendidikan di
satuan pendidikan atau madrasah. Program dirancang agar peserta didik dapat
dengan cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Bagi peserta didik
berkebutuhan khusus yang sudah terbiasa dengan lingkungan madrasah yang
inklusif akan mendapat keuntungan, karena selama masa pendidikan peserta
didik yang bersangkutan selalu dan selamanya berada di lingkungan yang
natural. Menjelang berakhirnya keterlibatan peserta didik berkebutuhan
khusus di madrasah, madrasah perlu menyediakan pembekalan khusus kepada
yang bersangkutan. Pembekalan, tentu didasarkan pada hasil asesmen
terakhir. Berbagai program pembekalan dapat dirancang oleh sekolah dengan
melibatkan semua pihak, antara lain orang tua, terapis, dokter, perwakilan
dunia usaha dan dunia kerja (industri), dan lain sebagainya. Program transisi
diarahkan pada penguasaan keterampilan tertentu yang didasarkan pada
potensi dan passion peaerta didik yang bersangkutan. Bagi peserta didik yang
memiliki potensi di bidang modeling bisa diarahkan untuk belajar menjadi
model dengan bekerja sama dengan perusahaan yang bergerak di bidang
entertainment. Peserta didik yang memiliki passion di bidang pemograman
komputer, artifisial intelegent, atau komputasi bisa bekerja sama dengan
perusahaan atau seorang profesional di bidang tersebut.
5. Organisasi Masyarakat Sipil (Oms) Pendidikan Inklusif memerlukan berbagai
dukungan dari berbagai aspek, antara lain pendidik (yang mampu memberikan
bantuan layanan khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan) dan
tenaga kependidikan yang relevan, seperti terapis, tenaga medis, dokter,
psikolog, laboran, dan lain-lain. Untuk mencermati lebih jauh tentang latar
belakang, potensi, dan kondisi khusus pada peserta didik, sekolah perlu
mengadakan asesmen. Ada dua jenis asesmen yang biasa
dilakukan, yaitu asesmen perkembangan dan asesmen akademik. Selama ini,
kebutuhan sekolah untuk melakukan asesmen kepada peserta didik
berkebutuhan khusus sangat sulit. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
sekolah tidak memiliki tenaga ahli utnuk melakukan hal tersebut. Upaya untuk
memenuhi salah satu pemenuhan layana pendidikan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus, seperti layanan asesmen, sekolah harus bekerja sama
dengan pihak-pihak yang dianggap kompeten. Antara lain dengan melakukan
kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi
masyarakat sipil (OMS), organisasi profesi tertentu, rumah sakit, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, kerjasama bisa dilakukan dengan berbagai
lembaga, baik lembaga nasional maupun lembaga internasional. Lembaga
internasional yang menjadi mitra pengembangan pendidikan inklusif terdiri
atas UNESCO, IBE, USAID, WHO, Helen Keller International, Perkin
International, dan lain sebagainya. Berbagai LSM selama ini banyak yang
telah menjadi mitra dalam pengembangan pendidikan inklusif di negeri ini.
LSM-LSM ini biasanya terdapat di berbagai provinsi atau kabupaten/kota.
Artinya di setiap propinsi atau kabupaten/kota LSM yang membantu
pengembangan pendidikan inklusif bisa berbeda-beda. Asesmen ini dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan hambatan yang dialami
peserta didik dalam melakukan aktivitas tertentu. Asesmen ini dapat
dilakukan oleh guru di sekolah. Sedangkan asesmen klinis dilakukan oleh
tenaga profesional sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya, asesmen untuk
mengetahui seberapa besar kemampuan melihat seorang anak yang memiliki
hambatan visual, sehingga dapat menentukan alat bantu visual apa yang sesuai
dengan anak tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-
hari, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Pada umumnya,
hubungan kerja sama antara sekolah-sekolah swasta dengan lembaga-lembaga
yang bergerak di bidang tumbuh kembang anak dan kesehatan anak lebih
intensif dibandingkan dengan sekolah-sekolah inklusif negeri. Hal ini
disebabkan karena orang tua anak berkebutuhan khusus di sekolah swasta
sangat peduli terhadap anak-anak mereka. Termasuk kesediaan mereka untuk
membayar lebih besar dari pada yang dibayarkan oleh orang tua dari anak-
anak lainnya.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sekolah sangat dimungkinkan
menurut undang-undang. Sekolah sedapat mungkin harus melibatkan
masyarakat dalam mengelola pendidikan di sekolah tersebut. Baik dalam
pengelolaan yang bersifat akademik maupun non akademik. Namun demikian
peran serta masyarakat tersebut harus dinyatakan secara jelas dalam bentuk
naskah kerja sama. Hal ini diperlukan agar kerja sama antara sekolah dan
masyarakat nampak jelas. Masalah kerja sama ini, merupakan kekurangan
mendasar di sekolah inklusif hampir semua sekolah inklusif. Sekolah inklusif
hampir tidak pernah melakukan kerja sama dengan masyarakat luar sekolah
secara jelas dalam bentuk naskah kerja sama tertulis.
6. Materi sistem layanan pembelajaran
Identifikasi Identifikasi adalah suatu proses yang dilakukan secara
sistematis untuk menemukenali sesuatu benda atau seseorang dengan
menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan khusus
identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang
bersangkutan mengikuti pembelajaran. Proses identifikasi peserta didik
meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau hambatan, dan
kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang
diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk
memaksimalkan potensi yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan
dengan meminimalkan hambatan yang dimilikinya.

Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak


mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan
lain sebagainya. Hasil identifikasi akan menjadi dasar dalam proses
pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan. Identifikasi peserta didik
dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan (screening), pengalihtanganan
(referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan
belajar. Asesmen Asesmen adalah upaya untuk mengetahui kemampuan-
kemampuan yang dimiliki, hambatan/kesulitan yang dialami, mengetahui latar
belakang mengapa hambatan/kesulitan itu muncul dan untuk mengetahui
bantuan apa yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Berdasarkan data hasil
asesmen tersebut dapat dibuat program pembelajaran yang tepat bagi anak itu.
Asesmen dalam pendidikan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu: 1) asesmen berbasis kurikulum (asesmen akademik), dan 2)
asesmen berbasis perkembangan, dan 3) asesmen kekhususan (asesmen non-
akademik). Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi,
dan analisis pekerjaan anak.

Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik itu dapat digunakan
untuk melengkapi data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok pada satu
teknik saja. Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan dengan
peserta didik pada umumnya, baik dalam bidang akademis maupun non
akademis sebaiknya stokeholder melakukan hal-hal sebagai berikut: Peran
guru  Melakukan pendekatan persuasif terhadap peserta didik  Berdiskusi
dengan teman sejawat dan kepala sekolah  Mengkonfirmasikan kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan peserta didik dengan orang tua ketika di rumah.
Peran Orang tua  Berkoordinasi dengan Rumah Sakit (Poli Tumbuh
Kembang Anak)  Berkonsultasi dengan Dokter anak dan atau Psikolog 
Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat Peran
Kepala sekolah  Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa)
terdekat  Melapor kepada Dinas pendidikan setempat  Sekolah membuat
proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi  Proposal diajukan kepada
Dinas Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi dari Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota.

Peran Dinas Pendidikan  Tim verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi


mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan oleh pihak sekolah.  Tim
verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan
tinggi, Organisasi profesi.  Tim verifikasi mengadakan studi kelayakan
kepada sekolah yang telah mengadakan permohonan,  Dinas Pendidikan
Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan inklusi,
bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan
oleh tim verifikasi. Intervensi Layanan intervensi dimaksudkan untuk
menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan, agar mereka dapat
berkembang secara optimal. oleh karena itu target layanan intervensi adalah
perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami
hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sebagai dampak dari
hambatan yang dimilikinya. Intervensi dilakukan setelah dilakukan adanya
hasil asemen diketahui. Penempatan dan Tindak Lanjut Pelaksanaan proses
belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan kegiatan proses
belajar mengajar pada kelas reguler. Namun pada kelas inklusif selain terdapat
peserta didik reguler terdapat pula Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
(PDBK). Di samping menerapkan prinsip-prinsip umum dalam mengelola
proses belajar mengajar maka guru harus memperhatikan prinsip-prinsip
khusus yang sesuai dengan kebutuhan PDBK. Dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan PDBK
yang dipilih berdasarkan hasil asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam
kelas bersama-sama perserta didik lainya adalah cara yang sangat inklusif;
nondiskriminasi dan fleksibel; sehingga guru harus membuat rancangan
kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi
yang dibutuhkan.

Assesemen dan Planning Matrix


Beberapa ahli mengemukakan pengertian asesmen seperti berikut ini:
Lerner (Mulyono, 2001) mengemukakan bahwa assesmen adalah suatu
proses pengumpulan informasi selengkap-lengkapnya mengenai individu
yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang
berhubungan dengan individu tersebut. Selanjutnya Aianscow (Munawir
Yusuf , 2007) menjelaskan bahwa assesmen dilakukan berkenaan dengan
pemberian informasi kepada sejawat (teman guru), pencatatan pekerjaan
yang telah dilakukan oleh anak didik, pemberian bantuan pada guru untuk
merencanakan pembelajaran pada anak, pengenalan terhadap kekuatan dan
kekurangan pada anak dan pemberian informasi kepada pihak-pihak terkait
(seperti orang tua, psikolog, dan para ahli lain) yang membutuhkan
informasi tersebut. Sementara itu secara khusus.
Sementara itu secara khusus Mcloughlin dan lewis (Sunardi dan
Sunaryo, 2007) menjelaskan bahwa asesmen pendidikan anak berkelainan
adalah proses pengumpulan informasi yang relevan dengan kepentingan
anak, yang dilakukan secara sistematis dalam rangka pembuatan keputusan
pengajaran atau layanan khusus. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa
asesmen anak berkebutuhan khusus adalah suatu proses pengumpulan
informasi tentang anak secara menyeluruh yang berkenaan dengan kondisi
dan karakteristik kelainan, kelebihan dan kekurangan sebagai dasar dalam
penyusunan program pembelajaran dan program kebutuhan khusus yang
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak.
Identifikasi dan asesmen merupakan tahapan atau rangkaian kegiatan
dari suatu proses pelayanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus. Identifikasi sering disebut sebagai kegiatan penjaringan, sedangkan
asesmen disebut penyaringan (Direktorat PSLB, 2007). Kegiatan
penjaringan biasanya belum tentu dilanjutkan ke kegiatan penyaringan.
Sementara itu, kegiatan penyaringan sudah tentu dilakukan karena adanya
kegiatan penjaringan.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan identifikasi dapat dilakukan oleh
guru dan pihak lain yang dekat dengan anak, seperti orang tua dan
keluarganya, sedangkan asesmen biasanya perlu melibatkan tenaga
profesional yang ahli dalam bidangnya, seperti psikolog, sosiolog dan
terapist. 2. Jenis asesmen dalam pendidikan khusus a) Asesmen akademik
Asesmen akademik adalah suatu proses untuk mengetahui
kondisi/kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dalam
bidang akademik. Bagi PDBK pada jenjang preeschool, kemampuan
akademik yang perlu digali terkait dengan kemampuan membaca, menulis
dan berhitung.
Sedangkan bagi PDBK pada jenjang pendidikan dasar dan selanjutnya,
kemampuan akademik yang perlu digali adalah terkait dengan semua bidang
studi/mata pelajaran yang diajarkan pada sekolah tersebut. b) Asesmen non-
akademik (kekhususan) Asesmen kekhususan dalam pendidikan khusus
adalah suatu proses untuk mengetahui kondisi PDBK yang berkaitan dengan
jenis hambatan yang disandangnya secara mendalam komprehensif dan
akurat. (Akan dipelajari dalam materi ke 5 pada pertemuan ke 6 tentang
pengenalan program kebutuhan khusus). c) Asesmen perkembangan
Asesmen non akademik/perkembangan ini adalah suatu proses untuk
mengatahui kondisi perkembangan PDBK yang terkait dengan kemampuan
intelektual, emosi, perilaku, komunikasi yang sangat bermanfaat dalam
mempertimbangkan penggunaan metode, strategi maupun pemilihan alat
bantu yang tepat baik dalam penyusunan perencanaan pembelajaran
(akademik) maupun dalam penyusunan program kebutuhan khusus. 3.
Tujuan dan fungsi Tujuan utama kegiatan asesmen adalah memperoleh
informasi tentang kondisi anak, baik yang berkaitan dengan kemapuan
akademik, non akademik dan kekhususan secara lengkap, akurat dan
obyektif. Sedangkan fungsi asesmen dalam kontek ini adalah untuk
membantu guru dan terapis dalam menyusun perencanaan pembelajaran dan
program layanan kebutuhan khusus yang tepat.
Dalam hal ini hasil asesmen dapat difungsikan sebagai kondisi
kemampuan awal (baseline) anak sebelum diberikan layanan baik akademik
maupun program kebutuhan khusus. 4. Sasaran Sejalan dengan tujuan dan
fungsi asesmen seperti diuraikan di atas, maka sasaran asesmen adalah
semua peserta didik yang pada fase identifikasi telah ditetapkan sebagai
peserta didik berkebutuhan khusus. 5. Strategi a) Menetapkan jenis asesmen
yang akan dilakukan (akademik, non-akademik/kekhususan atau
perkembangan) b) Memilih/mengembangkan instrumen asesmen yang tepat
(contoh instrumen terlampir) c) Melakukan asesmen sesuai dengan panduan
yang dipersyaratkan. d) Melakukan tabulasi, klasifikasi dan analisis hasil
asesmen. e) Melakukan case conference terhadap temuan dan hasil analisis
tersebut, untuk menentukan baseline dan penetapan perencanaan
pembelajaran/ program pengembangan/interfensi yang akan dilakukan. f)
Mendokumentasikan semua data hasil asesmen dan kesepakatan hasil case
conference.

Planning Matrix

Program layanan kebutuhan khusus didasarkan pada simpulan hasil


asesmen secara langsung. Hal ini tidak salah namun materi yang
dipergunakan sebagai dasar penyusunan program masih berupa potongan-
potongan simpulan atas hasil asesmen yang telah dilakukan. Quentin Iskov,
Project Officer: Disabilities Department of Education and Children’s
Services (2012) menambahkan satu tahapan lagi sebelum menyusun
program intervensi, yaitu penyusunan planning matrix. Planning matrix
adalah mapping diskripsi tentang kondisi ABK secara individu yang
menggambarkan tentang kondisi actual hambatan karakteristiknya, dampak,
strategi layanan dan media yang diperlukan dalam intervensi. Deskripsi
mapping karakteristik kebutuhan khusus tersebut selanjutnya disusun skala
prioritas yang menggambarkan urutan urgensi masalah yang perlu segera
ditangani.

Oleh sebab itu dengan adanya planning matrix ini, guru pendidikan
khusus menjadi sangat terbantu, karena untuk menetapkan program layanan
kebutuhan khusus, tinggal menyusun program layanan kebutuhan khusus
tersebut sesuai dengan skala prioritas yang telah diperoleh. Pada awalnya
planning matrix ini dibuat untuk anak autis spectrum disorder, namun dalam
perkembangannya, ABK dengan hambatan lainnya juga menjadi sangat
terbantu dengan plaanning matrix ini.

Jenis hambatan/kelainan pada ABK yang selanjutnya dapat


dirumuskan. 2. Tujuan a) Memetakan kondisi aktual akademik maupun
kekhususan ABK berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan b)
Menganalisis dampak dari masing-masing aspek kondisi aktual ABK baik
akademik maupun kekhususannya. c) Menganalisis strategi layanan yang
tepat pada ABK sesuai dengan kondisi dan kebutuhan khusus ABK baik
akademik maupun kekhususannya. 3. Fungsi a) Memudahkan guru/terapis
dalam menetapkan kondisi awal aktual (baseline) ABK baik aspek akademik
maupun kekhususan. b) Membantu guru/terapis dalam mempuan mapping
kondisi ABK secara komprehensif. c) Memudahkan guru/terapis dalam
menetapkan skala prioritas layanan kekhususan yang harus segera dilakukan.
4. Prosedur pengembangan planning matrix a) Mengkategorikan data hasil
asesmen berdasarkan jenis hambatan/ kelaianan ABK. b) Membuat tabel
mapping ABK berdasarkan jenis hambatan/kelainannya sesuai dengan
temuan asesmen. c) Menuangkan temuan kondisi aktual karakteristik ABK
pada tabel mapping yang telah dibuat. d) Menganalisis dampak temuan
kondisi aktual ABK dan dituang pada tabel yang telah dibuat. e)
Menganalisis strategi layanan pada setiap temuan kondisi aktual ABK dan
dituangkan pada tabel yang telah dibuat. f) Menganalisis skala prioritas
layanan berdasarkan berat ringannnya.

a. Penjelasan materi pengenalan program kebutuhan khusus dan sisitem


dukungan
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif para peserta didiknya
memiliki kemampuan yang heterogen, karena peserta didik di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif di samping anak anak umum juga terdapat
anak-anak berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus ini
memiliki keragaman kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau
sensoris neurologis. Pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
yang kemampuan peserta didiknya sangat heterogen, berbeda dengan
pembelajaran di sekolah umum yang memiliki kemampuan homogen. Para guru
umum, pada umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar peserta didik yang
mengalami kelainan atau berkebutuhan khusus, sehingga sering kali mengalami
kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus.
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan maksud agar peserta didik
menguasai kompetensi dasar mata pelajaran. Agar kompetensi dasar dapat
tercapai secara tuntas guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran.
Prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusi secara umum sama dengan
prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya.
Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan
kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas
inklusif di samping menerapkan prinsipprinsip umum pembelajaran juga harus
mengimplementasikan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik anak berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus dirancang
dengan baik, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap individu
peserta didik dan didukung oleh kompetensi pendidik, media, sumber dan
strategi pembelajaran yang memadai, sesuai dengan standar pelayanan. Hal-Hal
Penting dalam Membuat PPI Para guru umum, pada umumnya tidak
dipersiapkan untuk mengajar peserta didik berkebutuhan khusus, sehingga
seringkali mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan
khusus. Beberapa alternatif program pelayanan yang dapat dipilih sesuai
dengan kebutuhan peserta didik di antaranya adalah: a. Layanan pendidikan
penuh, b. Layanan pendidikan yang dimodifikasi, c. Layanan pendidikan
individualisasi
Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik, kemampuan dan karakteristik peserta didik, serta mengacu
kepada kurikulum yang dikembangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
merancang kegiatan pembelajaran pada sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif antara lain seperti di bawah ini. a. Menetapkan tujuan b. Merencanakan
pengelolaan kelas; termasuk mengatur lingkungan fisik dan sosial c.
Menetapakan dan pengorganisasian bahan/materi; topik apa yang ingin
diajarkan kepada peserta didik d. Merencanakan strategi pendekatan kegiatan
pembelajaran; bagaimana bentuk kegiatannya, apakah peserta didik mendapat
kesempatan untuk berperan aktif dalam pembelajaran e. Merencanakan
prosedur kegiatan pembelajaran; bagaimana bentuk dan urutan kegiatannya,
apakah kegiatan itu sesuai untuk semua peserta didik, dan bagaimana peserta
didik mencatat, mendokumentasikan, dan menampilkan hasil belajarnya f.
Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar; sumber belajar mana
yang akan digunakan, media apa yang sesuai dan tidak membahayakan peserta
didik. g. Merencanakan penilaian; bagaimana cara peserta didik telah
menyelesaikan tugasnya dalam suatu proses pembelajaran, dan apa bentuk
tindak lanjut yang diinginkan.
Kegiatan pembelajaran dalam seting inklusif akan berbeda baik dalam
strategi, kegiatan, media, dan metode. Dalam seting inklusif, guru hendaknya
dapat mengakomodasi semua kebutuhan peserta didik di kelas yang
bersangkutan termasuk membantu mereka memperoleh pemahaman yang
sesuai dengan gaya belajarnya masing-masing. Hambatan belajar dapat berasal
dari kesulitan menentukan strategi belajar dan metode belajar lainnya sebagai
akibat dari faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dari
beberapa faktor tersebut.
Sebagai contoh gangguan sensoris seperti hilangnya penglihatan atau
pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukan informasi dari
luar. Disfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius
terhadap konsentrasi. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada model kelas
tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada
model kelas yang lain. Pada model Kelas Reguler, bahan belajar antara anak
luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan; namun
pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar antara peserta didik
luar biasa dengan peserta didik normal biasanya tidak sama, bahkan antara
sesama peserta didik luar biasa pun dapat berbeda.
Merencanakan kegitan pembelajaran dalam pendidikan inklusif yaitu:
(1) melaksanakan pembelajaran yang mengakomodasi kebutuhan semua peserta
didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK), (2) memiliki desain
pembelajaran yang lebih peka dalam mempertimbangkan keragaman peserta
didik agar pembelajarannya relevan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta
didik, (3) melaksanakan asesmen sebelum pelaksanaan pembelajaran yaitu
proses pengumpulan informasi tentang seorang peserta didik yang akan
digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan
dengan peserta didik tersebut, (4) memiliki rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), satuan pendidikan memiliki program pembelajaran individual (PPI)
yang disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik, (5) merancang atau
menyusun bahan ajar yang disesuaikan dengan keberagaman peseta didik, (6)
mampu menggunakan berbagai pendekatan mengajar yang sesuai dengan
kebutuhan semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus,
dan (7) menyediakan layanan program khusus bagi peserta didik yang
mempunyai kebutuhan khusus, termasuk peserta didik yang berkesulitan belajar
atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Berbagai pendekatan dalam kelompok 1. Pembelajaran langsung pada
seluruh kelas Pendekatan ini cocok untuk memperkenalkan berbagai topik.
Guru menyiapkan beberapa pertanyaan untuk dijawab peserta didik sesuai
dengan kemampuannya. Guru dapat menggunakan kelas untuk bercerita atau
menunjukkan karya mereka seperti membuat puisi, lagu, bercerita atau
membuat permainan secara bersama-sama. Guru harus berupaya menciptakan
strategi pembelajaran dengan materi yang sesuai yang dapat mengakomodasi
semua keragaman. Untuk dapat mendorong semua peserta didik aktif, guru
dapat memberikan tugas yang berbeda pada setiap kelompok atau memberikan
tugas yang sama dengan hasil yang diharapkan berbeda. 2. Pembelajaran
Individual Pembelajaran individual diberikan pada peserta didik tertentu untuk
membantu mereka menyelesaikan masalahnya seperti pada peserta didik
berbakat dengan mendorong mereka memberikan tugas yang lebih menantang.
3. Pembelajaran untuk kelompok kecil Guru membagi peserta didik dalam
kelompok kecil dengan menggunakan strategi yang efektif yang dapat
memenuhi semua kebutuhan peserta didik.
Guru dapat mendorong peserta didik agar dapat bekerja lebih kooperatif.
4. Pembelajaran yang kooperatif Pembelajaran yang kooperatif terjadi ketika
peserta didik berbagi tanggungjawab untuk mencapai tujuan bersama. Guru
hendaknya berupaya menghindari pembelajaran yang kompetitif. Dalam
pembelajaran kooperatif, guru memegang peranan penting untuk menciptakan
lingkungan yang mendukung aktivitas belajar sehingga peserta didik merasa
mampu mengatasi permasalahan mereka sendiri dan merasa dihargai.
Pembelajaran yang kooperatif dapat membantu peserta didik meningkatkan
pemahaman dan rasa senang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri,
terhadap kelompoknya, dan terhadap pekerjaannya.
Setiap peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
mengembangkan berbagai keterampilannya seperti peserta didik perempuan
menjadi presenter, dan peserta didik laki-laki menjadi notulis dan kegiatan
lainnya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari aktivitas kerja
kelompok yang kooperatif. Penyusunan Program Pembelajaran Individual
Secara sistematis format identitas, Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar
(KD), Tujuan, Indikator, materi pembelajaran, alat/media dan Penilaian.Guru
kelas atau guru bidang studi di sekolah reguler bersama-sama guru Pendidikan
Luar Biasa (PLB) atau Pendidikan Khusus (PKh) sebelum melaksanakan
kegiatan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus terlebih dahulu
perlu menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam rencana
pembelajaran reguler, modifikasi pembelajaran serta program pengajaran
individual (PPI) untuk anak berkebutuhan khusus.
PPI merupakan rencana pengajaran yang dirancang untuk satu orang
peserta didik yang berkebutuhan khusus atau yang memiliki kecerdasan/bakat
istimewa. PPI harus merupakan program yang dinamis artinya sensitif terhadap
berbagai perubahan dan kemajuan peserta didik, dan disusun oleh sebuah tim
terdiri dari orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran, guru
pendidikan khusus/PLB, dan peserta didik yang bersangkutan yang disusun
secara bersamasama. Idealnya PPI tersebut disusun oleh tim terdiri dari Kepala
Sekolah, Komite Sekolah, Tenaga ahli dan Profesi terkait, orang tua/wali
murid, guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus/PLB, serta
peserta didik yang bersangkutan. Rencana program Pembelajaran Individual
(PPI)diperuntukkan bagi individu yang memang tidak memungkinkan
menggunakan kurikulum reguler maupun modifikasi. Tingkat kebutuhan
pelayanan khususnya termasuk sedang atau agak berat.
Mereka diberikan kurikulum PPI yang dikembangkan oleh tim sekolah,
orangtua, dan profesi lain. Tempat pembelajaran tidak harus di kelas reguler,
dapat di kelas khusus yang ada di sekolah reguler sesuai dengan kemampuan
peserta didik. Proses pembelajaran dan penilaian menggunakan standar yang
berbeda dengan program tambahan. Program Tambahan yang diperlukan
(sesuai kebutuhan) a. Bimbingan Keterampilan khusus sesuai hambatannya
dilaksanakan oleh guru kelas. b. Bimbingan keterampilan khusus sesuai
hambatannya dilaksanakan oleh GPK (di kelas/di luar kelas), c. Bimbingan
akademik di luar kelas (remedial teaching) oleh guru kelas/GPK/ lainnya.
Program pengayaan horisontal oleh guru kelas/ GPK. d. Program
percepatan belajar oleh guru kelas/Bd. Studi dengan SKSProgram
pengembangan bakat istimewa/ keterampilan vokasinal e. Program intervensi
dengan melibatkan profesi lain Di dalam pembuatan PPI penting untuk
memperhatikan prinsip-prinsip dasarnya dan komponen dalam PPI. Adapun
beberap prinsip-prinsip dan komponen tersebut adalah sebagai berikut: a.
Berorientasi pada peserta didik b. Sesuai potensi dan kebutuhan anak c.
Memperhatikan kecepatan belajar masing-masing d. Mengejar ketertinggalan
dan mengoptimalkankemampuan Komponen PPI secara garis besar meliputi: a.
Deskripsi singkat kemampuan peserta didik sekarang, b. Tujuan jangka panjang
(umum) dan tujuan jangka pendek (khusus), c. Rincian layanan pendidikan
khusus dan layanan lain yang terkait, termasuk Seberapa besar peserta didik
dapat berpartisipasi di kelas reguler, d. Sasaran e. Metode f. Ketercapaian
sasaran g. Evaluasi
b. Penjelasan materi sisitem layanan pembelajaran
5. Tindak Lanjut
1. Memenuhi sebagian dari kebutuhan guru pembimbing khusus di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif.
2. Meningkatkan pemahaman guru tentang konsep dan prinsip dasar
penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif.
3. Meningkatkan kompetensi profesional guru dalam praktik layanan
pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif.
4. Meningkatkan kompetensi pedagogik guru dalam melayani anak-anak
berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
5. Meningkatan keterampilan guru dalam praktik pembelajaran bagi peserta
didik berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
6. Dampak
Dampak yang diharapkan dari penyelenggaraan bimbingan teknis
pemenuhan guru pembimbing khusus di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif, antara lain:
1. Terpenuhinya sebagian dari kebutuhan guru pembimbing khusus di
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
2. Meningkatnya pengetahuan dan pemahaman guru tentang filosofi dan
konsep dan prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan inklusif;
3. Meningkatnya sikap positif terhadap keberagaman karakteristik peserta
didik berkebutuhan khusus;
4. Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan guru dalam melakukan
identifikasi dan asesmen bagi PDBK.
5. Meningkatnya keterampilan guru terampil untuk mendeteksi potensi
belajar, hambatan perkembangan, dan kebutuhan belajar PDBK.
6. Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan
penyesuaian (adaptasi) kurikulum, pembelajaran, dan penilaian untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik;
7. Meningkatnya kemampuan merancang dan menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif bagi semua peserta didik sehingga dapat belajar
secara optimal;
8. Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan dalam merancang,
melaksanakan dan mengevaluasi program yang mengakes pendidikan
inklusif; dan
9. Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan untuk membina, memantau
dan mengevaluasi
10. penyelenggaraan pendidikan inklusif

G.Penutup
Laporan ini merupakan acuan umum yang mengingat dalam
pelaksanaan Kegiatan Bimbingan Teknis Pemenuhan Guru Pebimbing Khusus
di sekolah penyelenggara Pendidikan inklusif tahap penguasaan konsep.
Tingkat keberhasilan kegiatan ini sangat bergantung pada pemahaman,
kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguh-sungguh dari segenap unsur
pelaksana proses.

Sejotang, 8 November
2022

Ngatini, S.Pd
NIP.
198102072006042013
LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
Sertifikat peserta bimbingan teknis
LAMPIRAN 2. Surat undangan dan surat tugas kegiatan bintek penguasaan
konsep guru pembimbing khusus

1. Surat undangan dan surat tugas kepala sekolah

2. Surat tugas kepala sekolah


LAPIRAN 3
FOTO FOTO KEGIATAN
LAMPIRAN 4
JADWAL KEGIATAN

Anda mungkin juga menyukai