Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Baja
Baja adalah campuran besi dan karbon, dengan kandungan karbon maksimum
1,5%. Karbon terjadi dalam wujud karbid besi, sehingga meningkatkan kekerasan
baja. Baja merupakan paduan besi dan karbon yang dapat berisi konsentrasi dari
elemen campuran lainnya. Ada ribuan campuran logam lainnya yang mempunyai
komposisi berbeda. Sifat mekanis dari baja sangat sensitif terhadap kandungan
karbon, yang mana secara normal kurang dari 1,5%. Jadi sebagian dari baja
digolongkan menurut konsentrasi karbon, dalam baja karbon rendah, medium dan
jenis karbon tinggi. Sedangkan berdasarkan kandungan karbonnya baja dibagi
menjadi tiga macam, yaitu baja karbon rendah yang mengandung karbon kurang
dari 0,3 %, baja karbon sedang yang mengandung karbon 0,3% - 0,6%, dan baja
karbon tinggi yang mengandung karbon 0,6% - 1,5% (Syahri, Putra and Helmi,
2017).

2.1.1 Baja Karbon


Baja karbon adalah paduan besi karbon dimana unsur karbon sangat
menentukan sifat-sifatnya, sedangkan unsur-unsur paduan lainnya yang biasa
terkandung di dalamnya terjadi karena proses pembuatannya. Sifat baja karbon
ditentukan oleh persentase karbon dan struktur mikro. Disamping itu baja juga
mengandung unsur-unsur lain seperti sulpur (S), fosfor (P), silikon (Si), mangan
(Mn), dan sebagainya yang jumlahnya dibatasi. Sifat baja pada umumnya sangat
dipengaruhi oleh prosentasi karbon dan struktur mikro. Struktur mikro pada baja
karbon dipengaruhi oleh perlakuan panas dan komposisi baja. Karbon dengan
unsur campuran lain dalam baja membentuk karbid yang dapat menambah
kekerasan, tahan gores dan tahan suhu baja. Perbedaan presentase karbon dalam
campuran logam baja karbon menjadi salah satu cara mengklasifikasikan baja.
Berdasarkan kandungan karbon, baja dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

4
5

a) Baja karbon rendah


Baja karbon rendah memiliki kandungan karbon dibawah 0,3%. Baja
karbon rendah sering disebut dengan baja ringan (mild steel) atau baja
perkakas. Jenis baja yang umum dan banyak digunakan adalah jenis cold
roll steel dengan kandungan karbon 0,08% – 0,30% yang biasa
digunakan untuk body kendaraan.
b) Baja karbon sedang
Baja karbon sedang merupakan baja yang memiliki kandungan karbon
0,30% - 0,60%. Baja karbon sedang mempunyai kekuatan yang lebih dari
baja karbon rendah dan mempunyai kualitas perlakuan panas yang tinggi.
c) Baja karbon tinggi
Baja karbon tinggi memiliki kandungan karbon paling tinggi jika
dibandingkan dengan baja karbon yang lain yakni 0,60% - 1,7%. Baja
karbon tinggi stukturnya untuk dilas jika dibandingkan dengan baja
karbon rendah dan sedang.
Dari ketiga macam baja karbon diatas, baja karbon rendah memiliki sifat las
yang baik dan memiliki kepekaan retak las yang rendah dibandingkan dengan baja
karbon lainnya, memiliki kekuatan sedang dan keuletan yang baik dan digunakan
untuk konstruksi umum, body kendaraan, bejana tekan (pressure vessel), dan lain-
lainnya (Syahri, Putra and Helmi, 2017).

2.1.2 Baja Paduan


Baja paduan adalah baja yang mengandung sebuah unsur lain atau lebih
dengan kadar yang berlebih dari pada kadar biasanya dalam baja karbon dan unsur
yang biasanya terdapat dalam baja karbon adalah C, Mn, Si, P dan S. untuk
memperoleh sifat-sifat yang lebih baik maka kadar Mn atau Si ditambah, atau
unsur lain seperti Cr, Ni, Mo, Co, Ti, W dan sebagainya. Unsur paduan yang
dipakai dalam pembuatan baja paduan terdiri dari satu macam unsur atau lebih
dengan kadar yang berbeda, tergantung dari keperluan sehingga baja paduan
menjadi banyak macam dan jenisnya. Kadar unsur baja paduan dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu baja paduan rendah dan baja paduan tinggi atau baja
paduan khusus.
6

a) Baja paduan rendah


Baja paduan rendah yaitu baja tahan karat yang disebut stainless steel dan
baja tahan panas yang memiliki ketahanan korosi yang baik, terutama
pada kondisi atmosfer. Unsur utama yang meningkatkan korosi adalah Cr
dengan komposisi paling sedikit 11% (berat). Ketahanan korosi dapat
juga ditingkatkan dengan penambahan unsur Ni dan Mo. Baja tahan karat
dibagi menjadi tiga kelas utama yaitu jenis martensitik, feritik, dan
austenitic.
b) Baja Paduan Tinggi
Baja paduan tinggi biasa umumnya mengandung paling sedikit 0,3%
karbon yang dengan mudah baja dapat dikeraskan. Karena adanya unsur-
unsur nikel, chrom, mangan dan molibdenum maka baja ini mempunyai
sifat dapat dikeraskan dengan baik. Bila dikeraskan dan ditemper sampai
kekerasan tertentu atau bila mana seluruhnya berstruktur martensit, maka
baja seperti ini mempunyai gejala yang menunjukkan sifat mekanis yang
sama dengan baja karbon biasa yang berkadar karbon sama.
Dalam penelitian atau study ini baja yang digunakan yaitu baja SS 304,
yang merupakan jenis baja tahan karat austenitic stainless steel yang memiliki
komposisi C, Mn, P, Si, Cr, dan Ni. Baja tipe 304 memiliki sifat mekanik antara
lain kekuatan tarik 646 Mpa, yield strength 270 MPa, elongation 50%, kekerasan
82 HRb, dan baja tipe 304 sering digunakan dan memiliki komposisi kimia,
kekuatan mekanik, kemampuan las dan ketahanan terhadap korosi (Setiawan and
Sungkono, 2017).

2.2 Stainless Steel AISI 304


Merupakan jenis baja tahan karat austenitic stainless steel yang memiliki
komposisi C, Mn, P, Si, Cr, dan Ni. Tipe 304 memiliki sifat mekanik antara lain
kekuatan tarik 646 Mpa, yield strength 270 MPa, elongation 50%, kekerasan 82
HRb, dan baja tipe 304 sering digunakan dan memiliki komposisi kimia, kekuatan
mekanik, kemampuan las dan ketahanan terhadap korosi.
Stainless Steel AISI 304 ini juga diaplikasikan sebagai bahan pembuatan
turbin, mesin jet, bejana tekan (pressure vessel), dan alat rumah tangga. Baja tipe
7

ini juga digunakan di industri dengan skala kecil dan penggunaannya juga
terdapat di berbagi macam cairan, padatan, peralatan pertambangan, kimia, dan
industri farmasi. Secara garis besar baja tahan karat dapat dikelompokkan dalam
tiga jenis, yaitu: jenis austenite, ferit, dan martensit (Sumarji, 2011). Stainless
Steel AISI 304 juga memiliki sifat kimia. Sifat kimia tersebut terlampir pada Tabel
2.1 dan Klasifikasi baja tahan karat terlampir pada Tabel 2.2.

Tabel 2.1 Sifat Kimia Stainless Steel AISI 304


% C Mn Si P S Cr Ni N

Max 0.08 2 0.75 0.45 0.03 18 - 20 0,10 0.1

Tabel 2.2 Klasifikasi Baja Tahan Karat


Komposisi utama (%)
Sifat Sifat Sifat
Klasifikasi mampu tahan mampu
Cr Ni C
las korosi las

Baja tahan Tidak


Mengera Kurang
karat (11 - 15) - ≤ 1,20 baik
s sendiri baik
martensit
Kurang
Baja tahan
(16 - 27) - ≤ 0,35 Baik Baik baik
karat ferit

Baja tahan Baik


Baik
karat ≤ 16 ≤7 ≤ 0,25 Baik sekali
sekali
austenite

a) Baja Tahan Karat (Austenitic), adalah yang paling banyak ditemukan dalam
aplikasi disekitar kita, contohnya: peralatan rumah tangga, tangki, pressure vessel
(bajana tekan), pipa, struktur baik yang bersifat konstruksi maupun arsitektural.
Memiliki kandungan Ni tidak kurang dari 7% yang mengakibatkan terbentuknya
struktur austenite dan memberikan sifat ulet (ductile).
8

b) Baja Tahan Karat (Ferritic), memiliki sifat yang mendekati baja umum (mild
steel) tetapi memiliki ketahanan korosi yang lebih baik. Kelompok ini yang paling
umum dipakai adalah tipe 12% Chromium yang banyak dipakai dalam aplikasi
struktural dan tipe 17% Chromium yang banyak dipakai pada aplikasi peralatan
rumah tangga, boiler, mesin cuci dan benda arsitektural.
c) Baja Tahan Karat (Martensitic), umumnya mengandung 11–13% Chromium
dan tipe ini memiliki kekuatan dan kekerasan yang tinggi, serta ketahanan
terhadap korosi, aplikasi terbanyak adalah untuk turbine blade.
Dalam peneiltian atau study ini material yang dipakai yaitu baja SS 304,
merupakan baja tahan karat austenit dengan kadar karbon 0,026%. Baja tahan
karat austenit memiliki sifat mampu las yang baik, tahan terhadap korosi, tahan
dalam keadaan suhu tinggi dan suhu rendah dan memiliki ketangguhan.

2.3 Pengelasan
Pengelasan (welding) adalah salah satu teknik penyambungan logam dengan
cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisian atau tanpa tekanan
dan tanpa logam tambahan dan menghasilkan sambungan las yang kontinu
(Kurniawan and Solichin, 2014). Berdasarkan definisi dari Deutche Industrie
Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam
paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Defisini lain dari las
adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan
energi panas (Wiryosumano and Okumura, 2000).
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat dijabarkan bahwa prinsip proses
pengelasan adalah menyambungkan dua atau lebih komponen, lebih tepatnya
ditujukan untuk merakit (assembly) beberapa komponen menjadi satu bentuk
mesin. Sedangkan untuk pengertian mengelas itu sendiri adalah pekerjaan
penyambungan dua logam atau logam paduan dengan cara memberikan panas
baik diatas atau dibawah titik cair logam (Gunawan, Endriatno and Anggara,
2017).
9

Pengelasan memiliki sisi kelebihan dan sisi kekurangan, antara lain:


 Keuntungan:
a. Sambungan las bersifat permanen.
b. Kuat (kekuatan pengelasan lebih besar dari pada logam yang
disambungkan).
c. Rapat.

 Kekurangan:
a. Pengelasan merupakan sambungan permanen sehingga rakitannya
tidak dapat dilepas. Jadi metode pengelasan tidak cocok digunakan
untuk produk yang memerlukan pelepasan rakitan misalnya untuk
perbaikan atau perawatan.
b. Sambungan las dapat menimbulkan bahaya akibat adanya cacat yang
sulit dideteksi. Cacat ini dapat mengurangi kekuatan sambungannya.
c. Sering dijumpai distorsi akibat pemuaian dan penyusutan yang tidak
seragam (Suharno 2008).

2.4 SMAW (Shielded Metal Arc Welding)


Pengelasan SMAW (Shielded Metal Arc Welding) yaitu penyambungan dua
buah logam atau lebih menjadi satu dengan jalan pelelehan atau pencairan dengan
busur nyala listrik. Jadi las listrik atau las busur listrik merupakan proses
penyambungan logam dengan memanfaatkan tenaga listrik sebagai sumber
panasnya. Pengelasan dengan menggunakan tenaga listrik sebagai sumber panas
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu las tahanan listrik dan las busur nyala
listrik (Tyagita and Irawan, 2016).
Shielded metal arc welding (SMAW) juga sering disebut stick welding
dikarenakan elektrodanya yang berbentuk stick dan proses pengelasan yang sangat
relative dan luas penggunaannya (Saputra, Syarief and Maulana, 2014). Ilustrasi
pengelasan dengan elektroda terbungkus Shielded metal arc welding (SMAW)
dapat dilihat pada Gambar 2.1
10

Gambar 2.1 Las busur listrik dan elektroda terbungkus.

(Wiryosumano and Okumura, 2000).

Proses pengelasan SMAW (Shielded Metal Arc Welding) dilakukan dengan


menggunakan energi listrik (AC/DC), yang dikonversi menjadi energi panas
untuk membangkitkan busur listrik melalui sebuah elektroda. Busur listrik
diperoleh dengan cara mendekatkan elektroda las ke benda kerja atau logam yang
akan dilas pada jarak beberapa millimeter. Karena adanya perbedaan tegangan
antara elektroda dan benda kerja (logam yang akan dilas), sehingga terjadi aliran
arus listrik dari elektroda ke benda kerja. Panas yang dihasilkan dapat mencapai
5000˚C, sehingga mampu melelehkan elektroda dan logam yang akan disambung
untuk membentuk paduan (Syahran, Naharuddin and Nur, 2018).
Dalam las elektroda terbungkus, fluks memegang peranan penting karena
fluks dapat bertindak sebagai:
a) Pemantap busur dan penyebab kelancaran pemindahan butir-butir
cairan logam.
b) Sumber terak atau gas yang dapat melindungi logam cair terhadap
udara sekitarnya.
c) Pengatur penggunaan.
d) Sumber unsur-unsur paduan.
Las busur listrik elektroda terbungkus atau SMAW seringkali digunakan
dalam proses penyambungan logam,beberapa keuntungan seperti proses
pengelasan lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan las busur lainnya,
11

peralatan yang diperlukan lebih sederhana, ringkas dan murah dibandingkan


dengan las busur lainnya, lingkup penggunaan yang lebih luas, karena semua jenis
logam dapat disambungkan dengan metode pengelasan ini (Suharno, 2008).
Peralatan mesin las SMAW dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Peralatan las

Keuntungan las SMAW pada proses penyambungan logam sebagai berikut:


a) Proses pengelasan lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan
las busur yang lain.
b) Peralatan yang diperlukan lebih sederhana, ringkas, dan murah
dibandingkan las busur yang lain.
c) Lingkup penggunaan yang lebih luas, karena semua jenis logam dapat
disambungkan dengan menggunakan proses pengelasan ini.

Kekurangan las SMAW pada proses penyambungan logam sebagai berikut:


a) Asap dan gas yang dihasilkan dari proses pengelasan mengganggu
pandangan mata dan juga pernapasan.
b) Efisiensi yang dihasilkan rendah (65%).
c) Membutuhkan operator yang skillnya tinggi.
d) Waktu dari proses pengelasan cukup lama karena pengelasan selalu
terputus untuk penggantian elektroda sekaligus pengupasan terak las.
e) Slag atau terak yang timbul dari hasil pembakaran harus dihilangkan
terlebih dalu dari lapisan las.

2.4.1 Arus Pengelasan


Arus pengelasan adalah besarnya aliran atau arus listrik yang keluar dari
mesin las. Besar kecilnya arus pengelasan dapat diatur dengan alat yang ada pada
12

mesin las. Arus las harus disesuaikan dengan jenis bahan dan diameter elektroda
yang di gunakan dalam pengelasan (Saputra, Syarief and Maulana, 2014).
Penggunaan arus yang terlalu kecil akan mengakibatkan penembusan atau
penetrasi las yang rendah, sedangkan arus yang terlalu besar akan mengakibatkan
terbentuknya manik las yang terlalu lebar dan deformasi dalam pengelasan
(Gunawan, Endriatno and Anggara, 2017). Hubungan diameter elektroda dan arus
listrik terlampir pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Hubungan diameter elektroda dan arus listrik


(Gunawan, Endriatno and Anggara, 2017)
Diameter elektroda (mm) Arus listrik (Ampere)
2,5 60 - 90
2,6 60 - 90
3,3 80 - 130
4,0 150 - 190
5,0 180 - 250

2.4.2 Jenis Sambungan Las


Penyambungan dalam pengelasan diperlukan dalam konstruksi baja yang
pada dasarnya dibagi menjadi sambungan tumpul, sambungan T, sambungan
sudut dan sambungan tumpang. Sebagai perkembangan sambungan dasar di atas
terjadi sambungan silang, sambungan dengan penguat dan sambungan sisi yang
ditunjukan pada Gambar 2.3. Oleh karena itu, untuk dapat menyambungkan dua
komponen logam diperlukan berbagai jenis sambungan.

Gambar 2.3 Jenis - jenis Sambungan Las


(Wiryosumano and Okumura, 2000)
13

Dalam praktiknya dapat ditemukan banyak variasi dan kombinasi jenis


sambungan las, diantaranya terdiri dari 5 jenis dasar sambungan las dapat dibuat
dalam 4 posisi sambungan las yang berbeda, yaitu posisi flat (datar), vertical,
horizontal, dan diatas kepala yang ditunjukan pada Gambar 2.3 (Gunawan,
Endriatno and Anggara, 2017)

2.5 Daerah Pengaruh Panas (Heat Affected Zone)


Daerah pengaruh panas (HAZ) merupakan daerah yang paling kritis dari
sambungan las, karena selain terjadi perubahan mikrostruktur juga terjadi
perubahan sifat. Proses ini akan berpengaruh pada kekuatan sambungan las,
struktur logam pada daerah pengaruh panas (Heat Affected Zone) berubah secara
berangsur dari struktur logam induk ke struktur logam las. Pada daerah HAZ yang
dekat dengan garis lebur kristalnya tumbuh dengan cepat dan membentuk butiran
kasar yang dinamakan batas las.

Gambar 2.4 Daerah Pengaruh Panas.


(Nugroho and Setiawan, 2018)

Keterangan:
1) Logam las (weld metal) adalah daerah dimana terjadi pencairan logam dan
dengan cepat kemudian membeku.
2) HAZ adalah daerah yang dipengaruhi panas dan juga logam dasar yang
bersebelahan dengan logam las selama proses pengelasan mengalami siklus
termal pemanasan dan pendinginan cepat, sehingga terjadi perubahan struktur
akibat pemanasan.
3) Logam Induk (Parent Metal) merupakan logam dasar dimana panas dan suhu
pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan sifat.
14

4) Proses pemanasan maupun pendinginan tidak merata pada seluruh material,


ketidak merataan distribusi temperatur inilah yang menjadi penyebab
timbulnya deformasi pada struktur las. Sehingga untuk dapat menyelesaikan
berbagai persoalan dari tegangan dan deformasi hasil pengelasan harus
diketahui dahulu bagaimana distribusi dari temperatur yang dihasilkan terhadap
material las (Nugroho and Setiawan, 2018).

2.6 Perlakuan Panas (Heat Treatment)


Heat Treatment (perlakuan panas) adalah salah satu proses untuk mengubah
struktur logam dengan cara memanaskan specimen atau benda kerja pada electric
terance (tungku) pada temperatur rekristalisasi selama periode waktu tertentu
kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara, air, air garam, oli, dan
solar yang mempunyai kerapatan pendinginan yang berbeda (Saktisahdan, 2019).
Perlakuan panas biasanya menggunakan pemanasan dan pendinginan hingga
suhu ekstrim untuk mencapai hasil yang diinginkan seperti pengerasan atau
pelunakan pada baja. Tujuan proses perlakuan panas yaitu untuk menghasilkan
sifat-sifat logam yang diinginkan. Perlakuan panas yang sering digunakan yaitu
normalisasi, hardening, tempering, dan lain-lain (Herdiana, 2015).
Pelunakan adalah usaha untuk menurunkan sifat mekanik dengan
mendinginkan material yang sudah dipanaskan dalam tungku (annealing) atau
udara terbuka (normalizing). Sedangkan, pengerasan adalah usaha untuk
meningkatkan sifat material terutama kekerasan dengan cara pendinginan secara
cepat (quenching) (Haryadi, 2005).
1) Holding Time
Holding time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari
suatu bahan pada proses hardening dengan menahan pada temperatur
pengerasan untuk memperoleh pemanasan yang homogen sehingga
struktur austenitnya homogen atau terjadi kelarutan karbida ke dalam
austenite dan diffusi karbon dan unsur paduannya (Dalil dkk, 1999).
15

2) Austenisasi
Austenisasi adalah proses pemanasan logam di atas suhu kritis (723°C)
dengan maksud untuk mengubah fasa ferit menjadi austenit (Haryadi,
2005).
3) Quenching
Merupakan pendinginan secara cepat. Salah satu ciri dari perlakuan ini
adalah material menjadi sangat keras, karenanya sering disebut sebagai
proses pengerasan (hardening). Pada umumnya baja yang telah mengalami
proses quenching memiliki kekerasan yang tinggi merata dan dapat
mencapai kekerasan yang maksimum tetapi agak rapuh (Miftahudin,
2012).
4) Tempering
Pemanasan kembali dibawah titik kritis kemudian ditahan dalam waktu
yang secukupnya dan didinginkan untuk mengurangi internal strees dan
menstabilkan struktur dari logam (Miftahudin, 2012).
5) Normalizing
Proses normalizing dilakukan dengan udara terbuka. Hasil proses
normalizing baja akan berbutir lebih halus dan homogen (Miftahudin,
2012).
6) Hardening
Hardening dilakukan untuk memperoleh sifat tahan aus yang tinggi,
kekuatan, dan strength yang lebih baik. Kekerasan yang dapat dicapai
tergantung pada kadar karbon dalam baja dan kekerasan yang terjadi akan
tergantung pada temperatur pemanasan, holding time, laju pendinginan
yang dilakukan, dan ketebalan sampel. Untuk memperoleh kekerasan yang
baik (martensit yang keras) maka pada saat pemanasan harus dapat dicapai
struktur austenit, karena hanya austenite yang dapat bertransformasi
menjadi martensit (Yogantoro, 2010).
16

2.6.1 Media Quenching


Media pendingin yang digunakan untuk mendinginkan baja bermacam-
macam. Berbagai bahan media pendingin yang digunakan dalam proses perlakuan
panas antar lain:
A. Air
Pendinginan menggunakan air akan memberikan daya pendinginan yang
cepat dibandingkan dengan oli (minyak) karena air dapat dengan mudah
menyerap panas yang dilewatinya dan panas yang terserap akan cepat
menjadi dingin. Kemampuan panas yang dimiliki air besarnya 10 kali dari
minyak (Gary, 2011).
B. Minyak
Minyak yang digunakan sebagai fluida pendingin dalam perlakuan panas
adalah yang dapat memberikan lapisan karbon pada kulit (permukaan)
benda kerja yang diolah. Selain minyak yang khusus digunakan sebagai
bahan pendinginan pada proses perlakuan panas, dapat juga digunakan
minyak bakar atau oli. Oli yang mempunyai viskositas lebih rendah
memiliki kemampuan penyerapan panas lebih baik dibandingkan dengan
oli yang mempunyai viskositas lebih tinggi karena penyerapan panas akan
lebih lambat (Giancoli, 1999).
C. Udara
Pendinginan udara dilakukan untuk perlakuan panas yang membutuhkan
pendinginan lambat. Untuk keperluan tersebut udara yang disirkulasikan
ke dalam ruangan pendinginan dibuat dengan kecepatan yang rendah.
Udara sebagai pendingin akan memberikan kesempatan kepada logam
untuk membentuk kristal-kristaldan kemungkinan mengikat unsur-unsur
lain dari udara (Giancoli, 1999).
D. Garam
Garam dipakai sebagai bahan pendinginan disebabkan memiliki sifat
mendinginkan yang teratur dan cepat. Bahan yang didinginkan di dalam
cairan garam yang akan mengakibatkan ikatannya menjadi lebih keras
karena pada permukaan benda kerja tersebut akan mengikat zat arang.
Keuntungan mengguanakan air garam sebagai media pendingin adalah
17

pada proses pendinginan suhunya merata pada semua bagian permukaaan,


tidak ada bahaya oksidasi, karburisasi atau dekarburisasi (Gary, 2011).

2.6.2 Pembentukan Martensit


Martensit terbentuk jika fasa austenit dengan cepat ke temperatur rendah.
Transformasi dari fasa austenit ke ferit terjadi suatu proses pengintian dan
pertumbuhan butir yang dipengaruhi oleh waktu. Karena laju pendinginan yang
begitu cepat, maka atom karbon tersebut terperangkap dalam larutan sehingga
membentuk struktur martensit.
Pada Gambar dibawah merupakan diagram TTT (Time Temperatur
Transformation) yang menghubungkan transformasi austenite terhadap waktu dan
temperatur. Dalam diagram dibawah ini, dapat dipelajari kelakuan baja pada
setiap tahap perlakuan panas, diagram ini juga dapat digunakan untuk
memperkirakan struktur dan sifat mekanik pada baja yang di quenching dari
temperatur austenisasinya kesuatu temperature dibawah (Adriansyah,2007).

Gambar 2.5 Diagram TTT dan struktur mikro pada tiap fase.
(Al-Matsany, 2012).

Gambar 2.6 Skema pendinginan quench


(Al-Matsany, 2012).
18

Pada Gambar diatas, tersebut pendinginan A dan B menunjukkan dua proses


pendinginan cepat. Dalam kurva A akan menyebabkan distorsi dan tekanan
internal yang lebih tinggi daripada laju pendinginan B. Hasil akhir dari
pendinginan akan menjadi martensit. Laju pendinginan B juga dikenal sebagai
Critical Cooling Rate, yang bersinggungan dengan nosedari diagram TTT.
Tingkat pendinginan kritis didefinisikan sebagai tingkat pendinginan terendah
yang menghasilkan martensit 100% dan meminimalkan internal dan distorsi (Al-
Matsany, 2012).

2.7 Diagram fasa Fe-Fe3C


Diagram fasa Fe-Fe3C merupakan gambaran kondisi kesetimbangan antara
komposisi besi dengan karbon, dimana diagram ini digunakan untuk
memperkirakan fasa yang terjadi dan sifat yang terbentuk oleh baja tersebut, yang
ditunjukan pada Gambar 2.7

Gambar 2.7 Diagram fasa Fe-Fe3C

Gambar di atas hanya menunjukkan kesetimbangan antara Fe dan C saja


meskipun dalam baja sebenarnya ada unsur-unsur lain seperti Silikon, Mangan,
Posfor dll. akan tetapi komposisinya sangat kecil dan tidak memberikan pengaruh
utama terhadap diagram fasa sehingga unsur-unsur tersebut hanya dianggap
sebagai pengotor.
19

2.8 Pengujian Tarik


Untuk mengetahui kekuatan dan cacat yang terjadi pada sambungan logam
hasil pengelasan dapat dilakukan dengan pengujian merusak dan pengujian tanpa
merusak. Pengujian merusak dapat dilakukan dengan uji mekanik untuk
mengetahui kekuatan sambungan logam hasil pengelasan, yang salah satunya
dapat dilakukan suatu uji tarik yang telah distandarisasi. Kekuatan tarik
sambungan las sangat dipengaruhi oleh sifat logam induk, daerah HAZ, sifat
logam las dan distribusi tegangan dalam sambungan (Okumura, 2000).
Penarikan gaya terhadap beban akan mengakibatkan terjadinya perubahan
betuk (deformasi) bahan tersebut. Proses terjadinya deformasi pada bahan uji
adalah proses pergeseran butiran kristal logam yang mengakibatkan melemahnya
gaya elektromagnetik setiap atom logam hingga terlepas ikatan tersebut oleh
penarikan gaya maksimum.
Pada pengujian tarik, beban diberikan secara kontinu dan perlahan bertambah
besar, bersamaan dengan itu dilakukan terhadap mengenai perpanjangan yang
dialami benda uji sehingga dihasilkan kurva tegangan regangan dari hasil
pengujian tersebut, dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan bentuk spesimen yang
distandarkan (ASTM) dapat dilihat pada Gambar 2.8 (Sastranegaran, 2009).

Gambar 2.8 Diagaram Tegangan – Regangan.


(Sastranegaran, 2009).

Gambar 2.9 Spesimen Uji Tarik Pelat


20

Tegangan yang didapatkan dari kurva tegangan teoritik adalah tegangan yang
membujur rata-rata dari pengujian tarik. Tegangan tersebut diperoleh dengan cara
membagi beban dengan luas awal penampang lintang benda uji tersebut, dapat
dilihat pada Persamaan 2.1

(2.1)

Dimana:
σ = Tegangan (kg/mm²) atau MPa
F = Gaya (N)
A = Luas Penampang (mm²)

Regangan yang didapatkan adalah regangan linear rata-rata, yang diperoleh


dengan cara membagi perpanjangan (gage length) benda uji (δ atau ΔL), dengan
panjang awal dapat dilihat pada Persamaan 2.2

(2.2)

Dimana:
ɛ = Regangan (mm/mm)
ΔL = Pertambahan panjang (mm)
L = Panjang akhir (mm)
= Panjang awal (mm)

Modulus elastisitas atau modulus young adalah ukuran kekakuan suatu bahan,
yang merupakan gradien bagian linear awal kurva tegangan-regangan (Naibaho,
2015). Dapat dilihat pada Persamaan 2.3.

E= (2.3)

Dimana:
E = Modulus Elastisitas (kg/mm²) atau MPa
σ = Tegangan (kg/mm²) atau MPa
ɛ = Regangan (mm/mm)
21

2.9 NDT (Non Destructive Testing)


Non Destructive Testing adalah pengujian atau penilaian yang dilakukan pada
material yang diuji tanpa mengganti atau mengubah objek dengan cara apapun
untuk menentukan ada tidaknya diskontinuitas yang dapat mempengaruhi
kegunaan atau kinerja dari material tersebut. Pengujian ini dilakukan pada logam
yang sifatnya tidak merusak dan tentunya dilakukan sesuai dengan standard. Ada
beberapa inspeksi NDT yang umumnya dilakukan yaitu:
 Liquit Penetrant testing
Liquit Penetrant Test adalah salah satu pengujian tidak merusak material
dengan menggunakan cairan penetrasi, pengujian ini merupakan
pengujian yang sangat mudah dan sederhana. Pengujian penetrant yang
mudah dilakukan dibandingkan dengan pengujian lainnya karena hanya
cukup menyemprotkan cairan ke benda yang akan diuji sesuai dengan
panduan (Endramawan and Sifa, 2018). Kelebihan dan kekurangan dye
penetrant yaitu:
 Kekurangan
1) Mudah diaplikasikan.
2) Murah dalam pembiayaan
3) Jangkauan pada spesimen sangat luas

 Kelebihan
1) Tidak dapat memeriksa bagian dalam specimen
2) Tidak dapat melakukan pada spesimen berpori
 Magnetic Particle testing (MT)
Magnetic Particle Testing (MT) adalah metode pengujian untuk
menentukan lokasi kerusakan permukaan (surface) dan dibawah
permukaan (subsurface) pada material yang bersifat ferromagnetic.
Magnetic particle testing ini juga menggunakan hukum magnetism,
karena itu terbatas pada pemeriksaan bahan yang dapat dilakukan proses
magnetisasi, material yang dikasifikasikan sebagai ferromagnetic yang
dapat efektif dilakukan pemeriksaan (Rais, Hendroprasetyo and Putra,
2015).
22

 Ultrasonic testing
Ultrasonic testing adalah salah satu pengujian non destruktif pada
material, pengujian yang menggunakan media gelombang ultrasonik
(gelombang suara) yang mempunyai frekuensi tinggi >20Khz. Ultrasonic
testing juga dapat digunakan untuk mendeteksi dimensi spesimen dan
kecacatan atau porositas pada benda kerja. Komponen yang digunakan
dalam melakukan inspeksi atau pengujian ultrasonic testing yaitu
gelombang penerima, tranducer, dan perangkat layar (Sharma and Sinha,
2018).
 Radiography testing
Radiography (Radiografi) adalah salah satu metode pengujian NDT yang
sangat efektif untuk mendeteksi cacat material dan dapat juga mendeteksi
cacat material dengan skala kecil. Pengujian ini dapat mengancam
kesehatan dan keselamatan jika tidak dilakukan dengan prosedur yang
benar dan tepat. Pengujian radiography testing ini juga terbagi menjadi
dua yaitu pengujian X-rays dan Gamma rays. Pengujian ini juga berguna
untuk mengetahui adanya cacat pada dalam material ataupun pada luar
material (Abidin, Tjiptono and Sulaksana, 2012). Kelebihan dan
kekurangan Radiography testing yaitu:
 Kelebihan
1) Mengetahui bentuk cacat pada permukaan luar dan dalam
spesimen.
2) Dapat digunakan pada segala jenis material.
3) Dapat membaca cacat pada material berlapis.
 Kekurangan
1) Dapat mengancam kesehatan karena terkena radiasi.
2) Biaya yang sangat mahal.
3) Memiliki keterampilan yang sangat baik dalam menjalankan
radiography.
Umumnya pengujian dikombinasikan dengan dua pengujian terakhir untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Liquit penetrant inspection mempunyai banyak
keunggulan untuk memeriksa hasil dari pengelasan. Pemeriksaan dengan NDT
23

harus diadakan untuk menjamin performansi awal dan kelanjutannya. Penetrant


test yaitu cara pemeriksaan hasil dari pengelasan yang cukup serbaguna dari segi
tipe dan proses pengelasan untuk memeriksa berbagai aplikasi, tipe dan posisi
pengelasan tanpa memerlukan keahlian yang rumit dan harga yang tidak terlalu
mahal. Kelemahannya adalah tidak dapat mendeteksi cacat yang terperangkap di
dalam hasil pengelasan. Untuk mendeteksi cacat dibawah permukaan hasil
pengelasan yang digunakan yaitu metode ultrasonic test. Inspeksi ini
membutuhkan keahlian khusus dari operatornya untuk mendapatkan hasil yang
optimal dan harganya juga cukup mahal (Sitorus, Sibarani and Hutabarat, 2017).

2.9.1 Prinsip Kerja Penetrant Test


Penetrant test memanfaatkan daya kapilaritas. Cairan liquid penetrant yang
berwarna merah akan meresap kedalam diskontinuitas, kemudain cairan tersebut
dikeluarkan dengan bantuan cairan developer yang warnanya kontras dengan
cairan liquid penetrant yaitu warna putih. Terdeteksinya diskontinuitas pada
material adalah ditandai dengan adanya bercak merah dari cairan liquid penetrant
yang muncul. Diskontinuitasyang mampu di deteksi oleh pengujian ini adalah
diskontinuitas pada permukaannya saja dan tidak bisa mendeteksi pada bagian
dalam material.

Gambar 2.10 Cara Kerja Cairan Penetrantdan Developer

2.10 Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang dilakukan oleh seseorang
sebelum melakukan penelitian agar pada saat akan melakukan penelitian dapat
mendapatkan informasi yang sesuai dengan apa yang akan diteliti. Di penelitian
ini, penulis mengacu pada penelitian yang sudah di lakukan oleh Setiawan (2012)
24

dengan judul pengaruh proses perlakuan panas atau heat treatment terhadap
kekerasan material special K(100). Dalam penelitian ini menggunakan material
special K(100) dengan ukuran 25mm x 20mm x 50mm yang sesuai dengan
instruction for treatment bohler yaitu hardening dengan temperatur 950˚C dan
quenching holding time 60 menit. Hasilnya menunjukkan bahwa harga kekerasan
rata-rata raw material Special K (K100) adalah 20 HRC, setelah proses hardening
dan quenching 64 HRC, dan setelah tempering adalah 62 HRC.
Selain mengacu pada penilitian dari Setiawan (2012), juga mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Sasmita, dkk (2014) yang melakukan penelitian
tentang Pengaruh Heat Treatment Tempering dengan variasi Holding Time
terhadap sifat mekanik Baja AAR Grade B+. Pada penelitian tersebut
diperoleh hasil bahwa semakin lama Holding Time dilakukan pada proses
tempering baja AAR Grade B+ setelah proses Normalizing akan menurunkan rata
– rata kekuatan tarik baja yaitu 64,5 kg/mm2 pada Holding Time 3 jam, 64,33
kg/mm2 pada Holding Time 3,5 jam dan 62,9 kg/mm2 pada Holding time 4 jam
serta Yield point 34,04 kg/mm pada 3 jam Holding Time, 42,98 kg/mm pada 3,5
Holding Time dan 42,07 kg/mm pada 4 jam Holding Time. Elongation sebesar
28,53% pada 3 jam Holding Time, 30,04% pada 3,5 jam Holding Time,30,86%
pada 4 jam Holding Time. Reduction sebesar 54,67% pada 3 jam Holding Time,
55,02% pada 3,5 jam Holding Time dan 56,02% pada 4 jam Holding Time dan
mendapatkan kekerasan sebesar 153 BHN dari 3 jam Holding Time, 148 BHN
dari 3,5 jam Holding Time dan 146 BHN dari 4 jam dilakukanya Holding Time.
Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa nilai dari kekuatan
tarik yield point, Reduction dan kekerasan dengan variasi Holding Time 3 jam,
3,5 jam dan 4 jam tetap memenuhi standar dari baja AAR Grade B+.
Penelitian terdahulu yang lainnya yaitu dari Hariyadi (2006) yang juga
melakukan penelitian tentang Pengaruh suhu Tempering terhadap kekerasan,
Kekuatan tarik dan struktur mikro pada baja K-460. Pada penelitian tersebut
diperoleh hasil bahwa dari proses tempering yang dilakukan dengan suhu 100˚C,
200˚C, 300˚C dan 400˚C. Nilai kekerasan bertambah setelah dilakukanya proses
Heat Treatment yang berkisar antara 40 HRC. Dengan suhu Temper yang semakin
tinggi yaitu sebesar 400˚C mendapakkan harga kekerasan sebesar 54 HRC hasil
25

ini tentu lebih kecil dengan suhu Temper yang lebih kecil. Struktur mikro pada
suhu 100˚C dan 200˚C mendapatkan stuktur martensit, sedangkan pada suhu
300˚C dan 400˚C memperlihatkan struktur partikel karbida yang bulat pada
matriks martensit serta kekuatan tarik maksimun dicapai pada suhu tempering
100˚C sebesar 2014,8 Mpa.

Anda mungkin juga menyukai