Anda di halaman 1dari 7

Dari istilah katanya, demokrasi merupakan hasil perpaduan dari istilah Yunani

”demos” dan ”kratos”. Demos artinya rakyat atau khalayak. Sedangkan kratos artinya
pemerintahan. Secara mudah kita bisa pahami bahwa demokrasi merupakan pemerintahan
rakyat. Di sini, kita sudah tahu bahwa rakyat tidak terdiri dari satu individu, melainkan
kumpulan individu. Sebagai kumpulan individu, terdapat berbagai kepentingan individual
yang belum tentu sama satu sama lain. Bahkan boleh dibilang kompleks.

Demokrasi memberi solusi dengan cara adanya perwakilan. Artinya, demokrasi


adalah pemerintahan oleh perwakilan rakyat untuk rakyat. Perlu digarisbawahi, perwakilan
rakyat di sini memiliki kepentingan yang sama dengan rakyat. Selama kepentingannya sama,
demokrasi berjalan secara ideal.Demokrasi ideal adalah kekuasaan dari rakyat , oleh rakyat
dan untuk rakyat. Tokoh demokrasi Abraham Lincoln merupakan salah satu pendukung
utama argumen ini. Kekuasaan rakyat bermakna adanya kebebasan rakyat. Maksudnya adalah
rakyat memiliki kebebasan untuk memutuskan berbagai hal yang penting dalam
kehidupannya tanpa melukai kepentingan bersama. Kebebasan tersebut juga dilindungi oleh
negara.

Pengertian demokrasi bisa dideskripsikan juga sebagai sistem politik kebebasan yang
dilindungi. Tidak ada kebebasan tanpa demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan.
Namun kebebasan tersebut dibatasi. Pembatasnya adalah kepentingan umum atau
kepentingan bersama. Kebebasan itu juga, sekali lagi, dilindungi. Pelindungnya adalah
negara, dalam bentuk konstitusi, hukum, atau undang-undang. Secara ringkas demokrasi bisa
dipandang sebagai institusionalisasi kebebasan.Demokrasi merupakan sistem yang dipilih
rakyat Indonesia melalui kesepakatan para pemimpin di awal kemerdekaan.  Ciri-ciri Negara
Demokrasi sendiri seperti telah kita ketahui bersama, merupakan sistem bernegara yang
menyerahkan kedaulatan di tangan rakyatnya.  Apapun keputusan penyelenggara pemerintah,
rakyat menentukan.  Rakyat dapat menentukan langsung pilihan / keputusannya atau dapat
melalui lembaga-lembaga negara yang mewakili suara mereka.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan
oleh pemerintah negara tersebut.Demokrasi bentuk pemerintahan di mana semua warga
negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau
melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.  Demokrasi
mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik
kebebasan politik secara bebas dan setara. di tinjau ddari pendapat almadudi "soko guru
demokrasi" 

 Kedaulatan rakyat.
 Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
 Kekuasaan Mayoritas.
 Hak-hak Minoritas.
 Jaminan hak asasi manusia.
 Pemilihan yang bebas, adil dan jujur.
 Persamaan di depan hukum.
 Proses hukum yang wajar.
 Pembatasan pemerintah secara konstitusional.
 Prulalisme sosial, ekonomi, dan politik.
 Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Paham demokrasi pun sampai saat ini masih di anut oleh bangsa Indonesia. Bahkan
paham demokratisasi pun di Indonesia masih berkembang begitu pesat, bisa kita lihat dari
peran masyarakat terhadap pemilihan kepada desa dan lainya. Demokrasi itu terbuka untuk
semua kalangan agar tidak terjadi kesalah pahaman satu dengan lainnya. Begitu banyak
mahasiswa yang berdemo baik di dalam kampus maupun di luar kampus mereka
menyampaikan anspirasi dari Mahasiswa maupun Masyarakat agar terciptanya sebuah
hubungan baik antara Pemimpin - penyambung - Anspirasi. 

Banyak yang berpandangan bahwa prinsip utama dan yang terpenting dari demokrasi
adalah kebebasan bagi setiap individu untuk bertindak dan memilih konsep kebebasan hal
inilah yang kemudian menimbulkan  kontroversi dalam pendefinisiannya. Menyatakan
seorang manusia itu bebas, ketika memiliki kapasitas otonom untuk memilih secara tepat.
Ketika berhadapan dengan individu lain yang diakui oleh konsep “manusiawi” nya,
pertanyaan logis yang muncul adalah bagaimana kebebasan individu ini harus diaplikasikan
dalam suatu continum? Manusia dengan konteks historis yang melahirkan hubungan sosial
dan budaya yang berbeda dalam rangkaian yang menyatukan (sistem masyarakat)
kebebasannya menjadi terbatasi oleh manusia lain yang lebih “kuat” dengan berbagai
kepentingan. Elemen pertimbangan ini menemui titik temu dalam pemaknaan individu yang
bebas atau tidak bergantung pada siapa pemegang alat produksinya, bagaimana hubungan
produksinya dan rezim politik dimana ia hidup.

Di dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu manusia “bebas”


membutuhkan satu sistem pengaturan untuk menentukan keputusan bersama berdasarkan
siapa pemegang kekuasaannya dan apa kepentingan yang melatarbelakanginya. Pemegang
kekuasaan mendapatkan kesempatan untuk mengkondisikan individu lain mencapai atau
tidak mencapai sesuatu, menjalankan atau tidak menjalankan aktivitas tertentu.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pemegang kekuasaan adalah mereka yang menguasai alat
produksi, dengan demikian memiliki keistimewaan untuk menentukan formasi sosial bagi
setiap individu. Hal ini dilandasi oleh hakikat manusia sebagai tenaga kerja untuk
mempertahankan hidup berdasarkan pemanfaatan alam sebagai sasaran produksi dan
penggunaan perkakas kerja (alat produksi)  serta kerjasama kolektif. Dengan kata lain,
produksi kekayaan material adalah dasar kehidupan/eksistensi manusia dalam masyarakat.
Individu yang tidak menguasai  alat produksi serta merta akan kehilangan syarat untuk
memenuhi hakikatnya sebagai manusia yang dengan demikian kehilangan kesempatannya
untuk memilih dan berkontribusi dalam keputusan sosial.Dengan demikian dapat kita pahami
bahwa prinsip kebebasan yang diagungkan oleh sistem demokrasi hanya merupakan salah
satu kedok bagi rezim politik untuk meraih tujuannya agar terkesan populis dan humanis.

Harus dipahami, walaupun demokrasi tidak mampu memberikan pembebasan sejati


kepada manusia, namun demokrasi merupakan salah satu jalan bagi umat manusia untuk
mencapai pembebasan. Demokrasi merupakan syarat bagi individu untuk dapat memperoleh
kesempatan mengakses ilmu pengetahuan, mengembangkan produktivitasnya, kesempatan
untuk mendapatkan ideologi revolusioner, kesempatan untuk menggalang kekuatan guna
merumuskan strategi bagi pembebasan manusia yang sejatinya, yang tidak mungkin
dinikmati dalam tingkat perkembangan masyarakat perbudakan dan feodalisme yang otoriter.

Perempuan, tidak habis-habisnya persoalan yang dapat menjadi bahan perdebatan


ketika kita menyinggung entitas masyarakat yang satu ini. Keistimewaan individu penguasa
alat produksi dalam menentukan formasi sosial ternyata turut menyeret perempuan dalam
penyingkiran yang berkepanjangan. Kehidupan kolektif yang pertama kali diciptakan oleh
perempuan, kemampuan reproduktif dan penciptaan produksi materiil yang telah
menghidupkan komunitas primitif diputarbalikkan ketika perkembangan perkakas produksi
menghasilkan surplus yang dikuasai oleh laki-laki. Kemampuan reproduktif yang menjadi
salah satu elemen penggerak sejarah umat manusia kemudian di jadikan bumerang untuk
memukul mundur posisi perempuan dalam domain domestik. Pembagian kerja yang setara di
zaman barbarisme (istilah yang digunakan oleh morgan) berubah menjadi pembagian yang
menjerat perempuan kehilangan kekuasaan sumber produksi materiilnya.
Berbagai teori “pengukuh” dikembangkan oleh para ilmuwan borjuis untuk
menjelaskan ketidaksetaraan perempuan. perkembangan teori terakhir yang menggantikan
absolutisme Tuhan, yang menjadi pegangan hingga saat ini adalah teori determinisme
biologis yang berpandangan bahwa biologis tidak hanya sekedar menentukan tingkah laku
manusia namun juga kesetaraan ekonomi dan sosial. Teori sosio biologis yang dikemukakan
oleh Edward Wilson dan David Barash merupakan salah satu teori turunan dari determinisme
biologis, menyusul pandangan ilmuwan lain seperti george murdock dan talcot parson.
Teori yang dikembangkan oleh Charles Darwin mengenai evolusi manusia berhasil menjadi
pembuka bagi perdebatan ilmiah mengenai spesies manusia.
Berdasarkan hasil penelitian dari Morgan, Engels membagi zaman perkembangan
komunal primitif menjadi 3 yaitu zaman tak beradab, zaman barbarisme dan zaman
peradaban berdasarkan cara memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada zaman tak beradab, nenek
moyang manusia  mengumpulkan makanan alamiah (buah-buahan dan bijian) yang kemudian
berkembang pada pengumpulan makanan laut dan penemuan api yang revolusioner karena
membebaskannya dari ketergantungan cuaca dan memungkinkan untuk melakukan migrasi
dan berinteraksi yang menjadi cikal bakal penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa,
mendorong perkembangan modulasi larink serta perkembangan kerja yang dilakukan oleh
manusia mendorong perkembangan artikulasi hhuruf/kata, secara dialektis mengembangkan
kemampuan otak manusia. Perkembangan selanjutnya memungkinkan untuk menjangkau
kegiatan berburu, dan memberikan otak manusia suatu suntikan kimiawi yang memicu
perkembangan yang semakin sempurna.
Zaman barbarisme ditandai dengan perkembangan tembikar dan kegiatan holtikultural
(yang menjadi sumber makanan utama komunitas dan dikuasai oleh perempuan) memberikan
landasan untuk menetap (disamping kebutuhan bekerjasama untuk melindungi kandungan
sebagai tenaga kerja) dengan pembagian kerja yang setara dimana laki-laki melakukan kerja
perburuan. Komunitas yang mulai menetap menyebabkan hasil buruan harus di bawa pulang,
dan kegiatan peternakan mulai berkembang. Sejalan dengan itu, kegiatan bercocok tanam
mengalami perkembangan yang signifikan sejak ditemukannya mata bajak yang ternyata
membawa hasil lebih daripada yang dihasilkan oleh kegiatan holtikultura bagi kebutuhan
komunitas. Kegiatan bajak yang memerlukan kekuatan fisik membutuhkan bantuan dari
binatang-binatang besar seperti lembu, kerbau dan kenyataannya penguasaan terhadap
binatang itu terletak pada laki-laki yang mendapatkan pembagian kerja berburu. Kehilangan
kuasa atas produksi makanan utama, kelebihan produksi yang dikuasai oleh laki-laki, secara
perlahan-lahan menyingkirkan perempuan dari lapangan produksi. Kali ini, pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan tidak lagi setara, domestifikasi perempuan semakin
dikukuhkan yang menyebabkan kuasa perempuan atas sosial lenyap. Akibat logis lainnya
adalah munculnya cikal bakal kepemilikan pribadi serta kuasa istimewa dari pemegang
kepemilikan produksi. Di zaman inilah tapak penyingkiran perempuan mulai berawal dan
berkembang sepenuhnya dizaman peradaban yang ditandai dengan kagiatan Pertukaran
komoditas, pemisahan kota dan desa, kepemilikan pribadi, dan keluarga (monogami)

Kepentingan Perempuan dalam Perjuangan Demokrasi


tidak lagi menjadi hal yang tabu ketika persoalan perempuan mulai menjadi perbincangan
sebagai salah satu problem sosial. Banyak kalangan yang mulai mempertanyakan bagaimana
kontribusi demokrasi terhadap pengembangan kapasitas perempuan dan bagaimana pula
menempatkan perempuan sebagai salah satu elemen masyarakat dengan kewarganegaraan
penuh. Bukan menjadi hal mudah untuk memulai semua ini setelah sekian lama perempuan
Indonesia “dikurung” dalam manisnya ideologi ibu-isme dan “takdir alamiahnya”. ketika
persoalan kesetaraan menjadi perdebatan dikalangan akademisi, masyarakat mulai menerima
sedikit transformasi ideologi yang semakin memperjelas pemahaman mereka tentang
mengapa perempuan harus setara dan bagaimana cara menyetarakannya. Namun sayang, teori
tentang kesetaraan gender tidak pernah diterima secara sistematis oleh masyarakat yang
dilandasi oleh fakta bahwa kurikulum yang setara gender masih sangat jarang diadopsi oleh
lembaga pendidikan formal di Indonesia, di tambah lagi dengan praktek sosial, politik
maupun hukum yang menjadi elemen pengokoh penyingkiran perempuan dari ladang HAM
dan Demokrasi di Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadikan isu kesetaraan dan ideologi
feminisme diterima secara parsial oleh masyarakat.
Belajar dari beberapa negara yang pernah mengalami pengekangan sistem
otoritarianisme dan upaya perjuangan demokrasi rakyat, partisipasi perempuan menjadi suatu
gejala yang relatif baru namun sangat menentukan dalam transisi otoriter menuju demokrasi.
Perempuan memang selalu menjadi korban “sejati” dari kebijakan negara yang otoriter.
Penindasan ekonomi politik dari kebijakan rezim selalu menimpa “lebih” terhadap
perempuan, sehingga semakin jelas landasan kita untuk memahami, kepentingan perempuan
terlibat dalam perlawanan anti rezim otoriter

Keprihatinan terhadap kondisi kaum perempuan dalam memperjuangkan dan


memenuhi hak-hak perempuan, tidaklah luput dari anggapan bahwa kondisi perempuan di
Indonesia sangatlah tidak seimbang dalam hal pemenuhan aspirasi untuk memperjuangkan
hak-hak perempuan Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah laki-laki yang
duduk dikursi parlemen untuk membicarakan dan membahas masalah-masalah publik yang
mana tentunya mereka kurang peka terhadap kondisi dari perempuan Indonesia tersebut yang
sebenarnya amat krusial. Sehingga hal ini membuat perempuan Indonesia kurang mendapat
perhatian khusus dari pemerintah dalam hal kebijakan.

Selain itu perhatian terhadap kehadiran kaum perempuan di dalam panggung politik,
diwarnai paling sedikit oleh dua pandangan. Pertama, berkaitan dengan masalah keadilan.
Tergambar dengan jelas bahwa sisa-sisa ketidaksamaan derajat antara pria dan wanita yang
merupakan warisan dari masa kolonialisme telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Usaha
untuk menghilangkan ketimpangan yang didasarkan pada jenis kelamin ini secara umum
diartikan sebagai peningkatan keikutsertaan perempuan di segala bidang kegiatan, termasuk
kesempatan untuk menduduki jabatan politik maupun administrasi pemerintahan. Pandangan
kedua yang berkaitan dengan masalah yang secara umum dapat disebut “efektivitas”.
Seharusnya suatu Negara tidak menyia-nyiakan bakat dan potensi kaum perempuan bagi
usaha untuk menciptakan suatu pemerintahan, dan mengembangkan suatu system
administrasi dan perekonomian yang mampu bersaing.
Dari sisi lain, dapat dipastikan bahwa kebijakan yang efektif, misalnya dalam
pembangunan ekonomi, akan lebih banyak dilandasi proses pengambilan keputusan yang
mengikutserakan kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Apabila hal tersebut dilakukan
tanpa melibatkan kaum perempuan dalam menduduki posisi penting di pemerintahan dan
kedudukan politik lainnya, hampir pasti menghasilkan kondisi dan aspirasi yang tidak
sepadan dengan setengah dari jumlah penduduk Indonesia yang hampir sebagian
penduduknya adalah kaum perempuan. Tentu hal inilah salah satu penyebab ketertinggalan
kaum perempuan dalam ikut berkarya mengukir kemajuan bangsa baik dibidang
kesejahteraan masyarakatnya maupun dalam bidang keterlibtan perempuan dalam hal
pembangunan.

Semakin kompleksnya permasalahan perempuan, menuntut perempuan untuk ikut


andil duduk diparlemen dengan anggota legislative lainnya membahas dan mencari solusi
atas kompleksnya permasalahan perempuan sendiri. Sehingga apa yang menjadi masalah
kaum perempuan akan lebih mudah untuk diperjuangkan ketimbang yang membahasnya
adalah kaum laki-laki, yang notabene mereka kurang mengerti akan kompleksnya masalah
yang dihadapi perempuan sendiri.

Masalah lain yang ada dalam lingkup perempuan adalah ketika pemerintah
memutuskan bahwa setiap partai harus mengisi kuota perempuan minimal 30 persen yang
terangkum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7/2013 pasal 27 ayat
(1) huruf b menyangkut kuota 30 persen keterwakilan calon legislatif (caleg)
perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil), perlu diperkuat. Pasalnya, sesuai
amanat Undang-Undang (UU), partai politik (parpol) harus memenuhi syarat tersebut
apabila parpol ingin jadi peserta pemilu 2014. . Jika kita tarik garis lurus lebih jauh. Sejak
dikeluarkannya Undang-undang nomor 12 tahun 2003 yang berisi keharusan memasukkan
kuota 30 persen caleg perempuan. Sudah selayaknya partai politik mulai memikirkan akan
kualitas dari caleg perempuan sendiri, supaya nantinya ketika duduk di parlemen sudah
memiliki pengetahuan akan masalah perempuan yang krusial dan diharapkan dapat terus
terakomodir dalam setiap pembuatan kebijakan yang berorientasi pada permasalahn
perempuan di Indonesia.

Ketentuan 30 persen caleg harus perempuan ini dimaksudkan untuk memberikan


akses yang memadai bagi kaum perempuan agar dapat berpartisipasi dalam proses politik dan
bernegara kita. Sebagaimana kita tahu, sudah sejak entah kapan politik menjadi ranah
kehidupan yang amat “maskulin” dan didominasi laki-laki. Kenapa ini terjadi, tentunya
bukan karena perempuan selalu saja tak semampu laki-laki untuk mengurus berbagai hal
terkait hajat hidup orang banyak. Tapi sederhananya, karena akses mereka untuk masuk ke
sana memang terbatasi, terutama oleh kebiasaan yang cenderung kita terima begitu saja,
bahwa segala urusan publik mesti ditangani laki-laki. Cara pandang inilah yang seiring
demokratisasi coba untuk dihilangkan. Perempuan bukanlah “warga kelas dua”; mereka pun
punya hak dan kapabilitas untuk berpartisipasi dalam proses-proses bernegara.

Kita patut bangga dan menghargai perjuangan kaum perempuan di legislatif, para
aktivis perempuan  yang menginginkan semua pihak bersedia mendukung affirmative action (
tindakan keberpihakan) supaya kebijakan-kebijakan publik atau politik tidak bias gender
tetapi justru akan mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas. Dengan
terbukanya kesempatan yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk menjadi calon anggota
legislatif ini akan menjadikan kaum perempuan semakin mudah memperjuangkan hak-
haknya yang selama ini diremehkan kaum laki-laki. Tentu banyak persoalan lain yang
menyangkut masalah keperempuanan yang selama ini belum digarap dengan tuntas, akan
memungkinkan diselesaikan secara substansial dan serius.

Partai politik merupakan salah satu sarana atau wadah yang sah dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan, yaitu dengan pemberian kuota 30 persen maka kaum
perempuan harus mulai berjuang melalui sarana-sarana yang ada. Disini kaum perempuan
harus mampu menunjukkan kemauan dan kemampuannya beraktivitas dalam partai, sehingga
keberadaannya dapat dipakai sebagai standar penilaian prestasi dan sekaligus sebagai upaya
menepis tuduhan bahwa pemberian kuota hanyalah sekedar belas kasihan kepada kaum
perempuan.

Kurangnya Caleg perempuan yang berhasil duduk di kursi Parlemen menjadi


penghambat berkembangnya negeri ini. Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya
kepercayaan rakyat Indonesia untuk dipimpin oleh kaum wanita. Karena banyak orang
beranggapan, wanita adalah kaum yang lemah, tidak mampu berkerja keras, tidak sanggup
memimpin banyak orang. Namun nyatanya tidak selamanya pernyataan diatas benar, sudah
banyak perempuan-perempuan Indonesia yang duduk di parlemen, yang telah berhasil
membuktikan bahwa kaum perempuan sanggup menjadi sama seperti kaum laki-laki.

Kita memerlukan perempuan di parlemen tidak hanya jumlahnya tapi juga


kualitasnya. Seperti halnya Hadist Nabi, bukankah kita tahu bahwa Nabi Muhammad
menegaskan dalam haditsnya “Perempuan itu tiang negara. Apabila baik perempuannya, 
maka baiklah negara tersebut. Manakala rusak perempuannya, maka rusaklah pula Negara 
itu”.

Saat ini kebebasan dan demokrasi telah menjadi bagian penting dalam interaksi antar
sesama manusia. Sekalipun demokrasi berasal dari tradisi Barat, ia telah menjadi wabah
global. Hampir dapat dipastikan tidak ada satu negara pun di dunia ini yang sepi dari tuntuan
demokrasi. Meskipun penerapan demokrasi tidaklah seragam pada masing-masing kawasan
dunia, demokrasi telah menjadi media masyarakat dunia untuk mengekspresikan kebebasan
individu dan hak-haknya sebagai warga negara. Sebagaimana demokrasi, penegakkan Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan unsur penting untuk mewujudkan sebuah negara yang
berkeadaban. Demokrasi dan HAM ibarat dua sisi mata uang yang saling menopang satu
sama lain. jika dua unsur ini berjalan dengan baik, pada akhirnya akan lahir masyarakat
madani yang demokratis dan peduli HAM.
Berbicara soal demokrasi dan HAM erat kaitannya dengan gender. Gender menjadi
bahasan yang trend hingga saat ini. Hampir di seluruh dunia dalam soal kesetaraan gender
yang lebih banyak menganut sistem patriarki. Istilah patriarki ini menggambarkan sistem
sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum
perempuan. Dalam budaya ini terdapat perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan
perempuan dan lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Laki-laki
yang mendapat peran sebagai pencari nafkah dan pelindung, dituntut oleh budaya untuk
menjadi perkasa, mampu bekerja keras, dan bersifat rasional, sebaliknya dengan perempuan
yang mendapat peran sebagai penanggungjawab pekerjaan domestik dianggap bersifat lemah
dan pasif, maka tidak berkapasitas berkiprah di dunia politik.

Anda mungkin juga menyukai