Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

HIRSCHSPRUNG DISEASE

Pembimbing :

dr. Hendi Anshori, Sp. B

Oleh :

Findania Ulfah Afanin Kustandari 130112190579

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RSUD DR. SLAMET KABUPATEN GARUT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

2021
BAB I

LAPORAN KASUS

1. Identitas :
Nama : An. AM
Tanggal lahir : 16 November 2021 (1 bulan)
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Kp. Sarianten RT 02 RW 08, Desa Sukalaksana, Kec.
Banyuresmi, Kab. Garut
Agama : Islam
Tanggal SMRS : 3 Desember 2021
Tanggal pemeriksaan : 7 Desember 2021

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. Asep, 32 tahun
Nama Ibu : Ny. Gina, 27 tahun
Pekerjaan Ayah : pekerja lepas
Pekerjaan Ibu : ibu rumah tangga
Pendidikan terakhir ayah : SMK
Pendidikan terakhir ibu : SMK

2. Anamnesis
Keluhan Utama : BAB sedikit-sedikit
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dikeluhkan BAB sedikit-sedikit sejak usia 1 minggu. Dikatakan
BAB awal kelahiran normal hingga umur 1 minggu menjadi sedikit-sedikit dan
berbau busuk. BAB berwarna kuning dan makin lama semakin cair. Keluhan disertai
dengan perut semakin membesar dan kembung sejak usia 3 hari. Keluhan juga disertai
dengan muntah lendir sejak usia 2 hari. Setelah usia seminggu muntah menjadi
berwarna hijau. Pasien juga dikeluhkan demam mulai usia 3 hari, serta kulit terlihat
mulai menguning. Pasien menyusu kuat.
Riwayat kehamilan dan kelahiran
Pasien merupakan anak ke-4 dari ibu P4A0. Pasien dikatakan cukup bulan, lahir
spontan, ditolong bidan, langsung menangis kencang. Berat badan lahir 4100 gram,
panjang badan lahir 55 cm. Riwayat ibu sakit ketika hamil disangkal. Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan tertentu selama hamil disangkal. Riwayat ibu memiliki
diabetes melitus disangkal. Ibu pasien rutin kontrol ke bidan.

Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluhan sama disangkal. Anak pertama lahir ditolong
paraji dan meninggal beberapa hari setelah lahir. Anak kedua lahir ditolong bidan dan
dikatakan memiliki jantung bocor. Anak ketiga lahir ditolong bidan.

3. Pemeriksaan Fisik
BBA : 3180 gram
PB : 55 cm
State 3, Sakit berat
N : 154x/mnt
R : 58x/mnt
T : 37,2 C
SpO : 96% O2 nc 2 lpm

Head to toe :
Kepala : UUB datar lembut, Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, PCH (-) POC
(-)
Leher : retraksi suprasternal (-), perbesaran KGB (-)
Thoraks : bentuk dan gerak simetris, retraksi intercostal -/-
Cor : S1S2 normal, murmur (-)
Pulmo : VBS kiri=kanan, rh -/-, slem -/-
Abdomen : cembung, tegang, distensi (+), darm contour (+), BU (-) a/r lumbar dan
iliac kanan, BU meningkat a/r limbar kiri dan umbilikal, NT sulit dinilai, hipertimpani
(+)
Ekstremitas : akral hangat (+) CRT<2

Rectal toucher :
Spinchter mencekik, ampula kolaps, mukosa licin , dan tidak terdapat massa,
terdapat feses berwarna kuning pada handscoon.

4. Diagnosa Banding
I. Hirschsprung disease
II. Enterocolitis
III. Anorectal malformation
IV. Electrolyte imbalance
V. Meconeum plug syndrome

5. Penunjang
Ro Abdomen 3 posisi 3/12/2021 :
 Tampak bayangan udara di dalam usus berlebih dengan hilangnya pola
mozaik.
 Tidak tampak bayangan lusen pada dinding usus.
 Tidak tampak bayangan lusen yang berproyeksi di daerah hepar

Kesimpulan : Ileus paralitik tanpa pneumatosis intertinalis, mencurigai suatu NEC


grade I.
BNO 3 posisi 13/12/2021 :
 Tampak bayangan udara di dalam usus berlebih dengan hilangnya pola
mozaik.
 Tidak tampak bayangan lusen pada dinding usus.
 Tidak tampak bayangan lusen yang berproyeksi di daerah hepar

Kesimpulan : Ileus paralitik, mencurigai suatu NEC grade I.


Lab 03/12/2021 :
Hb : 14,6 g/dL
Ht : 41 %
L : 21.870 / mm3
Tr : 700.000 / mm3
Eritrosit : 4,51 juta/mm3
DC : 0/1/0/45/47/7
Bilirubin total : 0,91 mg/dL
Bilirubin Direk : 0,22 mg/dL
Protein total : 5,72 g/dL
Albumin : 3,21 g/dL
Ureum : 42 mg/dL
Kreatinin : 0,6 mg/dL
GDS : 78 mg/dL
Natrium : 131 mEq/L
Kalium : 4,9 mEq/L
Clorida : 91 mEq/L
Kalsium : 5,80 mEq/L

Lab 10/12/2021
Natrium :138 mEq/L
Kalium : 1,8 mEq/L
Clorida : 96 mEq/L
Kalsium : 5,54 mEq/L

Lab 12/12/2021
Hb : 14,5 g/dL
Ht : 42 %
L : 23.810 / mm3
Tr : 9.000 / mm3
DC : 0/0/0/90/7/3

6. Diagnosa
Susp. Hirschsprung Disease

7. Tatalaksana
 Pasang O2 Nasal canul 2 lpm
 Pasang NGT
 Pasang foley catheter
 Rehidrasi dengan NS 0,9% 200cc dalam 7 jam
 Aminofusin 100cc/24 jam
 Cefotaxime 3x175 mg
 Metronidazole 3x50 mg
 ASI SF 10x10 cc po
 Wash out 3x/hari
 Rujuk Sp. BA  pasien menolak, pasien pulang paksa

8. Prognosis

Ad vitam dubia ad bonam

Ad functionam dubia ad malam

Ad sanationam dubia ad bonam


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Usus Besar


Usus besar merupakan tempat dimana air direabsorbsi , dan mengubah
menjadi bentuk semisolid / feses. Usus besar terdiri dari cecum, appendix, ascending
colon, transverse colon, descending colon, sigmoid colon, rectum, dan anal canal.
Teniae coli pada usus besar, apabila berkontraksi membuat dinding colon memendek
membentuk haustra. Perbedaan usus besar dengan usus halus :
 Omental appendices : kecil, berlemak, omentum-like projection
 Teniae coli :
o Mesocolic tenia : tempat melekat transverse dan sigmoid
mesocolon
o Omental tenia : tempat melekat omental appendices
o Free tenia : bebas tidak ada yang melekat.
 Haustra : seperti kantung dari dinding colon diantara teniae
 Diameter lebih besar.
a. Cecum dan Appendix
Merupakan bagian pertama dari usus besar, dilanjutkan dnegan ascending
colon. Cecum berada di iliac fossa dari kuadran kanan bawah inferior ileocecal
junction. Jaraknya 2,5 cm dari inguinal ligamen. Cecum dan appendix hampir
semuanya tertutup pleh peritonium. Pada cecum, terdapat ileal orifice yang ketika
cecum distensi, ileal orifice akan menutup, untuk mencegah reflux. Appendix
memiliki panjang 6-10 cm, yang berisi jaringan limfoid.

Cecum disuplai olaeh ileocolic artery cabang dari SMA, sedangkan


appendiks oleh appendicular artery cabang dari ileocolic artery. Aliran darah dari
cecum dan appendiks menuju ileocolic vein selanjutnya menuju SMV. Aliran
limfatik menuju ileocolic lymph node dan superior mesenteric lymph nodes.
Appendix dan cecum diinervasi oleh superior mesenteric plexus.

b. Colon
Kolon mengelilingi usus halus dalam abdomen dan memiliki bentuk seperti
kantung-kantung yang panjang yang disebut haustra. Colon terdiri dari :

a) Ascending Colon
 Disebelah kanan usus halus, bagian kedua usus besar.
 Dimulai dari cecum dan berbelok pada right colic flexure (hepatic flexure)
di hepar
 Greater omentum memisahkannya dengan dinding abdomen bagian
anterolateral
 Bagian anterior dilapisi peritoneum
b. Transverse Colon
 Bagian kolon terpanjang dan mobile
 Menjalar dari right colic flexure ke left colic flexure pada spleen (splenic
flexure)
 Transverse colon dan transverse mesocolon membentuk lengkungan ke
bawah
c. Descending Colon
 Retroperitoneal
 Dilapisi peritoneum di anterior dan lateral
 Menjalar dari left colic flexure ke left iliac fossa yang akan berlanjut
menjadi sigmoid colon
d. Sigmoid Colon
 15 cm dari anus
 Membentuk huruf S yang menghubungkan descending colon dengan
rectum
 Rectosigmoid junction (hubungan antara sigmoid colon dengan rectum)
ditandai dengan berakhirnya teniae coli.
 Memiliki mesentery (sigmoid mesocolon) yang panjang sehingga bebas
bergerak

Vaskularisasi :

 Artery
o Superior Mesenteric Artery (SMA)

1. Right Colic Artery – Ascending Colon


2. Middle Colic Artery – Transverse Colon
3. Ileocolic Artery – Ascending Colon
4. Marginal Artery – Transverse Colon
o Inferior Mesenteric Artery

1. Left Colic Artery – Descending Colon


2. Sigmoid Artery – Sigmoid Colon
 Vein

o Superior Mesenteric Vein – Ascending dan Transverse Colon

1. Right Colic Vein – Ascending Colon


2. Ileocolic Vein – Ascending Colon

o Inferior mesenteric vein – Descending dan Sigmoid Colon

Drainase Limfatik :

 Ascending Colon

Epicolic dan paracolic lymph node → Ileocolic dan intermediate right colic
lymph node  Superior mesenteric lymph node

 Transverse Colon

Middle colic lymph node → Superior mesenteric lymph node


 Descending Colon dan Sigmoid Colon

Epicolic and paracolic lymph node → Intermediate colic lymph node →


Inferior mesenteric lymph node

Inervasi :

 Ascending dan Transverse Colon  Superior Mesenteric Nerve Plexus


 Descending dan Sigmoid Colon

 Abdominopelvic Splanchnic Nerve

 Pelvic (Hypogastric) Plexus


c. Rectum
Merupakan pelvic part dari saluran pencernaan. Bagian proksimalnya
terdapat sigmoid colon, dan di distal terdapat anal canal. Berbentuk S, merupakan
fixed terminal part dari usus besar. Rectum dilapisi oleh peritonium pada
permukaan anterior dan lateral 1/3 superior dan permukaan anterior 1/3 middle.
Terdapat ampulla pada rectum yang disupport oleh lecator ani dan anococcygeal
ligament. Berfungsi untuk menampung feses hingga siap untuk defekasi. Pada
rektum terdapat rectosigmoid junction di bagian superior dan anorectal junction
di inferior. Rektum memiliki 3 flexure :
 Sacral flexure : Belokan akibat anatomi rectum yang mengikuti lengkungan
sacrum dan coccyx.
 Anorectal flexure : Belokan tempat rectum berhubungan dengan anal canal.
Penting untuk fecal continence sehingga feses tidak langsung meluncur
keluar.
 Lateral flexure : Dalam sayatan melintang dari arah anterior saat rectum
akan berhubungan dengan anal canal, terdapat 3 belokan secara lateral:
I. Superior left
II. Intermediate right
III. Inferior left

Terbentuk akibat adanya internal infolding dari superior transverse rectal


fold (kiri), middle transverse rectal fold (kanan), inferior transverse rectal fold
(kiri).
Vaskularisasi :

I. Artery
 Abdominal inferior mesenteric artery → Superior rectal artery →
superior rectum
 Internal iliac arteries → right and left rectal arteries → middle dan
inferior rectum
 Internal pudendal arteries → anorectal junction and anal canal

II. Vena
 Superior rectal vein → portal venous system
 Middle rectal vein → systemic venous system
 Inferior rectal vein → systemic venous system

Ketiga vena tersebut kemudian membentuk plexus yang terbagi menjadi


2:

 Internal rectal venous plexus (internal hemorrhoid venous


plexus)
 External rectal venous plexus (external hemorrhoid venous
plexus)

Innervasi :

I. Sympathetic
Lumbar splanchnic nerve → Hypogastric/ pelvic plexus → Peri-arterial
plexus

II. Parasympathetic

S2-S4 via Pelvic splanchnic nerve → Inferior hypogastric plexus →


Rectal/ pelvic plexus
d. Anal Canal
Merupakan bagian terminal usus besar dan seluruh saluran cerna.
Memanjang dari bagian superior pelvic diaphragm hingga anus. Panjangnya
sekitar 2,5 -3,5 cm. Canal akan kolaps kecuali jika ada feses. Anal canal terbagi
menjadi dua bagian secara perkembangan embryonic sehingga mendapatkan
vaskularisasi, limfatik, dan inervasi yang berbeda pula. Dua bagian ini dipisahkan
oleh pectinate line.
 Superior – berasal dari embryonic hindgut
 Inferior – berasal dari embryonic proctodeum

Anal canal dikelilingi oleh internal anal sphincter (2/3 superior) dan
external anal sphincter (1/3 inferior)
 Internal anal sphincter
Penebalan dari lapisan circular muscle. Smooth muscle yang distimulasi
oleh saraf simpatik dan dihambat oleh saraf parasimpatetik. Bersifat involuntari.
Selalu berkontraksi untuk mencegah cairan/flatus keluar, akan relaksasi
sementara ketika ampula terdistensi oleh feses/gas.
 External anal sphincter
Otot rangka yang menempel pada perineal body di bagian anterior dan
coccyx pada bagian posterior melalui anococcygeal ligament. Bersifat voluntary.
Diinervasi oleh S4 melalui inferior rectal nerve. Kontraksinya untuk mencegah
feses keluar ketika internal sphincter relax.Bagian superior bersatu dengan
puborectalis muscle. Terdiri dari subcutaneus, superfisial dan deep part.

Anal canal terdiri dari beberapa struktur:


 Anorectal junction  hubungan antara anal canal dan rectum
 Anal column rangkaian longitudinal ridges pada bagian mukosa anal canal
 Anal sinuses recess kecil yang menghasilkan mucus
 Anal valves bagian inferior dari anal column
Pada bagian inferior dari anal valves terdapat garis khayal ireguler yang
disebut pectinate line yang membatasi antara bagian superior (visceral) dan
inferior (somatic).
Vaskularisasi :
1) Artery
 Superior rectal artery  superior anal canal hingga pectinate line
 Inferior rectal artery  inferior anal canal hingga pectinate line
 Middle rectal artery  membentuk anastomosis dengan superior dan inferior
rectal artery.
2) Vena
Drainase vena dari anal canal melalui internal venous plexus, namun
drainase lanjutannya dibedakan berdasarkan bagian anal canal
 Superior
Superior rectal vein & portal system → inferior mesenteric vein
 Inferior
Inferior rectal vein → inferior vena cava

Drainase Limfatik :
I) Superior
Internal iliac lymph node → common iliac & lumbar lymph node
II) Inferior
Superficial inguinal lymph node
Innervasi :
I) Superior
Visceral nerve dari inferior hypogastric plexus yang mengandung saraf
simpatik dan parasimpatik guna defekasi.
II) Inferior
Somatic nerve dari inferior anal (rectal) nerve, cabang dari pudendal
nerve.
2. Fisiologi Usus Besar

I. Absorpsi
 Penyerapan air dan ion dari chymus untuk membentuk feces
 Absorpsi terjadi di ½ bagian proximal dari kolon
 Konten yang diserap
 Air – kebanyakan diserap dan menyisakan ±100mL pada feces
 Ion – kebanyakan diserap dan menyisakan 1-5 mEq Na dan Cl
 Konten yang tidak diserap membentuk feces
 ¾ air dan ¼ padatan
 30% bakteri yang telah mati
 20% lemak
 10-20% zat anorganik
 30% zat yang tidak bisa dicerna
 Stercobilin dan urobilin untuk menghasilkan warna
 Produk bakteri (Indole, skatole, mercaptans dan H2S) untuk bau
 Mekanisme Penyerapan
 Kolon terdiri dari epitel yang lebih rapat sehingga lebih efektif dalam
transportasi ion tanpa ada arus balik
 Ion yang diserap menyebabkan perbedaan gradient osmosis sehingga
air masuk dari lumen ke dalam jaringan
II. Penyimpanan
 Penyimpanan feces sementara hingga dikeluarkan
 Penyimpanan terjadi di ½ distal dari kolon
III. Sekresi
 Kolon memiliki kripta Lieberkuhn seperti dalam usus halus namun tanpa villi
 Memiliki lapisan mukosa yang mensekresikan mucus yang mengandung ion
bikarbonat yang berfungsi untuk
 Melindungi dinding usus dari ekskoriasi dan bakteri
 Menimbulkan efek adheren untuk membentuk feces
 Menetralkan produk asam dari bakteri di kolon
 Sekresi mukus diregulasi oleh :

 Stimulasi taktil
 Refleks saraf lokal
 Stimulasi dari pelvic nerve (parasimpatetik)
 Gangguan emosional (stimulasi ekstrim parasimpatetik)
IV. Fermentasi
Proses kimiawi oleh bakteri yang akan mengubah gula menjadi gas methane,
alkohol, acetyldehide. Polisakarida dihidrolisis  monosakarida oleh bakteri 
metabolisme oleh glikolisis di sel bakteri  piruvat diubah menjadi SCFA dan
gas (CO2, methane, H+)

Gerakan Usus
a) Mixing Movements “Haustrations”
Kombinasi kontraksi otot sirkuler dan otot longitudinal (yang terdiri
dari 3 otot yang disebut taeniae coli) menyebabkan terbentuknya baglike sac
yang disebut “haustration”. Kontraksi pada haustration terjadi secara
berurutan sehingga memberikan dorongan pada feces untuk bergerak kea rah
anus. Tiap kontraksi mencapai puncak intensitas dalam 30 detik, dan
menghilang dalam 60 detik. Hal tersebut membuat feses terpapar pada mukosa
usus sehingga absorbsi cairan dan zat lain sebanyak 80-200 ml feses/hari.

b) Propulsive movements “mass movement”


Kebanyakan gerakan ini terjadi di cecum dan ascending colon, akibat
haustration yang lambat namun persisten. Gerakan mendorong feces mulai
dari aleocecal valve hingga sepanjang kolon membutuhkan waktu 8-15 jam.
Dari cecum hingga ke sigmoid, pergerakan massa terjadi 1-3x/hari terutama 15
menit setelah makan pagi.
 Hal ini normal terjadi selama beberapa menit setiap harinya dengan proses
 Makanan masuk ke lambung dan menstimulasi gastrocolic reflex
 Constrictive ring terjadi dalam merespon pembesaran atau titik iritasi
pada kolon (biasanya terjadi di transverse colon)
 Kemudian, sekitar 20 cm atau lebih distal dari constrictive ring,
haustration akan menghilang
 Feces akan terdorong
 Pergerakan ini distimulasi oleh gastrocolic reflex dan duodenocolic reflex
yang merupakan hasil dari distensi lambung dan duodenum
 Ketika mencapai rectum, akan menstimulasi rasa ingin defekasi.

Defekasi
I) Rectum Filling
Rektum biasanya kosong akibat adanya sphincter antara sigmoid colon
dan rectum. Ketika rectum terisi, keinginan untuk defekasi muncul.

II) Defecation Reflex (reflex utama)


1. Feces dalam rectum membuatnya distensi
2. Inisiasi sinyal afferent ke myenteric plexus untuk membuat gerakan peristaltic
sepanjang usus besar ke anus
3. Relaksasi internal anal sphincter secara involunter
4. Feces tertahan oleh external anal sphinter yang bekerja secara volunteer
5. Jika seseorang ingin defekasi maka external anal sphincter akan relaksasi.

III) Parasympathetic Defecation Reflex (reflex bantuan)

1. Feces dalam rectum membuatnya distensi


2. Inisiasi saraf pada sacral segment dan memicu pelvic nerve untuk membuat
gerakan peristaltic yang lebih kuat sepanjang usus besar ke anus.
3. Inisiasi saraf memicu valsava maneuver atau mengejan berupa penutupan
glottis, inspirasi dalam, kontraksi otot abdomen sehingga membantu feces
untuk turun
4. Relaksasi internal anal sphincter secara involunter
5. Relaksasi external anal sphincter secara volunteer
6. Defekasi

3. Hirschprung Disease
Disebut juga megacolon kongenital, merupakan kelainan congenital yang
disebabkan oleh karena tidak adanya ganglion parasimpatis pada lapisan submukosal
(meissner) maupun lapisan muskularis (Anerbach ) usus besar, mulai dari spingter
ani interna ke arah proksimal dengan panjang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus
dan setidak-tidaknya rektum. Penyakit ini ditandai dengan lambatnya pengeluaran
mukonium dalam dua kali 24 jam, diikuti tanda-tanda obstruksi mekanis seperti
muntah, kembung, gangguan defekasi (konstipasi dan diare) dan akhirnya disertai
kebiasaan defekasi yang tidak teratur.

4. Epidemiologi
 Merupakan penyebab tersering obstruksi usus pada neonatus.
 1 diantara 5000 kelahiran
 Laki-laki : perempuan = 4:1
 Sekitar 1400 bayi di Indonesia tiap tahunnya.
 Kebanyakan kasus meliputi rektum/rektosigmoid, 5-10% kasus meliputi smua
kolon

5. Etiologi
Penyebab penyakit hirschsprung adalah gangguan peristalsik di bagian usus
distal dengan defisiensi ganglion (malformasi parasimpatik). Aganglionosis biasanya
pada bagian akhir usus. Aganglionosis tersebut disebabkan oleh gagalnya migrasi ke
caudal sel-sel neuroblast pada masa awal kehidupan embrio, sehingga tidak mencapai
rectum. Dicirikan dengan abnormalitas dari basement membrane dan extracellular
matrix dan dan tidak adanya ganglion intramural pada enteric nerve plexus (Meissner
submucosal dan the Auerbach myenteric plexus). Normalnya sel neuroblas bermigrasi
dari Krista neuralis saluran cerna bagian atas dan selanjutnya mengikuti serabut vagal
ke kaudal. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hilangnya aktifitas neural cell
(NCAM) yang berperan penting dalam migrasi neurocyst dan lokalilasis neurocyt ke
tempat spesifik, dapat berkontribusi untuk tidak terdapatnya sel ganglion pada
hirschspung disease.

6. Faktor Risiko
 Riwayat Keluarga
 Kongenital
 Kelainan kongenital yang menyertai
7. Patofisologi
Minggu ke 13 pasca konsepsi, neural crest cell bermigrasi dari proksimal ke distal
saluran pencernaan  Neural crest tidak mencapai bagian distal akibat belum matang/
sudah menjadi ganglion sel terlebih dahulu atau sel ganglion sudah mencapai distal
namun tidak bisa berproliferasi/mati bagian kolon menjadi aganglionik  kolon
tidak dapat mengembang tetap sempit  gangguan defekasi feses menumpuk
pada kolon proksimal  distensi  megakolon
8. Klasifikasi
Berdasarkan panjang daerah aganglioner, hisrchprung dibagi :
I. Ultrashort 1/3 bawah rectum
II. Short  sampai rektosigmoid. Merupakan kelainan terbanyak, disebut juga
hirschsprung klasik.
III. Long mencapai kolon descenden
IV. Sub Total colon transversum
V. Total seluruh kolon

9. Manifestasi Klinis
 Gangguan defekasi dalam 24 jam pertama sejak lahir atau baru diketahui
orang tua beberapa minggu atau beberapa bulan setelah lahir.
 Trias hirschsprung pada neonatus : mekonium terlambat keluar > 24 jam
pertama, Muntah hijau (billous), perut membuncit seluruhnya.
 Intoleransi feeding
 Makroskopik : kolon terdilatasi dan hipertrofi
 Obstipasi kronik bisa di selingi diare berat dengan feses berbau (enterokolitis)
 RT : ujung jari terjepit lumen rectum yang menyempit, pengeluaran kotoran
mungkin terjadi setelah dilakukan colok dubur.
 Pada anak bisa terjadi failure to thrive
 Pada neonatus dapat terjadi perforasi sekum/appendiks

10. Diagnosis
I. Anamnesis
 Umur bayi, pada bayi cukup bulan mekonium biasanya keluar terlambat >
24 jam.
Neonatus :
 Mekonium keluar terlambat >24 jam
 Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
 Perut cembung dan tegang
 Muntah hijau
 Feses encer
Anak :

 Konstipasi kronis
 Failure to thrive (gagal tumbuh)
 Berat badan tidak bertambah
 Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
 Tanda-tanda sepsis, perforasi
 Tanda-tanda enterokolitis (obstipasi kronik diselingi diare berat dengan
feses berbau)

II. Pemeriksaan Fisik


Abdomen :
 Inspeksi : distensi abdomen, venektasi
 Palpasi : lunak/tegang
 Auskultasi : Bising usus menurun / tidak ada

RT : ujung jari terjepit lumen rectum yang menyempit, pengeluaran kotoran


mungkin terjadi setelah dilakukan colok dubur.

III. Penunjang
 Foto polos abdomen
Gambaran tapal kuda. Gambaran obstruksi usus letak rendah,
dikatakan megakolon jika diameternya > 6,5 cm.
 Foto Kolon dengan kontras
Pada bayi dengan pengeluaran mukoneum yang terlambat,
distensi abdomen, muntah hijau, meskipun dengan colok dubur gejala
dan tanda obstruksinya mereda. Bahan yang digunakan adalah
urografin. Gambaran yang ditemukan :
 Tampak daerah penyempitan di bagian rectum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
 Tampak daerah transisi, (distal daerah sempit dan proksimal
longgar)
Daerah ini penting untuk pembuatan kolostomi. Ditampilkan pula
beberapa gambaran zona transisi antara lain:
1. Abrupt, perubahan mendadak dari segmen sempit ke segmen
dilatasi.
2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut.
3. Funnel, perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi secara
gradual.
Didapatkan pula gambaran permukaan mukosa yang tidak
teratur yang menunjukkan proses enterokolitis pada foto pasca
evakuasi barium. Apabila dengan foto barium enema tidak terlihat
gambaran Hirschsprung, dibuat foto retensi barium yang dikerjakan
24-48 jam sesudah barium enema untuk melihat bayangan sisa barium
yang tampak membaur dengan feses ke arah proksimal

Tanda-tanda radiologis yang khas untuk penyakit Hirschsprung adalah :


1. Adanya gambaran zone transisional
2. Gambaran ireguler pada segmen aganglionik
3. Gambaran penebalan dan adanya nodus pada segmen mukosa kolon,
sisi oral dari zona transisional
4. Keterlambatan pengeluaran kontras
5. Gambaran Question mark pada total aganglionosis
 Biopsi  patologi anatomi
Untuk diagnosis pasti hirschsprung. Dilakukan dnegan
mengambil bagian diatas dentate line sekitar 1-1,5 cm diatas dentate
line. Ditemukan tidak adanya sel-sel ganglion meissneri pada bagian
usus yang menyempit dan ditemukannya penebalan serabut syaraf.
 Manometri
Memasukkan balon kecil dengan kedalaman yang berbeda-beda
ke dalam rectum dan kolon. Study manometri pada megakolon
congenital memberikan hasil sebagai berikut:
o Dalam segmen dilatasi terdapat hiperaktifitas dengan aktifitas
propulsive yang normal.
o Dalam segmen aganglionik tidak terdapat gelombang peristaltic
yang terkoordinasi, motilitas normal digantikan oleh konstraksi
yang tidak terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang
berbeda.
o Reflek inhibisi antara rectum dan spingter ani tidak berkembang
reflek relaksasi spingter ani interna setelah distensi rectum tidak
terjadi bahkan terdapat kontraksi spastik dan relaksasi spontan
tak pernah terjadi.

Pemeriksaan ini dilakukan bila pada pemeriksaan klinis, radiologis,


dan histologis meragukan, misalnya pada megakolon congenital ultra
short.

 Complete blood count  untuk mengetahui adnaya komplikasi seperti


enterokolitis
11. Diagnosis Banding

 Meconium plug syndrome

12. Tatalaksana
Preoperatif :
Rujuk: dokter spesialis bedah anak untuk tata laksana definitif.
Tatalaksana awal dapat diberikan pada pasien dengan distensi abdomen (biasanya
pada kasus aganglionik total)
a. Dekompresi saluran cerna dengan NGT. Suction setiap 15-20 menit (cairan
jejunum akan mulai mengisi lambung dalam rentang waktu ini), atau
dekompresi Rektal dengan rectal tube, atau colostomy.
b. Rehidrasi (IV line)
c. Pemasangan kateter urine (normal nya 1,5cc/kgBB/jam)
d. Antibiotik broad-spectrum
e. Irigasi  10-20 ml/kgbb, diulang 2-3x/hari
Untuk merangsang peristaltik. Memasukkan suatu larutan ke dalam rectum
dan kolon sigmoid.Obat-obatan kadang diberikan dnegan enema untuk
melunakkan feses dan mengeluarkan efek lokal pada mukosa rectal.
I. Penatalaksanaan sementara
Dilakukan sebelum pembedahan pengangkatan segmen usus aganglionik,
diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Pembuatan kolostomi di kolon yang
berganglion normal paling distal, merupakan tindakna pertama yang harus
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan obstruksi usus serta mencegah
enterokolitis yang merupakan penyebab kematian utama. Kolostomi pada penyakit
Hirschprung sebaiknya dikerjakan paling tidak, setelah 3 sampai 5 bulan setelah
diagnosis ditegakkan, sedangkan operasi definitif tidak dikerjakan pada periode
awal kelahiran. Kolostomi dekompresi dikerjakan pada:
 Pasien neonatus , karena tindakan bedah definitive langsung tanpa kolostomi
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian yang disebabkan oleh
kebocoran anastomosis dan abses rongga pelvis.
 Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, pasien kelompok ini
mempunyai kolon yang sangat terdilatasi dengan kolostomi ukuran kolon
akan mengecil kembali dalam waktu 3 – 6 bulan sehingga anastomosis
nantinya lebih mudah.
 Pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umumyang buruk

II. Penatalaksanaan definitif


A. Prosedur Swenson
Prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi spingter ani,
anastomosis dilakukan secara langsung.. Pembedahan ini disebut sebagai
prosedur tarik terobos atau pull through abdomino perineal. Swenson I
dilakukan dengan puntung rectum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan.
Sedangkan Swenson II dilakukan dengan puntung rectum ditinggalkan 2 cm di
bagian anterior dan 0,5 – 1 cm di bagian posterior.
B. Prosedur Duhamel
Prinsipnya pada membiarkan rektum tetap ada, kemudian usus yang sehat
(normal persarafannya) dimasukkan ke dalam rektum melalui celah pada dinding
posterior dari arah retrorektal. Hasil yang dicapai berupa enterotomi. Dinding rektum
bagian depan yang aganglionik tetap ada, sehingga reflek kontrol defekasi tetap baik.
Dinding belakang rektum nantinya terdiri dari kolon yang normal.
C. Prosedur Soave
Prosedur bedah dengan pendekatan abdominoperineal dengan membuang
lapisan mukosa rekto sigmoid dari lapisan seromuskuler, selanjutnya dilkukan
penarikan kolon normal keluar anus melalui selubung seromuskuler rektosigmoid .
Prosedur ini disebut pula sebagai prosedur tarik terobos endorektal, kemudian setelah
21 hari sisa kolon yang diprolapkan dipotong .
D. Prosedur Rehbein
Prosedur reseksi anterior yang diektensikan kedistal sampai dengan
pengangkatan sebagian besar rectum. Reseksi segmen aganglionik termasuk sigmid
dilanjutkan dengan anastomosis ujung keujung dikrjakan intra abdomen ekstra
peritoneal.

13. Komplikasi
 Enterocolitis
 Life-threatening
 Bowel obstruction

Pasca Operasi:
o Abses seromuskuler
o Retraksi puntung kolon
o Nekrosiskolon endorektal
o Kebocoran anastomose  demam, terdapat abses/infiltrat, peritonitis
o Stenosis Disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka didaerah anastomosis,
infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis.
o Gangguan fungsi sfingter paska operasi  inkontinensia, soiling, obstipasi
berulang
o Enterokolitis  abikat obstruksi parsial. Terdapat distensi abdomen, muntah
hijau, eksplosif feses, feses berbau busuk.

HAEC (Hirschsprung-associated enterocolitis) Score in children with


Hirschprung disease (HSCR)

14. Prognosis
 Tanpa penanganan mortalitas 80%  akibat komplikasi seperti enterokolitis,
perforasi usus, sepsis dan sebagainya.
 Pada yang mendapatkan penanganan angka kematian kurang lebih 30 %
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore, Keith L, and Arthur F. Dalley. Clinically Oriented Anatomy.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2014.
2. Hall, John E. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13th ed., W
B Saunders, 2015.
3. Ikatan ahli bedah Indonesia. Bedah Anak. 2002.
4. Coran, Arnold G, and N S. Adzick. Pediatric Surgery. Philadelphia, PA:
Elsevier Mosby, 2012.
5. Sjamsuhidajat R. De jong W. Buku ajar ilmu bedah. Ed 4. Jakarta: EGC.2016
P. 804-808
6. Kumar, V., Abbas, A. K., Aster, J. C., & Perkins, J. A. (2018). Robbins basic
pathology (Tenth edition.). Philadelphia: Elsevier.
7. McCance, K. L., & Huether, S. E. (2010). Pathophysiology: The biologic basis
for disease in adults and children (6th ed.).
8. Brunicardi, F. Charles, and Seymour I. Schwartz. 2019. Schwartz's principles
of surgery. New York: McGraw-Hill, Health Pub. Division.
9. Haricharan, Ramanath N., and Keith E. Georgeson. "Hirschsprung disease."
Seminars in Pediatric Surgery. Vol. 17. No. 4. WB Saunders, 2008.

Anda mungkin juga menyukai