Anda di halaman 1dari 138

ADAPTASI MUSIK KERONCONG DALAM

PERIBADATAN DI GEREJA KRISTEN JAWA


SUMBER, SURAKARTA
SKRIPSI KARYA ILMIAH
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna mencapai derajat sarjana S-1
Program Studi Etnomusikologi
Jurusan Etnomusikologi

oleh

Hendra Bayu Pamarto

NIM 15112115

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

SURAKARTA

2022

i
PERSETUJUAN

Skripsi Karya Ilmiah

ADAPTASI MUSIK KERONCONG DALAM


PERIBADATAN DI GEREJA KRISTEN JAWA SUMBER,
SURAKARTA

yang disusun oleh

Hendra Bayu Pamarto


NIM 15112115

telah disetujui untuk diajukan dalam sidang skripsi

Surakarta, 30 Mei 2022

Pembimbing,

Sigit Astono, S.Kar.,M.Hum.


NIP. 195807221981031002

ii
PENGESAHAN
Skripsi Karya Ilmiah

ADAPTASI MUSIK KERONCONG DALAM


PERIBADATAN DI GEREJA KRISTEN JAWA SUMBER,
SURAKARTA
yang disusun oleh

Hendra Bayu Pamarto


NIM: 15112115

Telah dipertahankan dihadapan dewan penguji pada 27 Juni 2022

Susunan Dewan Penguji


Ketua Penguji, Penguji Utama,

Dr. Bambang Sunarto, S.Sen., M.Sn. Drs. Wahyu Purnomo, M.Sn.


NIP. 196203261991031001 NIP. 196701151994031002

Pembimbing

Sigit Astono, S.Kar., M.Hum.


NIP. 195807221981031002

Skripsi ini telah diterima


sebagai salah satu syarat mencapai derajat Sarjana S-1
pada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Surakarta, - - , - - 2022

Dekan Fakultas Seni Pertunjukan

PERNYATAAN
Dr. Dra. Tatik Harpawati, ,M.Sn.
NIP. 196411101991032001

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Gnothi Seauton Kai Meden Agan”


Kenalilah Dirimu Sendiri dan jangan Berlebihan

Socrates

Skripsi ini kupersembahkan kepada:


 ISI Surakarta
 Almamater tercinta
 GKJ Sumber Surakarta

iv
PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Hendra Bayu Pamarto


NIM : 15112115
Tempat, Tgl. Lahir : Surakarta, 22 Desember 1995
Alamat Rumah : Jl. Pajajaran II/03RT 14RW Sumber, Banjarsari,
Surakarta 57138
Program Studi : S-1 Etnomusikologi
Fakultas : Seni Pertunjukan
Menyatakan bahwa skripsi karya ilmiah saya dengan judul: “Adaptasi
Keroncong Sebagai Musik Liturgi Gereja Kristen Jawa Sumber” adalah
benar-benar hasil karya cipta sendiri, saya buat sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, dan bukan jiplakan (plagiasi). Jika di kemudian hari
ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam skripsi
karya ilmiah saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian
skripsi karya ilmiah saya ini, maka gelar kesarjanaan yang saya terima
dapat dicabut.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan


penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukum.

Surakarta, tgl pendadaran


Penulis,

Hendra Bayu Pamarto

v
ABSTRACT

This research reveals adaptation of keroncong as liturgical music in


“Gereja Kristen Jawa Sumber", with problems that include: (1) the entry of
keroncong in the “Gereja Kristen Jawa Sumber”; and (2) the process of adapting
keroncong in worship at the “Gereja Kristen Jawa Sumber”. These two problems
were studied using the Moleong qualitative method, whose disclosure is
descriptive and analytical. The theory used to describe the problem uses the
adaptation theory of Liliweri, supported by the adaptation form of Gerungan,
which states that there are two forms of adaptation, namely aloplastis and
autoplastis. And using the inculturation approach of Giancarlo Collet, as a form
of meaning of cultural and church elements. In describing the form of keroncong
music analysis, using analytical theory from Tambajong and Prier.

Results of research shows: first, that the inclusion of keroncong in the


Sumber Java Christian Church was initiated by Haryono, as his desire to preserve
the keroncong music culture and present a new musical color in worship at the
“Gereja Kristen Jawa Sumber”. Second, In the process of adapting keroncong as
worship music, there are two factors in it, namely musical factors and non-
musical factors. Musical factors include "the pattern of playing the keroncong
instrumen, the selection of scales, intro, interlude, coda and harmony", of some of
these musical factors are adapted to church songs and liturgies. Non-musical
factors include "adjustment of motivation, ethics and interactions between
servants in worship", of these non-musical factors are adjusted to the values and
norms in the church.

Keywords: Adaptation, Keroncong, Church.

vi
ABSTRAK
Penelitian ini mengungkap fenomena adaptasi keroncong sebagai
musik liturgi di Gereja Kristen Jawa Sumber, dengan permasalahan yang
meliputi: (1) pemaanfaatan keroncong di Gereja Kristen Jawa Sumber; dan
(2) adaptasi keroncong dalam upacara peribadatan di Gereja Kristen Jawa
Sumber. Dua permasalahan tersebut dikaji menggunakan metode
kualitatif Moleong yang pengungkapannya bersikap deskriptif dan
analisis. Teori yang digunakan untuk menguraikan permasalah
menggunakan teori adaptasi dari Liliweri yang ditopang bentuk adaptasi
dari Gerungan yang menyatakan, terdapat dua bentuk adaptasi yaitu
Aloplastis dan Autoplastis. Untuk penjabaran analisis musik keroncong,
digunakan teori analisis dari Tambajong dan Prier.

Hasil dari penelitian menunjukan: Pertama, bahwa masuknya


keroncong di Gereja Kristen Jawa Sumber diinisiatif oleh Haryono sebagai
salah satu keinginannya untuk melestarikan budaya musik keroncong dan
menghadirkan warna musik baru dalam peribadatan di Gereja Kristen
Jawa Sumber. Kedua, pada proses adaptasi keroncong sebagai musik
peribadatan terdapat dua faktor yang ada di dalamnya, yaitu faktor
musikal dan faktor non musikal. Faktor musikal meliputi “pola
permainan instrumen keroncong, pemilihan tangga nada, intro, interlude,
koda dan harmoni”, dari beberapa faktor musikal tersebut disesuaikan
dengan lagu dan liturgi gereja. Faktor non musikal meliputi “penyesuaian
motivasi, etika dan interaksi antar pelayan dalam peribadatan”, dari
faktor non musikal tersebut disesuaikan dengan nilai dan norma dalam
bergereja.

Kata kunci: Adaptasi, Keroncong, Gereja.

vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang telah melimpahkan berkat serta anugrahNya dengan selesainya
penelitian ini berikut laporannya. Selesainya Penulisan Laporan Skripsi ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada Bapak Sigit Astono,
S.Kar.,M.Hum. selaku pembimbing Skripsi, kepada Baapak Bapak Drs
Wahyu Purnomo, M.Sn. selaku penguji utama dan kepada Bapak Dr.
Bambang Sunarto, S.Sen., M.Sn. selaku ketua penguji. Telah meluangkan
waktu, pikiran, dan tenaga serta memberikan dorongan moral dengan
penuh kesabaran demi terselesaikannya skripsi karya ilmiah ini.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor ISI Surakarta Bapak Dr. I
Nyoman Sukerna, S.Kar., M.Hum. kepada Dekan Fakultas Seni
Pertunjukan Dr. Dra. Tatik Harpawati, M.Sn. Tidak lupa spesial
terimakasih kepada kepada ketua Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta
sekaligus Pembimbing Akademik BapakDr. Aris Setiawan, S.Sn., M.Sn.
serta kepada seluruh dosen Etnomusikologi ISI Surakarta yang telah
memberikan banyak kontribusi dan ilmunya dalam menempuh
pendidikan di jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta.

Serta ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak


Suprapto selaku pelatih Orkes Keroncong Suara kasih GKJ Sumber, Bapak
Joko Haryno selaku pimpinan Orkes Keroncong Suara kasih GKJ Sumber,
Pendeta Santosa Budi Harjono, M.Th. selaku pendeta di GKJ Sumber,
Bapak Bambang Dwi Prasetyo dan Pendeta Immanuel Adi Saputro, M.Si.
yang telah meluangkan banyak waktu untuk mau menjadi narasumber
dalam penelitian ini. Tak lupa terimkasih kepada segenap anggota grup
Orkes Keroncong ”Suara Kasih Gereja Kristen Jawa Sumber”. Ucapan

viii
terimakasih juga kepada Chrisma Galang Sembodo yang telah banyak
membantu sebagai narahubung terhadap pihak GKJ Sumber. Ucapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua Bapak Edi
Suyanto dan Ibu Margaretha Sutini yang telah banyak memberikan
dukungan dalam bentuk moral dan Doa. Ucapan terimakasih juga kepada
teman-teman Etnomusikologi ISI Surakarta, kepada Alfa Krisma Muji
Silvanus, S.Sn, kepada Keriyana Mahanani yang telah membantu juga
dalam penelitian ini. Juga terimakasih kepada Eros Wijaya yang telah
bersedia meminjamkan buku-bukunya sebagai bahan refrensi penulis.
Akhir kata, penulis berharap semoga hasil dari penelitian ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan
tentang musik.

Surakarta, tgl pendadaran

Hendra Bayu Pamarto

DAFTAR IS

ix
I
ABSTRAC..................................................................................................................vi
ABSTRAK................................................................................................................vii
KATA PENGANTAR...........................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................xii
KETERANGAN SIMBOL NOTASI...................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................4
C. Tujuan Penelitian......................................................................................5
D. Manfaat Penelitian....................................................................................5
E. Tinjauan Pustaka.......................................................................................5
F. Landasan Konseptual...............................................................................8
G. Metode Penelitian...................................................................................13
1. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................13
2. Jenis Data dan Sumber Data.......................................................13
3. Teknik Pengumpulan Data.........................................................14
4. Teknik Penentuan Narasumber..................................................17
5. Instrumen yang Digunakan.........................................................18
H. Teknik Analisis Data..............................................................................19
I. Penyajian Hasil Analisis Data..............................................................20
J. Sistematika Penulisan............................................................................20
BAB II PERIBADATAN DI GEREJA KRISTEN JAWA, SUMBER,
SURAKARTA...........................................................................................................22
A. Gereja Kristen Jawa Sumber.................................................................22
B. Liturgi Peribadatan Di Gereja Kristen Jawa Sumber......................24
C. Musik Liturgi Gereja Kristen Jawa Sumber......................................27
BAB III PEMANFAATAN KERONCONG DI GEREJA KRISTEN JAWA
SUMBER, SURAKARTA.......................................................................................33

x
A. Keroncong Gereja Kristen Jawa Sumber............................................33
B. Faktor Pendukung...................................................................................36
1. Sumber Daya Manusia (SDM)....................................................37
2. Motivasi...........................................................................................38
3. Proses pembelajaran.....................................................................39
C. PEMANFAATAN KERONCONG.......................................................40
1. Musik Peribadatan........................................................................40
2. Bidston Pernikahan.......................................................................43
3. Siaran Radio....................................................................................44
4. Festival Keroncong Gerejawi......................................................45
BAB IV PROSES ADAPTASI KERONCONG DALAM PERIBADATAN
GEREJA KRISTEN JAWA SUMBER...................................................................47
A. Adaptasi Musikal....................................................................................49
B. Adaptasi Non Musikal...........................................................................79
1. Penyesuaian Motivasi...................................................................79
2. Penyesuaian Etika..........................................................................83
3. Penyesuaian Interkasi antar Pelayan dalam Peribadatan......86
BAB IV PENUTUP...................................................................................................88
A. KESIMPULAN.........................................................................................88
B. SARAN......................................................................................................90
KEPUSTAKAAN.....................................................................................................91
WEBTOGRAFI.........................................................................................................93
DISKOGRAFI..........................................................................................................94
DAFTAR NARASUMBER.....................................................................................95
GLOSARIUM...........................................................................................................96
LAMPIRAN..............................................................................................................97
BIODATA PENULIS.............................................................................................125

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus adaptasi...............................................................................48


Gambar 2 Notasi pola permainan keroncong engkel................................53
Gambar 3 Notasi pola permainan keroncong dobel..................................54
Gambar 4. Notasi pola permainan keroncong ¾........................................55
Gambar 5 Notasi pola permainan keroncong 9/8.......................................56
Gambar 6 Notasi lagu Amin, KJ 478b...........................................................58
Gambar 7 Notasi Lagu Amin baru.................................................................59
Gambar 8 Notasi keroncong lagu Amin.......................................................61
Gambar 9 Notasi lagu Haleluya KJ 473b......................................................63
Gambar 10 Notasi lagu Haleluya KJ 473b dengan penyesuaian.............63
Gambar 11 Notasi keroncong lagu haleluya................................................65
Gambar 12 Notasi Lagu Mulia Mulia NamaNya........................................68
Gambar 13 Notasi Lagu Bila Kurenung Dosaku........................................72
Gambar 14 Notasi pola permainan keroncong klasik...............................74
Gambar 15 Notasi Lagu Bawalah Persembahan.........................................76
Gambar 16 Notasi lagu Ya Yesus Dikau Kurindukan...............................97
Gambar 17 Notasi lagu Keluarga Hidup Indah..........................................98
Gambar 18 Notasi Keroncong lagu Mulia Mulia NamaNya..................105
Gambar 19 Notasi Keroncong lagu Bila Kurenung Dosaku...................113
Gambar 20 Notasi Keroncong lagu Bawalah Persembahan...................122

xii
KETERANGAN SIMBOL NOTASI

xiii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Musik keroncong merupakan salah satu genre1 musik yang

berkembang dan digemari oleh masyarakat Jawa, terutama dari wilayah

Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta dan Surabaya (Harmunah,

1987:9-10). Eksisnya grup-grup keroncong di Surakarta, menjadi bukti

bahwasanya musik keroncong masih memiliki peminat di kota bengawan

ini, seringkali musik keroncong bisa dijumpai diacara hajatan pernikahan,

panggung hiburan, event musik, dan festival musik.

Dalam penelitian ini penulis melihat sesuatu yang menarik dari sisi

pemanfaatan musik keroncong yang notabene sebagai media hiburan oleh

masyarakat. Penulis melihat adanya pemanfaatan lain, yaitu sebagai

musik ritus keagamaan atau sebagai musik peribadatan di gereja. Di mana

dalam musik peribadatan itu terikat oleh aturan-aturan yang ada di

gereja. Ketika musik keroncong dipakai sebagai musik peribadatan di


Gereja, perlu adanya berbagai penyesuaian dengan musik gereja. Oleh

karena itu pada penelitian ini penulis melihat adanya fenomena

“adaptasi” yang terjadi ketika keroncong digunakan sebagai musik

peribadatan di gereja.

Lebih spesifik lagi penelitian ini bertempat di Gereja Kristen Jawa

Sumber, Surakarta. Beralamat di Jalan Kutai II Gang.1, Sumber RT.01

RW.07, Banjarsari, Surakarta. Kehadiran musik keroncong di GKJ Sumber

ini sejak tahun 2010 dan masih tetap dipakai hingga sampai tulisan ini

dibuat, ini juga menjadi salah satu alasan mengapa penulis memilih
1
Genre adalah pengelompokan musik berdasarkan gaya, konteks, dan tema
musik

1
keroncong di GKJ Sumber dijadikan sebagai objek penelitian karena

eksistensinya yang masih terjaga, tetapi penelitan ini lebih difokuskan

pada fenomena adaptasi musik keroncong yang terjadi di sana. Dalam

peribadatan di GKJ Sumber biasanya menggunakan keyboard2 sebagai

musik peribadatannya, pada tahun 2010 salah satau jemaat di sana

berinisiatif untuk menghadirkan warna musik baru yaitu keroncong.

Kehadiran musik keroncong ini direspon positif oleh jemaat, maka dari itu

pada akhirnya keroncong bisa dipakai sebagai musik peribadatan di sana.

Musik ibadat merupakan musik yang adaptabel di mana selalui

mengalami pembaharuan, dengan tujuan menciptakan peribadatan yang

lebih sesuai dengan kebutuhan manusia. Musik ibadat itu berfungsi

sebagai sarana atau pengiring jemaat dalam menyanyikan pujian-pujian

dalam liturgi perayaan ibadah, dengan tujuan membuat suasana khidmat

(Prier, 1993:97). Oleh karena itu pemakaian musik keroncong dalam

peribadatan di GKJ Sumber tidak menyalahi aturan dalam peribadatan

yang ada, ketika musik tersebut tetap ditujukan untuk memuliakan

Tuhan. Ketika keroncong dipakai sebagai sarana musik peribadatan di

GKJ Sumber terjadi penyesuain-penyesuaian dengan liturginya juga,

karena pada dasarnya musik keroncong tidak hanya menggantikan

keyboard, tetapi hadirnya musik keroncong ini juga memberikan nuansa

baru dari musik peribadatan di sana.

Menjadi menarik perhatian ketika menelisik lebih dalam pada segi

penyesuaian musiknya, penulis melihat adanya pola baru dari permainan

keroncong yang ada di GKJ Sumber. Pola baru permainan keroncong ini

merupakan bentuk penyesuaian pola permainan pada lagu-lagu

2
Keyboard disini adalah alat musik, bukan bagian dari perangkat komputer.

2
peribadatan yang menggunakan sukat3 3/4 dan 9/8, karena pola

permainan koroncong pada umumnya menggunakan sukat 4/4.

Menariknya lagi musik peribadatan merupakan musik tematik, setiap

nyanyian-nyanyian yang ada di dalam peribadatan mempunyai temanya

masing-masing, dengan begitu pembuatan aransemennya juga harus

disesuaikan pada tema-tema liturginya. Selain itu musik keroncong ini

pada dasarnya untuk mengiringi nyanyian jemaat yang notabene

berjumlah lebih dari 50 orang, maka pembuatan aransemen musiknya pun

juga harus disesuaikan untuk banyak vokal, karena pada umumnya

keroncong dipakai untuk mengiringi solo vokal atau duet. Oleh karena itu

musik kerocong yang dibawakan dalam setiap peribadatan, sudah melalui

proses adaptasi sebelumnya.

Penelitian ini penulis tidak berfokus pada sisi musikal keroncong

saja, tetapi juga menyoroti pada bagain-bagaian yang tidak kalah penting

lainnya, yaitu pada bagian non musikalnya. Peribadatan GKJ merupakan

peribadatan yang aktif, karena dalam peribadatan terdapat interaksi antar

pelayan dan jemaat, ini pun juga perlu di kaji lebih lanjut pada penelitian

ini, bahwasanya ketika pemusik keroncong dalam mengiringi peribadatan

harus menyesuaikan dengan peribadatan itu sendiri. Di sisi lain motivasi

dan etika bermain musik dalam peribadatan juga berbeda dengan

bermain musik sebagai sajian pertunjukan, oleh karena itu dalam

penelitian ini penulis tidak hanya berfokus pada adaptasi musikalnya saja,

melainkan pada bagaian-bagaian non musikal juga.

Fakta-fakta yang terjadi tersebut kemudian dipakai untuk

merumuskan asumsi dasar bahwa adanya fenomena adaptasi pada musik

3
Sukat adalah bilangan dalam bentuk pecahan yang menunjukkan jumlah
ketukan di dalam satu birama serta jenis not yang mendapat satu ketukan.

3
keroncong yang digunakan dalam peribadatan di GKJ Sumber.

Pandangan ini juga di perkuat oleh Suprapto yang notabene adalah tokoh

keroncong dan pelatih keroncong di GKJ Sumber, yang menyatakan

bahwa keroncong dalam peribadatan gereja itu harus disesuaikan dengan

lagu-lagu gereja, liturgi dan jemaat (Wawancara, 11 Juni 2018). Melalui

riset yang diperkuat oleh pernyataan Suprapto tersebut semakin

meyakinkan penulis untuk terus mengkaji keroncong ini sebagai objek

penelitian penulis.

Pemanfaatan keroncong sebagai musik peribadatan di GKJ Sumber

ini menurut pandangan penulis bisa dijadikan salah satu alternatif baru

bagi gereja-gereja lain, bahwasanya musik keroncong bisa dan layak

dijadikan sebagai musik peribadatan, dengan menyesuaikan pada liturgi

dan aturan-aturan yang berlaku di gereja masing-masing. Oleh karena itu

penulisan ini menjadi penting untuk dibahas dalam mengungkap

fenomena adaptasi musik keroncong sebagai musik peribadatan di GKJ

Sumber.

B. Rumusan Masalah

Setelah melalui pemaparan latar belakang, maka permasalahan yang

diajukan sebagai berikut:

1. Apa saja pemanfaatan keroncong di Gereja Kristen Jawa Sumber?

2. Bagaimana adaptasi keroncong dalam peribadatan di Gereja Kristen

Jawa Sumber?

4
C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui sejarah terbentuknya grup keroncong di Gereja Kristen

Jawa Sumber.

2. Mengetahui latar belakang dan pemanfaatan keroncong sebagai

musik liturgi di Gereja Kristen Jawa Sumber.

3. Mengetahui fenomena adaptasi keroncong sebagai musik liturgi di

Gereja Kristen Jawa Sumber.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan berkontribusi

bagi:

1. Bagi ilmu pengetahuan, dapat berperan aktif dalam menambah

wawasan dan dapat dijadikan sebagai refrensi bagi pembaca baik

kalangan umum, gereja, dan akademis. Terkhusus dalam bidang

musik keroncong dan gerejawi.

2. Bagi pembangunan masyarakat, dapat menjadi pembelajaran


tentang perkembangan dan penggunaan musik gereja, pada jemaat

Gereja Kristen Jawa Sumber, terkhusus pada bidang musik

keroncong.

E. Tinjauan Pustaka

Membuktikan keaslian tulisan ini, penulis melakukan tinjauan

pustaka dari penelitian terdahulu, melalui skripsi dan artikel ilmiah.

Berikut ini beberapa hasil penelitian yang membahas musik keroncong

dan musik liturgi dengan sudut pandang dan permasalahan yang berbeda

untuk dijadikan sebagai tinjauan, antara lain:

5
Sembodo (2013), “Musik Rock sebagai Sarana Ibadah di Gereja Studi

Kasus Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bukit Zaitun, Nosido, Ngringo, Jaten,

Karanganyar”, Skripsi, disebutkan bahwa musik genre rock digunakan

sebagai musik liturgi dalam peribadatan di gereja. Lebih jauh dibahas

mengenai respon jemaat dengan masuknya genre musik rock dalam

peribadatan di gereja tersebut. Perbedaan penelitian yang dilakukan

penulis yaitu pada objek material yaitu genre musik keroncong dan

fenomena adaptasi dalam peribadatan di Gereja Kristen Jawa Sumber.

Sasmita (2015), “Gamelan Jawa sebagai Musik Liturgi Di Gereja

Kristen Jawa Bantul”, Skripsi, disebutkan bahwa gamelan jawa digunakan

sebagai musik liturgi dalam peribadatan di gereja. Lebih jauh dibahas

mengenai pada respon dan minat jemaat dalam beribadah menggunakan

gamelan Jawa sebagai musik liturgi. Perbedaan penelitian yang dilakukan

penulis yaitu pada objek material yaitu genre musik keroncong dan

fenomena adaptasi dalam peribadatan di Gereja Kristen Jawa Sumber.

Dewantara (2017), “Implementasi Musik Keroncong dalam Ibadah

Liturgi Gereja Kristen Jawa Jemaat Ambarukma di Yogyakarta”, Skripsi,

disebutkan bahwa musik keroncong dalam peribadatan Gereja Kristen

Jawa Ambarukmo. Lebih jauh dibahas dalam skripsi ini mengenai proses

pengimplementasian dengan metode pembelajaran musik keroncong

kepada jemaat gereja tersebut. Di bagian lain dijelaskan mengapa

keroncong dapat digunakan untuk mengiringi ibadah di gereja, karena

terdapat faktor kesamaan karakter lagu gereja dengan keroncong pada

umumnya pada tempo dan gaya. Untuk menjelaskan perbedaan sekaligus

melakukan negasi pada penelitian ini, pada penelitian yang dilakukan

penulis tidak menjelaskan proses pembelajaran dasar musik keroncong

6
seperti yang dipaparkan dalam tulisan ini. Akan tetapi penulis lebih

menitik beratkan pada fenomena adaptasi yang ada di GKJ Sumber yang

akan dipaparkan pada penjelasan di BAB berikutnya. Selain itu upaya

keroncong bisa dijadikan untuk mengiringi ibadah, pada penelitiannya

penulis menemukan beberapa perbedaan dengan tulisan ini. Perbedaan

itu berdasarkan dari berbagai temuan-temuan lapangan, meskipun dalam

kasus yang sama yaitu Gereja Kristen Jawa. Dalam penelitian ini

diungkapkan ada kesamaan karakter yaitu tempo dan gaya pada lagu

keroncong dengan lagu peribadatan geraja di sana, sehingga musik

keroncong dapat dipakai menjadi musik ibadat. Akan tetap dalam

penelitian yang dilakuan penulis, menemukan faktor lain dari karakter

lagu gereja yang sangat berbeda dengan lagu keroncong, oleh karena itu

argumentasi yang dinyatakan dalam penelitian ini menurut penulis masih

sangat lemah dan terlalu terburu-buru tanpa melakukan riset yang lebih

dalam. Mencermati temuan di lapangan penulis tidak hanya menemukan

kesamaan yang diungkap dalam penelitian ini, tetapi juga menemukan

beberapa lagu yang memiliki karakter dan kontruksi lagu yang berbeda

dari lagu keroncong. Melalui temuan ini justru nanti yang akan memberi

warna baru pada musik keroncong dalam peribadatan di gereja.

Lon dan Widyawati (2019), “Adaptasi dan Transformasi Lagu Adat

dalam Liturgi Gereja Katolik di Manggarai Flores”, Jurnal, disebutkan

lagu tradisional Manggarai Flores diadaptasikan dan ditransformasikan

ke dalam lagu gereja Katolik. Lebih lanjut dibahas dalam jurnal ini

terdapat dua pembahasan, yaitu penerjemahan lagu adat sebagai adaptasi

awal dan proses transfromasi lagu adat dengan mengganti syair dan

konteks lagu tradisi asli menjadi syair dan konteks baru yang sesuai

7
dengan ajaran gereja. Nada, irama, dan jenis musiknya tetap sama hanya

kata-kata dan penggunaanya saja yang berbeda. Perbedaan penelitian

yang dilakukan penulis yaitu pada objek material yang akan diadaptasi,

dalam penelitian ini lebih membahas proses penggubahan teks dan

makna lagu, dalam penelitiaan yang dilakukan penulis lebih pada

fenomena adaptasi budaya musik kedalam gereja.

Berdasarkan dari beberapa uraian yang telah dilakukan penulis pada

Tinjuan Pustaka di atas, penulis telah menjelaskan bagian-bagian yang

menjadi perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang

dilakukan penulis, yang bertujuan untuk membuktikan keasilan dalam

penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggung

jawabkan keasilannya dan bukan hasil dari plagiasi dari penelitian orang

lain.

F. Landasan Konseptual

Melalui karya penulisan ini akan membahas kejadian yang ada


Gereja Kristen Jawa Sumber, yaitu pemanfaatan keroncong sebagai musik

liturgi peribadatan melalui sudut pandang fenomena adaptasi. Penulis

mengacu pada studi kasus di GKJ Sumber, dikarenakan sudah cukup

konsisten dalam mempertahankan musik keroncong di gereja tersebut,

selain itu penulis melihat beberapa permainan keroncong yang berbeda

dari keroncong pada umumnya. Oleh kerena itu, membawa penulis pada

ketertarikanya untuk membahas fenomena yang terjadi di GKJ Sumber,

dengan memfokuskan pada adapatasi keroncong di gereja tersebut.

Dalam menguraikan permasalahan yang dihadapi penulis membutuhkan

teori untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi pada penelitian

8
ini, maka dari itu dipakailah beberapa teori guna menganalisis peristiwa-

peristiwa yang terjadi di lapangan.

Mencermati kasus di GKJ Sumber, keroncong yang dipakai sebagai

musik peribadatan tidak sekedar menggantikan keyboard, tetapi hadirnya

keroncong dalam peribadatan memberi nuansa baru yang berbeda dari

peribadatan menggunkan keyboard. Menurut Prier, Musik ibadat

merupakan musik yang adaptabel di mana selalui mengalami

pembaharuan, dengan tujuan menciptakan peribadatan yang lebih sesuai

dengan kebutuhan manusia. Musik ibadat itu berfungsi sebagai sarana

atau pengiring jemaat dalam menyanyikan pujian-pujian dalam liturgi

perayaan ibadah, dengan tujuan membuat suasana khidmat (1993:97).

Mencermati pernyataan Prier tersebut, musik keroncong juga bisa

dijadikan sebagai musik peribadatan di gereja. Tetapi harus sesuai dengan

kesepakatan gereja dan menyesuaikan pada aturan-aturan gereja yang

berlaku.

Setelah keroncong diterima sebagai musik peribadatan, muncul

fenomena baru yaitu pada bentuk Irma keroncong. Menurut Harmunah,

Bentuk irama keroncong lazimnya memiliki birama 4/4, bentuk ini

terlihat pada era keroncong abadi yaitu Keroncong Asli, Langgam

Keroncong, Keroncong Stambul (1994:17-18). Bentuk irama keroncong

tersebut menjadi acuan penulis sebagai irama baku keroncong pada

umumnya. Menarik ketika keroncong dipakai sebagai musik peribadatan

di GKJ Sumber, keroncong di hadapkan pada lagu-lagu yang

menggunakan birama 3/4 dan 9/8. Maka dari itu perlu adanya

penyesuaian-penyesuaian dengan lagu-lagu peribadatan di GKJ Sumber.

9
Untuk menguraikan fenomena-fenomena tersebut penulis

menggunakan teroi Adaptasi guna menjelaskaan kejadian yang di

lapangan. Mengacu pada pernyataan Liliweri dari bukunya yang berjudul

“Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya” menyatakan bahwa adaptasi

adalah proses penyesuaian nilai, norma dan pola-pola perilaku antara dua

budaya atau lebih. Bila ada dua atau lebih ras atau etnik bertemu, maka

akan terjadi adaptasi (2005:140). Melalaui pernyataan tersebut menjadi

dasar penulis untuk menguraiakan fenomena yang terjadi, dengan

diperkuat lagi oleh pernyataan Gerungan dari bukunya yang berjudul

“Psychology Sosial” menyatakan bahwa, menyesuaikan diri berarti

mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan dan mengubah

lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Pada adaptasi ini

mempunyai dua pengertian yaitu: (1) Mengubah diri sesuai dengan

keadaan lingkungan, artinya penyesuaian diri yang autoplastis (auto =

sendiri, plastis = dibentuk). Jadi penyesuaian diri ini lebih bersifat pasif,

dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan. (2) Mengubah

lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri, artinya penyesuaian

diri yang aloplastis (alo = yang lain, plastis = dibentuk). Jadi penyesuaian

diri ini lebih bersifat aktif, di mana kita dapat mempengaruhi lingkungan

(1986:55).

Melalui dua konsep teori dari Liliweri dan Gerungan dipakai sebagai

dasar dalam menguraikan permasalahan yang terjadi pada penelitian ini.

Pertaman mengacu dari pernyataan Liliweri, jika terdapat dua budaya

yang bertemu akan terjadi adaptasi, oleh karena itu ketika

menghubungkan penelitian ini dengan pernyataan tersebut, pada

penelitian ini keroncong dan gereja merupakan dua budaya yang berbeda.

10
Antara budaya keroncong dan gereja mempunyai latar belakang, nilai dan

norma yang berbeda, oleh karena ketika keroncong dan gereja bertemu

dalam satu naungan akan terjadi adaptasi. Kedua untuk mempertajam

teori pada penelitian ini, penulis juga mengacu pada pernyataan

Gerungan yang menyatakan terdapat dua model adaptasi, yaitu autoplastis

dan aloplastis. Jika dihubungkan pada penelitian ini, fenomena adaptasi

yang terjadi di GKJ Sumber terjalin secara autoplastis dan aloplastis, di

mana ketika keroncong dipakai sebagai musik peribadatan gereja,

dibutuhkan penyesuaian dari musik keroncong dengan peribadatan di

sana. Selain itu ketika musik keroncong sudah masuk dalam peribadatan,

akan memberi pengaruh yang berbeda juga pada peribadatan disana.

Melalui fenomena adaptasi tersebut penulis membagi menjadi dua

pembahasan, pada pembahasan pertama adalah adaptasi musikal dan

pembahasan kedua adalah adaptasi non musikal. Untuk menguraikan

permasalahan adaptasi musikal diperlukan teori untuk menjawab

permasalah-permasalah musikal pada penelitian ini, oleh karena itu

penulis membutuhkan teori analisis musik yang bisa menjabarkan

permasalah musikalnya.

Sebagai dasar acuan dalam menganalisi musik, penulis

menggunakan teori analisis musik Tambajong dan Prier. Dalam

“Ensiklopedia Musik” miliknya, Tambajong menyatakan bahwa:


analisis adalah suatu disiplin ilmiah antara ilmu dan jiwa, ilmu
hitung, dan filsafat untuk menguraikan musik melalui rangkaian
jalinan nada, irama dan harmoni dengan membahas unsur gejala
sadar dan tidak sadar pada kesatuan komposis (1992:11).

Melalui teori yang dinyatakan Tambajong, kemudian diperkuat lagi

dengan teori milik Prier, yang menyatakan dalam bukunya “Ilmu Bentuk

Musik” bahwa:

11
Analisis musik adalah memotong dan memperhatikan detil sambil
melupakan keseluruhan dari sebuah karya musik. Keseluruhan
berarti memandang awal dan akhir sebuah lagu serta beberapa
perhentian sementara ditengahnya, gelombang-gelombang naik
turun dan tempat puncaknya, dengan kata lain dari segi struktur.
(2008:124).

Berlandaskan pada dua teori analisis musik tersebut, penulis

memanfaatkan sebagai dasar berfikir untuk menguraikan permasalahan-

permasalahan musikal pada penelitian ini. Dalam menganalisis musik,

penulis mengacu dari teori tersebut dengan menguraiakan jalinan nada,

irama dan harmoni dengan membahas unsur gejala sadar dan tidak

sadar dari setiap komposisi musik dalam peribadatan di GKJ Sumber.

Selain itu untuk menganalisis satu komposisi musik, dilakukan dengan

memotong dan memperhatikan detil komposisi, sambil melupakan

keseluruhan dari sebuah karya musik, dengan begitu analisis yang

dilakuan dapat lebih tajam hasilnya.

Gambar 1. Kerangka Adaptasi Keroncong

12
G. Metode Penelitian

Berdasarkan dari masalah-masalah yang dirumuskan, penulis

menggunakan metode kualitatif dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang berakar pada latar belakang ilmiah, manusia

sebagai alat peneliti, mengadakan analisis data secara induktif, sasaran

penelitian pada usaha menemukan teori dasar, bersifat deskriptif, lebih

mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus,

memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data,

rancangan penelitian bersifat sementara, dan hasil penelitian disepakati

oleh kedua belah pihak yaitu peneliti dan subjek peneliti (Moleong,

1996:27) Metode penelitian kualitatif terdiri dari beberapa tahap, yaitu

meliputi:

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Gereja Kristen Jawa Sumber,

Banjarsari, Surakarta, pemilihan tempat tersebut dikarenakan penulis


melihat fenomena keroncong yang terjadi di sana. Waktu penelitian

dipilihi pada saat latihan keroncong dan pada waktu peribadatan yang

menggunakan musik keroncong.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis sumber data dan sumber data yang diperoleh penulis dalam

penelitian ini di antaranya yaitu:

a. Data Tertulis

Data tertulis berupa buku, skripsi, artikel ilmiah, surat kabar dan

arsip. Sumber data buku dan skripsi diperoleh dari perpustakaan; artikel

13
ilmiah dan surat kabar diperoleh melalui internet; arsip beserta catatan-

catatan diperoleh dari gereja dan narasumber.

b. Data Gambar

Data gambar berupa foto-foto dokumentasi. Sumber data foto

diperoleh dari dokementasi penulis, dokumentasi narasumber dan

dokumentasi pihak gereja. Foto dokumentasi yang dipakai adalah foto

dokumentasi peribadatan pada saat menggunakan musik keroncong, dan

foto dokumentasi wawancara dengan narasumber, beserta foto-foto arsip

Orkes Keroncong Suara Kasih GKJ Sumber.

c. Data Audio

Data audio berupa audio rekaman wawancara dengan narasumber,

rekaman musik keroncong yang digunakan dalam peribadatan di GKJ

Sumber. Sumber data Audio diperoleh dari dokumntasi penulis, dan

rekaman-rekaman pihak gereja.

d. Data Video

Data video berupa video rekaman latihan, rekaman peribadatan, dan

video arsip gereja. Sumber data video diperoleh dari dokumentasi

penulis, arsip gereja dan kanal youtube gereja.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian

ini di antaranya yaitu:

14
a. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan pengumpulan data dari sumber-sumber

tertulis yang relevan dan berkaitan langsung dengan topik penelitian.

Data tersebut diperoleh melalui buku, skripsi, artikel ilmiah dan surat

kabar, yang diperoleh penulis dari perpustakaan ISI Surakarta, ISI

Yogyakarta, Gereja Kristen Jawa Sumber dan browsing internet. Buku,

skripsi dan artikel ilmiah yang dijadikan sebagai refrensi penulis adalah

yang berkaitan dengan musik keroncong, musik gereja dan teori-tori yang

mengarah pada penelitian penulis. Surat kabar yang diambil adalah

berita-berita yang berkaitan dengan grup keroncong GKJ Sumber, beserta

arsip data dari gereja dan narasumber yang berupa catatan aransemen

keroncong.

b. Pengamatan

Pengamatan merupakan kegiatan datang ke lokasi penelitian untuk

melihat fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan. Pada penelitian ini


penulis melakukan pengamatan secara langsung, yaitu dengan melihat

kegiatan latihan keroncong di GKJ Sumber dan mengikuti upacara

peribadatan yang menggunakan musik keroncong. Pengamatan secara

langsung memberi keuntungan bagi penulis untuk mencatatat kejadian-

kejadian dilapangan.

c. Partisipan

Partisipan merupakan ikut andil bagian dalam kegiatan dari objek

yang diteleti, dengan melibatkan dirinya sendiri. Pada penelitian ini

penulis ikut berpartisipasi dalam kegiatan dari objek yang ditelitinya,

dengan menjadi additional player instrument flute. Dengan ikut

15
berpartisipasi, memberi keuntungan bagi penulis untuk lebih bisa

memahami hal-hal mendasar dari objek yang ditelitinya.

d. Wawancara

Wawancara merupakan kegiatan bertanya kepada narasumber

dengan tujuan memperoleh informasi data dari pernyataan narasumber.

Untuk mendapatkan data yang valid harus selektif dalam memilih

narasumber, oleh karena itu dalam penelitian ini penulis memilih

narasumber yang berkompeten dibidangnya masing-masing. Narasumber

yang dipilih adalah pendeta, pimpinan grup keroncong dan pelatih

keroncong. Untuk membantu berlangsungnya kegiatan wawancara,

penulis menggunakan beberapa alat bantu yang berupa handphone untuk

merekam pembicaraan, buku dan pulpen untuk mencatat pernyataan

narasumber, serta list pertanyaan yang sudah disiapkan.

e. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan kegiatan pngumpulan data dalam bentuk

foto, video dan audio, dokumentasi bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu

secara langsung dan tidak langsung. Dokumentasi secara langsung

didapat melalui perekaman narasumber, latihan dan peribadatan di GKJ

Sumber yang dilakukan oleh peneliti ke dalam bentuk foto, video dan

audio. Dokumentasi tidak langsung didapat melalui hasil rekaman foto,

video dan audio milik narasumber dan pihak gereja. Segala bentuk

dokumentasi ini digunakan untuk pengamatan ulang setelah berada di

luar lapangan.

16
4. Teknik Penentuan Narasumber

Penentuan narasumber berdasarkan pada pertimbangan, di mana

narasumber harus dapat memberikan informasi tentang situasi dan

kondisi latar penelitian. Jadi sebagai narasumber harus memiliki

pengalaman terhadap latar penelitian, berkompeten dalam bidangnya dan

mempunyai sumber data yang bisa diperoleh darinya. Narasumber yang

dipilih harus bisa memberikan informasi yang terjangkau dalam waktu

yang relatif singkat, karena informan dimanfaatkan untuk berbicara,

bertukar pikiran dan sebagai pembanding suatu kejadian yang ditemukan

dari subjek lainya, dalam kasus ini penulis menetapkan beberapa

narasumber yaitu:

a. Suprapto

Suprapto merupakan seniman keroncong di Kota Solo, ia dikenal

sebagai pemain biola keroncong. Peranannya dalam grup keroncong di

GKJ Sumber adalah sebagai pelatih, serta arranger disetiap sajian musik
keroncong yang dipakai dalam peribadatan. Informasi yang didapat yaitu

mengenai musik keroncong dan proses membuat aransemen keroncong

untuk peribadatan di gereja.

b. Bambang Dwi Prasetyo

Bambang Dwi Prasetyo merupakan majelis sekaligus anggota grup

keroncong di GKJ Sumber, Peranan pada grup keroncong, yaitu sebagai

pelatih kor4 keroncong. Informasi yang didapat yaitu tentang sejarah grup

keroncong dan proses pelatihan vokal.

4
Kor adalah paduan suara, nyanyian bersama.

17
c. Chrisma Galang Sembodo

Chrisma Galang Sembodo merupakan jemat sekaligus anggota grup

keroncong di GKJ Sumber. Peranan pada grup keroncong yaitu sebagai

salah satu pemain dalam grup tersebut. Informasi yang didapat yaitu

tentang koordinasi pemain dan proses penyesuaian diri dalam bermain di

dalam gereja, ia juga sebagai narahubung bagai penulis dengan pihak

gereja.

d. Joko Haryono

Peranan pada grup keroncong di GKJ sumber, yaitu sebagai salah

satu inisiator dan ketua Grup keroncong di GKJ Sumber. Informasi yang

didapat yaitu tentang koordinasi pemain dan sejarah terbentuknya grup

keroncong, ia juga sebagai anggota di gereja tersebut.

e. Santosa Budi Harjono

Santosa Budi Harjono merupakan pendeta di GKJ Sumber. Peranan

pada penelitian ini adalah sebagai narasumber untuk memperoleh

informasi mengenai liturgi di GKJ dan infromasi mengenai GKJ Sumber.

f. Immanuel Adi Saputro

Immanuel Adi Saputro merupakan pendeta di GKJ Sabda Winedhar.

Peranan pada penelitian ini adalah sebagai narasumber untuk

memperoleh informasi mengenai sejarah liturgi di GKJ.

5. Instrumen yang Digunakan

Instrumen yang digunakan penelitian kualitatif ialah manusia itu

sendiri karena menjadi bagian segalanya dalam dari keseluruhan proses

18
penelitian, instrumen penelitian yang dimaksud yaitu sebagai alat

pengumpul data pada penelitian kualitatif. Manusia sekaligus sebagai

perencana, pelaksana pengumpul data, analisis, penafsir data dan pelapor

hasil penelitian

Penulis dalam kasus ini selaku sebagai instrumen penelitian di GKJ

Sumber, penulis menjadi bagian keseluruhan dalam penelitian ini. Sebagai

instrumen penelitian harus responsif, dapat menyesuaikan diri,

menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan,

memproses data, memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasi data

dan mencari respon yang tidak lazim.

H. Teknik Analisis Data

Kegiatan analisis data dimulai dengan melihat fenomena-fenomena

dan gejala-gejala yang terjadi di lapangan yang mengarah pada penelitian

penulis, kemudian memfokuskan pada objek penelitian. Kemudian

penulis melakukan tahap pengumpulan data melalui studi pustaka,


pengamatan, partisipan, wawancara dan dokumentasi. Setelah data

terkumpul kemudian mengambil data-data yang berkaitan dengan objek

penelitian dan melakukan kategorisasi, dalam melakukan kategorisasi

terdapat beberapa data yaitu, data audio, data video, dan data tertulis.

Setelah itu penulis menelaah keseluruhan data yang didapat dari berbagai

sumber, data yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan lapangan,

dokumen pribadi, dokumen resmi, foto, video dan audio visual. Data

yang diambil sesuai dengan fokus objek yang diteliti yang dapat

memudahkan proses penulis dalam melakukan analisis data.

19
Tahap berikutnya yaitu melakukan transkripsi dari data-data yang

terkumpul, dari data wawancara yang telah direkam melalui handphone

penulis mencatat kembali poin-poin yang berkaitan dengan objek

penelitian. Sedangankan pada proses transkripsi lagu dibuat dengan

notasi balok, penulis melakukan transkripsi dengan menggunakan

software “Sibelius seri 7.5” dari hasil rekaman audio dan video.

I. Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data terdiri dari dua metode, yaitu metode

formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dan

lambang-lambang, sedangkan metode informal adalah perumusan

dengan kata-kata. Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua metode

tersebut, pada metode fommal penulis menyajikan hasil analisis musik ke

dalam notasi balok menggunakan tanda dan lambang-lambang musik di

dalamnya. Dalam metode informal, penulis menguraikan hasil analisi

dan hasil pemaparan tersebut kemudian di tarik sebuah kesimpulan, dan


dituangkan dalam bentuk deskripsi.

J. Sistematika Penulisan

BAB I. PENDAHULUAN membahas tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

penelitian, dan sistematika penulisan

BAB II. PERIBADATAN DI GEREJA KRISTEN JAWA SUMBER,

SURAKARTA, pada bab ini membahas tentang kesejarahan GKJ Sumber

dan unsur-unsur liturgi beserta musiknya. Pembahasan mencakup: A.

20
Gereja Kristen Jawa Sumber, B. Liturgi Peribadatan Di Gereja Kristen Jawa

Sumber, C. Musik Liturgi Gereja Kristen Jawa Sumber.

BAB III. PEMANFAATAN KERONCONG DI GEREJA KRISTEN

JAWA SUMBER, SURAKARTA. Pada bab ini membahas kesejarahan

keroncong di GKJ Sumber serta faktor pendukung yang mempengaruhi

perkembangan keroncong dan menjawab rumusan masalah pertama yaitu

pemanfaatan musik keroncong. Pembahasannya mencakup: A. Keroncong

Gereja Kristen Jawa Sumber, B. Faktor Pendukung, C. Pemanfaatan

Keroncong.

BAB IV. PROSES ADAPTASI KERONCONG DALAM

PERIBADATAN DI GEREJA KRISTEN JAWA SUMBER,

SURAKARTA. Pada bab ini membahas rumusan masalah kedua, yaitu

adaptasi keroncong di GKJ Sumber. Pembahasan mencakup: A. Adaptasi

Musikal, yaitu mengulas aransemen musik keroncong dengan

menyesuaikan liturgi peribadatan di GKJ Sumebr, B. Adaptasi Non

Musikal, yaitu megulas penyesuaian dari segi manusianya yang terdiri

dari motivasi, etika dan interaksi dalam peribadatan.

BAB V. PENUTUP pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.

21
BAB II
PERIBADATAN DI GEREJA KRISTEN JAWA SUMBER,
SURAKARTA

A. Gereja Kristen Jawa Sumber

Gereja Kristen Jawa Sumber atau disingkat GKJ Sumber, Surakarta

beralamat di Jalan Kutai II, Gang 1, Sumber RT.01 RW.07, Banjarsari,

Surakarta. Sejarah berdirinya GKJ Sumber berawal dari salah satu Gerja

Kristen Jawa yang sudah berdiri sebelumnya di Surakarta yaitu GKJ

Manahan. Berawal dari wilayah pembinaan Blok Dua GKJ Manahan, yang

mencakup wilayah Sumber dan sekitarnya, pada tanggal 28 Oktober 1978

melalui beberapa tokoh GKJ Manahan yaitu Siswo Hadi Sumarto dan

Suhardono, diusulkan agar blok dua GKJ Manahan membangun gedung

gereja dengan status pepanthan5 Sumber GKJ Manahan. Faktor yang

mempengaruhi berdirinya pepanthan yaitu menurut Martyanto sebagai

salah satu majelis gereja disitu, mengacu pada Tata Gereja GKJ bab II yang
membahas pengorganisasian yang terdapat di pasal 2 ayat 1 berbunyi:
“Gereja Kristen Jawa yang selanjutnya disebut GKJ adalah
kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah
di dalam Tuhan Yesus Kristus yang ada di suatu tempat tertentu
yang dipimpin oleh Majelis Gereja dan yang telah mampu mengatur
diri sendiri, mengembangkan diri sendiri, dan membiayai diri
sendiri berdasarkan Alkitab, Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta Tata
Gerejadan Tata Laksana GKJ”
(http://tatagereja.blogspot.com/2011/08/bab-ii pengorganisasian-
bagian-pertama.html, diakses 9 november 2019).

Faktor tersebut dilihat dari jumlah anggota blok dua Manahan yang

mengalami pertumbuhan dan jumlah anggota, di sisi lain persembahan

yang mereka kumpulkan selalu meningkat sehingga mampu untuk


5
Pepanthan adalah Kelompok atau Cabang, diberikan sebagai sebutan bagi
jemaat kecil yang belum bisa mandiri.

22
membiayai dirinya sendiri. Oleh karena itu Blok 2 Manahan dianggap

sudah dewasa dan mampu mengorganisasikan gerejanya dengan status

GKJ Manahan pepanthan Sumber.

Melalui semangat kegotongroyongan jemaat yang berlandaskan

iman dan kesadaran dalam bergereja, kemudian ditindak lanjuti dengan

terbentuknya panitia persiapan pepanthan dan pembangunan gedung

Gereja Sumber yang diketuai oleh Harinto Mulyo dan Suwarno sebagai

sekretaris. Pada tanggal 21 Juni 1989, pembangunan gereja dimulai

dengan ditandai peletakan batu pertama oleh Sukadi sebagai Ketua

Warga Sumber, Bambang Brata Sujali dan Sri Harjono sebagai pendeta.

Pembangunan gedung gereja berlangsung hingga pada tanggal 31

Desember 1990, yang kemudian diresmikan oleh Hartomo sebagai

Walikota Surakarta pada saat itu6.

Enam tahun berlalu setelah peresmian pepanthan Sumber, pada

tanggal 23 Agustus 1996 majelis GKJ Manahan menetapkan pepanthan

Sumber dan Klodran untuk didewasakan menjadi gereja yang dewasa

dengan nama GKJ Sabda Winedhar dengan wilayah Sumber dan Klodran.

Faktor penyebab pepanthan tersebut layak didewasakan menurut Sutarso

sebagai majelis pepanthan Sumber yaitu:

a. Kesepakatan dari pepanthan Sumber dan pepanthan Klodran.

b. Saran dari Pendeta Bambang Brata Sujali, untuk mendewasakan

dua pepanthan tersebut menjadi satu gereja yang dewasa dengan

nama GKJ Sabda Winedhar.

c. Mendapat dukungan dari jemaat dua pepanthan tersebut.

6
Peresmian ini baru gedungnya, belum posisi, fungsi dan haknya sebagai gereja
yang mandiri.

23
Pada tanggal 23 Agustus 2007 atas kesepakatan majelis, GKJ Sabda

Winedhar melakukan pengembangan dengan cara pemecahan menjadi

dua gereja yang dewasa yang masing-masing berwilayah di Sumber dan

Klodran. Wilayah Sumber bernama GKJ Sumber dengan jemaat di

wilayah Sumber, Surakarta dan wilayah Klodran tetap bernama GKJ

Sabda Winedhar dengan jemaat di wilayah Klodran, Karanganyar. Oleh

karenanya pada saat itu juga ditetapkan sebagai peresmian berdirinya

GKJ Sumber sebagai gereja yang dewasa. (Tim Gereja, HUT GKJ Sumber

10, VCD 01, track 00.20-15.30).

B. Liturgi Peribadatan Di Gereja Kristen Jawa Sumber

Berikut adalah urutan liturgi dasar Gereja Kristen Jawa Sumber dari

awal hingga akhir diatur sebagai berikut ini.

1. Pra Ibadah

a. Petugas ibadah siap 25 menit sebelum ibadah dimulai.

b. Doa konsistorium dan doa pribadi.

c. Warta Jemaat.

d. Bel dibunyikan 3 kali, umat berdiri dan menyanyikan pujian

pembuka, petugas firman dan majelis memasuki ruang ibadah.

2. Sesi Ibadah
a. Votum dan Salam.

Votum dan salam disampaikan oleh pelayan firman, yang menjadi

pelayan firman dalam peribadatan adalah pendeta atau bisa dari bukan

pendeta tetapi telah diberi mandat oleh imam. Setelah petugas firman

24
menyampaikan votum dan salam kemudian jemaat menyahut dengan

menyanyikan “Amin – Amin – Amin” dengan diiringi musik.

b. Kata Pembuka

Setelah votum dan salam kemudian pelayan firman menyampaikan kata

pembuka, kemudian dilanjutkan dengan ajakan menyanyikan nyanyian

pujian penyembahan bersama jemaat.

c. Hukum Kasih

Setelah menyanyikan nyanyian pembuka kemudian pelayan firman

mengajak jemaat untuk bersama-sama mengucapkan hukum kasih.

d. Penyesalan Dosa

Setelah mengucapkan hukum kasih, kemudian jemaat diingatkan

bahwa apa yang dilakukan selama ini belum sepenuhnya dapat

melakukan perintah Tuhan. Oleh karena itu jemaat diajak untuk

merenungkan kesalahannya dengan penyesalan dosa dan memohon

ampunan. Penyesalan dosa bisa dilakukan dengan berdoa, bernyanyi dan

dapat dikombinasikan dari keduanya yaitu berdoa dan bernyanyi.

e. Berita Anugrah

Setelah mengakui dosa, Tuhan akan memberikan anugrahnya

dengan berita pengampunan yang disebut berita anugrah. Setelah petugas

firman menyampaikan berita anugrah, kemudian jemaat menyahut

dengan kata-kata syukur kepada Allah.

25
f. Petunjuk Hidup Baru

Setelah diampuni secara liturgis maka menjadi ciptaan baru, yang

lama sudah berlalu karena sudah mendapatkan pengampunan, kemudian

diberi petunjuk hidup baru. Setelah menerima petunjuk hidup baru,

kemudian jemaat merespon dengan bernyanyi, yaitu dengan nyanyian

kesanggupan yang isinya siap melakukan perintah Tuhan.

g. Persembahan

Persembahan merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan,

pada saat prosesi memberikan persembahan biasanya diiringi dengan

menyanyikan lagu-lagu persembahan yang bertema ucapan syukur.

h. Pelayanan Firman

Setelah persembahan kemudian dilanjutkan pelayanan firman, yaitu

berupa bacaan alkitab oleh pelayan firman. Setelah pembacaan alkitab

jemaat merespon dengan menyanyikan “haleluya – haleluya – haleluya”

dan dilanjutkan kotbah oleh pelayan firman. Setelah kotbah selesai

kemudian jemaat diajak saat teduh untuk merenungi firman yang telah

disampaikan, pada saat teduh biasanya juga diiringi dengan musik

instrumenal.

i. Pengakuan Iman Rasuli

Setelah pelayanan firman kemudian jemaat diajak untuk

mengucapkan pengakuan iman rasuli secara bersama-sama, sebagai dasar

dari iman Kristen yang berbicra tentang Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh

Kudus sebagai pencipta langit dan bumi.

26
j. Doa Syafaat, Doa Penutup dan Doa Bapa Kami

Setelah mengucapkan pengakuan iman rasuli dilanjutakan dengan

doa syafaat, doa penutup dan diakhiri dengan mengucapkan doa Bapa

Kami secara bersama-sama.

k. Pengutusan

Sebelum ibadah selesai pelayan firman menyampaikan pengutusan

kepada jemaat. Pengutusan ini dihayati sebagai Tuhan yang mengutus

umat supaya melakukan kehendak-Nya, terkhusus atas Firman Allah

yang sudah didapat dalam ibadah itu.

l. Berkat

Akhir ibadah pelayaan firman menyampaikan berkat kepada jemaat,

berkat adalah karunia pemberian Tuhan kepada jemaat agar dapat

menghadapi hidup sehari-hari dengan kekuatan dan penyertaan Tuhan.

Jemaat menerima berkat dengan sikap berdiri dan menunduk dan

merespon dengan amin dilanjutkan menyanyi lagu penutup (Harjono,

Wawancara 14 Desember 2021).

C. Musik Liturgi Gereja Kristen Jawa Sumber

Gereja Kristen Jawa merupakan salah satu gereja yang berawal dari

pengkabaran injil dari Eropa. Pada saat itu musik gereja bangsa Eropa

masih menggunakan lagu-lagu klasik dan hymnal7 yang diiringi

menggunakan piono klasik. Hymnal merupakan alat yang tepat pada saat

itu dalam mengungkapkan syukur dan mengajak umat untuk menghayati

berkat Tuhan. Ketika hymnal dinyanyikan dengan baik, akan membuat


7
Hymnal adalah Nyanyian Pujian, Nyanyian Rohani.

27
orang masuk ke dalam suasana meditatif. Sesuai dengan ciri khas dari

liturgi gereja Eropa masa itu ialah meditatif dan kontemplatif, oleh karena

itu hymnal menjadi salah satu sarana yang tepat pada masa itu.

Berawal dari pengkabaran injil bangsa Eropa tersebut, dengan

nuansa musik liturgi yang ada pada waktu itu akhirnya terbawa hingga di

GKJ. Dengan sendirinya GKJ dapat menerima musik-musik dari bangsa

Eropa tersebut, ditambah lagi dengan karakteristik masyarakat Jawa pada

zaman dulu yang selalu belajar menyelaraskan hidup dengan banyak hal.

Pembawaan orang Jawa pada masa itu pun tenang, sehingga ketika musik

hymnal ini dibawa dari Eropa ke Jawa melalui pengkabaran injil dapat

diterima dengan baik. Kemudian musik ini menjadi bagian dari ibadah

orang Jawa dan menjadi ciri khas dari peribadatan di GKJ menggunakan

hymnal. Adapun contoh dari lagu-lagu hymnal dapat ditemukan dari

Kidung Pujian, Mazmur Pujian Rohani, Kidung Jemaat dan lain sebagainya.

Corak hymnal sendiri sama dengan karakteristik orang Jawa, dari hal

itulah menjadi ciri khas musik liturgi di GKJ (Saputro, Wawancara 11 Mei

2018).

Dalam satu rangkain peribdatan di GKJ Terdapat dua macam

nyanyaian liturgi, yaitu nyanyian “Proprium” dan nyanyian “Ordinarium”.

Menurut Prier, Proprium adalah “Istilah untuk lagu misa yang khusus

untuk hari tertentu. Proprium missae artinya nyanyian misa yang syair

lagunya tidak tetap”. Dalam liturgi GKJ yang termasuk nyanyian

proprium yaitu, nyanyian pembuka, nyanyian pujian penyembahan,

nyanyian penyesalan dosa, nyanyian kesanggupan, nyanyian

persembahan, nyanyian pengutusan dan nyanyian penutup. Untuk

Ordinarium adalah, "istilah dari musik liturgi untuk bagian-bagian misa

28
dengan syair tetap, yang semula dinyanyikan oleh jemaat atau umat”.

Dalam liturgi peribadatan di GKJ Sumber terdapat dua nyanyian yang

tergolong dalam nyanyian Ordinarium, yaitu nyanyian sebagai respon

setelah votum yang berupa “Amin-Amin-Amin”. Yang kedua yaitu

nyanyian respon setelah pelayan firman membaca firman yang berupa

“Haleluya-Haleluya-Haleluya”. Kedua nyanyian Ordinarium tersebut

selalu ada pada setiap peribadatan di GKJ Sumber.

1. Nyanyian Proprium

a. Nyanyian Pembuka

Nyanyian pembuka adalah nyanyian pada awal ibadah, di mana

pada saat itu jemaat sedang dihimpun oleh Tuhan dan mengharap

kehadiran Tuhan. Nyanyian pembuka bertujuan untuk mempersiapkan

jemaat untuk beribadah dan menjadi panggilan beribadah. Nuansa lagu

dan musiknya lebih pada nuansa khidmad.

b. Nyanyian Pujian Penyembahan

Nyanyian pada lagu pertama yaitu nyanyian pembuka bertujuan

untuk mengundang hadirat Tuhan, sedangkan pada lagu kedua ini yaitu

nyanyian pujian penyembahan Tuhan sudah hadir. Sikap dalam

pujiannya, kita harus menyerahkan hati dan fikiran untuk lebih fokus

kepada Tuhan. Lagu-lagu yang dibawakan bertemakan penyembahan

yang sifatnya sebagai pujian dan pengagungan, nuansa musiknya ceria

dan agung.

c. Nyanyian Penyesalan Dosa

29
Penyesalan dosa bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu bisa dengan

berdoa dan bernyanyi atau bisa keduanya. Nyanyian penyesalan dosa

merupakan salah satu bentuk ungkapan diri atas penyesalan dosa, dan

sebagai pengingat apakah hidup yang telah dijalani selama ini sudah baik

di mata Tuhan. Lagu dan musiknya bernuansa lembut sehingga suasana

yang terbangun dapat mengahantarkan jemaat untuk mengoreksi diri.

d. Nyanyian Kesanggupan

Nyanyian kesanggupan dinyanyikan setelah berita anugrah dan

petunjuk hidup baru, sesuai pada urutan liturgi di GKJ Sember. Nyanyian

ini sebagai ikrar atas pembaharuan hidup baru, karena telah diampuni.

Lagu-lagu dari nyanyian kesanggupan ini bertemakan kesanggupan

untuk mengikut Tuhan. Nuansa musiknya tegas dan semangat, sehingga

dapat mewakili ungkapan hati sebagai bentuk kesanggupan.

e. Nyanyian Persembahan

Nyanyian persembahan merupakan bentuk ucapan syukur atas

berkat yang telah diterima dari Tuhan, selain itu nyanyian ini juga sebagai

pengiring diedarkannya kantong persembahan. Bentuk persembahan

tidak hanya berupa uang, juga dapat berupa puji-pujian. Bernyanyi pada

saat memberikan persembahan juga dapat membantu jemaat memaknai

ungkapan syukurnya. Oleh karean itu musik pada nyanyian persembahan

harus bernuansa ceria dan sukacita sebagai bentuk ekspresi dari rasa

syukur tersebut, lagu-lagunya bertemakan ucapan syukur atas berkat

Tuhan.

f. Nyanyian Pengutusan

30
Nyanyian pengutusan sebagai pengingat bahwa jemaat memiliki

tugas untuk memberitakan firman Tuhan, yaitu harus siap untuk

menjalankan misi kristiani untuk bersaksi di tengah dunia. Nyanyian ini

juga memberi semangat kepada jemaat untuk menjalani kehidupan

sehari-hari sesuai dengan perintah Tuhan. Lagu-lagunya bermakna

membangun, menyemangati dan mengingatkan, sedangkan untuk

musiknya bernuansa semangat dan ceria.

g. Nyanyian Penutup

Nyanyian penutup merupakan nyanyian di akhir ibadah, lagu-lagu

nya bersifat memohon penyertaan Tuhan. Nyanyian penutup juga sebagai

bentuk ucapan syukur jemaat karena ibadah telah selesai. Nuansa

musiknya tenang dan khidmat.

2. Nyanyan Ordinarium

a. Amin-Amin-Amin

Amin-Amin-Amin adalah nyanyian ordinarium dalam liturgi di

GKJ Sumber, nyanyian tersebut sebagai bentuk respon jemaat kepada

pelayan firman setelah mengucapkan votum. Lagu yang digunakan

diambil dari Kidung Jemaat No.478.

b. Haleluya-Haleluya-haleluya

Haleluya-Haleluya-Haleluya adalah nyanyian ordinarium dalam

liturgi di GKJ Sumber, nyanyian tersebut sebagai bentuk respon jemaat

kepada pelayan firman setelah membacakan firman tuhan pada prosesi

pelayanan firman. Selain Haleluya kata yang dipakai juga bisa berupa

31
Maranatha atau Hosiana, meski begitu musiknya tetap sama. Lagu yang

digunakan diambil dari Kidung Jemaat No.473.

32
BAB III
PEMANFAATAN KERONCONG DI GEREJA KRISTEN
JAWA SUMBER, SURAKARTA

A. Keroncong Gereja Kristen Jawa Sumber

Gereja Kristen Jawa Sumber merupakan gereja yang terletak di

tengah perkampungan Sumber. Usia jemaat di gereja tersebut cukup

variatif, yaitu mulai dari balita hingga lansia, yang notabene bertempat

tinggal di wilayah Sumber dan sekitarnya. Jemaat di sana mempunyai

berbagai latar berlakang yang berbeda-beda, meskipun berbeda tetapi

mereka tetap dalam satu naungan kultur budaya yang sama yaitu budaya

Jawa.

Peribadatan di GKJ Sumber dilaksanakan seminggu tiga kali, yaitu

minggu pagi pada pukul 06.30 WIB, siang hari pada pukul 09.00 WIB, dan

sore hari pada pukul 18.00 WIB. Biasanya alat musik yang digunakan

pada peribadatan di GKJ Sumber adalah Keyboard8. Selain menggunakan


keyboard terkadang peribadatan di sana juga menggunakan alat musik

band, tetapi penggunaan band hanya pada saat tertentu saja seperti

ibadah variatif. Selain band di GKJ Sumber juga mempunyai seperangkat

gamelan, tetapi musik gamelan di sana hampir tidak pernah digunakan.

Hal ini disebabkan oleh tingkat kesulitan serta minimnya ketrampilan

dalam memainkan gamelan yang menjadi faktor gamelan tidak dipakai

dalam peribadatan disana. Selain itu antusiasme pemuda di GKJ Sumber

kepada musik tradisional ini kurang begitu baik, dibandingkan dengan

musik band yang lebih digemari.

8
Keyboard disini adalah alat musik, bukan bagian dari perangkat komputer.

33
Melihat potensi sumber daya manusia dari usia muda hingga

dewasa, salah satu jemaat di GKJ Sumber yaitu Haryono memiliki inisiatif

untuk membentuk suatau kegiatan yang dapat bermanfaat untuk gereja,

yang bisa melibatkan pemuda dan orang dewasa. Melalui inisitifnya

tersebut ia membentuk grup keroncong di bawah naungan GKJ Sumber,

yang berfokus untuk pelayanan dan bukan untuk komersil. Keinginannya

untuk membuat grup keroncong di GKJ sumber didasari oleh

kegemarannya pada musik keroncong. Ia juga sering mendatangi grup-

grup keroncong yang ada di Surakarta untuk mendengar dan juga ikut

berpartisipasi dalam menyanyi. Selain itu kegemaranya tersebut juga

didukung oleh lingkungan tempatnya bekerja yaitu di Kantor Pos

Surakarta, yang memiliki grup keroncong yang beranggotakan dari

pegawai di sana. Oleh karena latar belakang kegemarannya akan musik

keroncong tersebut, ia sebagai jemaat di GKJ Sumber mempunyai visi misi

di gereja untuk membentuk grup keroncong di sana. Tujuan Haryono

menghadirkan musik keroncong di GKJ Sumber yaitu untuk mengenalkan

dan melestarikan musik keroncong kepada gereja, ia juga berharap agar

keroncong juga bisa dimanfaatkan sebagai musik peribadatan di sana.

Menurutnya, selain bermanfaat untuk gereja, keroncong juga bisa menjadi

wadah kegiatan yang positif dan bisa melibatkan pemuda hingga orang

dewasa. Selian itu genre9 musik kroncong yang familier di wilayah

Surakarta menjadi peluang besar bisa diterima jemaat di sana.

Tekad besar Haryono untuk merintis grup keroncong di GKJ

Sumber, pada awalnya merasa kesulitan karena minimnya pengetahuan

jemaat mengenai musik keroncong. Oleh karena itu ia mengajak beberapa

9
Genre adalah Pengelompokan musik berdasarkan gaya, konteks, dan tema
musik.

34
seniman keroncong yang ada di Surakarta untuk membantu mengawali

latihan yang bertempat di GKJ Sumber. Satu dari seniman keroncong

tersebut merupakan tokoh keroncong yang ada di Surakarta yaitu

Suprapto yang juga beragama Kristen. Peran Suprapto sangat besar pada

perkembangan grup keroncong yang ada di GKJ Sumber. Melalui latihan-

latihan yang dilaksanakan, Haryono mengajak jemaat gereja untuk datang

dan belajar. Ia mendorong pemuda gereja yang mempunyai ketrampilan

dalam bermain musik untuk ikut serta dalam latihan keroncong dan

berlatih instrumen keroncong dari seniman-seniman keroncong yang

diundangnya. Selain pemuda, ia juga mengajak orang dewasa yang

memiliki ketertarikan pada musik keroncong untuk ikut datang dan

berlatih bernyanyi keroncong. Berjalannya waktu, Haryono bersama

jemaat gereja yang ikut terlibat dalam keroncong bersepakat membuat

jadwal latihan rutin setiap hari Senin malam yang bertempat di GKJ

Sumber. Awalnya pemuda gereja yang ikut berlatih diajarkan untuk

mempelajari instrumen keroncong, khususnya pada instrumen cak, cuk,

cello, bas dan gitar. Setelah mengalami kemajuan dalam penguasaan

instrumen kemudian mulai diajarkan untuk memainkan lagu-lagu

keroncong asli dan langgam untuk menumbuhkan minat mereka. Selain

berlatih lagu-lagu keroncong, yang menjadi fokus utama adalah berlatih

lagu-lagu gereja yang notabene digunakan dalam peribadatan di GKJ

Sumber.

Setelah kegiatan ini berjalan cukup konsisten, akhirnya Haryono dan

jemaat bersepakat untuk memberi nama grup keroncong itu dengan nama

“Orkes Keroncong Suara Kasih” di bawah naungan GKJ Sumber, yang

diresmikan pada tanggal 16 Mei 2010. Dengan nama baru tersebut

35
diharapkan bisa menjadi berkat dan bermanfaat baik di dalam gereja

maupun di luar gereja.

Pada perkembangan berikutnya seiring berjalnnya waktu, melalui

konsistensi dalam berlatih dari jemaat di sana berbuah hasil yang manis

pada grup kroncong ini, hingga pada waktunya grup keroncong ini bisa

memainkan keroncong secara mandiri. Di mana personil keroncong

sepenuhnya berasal dari jemaat gereja, di bawah bimbingan Suprapto

sebagai pelatih serta arranger musik keroncong di sana. Menurut Suprapto

dalam kasus keroncong gereja, lebih baik seluruh personilnya adalah

anggota gereja, karena dalam bermain musik pada upacara peribadatan

mempunyai etika yang berbeda dengan bermain musik di luar gereja, Jika

seluruh personilnya adalah jemat gereja maka motivasinya tidak akan

menyimpang dari dogma gereja (Haryono, wawancara 2 Maret 2022).

B. Faktor Pendukung

Perkembangan musik keroncong di Gereja Kristen Jawa Sumber bisa


dikatakan signifikan karena keberhasilan dari visi misi Haryono untuk

menghadirkan keroncong di gereja tersebut berbuah hasil yang manis,

melalui dukungan dari dalam gereja maupun luar gereja. Dengan begitu

grup keroncong ini masih tetap eksis disana hingga bertahun-tahun, dan

mendapat kepercayaan penuh untuk menjadi musik peribadatan di sana.

Pada dasarnya eksistensi dari grup keroncong ini tidak dapat lepas dari

beberapa faktor pendukung yang menyertainya, fator pendung tersebut di

antaranya sebagai berikut:

36
1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Manusia merupakan komponen penting dalam organisasi, yang

bersama-sama melakukan aktifitas untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Keberhasilan dalam berorganisasi dapat ditentukan dari kualitas sumber

daya manusia di dalamnya. Sumber daya manusia yaitu semua orang

yang terlibat pada organisasi dengan mengupayakan kesuksesan tujuan

organisasi tersebut.

Orkes Keroncong Suara kasih merupakan salah satu komunitas yang

ada dibawah naungan GKJ Sumber, faktor keberhasilan Haryono dalam

membawa grup keroncong ini tidak bisa dipisahkan dari kualitas sumber

daya manusianya juga. Karena tidak bisa dipungkiri pemuda-pemuda

yang ikut serta dalam grup tersebut sedikit banyak sudah mempunyai

bekal ketrampilan bermusik, oleh karena itu keberhasilan dari organisasi

ini sangat dipengaruhi juga oleh sumber daya manusia yang baik dari

GKJ Sumber. Melalui bekal ketrampilan bermusik dari gereja itulah

menjadi modal awal dalam mempelajari musik keroncong, meski awal


kehadirannya cukup asing di kalangan jemaat gereja tetapi mereka cukup

cepat beradaptasi dengan genre musik keroncong ini.

Selain ketrampilan dalam bermain musik, faktor pendukung lain

adalah anggota yang ikut berpartisipasi mempunyai rentang usia cukup

variatif dari pemuda hingga orang dewasa, yang dapat berbaur bersama

di dalamnya. Keterlibatan pemuda ini sangat mendukung keberhasilan

dari grup ini, karena rata-rata yang mempunyai ketrampilan bermusik di

sana adalah orang-orang muda. Oleh karena itu dari kalangan dewasa

juga ikut terbantu dengan adanya anak-anak muda yang bersedia

berpartisipasi dalam grup ini, dengan begitu bisa menjadi pengiring

37
mereka bernyanyi keroncong. Karena tidak dipungkiri bahwasanya ada

stereotip jika musik keroncong adalah musik orang tua, dan di sisi lain

anak-anak muda sekarang cenderung lebih menyukai band dari pada

musik keroncong, oleh sebab itu dengan adanya generasi muda dari GKJ

Sumber bersedia terlibat dalam organsasi ini, dapat dikatakan sebagai

salah satu faktor pendukung atas keberhasilan grup ini.

2. Motivasi

Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang atau

kelompok secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan

untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai grup di bawah naungan gereja,

grup keroncong dalam perkembanganya sangat dipengaruhi oleh nilai-

nailai yang terkandung dalam gereja. Dari awal Haryono yang sekaligus

pendiri grup ini, ia memiliki visi misi menjadikan grup keroncong ini

sebagai media pelayanan dan tidak untuk komersil. Ini juga sesuai dengan

ajaran Kekristenan, selalu mengutamakan pelayanan seperti ajaran Yesus


tertulis dalam alkitab yang berbunyi sebagai berikut “Kerena Anak

Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani

dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”

(Markus 10:45). Dan “Layanilah seseorang akan yang lain, sesuai dengan

karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik

dari kasih karunia Allah” (1 Petrus 4:10).

Melalui ajaran-ajaran gereja dalam pelayanan menjadi motivasi

anggota keroncong yang notabene adalah jemaat gereja. Kesadaran akan

melayani satu sama lain menjadi faktor pendukung kemajuan grup

keroncong ini, tercermin dari komitmen setiap anggota dalam jangka

38
waktu yang panjang demi kemajuan bersama. Semangat dan kerja keras

menjadi bentuk keseriusan pelayanan mereka, motivasi dalam melayani

inilah yang menjadi modal besar untuk terus belajar lebih baik sekaligus

mengembangkan talenta yang telah dipercayakan. Melalui motivasi

melayani ini, anggota grup menjadikan musik keroncong sebagai media

mereka dalam berpelayanan. Sedari awal kesadaran melayani sudah

tertanam dalam komitmen mereka, oleh karena itu tidak ada unsur

paksaan untuk mau ikut serta di dalamnya.

3. Proses pembelajaran

Pembelajaran musik keroncong tidak lepas dari sistem pembelajaran

tradisional, yaitu pembelajaran secara lisan yang berarti diajarkan melalui

tutur kata dari mulut ke mulut atau dengan memperagakan suatu contoh

dengan gerak isyarat dan alat bantu pengingat. Sebagian besar musisi

keroncong memakai metode ini dalam mempelajari musik keroncong

yang diperdalaminya. Pembelajaran musik keroncong ini biasanya


dilakukan oleh seseorang dengan datang kepada orang lain untuk belajar

memainkan instrumen musik keroncong, dalam hal ini biasanya pelatih

memberi contoh cara memainkan instrumen yang kemudian ditirukan

oleh muridnya.10 Kegiatan ini dilakukan secara berulang hingga murid

dapat menguasai permainan instrumen musik keroncong. Selain itu untuk

lebih memperkaya ketrampilanya dalam memainkan instrumen

keroncong, biasanya seseorang tidak hanya belajar kepada satu orang saja,

tetapi mereka belajar dari banyak musisi keroncong yang memiliki

ketrampilan penguasaan instrumen musik yang berbeda-beda. Oleh sebab

itu tidak sedikit pemusik keroncong dapat menguasai berbagai instrumen


10
Masyarakat Jawa mengenalnya sebagai “Kupingan”.

39
musik keroncong yang ada, meski dapat menguasai berbagai macam

instrumen, akan tetapi ada salah satu instrumen yang menjadi spesialisasi

di antaranya.

Proses pembelajaran keroncong di GKJ Sumber pada dasarnya juga

sama seperti pembelajaran pada umumnya, yaitu dalam bentuk

pembelajaran secara lisan (sejauh ini metode pembelajaran kupingan

cukup efisien dalam mengajarkan instrumen keroncong kepada jemaat).

Potensi keberhasilan dalam penguasaan instrumen keroncong tidak hanya

karena mempelajari musik keroncong saja, akan tetapi latar belakang

anggoata grup sebagai pemusik gereja menjadi pengaruh besar di

dalamnya. Dengan demikian mengandalkan bekal ketrampilan musik dari

gereja menjadi salah satu faktor pendukung dalam mempelajari musik

keroncong.

C. PEMANFAATAN KERONCONG

Hadirnya musik keroncong di GKJ Sumber memberi warna baru


khususnya untuk musik yang ada di sana, kehadiran ini juga mendapat

respon positif dari jemaat. Melalui penerimaan yang positif tersebut

membuka ruang untuk pemanfaatan musik keroncong dalam berbagai

kegiatan kerohanian di sana. Berikut ini adalah beberapa bentuk kegiatan

pemanfaatan musik keroncong yang ada di GKJ Sumber.

1. Musik Peribadatan

Gereja Kristen Jawa Sumber termasuk gereja yang konservatif dalam

pemakaian lagu-lagu peribadatannya, akan tetapi pada praktiknya dalam

penggunaan musik peribadatan cukup terbuka. Ini terlihat dari masuknya

musik-musik lain yang juga digunakan dalam peribadatan disana, karena

40
biasanya musik peribadatan di GKJ Sumber menggunakan keyboard. Pada

penelitian ini penulis melihat keroncong hadir sebagai musik baru disana

dan mampu cukup lama bertahan hingga tulisan ini dibuat.

Keroncong sedari awal dibentuk bertujuan untuk memberi warna

baru pada musik peribadatan di GKJ Sumber, oleh karena itu

pemanfaatan musik keroncong yang utama adalah sebagai musik

peribadatan. Melalui respon positif dari jemaat, hingga akhirnya

keroncong mendapat kepercayaan untuk bisa dipakai sebagai musik

peribadatan di sana. Keroncong yang mendapat kepercayaan sebagai

musik peribadatan, dijadwalkan setiap satu bulan sekali pada minggu

terakhir. Penjadwalan sekali dalam satu bulan ini dikarenakan tingkat

kesulitan musik keroncong itu sendiri, sehingga pihak gereja memberikan

jadwal pada minggu terakhir supaya lebih banyak waktu persiapan dalam

berlatih dan mematangkan musiknya.

Persiapan tersebut dimulai oleh seksi acara gereja dengan

memberikan liturgi minggu keempat kepada grup keroncong di awal

bulan. lagu-lagu yang dipakai pada peribadatan minggu ke empat

diberikan kepada Suprapto, untuk dibuatkan aransemen musiknya.

Pemberian materi lagu lebih awal ini juga menguntungkan bagi arranger

karena memiliki banyak waktu untuknya dalam mengaransemen

musiknya. Selain itu rentang waktu yang panjang dalam sebulan juga

memberi kesempatan pemusik untuk mematangkan musiknya.

Keroncong dalam kasus ini digunakan untuk mengiringi jemaat

yang notabene adalah orang banyak, oleh karena itu pada sesi latihan

selain berlatih dengan pemandu pujian, sebagai simulasi dalam

peribadatan mereka berlatih dengan mengiringi paduan suara yang

41
berjumlah lebih dari sepuluh orang. Dengan begitu pemusik keroncong

sedikit banyak mempunyai gambaran ketika bermain dalam peribadatan,

karena mengiringi orang banyak lebih susah dibanding mengiringi solo

vokal, terutama dalam mempertahankan tempo permaianan. Adanya

paduan suara dalam sesi latihan ini memberi keuntungan bagi pemusik

untuk menyesuaikan permainan pada peribadatan nantinya.

Sesi latihan dilaksanakan setiap hari senin malam selama tiga

minggu berturut-turut, minggu pertama dipakai sebagai pengenalan lagu

dan aransemen musiknya, setelah cukup familier dengan lagu dan

aransemen mereka menggabungkan antara vokal dan musiknya. Pada

minggu kedua mereka mencoba memperbaiki lagi kesalahan-kesalahan

dari minggu pertama, sekaligus mematangkan permainan mereka

terkusus pada lagu-lagu yang mempunyai tingkat kesulitan yang lebih

tinggi. Minggu kedua ini setidaknya pemusik dan penyanyi sudah bisa

menguasai seluruh lagu yang akan dibawakan pada minggu keempat.

Pada minggu ketiga pemusik sudah mengusai keseluruhan bagain-

bagaian permainan dari lagu yang dibawakan, oleh karena itu pada

minggu ketiga pemusik tinggal mengulang dan mematangkan permainan

mereka, supaya dalam pelayanan minggu keempat dapat memberikan

hasil yang terbaik. Disela mereka berlatih lagu-lagu peribadatan, diakhir

latihan mereka juga berlatih lagu-lagu keroncong pada umumnya.

Melalui latihan yang terstruktur dengan baik, grup keroncong ini

memperoleh kepercayaan di GKJ Sumber. Selain mengiringi di GKJ

Sumber, seringkali grup ini diminta untuk mengiringi peribadatan di

gereja lain. Diantaranya yaitu GKJ Sabda Winedhar Karanganyar, GKJ

Manahan Surakarta, dan GKJ Kartasura.

42
2. Bidston Pernikahan

Keroncong yang pada awalnya dikususkan sebagai musik

peribadatan mendapat perhatian lain dari jemaat di GKJ Sumber. Jemaat

melihat bahwasanya musik keroncong ini mempunyai potensi yang baik,

oleh karena itu ketika ada pernikahan jemaat GKJ Sumber, sering kali

grup keroncong ini diminta mengisi sebagai musik bidstone11 pernikahan

mereka. Bidstone pernikahan memiliki rangkaian acara yang hampir sama

dengan peribadatan di gereja, meliputi doa, pujian, dan firman. Lagu-lagu

pujian di acara bidstone pernikahan tidak berbeda jauh dengan lagu-lagu

yang dipakai dalam peribadatan, yaitu kidung jemaat, pelengkap kidung

jemaat, madah bakti dan sebagainya.

Sama seperti di peribadatan, keroncong pada acara bidstone

digunakan sebagai musik pengiring lagu pujian jemat. Tetapi pada acara

bidstone lebih santai dibanding dengan acara peribadatan, karena pada

dasarnya acara ini adalah acara syukuran keluarga. Di akhir acara

bidstone ada sesi ramah tamah, di mana tuan rumah menyediakan


hidangan makanan untuk para tamu yang datang. Pada sesi ramah tamah,

keroncong biasanya di minta untuk mengisi sebagai hiburan tamu yang

datang, di mana pada sesi ini basanya tamu-tamu yang datang ikut

menyumbangkan suaranya. Lagu-lagu yang dibawakan juga tidak seperti

lagu-lagu peribadatan, melainkan lagu-lagu rohani kontemporer,

keroncong, pop, dan lain sebagainya.

Sama saperti pada visi misi di awal terbentuknya grup keroncong

ini, di mana keroncong ini dibuat sebagai media pelayanan bukan untuk
11
Bidstone adalah kegiatan hari menjelang pemberkatan pernikahan yang
diselenggarakan dengan kegiatan doa. Kegiatan ini sebagai ungkapan rasa syukur dan
pengharapan untuk kelancaran acara berikutnya. Pada kegiatan ini dilakukan rangkaian
acara seperti pada ibadah secara umum seperti lantunan doa, pujian dan lain sebagainya.
Kegiatan ini bisa dilakukan di gereja atau di rumah penyelenggara.

43
komersil. Meskipun keroncong ini diminta untuk mengisi di acara

syukuran, akan tetapi tidak mematok tarif kepada keluarga yang di

layaninya, karena sudah menjadi komitmen bersama anggota grup.

Walaupun keroncong ini adalah grup musik gereja, tetapi tidak menutup

kemungkinan untung merambah pelayanan diluar gereja. Oleh karena itu,

pemanfaatan musik keroncong ini tidak berhenti pada musik periadatan

saja, melain bisa dipakai untuk kegiatan kerohanian di luar gereja.

3. Siaran Radio

Perkembangan keroncong di GKJ Sumber selain menarik perhatian

dari dalam gereja, juga menarik perhatian dari luar gereja, salah satunya

yaitu Radio Republik Indonesia Surakarta. melihat potensi musik

keroncong di GKJ Sumber, RRI Surakarta meminta keroncong ini untuk

mengisi salah satu program siaran musik rohani di sana, yaitu program

siaran “Nyanyian Suci” yang disiarkan pada hari minggu.

Menanggapi permintaan dari pihak RRI Surakarta, grup keroncong


ini bersedia untuk berpartisipasi dalam siaran radio tersebut, karena

program siaran nyanyian suci ini merupakan program siaran lagu-lagu

rohani Kristen, di mana bisa menjadi media pelayanan baru di luar gereja.

Dalam mebawakan program siaran ini grup keroncong GKJ Sumber

mengisi dengan lagu-lagu yang biasa dimainkan dalam peribadatan dan

lagu-lagu rohani kontemporer, karena pendengarnya adalah khalayak

umum yang notabene bukan dari jemaat GKJ saja, oleh karena itu lagu-

lagunya yang dibawakan juga menyesuakan pada khalayak umum.

Melalui siarana radio ini, membuka ruang pemanfaatan musik

keroncong di luar gereja. Meskipun bukan acara gereja, siaran nyanyian

44
suci ini menjadi salah satu wadah pelayanan anggota grup keroncong ini,

karena pada dasarnya yang di bawakan adalah lagu-lagu rohani Kristen.

Oleh kerena itu persiapannya pun juga dilakukan dengan baik, jauh-jauh

hari sebelum tanggal saran berlangsung.

4. Festival Keroncong Gerejawi

Festival Keroncong Gerejawi atau FKG merupakan salah satu even

musik gereja dari sinode12 GKJ, FKG sendiri bertujuan untuk memperkaya

khasanah musik gerejawi dan menghimpun cara memainkan lagu-lagu

gerejawi dengan irama keroncong dalam rangka mengembangakan

pelayanan peribadahan gereja di lingkungan GKJ. Perhelatan FKG ke-3

dia adakan di purbalingga bertempat di GKJ Purbalingga, yang

berlangsung pada tanggal 5 November 2013. Pada festival yang ke-3 ini

diikuti oleh 10 grup keroncong yang berasal dari GKJ wilayah Jawa

Tengah, Yogyakarta dan Jakarta.

Juri FKG 3 ini terdiri dari pengamat sekaligus musisi keroncong


yang terdiri dari, Saptono berasal dari Yogyakarta, Anton Ismaraton

berasal dari Purwokerto dan Yosep Setiyadi berasal dari Jakarta yang

notabene praktisi sekaligus musisi keroncong. Menurut Saptono sebagai

salah satu juri FKG 3, dalam penjurian untuk pemilihan penampil terbaik

lebih difokuskan pada upaya memperkaya pelayanan peribadatan gereja

di lingkungan GKJ. Dengan begitu bisa mewujudkan keroncong menjadi

salah satu musik yang dapat digunakan sebagai iringan pelayanan ibadah

gerejawi, dan bukan pada aspek pertunjukan. Oleh karena festival

keroncong ini selain sebagai ajang pertunjukan, di sisi lain juga

12
Sinode adalah badan pengurus tertinggi di gereja Protestan.

45
memperkaya perspektif musisi GKJ dalam pemanfaatan musik keroncong

sebagi musik peribadatan.

Hasil dari penjurian FKG 3 yang diikuti oleh 10 gereja ini, pada

penampil terbaik pertama diberikan kepada “Orkes keroncong GKJ

Wonosari”, Gunung Kidul. Penampil terbaik kedua diberikan kepada

“Orkes Keroncong Demak Ijo”, GKJ Demakijo Yogyakarta. Penampil

terbaik ketiga diberikan kepada “Orkes Keroncong Suara Kasih GKJ

Sumber”, Surakarta. Penampil favorit pilihan penonton jatuh pada “Orkes

Keroncong Gloria”, GKJ Wonosobo.

GKJ Sumber dalam mengikuti festival keroncong gereja ini bukan

semata-mata untuk berlomba, melainkan sebagai ajang silaturahmi

dengan musisi-musisi GKJ lainya. Selain itu dengan mengikuti festival ini

juga menambah pengetahaun anggota keroncong di GKJ Sumber, dalam

pengembangan keroncong sebagai musik peribadatan di gereja. Dalam

pembiayaan keikut sertaan di festival ini, grup keroncong GKJ Sumber

melakukanya secara kolektif dari setiap anggotanya, oleh karena itu

festival keroncong gerejawi ini juga bisa menjadi media pelayanan mereka

di luar gereja. (Surat kabar Harian Banyu Mas, Festival Keroncong Gerejawi 3,

https://issuu.com/harmas./docs/harian_banyumas_7_november_2013/8, diakses 10

Februari 2022)

46
BAB IV
PROSES ADAPTASI KERONCONG DALAM
PERIBADATAN GEREJA KRISTEN JAWA SUMBER

Bab ini menjelaskan proses adaptasi musik keroncong sebagai musik

peribadatan di GKJ Sumber, sebagai landasan dalam menguraikan proses

adaptasi ini, penulis memakai konsep adaptasi dari Liliwiri yang

didukung oleh konsep adaptasi Gerungan. Liliweri menyatakan bahwa

adaptasi adalah proses penyesuaian nilai, norma dan pola-pola perilaku

antara dua budaya atau lebih. Jika ada dua atau lebih ras atau etnik

bertemu, maka akan terjadi adaptasi (2005:140). Mengacu pada

pernyataan Liliweri tersebut adaptasi dapat terjadi jika dua atau lebih ras

atau etnik bertemu, dalam kaitanya pada penelitian ini keroncong dan

gereja merupakan dua budaya yang berbeda, keduanya memiliki nilai,

norma, pola-pola yang berbeda dan mengikat. Oleh karena itu untuk

menyatukan keduanya menjadi satu kesatuan diperlukan proses

pengadaptasian

Menguraikan adaptasi tersebut peneliti menerapkan bentuk adaptasi

dari Gerungan, menurutnya adaptasi ini mempunyai dua bentuk yaitu:

(1) Mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, artinya

penyesuaian diri yang autoplastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk). Jadi

penyesuaian diri ini lebih bersifat pasif, di mana kegiatan kita dipengaruhi

oleh lingkungan. (2) Mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan

(keinginan) diri, artinya penyesuaian diri yang aloplastis (alo = yang lain,

plastis = dibentuk). Jadi penyesuaian diri ini lebih bersifat aktif, di mana

kita dapat mempengaruhi lingkungan (1986:55). Mengacu pada

47
pernyataan Gerungan mengenai bentuk penyesuaian diri yaitu autoplastis

dan aloplasti, sebagai dasar acuan dalam menjelaskan adaptasi keroncong

sebagai musik liturgi. Pertama mengacu pada bentuk adaptasi autoplastis

yang menyatakan bahwa untuk dapat menyesuaikan terhadap

lingkungan harus mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan.

Kaitanya dalam penelitian ini, di mana musik keroncong yang hadir

sebagai musik liturgi baru di GKJ Sumber, harus dapat menyesuaikan diri

dengan nilai, norma dan pola-pola yang mengikat di gereja. penyesuaian

tersebut baik dari segi musikal maupun non musikal. Kedua mengacu

pada bentuk adaptasi aloplastis yang menyatakan bahwa dalam

penyesuaian ini lebih bersifat aktif, di mana kita dapat mempengaruhi

lingkungan dalam menyesuakan diri. Kaitannya dalam penelitian ini di

mana dalam peribadatan yang menggunakan musik keroncong dianggap

memberi pengaruh yang berbeda jika dibandingan dengan musik lain,

contoh kasus di GKJ Sumber yaitu musik organ atau piano. Nuansa

peribadatan yang dihasilkan akan berbeda, tentu ini dipengaruhi oleh

musik yang di pakai pada saat itu.

Gambar 1. Siklus adaptasi.

48
Siklus adaptasi tersebut di atas merupakan bentuk dari adaptasi

yang di nyatakan oleh Gerungan. Dalam kaitanya penelitian ini,

keroncong sebagai subjek adaptasi yang melakukan bentuk penyesuaian

diri terhadap Gereja sebagai objek adaptasi. Pembahasan mengenai

keroncong di GKJ Sumber diulas menjadi dua macam adaptasi, yaitu:

adaptasi dari segi musikal dan segi non musikal.

A. Adaptasi Musikal

Adaptasi musikal merupakan bentuk penyesuaian musik keroncog

dengan musik litugri di GKJ Sumber. Dalam penelitian ini terdapat dua

nyanyian liturgi dalam peribadatan di GKJ Sumber, yaitu nyanyian

ordinarium dan proprium. Dengan berlandaskan dua nyanyian tersebut

penulis mengambil beberapa contoh lagu yang dipakai dalam peribadatan

di GKJ Sumber sebagai bahan analisis musik pada penelitian ini.

Sebagai orang yang dipercaya untuk membuat aransemen

keroncong dalam peribadatan di GKJ Sumber, arranger menerapakan


pengetahuan musiknya sebagai landasan awal dalam pembuatan

aransemen keroncong yang sesuai dengan peribadatan di sana. Beberapa

apek yang masuk dalam pembuatan aransemen musik keroncong antara

lain yaitu: Pemilihan tangga nada, pembuatan intro, Interlude, Koda dan

Pola Permainan.

Pertama adalah pemilihan tangga nada, dalam mengirngi musik

untuk nyanyian peribadatan ini menjadi salah satu hal yang fundamental,

pemilihan tangga nada yang tepat akan membantu kenyamanan jemat

dalam menyanyikan lagu. Menentukan tangga nada untuk mengiringi

peribadatan gereja dibandingkan dengan mengiringi solo vokal tentu

49
akan berbeda, pada kasus peribadatan di gereja berisi campuran orang

yang bisa bernyanyi dengan baik dan kurang baik. Oleh karena itu jika

dirasa tangga nada yang disertakan dalam lagu tidak dapat dinyanyikan

dengan baik, karena faktor tangga nada yang terlalu tinggi untuk

dinyanyikan para penyanyi. Maka untuk menyesuaikan nada dengan

rata-rata kemampuan penyanyi perlu dilakukan perubahan tangga nada

dalam sebuah lagu demi tercapainya kenyamanan dalam bernyanyi. Maka

dari itu dalam pemilihan tangga nada pada sebuah lagu dapat diturunkan

1 sampai 2 laras dari tangga nada aslinya. Akan tetapi tidak semua lagu

harus diturunkan tangga nadanya dari nada aslinya, jika lagu yang

dibawakan antara nada terendah dan tertinggi sekiranya dapat

dinyanyikan dengan baik, maka lagu tersebut dapat juga dimainkan

dengan menggunakan tangga nada aslinya dan tidak perlu menurunkan

tangga nadanya.

Sebagai contoh dalam menurunkan tangga nada, jika pada lagu asli

menggunakan tangga nada G mayor, jika diturunkan 1 laras dari nada

aslinya akan menjadi nada F mayor, jika diturunkan 2 laras maka akan

menjadi nada Es mayor. Jika saat menurunkan nada jatuh pada nada yang

memiliki kress atau mol biasanya tidak digunakan, lebih baik memakai

alternatif lain, dengan menaikkan setengah atau menurunkan setengah

laras lagi. Seperti tangga nada G yang di turunkan 2 laras menjadi Es,

dalam hal ini arranger akan lebih memilih tangga nada E daripada nada

Es, yaitu hanya diturunkan 1 ½ laras saja. Disisi lain dengan menurunkan

tangga nada juga bertujuan untuk tidak mempersulit pemain musik juga

dalam memainkan instrumen musiknya.

50
Kedua dalah pembuatan Intro, Fungsi intro sendiri untuk menuntun

jemaat dalam menyanyikan lagu pada kalimat pertamanya. Intro juga

dapat menjadi gambaran lagu yang dibawakan oleh pemusik, oleh karena

itu intro untuk musik ibadat harus jelas dan mudah dimengerti oleh

jemaat. Dari segi tempo dan birama sebaiknya juga sama dengan lagu,

untuk melodi pada intro sebaiknya diambilkan dari bagian lagu juga,

yang biasanya dari ekor lagu yang akan dibawakan dan dapat

ditambahakn notasi sebagai tanda jemaat untuk memulai bernyanyi.

Dengan mengambil dari bagian lagu tersebut akan menstimulus jemat

untuk mengerti bagaian dari lagu yang dibawakan, dengan begitu jemaat

tidak akan merasa kebingungan

Ketiga adalah pembuatan Interude, dalam nyanyian peribadatan

biasanya tidak hanya dinyanyikan sekali saja melainkan bisa diulang

hingga dua sampai tiga kali, ini bergantung pada jumlah bait lagu dan

kesepakatan dari pemimpin pujian. Untuk itu interlude dipakai di antara

bait satu dengan bait yang lainya sebagai musik antara, dan dapat

menjadi pertolongan bagi jemaat untuk mempunyai kesempatan untuk

bernafas, Sehingga jemaat dalam bernyanyi tidak terengah-engah dan

kecapaian dalam menyanyikan lagu yang terdiri atas beberapa bait

tersebut. Untuk durasi interlude sendiri sebaiknya juga tidak terlalu lama

agar jemaat tidak jemu menunggu, interlude juga bukan kesempatan

untuk unjuk kebolehan di depan jemaat dalam memainkan instrumen

musik. Interlude yang panjang akan menambah durasi dari peribadatan

itu sendiri menjadi lebih lama. Dalam pemilihan interlude sebaiknya juga

diambilkan dari bagian lagu, bukan diambilkan dari lagu lain, sehingga

tidak membuat bingung jemaat. Untuk notasi interlude biasanya

51
mengambil dari ekor lagu yang dibawakan. Interlude keroncong dalam

iringan musik di GKJ Sumber biasanya disamakan dengan intro, dengan

menggunakan interlude yang sama dengan intro tersebut bertujuan agar

tidak membingungkan jemaat dalam kembali bernyanyi.

Keempat adalah pembuatan koda, untuk mengakhiri satu sajian lagu

biasanaya akan diberikan koda, dalam pembuatan koda keroncong di GKJ

Sumber biasanya lebih simpel dan tidak bertele-tele. Koda yang panjang

juga akan membuat jenuh dan menambah durasi dalam peribadatan, oleh

karena itu biasanya koda berupa melodi-melodi yang sederhana.

Kelima adalah pemilihan pola permainan, pada keroncong secara

umum memiliki pola permainan dasar atau biasa disebut dengan pola

permainan engkel dan pola permainan rangkap atau biasa di sebut

dengan pola permaian dobel. Pola permainan tersebut digunakan pada

lagu-lagu keroncong pada umumnya yaitu Keroncong Asli, Langgam

Keroncong dan Stambul yang notabene memakai sukat 4/4. Pada kasus

peribadatan di GKJ Sumber, dalam menentukan pemilihan pola

permainan tersebut ditentukan oleh tempo dan sukat pada lagu yang

akan dimainkan. Pada lagu yang mempunyai tempo lambat biasanya

digunakan pola permainan engkel tetapi untuk tempo yang lebih cepat

digunakan pola permainan dobel, atau bisa keduanya dalam satu lagu

dengan catatan bahwa lagu tersebut memiliki sukat 4/4.

Menjadi menarik dalam penelitian ini dijumpai lagu-lagu yang

dipakai dalam peribadatan di GKJ Sumber juga menggunakan sukat 3/4

dan 9/8. Oleh karena itu perlu adanya penyesuaian pola permainan

keroncong khusus dalam memainkan lagu-lagu yang menggunakan sukat

tersebut. Dalam hal ini keroncong sebagai musik pengiring nyanyian

52
jemaat, untuk permainannya harus menyesuaikan dengan lagu-lagu yang

ada dalam peribadatan. Oleh karena itu para pemain membuat pola

permainan keroncong sendiri yang sesuai dengan lagu-lagu yang

memiliki sukat 3/4 dan 9/8. Dengan begitu tidak memaksakan

memainkan lagu yang memiliki sukat 3/4 dan 9/8 dengan pola

permainan 4/4.

Berikut ini adalah notasi pola permainan engkel, dalam instrumen

keroncong Cak, Cuk, Cello, Gitar dan Bass.

Gambar 2 Notasi pola permainan keroncong engkel.

53
Notasi pola permainan keroncong engkel yang telah disampaikan

sebelumnya dimainkan dalam progresi akor I - I V - V – I dan sukat 4/4.

Pada praktiknya di lapangan setiap pemain mempunyai gaya permainan

sendiri dalam memainkan setiap instrumen musik, di mana gaya

permainan seorang pemain dengan pemain yang lainnya berbeda dan

mempunyai bentuk variasi permainan yang berbeda. Oleh karena itu

notasi tersebut tidak dijadikan sebagai patokan, melainkan salah satu

contoh gaya permainan engkel dalam keroncong.

Gambar 3 Notasi pola permainan keroncong dobel.

Notasi di atas adalah bentuk pola permainan keroncong dobel,

dalam instrument keroncong cak, cuk, cello, gitar dan bas. Dengan

progresi akor I - I V - V – I dan sukat 4/4. Seperti irama engkel

sebelumnya, di mana gaya permainan seorang pemain dengan pemain

54
yang lainya juga berbeda, dan mempunyai bentuk variasi permainan yang

berbeda. Oleh karena itu notasi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai

patokan, melainkan salah satu contoh gaya permainan dobel dalam

keroncong.

Gambar 4. Notasi pola permainan keroncong ¾.

Notasi di atas adalah bentuk pola permainan keroncong pada sukat

3/4, dalam instrumen keroncong cak, cuk, cello, gitar dan bas. Dengan

progresi akor I - I V - V – I. Pola permainan ini tidak terdapat di

keroncong pada umumnya, melainkan para pemain keroncong di GKJ

55
Sumber mencoba berinisiatif untuk mengembangkan dari pola permainan

engkel dari sukat 4/4 dengan menyederhanakan-nya dan menjadikan

bentuk pola 3/4. Dengan begitu para pemain masih dapat memainkan

lagu-lagu yang memiliki sukat 3/4 tanpa merubah dan tidak memaksakan

pada permaianan engkel di sukat 4/4. Salah satu contoh lagu yang

menggunakan sukat 3/4 yaitu dari Kidung Jemaat No.84 “Ya Yesus,

Dikau Kurindukan”13, dipakai pada peribadatan tanggal 29 November

2020.

Gambar 5 Notasi pola permainan keroncong 9/8.

Notasi di atas adalah bentuk pola permainan keroncong pada sukat

9/8, dalam instrument keroncong cak, cuk, cello, gitar dan bas. Dengan

progresi akor I - I V - V – I. Seperti pola permainan 3/4, pola permainan

ini tidak terdapat di keroncong pada umumnya, melainkan para pemain


13
Notasi lagu Ya Yesus Dikau Kurindukan ditaruh pada lampiran tulisan ini
halaman 97.

56
keroncong di GKJ Sumber mencoba berinisiatif untuk mengembangkan

kembali dari pola permainan 3/4 dengan menjadikan bentuk pola 9/8.

Berlandaskan pada kelima aspek tersebut kemudian arranger

membuat musiknya yang sedemikian rupa, dengan menyesuaikan pada

lagu dan tema lagu yang akan dibawakan. Salah satu contoh lagu yang

menggunakan sukat 9/8 yaitu dari Pelengkap Kidung Jemaat No.289

“Keluarga Hidup Indah”14, dipakai pada peribadatan tanggal 25 Oktober

2020.

Dalam menganalisis bentuk adaptasi musik keroncong di GKJ

Sumber, penulis mengambil beberapa sampel lagu dari liturgi

peribadatan. Lagu-lagu tersebut di ambil dari salah satu upacara

peribadatan di GKJ Sumber pada saat menggunakan keroncong, yaitu

pada tanggal 27 Maret 2022. Dari satu rangkaian peribadatan tersebut

terdapat beberapa lagu, kemudian penulis mengkategorisasi lagu-lagu

tersebut menjadi dua kelompok nyanyian, yang terdiri dari nyanyian

ordinarium dan nyanyian proprium. Setalah mengelompokan lagunya,

kemudian penulis mengambil beberapa sampel dari masing-masing

kelompok nyanyian tersebut sebagai bahan analisis musiknya.

1. Analisis Musik Nyanyian Ordinarium

Nyanyian ordinarium merupakan nyanyian yang selalu dipakai

dalam setiap peribadatan di GKJ Sumber, pada satu rangkaian

peribadatan di GKJ Sumber terdapat dua nyanyian ordinarium yang

selalu di bawakan, yang pertama nyanyian untuk merespon votum yaitu

“Amin” dan yang kedua nyanyian untuk merespon pembacaan firman

14
Notasi lagu Keluarga Hidup Indah ditaruh pada lampiran tulisan ini halaman
98.

57
Tuhan yaitu “Haleluya”. Lagu-lagu yang dipakai dari nyanyian tersebut

diambil dari buku nyanyian yang dipakai dalam peribadatan di GKJ.

Gambar 6 Notasi lagu Amin, KJ 478b.

Pertama, lagu “Amin” yang digunakan sebagai respon votum, lagu

tersebut diambil dari Kidung Jemaat No.478b. Lagu Amin dalam lagu

aslinya menggunakan sukat 2/4. Ketika dimainkan dalam iringan

keroncong, ini menjadi tantangan bagi pemusik disana, karena sulitnya

untuk membuat irama keroncong yang baik dalam memainkan lagu ini.

Oleh karena itu untuk mengatasi permasalahan ini, Arranger

merekonstruksi ulang lagu tersebut dengan mengubah sukat dan nilai

notasi dari lagu tersebut dengan menyelaraskan pada irama keroncong.

Meskipun dilakukan beberapa perubahan pada konstruksi lagu, akan

tetapi masih mempertahankan nada asli lagunya.

Lagu Amin tergolong lagu yang pendek terdiri dari 4 birama,

dengan mempertimbangkan faktor tersebut memungkinkan arranger

untuk merekonstruksi lagu tersebut. Dengan tujuan ketika lagu ini

dinyanyikan, akan menghasilkan perpaduan antara penyanyi dan

pemusik yang lebih baik. Hasil dari rekonstruksi lagu Amin adalah

sebagai berikut.

58
Gambar 7 Notasi Lagu Amin baru.

Lagu Amin yang telah direkonstruksi tersebut, semula

menggunakan sukat 2/4 kemudian diubah menjadi sukat 4/4, serta

penempatan notasi dan nilai notasi yang berbeda dari lagu aslinya dengan

menyesuaikan irama keroncong. Dalam merekonstruksi lagu tersebut,

masih mempertahankan unsur lagu yang tidak boleh diganti, yaitu nada

pada lagu tersebut. Oleh karena itu nada pada setiap notasi di lagu

tersebut masih tetap apa adanya, dengan mempertahankan nada asli ini,

bertujuan agar tidak membingungkan jemaat dalam bernyanyi.

Dengan disesuaikannya lagu tersebut, memungkinkan para pemusik

keroncong untuk memainkan musiknya dengan menghasilkan irama

keroncong yang lebih baik dari sebelumnya. Berikut ini adalah notasi lagu

Amin yang telah disesuaikan dalam permainan keroncong.

59
60
Gambar 8 Notasi keroncong lagu Amin.

61
Setelah lagu Amin dalam versi baru tersebut dimengerti oleh

pemandu pujian, kemudian pemusik memutuskan untuk menggunakan

pola permainan yang tepat untuk mengiringi lagu tersebut. Karena lagu

tersebut menggunakan sukat 4/4 maka dipakailah pola permainan

engkel, yang lebih berkesan tidak terlalu cepat dan diharapkan dapat

memunculkan nuansa khidmat dari musiknya. Dalam pembuatan

aransemen musiknya, diberi intro dengan mengambil melodi dari dua

teks amin terakhir. Meski telah dibantu oleh pemandu pujian yang

notabene telah menguasai lagunya, tetapi untuk memberi pengertian awal

kepada jemaat adanya perubahan pada lagu tersebut, terdapat perbedaan

dari yang biasa dinyanyikan dalam peribadatan yang lain15.

Dengan demikian melalui intro dari lagu amin tersebut bisa

memberi gambaran lagu Amin versi baru kepada jemaat, sehingga jemaat

tidak lagi merasa kebingungan untuk menyanyikan lagu Amin yang telah

direkontruksi tersebut. Ditambah lagi dengan bantuan paduan suara dari

penyanyi keroncong yang banyak, sehingga jemaat dapat mengikuti lagu

tersebut dengan baik. Untuk mengakhiri lagu, pada notasi melodi Amin

terakhir dibuat Ritardando16. Tujuan diberinya Ritardindo yaitu untuk

memperlambat tempo pada perhentian lagu, sehingga tidak terkesan

terlalu terburu buru dan lebih lembut.

Meskipun lagu ini telah diubah sedemikian rupa, tetapi tidak

menghilangkan esensi dari lagu tersebut. Menurut pandangan penulis, ini

merupakan salah satu bentuk adaptasi lagu gereja supaya sesuai untuk

dimainkan dengan iringan keroncong.

15
Peribadatan yang lain dimaksud adalah peribadatan yang tidak menggunakan
musik keroncong, atau peribadatan pada umumnya yang menggunakan keyboard.
16
Ritardando adalah penurunan tempo atau menjadi lambat secara bertahap.

62
Gambar 9 Notasi lagu Haleluya KJ 473b.

Kedua adalah lagu Haleluya, lagu ini sebagai respon jemaat pada

pembacaan firman Tuhan oleh pelayan firman. Lagu Haleluya diambil

dari Kidung Jemaat 473b, lagu tersebut menggunakan sukat 4/4 dan

tergolong lagu pendek yang terdiri dari 5 birama. Secara permainan

keroncong, lagu tersebut masih dapat dimainkan dengan baik. Akan

tetapi ketika lagu tersebut dinyanyikan menggunakan iringan keroncong

sesuai notasi aslinya, dirasa ada yang mengganjal karena terdapat tanda

perhentian di tengah birama, yaitu terdapat tanda istirahat dengan nilai

not 1/4 pada ketukan ketiga birama dua dan tiga. Oleh karena itu dibuat

notasi baru dengan mengganti tanda istirahat pada birama kedua dan tiga

dengan memperpanjang nada sebelumnya, yang bermula dari 1/4

menjadi 1/2, untuk bentuk notasinya sebagai berikut.

Gambar 10 Notasi lagu Haleluya KJ 473b dengan penyesuaian.

Perubahan kecil pada lagu tersebut tersebut, dimaksud untuk

menyesuaikan antara penyanyi dengan musik keroncong, yang

diharapkan dapat mewujudkan musik yang lebih baik dalam iringan

keroncong. Dengan tidak bermaksud untuk mengurangi esensi dari lagu

63
tersebut sebagai mana adanya. Berikut adalah notasi lagu Haleluya dalam

permainan keroncong.

64
Gambar 11 Notasi keroncong lagu haleluya.

65
Tidak seperti pada lagu Amin sebelumnya, lagu Haleluya ini lebih

sedikit penyesuaian dalam pembuatan musik keroncongnya, dikarenakan

dari kontruksi lagunya sendiri memungkinkan untuk dimainkan dalam

irama keroncong. Karena lagu tersebut menggunakan sukat 4/4 maka

dipakailah pola permainan engkel, yang lebih berkesan tidak terlalu cepat

dan diharapkan dapat memunculkan nuansa khidmat dari musiknya.

Dalam pembuatan aransemen musiknya, intro dibuat dengan mengambil

melodi dari teks Haleluya terakhir. Meski lagu ini selalu dinyanyikan

dalam setiap peribadatan, intro tersebut merupakan gambaran awal

kepada jemaat untuk lagu yang akan dinyanyikan dan mempermudah

jemaat untuk mulai menyanyikan lagunya. Pada akhir lagu terdapat

tambahan satu birama, yaitu pada birama ke delapan dengan notasi satu

ketuk yang bernilai 1/4, yang diwujudkan dalam akord tonika dan

dimainkan secara unisono17 sebagai penutup dari lagu tersebut. Dengan

begitu musik akan berhenti secara bersama dan terlihat kompak dalam

mengiringi jemaat.

2. Analisis Musik Nyanyian Proprium

Selain nyanyian ordinarium dalam liturgi GKJ Sumber juga terdiri

dari nyanyian proprium, yaitu nyanyian yang syair lagunya tidak tetap.

Dalam artian dalam setiap satu rangkaian upacara peribadatan, yang

tergolong dalam nyanyian proprium lagunya akan berubah-ubah dengan

menyesuakan pada tema peribadatan hari itu. Meskipun lagunya

berubah-ubah, dalam liturgi GKJ Sumber setiap lagu yang dipakai

17
Unisono adalah teknik bernyanyi atau memainkan instrument musik dengan
nada yang sama dalam satu oktaf

66
diperibadatan mempunyai tema dan maksud dalam setiap lagunya.

Dalam liturgi GKJ Sumber yang tergolong nyanyian Proprium di

antaranya adalah nyayian Pembuka, nyanyian Penyembahan, nyanyian

Penyesalan Dosa, nyanyian Kesanggupan, nyanyian Persembahan,

nyanyian Pengutusan dan nyanyian Penutup18.

Sebagai bahan analisis musik, penulis menggunakan lagu-lagu yang

dipakai dalam peribadatan di GKJ Sumber pada tanggal 27 Maret 2022.

Penulis mengambil tiga sampel lagu dari peribadatan tersebut, dengan

berbagai pertimbangan. Lagu yang dijadikan sebagai bahan analisis

antara lain yaitu: lagu “Mulia Mulia NamaNya, PKJ No.2” sebagai

nyanyian Pembuka; lagu “Bila Kurenung Dosaku, PKJ No.37” sebagai

nyanyian Penyesalan Dosa; dan lagu “Bawalah Persembahan, MB

No.228”. Penulis mengambil lagu-lagu tersebut dikarenakan mempunyai

karakteristik yang khas dan berbeda-beda dalam musiknya, serta tema-

tema yang berbeda antara lagu satu dan lainya.

a. Mulia Mulia NamaNya

Nyanyian pembuka merupakan nyanyian pertama yang terletak

pada awal ibadah, untuk nuansa yang dibangaun dari musiknya lebih

pada nuansa khidmat. Pada pembahasaan ini nyanyian pembuka di ambil

dari Pelengkap Kidung Jemat, No.2 “Mulia Mulia NamaNya, syair dan

tema pada lagu ini dimaknai oleh jemaat untuk mempersiapakan

peribadatan dan menjadi panggilan beribadah. Di mana pada saat itu

jemaat sedang dihimpun dan mengharapkan kehadiran Tuhan melalui

lagu tersebut.

18
Untuk penjelasan nyanyian yang tergolong dalam properium, dapat dilihat
kembali pada BAB II dalam pembahasan nyanyian properium.

67
Gambar 12 Notasi Lagu Mulia Mulia NamaNya.

68
Lagu Mulia Mulia NamaNya yang dipakai sebagai nyanyian

Pembuka menggunakan tangga nada G sebagai nada tonika atau biasa

disebut sebagai nada dasar, lagu ini menggunakan tangga nada Diatonis

(Mayor). Lagu ini menggunakan sukat 4/4 dan Jumlah keseluruhan

birama pada lagu ini adalah 31 birama, tidak termasuk intro dan koda.

Dari lagunya yang menggunakan sukat 4/4 dimungkinkan untuk

dimainkan dengan irama keroncong.

Pembuatan aransemen musik dari lagu ini berlandaskan lima aspek

yang telah dijelaskan sebelumnya. Tahap pertama yaitu pemilihan tangga

nada, pada lagu Mulia Mulia NamaNya untuk pemilihan tangga nada

masih tetap menggunakan tangga nada aslinya yaitu tangga nada G,

setelah tangga nada didapatkan kemudian masuk pada tahap berikutnya.

Tahap kedua yaitu pembuatan intro lagu, dalam pembuatan intro

diambilkan dari ekor lagu yaitu melodi empat birama terakhir. Selain

menggunkan melodi lagu, ditambah beberapa notasi yang bertujuan

sebagai jembatan jemaat untuk mulai bernyanyi. Tahap ketiga yaitu

pembuatan interlude, karena pada lagu ini hanya terdiri dari satu bait dan

dimainkan sekali saja serta tidak ada pengulangan, maka tidak

menggunakan interlude. Tahap keempat yaitu pembuatan koda, koda pada

lagu ini cukup sederhana dengan mengubah akord pada akhir lagu yang

seharusnya jatuh pada akord tonika, oleh arranger dibuat menjadi jatuh

pada akor subdominan selama satu birama dan setelah nya beralih pada

akod tonika di birama terakhir untuk mengakhiri lagu. Tahap kelima

adalah pemilihan pola permainan, dalam pola permaianan keroncong ini

akan sangat berpengaruh besar pada nuansa yang dibangun musiknya.

Berdasarkan dari sukat lagu 4/4, dapat dimungkiankan untuk

69
menggunakan pola permaianan engkel ataupun dobel pada lagu ini.

Akan tetapi dalam lagu tersebut memilih memakai pola permainan engkel

dengan penggunaan tempo Lento yang notabene adalah tempo lambat,

dengan pemilihan pola permainan engkel dengan tempo lambat

diharapkan dapat menjaga tempo yang lebih konsisten dan memunculkan

nuansa khidmat dari musiknya. Karena berdasarkan pada nyanyian

pembaka musik harus bernuansa khidmad, maka dipilihlah pola

permainan engkel pada lagu ini. 19

b. Bila Kurenung Dosaku

Nyanyian Penyesalah Dosa merupakan nyanyian yang terletak pada

sesi pengakuan dosa dalam liturgi di GKJ Sumber, untuk nuansa yang

dibangaun dari lagu dan musiknya lebih pada nuansa syahdu dan lembut,

sehingga suasana yang terbangun dapat mengahantarkan jemaat untuk

mengoreksi diri. Pada pembahasaan ini nyanyian Penyesalan Dosa

diambil dari Pelengkap Kidung Jemat, No.37 “Bila Kurenung Dosaku”,


syair dan tema pada lagu ini dimaknai sebagai bentuk ungkapan diri atas

penyesalan dosa-dosa yang telah dilakukan baik disengaja ataupun tidak

disengaja dan sebagai pengingat apakah hidup yang telah dijalani selama

ini sudah baik di mata Tuhan.

19
Notasi keroncong lagu Mulia Mulia NamaNya berada di lampiran halaman 99-
105.

70
71
Gambar 13 Notasi Lagu Bila Kurenung Dosaku.

Lagu Bila Kurenung Dosaku yang dipakai sebagai nyanyian

Penyesalan Dosa menggunakan tangga nada G sebagai nada tonika atau


biasa disebut sebagai nada dasar, lagu ini menggunakan tangga nada

Diatonis (Mayor). Lagu ini menggunakan sukat 4/4 dan Jumlah

keseluruhan birama pada lagu ini adalah 23 birama , tidak termasuk intro

dan koda, lagu ini terdiri dari dua bait. Dari lagunya yang menggunakan

sukat 4/4 dimungkinkan untuk dimainkan dengan irama keroncong.

Pembuatan aransemen musik dari lagu ini berlandaskan lima aspek

yang telah dijelaskan sebelumnya. Tahap pertama yaitu pemilihan tangga

nada, pada lagu Bila Kurenung Dosaku untuk pemilihan tangga nada

masih tetap menggunakan tangga nada aslinya yaitu tangga nada G,

setelah tangga nada didapatkan kemudian masuk pada tahap berikutnya.

72
Tahap kedua yaitu pembuatan intro lagu, dalam pembuatan intro

diambilkan dari ekor lagu yaitu melodi empat birama terakhir kemudian

masuk pada bait pertama. Tahap ketiga yaitu pembuatan interlude, karena

pada lagu ini terdiri dari dua bait, maka terdapat interlude pada lagu ini

sebagai jeda peralihan bait pertama dan kedua. Untuk interlude pada lagu

ini disamakan dengan intro, tujuanya agar mudah dimengerti oleh jemat.

Tahap keempat yaitu pembuatan koda, koda pada lagu ini juga sederhana

terdiri dari dua birama dengan progresi akord Subdominan ke Akord

Subdominan (Minor), dan pada birama terakhir kembali ke akord Tonika

sebagai penutup. Tahap kelima adalah pemilihan pola permainan, dalam

pola permaianan keroncong ini akan sangat berpengaruh besar pada

nuansa yang dimunculkan musiknya. Berdasarkan dari sukat lagu 4/4,

dapat dimungkiankan untuk menggunakan pola permaianan engkel

ataupun dobel pada lagu ini. Akan tetapi dalam lagu tersebut memilih

memakai pola permainan engkel dengan tempo Lento, supaya tempo

dapat lebih stabil dan tidak menurun di tengah permainan, selain itu

tempo yang lambat dianggap bisa menghadirkan nuansa lembut dan

syahdu dari musiknya. Karena berdasarkan pada nyanyian Penyesalan

Dosa musik harus bernuansa lembut dan syahdu, maka dipilihlah pola

permainan engkel pada lagu ini.

Sebagai catatan dari penulis, menurut asumsi penulis dari lagu ini

masih dapat diolah kembali dari segi pola permainan, karena melodi dari

lagu ini terkesan monoton dengan frase musik yang hampir sama antara

satu dan lainya. Selain itu lagu ini terdiri dari dua bait, jika dimainkan

dalam pola permainan yang sama akan terasa menjenuhkan, oleh karena

itu penulis mencoba merekayasa kembali pola permainan pada lagu ini.

73
Menurut rekayasa penulis, pada intro dan interlude lagu ini bisa

dimainkan dengan pola permainan klasik, kemudian setelah masuk bait

pertaman dan kedua baru beralih pada pola permainan engkel. Dengan

mengubah pola permainan engkel menjadi pola permainan klasik pada

intro dan interlude lagu ini, akan lebih bisa menghadirkan nuansa syahdu

di lagu ini, selain itu bisa menjadi variasi pada musiknya dan terkesan

tidak monoton20. Berikut ini adalah notasi pola permainan keroncong

klasik, dalam instrumen cak, cuk, cello, gitar dan bas. Dengan progresi

akor I - I V - V – I dan sukat 4/4.

Gambar 14 Notasi pola permainan keroncong klasik.

20
Notasi keroncong lagu Bila Kurenung Dosaku berada di lampiran halaman
106-113.

74
c. Bawalah Persembahan

Nyanyian Persembahan merupakan nyanyian yang terletak pada

sesi Persembahan dalam liturgi di GKJ Sumber, untuk nuansa yang

dibangaun dari lagu dan musiknya lebih pada nuansa ceria dan sukacita,

sehingga suasana yang terbangun bisa mewakili ekspresi dari rasa syukur.

Pada pembahasaan ini nyanyian Persembahan diambil dari Madah Bakti,

No.228 “Bawalah Persembahan”, syair dan tema pada lagu ini bentuk

ucapan syukur atas berkat yang telah diterima dari Tuhan.

75
Gambar 15 Notasi Lagu Bawalah Persembahan.

Lagu Bawalah Persembahan yang dipakai sebagai nyanyian

Persembahan menggunakan tangga nada G sebagai nada tonika atau

biasa disebut sebagai nada dasar, lagu ini menggunakan tangga nada

Diatonis (Mayor). Lagu ini menggunakan sukat 4/4 dan Jumlah

keseluruhan birama pada lagu ini adalah 32 birama, tidak termasuk intro

76
dan koda. Dari lagunya yang menggunakan sukat 4/4 dan bentuk

lagunya sama seperti langgam keroncong dengan kalimat musik A-A’-B-

A’, sehingga sangat mendukung sekali untuk dimainkan dengan irama

keroncong.

Pembuatan aransemen musik dari lagu ini berlandaskan lima aspek

yang telah dijelaskan sebelumnya, selain itu karna lagu ini sama seperti

langgam keroncong untuk bentuk aransemenya juga mengacu pada

langgam keroncong. Tahap pertama yaitu pemilihan tangga nada, pada

lagu Bawalah Persembahan untuk pemilihan tangga nada masih tetap

menggunakan tangga nada aslinya yaitu tangga nada G, setelah tangga

nada didapatkan kemudian masuk pada tahap berikutnya. Tahap kedua

yaitu pembuatan intro lagu, secara umum intro langgam keroncong

mengambil melodi empat birama terakhir, pada intro lagu ini juga di

ambil dari empat birama terakhir, kerena tidak teralalu panjang. Tahap

ketiga yaitu pembuatan interlude, secara umum interlude pada langgam

keroncong mengambil dari satu kalimat musik dari lagunya, biasanya

interlude dari kalimat A’ yang dimainkan oleh biola dan flute secara

bergantian, kemudian vokal masuk lagi pada kalimat B-A’. Tetapi dalam

aransemen keroncong GKJ Sumber pada lagu ini tidak menggunakan

interlude karena tidak ada pengulangan dan hanya dinyanyikan satu bait

saja, karena jika disamakan dengan langgam keroncong dengan

permainan instrumental selama satu kalimat sebagai interlude, akan

membuat jenuh jemaat dan tidak sesuai dalam peribadatan. Tahap keempat

yaitu pembuatan koda, koda pada lagu ini sama seperti dengan kodapada

langgam keroncong, yiatu terdiri dari pergerakan akord Subdominan –

akor Domianan - Akord Tonika sebagai penutup. Tahap kelima adalah

77
pemilihan pola permainan, dalam pola permaianan keroncong ini akan

sangat berpengaruh besar pada nuansa yang dimunculkan musiknya.

Berdasarkan dari sukat lagu 4/4, dapat dimungkiankan untuk

menggunakan pola permaianan engkel ataupun dobel pada lagu ini.

Akan tetapi dalam lagu tersebut memakai pola permainan engkel dengan

mempercepat tempo permaianan, oleh karean itu pada lagu ini keroncong

dimainkan dengan tempo Adagio, penggunaan tempo Adagio untuk

membuat musik yang lebih cepat dari lagu lain yang menggunakan tempo

Lento meskipun Adagio masih tergolong dalam tempo lambat. Dengan

sedikit mempercepat tempo pola permainan engkel akan menghadirkan

nuansa yang ceria pada musiknya. Karena berdasarkan pada nyanyian

Persembahan musik harus bernuansa ceria, maka dipilihlah pola

permainan engkel dengan mempercepat temponya.

Sebagai catatan dari penulis sama seperti nyanyian Penyesalan Dosa

sebelumnya, menurut asumsi penulis dari lagu ini masih dapat diolah

kembali dari segi pola permainan, meskipun sudah mempercepat tempo

pada musiknya, akan tetapi jika dimainkan dalam pola permainan yang

sama akan terasa menjenuhkan, oleh karena itu penulis mencoba

merekayasa kembali pola permainan pada lagu ini. Menurut rekayasa

penulis pada reffrain atau kalimat B pada lagu ini bisa diubah menjadi

pola permainan dobel, kemudian ketika masuk pada kalimat A’ kembali

pada pola permanian engkel lagi. Dengan mengubah pola permainan

engkel menjadi pola permainan dobel pada lagu ini, bisa lebih

membangun nuansa ceria di lagu ini, selain itu bisa menjadi variasi pada

musiknya dan terkesan tidak monoton21.

21
Notasi keroncong lagu Bawalah Persembahan berada di lampiran halaman 114-1122.

78
B. Adaptasi Non Musikal

Adaptasi Keroncong dalam peribadatan di GKJ Sumber, tidak hanya

pada aspek musikal, melainkan juga pada aspek non musikal. Bentuk

adaptasi non musikal ini lebih pada penyesuaian manusianya terhadap

nilai-nilai dan norma dalam bergereja. Meski sebagai anggota gereja di

GKJ Sumber, beberpa pemain keroncong juga ada yang ikut serta bermain

keroncong diluar gereja sebagai pemusik sekuler. Oleh karena itu untuk

tetap bisa menjaga kemurnian dalam pelayanannya di gereja, harus

menanggalkan unsur-unsur keduniawian dengan menyelaraskan apa

yang ada dalam gereja, dengan begitu pelayananya akan layak dihadapan

Tuhan.

Adaptasi non musikal pada pembahasan ini terdiri dari beberapa

aspek penyesuaian, yang meliputi: Penyesuaian Motivasi, Penyesuaian

Etika dan Penyesuaian interaksi antar pelayan dalam pribadatan. Karena

dalam peribadatan di gereja terdapat nilai-nilai yang tidak boleh mengikat

dan harus diyakini oleh para pelayan dalam peribadatan, oleh karena itu
sebagai pemusik yang bermain dalam peribdatan gereja, tentu juga harus

menyesuaiakan dengan peribadatan itu sendiri.

1. Penyesuaian Motivasi

Pertama adalah penyesuian motivasi, sebagai pelayan dalam

upacara peribadatan sedari awal sudah harus mempunyai motivasi yang

benar dalam pelayanannya. Dalam hal pelayanan, motivasi seseorang

akan menentukan bagaimana kualitas pelayanan orang tersebut, apakah

motivasinya sudah benar atau belum. Motivasi yang benar dalam

pelayanan akan membuat pelayanannya menjadi benar, apabila dari awal

motivasi itu sudah salah maka pelayananya pun tidak akan sesuai dengan

79
kehendak Tuhan. Motivasi yang benar sebagai pelayan Tuhan menurut

ajaran kekristenan harus berdasarkan pada alkitab, sebagai contoh seperti

yang tertulis dalam 1Petrus 5:2-322 motivasi yang benar terdiri dari 3 hal.

Pertama yaitu melayani dengan sukarela, sukarela yang artinya tanpa

adanya paksaan. Jadi dalam pelayaan yang dilakukan seseorang memang

karena keinganannya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain.

Pelayanan yang sukarela harus dengan kesadaran mengingat akan

penebusan dosa yang telah dianugrahkan Tuhan kepadanya.

Menjadi pelayan musik dalam peribadatan haruslah sukarela dalam

menjalankanya. Kesadaran akan talenta bermain musik yang dimiliki

merupakan pemberian dari Tuhan, oleh karena itu wajib juga

dikembalikan kepada Tuhan sebagai bentuk memuliakan Tuhan. Tentu

dalam mengembalikan talenta yang telah diberikan haruslah diolah dan

dikembangkan seperti tentang ajaran dalam alkitab, yaitu perumpamaan

tentang talenta. Dalam kaitan penelitian ini, anggota keroncong sebelum

melakukan pelayanan dalam peribadatan, terlebih dahulu melakukan

latihan supaya dapat memberikan pelayanan yang terbaik, yaitu dapat

membawa jemaat masuk dalam hadirat Tuhan. Latihan itu dilakuakan

selama sebulan setiap hari senin malam, sebelum dipakai dalam

pelayanan ibadah minggu ke empat. Oleh karena itu anggota keroncong

dituntun berkomitmen untuk menyesuaiakan waktunya dengan latihan,

selain itu juga bersedia datang lebih awal sebelum peribadatan dimulai

adalah salah satu bentuk tanggung jawab sebagai pelayan, untuk

mempersiapkan diri.
22
1Petrus 5:2-3 “(2) Gembalakanlah kawan domba Allah yag ada padamu, jangan
dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena
mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. (3) Jangan kamu berbuat
seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi
hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu”.

80
Kedua yaitu melayani dengan pengabdian diri, yang berarti melayani

dengan sesuai kehendak Tuhan tanpa mencari keuntungan untuk dirinya

sendiri, atau bisa disebut pelayanan yang tidak menuntut imbalan. Jadi

dalam pelayanan yang dilakukan seseorang adalah bentuk pengabdian

dirinya untuk Tuhan, bukan sarana dalam mencari uang untuk

kepentingan dirinya sendiri.

Bentuk pengabdian diri sebagai pelayan dalam peribadatan yaitu

melalui profesionalitasnya dalam melakukan pelayananya. Pelayan musik

harus memiliki profesionalisme dalam bermusik, artinya ia secara kusus

harus mengabdikan hidupnya untuk Tuhan. Pelayan musik harus berdoa,

belajar, berlatih dan memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan yang

bisa dibagikan melalui musik yang dimainkannya. Untuk menuju kesana

pemusik akan mengambil waktu untuk berdoa dan menjaga hidup

dengan benar di hadapan Tuhan dan juga terus berlatih (Krisnanda,

2016:56). Dalam hal ini profesionalitas tidak berkaitan dengan dibayar

atau tidaknya dengan uang, melainkan profesional dalam bentuk

pengabdian kepada Tuhan dan sebagai pelayan tidak boleh

mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun. Tetapi jika dari pihak

gereja memberikan sesuatu, bisa dalam bentuk uang, barang, makanan

dan lain sebagainya kepada pemusik, itu bukan berarti imbalan untuk

pemusik dalam melayani, melainkan itu adalah berkat. Karena yang

utama adalah motivasi pengabdian diri, jadi pelayan musik harus tetap

profesional dalam menjalankan tugasnya. Sebagai pelayan yang dituntut

untuk profesional, mereka wujudkan dalam bentuk tanggung jawab

penuh pada pelayanannya, terbukti melalui ketekunan dan kemauan

belajar pada saat berlatih dengan sungguh-sungguh. Selain itu, para

81
pelayan juga tidak mengaharpkan imbalan apapun dari gereja, bahkan

para anggota pun rela mengeluarkan dana pribadinya untuk pelayanan

mereka di GKJ Sumber.

Ketiga yaitu melayani untuk menjadi teladan yang baik, menjadi teladan

yang baik harus dapat menjadi contoh yang baik pula untuk orang lain.

memberi teladan kebaikan merupakan hal mutlak yang harus dimiliki

pelayan Tuhan, karena sikap dan tindakan kita akan dilihat orang lain

maka sebagai pelayan yang baik harus dapat menjadi contoh dan

memberi pengaruh yang baik juga untuk orang lain.

Menjadi teladan yang baik dalam melayani ini juga menjadi motivasi

yang penting dalam setiap pelayanan di gereja, menjadi teladan bisa

dilihat melalui tingkah laku setiap masing-masing individu. Sebagai

pelyan di gereja, tingkah laku seorang pelayan akan diperhatikan oleh

jemaat, dengan begitu pelayan harus memberikan contoh yang baik juga.

Dengan motivasi tersebut, sebagai pelayan musik akan dilihat jemaat

sebagai orang yang taat akan Tuhan melalui pelayanannya. Sebagai

pemusik keroncong yang terlibat dalam pelayanan di GKJ Sumber, para

anggotanya pun juga terlibat dalam organisasi gereja. Dari hal tersebut

dapat menjadi teladan bagi jemaat lain untuk tertarik ikut berpartisipasi

ke dalam keroncong yang ada di sana, ini terlihat dari adanya regenerasi

pemusik keroncong.

2. Penyesuaian Etika

Bermain musik dalam peribadatan secara teknis adalah sebagai

pengiring nyanyian jemaat, yaitu sebagai pelayan ibadat jemaat. Oleh

karena itu pemusik tidak jalan sendiri, melainkan berjalan beriringan

82
dengan jemaat. Maka ketika bermain sebagai pengiring jemaat, pemusik

tidak boleh menonjolkan unjuk kebolehanya sendiri, akan tetapi lebih

sebagai pemandu jemaat dalam menyanyikan lagu. Melalui iringan musik

yang baik dan indah akan mendukung jemaat ikut menyanyikan

pujiannya menjadi lebih baik dan indah juga. Secara etika pelayan musik

gereja adalah hamba Tuhan, oleh sebab itu pelayan musik tersebut sedang

melayani Tuhan beserta melayani jemaat-Nya. Sebagai seorang hamba

yang taat, maka harus memiliki etika yang baik juga, yaitu dengan tunduk

dan hormat kepada Tuhannya. Sikap dan perhatiannya harus tertuju juga

kepada Tuhan dengan penuh percaya. Dalam menjalankan tugasnya

pemusik juga harus mempunyai sikap yang benar dan sungguh-sunggauh

untuk mendukung jalannya peribadatan itu (Handoko 2014:16-16).

Sebagai pelayan musik di gereja harus mempunyai sikap yang benar

juga dihadapan Tuhan. Sesorang yang mau ikut serta dalam pelayanan

merupakan orang yang terpanggil. Panggilan dalam pelayanan musik

merupakan panggilan yang mulia dan kudus, oleh karena itu tidak boleh

meremehkan panggilan tersebut. dengan tidak menganggap remeh

panggilan tersebut telah mencerminkan keseriusan seorang pelayan. oleh

karena itu pelayan musik harus mempunyai hati yang sungguh-sungguh

dan tertuju kepada Tuhan. Beberapa etika dalam pelayanan di gereja

diantaranta yaitu: rendah hati, sabar lemah lembut, bertanggung jawab

dan berdoa. Sebagai manusia tentu terdapat banyak kekurangan,

diselimuti kesalahan dan banyak kelalaian, akan tetapi sebagai pelayan

dalam gereja dituntut untuk menyesuaiakan dengan etika-etika tersebut.

a. Rendah Hati

83
Sebagai pelayan musik dalam peribadatan tidak bekerja sendiri,

melainkan bekerjasama dalam satu tim dalam melaksanakan

pelayanannya. Pendeta, pemimpin pujian, singer, pemain musik, operator

dan jemaat yang bersama-sama dalam satu peribadatan bertujuan untuk

melayani Tuhan. Di hadapan Tuhan semua tugas pelayanan sama artinya,

tidak ada yang lebih tinggi satu dan lainnya. Oleh karena itu perlu adanya

sikap rendah hati, tidak boleh menganggap tugasnya menjadi hal yang

paling penting dan mengesampingkan rekan tim yang lainnya. Anggota

keroncong di GKJ Sumber sebagai pelayan musik tentunya juga memiliki

sikap rendah hati tersebut. Sikap itu diwujudkan melalui permainan

musik, dengan tidak menonjolkan diri antara pemain musik satu dan

lainnya, demi mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi karena

kemampuannya dalam memainkan instrumen musik. Dengan begitu

pemusik keroncong dalam pelayanan musiknya terhindar dari sikap egois

yang membuat pemusik itu menjadi sombong dan tetap rendah hati

dalam pelayanannya.

b. Sabar Lemah Lembut

Sebagai pelayan musik gereja selain memilki sikap rendah hati, juga

harus memiliki sikap lemah lembut. Dengan sikap lemah lembut pemusik

dapat menghargai pemusik lain sebagai rekan dalam pelayanannya dan

tidak mencela permainan rekan satu tim jika terdapat kesalahan dalam

permainannya. Dalam menjalankan tugas pelayanannya, kesabaran juga

penting dimiliki setiap pelayan musik. Hal tersebut ditunjukan para

pemusik keroncong yang terlibat dalam pelayanan di GKJ Sumber dengan

bekerja sama dan saling melengkapi demi tercapainya satu tujuan

84
bersama. Dalam melakukan satu pelayanan tentu sangat mungkin terjadi

konflik di dalamnya, untuk mengatasi hal tersebut para anggota

keroncong selalu melakukan evaluasi setelah melakukan pelayanan, demi

terwujudnya pelayanan yang lebih baik pada pelayanan berikutnya. Pada

saaat melakukan evaluasi dilandasi dengan sikap sabar dan lemah lembut

pada saat menerima evaluasi, sehingga dengan begitu pelayanannya

menjadi layak di hadapan Tuhan.

c. Bertanggung Jawab

Sebagai pelayan dalam gereja tentu harus memiliki sikap yang

penuh tanggung jawab pada setiap pelayanannya, yaitu dengan tidak

mengabaikan tugas yang telah diterimanya dan serius dalam menjalankan

pelayanannya. Seorang pelayan musik yang dapat dipercaya akan

menjalani pelayanannya dengan suka cita tanpa beban. Bentuk tanggung

jawab para pemusik keroncong di GKJ Sumber terbukti melalui

permainan musiknya yang baik hasil dari ketekunan berlatih. Meski tidak
bekerja pada bidang musik, pemusik keroncong tetap menyelesaikan

tugasnya secara profesional dengan penuh tanggung jawab. Selain itu

sebagai pelayan yang bertanggung jawab para pemusik keroncong selalu

datang tepat waktu pada saat pelayanan di peribadatan ataupun pada

saat latihan. Jika memang ada keperluan harus ijin dan memberi alasan

yang tepat serta tidak dibuat-buat, kerena hal tersebut bisa menimbulkan

ketidakpercayaan seseorang. Oleh karena itu jika terjadi, kemungkinan

akan dicarikan orang lain untuk menggantikan pelayanannya dan bisa

tidak dipercaya lagi dalam suatu pelayanan.

d. Berdoa

85
Doa adalah suatu bentuk relasi antara manusia dengan Tuhan, yang

di dalamnya roh manusia berkomunikasi, memohon, meminta, memuji

dan mengakui keberadaan Allah yang transendental. Doa merupakan

salah satu hal yang fundamental dalam kehidupan orang Kristen, anggota

keroncong sebagai pelayan musik dalam gereja yang notabene adalah

anggota gereja di GKJ Sumber selalu melandasi dengan doa dalam setiap

pelayanannya, baik pelayanan di dalam gereja atau di luar gereja. Berdoa

sebelum dan sesudah selesai menjalankan pelayanan adalah kegiatan

yang biasa dilakukan anggota keroncong. Doa pada awal pelayanaan

untuk memohon bimbingan Tuhan dalam menjalankan tugas

pelayanannya, supaya apa yang dikerjakan dapat memuliakan Tuhan.

Doa di akhir pelayanan sebagai bentuk ucapan syukur karena telah selesai

melakukan pekerjaan pelayanannya. Di sisi lain berdoa merupakan sikap

merendahkan diri di hadapan tuhan agar pelayanannya yang jauh dari

sempurna tersebut dapat menyenangkan hati Tuhan. Bahkan pemusik

keroncong juga melandisi dengan doa pada saat melaksanakan latihan.

Oleh karena itu doa tidak dapat dipisahkan dalam pelayanan di gereja.

3. Penyesuaian Interkasi antar Pelayan dalam Peribadatan

Upacara peribadatan gereja merupakan peribadatan yang aktif,

dalam liturgi nya banyak terjalin interaksi antar pelayan dan jemaat. Oleh

karena itu untuk menjadi pelayan peribdatan di gereja dituntun untuk

fokus. Karena dalam liturgi peribadatan GKJ Sumber ada yang berupa

interaksi antara pelayan dengan jemaat. Misalkan dalam votum, setelah

pendeta selesai megucapkan kalimat votum, jemaat akan merespon

dengan nyanyian “Amin-Amin-Amin”. Salain votum, liturgi yang berupa

86
interaksi antar pelayan dan jemaat yaitu pada sesi Pelayanan Firman,

setelah pendeta membacakan Firman Tuhan jemaat merespon dengan

nyanyian “Haleluya-Haleluya-Haleluay”23. Oleh karena itu sebagai

pengiring nyanyian jemaat harus dapat menyesuaikan setiap situasi

dalam jalanya peribadatan, dengan respon yang baik dari pemusik dalam

mengiringi jemaat bernyanyi, akan menghasilkan keindahan dari jalannya

peribadatan itu sendiri.

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarakan pemaparan pada penelitian ini maka dapat

disimpulkan poin-poin mendasar sebagai jawaban atas rumusan masalah

yang telah diajukan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemakaian

keroncong sebagai musik peribadatan di GKJ Sumber, berawal dari

23
Untuk teknis dan musiknya sudah dijalaskan pada pembahasaan adaptasi
musikal bagian analisis musik nyanyian ordinarium.

87
inisiatif jemaat yang ingin menghadirkan nuansa musik baru dalam

peribadatan, serta memberikan alternatif lain dalam musik peribadatan.

Dalam penerpannya menunjukan bahwa adanya fenomena adaptasi yang

terjadi ketika musik keroncong dipakai untuk peribadatan di GKJ Sumber.

Pengadaptasian musik keroncong didasari karena adanya berbagai faktor

dalam peribadatan yang sudah tetap dan mengikat, oleh karena itu untuk

tetap mewujudakan peribadatan yang benar perlu adanya penyesuaian.

Analisis adaptasi dibagai atas dua bagian, yaitu adaptasi musikal

dan adaptasi non musikal dengan mengacu pada konsep aloplastis dan

autoplastis. Pada bagian musikal dilakukan upaya penyesuaian unsur-

unsur musik liturgi dengan kerocong, dengan cara mengaransemen dan

merekontruksi ulang lagu-lagu peribadatan. Aransemen keroncong

mengacu pada tema nyanyian liturgi, guna membangun nuansa yang

telah ditetap pada setiap temanya. Pada bagian adaptasi non musikal,

bentuk penyesuaianya berupa hal-hal yang berkaitan dengan motivasi,

etika dan interaksi dalam pelayanan di Gereja.

Meskipun keroncong bisa digunakan sebagai musik peribadatan di

gereja, tetapi masih terdapat kekurangan di dalamnya yaitu pada menjaga

kestabilan temponya. Karena dalam peribadatan, keroncong difungsikan

untuk mengiringi jemaat satu gereja yang terkadang bisa lebih dari 50

orang, oleh karena itu sering terjadi perlambatan tempo yang tidak

disengaja ketika sudah sampai tengah lagu. Ini bisa terjadi karena faktor

jumlah penyanyi yang banyak, sehingga pemain keroncong terbawa oleh

tempo jemaat yang melambat dalam bernyanyi.

88
Selain pada tempo, kekurangan keroncong dalam peribadatan di

GKJ Sumber yaitu pada variasi pola permainan di setiap lagu. Meskipun

keroncong ini cukup kreatif dalam membuat pola-pola permainan baru,

tetapi dalam membawakan lagu cukup monoton. Karena menurut penulis

dalam satu lagu bisa dikreasi dengan menggunakan lebih dari satu pola

permaianan keroncong, agar tidak berkesan monoton dan lebih

memunculkan nuansa yang dibangun dari musik keroncong ini. Oleh

karena itu dalam pembahasan penulis juga memberikan catatan sebagai

alternatif lain dalam penggunaan pola-pola permainan keroncong.

Meskipun ada plus dan minus pemakaian musik keroncong dalam

peribadatan, tetapi GKJ Sumber masih tetap konsisten menggunakan

keroncong sebagai musik peribadatanya. Oleh karena itu dapat

disimpulkan juga bahwa penerimaan jemaat pada musik keroncong

sendiri cukup baik, terbukti karena pemanfaatan keroncong tidak hanya

pada peribadatan saja, tetapi juga merambah pada hal lain diluar

peribadatan.

B. SARAN

Penggunaan musik keroncong sebagai musik peribadatan yaitu

bukan menggantikan musik peribadatan yang sudah ada, melainkan

musik keroncong ini diharapkan dapat menghadirkan nuansa baru dalam

peribadatan di GKJ Sumber. Oleh karena itu sebagai masukan untuk

pemusik keroncong di sana, diharapkan untuk terus bereksperimen

dalam pembuatan musik keroncong dan berani mencoba hal-hal yang

89
berbeda. Supaya menghasilkan suatu komposisi musik yang lebih baik

lagi kedepannya.

Jika musik keroncong bisa dipakai dalam peribadatan, maka tidak

menutup kemungkinan lain untuk membuka alternatif musik baru dalam

peribadatan di GKJ Sumber. Sehingga dari adanya musik keroncong ini

menjadi motivasi bagi pemusik-pemusik di GKJ Sumber untuk

bereksplorasi pada musik peribadtaan lainya.

90
KEPUSTAKAAN

B.J, Budiman. 1976, “Mengenal Keroncong dari Dekat”. Jakarta:


Perpustakaan Akademi Musik LPKJ.
Dewantara, Susetya Hasta. 2017. “Implementasi Musik Keroncong Dalam
Ibadah Liturgi Gereja Kristen Jawa Jemaat Ambarrukmo Di
Yogyakarta”. Skripsi, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni
Indonesia Yogyakarta.
Ganap, Victor. 2011, “Kerontjong Toegoe”. Yogyakarta: ISI Yogyakart.
Harmunah, S.Mus. 1987, “Musik Keroncong”. Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi.
Handoko, sri. 2014. “Pembinaan Musik Gereja Materi Ringkas Untuk
Pembekalan Organis Gereja”. Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka
Kristen Indonesia.
Komisi liturgi MAWI. 1985. “Bina Liturgia I : Inkulturasi”. Jakarta:Obor.
Krisnanda, Erwin J. 2016. “Maximized Musicianship: A Destiny-Memahami
Rancangan Tuhan Tentang Musik Dan Hidup Pemusik”. Solo: Spirit
Graphic.
Liliweri, Alo. 2015. “Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya”. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Lon dan Widyawati. 2019. “Adaptasi dan Transformasi Lagu Adat dalam
Liturgi Gereja Katolik di Manggarai Flores”. Jurnal Penelitian.
Martasudjita, E., Pr., 1999, “Pengantar Liturgi”, Yogyakarta: Kanisius.
Muji Silvanus, Alfa Krisma. 2017. “Jalinan Interaksi Musikal Keroncong
Alternatif Orkes Keroncong Swastika Surakarta”. Skripsi, Fakultas
Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta.
Mudak, Sherly. 2017. “Makna Doa Bagi Orang Percaya”. Jurnal Penelitian
Moleong, Lexy J. 2018. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Patilima, Hamid. 2005. “Metode Penelitian Kualitatif”. Bandung: Alfabeta.
Prier. SJ, Karl-Edmund,. 1993, “Sejarah Musik Jilid 2”. Yogyakarta: Pusat
Musik Lituri.
Prier, Karl-Edmund. 1999. “Inkulturasi Musik Liturgi”. Yogyakarta: Pusat
Musik Liturgi Yogyakarta
Pr, E. Martasudjita dan Prier, Karl-Edmund. 2012. “Musik Gereja Zaman
Sekarang”. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi
Prier, Karl-Edmund. 2018. “Panduan Musik Liturgi”. Yogyakarta: Pusat
Musik Liturgi
Rupa, Calvin Shola. 2008. “Motivasi Dalam Pelayanan Mempengaruhi
Pengajar dan Perilaku”. Jurnal Penelitian

91
Sasmita, Alfin. 2015. “Gamelan Jawa Sebagai Musik Liturgi Di Gereja Kristen
Jawa Bantul”. Skiripsi, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni
Indonesia Yogyakarta.
Sembodo, Midhang Langgeng. 2013. “Musik Rock Sebagai Sarana Ibadah di
Gereja Studi Kasus Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bukit Zaitun, Nosido,
Ngringo, Jaten, Karanganyar”. Skripsi, Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Surakarta.
Sudaryanto. 1993. “Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis”. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sheer, Greg. 2015. “The Art Of Worship-Panduan Musisi Untuk Memimpin
Ibadah Modern”. Alih bahasa Luciana Susanty. Malang: Literatur
SAAT
Tambajong, J. 1992. “Ensiklopedi Musik”. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
Udayana, Ernes.A. 1995. “Bentuk dan Fungsi Karawitan Jawa dalam Liturgi
Gereja Khatolik di Yogyakarta dan Surakarta”. Skripsi, Fakultas Seni
Pertunjukan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
W.A., Gerungan. “Psychologi Sosial”. Bandung : PT Eresco.

92
WEBTOGRAFI

Blogger. Agustus 2011. “Tata Gereja - Gereja Kristen jawa,”


http://tatagereja.blogspot.com/2011/08/bab-ii-pengorganisasian-
bagian-pertama.html, diakses pada tanggal 9 November 2019.
Harian Banyumas. 7 November 2013. “Keroncong GKJ Wonosari, Penyaji
Terbaik FKG 3,”
https://issuu.com/harmas./docs/harian_banyumas_7_november_
2013/8, diakases pada tanggal 10 Februari 2022.
Dharmawijaya, Benny. 2014. “Peran Musik dan Pemandu Nyanyian
Jemaat dalam ibadah di GKJ Wonosobo,” https://adoc.pub/peran-
musik-iringan-dan-pemandu-nyanyian-jemaat-dalam-
ibadah.html,diakses pada tanggal 9 November 2019.
Chornelius, Immanuel “Musik dan Pemain Musik (Bagian II),”
https://www.academia.edu/31693194/MUSIK_DAN_PEMAIN_M
USIK_GEREJA_Bagian_II, diakses pada tanggal 9 November 2019.

93
DISKOGRAFI

GKJ Sumber Surakarta. 27 Maret 2022. “Ibadah Minggu Pra-Paskah IV 27


Maret 2022 GKJ Sumber Surakarta,”
https://www.youtube.com/watch?v=0nYe5Fpfrl8, diakses pada
tanggal 27 Maret 2022.
Tim Gereja Kristen Jawa Sumber. 2017. Rekaman Video. “HUT GKJ
Sumber 10”.

94
DAFTAR NARASUMBER

Suprapto (76), Pelatih dan Arrager Orkes Keroncong Suara Kasih GKJ
Sumber, Karanganyar.
Joko Haryono (63), Pimpinan Orkes Keroncong Suara kasih GKJ Sumber,
Surakarta.
Bambang Dwi Pramono (65), Pelatih dan Anggota Orekes Keroncong
Suara Kasih GKJ Sumber, Surakarta.
Santosa Budi Harjono (53), Pendeta GKJ Sumber Surakarta. Surakarta.
Chrisma Galang Sembodo (26), Personil musik Orkes Keroncong Suara
Kasih GKJ Sumber, Surakarta.
Immanuel Adi Saputro (49), Pendeta GKJ Sabda Windhar. Karanganyar.

95
GLOSARIUM

Genre : Pengelompokan musik berdasarkan gaya, konteks, dan


tema musik.
Sukat : Bilangan dalam bentuk pecahan yang menunjukkan jumlah
ketukan di dalam satu birama serta jenis not yang mendapat
satu ketukan.
Pepanthan : Kelompok atau Cabang, diberikan sebagai sebutan bagi
jemaat kecil yang belum bisa mandiri.
Hymnal : Nyanyian Pujian, Nyanyian Rohani.
.
Arranger : Orang yang bertugas menyusun aransemen.

Kupingan : Metode pembelajaran intrumen musik dengan cara melihat


dan mendengarkan pelatih, kemudian ditirukan oleh
muridnya.

Sinode : Badan pengurus tertinggi di gereja Protestan.

Ritardando : Penurunan tempo atau menjadi lambat secara bertahap.

Bidstone : Kegiatan hari menjelang pemberkatan pernikahan yang


diselenggarakan dengan kegiatan doa. Kegiatan ini sebagai
ungkapan rasa syukur dan pengharapan untuk kelancaran
acara berikutnya. Pada kegiatan ini dilakukan rangkaian
acara seperti pada ibadah secara umum seperti lantunan
doa, pujian dan lain sebagainya. Kegiatan ini bisa dilakukan
di gereja atau di rumah penyelenggara
Unisono : Teknik bernyanyi atau memainkan instrument musik
dengan nada yang sama dalam satu oktaf

96
LAMPIRAN

Gambar 16 Notasi lagu Ya Yesus Dikau Kurindukan.

97
Gambar 17 Notasi lagu Keluarga Hidup Indah.

98
99
100
101
102
103
Gambar 18 Notasi Keroncong lagu Mulia Mulia NamaNya.

104
105
106
107
108
109
110
111
Gambar 19 Notasi Keroncong lagu Bila Kurenung Dosaku

112
113
114
115
116
117
118
119
120
Gambar 20 Notasi Keroncong lagu Bawalah Persembahan.

121
Foto 1. Piala Festival Keroncong Gerejawi 3

Dokumen: Hendra Bayu Pamarto, 2021.

Foto 2. Pelayanan Ibadah Minggu GKJ Sumber

Dokumen: GKJ Sumber, 2022.

122
Foto 3. Wawancara Suprapto

Dokumen: Hendra Bayu Pamarto,2018.

Foto 4. Latihan Keroncong O.K Suara Kasih GKJ Sumber

Dokumen: Hendra Bayu Pamarto, 2017.

123
BIODATA PENULIS

Nama : Hendra Bayu Pamarto

Tempat dan Tanggal Lahir : Surakarta, 22 Desember 1995

Alamat : Jl. Pajajaran II RT03/RW14, Sumber, Kelurahan


Sumber, Kecamatan Banjarsari, Surakarta.

Handphone : 089674580273

E-mail : bayuh1995@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Putra Enam 200-2002


2. SD NEGERI Sumber 1 Surakarta 2002-2008
3. SMP NEGERI 23 Surakarta 2008-2011
4. SMK NEGERI 9 Surakarta (SMSR) 2011-2014
5. Institut Seni Indonesia Surakarta 2015

Pengalaman Organisasi :

1. Aggota Teater 9, SMKN 9 Surakarta (2013-2014)


2. Anggota Orkes Keroncong Suara Kasih GKJ Sumber (2010-2013)
3. Anggota UKM Keroncong ISI Surakarta (2015-2017)

Pengalaman Berkesenian :
1. Peserta Festival Keroncong Gerejawi 3 di Purbalingga (2010)
2. Peserta Festival Lomba Seni Siswa Provinsi Jawa Tengah (2014)
3. Peserta Festival Teater Berbahasa Jawa (2013)
4. Peserta Festival Teater Berbahasa Jawa (2014)
5. Penata dan Pemusik di Teater 9, SMKN 9 Surakarta dalam Festival
Lomba Seni Siswa Nasional (2013-2014)
6. Terlibat berbagai pementasan musik dan teater (2014-sekarang)

124

Anda mungkin juga menyukai