Anda di halaman 1dari 9

Rumah Impian

Abdul Hadi W. M
Pragmatik

Analisis Cerpen Rumah Impian Karya Abdul Hadi W. M


Menggunakan Pendekatan Pragmatik

A. Teks
Di halaman itu, pandangan Barka mendarat. Tatapannya kosong
menyaksikan senja yang mulai remang. Cahaya kekuningan yang terpampang
makin membuat kalbunya serasa ditusuk – tusuk seribu sembilu. Pedih, perih,
dan ngilu. Sengilu jiwanya yang bimbang tidak terperikan.
“Bagaimana, Bang Barka? Hanya Abang satu – satunya harapan kami.
Abang tak kasihan melihat Amak?” Adik perempuannya menyela.
Barka terdiam. Kata – kata itu bagai sayat yang tak henti – hentinya
membuat dadanya tak putus dari kecamuk. Pikirannya kalut. Ditatapnya satu
per satu ketiga adiknya yang duduk berjajar dihadapannya. Pandang mereka
tertunduk tanda kusut layak dirinya. Barka menghela napas panjang.
Tangannya mulai menyulut sebatang rokok, dan mengisapnya dalam – dalam.
Lima tahun lalu, setelah menunggu sekian lama, akhirnya Barka
mempunyai cukup uang untuk melamar Harsinah. Tentunya selepas
percintaan panjang mereka yang berbuah impian untuk segera ke pelaminan.
Tapi, Harsinah harus menunggu selama tiga tahun agar Barka mempunyai
cukup uang menebus mahar yang diminta ayah gadis itu.
Itupun dengan bantuan sedikit gaji minim Harsinah setiap bulannya
sebagai pelayan toko milik orang Cina. Akhirnya, mereka memutuskan untuk
menikah. Tak ada yang mampu Barka janjikan kepada Harsinah, kecuali
memenuhi impian gadis itu mempunyai rumah mungil dan sederhana sebagai
persinggahan di hari tua.
“Setelah menikah, kita akan tinggal di rumah kontrakan dulu, selama itu,
Abang akan menyisihkan uang untuk membuat rumah di sebelah rumah
Amak. Ada lahan kosong di sana”, ucap Barka pada Harsinah suatu ketika.
“Karena menumpang di rumah bapak atau mertua adalah sebuah beban
yang berat, belum lagi jika ada perselisihan. Itu makin rumit, selain itu, aku
adalah lelaki, tentu malu masih menumpang orang tua”, papar Barka
berusaha meyakinkan Harsinah.
Kala itu, Harsinah menyetujui saja kata – kata calon suaminya itu. Ia
sungguh memaklumi penghasilan Barka yang hanya bekerja di salah satu
pabrik makanan ringan dengan gaji yang tak seberapa itu. Ia pun hanya
mampu sedikit membantu. Tak apalah, bukankah ia hanya berkeinginan,
terserah Tuhan ingin memberinya atau tidak.
Apalagi, dengan membayangkan kehidupan keluarga kecilnya nanti,
tentulah setiap bulan sebuah kondisi yang begitu sulit untuk hidup sejantera.
Tapi, Harsinah tak peduli sebagaimana halnya Barka yang juga tak peduli
dengan penghasilan kurang yang membayang – bayangi hidupnya ke depan.
Mereka hanya ingin menyempurnakan getar – getar cinta yang selama ini
mereka pelihara.
Sesungguhnya Barka pun ragu untuk mengontrak rumah. Tentulah hal itu
adalah beban berat baginya yang hanya seorang buruh kecil. Belum lagi
tagihan listrik, beli beras, beli minyak, iuran keamanan, iuran ini, iuran itu.
Banyak lagi. Tapi, lebih berat lagi jika harus tinggal di rumah Amaknya atau
di rumah keluarga Harsinah. Harga dirinya akan terasa ciut disebut – sebut
lelaki yang tak bertanggungjawab karena tidak mampu menyediakan tempat
tinggal bagi sang istri.
Setelah susah payah, tanya sana, tanya sini. Akhirnya, Barka
mendapatkan rumah kontrak dengan harga yang begitu miring. Tentunya
dengan konsekuensi yang setimpal pula. Rumah itu berada di kompleks
paling ujung dan bersebelahan dengan tempat pembuangan sampah dan got
yang selalu mengeluarkan bau tak sedap.
Dahi Harsinah sempat berkerut ketika Barka menawarkan rumah yang
akan mereka tinggali itu. Tapi, akhirnya gadis itu mengangguk – angguk juga
setelah Barka berjanji akan membersihkan dan melapangkan daerah sampah
yang menjorok ke rumah itu. Barka juga berjanji untuk berusaha menjauhkan
bau tak sedap itu dengan caranya sendiri.
Setelah pernikahan sederhana yang hanya mengundang kerabat – kerabat
dari kedua mempelai itu, mereka berdua pun pindah ke rumah kontrakan kecil
itu. Semuanya masih lengang dan kosong. Hanya ada beberapa sumbangan
alat – alat rumah tangga dari keluarga mereka berupa panci, tempat tidur,
lemari usang, tikar, dan beberapa barang pecah belah. Uang tabungan Barka
telah banyak terkuras membayar dana kontrakan setahun penuh dan sisanya ia
serahkan pada Harsinah agar membeli kebutuhan yang diperlukan
sekadarnya.
Sesuai dengan janjinya kepada Harsinah, ia akan membuatkan sebuah
rumah impian. Maka mulailah pengantin baru itu menyibukkan diri dengan
pekerjaan – pekerjaan sampingan, sebagai tambahan penghasilan. Meskipun
masih dalam masa bulan madu mereka berdua tak mau boros menguras uang.
Meski dalam keadaan sulit, semuanya tetaplah indah bagi Barka dan
Harsinah.
“Kita mesti menunda memiliki anak sebelum mempunyai rumah sendiri”.
Ada saja yang Barka ucapkan pada istrinya setiap sebelum tidur. Selalu
begitu seterusnya sampai – sampai Barka kerap mendapati Harsinah sedang
tersenyum sendiri. Mengingat – ingat bulan madu mereka yang hanya di
samping got berair kelabu dan tumpukan sampah berbau tak sedap. Kala libur
akhir pekan biasanya Barka akan mengajak Harsinah berjalan – jalan ke
tempat – tempat yang dirasa indah. Meskipun tempat itu telah mereka datangi
sebelum menikah, semuanya terasa begitu berbeda.
Adakalanya tabungan untuk rumah itu terpotong dengan harga kebutuhan
yang tiba – tiba naik. Hal itu tentu membuat Barka bersedih. Sudah lima
tahun mereka berdua menyisihkan uang untuk membuat rumah impian itu.
Berbagai godaan kerap membuat mereka menahan napas, terlebih saat
melihat tetangga dengan begitu mudah mendapatkan apa yang mereka
inginkan.
Suatu malam wajah Harsinah begitu sumringah. Tabungan itu telah
dirasa cukup untuk membangun rumah. Tidak sia – sia rasanya mereka susah
– payah menabung untuk itu.
“Agar tidak mahal, nanti akulah yang akan banyak bekerja sendiri
membangun rumah itu”, ujar Barka seraya memasang wajah ceria.
“Halamannya akan aku tanami aneka bunga agar terlihat begitu indah”,
sambung Harsinah.
“Aku akan mengecat pagar bambu rumah kita nanti dengan cat warna –
warni agar anak – anak kita riang bermain dihalamannya”.
“Sebentar lagi kita akan meninggalkan rumah kontrakan usang ini”, ucap
mereka serempak.
Malam itu mereka berdua tidur dengan nyenyak, bermimpi memiliki
rumah mungil nan indah sebagai tempat berteduh di masa tua.
Tapi, di bingkai jendela rumah Amaknya, Barka menatap jauh ke
halaman. Senja telah remang. Cahaya kekuningan yang terpampang membuat
kalbunya terasa ditusuk – tusuk seribu sembilu. Pedih, perih, dan ngilu.
Sengilu jiwanya yang bimbang tak terperikan.
Tadi siang, Harsinah menyampaikan bahwa Barka ditunggu keluarganya
nanti sore di rumah Amak. Semula, Barka menduga akan diadakan acara
temu keluarga, tapi ganjilnya, kenapa Harsinah tidak diperbolehkan turut
pula?
“Duduklah, Bang”, kata adik bungsu perempuannya begitu Barka
sampai di rumah warisan babahnya itu. Barka sempat terheran – heran karena
disambut dengan tampang murung oleh ketiga adiknya yang telah berjejer tak
beraturan dihadapannya. Tidak biasanya mereka seserius ini kala bersua.
“Ada apa?” tanya Barka sambil menenangkan degup di dadanya. Pasti ada
hal yang tidak beres.
Sesungguh hati ia tidak mampu memungkiri rasa cemas yang lantas
merayap di dadanya. Segelas kopi panas yang terhidang dihadapannya
membuat Barka tak sabar dan lantas menyulut sebatang rokok untuk
mengusir gundahnya.
“Sakit Amak kumat lagi”, jawab adik perempuannya pelan.
Barka menghela napas, matanya menatap satu per satu adik – adiknya
yang telah dewasa. Ia telah hafal tabiat sakit Amaknya itu. Seingat Barka,
beberapa kali ia mengantar dan menunggui Amaknya yang terbaring pasi di
ranjang rumah sakit. Stroke beserta rematik itu telah mengisap ketangkasan
Amak.
Sebelum penyakit itu bersarang di tubuhnya, Amak adalah wanita
perkasa yang mampu menghidupi keempat anaknya yang telah yatim. Tapi,
kejayaan itu cepat berlalu, lambat laun tubuh Amak kian rapuh seiring
beranjaknya usia. Dan sebagai anak tertua, Barkalah yang menanggung dosa
sebagai orang tua kedua bagi adik – adiknya sejak ibunya hanya mampu
terbaring letai dirongrong aneka penyakit. Maka beban berat itu mesti Barka
tanggung.
“Kenapa aku baru diberi tahu sekarang?” ucap Barka tegas seraya
mengembuskan asap rokok ke udara. Asap itu lantas terkoyak angin dingin
yang berembus cukup kencang. Keheningan seketika merambat, memaku
suasana menjadi kaku.
“Kami takut hal ini akan menyakiti perasaan Abang”.
Barka menarik napas panjang. “Jadi, apa yang kalian mau dariku?”
sambung Barka cepat.
Sebenarnya, Barka sudah menebak hal yang akan adiknya utarakan, tapi
ia hanya ingin mendengar langsung dari mulut adik – adiknya untuk
meyakinkan bahwa tebakannya akan salah.
“Amak mesti dioperasi, harus ada biaya”, jawab adik lelakinya. “Hanya
Abang satu – satunya harapan kami, Abang tak kasihan pada Amak?”
sambungnya lagi.
Harapan yang Barka bangun seketika runtuh. Kalimat terakhir itu
bagaikan belati yang terhurus tak putus – putus menyayat nadi. Tidak henti –
henti membuat dadanya tak putus dari kecamuk. Pikirannya kalut. Barka
melempar pandang pada halaman itu. Tatapnya kosong menyisir sisa senja
yang telah hilang. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari
malam yang menerjang. Sekelam hatinya yang berselimut kepekatan.
Barka sudah mengetahui apa yang harus dilakukannya. Hanya saja, ia tak
mempunyai kata – kata yang patut untuk disampaikan nanti kepada Harsinah.
Tentang semua impian mereka yang terasa kandas di tengah jalan.
B. Sumber Teks
https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.com/2016/09/rumah-impian-
cerpen-abdul-hadi.html?m=1
C. Pembahasan
Ketika kita menganalisis suatu karya sastra berarti kita berproses dalam
menyalami makna dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra.
Dalam menganalisis suatu karya sastra tidak hanya menyalami makna saja,
melainkan harus ada kesadaran atau keinginan dari diri sendiri. Sama halnya
dengan saya memilih cerpen Rumah Impian karya Abdul Hadi W.M untuk
dianalisis karena saya memiliki keinginan dan tertarik pada isi cerpen tersebut
setelah saya baca.
Selain itu, dalam menganalisis suatu karya sastra tentu ada beberapa
pendekatan yang mesti kita pilih. Salah satu pendekatan yang saya pilih untuk
menganalisis cerpen Rumah Impian karya Abdul Hadi W.M yaitu pendekatan
pragmatik. Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang menjelaskan
tanggapan atau penilaian terhadap suatu karya sastra. Alasan saya memilih
menggunakan pendekatan pragmatik karena saya lebih ingin mengambil nilai
– nilai atau pelajaran yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari
– hari agar saya ataupun pembaca lainnya bisa menjadi pribadi yang lebih
baik untuk bekal di masa mendatang.
D. Hasil Analisis
 Saya berpendapat bahwa cerpen Rumah Impian menceritakan tentang
percintaan menuju pernikahan.
Terlihat dalam kutipan :
Tentunya selepas percintaan panjang mereka yang berbuah impian untuk
segera ke pelaminan. Harsinah harus menunggu selama tiga tahun agar
Barka mempunyai cukup uang menebus mahar yang diminta ayah gadis
itu.
Mereka hanya ingin menyempurnakan getar – getar cinta yang selama
ini mereka pelihara.
Komentar :
Berdasarkan kutipan di atas, sudah cukup membuktikan bahwa cerpen
Rumah Impian lebih fokus kepada kisah percintaan menuju pernikahan
antara Barka dan Harsinah.
 Saya berpendapat bahwa pengarang menyampaikan sisi positif dari tokoh
Barka.
Terlihat dalam kutipan :
“Karena menumpang di rumah bapak atau mertua adalah sebuah beban
yang berat, belum lagi jika ada perselisihan. Itu makin rumit, selain itu
aku adalah lelaki, tentu malu masih menumpang orang tua”.
Komentar :
Berdasarkan kutipan di atas, sosok Barka tidak ingin merepotkan orang
tua Harsinah karena Barka juga menyayangi keluarga Harsinah seperti
menyayangi keluarganya sendiri dan ia juga menjaga harga dirinya untuk
membuktikan bahwa ia bisa membahagiakan Harsinah.
 Saya berpendapat bahwa pengarang menyampaikan sisi positif dari tokoh
Harsinah.
Terlihat dalam kutipan :
Harsinah sungguh memaklumi penghasilan Barka yang hanya bekerja di
salah satu pabrik makanan ringan dengan gaji yang tak seberapa itu.
Komentar :
Berdasarkan kutipan di atas, sosok Harsinah sangat tidak peduli apapun
pekerjaan Barka dan Harsinah memandang Barka apa adanya yang
penting ia bahagia bersama Barka.
 Saya berpendapat bahwa pengarang menyampaikan pesan melalui tokoh
Barka.
Terlihat dalam kutipan :
Tapi, akhirnya gadis itu mengangguk – angguk juga setelah Barka
berjanji akan membersihkan dan melapangkan daerah sampah yang
menjorok ke rumah itu. Barka juga berjanji untuk berusaha menjauhkan
bau tak sedap itu dengan caranya sendiri.
Komentar :
Berdasarkan kutipan di atas, seorang suami akan melakukan apapun demi
membuat istrinya bahagia dan nyaman untuk selalu berada disamping
sang suami.
 Saya berpendapat bahwa pengarang menyampaikan pesan melalui tokoh
Harsinah dan Barka.
Terlihat dalam kutipan :
Sesuai dengan janjinya kepada Harsinah, ia akan membuatkan sebuah
rumah impian. Maka mulailah pengantin baru itu menyibukkan diri
dengan pekerjaan – pekerjaan sampingan, sebagai tambahan
penghasilan. Meskipun masih dalam masa bulan madu, mereka berdua
tak mau boros menguras uang.
Komentar :
Berdasarkan kutipan di atas, sebuah janji itu harus ditepati jangan
diingkari karena janji itu ibarat hutang yang harus dibayar, jangan mudah
putus asa dalam mencari tambahan uang untuk suatu impian, dan harus
hidup hemat karena kita tidak tau seperti apa kehidupan yang akan
datang.
 Saya berpendapat bahwa pengarang menyelipkan makna konotatif yang
memilki arti sekaligus pesan.
Terlihat dalam kutipan :
Cahaya kekuningan yang terpampang membuat kalbunya terasa ditusuk
– tusuk seribu sembilu. Pedih, perih, dan ngilu. Sengilu jiwanya yang
bimbang tak terperikan.
Komentar :
Berdasarkan kutipan di atas, makna denotatif dari cahaya kekuningan
yaitu matahari, kata sembilu yaitu kulit bulu yang tajam seperti pisau, dan
tak terperikan yaitu tidak tersampaikan. Pesan yang disampaikan dalam
kutipan di atas yaitu sesakit hati kita pada kehidupan ini, kita harus tetap
bergerak untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
 Saya berpendapat bahwa pengarang menyampaikan pesan terakhir yang
mencakup keseluruhan cerpen Rumah Impian.
Terlihat dalam kutipan :
Harapan yang Barka bangun seketika runtuh.
Tentang semua impian mereka yang terasa kandas di tengah jalan.
Komentar :
Berdasarkan kutipan di atas, sebuah harapan tidak selalu berhasil untuk
dicapai. Kita tidak tahu bagaimana kehidupan di masa mendatang. Dalam
perjalanan hidup tentu ada pasang surutnya, tetapi kita tidak boleh putus
asa dan terus berusaha untuk mencapai suatu impian dan menjadikan
kehidupan yang lebih baik.
E. Simpulan
Cerpen Rumah Impian karya Abdul Hadi W.M ini sangat menarik karena
berisi pengalaman percintaan yang berbuah pernikahan. Cerpen ini cocok
sekali untuk dibaca terutama bagi kawan – kawan yang masih pengantin baru.
Banyak sekali pesan atau nilai – nilai pelajaran yang dapat diimplementasikan
dalam kehidupan sehari – hari diantaranya seorang suami harus rela
melakukan apapun demi kebahagiaan istrinya, janji itu harus ditepati, jangan
mudah putus asa, dan harus bersikap hemat.
F. Daftar Pustaka
Home > CERPEN. 2011. “Rumah Impian | Cerpen Abdul Hadi”,
https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.com/2016/09/rumah-impian-
cerpen-abdul-hadi.html?m=1, diakses pada Januari 2011.

Anda mungkin juga menyukai