2. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder adalah infeksi akut peritoneum difus yang
disebabkan oleh apendisitis perforasi, perforasi gaster atau ulkus
duodenum, perforasi colon, leakage anastomosis dan pankreatitis
nekrotikans yang terinfeksi.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier adalah peritonitis yang terjadi setelah dilakukan
tindakan pembedahan dan terapi antibiotika pada peritonitis sekunder, dan
biaasanya terjadi pada pasien immunocompromised atau memiliki kondisi
komorbid. Pada kondisi ini, infeksi berlanjut disertai super infeksi, atau
gangguan sistem imunitas, sehingga pasien tidak dapat menahan infeksi,
peritonitis menjadi persisten dan berakibat kematian.
4. Abses Intraperitoneal/Intraabdominal
Abses intraperitoneal adalah infeksi yang terbatas (terlokalisir)
pada rongga peritoneum. Abses ini merupakan penyebab utama infeksi
persisten dan berkembangnya peritonitis tersier.
2. Adanya obstruksi
Adanya obstruksi menyebabkan akumulasi bakteri dan perforasi
usus menyebabkan kontaminasi meningkat.
3. Hemoglobin
- Hemoglobin merupakan faktor adjuvant proliferasi bakteri.
Hemoglobin terdiri dari protein Heme dan globin yang merupakan
sumber protein untuk aktivitas metabolisme bakteri, sehingga
replikasi meningkat.
- Zat besi (Fe) à berperan dalam proses pertumbuhan dan proliferasi
bakteri
- Leukotoksin (hasil sampingan metabolisme Hb oleh bakteri)
menyebabkan peningkatan daya invasi bakteri
4. Benda Asing
Benda asing berfungsi sebagai tempat proliferasi mikroba,
sehingga sel-sel imun sulit memfagositosis
5. Faktor Sistemik
Faktor sistemik beperan dalam mengurangi respon imun dan
menambah virulensi bakteri. Faktor sistemik ini misalnya Diabetes
Mellitus, kondisi malnutrisi, kortikosteroid, obesitas, alkoholisme.
6. Respon Inflamasi
Respon inflamasi berguna dalam eradikasi mikroba. Kondisi ini
berkaitan dengan “White Cell Event” yang terdiri dari tahap Marginasi,
Emigrasi, Chemotaxis, Agregasi, dan Fagositosis.
Gambar 1 White Cell Events3
3. Pemeriksaan Penunjang
o pri
- USG dan CT SCAN: untuk mengetahui lokasi dan luas abses.
Indikasi TACD
1. Prediksi mortalitas > 30% (APACHE >15)
2. Kondisi pasien tidak memungkinkan penutupan definitif
3. Uncontrolled source of infection
4. Debridement inkomplit
5. Uncontrolled bleeding dan packing
6. Edema peritoneum eksesif
7. Iskemia usus yg vitalitasnya belum bisa dipastikan
Indikasi relaparotomy:
1. Perdarahan berlanjut
2. Kebocoran anastomosis
3. Uncontrolled spillage
4. Progressif intraabdominal infection
5. Elevasi tekanan intraabdominal menyebabkan ACS
Indikasi PAD dengan USG
1. Abses unilokuler
2. Lokasi dekat dinding abdomen
Evaluasi Awal
Anamnesis rutin, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium akan
menentukan pasien yang mana yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan pencitraan diagnostik diperlukan pada pasien dengan tanda-tanda
peritonitis difus dan pada pasien yang akan dioperasi. Pemeriksaan CT scan dapat
dilakukan pada pasien yang tidak darurat laparotomi.
Resusitasi Cairan
Penggantian cepat volume intravaskular harus dilakukan pada pasien
infeksi intraabdominal komplikata. Pada pasien dengan syok sepsis, resusitasi
cairan harus dilakukan segera jika ditemukan keadaan hipotensi. Pada pasien yang
tidak mengalami penurunan volume cairan, cairan intravena harus dimasukkan
segera saat dugaan infeksi intraabdominal ditegakkan.
Intervensi
Pengontrolan sumber infeksi, pengontrolan kontaminasi peritoneal, dan
mengembalikan fungsi anatomis serta fisiologis sangat direkomendasikan dalam
penanganan pasien dengan infeksi intraabdominal komplikata. Tindakan operasi
emergensi harus dilakukan pada pasien dengan peritonitis. Penanganan segera
juga harus dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa tanda-tanda
gagal organ. Namun, intervensi dapat ditunda sampai 24 jam pada pasien yang
mendapatkan terapi antibiotik.
Pada pasien dengan peritonitis berat, relaparotomi tidak dianjurkan pada pasien
tanpa fascia abdomen dan hipertensi intraabdomen.
Evaluasi Laboratorium
Kultur rutin aerobik dan anaerobik dapat dilakukan untuk menentukan
pola resistensi dan menindaklanjuti terapi oral pada pasien dengan resiko rendah.
Pada pasien resiko tinggi, kultur harus diambil dari pusat infeksi., terutama pada
pasien yang telah menerima terapi antibiotik. Spesimen harus representatif dan
cukup volumenya (sekurang-kurangnya 1 ml).4
Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik harus dimulai segera setelah infeksi intraabdomen
didiagnosis atau diduga. Antibiotik juga harus diberikan segera pada pasien
dengan syok sepsis. Pasien yang tidak mengalami syok sepsis harus diberikan
antibiotik sejak di unit gawat darurat. 4
Daftar Pustaka
1. Klingensmith, Mary E.; Chen, Li Ern; Glasgow, Sean C.; Goers, Trudie
A.; Melby, Spencer J. 2008. Washington Manual of Surgery,The, 5th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
2. Brunicardi, CF, et al. 2006. Schwartz’s manual of surgery. Ed.8.New
York: Mc.Graw-Hill. Hlm. 92-93.
3. Daley, JB, Katz, Julian. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Last update: 14
Desember 2014. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview. diunduh tanggal
5 januari 2014.
4. Solomkin, Joseph S.; Mazuski, John E.; Bradley, John S.; Rodvold, Keith
A.; Goldstein, Ellie J.C.; Baron, Ellen J.; et al. Diagnosis and Management
of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children:
Guidelines by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases
Society of America. IDSA Guidelines. 2010. 1-6