Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS BEDAH ANAK

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 8 TAHUN DENGAN POST TCS


DAN PSARP ATAS INDIKASI ATRESIA ANI, DAN ANEMIA
NORMOKROMIK MIKROSITIK



Disusun oleh:
Nurul Rahmawati Swadini
NIM. G99122090



Residen Pembimbing:


dr. Briand dr. Suwardi, Sp. B, Sp. BA


KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2014
1

BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. FR
Tanggal lahir/Umur : 27 Maret 2006
Berat badan : 20 kg
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Tn. R
Pekerjaan Ayah : Swasta
Agama : Islam
Nama Ibu : Ny. W
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Surakarta
Tanggal masuk : 9 September 2014
Tanggal pemeriksaan : 22 September 2014
No. RM : 00894567

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri pada luka

B. Riwayat Penyakit Sekarang
Allo anamnesis diperoleh dari orang tua pasien:
Seorang anak laki-laki, berumur 8 tahun, dibawa oleh orang tuanya,
dengan keluhan ingin menutup stoma. Pasien memiliki riwayat operasi
pembuatan lubang anus saat usia pasien 2,5 tahun. Riwayat operasi
kolostomi dilakukan setelah ada keluhan sulit buang air besar. Sejak itu
pasien tidak pernah kontrol. Operasi kolostomi di lakukan di RSUD Pandan
Arang Boyolali sedangkan operasi pembuatan lubang anus dilakukan di
RSDM.
2

Awal keluhan berupa kesulitan buang air besar disadari orang tua sejak
pasien berumur 2 hari. Sejak lahir sampai berumur 2 hari pasien tidak BAB
sama sekali, dan perutnya tampak membesar. Orang tua pasien membawa
pasien ke bidan, dan pasien baru dapat BAB jika diberi pencahar, BAB
encer.

C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Operasi : Colostomy saat usia 2 hari du RSUD Pandan Arang
Anoplasty saat usia 2,5 tahun di RSDM

D. Riwayat Kelahiran

Penderita dilahirkan per vaginam cukup bulan. Saat dilahirkan
penderita menangis kuat, dan gerak aktif. BBL: 3800 gram, panjang badan:
48 cm, lingkar kepala: 33 cm, lingkar dada: 35 cm, lingkar lengan: 10 cm.
Anus (-).

III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
- Keadaan umum : baik, diam saat diperiksa.
- Derajat kesadaran : compos mentis
- Derajat gizi : gizi kesan cukup
B. Tanda vital
- Hearth Rate : 110x/menit
- Frekuensi Pernafasan : 30 x/ menit, tipe toracoabdominal.
- Suhu : 37,2
0
C
C. Kulit
Kulit kuning langsat, kering (-), ujud kelainan kulit (-), hiperpigmentasi (-)
D. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut kering (-), rambut warna hitam, sukar dicabut.
3

E. Wajah
Odema (-), wajah orang tua (-)
F. Mata
Cekung (-/-), Oedema palpebra (-/-), Odema periorbita (-/-), konjungtiva
anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(2mm/2mm)
G. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi (-/-)
H. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-), malammpati 1
I. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-)
J. Tenggorok
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-)
K. Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-), JVP tidak
meningkat
L. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Suara tambahan (-/-)
M. Abdomen
Inspeksi : perut distended (-), stoma (+), product (+)
4

Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

N. Ekstremitas
Akral dingin Oedem Ikterik



O. Genital
Anus : terpasang rectal tube

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah 20 September 2014
Hemoglobin : 10,7 g/dl
Hematokrit : 33 %
Eritrosit : 4,06 .10
6
L
Leukosit : 19,8 .10
3
L
Trombosit : 320.10
3
L
Albumin : 3,7 g/dl

Laboratorium darah 19 September 2014
Hemoglobin : 9,7 g/dl
Hematokrit : 28%
Eritrosit : 3,49 .10
6
L
Leukosit : 7,8 .10
3
L
Trombosit : 327.10
3
L
Ureum : 15 mg/dl
Kreatinin : 0,1 mg/dl
Albumin : 3,2 g/dl
Natrium : 134 mmol/L
- -
- -

- -
- -


- -
- -

5

Kalium : 2,9 mmol/L
Clorida : 103 mmol/L
TIBC : 192 ug/dl
Saturasi Transferin : 5,7%

Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi tanggal 19 September 2014
Terdapat gambaran anemia normokromik mikrositik e/c suspek proses
kronik DD defisiensi besi disertai proses infeksi.

Laboratorium darah 12 September 2014
Hemoglobin : 13,0 g/dl
Hematokrit : 40%
Eritrosit : 5,14 .10
6
L
Leukosit : 6,5 .10
3
L
Trombosit : 437.10
3
L
MCV : 78,6 /um
MCH : 25,3 pg
MCHC : 32,2 g/dl
RDW : 12,7%
MPV : 7,1 fl
PDW : 15%
Eosinofil : 1,00%
Basofil : 0,00%
Neutrofil : 72,00%
Limfosit : 18,00%
Monosit : 9,00%

Pemeriksaan Radiologis Lopografi Distal tanggal 18 Agustus 2014
Berdasarkan pemeriksaan lopografi distal tampak kontras dengan lancar
mengisi colon ascenden, transversum, descenden, sigmoid, rectosigmoid dan
rectum. Mukosa kolon tampak baik. Kesan lopografi distal patent.
6

V. ASSESSMENT I
- Post TCS dan PSARP a/i atresia ani
- Anemia normokromik mikrositik

VI. PLANNING I
Infus RL 1100 cc/24 jam
Injeksi ceftriakson 500 mg/12 jam
Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
Injeksi metamizol 250 mg/8 jam
Puasa
Anal dilatasi
Medikasi luka dengan salep antibiotik Gentamisin dengan pemberian
donat kassa di sekelilimg luka


















7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ATRESIA ANI

A. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).

B. Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon
desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani.emdodern usus belakang ini
juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra (Sadler T.W, 1997).
Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi
endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah
pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka (Sadler
T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum
urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang.Sekat ini tumbuh kearah
kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis
primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur
7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daerah ini
terbentuklah korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi
membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan (Sadler T.W,
1997). Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim,
yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran
analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas
kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus
8

belakang, yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah
kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata,
yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari
epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler T.W, 1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan
hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,
esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.
Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon
asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat
disebut urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator.
Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek
perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot
levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus
dan internus dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).

C. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1
dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006). Secara umum, atresia ani lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan
kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula
perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak
ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal
(Oldham K, 2005).

D. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena (1) Putusnya saluran pencernaan di atas
dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur, (2) Gangguan
organogenesis dalam kandungan, (3) Berkaitan dengan sindrom down. Dimana
9

atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat
pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100
kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien
dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa
mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani
atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).

E. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika
urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada
letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).


F. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani
dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki laki
golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum,
perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit.
Golongan II pada laki laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm
10

dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak
ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan
dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada.
dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).
Melbourne membagi berdasarkan garis pubokoksigeus dan garis yang melewati
ischii kelainan disebut:
1. Letak tinggi apabila rektum berakhir diatas muskulus levator ani
(muskulus pubokoksigeus).
2. Letak intermediet apabila akhiran rektum terletak di muskulus levator ani.
3. Letak rendah apabila akhiran rektum berakhir bawah muskulus levator
ani.

Gambar 1. Malformasi Anorektal pada Laki-Laki

Gambar 2. Malformasi Anorektal pada Perempuan

G. Manifestasi Klinis
11

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48
jam. Gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana
rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi
tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari
rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama
sekali tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%.
Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih
sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi
beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler
(Grosfeld J, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling
banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti
oleh tetralogi of fallot dan ventrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum.
12

Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele,
meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia
ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan
atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak
rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun
muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal
and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular,
Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).

H. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pada anamnesis dapat ditemukan :
1. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
2. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
3. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan
cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran
berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila
akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran
rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa
rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
13

2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel. Bila ditemukan
fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi. Bila
fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit
dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit
dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan
adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah
letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah
lahir agar usus terisi udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki
dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest
position (sujud) dengan bertujuanagar udara berkumpul didaerah paling distal.
Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan
gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada
pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan
dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007). Mekonium
biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal
hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam
pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula
rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum
pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum
tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk
menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus
ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk
menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M,
2007). Ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple
mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat
sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus
14

dilakukan colostomy (Levitt M, 2007). Tanda pada perineum yang ditemukan
pada pasien dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada
perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan
adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu
lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal
pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan
prolaps mukosa usus yang lebih tinggi.
Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah
memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital
anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan
muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan
pemotongan fistel (Faradilla, 2009). Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani
dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk
menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang
dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik,
radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak
disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk.
Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak
ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi
atau TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP).
15

b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana
sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi
dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi. Operasi definitif setelah 4 8 minggu. Saat ini teknik yang paling
banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited
atau full postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vestibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada
fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces
menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel
vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar
selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat
penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila
penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada
pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna.
Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan
kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada
pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm.
Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu
segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum
biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda
timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat
yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar
sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada
16

fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera
dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada,
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Yang harus diperhatikan ialah adanya fistel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi
pada anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan
fistel perineum. Golongan I, yaitu jika ada fistel urin, tampak mekonium
keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra
maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah
dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih,
berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan
kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila
evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada
atresia rektum tindakannya sama pada perempuan; harus dibuat kolostomi.
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka
perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II, yaitu fistel perineum
sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus
normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di
bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi
definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan
definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit
pada invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah
(Hamami A.H, 2004).
17


Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan malformasi anorektal pada laki-laki

Gambar 4. Algoritme penatalaksaan malformasi anorektal pada perempuan


18

J. Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai
pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan
kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur (Hamami A.H, 2004).
Fungsi kontinensia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau
sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan
mental penderita (Hamami A.H, 2004). Hasil operasi atresia ani meningkat
dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP (Levitt M, 2007).






















19


DAFTAR PUSTAKA

Grosfeld J, ONeill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition.
Philadelphia: Mosby elseivier, 2006; 1566-99.
Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of
Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2005; 1395-1434
FK UII. Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Unversitas Islam Indonesia, 2006.
[diakses 22 September 2014]
Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases
2007, 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 22 September
2014]
University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery University of
Michigan.
http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/a/anorectalmalf
ormation [diakses 22 September 2014]

Anda mungkin juga menyukai