Anda di halaman 1dari 11

KISAH-KISAH KEJUJURAN

OLEH :

NAMA : 1. ANDINI JULIA SAPUTRI


2. CINDI AYU WULANDARI
3. ANITA APRILIA

KELAS : IX

PEMBIMBING : MARLINI

SMP NEGERI 9 OKU


TAHUN 2019
Kisah Pemuda dan Sepotong Kayu

Pada zaman dahulu, sebelum era keislaman, hidup seorang pemuda dari kalangan Bani
Israil yang memiliki pribadi luhur. Ia sangat jujur dan tak pernah ingkar janji. Suatu hari si
pemuda sangat membutuhkan uang untuk keperluannya. Ia pun meminjam sejumlah uang
kepada seseorang yang ia kenal. Namun, saat itu tak ada saksi dalam interaksi utang
piutang tersebut.

“Datangkan ke sini para saksi yang akan mempersaksikan,” ujar si peminjam uang.

“Cukuplah Allah sebagai saksi,” kata si pemuda.

“Kalau begitu, datangkan kepadaku seorang penjamin,” pinta si peminjam lagi.

Namun, si pemuda tak memiliki seseorang untuk menjadi saksi apalagi penjamin. Ia hanya
bisa berucap, “Cukuplah Allah sebagai penjamin,” kata si pemuda. Akan tetapi, baginya
menyebut asma Allah dalam ikatan perjanjian maka menjadikannya sangat kuat. Jika
dilanggar, ia amat takut Allah murka.

Tekad si pemuda pun dipercaya si peminjam. “Kau benar,” katanya. Ia pun kemudian
memberi pinjaman seribu dinar kepada sang pemuda. Keduanya pun menyepakati masa
jatuh tempo pengembalian uang tersebut.

Pergilah si pemuda mengarungi samudera untuk memenuhi kebutuhannya dengan uang


pinjaman tersebut. Saat jatuh masa tempo pengembalian, ia pun bermaksud kembali ke
pulau si peminjam tinggal. Namun apa daya, tak ada layanan perahu menuju tempat si
peminjam.

Padahal, di hari biasa perahu selalu tersedia. Namun, entah mengapa hari itu si pemuda tak
mendapati satu pun perahu meski telah mencarinya dengan keras. Cemaslah hati pemuda
itu. Ia tak mau melanggar kesepakatan dan janji utangnya.

Si pemuda tak mau berputus asa segera. Ia telah berjanji akan mengganti uang seribu dinar
tersebut pada hari itu juga. Maka ia pun berpikir, bagaimana cara untuk memenuhi
janjinya. Ia pun mengambil sepotong kayu, kemudian melubanginya.

Uang seribu dinar itu kemudian ia masukkan pada lubang kayu tersebut. Tak lupa sepucuk
surat kepada sang piutang juga diikutsertakan pada lubang kayu tersebut.

Ia menutup lubang kemudian melarungnya ke laut seraya berdoa, “Ya Allah, sungguh
Engkau tahu bahwa aku meminjam uang sebesar seribu dinar. Lalu ia (si peminjam)
memintaku seorang penjamin, namun kukatakan padanya, ‘Allah cukup sebagai penjamin’.
Ia pun rida dengan-Mu. Ia juga meminta saksi kepadaku, aku pun mengatakan ‘Cukup
Allah sebagai saksi’. Ia pun rida kepada-Mu. Sungguh aku telah berusaha keras untuk
mendapatkan perahu untuk mengembalikan uangnya yang kupinjam, namun aku tak
mendapatinya. Aku tak mampu mengembalikan uang pinjaman ini, sungguh aku
menitipkannya kepada-Mu,” ujar si pemuda bertawakal.

Sepotong kayu itu pun kemudian hanyut mengikuti arus laut. Namun, meski telah
memasrahkan uang dalam kayu tersebut, bukan berarti si pemuda berhenti berusaha. Ia
terus mencari perahu untuk menghantarnya ke negeri seberang, tempat si peminjam
tinggal.

Sementara itu, di negeri seberang, si piutang terus menengok dermaga menunggu perahu si
pemuda. Namun, lama nian tak ada satu perahu pun yang mengantarkan uangnya kembali.
Ia pun menunggu di tepi laut berharap si pemuda menepati janjinya.
Cukup lama menunggu, ia pun bosan. Namun, tiba-tiba ia melihat sebongkah kayu yang
hanyut. Bermaksud digunakan sebagai kayu bakar di rumahnya, ia pun memungutnya dan
membawanya pulang. Terkejut, saat membelah kayu tersebut, ia mendapati uang seribu
dinar dan sepucuk surat. Membaca surat tersebut, ia pun tersenyum riang.

Keesokan harinya, si pemuda muncul dengan wajah penuh cemas dan rasa bersalah. Turun
dari perahu, ia bergegas menuju rumah si peminjam utang. “Demi Allah, aku terus
berusaha mencari perahu untuk menemuimu dan mengembalikan uangmu. Tapi, aku tak
memperoleh perahu hingga perahu sekarang ini aku datang dengannya,” ujar si pemuda
menjelaskan uzurnya.

Si peminjam uang pun tersenyum melihat kegigihan pemuda menepati janjinya. Ia pun
berkata, “Apakah kau mengirim sesuatu kepadaku?” tanyanya. Namun, si pemuda tak
sedikit pun menyangka bahwa kayu kirimannya sampai tujuan meski tanpa alamat, apalagi
jasa kurir. “Aku katakan kepadamu, aku tak mendapatkan perahu sebelum apa yang
kubawa sekarang ini,” ujar si pemuda sembari menunjukkan seribu dinar untuk diberikan
kepada si peminjam utang. Wajah sang piutang pun merekah gembira. Ia senang mendapati
pemuda yang begitu jujur dan menepati janji. Ia pun harus berkata jujur bahwa utangnya si
pemuda telah lunas melalui kayu yang dikirimkannya sesuai tenggat waktu peminjaman.
“Sungguh Allah telah menyampaikan uang yang kau kirim di dalam kayu. Maka, pergilah
dan bawalah kembali seribu dinar yang kau bawa ini,” ujar si  pemberi utang.

Kisah pemuda dan sepotong kayu tersebut dikabarkan oleh Rasulullah dalam hadis riwayat
Al-Bukhari dan Nasa’i. Tak dikabarkan jelas siapa nama pemuda tersebut dan latar lokasi
tempat tinggal si pemuda dan si piutang. Namun, kisah ini dipastikan kebenarannya,
mengingat kedudukan hadis yang menyebutkan kisah itu memiliki derajat shahih.

Dari kisah tersebut, terdapat hikmah agung yang dapat menjadi pelajaran bagi Muslimin.
Membulatkan tekad sangat dibutuhkan Muslimin sebelum bertawakal kepada Allah. Hal
tersebut tercantum dalam Alquran surah Ali Imran ayat 159, Allah berfirman, “...Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Dalam kisah, si pemuda menunjukkan sikap memenuhi janji dengan ketekadan yang luar
biasa. Hingga kemudian, ia menyerahkan urusannya kepada Allah dengan mengirimkan
sepotong kayu. Ia bertawakal kepada Allah agar suratnya sampai ke tujuan setelah
memiliki tekad bulat dalam hatinya untuk memenuhi janji mengganti hutangnya.
Kisah si penggembala kambing yang jujur

Di zaman sekarang sulit rasanya menemukan orang yang memiliki sifat jujur. Meski pun
ada, hanya satu banding seribu orang yang bersifat jujur.

Di masa Rasulullah sendiri, hanya segelintir orang yang bersifat jujur. Padahal dengan jujur
membuka pintu rizki yang melimpah.

Seperti kisah Abdullah bin Masud seorang yang punya sifat jujur. Abdullah bin Masud
merupakan seorang penggembala kambing. Dia menggembala kambing milik seorang
petinggi Quraisy Uqbah bin Abi Muaith. Dari pagi hingga sore dia menggembala.

Pada suatu hari saat menjaga ternaknya, ada dua orang laki-laki paruh baya
menghampirinya. Kedua laki-laki itu nampak haus dan kelelahan. Mereka kemudian
memberi salam kepada Abdullah bin Masud dan memintanya untuk memerahkan susu
kambing tersebut.

Akan tetapi, Abdullah bin Masud menolak memberikan susu itu karena bukan miliknya.
"Kambing-kambing ini bukan milik saya. Saya hanya memeliharanya," katanya jujur.

Mendengar jawaban itu, dua laki-laki tersebut tak memberikan bantahan. Walau pun sangat
kehausan, mereka sangat senang dengan jawaban jujur si penggembala. Kegembiraan ini
sangat jelas di wajag mereka.

Ternyata kedua orang itu adalah Rasulullah SAW dan sahabatnya Abu Bakar Ash Shiddiq.
Hari itu, keduanya pergi ke pegunungan Makkah untuk menghindari perlakuan kejam
kaum Quraisy.

"Apakah kau mempunyai kambing betina yang belum dikawinkan?," tanya Rasulullah.
"Ada," jawab Abdullah.

Lalu Abdullah mengajak Rasulullah dan sahabatnya melihat seekor kambing betina yang
masih muda. Kemudian, kaki kambing itu diikat. Rasulullah menyuapkan tangannya ke
tubuh kambing tersebut sambil berdoa kepada Allah.

Saat itulah turun rizki dari Allah. Tiba-tiba saja susu kambing itu mengalir sangat banyak.
Abu Bakar segera mengambil sebuah batu cekung yang digunakan untuk menampung air
susu hasil perahan.

Ketiganya pun meminumnya bersama-sama. Setalah itu, Rasulullah berkata "kempislah".


Seketika susu kambing menjadi kempis dan tidak mengeluarkan susu lagi.

Abullah pun takjub dan terkejut menyaksikan hal tersebut. Sebab kambing tersebut
sebelumnya belum pernah mengeluarkan air susu. Tapi di depan matanya saat itu kambing
malah mengeluarkan air susu yang banyak dan dinikmati bersama.

Itu adalah karunia Allah. Muncul kekaguman Abullah kepada tamunya. Tak lama usai
peristiwa itu, Abdullah memeluk agama Islam dan kelak menjadi salah satu penghafal
Alquran terbaik.
Kejujuran Saudagar Permata

Pada suatu hari, seorang saudagar perhiasan di zaman Tabiin bernama Yunus bin Ubaid,
menyuruh saudaranya menjaga kedainya kerana ia akan keluar solat. Ketika itu datanglah
seorang badwi yang hendak membeli perhiasan di kedai itu. Maka terjadilah jual beli di
antara badwi itu dan penjaga kedai yang diamanahkan tuannya tadi.

Satu barang perhiasan permata yang hendak dibeli harganya empat ratus dirham. Saudara
kepada Yunus menunjukkan suatu barang yang sebetulnya harga dua ratus dirham. Barang
tersebut dibeli oleh badwi tadi tanpa diminta mengurangkan harganya tadi. Ditengah jalan,
dia terserempak dengan Yunus bin Ubaid. Yunus bin Ubaid lalu bertanya kepada si badwi
yang membawa barang perhiasan yang dibeli dari kedainya tadi. Sememangnya dia
mengenali barang tersebut adalah dari kedainya. Saudagar Yunus bertanya kepada badwi
itu, “Berapakah harga barang ini kamu beli?”

Badwi itu menjawab, “Empat ratus dirham.”

“Tetapi harga sebenarnya cuma dua ratus dirham sahaja. Mari ke kedai saya supaya saya
dapat kembalikan wang selebihnya kepada saudara.” Kata saudagar Yunus lagi.

“Biarlah, ia tidak perlu. Aku telah merasa senang dan beruntung dengan harga yang empat
ratus dirham itu, sebab di kampungku harga barang ini paling murah lima ratus dirham.”

Tetapi saudagar Yunus itu tidak mahu melepaskan badwi itu pergi. Didesaknya juga agar
badwi tersebut balik ke kedainya dan bila tiba dikembalikan wang baki kepada badwi itu.
Setelah badwi itu beredar, berkatalah saudagar Yunus kepada saudaranya, “Apakah kamu
tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan
dua kali ganda?” Marah saudagar Yunus lagi.

“Tetapi dia sendiri yang mahu membelinya dengan harga empat ratus dirham.” Saudaranya
cuba mempertahankan bahawa dia dipihak yang benar.

Kata saudagar Yunus lagi, “Ya, tetapi di atas belakang kita terpikul satu amanah untuk
memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan terhadap diri kita sendiri.”

Jika kisah ini dapat dijadikan tauladan bagi peniaga-peniaga kita yang beriman, amatlah
tepat. Kerana ini menunjukkan peribadi seorang peniaga yang jujur dan amanah di jalan
mencari rezeki yang halal. Jika semuanya berjalan dengan aman dan tenteram kerana tidak
ada penipuan dalam perniagaan.

Dalam hal ini Rasulullah S.A.W bersabda, “Sesungguhnya Allah itu penetap harga, yang
menahan, yang melepas dan memberi rezeki dan sesungguhnya aku harap bertemu Allah di
dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntut aku lantaran menzalimi di jiwa atau
diharga.” (Diriwayat lima imam kecuali imam Nasa’i).
Dua Bani Israil Yang Sama-Sama Jujur dan Amanah

Di sebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ada seorang Bani Israel yang
mengunjungi sahabatnya untuk meminjam uang sebesar seribu dinar. Teman yang
menghutangnya pun meminta syarat. “Hadirkan beberapa saksi agar mereka menyaksikan
(hutangmu ini).” Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!” kata si peminjam.

“Kalau begitu, coba datangkan seseorang yang bakal menjaminmu!” sahut temannya
memberikan syarat lain. “Cukuplah Allah yang menjaminku!” jawabnya. Begitu yang
dipinjami mengulangi persyaratannya lagi, tetapi yang meminjam pun kembali
menyampaikan jawaban serupa.

“Baiklah. Akan kuberikan seribu dinar untuk engkau pinjam. Ya sudah, biarlah Allah saja
yang menjaminnya” ucap si pemberi pinjaman. Ia merasa sahabatnya yang membutuhkan
uang itu memang jujur, dapat dipercaya dan bertanggung jawab untuk mengembalikan
pinjamannya sesuai dengan tempo yang disepakati.

Lantas uang itu diserahkan kepada sahabatnya. Setelah mendapatkan uang pinjaman, si
penghutang pun pergi menyeberangi lautan untuk kembali  manjalankan bisnisnya di
tempatnya.

Singkat cerita, tak terasa pinjaman itu sudah jatuh tempo dan harus segera dikembalikan.
Sadar harus mengembalikan pinjamannya, hari itu ia mencari kapal yang bisa
mengantarkan dirinya ke sahabatnya yang memberikan pinjaman padanya. Lelaki itu
memang sudah niat untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Di tentenglah uang seribu
dinar ke tepi  pantai, sekian lama bolak-balik, mondar-mandir tak jua mendapati kapal.

Tampak lelaki itu mulai gelisah karena kapal yang dinantikannya tak kunjung tiba. Dia
sedih karena bila tak bisa mengembalikan uang di hari itu, sama artinya ia  mengingkari
janji yang telah disepakati. Padahal dirinyalah yang meminta agar Allah  swt yang menjadi
saksi dan menjadi penjaminnya.
Hatinya gundah-gulana. Hingga beberapa saat kemudian dilihatnya ada sebatang kayu yang
sementara mengapung. Tiba-tiba ia mendapat sebuah ide. Dalam benaknya, uang sebanyak
itu bisa disiasati untuk dimasukkan ke dalam lubang kayu, kemudian dihanyutkan ke laut.
Konyol memang, tetapi  tidak mengapa  ini dilakukan sebagai wujud kesungguhannya 
dalam menepati janji.

Segera  dipungut kayu itu. Ia lubangi  sampai kira-kira uang seribu  dinarnya bisa  masuk
semua  di dalamnya. Tak lupoa ia menyertakan sepucuk surat  yang isinya menjelaskan
keadaan dirinya yang sebenarnya sehingga tidak bisa datang langsung untuk
mengembalikan uang pinjaman. Setelah itu, lubang kayu tersebut ditutup hingga  rata.
Barulah kemudian dihanyutkannya ke laut.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku berhutang seribu dinar
kepadanya. Dia meminta penjamin kepadaku, lalu aku  menjawab. Cukuplah Allah  sebagai
penjamin. Dan dia rela dengan-Mu, lalu dia memintaku seorang  saksi dan aku berkata
‘Cukuplah Allah sebagai saksi’. Dia pun rela kepada-Mu. Sesungguhnya aku telah
berusaha mencari perahu untuk mengirim haknya, tetapi aku tidak mendapatkan, dan aku
menitipkannya kepada-Mu” demikian ia berdoa.

Setelah itu ia pulang ke rumahnya sembari memasrahkan semuanya pada Allah swt. Ia
yakin bahwa Allah akan membereskan urusannya. Benar saja, permohonan  lelaki tersebut
terjawab. Allah swt menjaga kayu yang berisi uang tersebut di tengah lautan dan
mengarahkan ombak di lautan agar menghempaskan kayu itu ke pulau dimana sahabat
lelaki tersebut berada.

Nun jauh diseberang lautan, sang pemberi pinjaman tengah menunggu temannya itu.
Cukup lama ia menanti, tapi tanda-tanda kedatangannya tak nampak. Saat hendak pulang,
pandangannya tiba-tiba tertuju pada kayu yang mengambang, mendekati daratan. Lalu 
dihampirilah kayu itu untuk dibawa pulang sebagai  kayu bakar. Sesampai  di rumah, kayu
itu dibelah dan ternyata di dalamnya terdapat  uang seribu dinar dan sepucuk surat dari
sahabatnya.

Beberapa waktu kemudian, setelah ada kapal yang mengantarnya ke pulau seberang, dia
datang menemui sahabatnya yang meminjaminya uang dengan perasaan bersalah. Di
tangannya sudah ada seribu dinar lagi, karena khawatir  uang yang dikirim lewat  sebatang
kayu tidak sampai ke tangan sahabatnya.

“Demi Allah, sebelum kedatanganku kali ini, aku telah berusaha mencari kapal, namun
sungguh sayang aku tidak mendapatkannya. Maafkan, aku, Kawan” katanya meminta
maaf.

Sejurus kemudian, ia berikan uang seribu dinar yang  baru dibawanya dari rumah kepada
sahabatnya itu. “Apakah engkau mengirimkan sesuatu?” tanya sahabat yang memberi
pinjaman.

Bukankah telah kukatakan bahwa aku tidak mendapatkan kapal yang bisa mengantarkanku
ke tempat ini?” jawab sang peminjam.

Kemudian sahabatnya itu mengabarkan. “Sesungguhnya Allah telah mengantarkan uang


pinjamanmu yang kau taruh di dalam lubang  sebatang kayu. Karena itu bawalah uang
seribu dinar kembali dengan beruntung!” Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah
diatas.

Pertama, setiap muslim diperintahkan untuk berlaku jujur, amanah serta menepati janji.
Barang siapa yang melakukan sifat-sifat tersebut, niscaya ia diberi balasan yang baik, di
dunia maupun di akhirat. Barang siapa yang meninggalkan khianat karena Allah dengan
segenap kejujuran dan keikhlasan, niscaya Allah mengganti  hal tersebut dengan kebaikan
yang setimpal.

Kedua, anjuran untuk senantiasa tawakal kepada Allah swt, dalam segala urusan dan
kondisi. Apabila usaha dan ikhtiar sudah dilakukan maksimal, segera pasrahkan diri kepada
Yang Kuasa. Begitu pula yang dilakukan oleh lelaki yang berhutang tersebut. Ketika jatuh
tempo, uang seribu dinar itu sudah ia siapkan untuk diantarkan kepada sahabatnya. Akan
tetapi karena perjalanannya menyeberang lautan, maka ia harus mendapatkan kapal.
Mengingat di hari itu tak ada kapal, apa daya, ia berspekulasi dengan cara mengirimkan 
uangnya melalui sebatang kayu yang terapung yang dihanyutkan ke laut. Ia pasrahkan
kepada Allah swt agar menjaga dan mengantarnya kepada sahabatnya.

Ketiga, anjuran untuk  mencatat hutang, mendatangkan saksi dan jaminan dalam hutang.
Seperti diketahui hutang adalah persoalan serius yang akan terbawa di kehidupan
setelahnya, apabila belum selesai di dunia. Karena itu, perlu dicatat, perlu ada saksi dan
jaminan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan salah satu pihak di kemudian  hari.

Keempat, kisah tersebut adalah bagian dari karamah yang diberikan kepada orang yang
shaleh. Sulit dinalar akal sehat,  sebatang kayu yang berisi  uang seribu dinar yang
dihanyutkan dilautan bisa sampai ke tujuan (ditangan) orang yang dituju. Tidak jatuh ke
tangan orang lain. Ini termasuk aneh, yang terjadi bukan secara  kebetulan saja. Akan tetapi
berkat doa orang shaleh tersebut. Allah swt, menjawabnya dengan mengirimkan sebatang
kayu yang berisi uang tersebut kepada orang yang tepat sasarannya.
Tsabit bin Ibrahim

Dikisahkan, seorang lelaki shaleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di
pinggiran kota Kufah (Irak). Sedang asik berjalan, tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh.

Melihat apel merah yang tergeletak di tanah, Tsabit pun bermaksud mengambil dan
memakannya, terlebih hari itu adalah hari yang panas dan ia pun tengah kehausan.

Tanpa berpikir panjang, diambil dan dimakannya apel tersebut. Akan tetapi, baru setengah
apel tersebut masuk ke kerongkongannya, dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan
dia belum mendapat izin dari pemilik apel tersebut. Dengan segera, ia pun ke kebun apel
dengan niat hendak menemui pemilik apel tersebut dan memintanya menghalalkan buah
yang telah dimakannya.

Di kebun itu, ia bertemu dengan seorang lelaki. Tsabit pun berkata, “Aku sudah makan
setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya.”

Orang yang ditemuinya menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanyalah penjaga
yang ditugaskan merawat dan mengurus kebun milik majikanku.”

Dengan nada menyesal, Tsabit bertanya lagi, “Di mana rumah majikan Anda? Aku ingin
menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini.”

Penjaga kebun itu memberitahu bahwa rumah pemilik kebun tersebut cukup jauh, bahkan
jika ditempuh dengan berjalan kaki akan menghabiskan waktu sehari semalam. Namun
demikian, Tsabit tetap bertekad pergi, walaupun rumah orang yang dimaksud cukup jauh.
Yang penting, apel yang dia makan dihalalkan.

Tsabit pun berjalan menuju rumah pemilik apel. Setibanya di rumah yang dimaksud, dia
langsung mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam rumah, muncullah seorang
lelaki setengah baya.

Dia tersenyum ramah, dan berkata, “Apakah ada yang bisa saya bantu?”

Sambil membalas senyum, Tsabit bertanya, “Betulkah tuan pemilik kebun apel yang ada di
pinggiran kota Kufah?”

Laki-laki tersebut menjawab, “Benar wahai anak muda. Memangnya ada apa dengan
kebun apelku?” 

Tsabit berkata lagi, “Wahai tuan, tadi saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah
apel tuan yang jatuh dari pohonnya. Karena itu, maukah tuan menghalalkan apa yang
sudah kumakan itu?”

Lelaki tua di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat sebelum kemudian berkata,
“Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” 
Tsabit pun tercengang dengan jawaban lelaki tersebut. “Syarat apa yang harus saya
penuhi?” tanya Tsabit.

Lelaki tersebut menjawab, “Syaratnya adalah engkau harus mau menikahi putriku.”

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu dan dia pun berkata,
“Apakah hanya karena aku memakan setengah buah apelmu, sehingga aku harus menikahi
putrimu?”

Yang ditanya tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah melanjutkan dengan berkata,
“Sebelum pernikahan dimulai, engkau harus mengetahui terlebih dahulu kekurangan-
kekurangan yang dimiliki putriku. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu, ia
juga seorang yang lumpuh!” 

Mendengar pemaparan pemilik kebun tentang putrinya, Tsabit pun terkejut. Dia termenung
sejenak sebelum akhirnya menyetujui syarat tersebut. “Yang penting, setengah buah apel
yang dia makan dapat dihalalkan,” tekadnya dalam hati.

Tanpa menunggu waktu lama, pernikahan pun dilangsungkan. Setelah akad (nikah), Tsabit
pun dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar
pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu. Tapi
tak disangka, perempuan di hadapannya yang kini resmi menjadi istrinya tersebut
menjawab salamnya dengan baik.

Ketika masuk hendak menghampiri istrinya, sekali lagi Tsabit terkejut karena perempuan
yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya. Tsabit sempat terhentak
menyaksikan kenyataan tersebut.

Dia berkata dalam hatinya, “Kata ayahnya dia perempuan tuli dan bisu tetapi ternyata dia
menyambut salamku dengan baik. Jika demikian berarti perempuan yang ada di
hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta
dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan
tangannya. Mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan
yang sebenarnya?”

Setelah Tsabit berhadapan dengan istrinya, ia memberanikan diri untuk membuka


pembicaraan, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?” 

Perempuan di hadapannya tersenyum dan kemudian berkata, “Ayahku benar karena aku
tidak pernah melihat segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah.” 

Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?” 

Istrinya menjawab, “Ayahku benar karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan
cerita orang yang tidak membuat rido Allah.” “Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa
aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya perempuan itu.

Tsabit pun menganggukkan kepalanya tanda meng-iya-kan pertanyaan istrinya tersebut.


Selanjutnya perempuan itu berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku
hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah. Aku juga dikatakan lumpuh,
karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang penuh dengan maksiat.”

Betapa bahagianya Tsabit, dia bukan hanya dikaruniai istri yang shalehah tapi juga cantik
luar biasa.

Akhir cerita, Tsabit bin Ibrahim dikaruniai seorang putra shaleh yang kelak menjadi
seorang ulama besar bernama Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit. Dia (Abu
Hanifah) adalah seorang ulama atau imam yang berasal dari Kufah dan hidup pada abad
ke-7 M. Sebagai ulama besar, ilmunya menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Shuhaib bin Sinan, Pedagang yang Selalu Untung

Hari-hari perjuangan Shuhaib yang mulia dan cintanya yang luhur itu diawali pada saat
hijrahnya.

Pada hari itu ditinggalkannya segala emas dan perak serta kekayaan yang diperolehnya
sebagai hasil perniagaan selama berbilang tahun di Makkah. Semua kekayaan ini
dilepaskan dalam sekejap tanpa berpikir panjang.

Ketika Rasulullah hendak pergi hijrah, Shuhaib mengetahuinya, dan menurut rencana ia
akan menjadi orang ketiga dalam hijrah tersebut, di samping Rasulullah dan Abu Bakar.
Tetapi orang-orang Quraisy telah mengatur persiapan di malam harinya untuk mencegah
kepindahan Rasulullah.

Shuhaib terjebak dalam salah satu perangkap mereka. Hingga terhalang untuk hijrah untuk
sementara waktu, sementara Rasulullah dengan sahabatnya berhasil meloloskan diri atas
pertolongan Allah SWT.

Shuhaib berusaha menolak tuduhan Quraisy dengan jalan bersilat lidah. Hingga ketika
mereka lengah, ia naik ke punggung untanya. Ia memacu kudanya dengan sekencang-
kencangnya menuju sahara luas.

Tetapi Quraisy mengirim pemburu-pemburu mereka untuk menyusulnya dan usaha itu
hampir berhasil. Tapi ketika Shuhaib melihat dan berhadapan dengan mereka, ia berseru,
“Hai orang-orang Quraisy, kalian tahu bahwa aku adalah ahli panah yang paling mahir.
Demi Allah, kalian takkan berhasil mendekati diriku, sebelum aku lepaskan semua anak
panah yang berada dalam kantong ini. Dan setelah itu, akan menggunakan pedang untuk
menebas kalian, sampai senjata di tanganku habis semua."

Shuhaib terus berseru, "Majulah ke sini kalau kalian berani! Atau jika kalian setuju, aku
akan tunjukkan tempat penyimpanan harta bendaku, asal saja kalian membiarkanku pergi."

Mereka sama tertarik dengan tawaran terakhir itu, dan setuju menerima hartanya sebagai
imbalan dirinya. "Memang, dahulu waktu kamu datang kepada kami, kamu adalah seorang
miskin lagi papa. Sekarang hartamu menjadi banyak di tengah-tengah kami hingga
melimpah ruah. Lalu kamu hendak membawa pergi bersamamu semua harta kekayaan
itu?”

Shuhaib menunjukkan tempat disembunyikan hartanya itu, hingga mereka membiarkannya


pergi sedang mereka kembali ke Makkah. Anehnya, mereka memercayai ucapan Shuhaib
tanpa meragukannya sedikit pun. Hingga mereka tidak meminta suatu bukti, bahkan tidak
meminta agar ia mengucapkan sumpah.

Kenyataan ini menunjukkan tingginya kedudukan Shuhaib di mata mereka, sebagai orang
yang jujur dan dapat dipercaya.

Anda mungkin juga menyukai