Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Blok Organisme Patogen adalah blok kesepuluh semester III dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus
sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi kasus yang berkaitan erat dengan
blok kesepuluh yang sedang berjalan ini.

B. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

C. Data Tutorial
Tutor : dr. Budi Santoso, M.Kes

Moderator : Opel Berlin

Sekertaris Meja : Quintiana Ruthie Haris

Sekertaris Papan : Dwi Octaverina Putri

Waktu : 1. Selasa, 23 Agustus 2016


Pukul 07.30 – 10.00 WIB
2. Kamis, 25 Agustus 2016
Pukul 07.30 – 10.00 WIB

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Skenario
An A perempuan usia 6 tahun dibawa ke puskesmas dengan keluhan BAB cair
sedikit-sedikit disertai darah dan lendir, sejak 3 hari yang lalu. Frekuansi BAB
6-10x/hari. Penderita juga mengeluhkan badannya terasa lemah, nyeri perut
serta nyeri disekitar anus waktu defekasi dan demam. Pada pemeriksaan fisik
umum:

Keadaan umum tampak sakit sedang

TD: 100/70, HR: 104x/menit, RR: 24x/menit, temp: 38,7°C

Pemeriksaan fisik khusus:

Kepala: kelopak mata tidak cekung

Abdomen: turgor kulit normal

Pada pemeriksaan laboratorium:

Pemeriksaan darah: leukosit 16000, diff count: 1/0/8/87/20/6

Pemeriksaan urin dalam batas normal.

Pemeriksaan tinja dengan 3 spesimen: ditemukan tropozoit inti 1


dengan RBC didalamnya, pseudopodium dibentuk cepat dengan
pergerakan aktif progresif.

B. Klarifikasi Istilah
1. Lendir: barang cair yang pekat dan licin yang dihasilkan oleh kelenjar pada
selaput lendir menyebabkan permukaan yang dilapisi selalu basah. (KBBI)

2. Nyeri: pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dapat


berkisar dari ketidaknyamanan ringan sampai penderitaan. (kamus kesehatan)

3. Defekasi: pembuangan tinja dari rectum. (Dorland)


2
4. Demam: peningkatan suhu tubuh sementara sebagai respon terhadap penyakit
atau kelainan. Seorang anak dikatakan demam apabila suhunya 38°C diukur
di rektal, 37,5°C di oral dan 37,2°C diukur di axilla. (medline plus)

5. Sakit sedang: suatu keadaan dimana bed rest, lemah, terpasang infus dan alat
medis.

6. Turgor kulit: kemampuan kulit untuk kembali seperti keadaan semula,


normalnya kurang dari 3 detik. (Penn State Health Medical Centre)

7. Diff count: perhitungan jenis leukosit yang ada dalam darah. (scribd.com)

8. Urin dalam batas normal: specimen urin yan dianalisa masih dalam batas
normal. Batasnya ada warna, kejernihan, pH, spesifik graffiti, glukosa,
leukosit, urobilin, keton, darah, protein, RBC, WBC, squamous epitel cell,
yeast.

9. Specimen: sampel kecil atau bagian yang diambil untuk menunjukkan sifat
keseluruhan seperti sejumlah kecil urin untuk analisis. (Dorland)

10. Tropozoit: tahap protozoa yang aktif motil dan dalam tahap perkembangan
pada parasite malaria (Dorland)

11. Pseudopodium: tonjolan temporer sitoplasma amoeba yang berfungsi untuk


bergerak atau menelan makanan. (Dorland)

C. Identifikasi Masalah

No Masalah Konsen

1 An A perempuan usia 6 tahun dibawa ke puskesmas dengan VVV


keluhan BAB cair sedikit-sedikit disertai darah dan lendir, sejak
3 hari yang lalu. Frekuensi BAB 6-10 x/hari.

2 Penderita juga mengeluhkan badannya terasa lemah, nyeri perut VV


serta nyeri disekitar anus waktu defekasi dan demam.

3
3 Pada pemeriksaan fisik umum: V

Keadaan umum tampak sakit sedang

TD: 100/70, HR: 104x/menit, RR: 24x/menit, temp: 38,7°C.

4 Pemeriksaan darah: leukosit 16000, diff count: 1/0/8/87/20/6 V

5 Pemeriksaan tinja dengan 3 spesimen: ditemukan tropozoit inti VV


1 dengan RBC didalamnya, pseudopodium dibentuk cepat
dengan pergerakan aktif progresif.

D. Analisis Masalah
1. An A perempuan usia 6 tahun dibawa ke puskesmas dengan keluhan
BAB cair sedikit-sedikit disertai darah dan lendir, sejak 3 hari yang
lalu. Frekuensi BAB 6-10 x/hari.
a. Organ anatomi apa saja yang terlibat dalam kasus?

4
Colon Ascendens:

● Colon ascendens diperdarahi oleh arteria ileocolica dan arteria colica


dextra yang merupakan cabang arteria mesenterica superior.

● Vena mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena


mesenterica superior.

● Sarafnya berasal dari cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus


vagus) dari plexus mesentericus superior.

Colon Transversum:

● Colon transversum bagian dua per tiga proksimal colon transversum


diperdarahi oleh arteria colica media, cabang arteria mesenterica
superior. Sepertiga bagian distal diperdarahi oelah arteria colica
sinistra, cabang arteria mesenterica inferior.

● Vena mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena


mesenterica superior dan vena mesenterica inferior.

● Persyarafannya pada dua pertiga proksimal colon transversum


dipersarafi oleh saraf simpatis dan nervus vagus melalui plexus
mesentericus superior, spertiga distal dipersarafi oleh saraf simpatis
dan parasimpatis nervi splanchnici pelvic melalui plexus mesentericus
inferior.
5
Colon Descendens dan Sigmoideum:

● Colon ini diperdarahi arteria colica sinistra dan arteriae sigmoideae


yang merupakan cabang arteria mesenterica inferior.

● Vena mengikuti arteri yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica


inferior.

● Colon ini dipersyarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis nervi


splanchnici pelvic melalui plexus mesentericus inferior.

b. Bagaimana histologi organ yang terlibat dalam kasus? (normal dan


abnormal)

Histologi Colon (Normal)

Pada colon mukosa terdiri dari epitel selapis silindris, kelenjar


intestinal, lamina propia, dan muskularis mukosa. Submukosa di
bawahnya mengandung sel dan serat jaringan ikat, berbagai pembuluh
darah dan saraf. Muskularis ekterna dibentuk oleh 2 lapisan otot polos. Di
6
kolon memperlihakan lipatan temporer, di lamina propria dan submukosa
kolon dijumpai nodulus limfoid.

Histologi Colon (Amebiasis)

Pada yang mengalami amebiasis, histologinya terlihat ada ulkus yang


disebabkan oleh tropozoit yang menyerang usus sampai ke submukosa,
menembus muskulus

c. Bagaimana fisiologi organ yang terlibat dalam kasus?

7
Kolon mengabsorpsi air sampai dengan 90% dan juga elektrolit,
sehingga mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat, disebut
feses. Kolon tidak memproduksi enzim, tetapi hanya mukus. Terdapat
sejumlah bakteri pada kolon, yang mampu mencerna sejumlah kecil
selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh. Bakteri juga
memproduksi vitamin K dan juga gas, sehingga menimbulkan bau pada
feses.

Fungsi utama dari rektum ialah untuk mengeluarkan massa feses yang
terbentuk di tempat yang lebih tinggi dan melakukan hal tersebut dengan
cara yang terkontrol.

Propulasi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensi


dinding rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan
oleh sphingter ani externa dan interna. Serabut parasimpatis mencapai
rektum melalui saraf splanchnicus panggul dan menyebabkan terjadinya
kontraksi rektum dan relaksasi sphingter interna. Pada waktu rektum yang
teregang berkontraksi, otot levator ani berelaksasi, sehingga menyebabkan
sudut dan anulus anorektal menghilang. Otot sphingter interna dan
eksterna berelaksasi pada waktu anus tertarik keatas melebihi tinggi masa
feses. Peningkatan tekanan abdomen dihubungkan dengan peristaltik pada
dinding abdomen, menyebabkan keluarnya tinja sehingga terjadi
pengosongan rektum.

8
d. Apa saja faktor yang menyebabkan keluhan tersebut (cair, berdarah,
berlendir)?

Penyakit disentri pada umumnya disebabkan oleh kurangnya menjaga


kebersihan lingkungan hidup, sehingga hal ini akan mengakibatkan
makanan dan minuman yang hendak dikonsumsi menjadi tercemar.
Secara khusus, penyebab disentri dapat dibedakan menjadi 2,yaitu :

- Disentri basiler atau sigelosis yang disebabkan oleh bakteri shigella.


- Disentri amoeba atau amoebiasis yang disebabkan oleh amoeba
(parasit bersel satu) bernama Entamoeba histolytica. Jenis disentri ini
biasanya ditemukan di daerah tropis.

e. Bagaimana mekanisme BAB yang cair, ada darah dan lendir?

Histolitika (trofozoit) → invasi ke sel epitel mukosa usus → produksi


sistein proteinase (amebapain dan histolisin) → nekrosis matriks
protein ekstra sel → invasi ke jaringan submukosa → ulkus amoeba →
ulkus melebar dan saling berhubungan membentuk sinus-sinus
submukosa → Histolitika dikeluarkan bersama tinja (disentri).

f. Berapa frekuensi BAB yang normal?

Beberapa sumber mengatakan hal yang berbeda untuk hal ini. R


Zain-Hamid (2012) dalam jurnalnya mengatakan frekuensi defekasi
yang normal adalah sebanyak 3 sampai 12 kali dalam seminggu.
Namun umumnya frekuensi normal rata-rata per hari dari proses
defekasi sendiri berlangsung 1 kali/hari, dan biasanya terjadi pada pagi
hari.

g. Bagaimana keadaan feses yang normal?

9
Tipe feses mana yang baik?
● Urgensi untuk melakukan defekasi terasa pasti, namun masih dapat
tertahankan
● Sesampainya di toilet, tidak terdapat jeda dalam melakukan defekasi
● Kontraksi dari otot-otot sadar/mengejan tidak dibutuhkan
● Feses dapat meluncur dengan lembut dan nyaman
● Setelahnya terdapat perasaan lega Afterwards
● Setelah semua syarat di atas terpenuhi, yang paling baik dari Skala Feses
Bristol ini adalah tipe 4

Untuk volumenya sendiri, beberapa sumber mengatakan hal yang


berbeda-beda. Royal College of Nursing mengatakan 150-200 gram per
10
harinya. Menurut Keshav (2004) dalam The Gastrointestinal System At
a Glance mengatakan normalnya manusia mengeluarkan sekitar 200–
300 mL/day atau 200–300 g/day tinja per harinya.

h. Bagaimana dampak dari keluhan tersebut apabila tidak diobati?

Dampak jika tidak diobati dapat menimbulkan gejala klinis


berupa: (1) amebiasis intestinal dan (2) amebiasis ekstra-intestinal.
Amebiasis kolon bila tidak diobati akan menjalar keluar dari usus dan
menyebabkan amebiasis ekstra-intestinal. Hal ini dapat terjadi secara
hematogen (melalui aliran darah) atau per kontinuitatum (secara
langsung). Cara hematogen terjadi bila ameba telah masuk submukosa
kemudian ke kapiler darah, dibawa oleh aliran darah melalui vena
porta ke hati dan menimbulkan abses hati. Komplikasi abses hati dapat
berupa penjalaran secara langsung ke pleura dan/atau pericardium,
abses otak dan amebiasis urogenitalis.

2. Penderita juga mengeluhkan badannya terasa lemah, nyeri perut serta


nyeri disekitar anus waktu defekasi dan demam.
a. Bagaimana hubungan keluhan diatas dengan BAB cair sedikit-sedikit
disertai darah dan lendir, dengan frekuensi 6-10x/hari?

● Nyeri sekitar anus waktu defekasi bisa karena adanya anal


fissure atau robekan pada lapisan anus. Anal fissure bisa
disebabkan oleh feces yang keras atau frekuensi BAB berulang
kali (diare). BAB yang disertai darah bisa jadi dikarenakan anal
fissure atau adanya pendarahan di bagian proximal GI.

● Badan terasa lemah bisa karena frekuensi BAB 6-10x/hari atau


An A bisa di indikasikan diare yang dapat menyebabkan
dehidrasi, sehingga An A merasa tubuhnya lemah karena
kekurangan cairan.

● Nyeri perut dan demam diindikasikan adalah gejala klinis yang


ditimbulkan oleh organisme.
11
b. Bagaimana mekanisme defekasi yang normal?

Adanya tinja pada rektum menyebabkan peregangan rektum


yang menginisiasi saraf sensoris rektum untuk menghantarkan impuls
ke segmen sakrum medulla spinalis yang akan mengaktifkan saraf
efferen parasimpatis. Hal ini akan mengakibatkan relaksasi dari banyak
otot polos dari traktus gastrointestinalis, seperti kolon desenden,
sigmoid, rektum, serta anus yang menyebabkan pembesaran diameter
dari traktus tersebut untuk memberikan ruang bagi feses untuk lewat,
serta pembesaran sudut anorektal yang tujuannya sama, yaitu
memberikan ruang bagi feses untuk keluar. Di saat yang sama, jika
keadaan tidak memungkinkan untuk defekasi dan kita menyadari hal
tersebut, impuls dari saraf sensoris tadi juga menstimulasi saraf
motoris otot lurik dari sfingter ani eksternus untuk mempertahankan
kontraksinya, dengan tujuan untuk memperkecil sudut anorektal yang
akan menghalangi jalur keluar dari feses tersebut sehingga refleks
defekasi dapat ditahan untuk beberapa waktu. Bila kontraksi ini terus
dipertahankan sampai refleks defekasi hilang, maka tak akan terjadi
defekasi lagi sampai terjadi peregangan rektum baru yang dimulai dari
masuknya lagi feses baru yang menyebabkan volume dari feses di
rektum meningkat.

12
c. Bagaimana mekanisme demam berdasarkan kasus?

Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah


putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik
berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih
tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen
endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen
endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang
terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat
termoregulasi hipotalamus.

d. Apakah yang menyebabkan nyeri di sekitar anus waktu defekasi?

Nyeri pada anus disebabkan oleh proctitis (atau colitis), dimana tahap-
tahapnya ialah sebagai berikut:

1. Trofozoit menembus lapisan mukosa usus

2. Sel epitel, neutrofil, dan limfosit dikalahkan oleh trofozoit

3. Respon neutrofil terhadap infeksi memperparah kerusakan sel di


daerah invasi
13
4. Nyeri sewaktu defekasi

e. Apa yang menyebabkan nyeri perut?

Nyeri perut terjadi disebabkan karena adanya infeksi yang


menyebabkan peradangan pada colon.

f. Bagaimana mekanisme nyeri perut?

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya


kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan
oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh system sensorik
nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla
spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah
terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser
fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu
perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu
bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas
akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan
yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri
inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan
respon inflamasi.

3. Pada pemeriksaan fisik umum: Keadaan umum tampak sakit sedang;


TD: 100/70, HR: 104x/menit, RR: 24x/menit, temp: 38,7°C.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik?

● Tekanan darah : Normal (100/70)

● Heart rate : Normal (104)

● Respiratory Rate : Normal (24)

● Temp : Abnormal (Demam)

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?

14
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah
putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik
berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih
tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen
endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen
endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin . Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan
meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus.
Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu
patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk
meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan
mekanisme volunteer seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi
peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang
pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang
baru tersebut (Sherwood, 2001).

4. Pemeriksaan darah: leukosit 16000, diff count: 1/0/8/87/20/6


a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan darah?

Pasien menderita leukositosis yang disertai neutrofilia.


Leukositosis adalah suatu keadaan di mana jumlah leukosit dalam

darah melebihi 10.000/ . Sedangkan neutrofilia adalah suatu


keadaan di mana kadar neutrofil segmen dalam darah melebihi 73 %
dan/atau neutrofil batang melebihi 12 %.

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan darah?

Leukositosis dan neutrofilia terjadi karena adanya infeksi bakteri


terhadap tubuh yang menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi.
Neutrofil mengalami reaksi kemotaksis, yang memungkinkan mereka
untuk bermigrasi ke arah situs infeksi atau peradangan. Reseptor
permukaan sel neutrofil memungkinkan untuk mendeteksi gradien
15
kimia dari molekul seperti interleukin-8 (IL-8), interferon gamma
(IFN-gamma), dan C5a, yang sel-sel ini digunakan untuk mengarahkan
jalur migrasi mereka.Apabila sel polimorfonuklear mengalami
peningkatan berarti terjadi infeksi akut.

5. Pemeriksaan tinja dengan 3 spesimen: ditemukan tropozoit inti 1


dengan RBC didalamnya, pseudopodium dibentuk cepat dengan
pergerakan aktif progresif.
a. Apa nama organisme yang ditemukan dalam pemeriksaan tinja?
Jelaskan hubungannya dengan kasus?

Organisme yang ditemukan dalam pemeriksaan tinja adalah


Entamoeba histolytica. Ciri khas dari E. histolityca yang
membedakannya dengan amoeba usus yang lain adalah dalam
endoplasmanya sering ditemui sel darah merah dalam berbagai tingkat
kerusakan.

Selain itu hubungan antara Entamoeba histolytica dengan


penyakit diare sangat erat. Entamoeba histolytica dapat menyebabkan
penyakit diare amoeba. Diare yang terjadi berupa diare disertai darah
dan lendir, dapat terjadi hingga 10 kali/hari. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikeluhkan An. A.

Taksonomi Entamoeba histolytica :


Kingdom : Protista
Filum : Sarcomastigophora
Kelas : Rhizopoda
Ordo : Amoebida
Genus : Entamoeba
Spesies : Entamoeba histolytica

b. Bagaimana morfologi dari organisme pada kasus?

16
Entamoeba hystolytica

Histolytica:

Stadium tropozoit, Berukuran 20-40 mikron, Extoplasma tampak


bening dan homogeny, Ektoplasma terletak di bagian tepi sel,
Pseudopodia yg dibentuk extoplasma besar seperti daun, dibentuk
mendadak, gerakan cepat, Endoplasma mengandung eritrosit,
Endoplasma tidak mengandung bakteri atau sisa-sisa makanan,

17
Pathogen, Penyebarannya pada jaringan usus besar, hati, paru,
otak,kulit, dan vagina, Berkembang biak dengan belah pasang.

Minuta:

Stadium tropozoit, 10-20 mikron, extoplasma tidak nyata dan


hanya tampak bila terbentuk pseudopodium, Pseudopodium terbentuk
perlahan-lahan, gerakan lambat, Tidak mengandung eritrosit,
Mengandung bakteri dan sisa-sisa makanan, Komensal, kadang-kadang
berubah menajdi pathogen, Penyebarannya pada Rongga usus besar,
Berkembang biak dengan belah pasang.

Mekanisme terbentuk pseudopodium:

Kaki yang digunakan untuk tubuh amoeba disebut pseudopodia.


Kaki Amoeba ini bergerak dengan tiga cara yaitu lobopodia, filopodia,
dan retuculopodia.

Bukan hanya bergerak, amoeba juga menggunakan


pseudopodianya untuk memakan mikroorganisme lain seperti alga,
bakteri dan lainnya.

Pseudopodia sendiri adalah bagian sitoplasma tubuh amoeba.


Pergerakan amoeba ini disebut amoeboid dengan menyesuaikan
viskositas tubuh amoeba itu sendiri (sesuai dengan teori sol-gel).

c. Bagaimana siklus hidup dan penyebaran dari organisme pada kasus?

18
19
Daur hidup dari entamoeba usus hampir sama. Bentuk yang
infektif yaitu ketika dalam bentu kista. Setelah kista tertelan maka kista
akan mengalami ekskistasi di ileum dan setelah kista mengalami
ekskistasi maka 4 inti yang berada di dalam kista akan menjadi 8
trofozoit. Dalam siklus trofozoit ini maka akan terus membelah secara
biner. Stadium trofozoit ini sangat patogen dan invasif pada jaringan
usus besar. Pada stadium ini trofozoit memasuki submukosa dengan
menembus lapisan muskularis mucosae dan lama-kelamaan akan
melisiskan jaringan usus dan dapat menginvasi hati melalui aliran
darah yang dapat menyebabkan apses hati dan dapat menyebar ke
beberapa organ lainnya. Bila keadaan tidak lagi mendukung trofozoit
untuk hidup maka trofozoit akan berubah menjadi prekista yang berinti
satu dan akhirnya akan menjadi berinti 4 dan akan keluar bersama
tinja.

Kista Entamoeba histolytica mampu bertahan di tanahyang


lembab selama 8-12 hari, di air 9-30 hari, dan di air dingin (4ºC) dapat
bertahan hingga 3 bulan. Kista akan cepat rusak oleh pengeringan dan
pemanasan 50ºC. Makanan dan minuman dapat terkontaminasi oleh
kista melalui cara-cara berikut ini :
20
1. Persediaan air yang terpolusi,
2. Tangan infected food handler yang terkontaminasi,
3. Kontaminasi oleh lalat dan kecoa,
4. Penggunaan pupuk tinja untuk tanaman,
5. Higiene yang buruk, terutama di tempat-tempat dengan populasi
tinggi, seperti asrama, rumah sakit, penjara, dan lingkungan
perumahan.

Penularan yang berlangsung melalui hubungan seksual


biasanya terjadi di kalangan pria homoseksual. Perbedaan antara
Entamoeba hystolityca dan Entamoeba coli yaitu pada E. histolytica
bersifat invasif dan patogen sedangkan E. coli bersifat apatogen dan
tidak ada siklus ekstraintestinal.

d. Bagaimana patogenesis dari organisme di kasus ini?

21
Bentuk histolitika memasuki mukosa usus besar yang utuh dan
mengeluarkan enzim yang dapat menghancurkan jaringan. Enzim ini
yaitu cystein proteinase yang disebut histolisin. Lalu bentuk histolitika
masuk ke submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukosae.
Di submukosa ini, bentuk histolitika akan membuat kerusakan yang
lebih besar daripada di mukosa usus.

Akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus amoeba. Bila terdapat


infeksi sekunder, maka terjadi peradangan. Proses ini dapat meluas di
submukosa bahkan sampai sepanjang sumbu usus. Bentuk histolitika
banyak ditemukan di dasar dan dinding ulkus. Dengan peristaltis usus,
bentuk ini dikeluarkan bersama isi ulkus rongga usus kemudian
menyerang lagi mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama
tinja. Tinja ini disebut disentri, yaitu tinja yang bercampur lendir dan
darah.

22
e. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tinja dengan 3 spesimen?

Dalam pemeriksaan tinja dianjurkan dengan menggunakan 3


spesimen karena pada spesimen pertama dan kedua mengalami
peningkatan diagnosis sehingga dilakukan spesimen ketiga. Pada
pemeriksaan tinja untuk mengidentifikasi adanya trofozoit digunakan
alkohol polivinil.

f. Bagaimana manifestasi klinis dari infeksi organisme pada kasus?

Manifestasi klinis yang terjadi pada infeksi entamoeba


histolityca adalah amebiasis intestinal dan amebiasis ekstra-intestinal.

1. Amebiasis intestinal (amebiasis usus, amebiasis kolon) terdiri atas :

a. Amebiasis kolon akut

Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan


diare yang dapat berupa tinja cair, tinja berlendir atau tinja
berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10x per hari.
Ditemukan demam, tidak nafsu makan sehingga berat badan
menurun. Pada stadium akut, di tinja dapat ditemukan darah,
dengan sedikit leukosit serta stadium trofozoit E. Histolytica.

b. Amebiasis kolon menahun

Amebiasis kolon menahun memiliki gejala yang tidak begitu


jelas. Rasa tidak enak di perut, diare yang diselingi obstipasi
(sembelit). Dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara
periodik. Dasar penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus
mengaung, disebut juga kolitis ulserosa amebik. Pada
pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit sulit ditemukan,
karna sebagian besar parasit sudah masuk ke jaringan usus.

Amebiasis kolon bila tidak diobati akan menjalar keluar dari


usus dan menyebabkan amebiasis ekstra-intestinal.

23
2. Amebiasis ekstra-intestinal

Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang


paling sering ditemukan. Penderita memperlihatkan gejala demam,
batuk dan nyeri perut kwadran kanan atas. Terdapat juga nyeri
pleura kanan. Pada 10-35% pendeita dapat ditemukan gangguan
hastrointestinal berupa mual, munah, kejang otot perut, perut
kembung, diare dan konstipasi. Dapat ditemukan hepatomegali.
Dapat menyebar sehingga terjadi abses pada otak maupun paru.
Dapat juga menyebabkan amebiasis urogenitalis, amebiasis rektum
, amebiasis perianal, serta amebiasis vagina.

g. Bagaimana prognosis dan pengobatan pada kasus?

Infeksi amuba dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan


sementara menyebabkan kematian variabel. Dalam hal kematian
protozoa terkait, amebiasis adalah yang kedua setelah malaria. Tingkat
keparahan amebiasis meningkat pada kelompok berikut:
- Anak-anak, terutama neonates
- Wanita hamil dan pasca melahirkan
- Individu yang menggunakan kortikosteroid
- Individu dengan keganasan
- Individu yang kekurangan gizi
Infeksi usus karena amebiasis umumnya merespon dengan baik
untuk terapi yang tepat, meskipun harus diingat bahwa infeksi dan
pengobatan sebelumnya tidak akan melindungi terhadap penjajahan
masa depan atau amebiasis invasif berulang. Asimtomatik amebiasis
usus terjadi pada 90% dari orang yang terinfeksi. Namun, hanya 4% -
10% dari individu dengan amebiasis tanpa gejala yang dipantau selama
1 tahun akhirnya dikembangkan kolitis atau penyakit ekstraintestinal.
Dengan diperkenalkannya pengobatan yang efektif, angka kematian
turun di bawah 1% untuk pasien dengan tanpa komplikasi amebic
abses hati. Namun, amebic abses hati dapat menjadi rumit oleh ruptur

24
intraperitoneal (2-7% dari pasien), dan komplikasi ini mengarah ke
kematian lebih tinggi.
Tingkat fatalitas kasus yang terkait dengan kolitis amebic
berkisar dari 1,9% menjadi 9,1%. kolitis amebic berkembang untuk
kolitis necrotizing fulminan atau pecah di sekitar 0,5% dari kasus;
dalam kasus tersebut, Mei kematian melebihi 40% [39] atau bahkan,
menurut beberapa laporan, 50%. amebiasis pleuropulmonary memiliki
tingkat kematian 15-20%. perikarditis amuba memiliki tingkat fatalitas
kasus dari 40%. amebiasis Cerebral membawa kematian yang sangat
tinggi (90%).
Sebuah studi dari 134 kematian di Amerika Serikat 1990-2007
menemukan kematian yang tertinggi pada pria, Hispanik, Asia /
Kepulauan Pasifik, dan orang-orang berusia 75 tahun atau lebih. [19]
Hubungan dengan infeksi HIV juga diamati. Meskipun kematian
menurun selama penelitian, lebih dari 40% terjadi di California dan
Texas. Orang AS kelahiran menyumbang mayoritas kematian
amebiasis; Namun, semua kematian di Asia / Kepulauan Pasifik dan
60% dari kematian di Hispanik yang pada individu asing kelahiran.

h. Bagaimana tindakan preventif untuk mencegah infeksi dari organisme


pada kasus?

1) Menjaga kebersihan dan sanistasi lingkungan agar selalu bersih


2) Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi
dan daging ikan), buah dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan
air.
3) Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman. Jika minum
air yang tidak dimasak, dalam hal ini air minum kemasan
hendaknya diperhatikan tutup botol atau gelas yang masih tertutup
rapi dan tersegel dengan baik.
4) Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci
tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar.

25
5) Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak
menjadikan tinja segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan
tangki septik, agar tidak mencemari sumber air.
6) Menutup dengan baik makanan dan minuman dari kemungkinan
kontaminasi serangga (lalat, kecoak), hewan pengerat (tikus),
hewan peliharaan (anjing, kucing) dan debu.
7) Membuang kotoran, air kotor dan sampah organik secara baik
dengan tidak membuangnya secara sembarangan.
8) Menghindari pemupukan tanaman dengan kotoran manusia dan
hewan. Jika menggunakan pupuk kandang dan kompos, pastikan
bahwa kondisi pupuk kandang atau kompos tersebut benar-benar
kering.
9) Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin
diadakan pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak
yang terinfeksi parasit dan mengobatinya dengan obat cacing.
10) Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan
berobat ke rumah sakit.
11) Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala
sama sekali, tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang
lain, dan telur cacing akan secara sporadik keluar dari tubuh
bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan,
maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.
12) Sebaiknya jauhilah orang yang sedang terinfeksi penyakit disentri
karena biasanya penyakit disentri sangat mudah sekali menular.
13) Kotoran manusia atau tinja yang mengkontaminasi pakaian harus
segera dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan air
hangat .Sesudahnya tempat cuci dan alat-alat untuk mencuci harus
dibersihkan denagn desinfektan.
14) Jika kita terinfeksi bakteri penyebab disentri,sebaiknya jangan
menyiapkan makanan untuk orang lain karena bakteri dapat
terkontaminasi ke makanan dan dapat menular kepada orang lain.

26
i. Bagaimana cara penegakkan diagnosis pada organisme?

Entamoeba Histolytica

1) Pemeriksaan Mikroskopik

Adanya sel darahmerah dalam sitoplasma E. Histolytica stadium


trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasi amebiasis yang
hanya disebabkan oleh E. Histolytica. Selain itu, motilitas
stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20-30 menit.
Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan
dalam pengawet polyvinyl alcohol (PVA) atau pada suhu 4ᵒC

2) Pemeriksaan Serologi untk Mendeteksi Antibodi

Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi


seperti IHA, lateks aglutinasi, counter immune electro phoresis,
gel diffusion test, uji komplemen, dan ELISA. Biasanya
merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan
alternatif karena lebih cepat, sederhana dan juga lebih sensitif.
Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat dideteksi dalam
waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada penderita
kolitis maupun abses hati amoeba. Walaupun demikian, hasil
pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari
previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada
minggu pertama sampai minggu ketiga pada seorang penderita
kolitis amoeba.

3) Deteksi Antigen

Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam


tinja, serum, cairan abses, dan air liur penderita. Hal ini dapat
dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan
dengan teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah.
Deteksi antigen pada tinja merupakan teknik yang praktis,
sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amoebiasis intestinalis.
27
Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi
pengawet akan menyebabkan denaturasi antigen, sehingga hasil
yang false negatif. Oleh karena itu, syarat melakukan ELISA
pada tinja seseorang yang diduga menderita amoebiasis intestinal
adalah tinja segar atau disimpan dalam lemari pendingin.

4) Polymerase Chain Reaction

Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang


sebanding dengan deteksi antigen pada tinja penderita amoebiasis
intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang diperlukan lebih
lama, tekniknya lebih sulit dan juga mahal. Untuk penelitian
polimorfisme E.histolytica, teknik PCR merupakan metode
unggulan. Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif
biasanya ditetapkan dengan kombinasi pemeriksaan mikroskopik
tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan
kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan
abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding abses.
Berbagai penelitian memperlihatkan rendahnya sensitivitas
pemeriksaan mikroskopik dalam mendiagnosis amoebiasis
intestinal atau abses hati amoeba. Metode deteksi anti gen atau
PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk
menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, syarat untuk
melakukan uji ini perlu diperhatikan. Selain itu pemeriksaan
mikroskopik tetap dilakukan untuk menyingkirkan infeksi
campuran dengan mikroorganisme lain baik parasit maupun non-
parasit.

Entamoeba Coli

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan stadium trofozoit


atau stadium kista dalam tinja

Entamoeba Hartmani

28
Diagnosis dengan menemukan stadium trofozoit atau kista di
tinja. Masalah yang dihadapi pada penegakan diagnosis E. hartmani
ialah ia merupakan jenis ameba pertama yang dianggap paling kecil
dibanding dengan E. histolytica. Pada pemeriksaan lansung sangat
sukar dibedakan morfologinya, oleh karena itu dianjurkan ntuk
dilakukan pemeriksaan dengan perwarnaan trikrom.

Entamoeba Gingivalis

Diagnosis dilakukan berdasarkan pemeriksaan lansung air liur,


usap gigi, dan plak gigi

j. Bagaimana epidemiologi dari organisme pada kasus?

Amebiasis terdapat di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi


terutama di daerah tropik dan subtropik, terutama di negara yang
keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio-ekonominya buruk. Di
Indonesia, amebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemi.
Prevalensi E. Histolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10% -
18 %. Di RRC, Mesir, India, dan Belanda berkisar 10,1 % - 11,5 %; Di
Eropa Utara 5 – 20 %, di Eropa Selattan 20-51 %, dan di Amerika
Serikat 4 %- 21 %. Di Meksiko prevalensi ditemukan 11 % pada
kelompok umur 5 – 9 tahun, sedangkan di Bangladesh 30 % pada
kelompok 2- 5tahun.

E. Sintesis

Topik What I don’t What I have to How I Will


What I Know
Pembelajaran Know Prove Learn
Anatomi Colon • Topografi colon • Bagian colon
yang - -Journal
terganggu - Text book
Histologi • Epitel penyusun • Gambaran - Pakar
Colon colon histopatologi - Internet
colon -

29
berhubungan
dengan kasus
Fisiologi Colon • Fungsi colon • Patofisiologi
colon
berhubungan -
dengan kasus
Defekasi • Definisi Defekasi Normal Defekasi

(Normal & • Frekuensi • Mekanisme, Abnormal

Abnormal) normal • Keadaan • Pengobatan


feses • Tatalaksana
• Organ yang
terlibat
Defekasi
Abnormal
• Penyebab
disentri
• Mekanisme
disentri
• Komplikasi
disentri
Demam • Definisi • Penyebab • Mekanisme
• Komplikasi
Nyeri Perut • Definisi • Mekanisme
• Organ yang -
terlibat
Nyeri anus • Definisi • Mekanisme
• Organ yang -
terlibat
Pemeriksaan • Vital Sign • Nilai normal • Mekanisme
Fisik vital sign terjadinya
abnormalitas
Pemeriksaan • Komponen • Lokasi • Diffrential
30
Darah Darah pengambilan count
• Waktu
pengambilan
• Cara
pengambila
• Nilai normal
kandungan
komponen
dalam darah
Pemeriksaan • Warna Tinja • Teknik
Tinja Normal pemeriksaan
• Bentuk tinja -
normal
• Komponen
Tinja
Pemeriksaan • Warna urin • Teknik
Urin normal pemeriksaan
• Komponen -
urin
Entamoeba • Parasit yang • Taksonomi • Prognosis
termasuk • Morfologi • Komplikasi
• Siklushidup
entamoeba • Pengobatan
• Patogenesis
• Manifestasi • Tatalaksana
klinis

1. Anatomi Colon

31
a. Colon Ascenden
Colon ascendens membentang keatas dari caecum sampai permukaan
inferior lobus hepatis dexter. Peritoneum meliputi bagian depan dan samping
colon ascendens dan menghubungkan colon ascendens dengan dinding
posterior abdomen. Colon ascendens diperdarahi oleh arteria ileocolica dan
arteria colica dextra yang merupakan cabang arteria mesenterica superior.
Vena mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica
superior. Pembuluh limfe mengalirkan cairan ke nodal lymphoidei yang
terletak sepanjang perjalanan arteria, vena colica dan akhirnya mencapai nodi
32
mesenterici superiors. Sarafnya berasal dari cabang saraf simpatis dan para
simpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior.
b. Colon Transversum
Colon transversum mulai dari flexura coli dextra di bawah lobus
hepatis dexter dan tergantung kebawah oleh mesocolon transversum dari
pancreas. Kemudian colon transversum berjalan ke atas sampai flexura coli
sinistra di bawah lien. Flexura coli sinistra lebih tinggi dari pada flexura coli
dextra dan digantung ke diafragma oleh ligament tumphreni cocolicum. Colon
transversum bagian dua per tiga proksimal colon transversum diperdarahi oleh
arteria colica media, cabang arteria mesenterica superior. Sepertiga bagian
distal diperdarahi oleh arteria colica sinistra, cabang arteria mesenterica
inferior. Vena mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena
mesenterica superior dan vena mesenterica inferior. Cairan limfe dari dua
pertiga proksimal colon transversum dialirkan ke nodi colici dan kemudian
kedalam nodi mesenterici superiors. Sedangkan cairan limfe dari sepertiga
distal colon transversum dialirkan ke dalam nodi colici dan kemudian ke
dalam nodi mesenterici inferiores. Persyarafannya pada dua pertiga proksimal
colon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis dan nervus vagus melalui
plexus mesentericus superior, spertiga distal dipersarafi oleh saraf simpatis
dan parasimpatis nervis planchnici pelvic melalui plexus mesentericus
inferior.
c. Colon Descendens dan Sigmoideum
Colon ini berjalan kebawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir
pelvis. Pertitoneum meliputi permukaan depan dan sisi-sisinya serta
menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen. Colon ini diperdarahi
arteria colica sinistra dan arteriae sigmoideae yang merupakan cabang arteria
mesenterica inferior. Vena mengikuti arteri yang sesuai dan bermuara ke ven
amesenterica inferior. Cairan limfe dialirkan ke nodilymphoidei colici dan
nodi mesenterici inferiors yang terletak sekitar pangkal arteria mesenterica
inferior. Colon ini dipersyarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis nervis
planchnici pelvic melalui plexus mesentericus inferior.

2. Histologi Colon
33
Pada colon mukosa terdiri dari epitel selapis silindris, kelenjar intestinal,
lamina propia, dan muskularis mukosa. Submukosa di bawahnya mengandung sel
dan serat jaringan ikat, berbagai pembuluh darah dan saraf. Muskularis ekterna
dibentuk oleh 2 lapisan otot polos. Di kolon memperlihakan lipatan temporer, di
lamina propria dan submukosa kolon dijumpai nodulus limfoid.
Pada yang mengalami amebiasis, histologinya terlihat ada ulkus yang
disebabkan oleh tropozoit yang menyerang usus sampai ke submukosa, menembus
muskulus.

34
Patogenesis Entamoeba
Entamoeba histolytica berkontak dengan sel epitel kolon pada stadium
tropozoit, melalui antigen Gal/GalNac-lectin yang terdapat pada permukaan
stadium tropozoit. Antigen terdiri dari 2 kompleks disulfide dengan berat molekul
masing-masing 170 kDa dan 35/31 kDa. Kedua rantai tersebut dihubungkan
dengan protein 150 kDa. Sel epitel usus yang berikatan dengan stadium tropozoit
Entamoeba akan menjadi immobile dalam waktu beberapa menit, kemudian
granula dan struktur sitoplasma menghilang yang diikuti dengan hancurnya inti sel.
Proses ini diakibatkan amoebapores. Amoebapores terdiri atas tiga rangkaian
peptide rantai pendek dan dapat membuat pori-pori pada lipid bilayer.
Invasi amoeba ke dalam jaringan ekstra sel terjadi melalui sistein proteinase
yang dikeluarkan stadium tropozoit parasit. Disini agen infeksi dapat merangsang
terbentuk prostaglandin di dalam hipotalamus sehingga terjadi demam. Sistein
proteinase terdiri dari amebapain dan histolisin akan melisiskan matriks protein
ekstra sel dan masuk ke jaringan submukosa. Tropozoit yang masuk ke submukosa
menembus lapisan muskularis mucosae, bersarang di lapisan submukosa dan
merusak mukosa usus yang menyebabkan ulkus ameba. Proses yang terjadi adalah
nekrosis dan lisis jaringan, jika terjadi infeksi sekunder akan terjadi peradangan.
Peristaltik usus menyebabkan tropozoit keluar bersama ulkus. Tropozoit dapat
menyerang sel mukosa sehat yang lain atau keluar bersama tinja. Ulkus yang
keluar bersama tinja menyebabkan rasa nyeri pada anus (tenesmus) dan munculnya
darah dan lender pada tinja.

35
3. Fisiologi Colon dan Rektum

Kolon mengabsorpsi air sampai dengan 90% dan juga elektrolit, sehingga
mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat, disebut feses. Kolon tidak
memproduksi enzim, tetapi hanya mukus. Terdapat sejumlah bakteri pada kolon,
yang mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien
bagi tubuh. Bakteri juga memproduksi vitamin K dan juga gas, sehingga
menimbulkan bau pada feses.
Fungsi utama dari rektum ialah untuk mengeluarkan massa feses yang
terbentuk di tempat yang lebih tinggi dan melakukan hal tersebut dengan cara
yang terkontrol.

Propulasi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensi dinding


rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh sphingter
ani externa dan interna. Sphingter interna dikendalikan oleh sistem saraf otonom,
sedangkan sphingter eksterna dikendalikan oleh sistem saraf voluntary. Refleks

36
defekasi terintegrasi pada medula spinalis segmen sakral kedua dan keempat.
Serabut parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splanchnicus panggul dan
menyebabkan terjadinya kontraksi rektum dan relaksasi sphingter interna. Pada
waktu rektum yang teregang berkontraksi, otot levator ani berelaksasi, sehingga
menyebabkan sudut dan anulus anorektal menghilang. Otot sphingter interna dan
eksterna berelaksasi pada waktu anus tertarik keatas melebihi tinggi masa feses.
Defekasi dipercepat dengan tekanan intraabdomen yang meningkat akibat
kontraksi voluntar otot dada dengan glotis yang tertutup, dan kontraksi otot
abdomen secara terus-menerus. Peningkatan tekanan abdomen dihubungkan
dengan peristaltik pada dinding abdomen, menyebabkan keluarnya tinja sehingga
terjadi pengosongan rektum.

4. Defekasi

a. Defekasi Normal

Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk
hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang
berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).
Karakteristik Feses Normal

Kemungkinan
Karakteristik Normal Abnormal
Penyebab

Warna Dewasa : Kecoklatan Pekat / putih Adanya pigmen


empedu, pemeriksaan
Bayi : Kekuningan diagnostik
Warna tinja yang menggunakan barium
dibiarkan diruangan
Hitam Pendarahan bagian
pada udara menjadi
atas GI
lebih tua karena
terbentuknya lebih Merah Pendarahan bagian

banyak urobilin dari bawah GI (seperti:

urobilinogen yang rektum)


Terjadi Hemoroid,

37
dieksresikan lewat usus. pendarahan

Pucat dengan Malabsorbsi lemak,


lemak diet tinggi susu dan
produk susu dan
rendah daging.

Orange atau Infeksi usus


hijau

Lendir darah Darah pada feses dan


infeksi

Konsistensi Berbentuk, lunak, agak Keras dan kering Dehidrasi, penurunan


cair/ lembek, basah. motilitas usus akibat
kurangnya serat,
kurang latihan,
gangguan emosi dan
laksantif abuse >>
konstipasi

Cair Peningkatan motilitas


usus (misalnya akibat
iritasi kolon oleh
bakteri) >> diare,
kekurangan absorpsi

Bentuk Silinder (bentuk Mengecil, bentuk Kondisi abstruksi


rektum), sosis pensil atau rektum
seperti benang

Jumlah Tergantung diet (100- - -


400 gr/hari)

Bau Aromatik : dipengaruhi Tajam, pedas Sumber bau tak enak


oleh makanan yang yang keras, berasal
dimakan dan flora dari senyawa indole,
38
bakteri skatol, hydrogen
sulfide dan amine,
diproduksi oleh
pembusukan protein
oleh bakteri perusak
atau pembusuk. Bau
menusuk hidung tanda
terjadinya peningkatan
kegiatan bakteria yang
tidak kita kehendaki.

Unsur pokok Air (75%), sisanya Pus Infeksi bakteri


bahan padat yang terdiri Mukus Kondisi peradangan
dari 30% bakteri mati, Parasit Perdarahan GI
10-20% lemak, 10-20% Darah
bahan anorganik, 2-3%
Lemak dalam Malabsorbsi
protein, dan serat
jumlah besar
makanan yang tidak
tercerna serta unsur- Benda asing Salah makan

unsur dari getah


pencernaan, seperti
pigmen empedu dan sel-
sel yang terlepas.

Frekuensi Tidak ada aturan normal Lebih dari 6x Hipomotility


dalam frekuensi dalam sehari
defekasi, namun Kurang dari Hipermotility
biasanya berkisar 3x sekali seminggu
sehari sampai 3x
seminggu.

39
● Feces yang ideal umumnya adalah tipe 3 atau 4 karena mudah keluar (tidak
keras) dan tidak terlalu cair.
● Apabila feces type 1 or 2, diindikasikan konstipasi.
● Tipe 5, 6 & 7 cenderung mengarah ke diare.

Mekanisme Defekasi Normal

Adanya tinja pada rektum menyebabkan peregangan rektum yang menginisiasi


saraf sensoris rektum untuk menghantarkan impuls ke segmen sakrum medulla
spinalis yang akan mengaktifkan saraf efferen parasimpatis. Hal ini akan
mengakibatkan relaksasi dari banyak otot polos dari traktus gastrointestinalis,
seperti kolon desenden, sigmoid, rektum, serta anus yang menyebabkan
pembesaran diameter dari traktus tersebut untuk memberikan ruang bagi feses
untuk lewat, serta pembesaran sudut anorektal yang tujuannya sama, yaitu
40
memberikan ruang bagi feses untuk keluar. Di saat yang sama, jika keadaan tidak
memungkinkan untuk defekasi dan kita menyadari hal tersebut, impuls dari saraf
sensoris tadi juga menstimulasi saraf motoris otot lurik dari sfingter ani eksternus
untuk mempertahankan kontraksinya, dengan tujuan untuk memperkecil sudut
anorektal yang akan menghalangi jalur keluar dari feses tersebut sehingga refleks
defekasi dapat ditahan untuk beberapa waktu. Bila kontraksi ini terus
dipertahankan sampai refleks defekasi hilang, maka tak akan terjadi defekasi lagi
sampai terjadi peregangan rektum baru yang dimulai dari masuknya lagi feses baru
yang menyebabkan volume dari feses di rektum meningkat.

b. Defekasi Abnormal
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang
lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih
dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan
muntah atau tinja yang berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak
balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa
mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang, 2004).
1. Faktor Penyebab Penyakit Disentri
Penyakit disentri pada umumnya disebabkan oleh kurangnya menjaga
kebersihan lingkungan hidup, sehingga hal ini akan mengakibatkan makanan dan
minuman yang hendak dikonsumsi menjadi tercemar. Secara khusus, penyebab
disentri dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: Disentri Basiler dan Disentri Amoeba.

41
Disentri Basiler disebabkan oleh infeksi bakteri golongan shigella. Pada
umumnya bakteri ini menyerang secara tiba-tiba, 2 hari setelah kemasukan
kuman/bakteri shigella tersebut. Adapun gejalanya adalah demam, mual, muntah-
muntah, serta diare dan nafsu makan menjadi menurun. Apabila tidak segera
diatasi dengan baik, maka dalam waktu 2 sampai 3 hari pasien akan
mengeluarkan darah, lender atau nanah dalam fesesnya. Penderita disentri ini
akan membuang feses 20-30 kali dalam sehari hingga badannya menjadi lemas,
kurus, serta mata menjadi cekung karena dehidrasi. Jika dibiarkan, maka akan
menyebabkan kematian.
Disentri Amoeba dikarenakan infeksi parasit Entamoeba Hystolystica
yang hidup dalam usus besar. Parasit tersebut memiliki 2 bentuk, yaitu bentuk
yang bergerak dan bentuk yang tidak bergerak. Parasit yang tidak bergerak
umumnya tidak menimbulkan gejala, namun untuk parasit yang bergerak sendiri
bisa menyerang dinding usus pasien dan mengakibatkan mulas, perut kembung,
suhu tubuh meningkat, diare yang bercampur darah dan lendir. Sifat-sifat yang
khas pada disentri amoeba adalah:
1. Volume tinja pada setiap kali buang air besar pada disentri amoeba lebih
banyak
2. Bau tinja yang menyengat
3. Warna tinja umumnya merah tua dengan darah dan lendir tampak bercampur
dengan tinja
Umumnya disentri amoeba ini dapat dikenali dengan ciri diantaranya: (1)
rasa nyeri dan kram di perut (kolik); (2) rasa sakit ketika BAB (tenesmus) dan (3)
terkadang feses yang keluar bercampur darah dan berlendir yang sering berbau
busuk.
2. Mekanisme Disentri
Infeksi atau peradangan usus yang disebabkan oleh adanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan diare semakin parah. Bakteri tersebut bila
terus hidup dan berkembang biak dalam usus akan merusak dinding usus besar
dan menyebabkan usus menjadi luka, infeksi dan mengalami perdarahan ulserasi.
Cara kerjanya yaitu sebagai berikut: Bentuk histolitika memasuki mukosa
usus besar yang utuh dan mengeluarkan enzim yang dapat menghancurkan

42
jaringan. Enzim ini yaitu cystein proteinase yang disebut histolisin. Lalu bentuk
histolitika masuk ke submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukosae.
Di submukosa ini, bentuk histolitika akan membuat kerusakan yang lebih besar
daripada di mukosa usus. Akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus amoeba. Bila
terdapat infeksi sekunder, maka terjadi peradangan. Proses ini dapat meluas di
submukosa bahkan sampai sepanjang sumbu usus. Bentuk histolitika banyak
ditemukan di dasar dan dinding ulkus. Dengan peristaltis usus, bentuk ini
dikeluarkan bersama isi ulkus rongga usus kemudian menyerang lagi mukosa
usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja. Tinja ini disebut disentri, yaitu
tinja yang bercampur lendir dan darah.
Tempat yang sering dihinggapi (predileksi) adalah sekum, rectum,
sigmoid. Seluruh kolon dan rektum akan dihinggapi apabila infeksi sudah berat.
Insiden tertinggi disentri amoeba ditemukan pada anak-anak usia 1-5 tahun.
Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista amoeba. Kista ini
memegang peranan dalam penularan penyakit lebih lanjut bila terbawa ke bahan
makanan atau air minum oleh lalat atau tangan manusia yang tidak bersih.
3. Komplikasi
Penderita disentri dianjurkan untuk terus waspada, karena disentri bisa
memicu beberapa komplikasi, bahkan bisa menyebabkan kematian. Komplikasi yang
mungkin terjadi:
a. Dehidrasi karena kehilangan cairan akibat diare dan muntah-muntah. Ini
merupakan kondisi yang bisa berakibat fatal, terutama pada anak-anak.
b. Abses (hati, paru, dan otak)
Abses hati merupakan manifestasi ekstraintestinal paling sering
ditemukan. Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk, dan nyeri perut
kuadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka akan
terasa nyeri pleura kanan atau nyeri yang menjalar sampai di bahu kanan.
Terdapat juga gangguan gastrointestinal; mual, muntah, kejang otot perut,
perut kembung, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
hepatomegali. Pada fase subakut dapat ditemukan penurunan berat badan,
demam, dan nyeri abdomen yang difus. Umumnya abses hati terbentuk di
lobus kanan hati, abses hati berisi nanah yang berwarna cokelat. Pada

43
penderita abses hati dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan serum
alkali fosfatase pada pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat berupa
penjalaran secara langsung ke pleura/pericardium, abses otak, dan amebiasi
urogenitalis. Selain dengan aliran darah,metastasis juga dapat dengan cara per
kontinuinatum bila abses tidak diobati sehingga abses pecah. Ameba yang
keluar dapat menembus diagfragma, masuk ke rongga pleura/paru, sehingga
menimbulkan abses paru.
5. Demam

Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi
dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien.
Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin
atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah
endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis
lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang
berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1,
IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya
adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan
mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6,
TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello &
Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan
patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru
sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas
antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti
memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan

44
penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu
tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).

6. Nyeri perut
Nyeri perut terjadi disebabkan karena adanya infeksi yang
menyebabkan peradangan pada colon. Ketika infeksi menjadi lebih parah
maka seseorang akan merasakan nyeri atau sakit di daerah perut. Tingkat
keparahan rasa sakit ini akan tergantung pada lokasi dan penyebab infeksi
usus.
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya
kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh
stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini
berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan
korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem
nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus
non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan
menghilangkan respon inflamasi

7. Nyeri Anus

a) Secara Umum
Penyebab nyeri pada anus yang tersering adalah hemoroid, dimana
terjadi pembengkakan jaringan yang keluar dari anus. Penyebab lainnya
adalah fisura ani, yang disebabkan oleh robeknya anus karena kerasnya tinja
yang dikeluarkan. Fisura ani biasanya menghasilkan nyeri akut yang
terlokalisir dan mungkin berkaitan dengan spase otot pelvis yang
menyebabkan nyeri anus berlangsung beberapa jam. Nyeri ini menjadi
semakin hebat selama defekasi. Selain fisura, nyeri anus dapat disebabkan
karena abses dari infeksi bakteri yang menyebabkan demam, keringat malam,

45
dan nyeri yang terus menerus. Nyeri pada anus juga dapat disebabkan oleh
infeksi jamur.
Hal yang perlu diperhatikan adalah nyeri anus karena tumor, bersifat
nyeri yang progresif dalam arti semakin lama semakin hebat. Nyeri anus yang
terus menerus dan semakin hebat ini dapat berarti kanker atau tumor rektum.
Biasanya praktisi kesehatan akan melakukan retcal touche untuk memastikan
ada atau tidaknya tumor. atau dapat dilakukan pemeriksaan penanda tumor
seperti CEA untuk membuktikan keberadaannya.
Spasme atau kaku otot pada bagian pelvis dapat menyebabkan nyeri
yang sangat tajam. Selain itu nyeri pada anus juga dapat disebabkan oleh ulser
pada anus yang ditandai dengan daerah sakit yang memperlihatkan infeksi.
Nyeri anus juga dapat disebabkan oleh adanya fistula, psoriasis, atau
dermatitis. bila ditemukan fistula mungkin diperlukan operasi. Psoriasis dan
dermatitis yang disebutkan tadi merupakan penyakit kulit, biasanya berbentuk
kemerahan dan gatal.
Penyebab tersering BAB berdarah adalah karena ditemukannya fisura
(robekan pada anus), selain itu dapat disebabkan oleh hemoroid atau wasir dan
akibat menggaruk teralu sering.
Untuk meringankan nyeri dapat dilakukan diet berserat tinggi dan
minum 8-10 gelas air per hari. Selain itu kurangi gesekan atau trauma pada
daerah nyeri dan jangan gunakan sabun ataupun menggaruk anus. Penggunaan
mosturaiser tidak direkomendasikan. BIla pelru dapat diberika obat
penghilang nyeri tingkat rendah seperti parasetamol, atau NSAID (natrium
diklofenak, nama dagangnya voltaren, dll) atau bila sangat sakit dapat
digunakan penghilang nyeri tingkat tinggi seperti tramadol.

b) Berkaitan dengan Kasus


Berdasarkan kasus, maka penyebab timbulnya nyeri disekitar anus
ialah karena adanya fissura ani. Fisura ani adalah sobekan kecil pada jaringan
lembab tipis yang melapisi anus sehingga timbul rasa nyeri saat buang air
besar. Biasanya fisura ani terjadi akibat ketegangan saat buang air yang besar
atau keras. Walaupun menyebabkan rasa nyeri dan ketidaknyamanan, fisura

46
ani umumnya tidak menyebabkan masalah serius. Kondisi ini dapat terjadi
pada berbagai usia, bahkan pada orang sehat. Keadaan ini cukup umum dan
menjadi sekitar 15% kasus yang ditangani dokter spesialis usus dan saluran
pembuangan (kolorektal). Fisura ani lebih sering terjadi pada bayi muda dan
orang tua.
Fisura ani dapat bersifat tiba-tiba (akut) atau berkepanjangan (kronis).
Kasus akut atau jangka pendek biasanya dapat sembuh dalam beberapa hari.
Sedangkan, fisura kronis tidak sembuh dalam waktu 8 sampai 12 minggu dan
biasanya perlu perawatan lebih lanjut.
Gejala penyakit ini dapat bersifat ringan hingga parah. Gejala yang
dapat terjadi adalah sebagai berikut:
● Gatal (pruritus ani) pada pembukaan anus
● Perdarahan (darah berwarna merah terang) yang terpisah dari tinja;
Anda dapat sering melihat bercak atau beberapa tetes darah merah
terang pada toilet
● Sensasi tajam, terbakar atau menyengat saat buang air besar yang
dapat bertahan untuk sesaat atau bertahan selama beberapa jam
● Bau busuk dari pembukaan anus (biasanya untuk kasus parah),
yang mungkin menandakan kemungkinan infeksi
● Sering buang air kecil atau ketidakmampuan untuk buang air kecil
● Beberapa fisura ani tidak menunjukkan gejala dan tidak
menyakitkan. Perdarahan dapat terjadi dari waktu ke waktu tetapi
tanpa gejala lain.
Fisura ani biasanya disebabkan oleh luka atau cedera pada anus. Hal
ini dapat terjadi ketika adanya kotoran besar, termasuk sembelit. Selain itu,
dapat juga dipicu oleh diare berulang sehingga menyebabkan iritasi pada
lapisan dubur, atau disebabkan oleh ketegangan saat melahirkan. Fisura juga
dapat disebabkan oleh hubungan seks anal atau efek samping dari pemeriksaan
dubur.
Para ahli percaya bahwa luka terjadi karena ketegangan berlebih dalam
dua cincin otot yang disebut sfingter yang mengendalikan pembukaan anus.
Sfingter luar dikendalikan oleh otot, sedangkan sfingter dalam adalah tipe

47
involunter. Jika tekanan di daerah tersebut meningkat, maka aliran darah dapat
berkurang dan menyebabkan tegangan, yang dapat menuju pada fisura.
Tekanan dan tegangan secara terus-menerus di daerah tersebut juga dapat
menyebabkan lambatnya pemulihan total dari fisura.
Penyakit lain seperti penyakit radang usus (IBD) seperti penyakit
Crohn dan luka radang usus (kolitis ulseratif), serta penyakit menular seksual
seperti sifilis dan herpes dapat menyebabkan fisura ani.
Fisura ani biasanya tidak memerlukan penanganan dokter segera.
Dalam kebanyakan kasus terutama fisura yang terjadi tiba-tiba (akut), gejala
akan menghilang dalam beberapa hari. Namun, jika gejala menjadi
berkepanjangan (kronis) dan memburuk, mempengaruhi buang air besar
normal, maka Anda akan perlu untuk berkonsultasi dengan dokter secepat
mungkin.
Selama konsultasi, dokter terlebih menghilangkan kemungkinan
penyakit lain dengan gejala yang sama, termasuk wasir (pembengkakan di
sekitar anus). Beberapa tes akan dilakukan tergantung pada tingkat keparahan
gejala Anda. Setelah menanyakan riwayat kesehatan Anda, pemeriksaan fisik
atau pemeriksaan colok dubur (kolonoskopi atau sigmoidoskopi) dapat
dilakukan untuk kasus yang parah. Dokter juga dapat merujuk Anda ke
spesialis kolorektal bila diperlukan.
Ahli bedah kolorektal adalah ahli dalam menangani fisura ani dan
masalah usus dan saluran pembuangan (kolorektal) serta anal lainnya. Dokter
ini dapat melakukan tindakan bedah yang canggih untuk kasus ini, selain
tindakan bedah umum. Ahli bedah kolorektal telah tersertifikasi dengan
melewati ujian intensif sebelum mereka dapat melakukan operasi usus besar
dan dubur.
Hampir semua pilihan pengobatan untuk fisura ani ditujukan untuk
menurunkan ketegangan dan kejang pada sfingter ani sehingga otot-otot dapat
melemas. Tekanan yang rendah dapat mempercepat penyembuhan fisura.
Untuk kasus akut, pola makan tinggi serat dan suplemen serat biasanya
dianjurkan tanpa penanganan dokter. Dengan pola makan tinggi serat,
ketegangan akan sedikit berkurang saat buang air besar sehingga

48
memungkinkan percepatan proses penyembuhan fisura ani. Selain itu, penting
juga untuk menghindari makanan seperti kacang-kacangan, berondong jagung
dan keripik yang sulit untuk dicerna. Konsumsi air yang banyak atau asupan
cairan juga penting dalam gerakan usus yang sehat dan sering. Perawatan di
rumah seperti mandi air hangat (mandi Sitz) dan kompres hangat selama 10-20
menit beberapa kali sehari akan mendorong seseorang untuk bersantai dan
meningkatkan aliran darah, yang dapat mempercepat waktu penyembuhan.

Untuk fisura ani kronis, bius oles seperti lidokain, silokain dan
pramoksin mungkin dianjurkan sebelum buang air besar untuk mengurangi
dan mengatasi rasa sakit. Steroid yang biasanya sebagai bius dapat digunakan
untuk mengurangi peradangan akibat fisura. Salep yang mengandung
nitrogliserin juga mungkin dianjurkan untuk mengendurkan otot-otot sfingter
dan mendukung penyembuhan. Disarankan juga krim atau salep dengan
calcium channel blocking (CCBs), yang bekerja sama dengan nitrogliserin
tetapi dengan efek samping yang lebih sedikit.
Selain itu, kasus-kasus fisura ani yang serius biasanya membutuhkan
penanganan bedah. Ahli bedah kolorektal dapat menyuntikkan Botulinum
Toxin (Boton) ke otot sfingter anal (sebuah tindakan yang disebut
sfingterotomi) agar sfingter ani melemas, rasa sakit dan tegangan berkurang,
yang memungkinkan daerah fisura menjadi sembuh. Dokter bedah awalnya
akan membahas risiko sfingterotomi untuk menentukan pengobatan yang
terbaik. Pemulihan dari perawatan bedah untuk fisura ani memakan waktu
sekitar 6 sampai 10 minggu, tetapi pasien biasanya dapat melanjutkan kegiatan
sehari-hari dalam beberapa hari.
Fisura mudah kambuh ketika dipicu trauma lain. Hal ini sangat penting
untuk melanjutkan pola makan tinggi serat dan buang air yang lancar bahkan
setelah gejala mereda. Jika masalah memburuk, maka diperlukan penilaian
ulang untuk menyingkirkan masalah kolorektal lebih serius lainnya.

8. Pemeriksaan fisik

1. Pemeriksaan Fisik Umum


49
A. Kesadaran
Derajat kesadaran biasanya dinyatakan sebagai :
➢ Kompos Mentis : Sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan di sekelilingnya.
➢ Apatis : Keadaan kesadaran pasien yang segan untuk berhubungan
dengan keadaan sekitarnya, sikap acuh tak acuh
➢ Latargi : Keadaan kesadaran pasien yang tampaknya lesu dan
mengantuk.
➢ Somnolen : Keadaan kesadaran pasien yang selalu mau tidur saja,
dapat dibangunkan dengan rasa nyeri, atau untuk makan/minum,
namun jatuh tertidur kembali.
➢ Sopor : Keadaan kesadaran pasien yang mirip koma, berbaring
dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi jika di bangunkan,
kecuali dengan rangsang nyeri.
➢ Koma : Keadaan kesadaran yang hilang sama sekali.

B. Taksiran umur

C. Bentuk badan
Bentuk yang abnormal dapat dijumpai misalnya pada :
➢ Akromegali
➢ Malformation
➢ Kelainan tulang belakang

D. Cara berbaring dan mobilitas


Pasien yang masih bisa memiringkan badannya tanpa kesulitan, dikatakan
sikap berbaringnya aktif, sebaliknya yang lemah, sikap berbaring yang
pasif.

E. Cara Berjalan

50
Pada beberapa penyakit tulang, sendi atau saraf, cara berjalan dapat
memberi petunjuk-petunjuk yang berharga.
F. Keadaan Gizi
Penilaian gizi dapat berupa normal, gemuk, atau kurus. Hal ini dinilai
dengan mengukur tinggi serta berat badan. Nilai normal berkisar ±10%
dari 90% × (tinggi badan cm-100) ×1 kg.
G. Aspek Kejiwaan/Status Mental
Penilaian aspek kejiwaan seorang pasien meliputi :
➢ Tingkah laku
➢ Alam perasaan
➢ Cara proses berpikir
H. Pemeriksaan Nadi
Denyut nadi adalah gelombang darah yang dapat dirasakan karena
dipompa kedalam arteri oleh kontraksi ventrikel kiri jantung. Denyut nadi
diatur oleh sistem saraf otonom.
Lokasi untuk merasakan denyut nadi adalah :
1. Karotid : di bagian medial leher, dibawah angulus mandibularis, hindari
pemeriksaan dua sisi sekaligus pada waktu bersamaan.
2. Brakial : Diatas siku dan medial dari tendo bisep.
3. Radial : Bagian distal dan ventral dari pergelangan tangan.
4. Femoral : Disebelah inferomedial ligamentum inguinalis.
5. Popliteal : Di belakang lutut, sedikit ke lateral dari garis tengah.
6. Tibia posterior : Di belakang dan sedikit ke arah inferior dari maleolus
medialis.
7. Pedis dorsalis : Lateral dari tendo m. Extensor hallucis longus.

Hal-hal yang dinilai saat pemeriksaan denyut nadi adalah :


1. Kecepatan
a. Bradikardia : denyut jantung lambat (<60x/menit), didapatkan
pada atlet yang sedang istirahat, tekanan intrakranial meningkat,
peningkatan tonus vagus, hipotiroidisme, hipotermia, dan efek
samping beberapa obat.

51
b. Takikardia : denyut jantung cepat (>100x/menit), biasa terjadi pada
pasien dengan demam, feokromositoma, congestif heart failure,
syok hipovolemik, aritmia kordis, pecandu kopi dan perokok.
c. Normal :

● Nadi normal pria dewasa 55-75 kali permenit.


● Nadi normal wanita dewasa 60-80 kali permenit.
● Nadi normal ibu hamil 80-90 kali permenit.
2. Irama
a. Reguler
b. Regularly irregular : dijumpai pola dalam iregularitasnya.
c. Irregularly irregular : tidak dijumpai pola dalam iregularitasnya,
terdapat pada fibrilasi atrium.
3. Volume nadi

a. Volume nadi kecil : tahanan terlalu besar terhadap aliran darah,


darah yang dipompa jantung terlalu sedikit (pada efusi perikardial,
stenosis katup mitral, payah jantung, dehidrasi, syok hemoragik).
b. Volume nadi yang berkurang secara lokal : peningkatan tahanan
setempat.
c. Volume nadi besar : volume darah yang dipompakan terlalu
banyak, tahanan terlalu rendah (pada bradikardia, anemia, hamil,
hipertiroidisme).

I. Tekanan Darah

52
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri.
Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan
sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat
jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio
tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa
normalnya berkisar dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah
normal biasanya 120/80 (Smeltzer & Bare, 2001).
Teknik Mengukur : pengukuran biasanya dilakukan pada lengan kanan.
Pasien dapat berbaring atau duduk dengan tenang dan santai. Tidak boleh
ada pakaian sempit yang melingkari lengan yang akan diperiksa letaknya
setinggi jantung. Manset cukup dilingkarkan dengan rapat tanpa
menyebabkan nyeri pada lengan atas dalam sikap setengah abduksi ±1,5
cm diatas fosa antekubiti. Tekanan baru diukur selang beberapa waktu
(10-15 menit). Stetoskop diletakkan pada fosa antekubiti diatas arteri
brakialis dan bunyi nadi korotkoff terdangaar pada waktu tekanan dalam
manset dengan perlahan-lahan diturunkan (dengan kecepatan 2-3 mm
untuk tiap satu denyut nadi). Yang disebut dengan tekanan sistolik adalah
bunyi pertama yang terdengar (korotkoff 1). Yang terdangar pada bunyi
kedua adalah diastolic (korotkoff 2).

Tekanan darah pada anak :

Approximate Age Systolic Diastolic


Range Range Range
1-12 months 75-100 50-70
1-4 years 80-110 50-80
3-5 years 80-110 50-80
6-13 years 85-120 55-80
13-18 years 95-140 60-90

J. Kulit

53
➢ Warna
➢ Lesi primer pada kulit
➢ Lesi Sekunder
➢ Perubahan Lokal

K. Pernafasan
Proses fisiologis yang berperan pada proses pernafasan adalah : ventilasi
pulmoner, respirasi eksternal dan internal. Laju pernafasan meningkat
pada keadaan stres, kelainan metabolik, penyakit jantung paru, dan pada
peningkatan suhu tubuh. Pernafasan yang normal bila kecepatannya 14-
20x/menit pada dewasa, dan sampai 44x/menit pada bayi.
Kecepatan dan irama pernafasan serta usaha bernafas perlu diperiksa untuk
menilai adanya kelainan:
1. Kecepatan :
a. Takipnea : pernafasan cepat dan dangkal.
b. Bradipnea : pernafasan lambat.
c. Hiperpnea/hiperventilasi : pernafasan dalam dan cepat (Kussmaul)
d. Hipoventilasi : bradipnea disertai pernafasan dangkal.
2. Irama :

a. Reguler
b. Pernafasan cheyne-stoke : Periode apnea diselingi hiperpnea.
c. Pernafasan Biot’s (ataksia) : periode apnea yang tiba-tiba diselingi
periode pernafasan konstan dan dalam.
3. Usaha bernafas : Adalah kontraksi otot-otot tambahan saat bernafas
misalnya otot interkostalis. Bila ada kontraksi otot-otot
tersebut menunjukkan adanya penurunan daya
kembang paru.

L. Frekuensi pernapasan

54
M. Suhu
Suhu tubuh mencerminkan keseimbangan antara pembentukan dan
pengeluaran panas. Pusat pengaturan suhu terdapat di hipotalamus yang
menentukan suhu tertentu dan bila suhu tubuh melebihi suhu yang
ditentukan hipotalamus tersebut, maka pengeluaran panas meningkat dan
sebaliknya bila suhu tubuh lebih rendah. Suhu tubuh dipengaruhi oleh
irama sirkadian, usia, jenis kelamin, stres, suhu lingkungan hormon, dan
olahraga. Suhu normal berkisar antara 36,5°C – 37,5°C. Lokasi
pengukuran suhu adalah oral (dibawah lidah), aksila, dan rektal. Pada
pemeriksaan suhu per rektal tingkat kesalahan lebih kecil daripada oral
atau aksila. Peninggian semua terjadi setelah 15 menit, saat beraktivitas,
merokok, dan minum minuman hangat, sedangkan pembacaan semu
rendah terjadi bila pasien bernafas melalui mulut dan minum minuman
dingin.
9. Pemeriksaan Darah

Spesimen

Sebaiknya darah diambil pada waktu dan kondisi yang relatif sama untuk
meminimalisasi perubahan pada sirkulasi darah, misalnya lokasi pengambilan,
55
waktu pengambilan, serta kondisi pasien (puasa, makan). Cara pengambilan
specimen juga perlu diperhatikan, misalnya tidak menekan lokasi pengambilan
darah kapiler, tidak mengambil darah kapiler tetesan pertama, serta penggunaan
antikoagulan (EDTA, sitrat) untuk mencegah terbentuknya clot.

Hitung Leukosit

Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per milimeterkubik atau


mikroliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari sistem pertahanan
tubuh, terhadap benda asing, mikroorganisme atau jaringan asing, sehingga
hitung julah leukosit merupakan indikator yang baik untuk mengetahui respon
tubuh terhadap infeksi.

Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal dan
lain-lain. Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000-30.000/μl.
Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara 13.000-38.000 /μl.
Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada umur 21 tahun jumlah
leukosit berkisar antara 4500- 11.000/μl. Pada keadaan basal jumlah leukosit
pada orang dewasa berkisar antara 5000 — 10.000/μl. Jumlah leukosit meningkat
setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari 11.000/μl.
Peningkatan jumlah leukosit di atas normal disebut leukositosis, sedangkan
penurunan jumlah leukosit di bawah normal disebut lekopenia.
Terdapat dua metode yang digunakan dalam pemeriksaan hitung leukosit,
yaitu cara automatik menggunakan mesin penghitung sel darah (hematology
analyzer) dan cara manual dengan menggunakan pipet leukosit, kamar hitung dan
mikroskop.

Cara automatik lebih unggul dari cara pertama karena tekniknya lebih mudah,
waktu yang diperlukan lebih singkat dan kesalahannya lebih kecil yaitu ± 2%,
sedang pada cara manual kesalahannya sampai ± 10%. Keburukan cara automatik
adalah harga alat mahal dan sulit untuk memperoleh reagen karena belum banyak
laboratorium di Indonesia yang memakai alat ini.

Nilai normal leukosit:

Dewasa                : 4000-10.000/ µL
56
Bayi / anak          : 9000-12.000/ µL

Bayi baru lahir    : 9000-30.000/ µL

Bila jumlah leukosit lebih dari nilai rujukan, maka keadaan tersebut
disebutleukositosis. Leukositosis dapat terjadi secara fisiologik maupun
patologik. Leukositosis yang fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat,
gangguan emosi, kejang, takhikardi paroksismal, partus dan haid.

Peningkatan leukosit juga dapat menunjukan adanya proses infeksi atau


radang akut, misalnya pneumonia, meningitis, apendisitis, tuberkolosis, tonsilitis,
dll. Dapat juga terjadi miokard infark, sirosis hepatis, luka bakar, kanker,
leukemia, penyakit kolagen, anemia hemolitik, anemia sel sabit , penyakit parasit,
dan stress karena pembedahan ataupun gangguan emosi. Peningkatan leukosit
juga bisa disebabkan oleh obat-obatan, misalnya: aspirin, prokainmid, alopurinol,
kalium yodida, sulfonamide, haparin, digitalis, epinefrin, litium, dan antibiotika
terutama ampicillin, eritromisin, kanamisin, metisilin, tetracycline, vankomisin,
dan streptomycin.

Leukopenia adalah keadaan dimana jumlah leukosit kurang dari 5000/µL


darah. Karena pada hitung jenis leukosit, netrofil adalah sel yang paling tinggi
persentasinya hampir selalu leukopenia disebabkan netropenia.

Penurunan jumlah leukosit dapat terjadi pada penderita infeksi tertentu,


terutama virus, malaria, alkoholik, SLE, reumaotid artritis, dan penyakit
hemopoetik(anemia aplastik, anemia perisiosa). Leokopenia dapat juga
disebabkan penggunaan obat terutama saetaminofen, sulfonamide, PTU,
barbiturate, kemoterapi kanker, diazepam, diuretika, antidiabetika oral,
indometasin, metildopa, rimpamfin, fenotiazin, dan antibiotika.(penicilin,
cefalosporin, dan kloramfenikol).

Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai jenis


leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki fungsi
yang khusus dalam melawan patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil, limfosit,
monosit, eosinofil, dan basofil. Hasil hitung jenis leukosit memberikan informasi
yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses penyakit.  Hitung jenis leukosit
57
hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis sel. Untuk
mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%)
dikalikan jumlah leukosit total (sel/μl).

Untuk melakukan hitung jenis leukosit, pertama membuat sediaan apus darah
yang diwarnai dengan pewarna Giemsa, Wright atau May Grunwald. Amati di
bawah mikroskop dan hitung jenis-jenis leukosit hingga didapatkan 100 sel. Tiap
jenis sel darah putih dinyatakan dalam persen (%). Jumlah absolut dihitung
dengan mengalikan persentase jumlah dengan hitung leukosit, hasilnya
dinyatakan dalam sel/μL.

Tabel 2. Hitung Jenis Leukosit

• Neutrofi l melawan infeksi bakteri dan gangguan radang


• Eosinofi l melawan gangguan alergi dan infeksi parasit
• Basofi l melawan diskrasia darah dan penyakit myeloproliferatif
• Limfosit melawan infeksi virus dan infeksi bakteri
• Monosit melawan infeksi yang hebat

1. Neutrofil
Nilai normal: Segment : 36% - 73% SI unit : 0,36 – 0,73
Bands : 0% - 12% SI unit : 0,00 – 0,12

Deskripsi
Neutrofil adalah leukosit yang paling banyak. Neutrofial terutama berfungsi
sebagai pertahanan terhadap invasi mikroba melalui fagositosis. Sel ini
58
memegang peranan penting dalam kerusakan jaringan yang berkaitan dengan
penyakit noninfeksi seperti artritis reumatoid, asma dan radang perut.

Implikasi klinik:
● Neutrofilia, yaitu peningkatan persentase neutrofisl, disebabkan oleh
infeksi bakteri dan parasit, gangguan metabolit, perdarahan dan gangguan
myeloproliferatif.
● Neutropenia yaitu penurunan persentase neutrofi l, dapat disebabkan
oleh penurunan produksi neutrofi l, peningkatan kerusakan sel, infeksi bakteri,
infeksi virus, penyakit hematologi, gangguan hormonal dan infeksi berat.
● Shift to left atau peningkatan bands (sel belum dewasa) terjadi ketika
neurofil muda dilepaskan kedalam sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh infeksi, obat
kemoterapi, gangguan produksi sel (leukemia) atau perdarahan.
● Shift of the right atau peningkatan segment (sel dewasa) terjadi pada
penyakit hati, anemia megalobastik karena kekurangan B12 dan asam folat,
hemolisis, kerusakan jaringan, operasi, obat (kortikosteroid)
● Peningkatan jumlah neutrofil berkaitan dengan tingkat keganasan
infeksi.
● Derajat neutrofilia sebanding dengan jumlah jaringan yang mengalami
inflamasi.
● Jika peningkatan neutrofi l lebih besar daripada peningkatan sel darah
merah total mengindikasikan infeksi yang berat.

2. Eosinofi l
Nilai normal : 0% - 6%

Deskripsi
Eosinofi l memiliki kemampuan memfagosit, eosinofil aktif terutama pada
tahap akhir infl amasi ketika terbentuk kompleks antigen-antibodi. Eosinofil juga
aktif pada reaksi alergi dan infeksi parasit sehingga peningkatan nilai eosinofil
dapat digunakan untuk mendiagnosa atau monitoring penyakit.

59
Implikasi klinik:
• Eosinofilia adalah peningkatan jumlah eosinofi l lebih dari 6% atau
jumlah absolut lebih dari 500. Penyebabnya antara lain: respon tubuh terhadap
neoplasma, penyakit Addison, reaksi alergi, penyakit collagen vascular atau
infeksi parasit.
• Eosipenia adalah penurunan jumlah eosinofi l dalam sirkulasi.
● Eosipenia dapat terjadi pada saat tubuh merespon stres (peningkatan
produksi glukokortikosteroid).
• Eosinofil cepat hilang pada infeksi pirogenik
• Jumlah eosinofi l rendah pada pagi hari dan meningkat pada sore hari
hingga tengah malam.
• Eosinofi lia dapat disamarkan oleh penggunaan steroid dan dapat
meningkat dengan L-triptofan.

3. Basofil
Nilai normal : 0% - 2%

Deskripsi:
Fungsi basofil masih belum diketahui. Sel basofil mensekresi heparin dan
histamin. Jika konsentrasi histamin meningkat, maka kadar basofil biasanya
tinggi. Jaringan basofil disebut juga mast sel.

Implikasi klinik :
• Basofilia adalah peningkatan basofi l berhubungan dengan leukemia
granulositik dan basofi lik myeloid metaplasia dan reaksi alergi
• Basopenia adalah penurunan basofi l berkaitan dengan infeksi akut,
reaksi stres, terapi steroid jangka panjang.

4. Monosit
Nilai normal : 0%-11%

60
Deskripsi:
Monosit merupakan sel darah yang terbesar. Sel ini berfungsi sebagai lapis
kedua pertahanan tubuh, dapat memfagositosis dengan baik dan termasuk
kelompok makrofag. Manosit juga memproduksi interferon.

5. Limfosit
Nilai normal : 15% - 45%

Deskripsi:
Merupakan sel darah putih yang kedua paling banyak jumlahnya. Sel inikecil
dan bergerak ke daerah inflamasi pada tahap awal dan tahap akhir proses infl
amasi. Merupakan sumber imunoglobulin yang penting dalam respon imun
seluler tubuh. Kebanyakan limfosit terdapat di limfa, jaringan limfatikus dan
nodus limfa. Hanya 5% dari total limfosit yang beredar pada sirkulasi.

6. Trombosit (platelet)
Nilai normal : 170 – 380. 103/mm3 SI : 170 – 380. 109/L

Deskripsi

Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah. Trombosit


diaktivasi setelah kontak dengan permukaan dinding endotelia. Trombosit
terbentuk dalam sumsum tulang. Masa hidup trombosit sekitar 7,5 hari. Sebesar
2/3 dari seluruh trombosit terdapat disirkulasi dan 1/3 nya terdapat di limfa.

Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Dalam proses


inflamasi ada 3 hal yang terjadi sebagai berikut:

i) Peningkatan peredaran darah ke tempat benda asing, mikroorganisma atau


jaringan yang rusak.

ii) Peninggian permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel


endotel. Hal tersebut memungkinkan molekul yang lebih besar seperti antibodi
dan fagosit bergerak ke luar pembuluh darah dan sampai di tempat benda asing,
mikroorganisme atau jaringan rusak.

61
iii)Peningkatan leukosit terjadi terutama apabila fagosit polimorfonuklear dan
makrofag dikerahkan dari sirkulasi dan bergerak ke tempat benda asing,
mikroorganisma atau jaringan yang rusak. Hal tersebut dipermudah dengan
pelepasan C3a dan C5a pada aktivasi komplemen yang bersifat kemotaksis.

Dalam proses tersebut banyak leukosit dihancurkan. Kemudian makrofag lain


yang memasuki daerah tersebut akan mengakhiri inflamasi. Ketiga kejadian di
atas disebut inflamasi. C3a dan C5a merupakan nafilatoksin yang dapat
melepaskan histamin melalui degranulasi mastosit dan basofil yang juga
mempunyai sifat biologik. Selain C3a dan C5a pada aktivasi komplemen dilepas
bahan-bahan lain yang berperanan pada inflamasi. Sel polimorfonuklear lebih
sering ditemukan pada inflamasi akut, sedangkan proliferasi monosit ditemukan
pada inflamasi kronik.

• Shift to left atau peningkatan bands (sel belum dewasa) terjadi ketika
neutrofil muda dilepaskan kedalam sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh infeksi,
obat kemoterapi, gangguan produksi sel (leukemia) atau perdarahan.
• Shift of the right atau peningkatan segment (sel dewasa) terjadi pada
penyakit hati, anemia megalobastik karena kekurangan B12 dan asam folat,
hemolisis, kerusakan jaringan, operasi, obat (kortikosteroid).

10. Pemeriksaan Tinja

Pemeriksaan tinja E. histolytica

62
Diagnosis amebiasis intestinal ditegakkan dengan terdapatnya trofozoit atau
kista pada sediaan tinja basah. Tinja harus diperiksa dalam 1 jam pertama dan
dalam suhu kamar karena trofozoit setelah 1 jam akan lisis dan tidak dapat
dikenali lagi. Biasanya tidak ditemukan leukosit pada pemeriksaan tinja. Tehnik
konsentrasi juga dapat digunakan dengan pulasan trikrom untuk menemukan kista
amuba. Pemberian tetrasiklin, sulfonamid, bismuth dan kaolin akan menyebabkan
sulitnya identifikasi amuba. Bila tinja tidak mungkin diperiksa dalam 1 jam maka
tinja dapat disimpan dalam formalin 10% untuk menemukan kista atau dalam
alkohol polivinil untuk menemukan trofozoit. Pemeriksaan tinja dengan
menggunakan 3-6 sediaan akan meningkatkan diagnosis hingga 80-90%.

11. Pemeriksaan Urin

Secara fisiologis urin yang normal adalah bebas dari protein dimana urin
dihasilkan oleh nefron ginjal. Selama 24 jam komposisi dan konsentrasi urin dapat
berubah secara terus menerus dimana variasi konsentrasi urin dapat ditentukan
oleh waktu pengambilan dan aktivitas sebelum pengambilan urin. Pemeriksaan
63
proteinuria yang akurat dan cepat sangat diperlukan untuk diagnosis maupun
untuk mengetahui prognosis penyakit. Selain itu juga diperlukan dalam
tatalaksana penyakit ginjal dan penyakit lainnya.

a. Mekanisme Terjadinya Proteinuria

Dinding pembuluh darah dan struktur jaringan yang ada disekitarnya berperan
penting sebagai barier terhadap melintasnya makromolekuler seperti globulin dan
albumin. Hal ini terjadi karena peran dari sel endotel pada kapiler, membran basal
dari glomerlus dan epitel viseral. Eksresi proteinuria normal pada bayi dan anak
terlihat pada table berikut :

Makromolekular yang melintasi dinding kapiler berbanding terbalik dengan


ukurannya. Hal ini akibat heparan sulfat proteoglikans yang terdapat pada dinding
kapiler glomerulus menyebabkan pengaruh hambatan negatif pada
makromolekuler seperti albumin. Adanya proses peradangan pada glomerulus
berakibat perubahan ukuran barrier dan hilangnya hambatan anionik sehingga
terjadilah proteinuria. Protein berat molekul rendah (β2 mikroglobulin, α
mikroglobulin, vasopresin, insulin dan hormon paratiroid) secara bebas melalui
filter glomerulus dan selanjutnya diabsorbsi serta dikatabolisme pada tubulus
kontortus proksimalis. Kerusakan pada epitel tubulus proksimalis menyebabkan
kegagalan untuk mereabsorbsi protein dengan berat molekul rendah yang
selanjutnya keluar melalui urin. Pada gagal ginjal kronis terjadi perubahan
hemodinamik dari aliran darah glomerulus dan berkurangnya jumlah nefron yang
berfungsi. Hal ini menyebabkan peningkatan filtrasi protein dari nefron dan terjadi

64
proteinuria. Pada kelainan tubulointerstisial, refluks nefropati, obstuktif nefropati
terjadi peningkatan proteinuria Tamm horsfall. Normalnya protein Tamm horsfall
ini dapat dicegah oleh sel tubulus.

12. Entamoeba Histolytica

a. Taxonomy

Kingdom : Protista

Filum : Sarcomastigophora

Kelas : Rhizopoda

Ordo : Amoebida

Genus : Entamoeba

Spesies : Entamoeba histolytica

Entamoeba coli

Entamoeba gingivalis

b. Morfologi

Morfologi Entamoeba sp (dengan tropozoit inti satu dengan RBC)

65
Histolytica:
Stadium tropozoit, Berukuran 20-40 mikron, Extoplasma tampak bening
dan homogeny, Ektoplasma terletak di bagian tepi sel, Pseudopodia yg
dibentuk extoplasma besar seperti daun, dibentuk mendadak, gerakan cepat,
Endoplasma mengandung eritrosit, Endoplasma tidak mengandung bakteri
atau sisa-sisa makanan, Pathogen, Penyebarannya pada jaringan usus besar,
hati, paru, otak,kulit, dan vagina, Berkembang biak dengan belah pasang.

Minuta:
Stadium tropozoit, 10-20 mikron, extoplasma tidak nyata dan hanya tampak
bila terbentuk pseudopodium, Pseudopodium terbentuk perlahan-lahan,
gerakan lambat, Tidak mengandung eritrosit, Mengandung bakteri dan sisa-
sisa makanan, Komensal, kadang-kadang berubah menajdi pathogen,
Penyebarannya pada Rongga usus besar, Berkembang biak dengan belah
pasang.

Mekanisme terbentuk pseudopodium:

Kaki yang digunakan untuk tubuh amoeba disebut pseudopodia. Kaki Amoeba
ini bergerak dengan tiga cara yaitu lobopodia, filopodia, dan retuculopodia.
Bukan hanya bergerak, amoeba juga menggunakan pseudopodianya untuk
memakan mikroorganisme lain seperti alga, bakteri dan lainnya. Pseudopodia
sendiri adalah bagian sitoplasma tubuh amoeba. Pergerakan amoeba ini
disebut amoeboid dengan menyesuaikan viskositas tubuh amoeba itu sendiri
(sesuai dengan teori sol-gel).

66
c. Siklus Hidup

67
Daur hidup dari entamoeba usus hampir sama. Bentuk yang infektif yaitu
ketika dalam bentu kista. Setelah kista tertelan maka kista akan mengalami
ekskistasi di ileum dan setelah kista mengalami ekskistasi maka 4 inti yang
berada di dalam kista akan menjadi 8 trofozoit. Dalam siklus trofozoit ini
maka akan terus membelah secara biner. Stadium trofozoit ini sangat pathogen
dan invasive pada jaringan usus besar. Pada stadium ini trofozoit memasuki
submukosa dengan menembus lapisan muskularis mucosae dan lama
kelamaan akan melisiskan jaringan usus dan dapat menginvasi hati melalui
aliran darah yang dapat menyebabkan apses hati dan dapat menyebar ke
beberapa organ lainnya. Bila keadaan tidak lagi mendukung trofozoit untuk
hidup maka trofozoit akan berubah menjadi menjadi prekista yang berinti satu
dan akhirnya akan menjadi berinti 4 dan akan keluar bersama tinja.

Kista Entamoeba histolytica mampu bertahan di tanah yang lembab


selama 8-12 hari, di air 9-30hari, dan di air dingin (4ºC) dapat bertahan
hingga 3 bulan. Kista akan cepat rusak oleh pengeringan dan pemanasan 50ºC.
Makanan dan minuman dapat terkontaminasi oleh kista melalui cara-cara
berikut ini:

68
1. Persediaan air yang terpolusi.
2. Tangan infected food handler yang terkontaminasi.
3. Penggunaan pupuk tinja untuk tanaman
4. Hygine yang buruk, terutama di tempat-tempat dengan polusi tinggi seperti
asrama, rumah sakit, penjara dan lingkungan perumahan.

Penularan yang berlangsung melalui hubungan seksual biasanya terjadi


di kalangan pria homoseksual. Perbedaan antara entamoeba hystolityca
dan entamoeba coli yaitu pada E. histolytica bersifat invasive dan
pathogen sedangkan E.coli bersifat apatogen dan tidak ada siklus ekstra
intestimal.
d. Patogenesis

Entamoeba histolytica berkontak dengan sel epitel kolon pada stadium


tropozoit, melalui antigen Gal/GalNac-lectin yang terdapat pada permukaan
stadium tropozoit. Antigen terdiri dari 2 kompleks disulfide dengan berat
molekul masing-masing 170 kDa dan 35/31 kDa. Kedua rantai tersebut
dihubungkan dengan protein 150 kDa. Sel epitel usus yang berikatan dengan
stadium tropozoit Entamoeba akan menjadi immobile dalam waktu beberapa
menit, kemudian granula dan struktur sitoplasma menghilang yang diikuti
dengan hancurnya inti sel. Proses ini diakibatkan amoebapores. Amoebapores
terdiri atas tiga rangkaian peptide rantai pendek dan dapat membuat pori-pori
pada lipid bilayer.

Invasi amoeba ke dalam jaringan ekstra sel terjadi melalui sistein


proteinase yang dikeluarkan stadium tropozoit parasit. Disini agen infeksi
dapat merangsang terbentuk prostaglandin di dalam hipotalamus sehingga
terjadi demam. Sistein proteinase terdiri dari amebapain dan histolisin akan
melisiskan matriks protein ekstra sel dan masuk ke jaringan submukosa.
Tropozoit yang masuk ke submukosa menembus lapisan muskularis mucosae,
bersarang di lapisan submukosa dan merusak mukosa usus yang menyebabkan
ulkus ameba. Proses yang terjadi adalah nekrosis dan lisis jaringan, jika terjadi
infeksi sekunder akan terjadi peradangan. Peristaltik usus menyebabkan

69
tropozoit keluar bersama ulkus. Tropozoit dapat menyerang sel mukosa sehat
yang lain atau keluar bersama tinja. Ulkus yang keluar bersama tinja
menyebabkan rasa nyeri pada anus (tenesmus) dan munculnya darah dan
lender pada tinja.

e. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari infeksi protozoa entamoeba histolytica adalah


amebiasis intestinal dan amebiasis ekstra-intestinal.

1. Amebiasis intestinal (amebiasis usus, amebiasis kolon) terdiri atas :

a. Amebiasis kolon akut

Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang
dapat berupa tinja cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare
dapat mencapai 10x per hari. Ditemukan demam, tidak nafsu makan sehingga
berat badan menurun. Pada stadium akut, di tinja dapat ditemukan darah,
dengan sedikit leukosit serta stadium trofozoit E. Histolytica.

b. Amebiasis kolon menahun

Amebiasis kolon menahun memiliki gejala yang tidak begitu jelas.


Rasa tidak enak di perut, diare yang diselingi obstipasi (sembelit). Dapat
diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Dasar penyakit ialah radang
usus besar dengan ulkus mengaung, disebut juga kolitis ulserosa amebik. Pada
pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit sulit ditemukan, karna sebagian
besar parasit sudah masuk ke jaringan usus.

Komplikasi amebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis,


toxic megacolon, ameboma, amebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat
membentuk fistula. Amebiasis kolon bila tidak diobati akan menjalar keluar
dari usus dan menyebabkan amebiasis ekstra-intestinal. Hal ini dapat terjadi
secara hematogen (melalui aliran darah) atau perkontinuitatum (secara
langsung).

2. Amebiasis ekstra-intestinal
70
Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering
ditemukan. Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut
kwadran kanan atas. Terdapat juga nyeri pleura kanan. Pada 10-35% pendeita
dapat ditemukan gangguan hastrointestinal berupa mual, munah, kejang otot
perut, perut kembung, diare dan konstipasi. Dapat ditemukan hepatomegali.

Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke


pleura dan/atau perikardium, abses otak dan amebiasis urogenitalis. Cara per
kontinuinatum terjadi bila abaes hati tidak diobati sehingga abses pecah.
Ameba yang keluar dapat menembus diafragma, masuk ke rongga pleura dan
paru, menimbulkan abses paru. Abses hati dapat juga pecah ke dalam rongga
perut dan menyebabkan peritonitis atau pecah ke dalam dinding perut, dan
menimbulkan amebiasis kulit dindinh perut. Amebiasis rektum bila tidak
diobati dapat menyebar ke kulit di sekitar anus, menyebabkan amebiasis
perianal ; dapat juga menybar ke perineum atau ke vagina, menyebabkan
amebiasis vagina.

Melalui aliran darah, stadium trofozoit dapat mencapai jaringan paru


dan otak sehingga menimbulkan abses paru dan otak.

f. Prognosis

Infeksi amoeba dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan


sementara menyebabkan kematian variabel. Dalam hal kematian protozoa
terkait, amebiasis adalah yang kedua setelah malaria. Tingkat keparahan
amebiasis meningkat pada kelompok berikut:

1) Anak-anak, terutama neonates


2) Wanita hamil dan pasca melahirkan
3) Individu yang menggunakan kortikosteroid
4) Individu dengan keganasan
5) Individu yang kekurangan gizi

71
Infeksi usus karena amebiasis umumnya merespon dengan baik untuk
terapi yang tepat, meskipun harus diingat bahwa infeksi dan pengobatan
sebelumnya tidak akan melindungi terhadap penjajahan masa depan atau
amebiasis invasif berulang.
Asimtomatik amebiasis usus terjadi pada 90% dari orang yang
terinfeksi. Namun, hanya 4% -10% dari individu dengan amebiasis tanpa
gejala yang dipantau selama 1 tahun akhirnya dikembangkan kolitis atau
penyakit ekstraintestinal.
Dengan diperkenalkannya pengobatan yang efektif, angka kematian
turun di bawah 1% untuk pasien dengan tanpa komplikasi amebic abses hati.
Namun, amebic abses hati dapat menjadi rumit oleh ruptur intraperitoneal
(2-7% dari pasien), dan komplikasi ini mengarah ke kematian lebih tinggi.
Tingkat fatalitas kasus yang terkait dengan kolitis amebic berkisar dari
1,9% menjadi 9,1%. kolitis amebic berkembang untuk kolitis necrotizing
fulminan atau pecah di sekitar 0,5% dari kasus; dalam kasus tersebut, Mei
kematian melebihi 40% atau bahkan, menurut beberapa laporan, 50%.
Amebiasis pleuropulmonary memiliki tingkat kematian 15-20%.
perikarditis amuba memiliki tingkat fatalitas kasus dari 40%. amebiasis
Cerebral membawa kematian yang sangat tinggi (90%).
Sebuah studi dari 134 kematian di Amerika Serikat 1990-2007
menemukan kematian yang tertinggi pada pria, Hispanik, Asia / Kepulauan
Pasifik, dan orang-orang berusia 75 tahun atau lebih. Hubungan dengan
infeksi HIV juga diamati. Meskipun kematian menurun selama penelitian,
lebih dari 40% terjadi di California dan Texas. Orang AS kelahiran
menyumbang mayoritas kematian amebiasis; Namun, semua kematian di
Asia / Kepulauan Pasifik dan 60% dari kematian di Hispanik yang pada
individu asing kelahiran.

g. Diagnosis

a) Entamoeba Histolytica
4352) Pemeriksaan Mikroskopik

72
Pemeriksan ini tidak dapat membedakan E. Histolytica dan E. dispar.
Selain itu pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat
tidak sensitive. Sehingga pemeriksaan mikroskopik sebaiknya
dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu baik untuk kasus
akut maupun kronik. Adanya sel darahmerah dalam sitoplasma E.
Histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasi
amebiasis yang hanya disebabkan oleh E. Histolytica. Selain itu,
motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20-30 menit.
Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam
pengawet polyvinyl alcohol (PVA) atau pada suhu 4ᵒC. Dalam hal
yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat aktif sampai 4 jam.
Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah. Hal
yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah
keterlambatan waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi,
wadah tinja yang terkontaminasi urin atau air, penggunaan antibiotic
(tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid, preoarat antidiare (kaolin,
bismuth), frekuensi pemeriksaan dan tinja diberi pengawet
4353) Pemeriksaan Serologi untk Mendeteksi Antibodi
Sebagian besar orang yang tinggal di bagian endemis E.histolytica
akan terpapar parasit berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar
akan asimtomatik dan pemeriksaan antibodi sulit membedakan antara
current atau previous injections.
Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis
pada kelompok yang tidak tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-
80% penderita dengan gejala yang disebabkan E.histolytica
memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi terhadap
E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji
serologi seperti IHA, lateks aglutinasi, counterimmunoelectrophoresis,
gel diffusion test, uji komplemen, dan ELISA. Biasanya merupakan uji
standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif karena
lebih cepat, sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap
antigen lektin dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul

73
gejala klinis baik pada penderita kolitis maupun abses hati amoeba.
Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut dapat diulang.
Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan
current infection dari previous infection. IgM anti-lektin terutama
dapat dideteksi pada minggu pertama sampai minggu ketiga pada
seorang penderita kolitis amoeba.
Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan
respons terhadap pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang
diberikan berhasil, titer antibodi tetap tidak berubah. Antibodi yang
terbentuk karena infeksi E.histolytica dapat bertahan sampai 6 bulan,
bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
4354) Deteksi Antigen
Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam tinja,
serum, cairan abses, dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan
terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan dengan teknik CIEP
ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada tinja
merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam
mendiagnosis amoebiasis intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang
tidak segar atau yang diberi pengawet akan menyebabkan denaturasi
antigen, sehingga hasil yang false negatif. Oleh karena itu, syarat
melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga menderita
amoebiasis intestinal adalah tinja segar atau disimpan dalam lemari
pendingin. E.histolytica tes II dapat dibedakan infeksi yang disebabkan
oleh E.histolytica atau E.dispar.
Pada penderita abses hati amoeba, deteksi antigen dapat dilakukan
pada pus abses atau serumnya.
4355) Polymerase Chain Reaction
Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding
dengan deteksi antigen pada tinja penderita amoebiasis intestinal.
Kekurangannya adalah waktu yang diperlukan lebih lama, tekniknya
lebih sulit dan juga mahal. Untuk penelitian polimorfisme
E.histolytica, teknik PCR merupakan metode unggulan. Walaupun

74
demikian, hasilnya sangat dipengaruhi oleh berbagai kontaminasi pada
tinja. Selain itu kemungkinan terjadi false negatif karena berbagai
inhibitor pada tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus penderita dengan
abses hati amoeba. Ekstraksi DNA dapat dilakukan pada tinja yang
sudah diberi pengawet formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan
infeksi E.histolytica dengan E.dispar.

Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan


dengan kombinasi pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila
ada indikasi, dapat dilakukan kolonoskopik dan biopsi pada lesi
intestinal atau pada cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada
dasar dinding abses. Berbagai penelitian memperlihatkan rendahnya
sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dalam mendiagnosis amoebiasis
intestinal atau abses hati amoeba. Metode deteksi anti gen atau PCR
pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk menegakkan
diagnosis. Walaupun demikian, syarat untuk melakukan uji ini perlu
diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap dilakukan
untuk menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain
baik parasit maupun non-parasit.

b) Entamoeba Coli
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan stadium trofozoit atau stadium
kista dalam tinja
c) Entamoeba Hartmani
Diagnosis dengan menemukan stadium trofozoit atau kista di tinja.
Masalah yang dihadapi pada penegakan diagnosis E. hartmani ialah ia
merupakan jenis ameba pertama yang dianggap paling kecil dibanding
dengan E. histolytica. Pada pemeriksaan lansung sangat sukar dibedakan
morfologinya, oleh karena itu dianjurkan ntuk dilakukan pemeriksaan
dengan perwarnaan trikrom.
d) Entamoeba Gingivalis

75
Diagnosis dilakukan berdasarkan pemeriksaan lansung air liur, usap gigi,
dan plak gigi

h. Pengobatan

Pengobatan pada amebiasis dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :

346. Obat yang bekerja pada lumen usus sehingga dapat membunuh
stadium trofozoit dan kista dalam usus yang meliputi paranomisin,
dilaksanid furoat dan iodoquinol.

347. Obat yang bekerja pada jaringan yang meliputi emetin hidroklorida,
metronidazol dan klorokuin.

i. Pencegahan

0. Menjaga kebersihan dan sanistasi lingkungan agar selalu bersih


1. Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging
ikan), buah dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air.
2. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman. Jika minum air yang
tidak dimasak, dalam hal ini air minum kemasan hendaknya diperhatikan tutup
botol atau gelas yang masih tertutup rapi dan tersegel dengan baik.
3. Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan
menjelang makan atau sesudah buang air besar.
4. Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja
segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak
mencemari sumber air.
5. Menutup dengan baik makanan dan minuman dari kemungkinan kontaminasi
serangga (lalat, kecoak), hewan pengerat (tikus), hewan peliharaan (anjing,
kucing) dan debu.
6. Membuang kotoran, air kotor dan sampah organik secara baik dengan tidak
membuangnya secara sembarangan.
7. Menghindari pemupukan tanaman dengan kotoran manusia dan hewan. Jika
menggunakan pupuk kandang dan kompos, pastikan bahwa kondisi pupuk
kandang atau kompos tersebut benar-benar kering.
76
8. Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan
pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit
dan mengobatinya dengan obat cacing.
9. Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke
rumah sakit.
10.  Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali,
tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing
akan secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali
mungkin tidak ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan
mengobatinya.
11. Sebaiknya jauhilah orang yang sedang terinfeksi penyakit disentri karena
biasanya penyakit disentri sangat mudah sekali menular.
12. Kotoran manusia atau tinja yang mengkontaminasi pakaian harus segera
dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan air hangat .Sesudahnya tempat
cuci dan alat-alat untuk mencuci harus dibersihkan denagn desinfektan.
13. Jika kita terinfeksi bakteri penyebab disentri,sebaiknya jangan menyiapkan
makanan untuk orang lain karena bakteri dapat terkontaminasi ke makanan
dan dapat menular kepada orang lain.
j. Epidemiologi

Amebiasis terdapat di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi terutama di


daerah tropik dan subtropik, terutama di negara yang keadaan sanitasi
lingkungan dan keadaan sosio-ekonominya buruk. Di Indonesia, amebiasis
kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemi. Prevalensi E. Histolytica di
berbagai daerah di Indonesia sekitar 10% - 18 %. Di RRC, Mesir, India, dan
Belanda berkisar 10,1 % - 11,5 %; Di Eropa Utara 5 – 20 %, di Eropa Selattan
20-51 %, dan di Amerika Serikat 4 %- 21 %. Di Meksiko prevalensi
ditemukan 11 % pada kelompok umur 5 – 9 tahun, sedangkan di Bangladesh
30 % pada kelompok 2- 5 tahun.

77
F. Kerangka Konsep

78
79
Resume:
Pada kasus ini, A, 6 tahun, mengalami buang air besar berdarah dan berlendir
(disentri) dikarenakan amoebiasis. A terinfeksi oleh kista Entamoeba histolytica yang
kemudian berkembang menjadi trofozoid dan menyerang mucus kolon. Setelah
mucus kolon habis, E. histolytica tumbuh membentuk koloni yang dapat diamati
dengan adanya trofozoid dalam sampel stool (feses). Pada kasus ini, tubuh A berhasil
mengenali senyawa Galactosa dan N-acetyl-D-Galactosamide specific lectin
(Gal/Gal-NAc lectin) oleh Toll-Like Receptor 2 dan 4 (TLR-2/4). Hal ini
menyebabkan aktivasi dari Nuclear Factor kapp-light-chain-enhancer of activated B
cell (NFkB). Hal ini menyebabkan terbentuknya sitokin-sitokin seperti Interleukin 1-
betha ( IL-1β), IL-6, IL-12, Interferon Type-II ( INF-γ), dan Tumor Necrosis Factor
alpha (TNF-α). Hal ini menyebabkan terjadi reaksi inflammasi dalam tubuh yang
ditandai dengan demam dan diare.

Selain itu, lapisan luar dari amoeba ini mengandung lipopeptide


phosphoglycans (LPPG) yang kemudian berikatan dengan CD4 dan CD8 yang
kemudian akan menghasilkan IL-4, IL-5, IL-13, INF-γ (merangsang neutrophil dan
makrofag), dan IL-17 (peningkatan Immunoglobin A / IgA). Hal ini juga merangsang
reaksi inflammasi yang ditandai dengan demam. Sedangkan manifestasi klinis lain
dari kasus disebabkan oleh invasi amoeba terhadap jaringan. Hal ini menyebabkan
Ulcer Amoebiasis. Pada kasus, ulcer sudah sampai mengenai vena mesentrica
inferior, mengakibatkan adanya tinja berdarah dan berlendir (disentri). Selain itu,
nervi sphlanici pelvici, yang mempersyarafi kolon, mengalami kerusakan
menyebabkan sensasi rasa skait sedang yang diderita oleh A.

80
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Anak A, berusia 6 tahun, mengalami buang air besar berdarah dan berlendir
dikarenakan amoebiasis yang disebabkan oleh infeksi protozoa Entamoeba
histolytica.

81
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, Arga. no date. Pergeseran Leukosit. Diakses pada tanggal 24 Agustus dari
http://www.argaaditya.com/2015/03/pergeseran-leukosit-leukocytes-
shift.html

Afredy, David. 2015. Demam pada Infeksi.


https://www.scribd.com/doc/262924070/demam-pada-infeksi
Andayasari, Lelly. Kajian Epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Yang
Disebabkan Oleh Amuba Di Indonesia (online). Diakses pada 24 Agustus
2016 dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/viewFile/110/91.

Anonim. No date. Disentri dalam http://disentri.org/ diakses pada 24 Agustus 2016

Anonim. Entamoeba Histolitica (online). Tersedia di :


https://tiszyaszya.wordpress.com/2011/06/28/entamoeba-histolitica/. Diakses
pada 24 Agustus 2016.

Anonim. No date. Mekanisme disentri dari entamoeba hystolitica dalam


http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/115/jtptunimus-gdl-rrdewiretn-5701-2-
babii.pdf diakses pada 24 Agustus 2016Departemen Parasitologi. 2015. Buku
Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: FKUI

Anonim. No date. Penyakit disentri dalam http://penyakitdisentri.com/

Anonim. No date. Diakses pada 24 Agustus 2016.


http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122645-S09016fk-Hasil%20pemeriksaan-
Literatur.pdf

Charbek, E. 2015. Normal Vital Signal. Diakses pada 24 Agustus 2016 dari
http://emedicine.medscape.com/article/2172054-overview#a1
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman.1999. Buku Ajar Diare. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta

Diare akut disebebkan bakteri dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-


umar5.pdf diakses pada 24 Agustus 2016

Diare dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35216/4/Chapter


%20ll.pdf diakses pada 24 Agustus 2016

Dwijaya. A. 2012. Bab 2 Tinjauan Pustaka.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31365/4/Chapter%20II.pdf
Eddy Soewandojo. 2002. Amebiasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
Ketiga. Balai Penerbit FK UI. Jakarta
82
Eroschenko,V.P. 2008. diFiore Atlas of Histology with Functional Correlation. 11th
edition. Philadelphia:Lippincott Williams&Wilkins

Guyton, Arthur C. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Haque, R. 2003. Amebiasis. The New England Journal of Medicine.


http://www.higiene.edu.uy/ubp/ubpmateriales/papers/1-6%20Amebiasis.pdf
diakses pada 24 Agustus 2016

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman interpretasi Data Klinik.


Jakarta. Diakses dari binfar.kemkes.go.id/?
wpdmact=process&did=MTcyLmhvdGxpbms=

Keshav, Satish. 2004. The Gastrointestinal System at a Glance. Massachusetts :


Blackwell Science Ltd.

Laine L, Jensen DM, American College of Gastroenterology guideline for


management of patient with ulcer bleeding. Am J Gastroenterol. 2012;
107;345-360. PMID: 22310222 www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22310222.

Mubarak, Hasnil. 2011. Karakteristik Penderita Hemoroid Berdasarkan Umur Dan


Jenis Kelamin Di RSUP H. Adam Malik Tahun 2008 – 2009. Medan:
Universitas Sumatera Utara

Nurun najmi. Entamoeba histolytica.


http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtptunimus-gdl-nurunnajmi-5252-
2-bab2.pdf (diakses pada 24 Agustus 2016) Sherwood, Lauralee. 2012.
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta : EGC

Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi Umum


dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC

Rochsitasari, Noverita. 2011. Perbedaan Frekuensi Defekasi dan Konsistensi Tinja


Bayi Sehat Usia 0-4 Bulan yang Mendapat ASI Eksklusif, Non Eksklusif dan
Susu Formula. Semarang : Diponegoro University Institutional Repository.
Dapat diakses di http://eprints.undip.ac.id/31168/2/Bab_1.pdf pada 24
Agustus 2016 pukul 20.29 WIB.

Samie, A., A. ElBakri, dan Ra’ed AbuOdeh. 2012. Amoebiasis in the Tropics:
Epidemiology and Pathogenesis. Diakses pada tanggal 23 Agustus 2016 dari
www.intechopen.com.

Scandinavian Journal of Gastroenterology/University of Bristol: "Bristol Stool Scale."


Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. 2015. Buku ajar Parasitologi
Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Badan penerbit FKUI
83
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Indonesia: Jakarta

Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta :
EGC

Tanyuksel, M. dan  William A. Petri, Jr. 2003. Laboratory Diagnosis of Amebiasis.


Diakses pada tanggal 24 Agustus 2016 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC207118/#r74

Tehuteru, Edi S., et al. 2001. Pola Defekasi pada Anak Sari Pediatri. Jakarta : Sari
Pediatri Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 129 – 133. Dapat diakses dari
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-4.pdf pada 24 Agustus 2016 pukul
20.14 WIB.

Waldo E. Nelson. 2000. Penyakit protozoa. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15.
Volume 2. EGC: Jakarta

84

Anda mungkin juga menyukai