TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Baja
Baja adalah campuran besi dan karbon, dengan kandungan karbon maksimum
1,5%. Karbon terjadi dalam wujud karbid besi, sehingga meningkatkan kekerasan
baja. Baja merupakan paduan besi dan karbon yang dapat berisi konsentrasi dari
elemen campuran lainnya. Ada ribuan campuran logam lainnya yang mempunyai
komposisi berbeda. Sifat mekanis dari baja sangat sensitif terhadap kandungan
karbon, yang mana secara normal kurang dari 1,5%. Jadi sebagian dari baja
digolongkan menurut konsentrasi karbon, dalam baja karbon rendah, medium dan
jenis karbon tinggi. Sedangkan berdasarkan kandungan karbonnya baja dibagi
menjadi tiga macam, yaitu baja karbon rendah yang mengandung karbon kurang
dari 0,3 %, baja karbon sedang yang mengandung karbon 0,3% - 0,6%, dan baja
karbon tinggi yang mengandung karbon 0,6% - 1,5% (Syahri, Putra and Helmi,
2017).
4
5
ini juga digunakan di industri dengan skala kecil dan penggunaannya juga
terdapat di berbagi macam cairan, padatan, peralatan pertambangan, kimia, dan
industri farmasi. Secara garis besar baja tahan karat dapat dikelompokkan dalam
tiga jenis, yaitu: jenis austenite, ferit, dan martensit (Sumarji, 2011). Stainless
Steel AISI 304 juga memiliki sifat kimia. Sifat kimia tersebut terlampir pada Tabel
2.1 dan Klasifikasi baja tahan karat terlampir pada Tabel 2.2.
a) Baja Tahan Karat (Austenitic), adalah yang paling banyak ditemukan dalam
aplikasi disekitar kita, contohnya: peralatan rumah tangga, tangki, pressure vessel
(bajana tekan), pipa, struktur baik yang bersifat konstruksi maupun arsitektural.
Memiliki kandungan Ni tidak kurang dari 7% yang mengakibatkan terbentuknya
struktur austenite dan memberikan sifat ulet (ductile).
8
b) Baja Tahan Karat (Ferritic), memiliki sifat yang mendekati baja umum (mild
steel) tetapi memiliki ketahanan korosi yang lebih baik. Kelompok ini yang paling
umum dipakai adalah tipe 12% Chromium yang banyak dipakai dalam aplikasi
struktural dan tipe 17% Chromium yang banyak dipakai pada aplikasi peralatan
rumah tangga, boiler, mesin cuci dan benda arsitektural.
c) Baja Tahan Karat (Martensitic), umumnya mengandung 11–13% Chromium
dan tipe ini memiliki kekuatan dan kekerasan yang tinggi, serta ketahanan
terhadap korosi, aplikasi terbanyak adalah untuk turbine blade.
Dalam peneiltian atau study ini material yang dipakai yaitu baja SS 304,
merupakan baja tahan karat austenit dengan kadar karbon 0,026%. Baja tahan
karat austenit memiliki sifat mampu las yang baik, tahan terhadap korosi, tahan
dalam keadaan suhu tinggi dan suhu rendah dan memiliki ketangguhan.
2.3 Pengelasan
Pengelasan (welding) adalah salah satu teknik penyambungan logam dengan
cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisian atau tanpa tekanan
dan tanpa logam tambahan dan menghasilkan sambungan las yang kontinu
(Kurniawan and Solichin, 2014). Berdasarkan definisi dari Deutche Industrie
Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam
paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Defisini lain dari las
adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan
energi panas (Wiryosumano and Okumura, 2000).
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat dijabarkan bahwa prinsip proses
pengelasan adalah menyambungkan dua atau lebih komponen, lebih tepatnya
ditujukan untuk merakit (assembly) beberapa komponen menjadi satu bentuk
mesin. Sedangkan untuk pengertian mengelas itu sendiri adalah pekerjaan
penyambungan dua logam atau logam paduan dengan cara memberikan panas
baik diatas atau dibawah titik cair logam (Gunawan, Endriatno and Anggara,
2017).
9
Kekurangan:
a. Pengelasan merupakan sambungan permanen sehingga rakitannya
tidak dapat dilepas. Jadi metode pengelasan tidak cocok digunakan
untuk produk yang memerlukan pelepasan rakitan misalnya untuk
perbaikan atau perawatan.
b. Sambungan las dapat menimbulkan bahaya akibat adanya cacat yang
sulit dideteksi. Cacat ini dapat mengurangi kekuatan sambungannya.
c. Sering dijumpai distorsi akibat pemuaian dan penyusutan yang tidak
seragam (Suharno 2008).
mesin las. Arus las harus disesuaikan dengan jenis bahan dan diameter elektroda
yang di gunakan dalam pengelasan (Saputra, Syarief and Maulana, 2014).
Penggunaan arus yang terlalu kecil akan mengakibatkan penembusan atau
penetrasi las yang rendah, sedangkan arus yang terlalu besar akan mengakibatkan
terbentuknya manik las yang terlalu lebar dan deformasi dalam pengelasan
(Gunawan, Endriatno and Anggara, 2017). Hubungan diameter elektroda dan arus
listrik terlampir pada Tabel 2.3.
Keterangan:
1) Logam las (weld metal) adalah daerah dimana terjadi pencairan logam dan
dengan cepat kemudian membeku.
2) HAZ adalah daerah yang dipengaruhi panas dan juga logam dasar yang
bersebelahan dengan logam las selama proses pengelasan mengalami siklus
termal pemanasan dan pendinginan cepat, sehingga terjadi perubahan struktur
akibat pemanasan.
3) Logam Induk (Parent Metal) merupakan logam dasar dimana panas dan suhu
pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan sifat.
14
2) Austenisasi
Austenisasi adalah proses pemanasan logam di atas suhu kritis (723°C)
dengan maksud untuk mengubah fasa ferit menjadi austenit (Haryadi,
2005).
3) Quenching
Merupakan pendinginan secara cepat. Salah satu ciri dari perlakuan ini
adalah material menjadi sangat keras, karenanya sering disebut sebagai
proses pengerasan (hardening). Pada umumnya baja yang telah mengalami
proses quenching memiliki kekerasan yang tinggi merata dan dapat
mencapai kekerasan yang maksimum tetapi agak rapuh (Miftahudin,
2012).
4) Tempering
Pemanasan kembali dibawah titik kritis kemudian ditahan dalam waktu
yang secukupnya dan didinginkan untuk mengurangi internal strees dan
menstabilkan struktur dari logam (Miftahudin, 2012).
5) Normalizing
Proses normalizing dilakukan dengan udara terbuka. Hasil proses
normalizing baja akan berbutir lebih halus dan homogen (Miftahudin,
2012).
6) Hardening
Hardening dilakukan untuk memperoleh sifat tahan aus yang tinggi,
kekuatan, dan strength yang lebih baik. Kekerasan yang dapat dicapai
tergantung pada kadar karbon dalam baja dan kekerasan yang terjadi akan
tergantung pada temperatur pemanasan, holding time, laju pendinginan
yang dilakukan, dan ketebalan sampel. Untuk memperoleh kekerasan yang
baik (martensit yang keras) maka pada saat pemanasan harus dapat dicapai
struktur austenit, karena hanya austenite yang dapat bertransformasi
menjadi martensit (Yogantoro, 2010).
16
Gambar 2.5 Diagram TTT dan struktur mikro pada tiap fase.
(Al-Matsany, 2012).
Tegangan yang didapatkan dari kurva tegangan teoritik adalah tegangan yang
membujur rata-rata dari pengujian tarik. Tegangan tersebut diperoleh dengan cara
membagi beban dengan luas awal penampang lintang benda uji tersebut, dapat
dilihat pada Persamaan 2.1
(2.1)
Dimana:
σ = Tegangan (kg/mm²) atau MPa
F = Gaya (N)
A = Luas Penampang (mm²)
(2.2)
Dimana:
ɛ = Regangan (mm/mm)
ΔL = Pertambahan panjang (mm)
L = Panjang akhir (mm)
= Panjang awal (mm)
Modulus elastisitas atau modulus young adalah ukuran kekakuan suatu bahan,
yang merupakan gradien bagian linear awal kurva tegangan-regangan (Naibaho,
2015). Dapat dilihat pada Persamaan 2.3.
E= (2.3)
Dimana:
E = Modulus Elastisitas (kg/mm²) atau MPa
σ = Tegangan (kg/mm²) atau MPa
ɛ = Regangan (mm/mm)
21
Kelebihan
1) Tidak dapat memeriksa bagian dalam specimen
2) Tidak dapat melakukan pada spesimen berpori
Magnetic Particle testing (MT)
Magnetic Particle Testing (MT) adalah metode pengujian untuk
menentukan lokasi kerusakan permukaan (surface) dan dibawah
permukaan (subsurface) pada material yang bersifat ferromagnetic.
Magnetic particle testing ini juga menggunakan hukum magnetism,
karena itu terbatas pada pemeriksaan bahan yang dapat dilakukan proses
magnetisasi, material yang dikasifikasikan sebagai ferromagnetic yang
dapat efektif dilakukan pemeriksaan (Rais, Hendroprasetyo and Putra,
2015).
22
Ultrasonic testing
Ultrasonic testing adalah salah satu pengujian non destruktif pada
material, pengujian yang menggunakan media gelombang ultrasonik
(gelombang suara) yang mempunyai frekuensi tinggi >20Khz. Ultrasonic
testing juga dapat digunakan untuk mendeteksi dimensi spesimen dan
kecacatan atau porositas pada benda kerja. Komponen yang digunakan
dalam melakukan inspeksi atau pengujian ultrasonic testing yaitu
gelombang penerima, tranducer, dan perangkat layar (Sharma and Sinha,
2018).
Radiography testing
Radiography (Radiografi) adalah salah satu metode pengujian NDT yang
sangat efektif untuk mendeteksi cacat material dan dapat juga mendeteksi
cacat material dengan skala kecil. Pengujian ini dapat mengancam
kesehatan dan keselamatan jika tidak dilakukan dengan prosedur yang
benar dan tepat. Pengujian radiography testing ini juga terbagi menjadi
dua yaitu pengujian X-rays dan Gamma rays. Pengujian ini juga berguna
untuk mengetahui adanya cacat pada dalam material ataupun pada luar
material (Abidin, Tjiptono and Sulaksana, 2012). Kelebihan dan
kekurangan Radiography testing yaitu:
Kelebihan
1) Mengetahui bentuk cacat pada permukaan luar dan dalam
spesimen.
2) Dapat digunakan pada segala jenis material.
3) Dapat membaca cacat pada material berlapis.
Kekurangan
1) Dapat mengancam kesehatan karena terkena radiasi.
2) Biaya yang sangat mahal.
3) Memiliki keterampilan yang sangat baik dalam menjalankan
radiography.
Umumnya pengujian dikombinasikan dengan dua pengujian terakhir untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Liquit penetrant inspection mempunyai banyak
keunggulan untuk memeriksa hasil dari pengelasan. Pemeriksaan dengan NDT
23
dengan judul pengaruh proses perlakuan panas atau heat treatment terhadap
kekerasan material special K(100). Dalam penelitian ini menggunakan material
special K(100) dengan ukuran 25mm x 20mm x 50mm yang sesuai dengan
instruction for treatment bohler yaitu hardening dengan temperatur 950˚C dan
quenching holding time 60 menit. Hasilnya menunjukkan bahwa harga kekerasan
rata-rata raw material Special K (K100) adalah 20 HRC, setelah proses hardening
dan quenching 64 HRC, dan setelah tempering adalah 62 HRC.
Selain mengacu pada penilitian dari Setiawan (2012), juga mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Sasmita, dkk (2014) yang melakukan penelitian
tentang Pengaruh Heat Treatment Tempering dengan variasi Holding Time
terhadap sifat mekanik Baja AAR Grade B+. Pada penelitian tersebut
diperoleh hasil bahwa semakin lama Holding Time dilakukan pada proses
tempering baja AAR Grade B+ setelah proses Normalizing akan menurunkan rata
– rata kekuatan tarik baja yaitu 64,5 kg/mm2 pada Holding Time 3 jam, 64,33
kg/mm2 pada Holding Time 3,5 jam dan 62,9 kg/mm2 pada Holding time 4 jam
serta Yield point 34,04 kg/mm pada 3 jam Holding Time, 42,98 kg/mm pada 3,5
Holding Time dan 42,07 kg/mm pada 4 jam Holding Time. Elongation sebesar
28,53% pada 3 jam Holding Time, 30,04% pada 3,5 jam Holding Time,30,86%
pada 4 jam Holding Time. Reduction sebesar 54,67% pada 3 jam Holding Time,
55,02% pada 3,5 jam Holding Time dan 56,02% pada 4 jam Holding Time dan
mendapatkan kekerasan sebesar 153 BHN dari 3 jam Holding Time, 148 BHN
dari 3,5 jam Holding Time dan 146 BHN dari 4 jam dilakukanya Holding Time.
Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa nilai dari kekuatan
tarik yield point, Reduction dan kekerasan dengan variasi Holding Time 3 jam,
3,5 jam dan 4 jam tetap memenuhi standar dari baja AAR Grade B+.
Penelitian terdahulu yang lainnya yaitu dari Hariyadi (2006) yang juga
melakukan penelitian tentang Pengaruh suhu Tempering terhadap kekerasan,
Kekuatan tarik dan struktur mikro pada baja K-460. Pada penelitian tersebut
diperoleh hasil bahwa dari proses tempering yang dilakukan dengan suhu 100˚C,
200˚C, 300˚C dan 400˚C. Nilai kekerasan bertambah setelah dilakukanya proses
Heat Treatment yang berkisar antara 40 HRC. Dengan suhu Temper yang semakin
tinggi yaitu sebesar 400˚C mendapakkan harga kekerasan sebesar 54 HRC hasil
25
ini tentu lebih kecil dengan suhu Temper yang lebih kecil. Struktur mikro pada
suhu 100˚C dan 200˚C mendapatkan stuktur martensit, sedangkan pada suhu
300˚C dan 400˚C memperlihatkan struktur partikel karbida yang bulat pada
matriks martensit serta kekuatan tarik maksimun dicapai pada suhu tempering
100˚C sebesar 2014,8 Mpa.