Anda di halaman 1dari 9

<yogya> diarajasa librarian

Bajra Adirajasa Sadana, Laya Rengganis Manika.


— Bajra dan Adirajasa
Fajar menyingsing, ayam mulai berkokok, namun, hewan itu terlanjur kalah
oleh seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang kini berdiri menatap
tanaman janda bolong yang ada dibalkon.
Tunggal Sadana itu tampak memerhatikan tanaman tersebut tanpa alasan,
sebagai pengalihan kekosongan dalam pikirannya, tiba-tiba diam dan tak
memikirkan hal apapun, rutinitas yang selalu terjadi pada Bajra sekali disetiap
harinya.
Sampai pintu kamarnya terbuka dan cahaya lampu dari luar kamarnya masuk
pun, Bajra Adirajasa tidak menyadarinya, entah apa yang ia lakukan dalam
kekosongan yang terjadi selama beberapa menit itu.
“... Mas Bajra? Udah bangun toh, Mas?”
Hening, hanya desiran angin yang menjadi jawaban Bulik Astri, wanita
paruh baya yang bekerja dirumah keluarga Bajra sejak pagi-pagi buta hingga
petang.
Dua menit berlalu, Bajra Adirajasa baru menoleh dan mengulas senyum
khasnya yang terlihat jauh dari kata tulus, pemuda itu tak tahu bagaimana cara
tersenyum yang sesungguhnya. beberapa orang disekitarnya mengira jika Bajra
hanya takut kerutan muncul diwajah tampannya yang bak putra mahkota
kerajaan jika ia tersenyum, namun, faktanya Bajra memang tidak tahu
bagaimana cara tersenyum dengan tulus.
“Iya, Bulik, saya udah bangun dari tadi,” ucap Bajra yang setia bergeming
ditempatnya, suara bariton khas milik tuan mudanya itu terkadang membuat
Bulik Astri ingin menjadikan Bajra menantunya kelak.
Senyuman segan itu muncul diwajah Bulik Astri seraya wanita tua itu
mengangguk, “Bulik sudah siapkan sarapan buat Mas Bajra dibawah. Abuya
sudah berangkat ke Sleman dini hari tadi, beliau pesan kalau Mas Bajra harus
mampir ke swalayan dan membeli Bakpia sebelum berangkat ke toko buku.
sementara Ibu ada dibawah, menunggu Mas Bajra,” jelas Bulik Astri lengkap,
makbul membuat Bajra merasa ganjil.
“Bakpia? Tumben. Ibu ngidam lagi ‘kah, Bulik?”
Pertanyaan Bajra tak mendapatkan jawaban dari Bulik Astri. Hanya perintah
untuk bersiap dan turun ke ruang makan yang Bajra terima dari wanita itu,
perintah umma tercintanya, kata Bulik Astri. Maka, setelah Bulik Astri keluar,
ia langsung mengganti piyama satin berwarna hitamnya dengan setelan jas
berwarna biru gelap, segelap langit malam kemarin, lengkap dengan kemeja
putih sebagai dalaman dan dasi berwarna senada. Bajra seperti inilah yang
dilihat oleh mata orang-orang saat pemuda itu berada diluar rumah.
Tampilannya yang tampan dengan setelan itu membuat ia terlihat seperti
seorang presdir industri besar. Meskipun kenyataannya, untuk saat ini, Bajra
hanya mengawasi perpustakaan sekaligus toko buku tua yang ayahnya dirikan
belasan tahun yang lalu.
Setelah menghabiskan waktu untuk berkaca dan mengagumi dirinya sendiri,
Bajra turun dan menemui ibunda diruang makan, tepatnya sebuah ruang terbuka
tanpa sekat antara dapur dan ruang tamu yang dihiasi dengan furnitur berwarna
coklat gelap yang antik, atmosfer dirumah sadana inipun berbeda dengan aura
bangunan lain, dimana atmosfer itu hanya bisa diketahui saat seseorang
menginjakkan kakinya sendiri dirumah ini. Dan jarang ada orang yang datang
kerumah ini untuk sekedar berkunjung.
“Ngidam apanya? Jangan ngaco kamu, Le.” ucap Ibu Bajra saat mendengar
penuturan Bajra yang tadi ia tanyakan pada Bulik Astri namun tak menemukan
jawaban, Bajra menghela nafasnya pelan, “Dadi apa, Bu? Abuya minta Bajra
beli bakpia, buat siapa?”
Ibunya tampak menghela nafas, paham betul dengan karakter Bajra yang
harus dijelaskan untuk siapa, apa dan bagaimana, saat ia diperintahkan
melakukan sesuatu oleh orang tuanya.
“Kanggo calon bojomu,” jawab Ibu asal.
Bajra kini memasang wajah heran, lagi, “Yang bener? Bajra ndak mau nikah
dijodohkan seperti itu, Ibu 'kan tahu betul.” protes Bajra yang dihadiahi sentilan
jari sang Ibu dikeningnya, “Ya Allah, anak ini. Kenapa kamu bawa serius bener
sih, Le? itu Ibu becanda, lho. Lagian sopo juga yang mau karo kamu,” jawab
Ibu.

2
“Sopo juga? Asal Ibu tau, selama Bajra jaga perpustakaan punya Abuya,
Bajra dapet banyak, banyak betul surat surat. Surat cinta lho, Bu,” ujar Bajra
meyakinkan, meskipun wajah datarnya tak mendukung apa yang ia katakan
pada ibunya.
Ibu Bajra tampak melengos, “Masih zaman ta surat-suratan? Memangnya
kamu ini hidup di zaman kerajaan, Le? Di Zaman sekarang ada banyak aplikasi
chat, Bajra,”
“Yo Bajra ndak tau, harusnya Ibu tanyakan itu ke gadis-gadis yang kirim
surat ke Bajra, bukan Bajra,” protes Bajra, entah bagaimana ia bisa terdengar
sangat ekspresif meskipun wajahnya masih dalam keadaan yang sama, datar,
tanpa ekspresi didalamnya.
Sang Ibu hanya menggelengkan kepalanya, hingga Bajra kembali bertanya
lagi, “Dadi, kanggo sopo bakpia itu, Bu?” katanya sambil menyantap
sarapannya.
“Allahu Akbar. Yo, kamu beli dulu deh bakpianya, nanti bawa ke
perpustakaan, terus kamu tanya Abuya-mu, biar Abuya yang jawab, Ibu pusing
ngobrol sama kamu,”
Bajra menganggukan kepalanya dengan raut wajah tanpa dosa, “Yowes,”
Setelah berbincang lama sepanjang sarapan, Bajra berpamitan dan pergi dari
rumahnya. Ia datang ke sebuah perpustakaan sekaligus toko buku yang ia
maksud, toko buku dan perpustakaan ‘Adirajasa’, dengan kresek berwarna putih
ditangannya, bakpia.
“Oy, tumben kamu telat, Mas?” sapa seorang pemuda yang seusia dengan
Bajra Sadana, ia adalah anak dari adik ayahnya Bajra, maka dari itu Kennes
memanggil bajra dengan sebutan ‘Mas’. Dia Kennes Nuri Sadana.
Bajra hanya berdehem, melewati Kennes yang sedang mengatur buku-buku
dan duduk ditempatnya, tempat pengawas perpustakaan sekaligus kasir toko
buku, setelah menyimpan bakpia yang masih dalam kantung kresek itu kedalam
lemari yang berada dibelakangnya.
Alih-alih memeriksa buku baru yang datang seperti pagi biasanya, Bajra kini
membuka ponsel dan menelfon sang Ayah. Bertanya untuk siapa bakpia itu.
“Assalamualaikum, Abuya. Barja sudah beli bakpia pesenan Abuya.
Sebenarnya buat siapa bakpia ini?” tanya Bajra tanpa basa-basi. Kennes yang

3
berada diseberangnya hanya mengamati, “Bakpia? Oh, ternyata yang dibawa
Mas Bajra tadi bakpia toh,”
“Pemagang? Abuya ndak bilang ke Bajra kalau akan ada pemagang yang
magang diperpustakaan,” ujarnya, setelah itu Bajra langsung menatap Kennes
yang kini menampilkan cengiran khasnya dengan tatapan sinis.
“Kamu harusnya bilang ke Mas, Nes,” bisiknya tanpa suara. Kennes hanya
mengatakan “Maaf, Mas,” tanpa suara dan itu membuat Bajra menghela nafas
pelan.
“Bajra ngga ngerasa butuh pemagang diperpustakaan, Abuya. Bajra sama
Kennes bisa ngejaga perpustakaan sama toko buku berdua saja kok,” Bajra
terdiam sesaat saat ia mendengar ucapan Abuya, menyadari bahwa
perpustakaan dan toko buku ini terlalu besar untuk dua orang pekerja, hanya ada
Kennes dan dirinya.
“... Abuya, kapan pemagangnya datang? Hari ini dan besok? Jadi siapa yang
harus Bajra beri bakpia itu?”
“Pemagang yang datang hari ini?”
Setelah berbincang dengan ayahnya dan mendapat jawaban mengenai siapa
penerima bakpia itu, ternyata itu adalah seorang pemagang yang sepertinya
cukup istimewa, kemungkinan besar pemagang itu adalah anak kenalan sang
ayah.
Helaan nafas Bajra begitu nyaring dalam ruangan besar itu, Kennes
mendekatinya dengan membawa selembar kertas data diri dan meletakannya
diatas meja Bajra, “Ini data pemagang yang datang hari ini, Mas. Abuya minta
Mas baca ini, harusnya kemarin, maaf, Mas, aku lupa.” ucap Kennes tersenyum
getir.
“Piye to kamu, Nes, Nes,” meski berkata demikian, alih-alih membaca data
diri tersebut, Bajra justru mengambil buku novel tebal seraya berkata, “Buka
perpustakaan dan toko bukunya, Nes.” katanya yang tentu saja langsung
dipatuhi oleh Kennes Sadana.
Perpustakaan dan toko buku tersebut telah buka dan beberapa pengunjung
serta langganan datang kesana, sedikit suara hiruk pikuk muncul dalam bentuk
bisikan-bisikan, dan Bajra serta Kennes mulai bekerja dengan fokus seperti
biasanya. Bajra yang menandatangani kartu peminjam juga menangani

4
pembayaran pembelian buku dan Kennes yang menjadi objek tempat bertanya
para pengunjung.
Hingga Kennes yang baru selesai menunjukan rak buku non-fiksi pada salah
satu pengunjung itu menyadari seseorang datang, yang jelas Kennes tahu itu
bukan pengunjung. Kennes bergegas menghampirinya.
Bajra masih tenggelam dengan buku novel disela-sela pekerjaannya, dengan
alur cerita yang memunculkan seorang gerilya yang jatuh hati untuk kedua
kalinya pada putri yang kecantikannya menciptakan keramaian dan desas desus
beredar, bernama Rengganis, dimana sang putri bahkan membuat sang ayah
jatuh hati dan ibunya begitu cemburu buta.
“Mas Bajra! Ini Rengganis sudah datang,”
Mendengar nama yang baru saja ia temukan didalam sebuah novel
disebutkan oleh Kennes, Bajra berhenti, ia menurunkan buku itu dari
pandangannya dan menatap kennes, mencari keberadaan ‘Rengganis’ yang
disebutkan oleh Kennes beberapa detik lalu.
Kennes menyingkir dan seorang gadis dengan kulit putih dengan paras yang
begitu ayu berdiri dibelakangnya, seakan menjadi sebuah emas yang
bersembunyi ditumpukan krikil pantai.
Gadis yang disebut ‘Rengganis’ itu menatap Bajra sekilas sebelum
menundukan kepalanya sopan, “Mas Barja, ya? Saya Laya Rengganis Manika,
dari SMK Respati dan saya dengar kalau Mas Bajra sendiri yang bakal jadi
pembimbing saya dan kawan-kawan nanti. Maaf dan mohon bimbingannya ya,
Mas,” katanya dengan nada yang begitu enak didengar, Kennes kedapatan
tersenyum melihat gadis anggun dihadapannya.
Sementara Bajra hanya diam, pola wajah dihadapannya tampak tak asing.
Cantik memang, manis juga iya, namun, Bajra merasa pernah melihat wajahnya,
tetapi dimana? Rengganis? Apa Rengganis ini adalah gadis yang sama yang
pernah dikenalkan padaku saat ia berusia lima tahun? Ah, apa benar? Bajra
hanya bisa membatin sepanjang tatapannya.
Sebelum ia berdehem dan mengangguk, “Rengganis ya? Kamu bisa lihat
sendiri kalau toko buku sekaligus perpustakaan ini sedang ramai, jadi, tolong
gantikan saya sebentar ya? Duduk disini.” ucapnya berwibawa.

5
Gadis bernama Rengganis itu tersenyum, “Baik, Mas. Sebelumnya, tugas
Mas kalo duduk disini itu apa, ya? Bisa tolong dijelaskan terlebih dahulu?”
tanya Rengganis.
Bajra bersikukuh memasang wajah datar tanpa ekspresinya, kemudian ia
menjawab, “Kennes bakal ngejelasin apa yang harus kamu lakuin selama duduk
dikursi ini. Saya mau keluar sebentar,” ujar Bajra sambil melirik Kennes,
berharap Kennes akan membimbing Rengganis dengan baik sesuai harapan
selama ia keluar untuk kembali menelfon Abuya.
Tidak dengan tangan kosong, Bajra pergi keluar membawa kertas putih
berisi data diri milik Rengganis.

— Rengganis dan Adirajasa


Gadis dengan seragam putih abu-abu lengkap itu berdiri disebuah halte
dengan ponsel yang berada ditelinganya, tatapannya begitu heran dengan apa
yang ia dengar. Rengganis, gadis itu berada di jurusan Administrasi
Perkantoran, sebelumnya ia harus menjalankan prakerin disebuah perusahaan
yang cukup memiliki nama, hingga saat ini, dimana ia mendengar perubahan
tempat prakerinnya. Dari sebuah perusahaan menjadi toko buku yang mencakup
perpustakaan. Dan yang berbicara dengannya ditelfon adalah pembimbing dari
sekolahnya yang sayangnya adalah ibunya sendiri.
“Beneran gapapa, Bu? Aku cuma takut lho, aku denger disana cuma ada dua
orang yang jaga, laki-laki pula,” ucapnya khawatir.
“... besok? Kenapa ngga dibarengi sama aku aja, Bu? Biar akunya ngga
canggung nanti disana,”
“Yowes ... yowes .. Ini aku mau nyebrang, sampai tempat prakerinnya ndak
enak, aku marah ya sama Ibu, Assalamualaikum,”
Panggilan selesai, Rengganis mulai menyebrang dengan aman dan
meyakinkan dirinya. Mau bagaimana pun, ia harus terlihat siap dan
menampilkan etiket baik didepan pembimbingnya nanti, terlepas siapapun
pembimbingnya itu.
Berjalan sedikit setelah Rengganis menyeberang sambil melatih nada
suaranya dan deru Rengganis, tak disangka, dengan cepat rengganis sampai
didepan toko buku dan perpustakaan ‘Adirajasa’ dan sudah terlihat dari luar jika

6
tempat itu sedang ramai pengunjung namun tetap terlihat senyap. Setelah
menarik nafas panjang, Rengganis memberanikan diri melangkah masuk, tidak,
ia berdiri diambang pintu saat melihat bagaimana isi toko buku tua yang
merangkap jadi perpustakaan sekaligus itu, antik, aroma kertas yang khas dan
keheningan yang memabukan.
Rengganis hanya mematung disana hingga seseorang menghampirinya,
karena ia memakai seragam sekolah, ia langsung dikenali, “Yang bakal magang
disini ya? Rengganis Manika to?” ucap pemuda itu dengan ramah, Rengganis
mengangguk dan tersenyum tak kalah ramah, “Betul, Pak? Saya Laya
Rengganis Manika dari SMK Respati,” jawabnya dengan senyum semerakah
bunga.
“Panggil ‘Mas’ aja, Dek, ngga apa-apa kok,” ucap pemuda itu yang diiyakan
oleh Rengganis, “Saya Kennes, salam kenal. Ayo, saya temui kamu sama orang
yang bakal ngebimbing kamu selama disini,”
Rengganis mengangguk patuh dan berjalan dibelakang kennes, hingga
kennes membuka suaranya, “Mas Bajra! Ini Rengganis sudah datang,”
Tak lama Kennes menyingkir, Rengganis bertemu tatap dengan orang yang
Kennes panggil Mas Bajra itu. Rengganis dengan lancar memperkenalkan siapa
dirinya dan menunjukan pada pembimbingnya jika dia komunikatif, kemudian
Rengganis ditempatkan ditempat pembimbingnya sebelumnya bekerja.
Rengganis cukup tanggap dan mengerti dengan yang dijelaskan Kennes, ia
mengerjakan pekerjaannya dengan baik, meskipun ia sesekali mencari tahu dan
penasaran dengan tatapan Bajra padanya tadi. Bahkan pria itu belum
memperkenalkan dirinya.
“Tatapannya kok ya kaya yang kenal aku begitu? Apa beliau memang kenal
sama aku ya?” gumam Rengganis seraya menggelengkan kepalanya, merasa
tidak yakin dengan apa yang dia pikirkan.
“Kenapa, Dek? Ada yang mau kamu tanyakan?”
Sontak Rengganis menoleh dan mendapati Kennes berdiri membawa
beberapa buku dan menyimpannya dihadapan Rengganis.
Gadis itu tersenyum, “Oh, itu, ngga ada, Mas. Sejauh ini belum ada yang
mau saya tanyakan lagi mengenai perpustakaan—”

7
“Bukan masalah itu, Dek. Tapi, mengenai Mas Bajra, daritadi saya liat kamu
natap Mas Bajra melulu. Ada yang mau kamu tanyakan tentang dia?” potong
Kennes yang membuat Rengganis mengerjapkan matanya beberapa kali.
“Ah, ngga, Mas. Cuma saya bingung, Mas Bajra kok natap saya kaya orang
yang udah kenal sama saya, ya? Apa itu perasaan saya saja, ya?” akhirnya
Rengganis mengeluarkan isi kepalanya sedari tadi pada Kennes yang bertanya
padanya.
Kennes tampak tersenyum dan mengangguk, “Kalau masalah itu, lebih baik
kamu tanya langsung ke Mas Bajra, ya? Oh, ini buku yang harus disimpan
karena bukunya sudah rusak, tolong disimpan ke kotak ‘Rusak’ ya, Dek,”
ujarnya dengan senyum sebelum kembali mengelingi toko buku.
Walah, kirain bakalan dapet jawabannya langsung, batin Rengganis. Ia
menghela nafas pelan dan melempar tatapannya keluar jendela perpustakaan,
mendapati Barja yang sudah kembali entah darimana sebelumnya ia pergi.
Rengganis masih setia menatap gerak-gerik pembimbingnya bak kucing
yang melihat sesuatu yang bergerak diudara, teliti, hingga netra mereka
bertubrukan karena Bajra secara tiba-tiba mengedarkan pandangan padanya.
“Mbak, saya mau pinjam buku ini, ya,”
Interupsi itu langsung memutus kontak mata antar Rengganis dan Bajra, ia
mengulas senyum manis pada pelanggan dan mengiyakan, “Pinjam dua buku
aja, ‘kah?” ucapnya seraya mengisi tanggal dan menandatangani kartu
peminjam milik pelanggan tersebut, bersamaan dengan Bajra masuk dengan
tatapan datar persis seperti saat pertama keduanya bertemu pagi ini.
“Waktu peminjamannya satu minggu, ya,” ucap Rengganis yang masih
memerhatikan Bajra melalui ekor matanya, lelaki itu tengah membuka lemari
yang berada dibelakang Rengganis dan mengeluarkan sebuah kresek dari sana.
“Kembali kasih,” jawab Rengganis sebagai jawaban terimakasih dari
pelanggan, tak lupa senyumnya yang masih melekat diwajahnya, Kennes yang
berdiri dikejauhan pun berani bertaruh masih bisa melihat manisnya senyum
Rengganis yang melebihi gula jawa. Rengganis menoleh saat Bajra menyimpan
kresek yang tadi ia ambil dilemari tepat dihadapannya.
“Apa ini, Mas?”

8
Bajra berdehem, “Bakpia dari Abuya,” ucapnya, “Kamu ini betul putrinya
Ibu Laila Manika?” sambung Bajra sebelum Rengganis bisa menanyakan siapa
yang Bajra maksud dengan Abuya. Namun, gadis itu mengangguk.
“Betul, eh— Mas Bajra tahu darimana?” ungkap Rengganis bingung, perkara
ia mengingat bahwa ia tak menyimpan kartu keluarga maupun nama kedua
orang tuanya di data pemagang yang ia serahkan pada ibunya minggu lalu.
Bajra menghela nafasnya, “Oh, jadi kau adalah bocah itu, ya. Rengganis
kecil yang suka menggigit tangan,” ucapnya, masih tanpa ekspresi, membuat
Rengganis mengerjapkan mata kebingungan, mencerna apa yang sebenarnya
berusaha Bajra sampaikan. Bocah itu? Suka menggigit tangan? Apa sih maksud
beliau? Batin Rengganis yang masih berpikir keras.
“Rengganis, saya Bajra Adirajasa Sadana. Putra tunggal Abuya Yahya
Adirajasa Sadana. Kemungkinan kamu tidak ingat siapa saya, tapi saya ingat
betul siapa kamu,”

Anda mungkin juga menyukai