BERKALA ARKEOLOGI
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon, Pada Perkebunan Sumatera Timur
Abad Ke-19-20 (Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
Colonialism Practice in Uang Kebon's Existence, at The East Sumatra Plantation
in the 19th-20th Century (A Marxist Archaeological Approach)
Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap,
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara
Representation of Ogung (Gong) Relief On Ancient Cemetery Site of Sutan Nasinok Harahap,
in Batang Onang, North Padang Lawas, North Sumatera
Nenggih Susilowati
Akreditasi: 575/Akred/P2MI-LIPI/07/2014
Akreditasi: 575/Akred/P2MI-LIPI/07/2014
BERKALA ARKEOLOGI
Sangkhakala terdiri dari dua kata yaitu Sangkha dan Kala. Sangkha adalah sebutan dalam
Bahasa Sansekerta untuk jenis kerang atau siput laut. Sangkha dalam mitologi Hindhu
digunakan sebagai atribut dewa dalam sekte Siwa dan Wisnu. Sedangkan Kala berarti
waktu, ketika atau masa. Jadi Sangkhakala merupakan alat dari kerang laut yang
mengeluarkan suara sebagai tanda bahwa waktu telah tiba untuk memulai suatu tugas
atau pekerjaan. Berkenaan dengan itu, BERKALA ARKEOLOGI SANGKHAKALA merupakan
istilah yang dikiaskan sebagai terompet ilmuwan arkeologi dalam menyebarluaskan arti
dan makna ilmu arkeologi sehingga dapat dinikmati oleh kalangan ilmuwan khususnya dan
masyarakat luas umumnya. Selain itu juga merupakan wadah informasi bidang arkeologi
yang ditujukan untuk memajukan arkeologi maupun kajian ilmu lain yang terkait.
Muatannya adalah hasil penelitian, tinjauan arkeologi dan ilmu terkait. Dalam kaitannya
dengan penyebarluasan informasi dimaksud, redaksi menerima sumbangan artikel dalam
Bahasa Indonesia maupun asing yang dianggap berguna bagi perkembangan ilmu arkeologi.
Berkala Arkeologi ini diterbitkan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan
November.
Dewan Redaksi
Ketua Redaksi : Andri Restiyadi, M.A. (Arkeologi Sejarah)
Anggota Redaksi : Ery Soedewo, S.S., M.Hum. (Arkeologi Sejarah)
Drs. Bambang Budi Utomo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara)
Redaksi Pelaksana : Nenggih Susilowati, S.S., M.I.Kom. (Arkeologi Prasejarah)
Dyah Hidayati, S.S. (Arkeologi Prasejarah)
Mitra Bestari : Prof. DR. M. Dien Madjid, M.Ag. (UIN Syarif Hidayatullah)
Prof. (Ris.). DR. Truman Simanjuntak (Centre for Prehistoric and Audtronesia Studies)
Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak (Universitas Negeri Medan)
DR. Wanny Raharjo Wahyudi (Universitas Indonesia)
Manajer Jurnal : Taufiqurrahman Setiawan, M.A. (Arkeologi Prasejarah)
Penata Letak : Abdullah Imansyah
Kesekretariatan : Ali Ma’’ruf, S.E.
Alamat Redaksi/Penerbit:
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Tanjung Selamat, Medan Tungtungan, Medan 20134
Telp. (061) 8224363, 8224365
E-mail: sangkhakala.balarsumut@kemdikbud.go.id
Laman: www.sangkhakala.kemdikbud.go.id
© Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2017
Vol. 20 No. 1, Mei 2017 P-ISSN 1410 – 3974
E-ISSN 2580 – 8907
Akreditasi: 575/Akred/P2MI-LIPI/07/2014
BERKALA ARKEOLOGI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar Abstrak ini boleh digandakan tanpa ijin dan biaya
DDC 959.8
Wayan Sumerata (Balai Arkeologi Bali)
Gendro Keling (Balai Arkeologi Bali)
Ati Rati Hidayah (Balai Arkeologi Bali)
Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim di Sepanjang Pantai
Tejakula, Buleleng, Bali
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 19 No. 2,
Hal. 66--78
Situs Tejakula sejak dulu sudah dilirik oleh peneliti sebagai
situs yang potensial untuk dikembangkan. Situs ini berada
di kawasan pesisir pantai Bali Utara yang menurut beberapa
sumber merupakan jalur pelayaran bagi kapal-kapal dari
berbagai wilayah lain di Nusantara bahkan dari luar negeri.
Beberapa titik lokasi penelitian ini antara lain adalah Situs
Pantai Bangsal di Dusun Geretek, dan Sepanjang Pantai
Bondalem. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka, survei berupa observasi di darat dan juga di
bawah air dengan menggunakan teknik SCUBA Diving.
Hasilnya diperoleh kontur dan kondisi dasar laut
Sambirenteng yang berupa palung dan berlumpur, serta
temuan bekas struktur berupa batu padas di Pantai Bangsal,
Dusun Geretek, Desa Sambirenteng. Temuan struktur dan
gerabah ini memperkuat adanya aktifitas di sekitar pantai
yang terkait dengan aktifitas pelabuhan atau pemukiman.
Selain itu temuan gerabah dari masa prasejarah yang
kondisi saat ini di bawah permukaan air karena abrasi pantai
yang parah di Desa Bondalem.
(Wayan Sumerata, Gendro Keling, Ati Rati Hidayah)
Kata kunci: budaya maritim, pelabuhan kuna, struktur,
gerabah
Berkala Arkeologi
SANGKHAKALA
ISSN 1410 – 3974 Publish : Mei 2017
E-ISSN 2580 – 8907
The discriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge
Dalam rangka melanjutkan penyebaran informasi arkeologi, pada bulan Mei tahun
2017, Balai Arkeologi Sumatera Utara menerbitkan Berkala Arkeologi Sangkhakala Volume 20
Nomor 1. Melalui serangkaian seleksi, tinjauan, dan penyuntingan baik yang dilakukan oleh
dewan redaksi ataupun mitra bestari, dalam hal ini terdapat 5 (lima) artikel terpilih yang layak
untuk diterbitkan. Adapun ragam topik bahasan yang terdapat dalam materi penerbitan kali ini
berkaitan dengan Arkeologi Maritim, Sejarah, dan Etnoarkeologi.
Bahasan pertama diawali oleh Andri Restiyadi dan Churmatin Nasoichah yang
menguraikan tentang praktik kolonilalisme yang terjadi pada perkebunan di Sumatera Timur
melalui data berupa uang kebon dengan sudut pandang Arkeologi Marxis. Dalam hal ini
disebutkan bahwa eksistensi uang kebon pada sistem ekonomi perkebunan Sumatera Timur
merupakan salah satu indikasi dari praktik kolonialisme itu sendiri. Dikatakan juga bahwa uang
kebon tidak lain merupakan sebuah media untuk mempertahankan status quo relasi antara
sistem produksi perkebunan dengan para pekerjanya (kuli kontrak). Artikel ini menggunakan
data berupa uang kebon yang merupakan koleksi pribadi DR. Phil. Ihwan Azhari, seorang
pengajar di Universitas Negeri Medan dan Museum Provinsi Sumatera Utara.
Artikel selanjutnya menggunakan etnoarkeologi yang ditulis oleh I Wayan Badra yang
menulis tentang temuan gerabah di Situs Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar, Bali. Melalui
metode etnoarkeologis, temuan gerabah tersebut menunjukkan indikasi fungsional yang setara
dengan penyambean, coblong, dan periuk. Penyembean menurut data etnoarkeologis
berfungsi sebagai tempat minyak kelapa, sementara coblong dan periuk sebagai wadah tirtha.
Melalui ketiga fungsi gerabah tersebut, dapat disimpulkan bahwa temuan gerabah di Pura
Wasan digunakan pada saat upacara Dewa Yadnya dan Butha Yadnya.
Kajian yang ketiga ditulis oleh Ketut Wiradnyana yang membahas tentang reposisi
fungsi menhir dalam tradisi megalitik Batak Toba. Ketiadaan temuan menhir dalam tradisi
megalitik Batak Toba merupakan sebuah fenomena menarik. Dalam hal ini Ketut Wiradnyana
mencoba untuk membandingkan fungsi menhir dengan keberadaan tunggal panaluan dan
borotan pada masyarakat Batak Toba. Tunggal panaluan merupakan tongkat berbahan kayu
yang dimiliki oleh seorang tokoh adat yang digunakan sebagai media pemujaan dalam suatu
prosesi upacara. Adapun borotan adalah batu yang berada di tengah perkampungan adat
sebagai pengikat hewan kurban dalam upacara tertentu. Melalui pendekatan etnoarkeologi,
dalam artikel ini disebutkan bahwa fungsi tunggal panaluan dan borotan dalam masyarakat
Batak menggantikan fungsi menhir pada tradisi megalitik.
Kajian etnoarkeologi selanjutnya ditulis oleh Nenggih Susilowati dengan topik
bahasan pemaknaan terhadap relief Ogung (gong) pada kubur kuna di situs Sutan Nasinok
Harahap, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera
Utara. Dalam artikel ini disebutkan bahwa relief ogung (gong) pada kompleks kubur kuna
tersebut merupakan sebuah tanda bahwa orang yang dikuburkan merupakan tokoh terhormat
dan telah mendapatkan gelar raja adat. Keberadaan relief tersebut sekaligus menjadi bukti
perjalanan panjang pemanfaatan alat musik dari dahulu sampai saat ini.
Artikel terakhir bertema arkeologi maritim ditulis oleh Wayan Sumerata, Gendro
Keling, dan Ati Rati Hidayah yang membahas tentang potensi arkeologi maritim yang terdapat
di pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali. Melalui metode survei SCUBA Diving pada beberapa
titik, dihasilkan gambaran kontur dan kondisi dasar laut Sambirenteng yang berupa palung dan
berlumpur. Adapun temuan menarik lainnya adalah keberadaan bekas struktur bangunan
berupa batu padas yang terdapat di Pantai Bangsal, Dusun Geretek, Desa Sambirenteng yang
disertai dengan beberapa fragmen gerabah. Temuan struktur dan gerabah ini memperkuat
adanya aktifitas di sekitar pantai yang terkait dengan pelabuhan atau pemukiman.
Demikian disampaikan serangkaian artikel yang dimuat pada Berkala Arkeologi
Sangkhakala Volume 20 Nomor 1 sebagai pengantar. Selanjutnya pada kesempatan ini kami
ucapkan terimakasih disampaikan kepada Drs. Bambang Budi Utomo (Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional), dan Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara) yang telah berkenan
membantu Dewan Redaksi selaku editor. Ucapan terima kasih juga diucapkan kepada Prof.
DR. M. Dien Madjid, M.Ag. (UIN Syarif Hidayatullah), Prof. (Ris.). DR. Truman Simanjuntak
(Centre for Prehistoric and Austronesia Studies), Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjun tak
(Universitas Negeri Medan), dan DR. Wanny Raharjo Wahyudi (Universitas Indonesia) atas
kerjasamanya selaku mitra bestari. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para penulis
yang telah berkontribusi dalam penyusunan Berkala Arkeologi Sangkhakala Volume 20 Nomor
1 ini. Semoga karya dalam Sangkhakala Berkala Arkeologi ini dapat menambah pengetahuan
tentang berbagai hal terkait dengan arkeologi. Selamat menyimak.
Andri Restiyadi
Churmatin Nasoichah
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Medan
andri.restiyadi@kemdikbud.go.id
curma.oke@gmail.com
Abstract
Money, which functions as means of transfer, has various hidden meanings in its social practice among
the communities. An interesting thing is an existence of “uang kebon” (plantation money) that was used
by Plantation Owners in Tanah Deli, which is better known as East Sumatra. In this context, there is a
problem in relation with uang kebon, namely how was the colonialism practice during the period, which
was reflected in form of uang kebon? Through Marxist Archaeology, we reveal the meaning of uang
kebon as a tool of hegemony practice that was used by plantation owners (Tuan Kebun) towards their
workers (coolies).
Keyword: uang kebon, colonialism, plantation, East Sumatra, marxist archaeology
Abstrak
Uang yang berfungsi sebagai alat tukar menyimpan berbagai makna tersembunyi dalam praktik
sosialnya di masyarakat. Salah satu yang menarik adalah keberadaan uang kebon yang digunakan oleh
para Tuan Kebun dalam hal ini berlokasi di Tanah Deli atau yang lebih dikenal dengan Sumatera Timur.
Dalam konteks ini terdapat sebuah permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan uang kebon yaitu
bagaimanakah praktik kolonialisme pada saat itu, yang tercermin dalam uang kebon? Melalui pisau
bedah arkeologi Marxis didapatkan makna uang kebon sebagai alat praktik hegemoni yang dilakukan
oleh para Tuan Kebun terhadap Kuli/ pekerjanya.
Kata kunci: uang kebon, kolonialisme, perkebunan, Sumatera Timur, arkeologi marxis
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 1
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
hal baru dan sudah terjadi ada selama kemudian membedakan esensi khas
ribuan tahun yang lalu. Namun, spesies manusia (Lee 2006, 4-5). Dengan
kolonialisme dan kolonialisme formal tidak kata lain, gagasan Marx yang berkaitan
hanya berbicara tentang eksploitasi dengan tata kehidupan sosial didasarkan
ekonomi, melainkan perampasan dan pada sebuah asumsi dasar yaitu faktor
bekerjanya hegemoni, ideologi, dan budaya ekonomilah yang menjadi pangkal dari
(Diaz-Andreu 2007, 209). Arkeologi kolonial segala kehidupan sosial (Sairin, Semedi
dalam pengertian itulah yang kurang dan Hudayana 2002, 121). Walaupun
mendapat perhatian di Indonesia. Dalam demikian, di bawah sistem ekonomi
konteks ini, terdapat beberapa cara untuk kapitalisme, para pekerja tidak lagi memiliki
membedah praktik kolonialisme dalam kontrol atas potensi yang terkandung dalam
arkeologi melalui tinggalan-tinggalan kerja mereka, potensi ini bagi para kapitalis
budaya materialnya, salah satu yang akan dipertukarkan dengan benda abstrak yang
digunakan dalam hal ini adalah pendekatan terdapat dalam upah (Lee 2006, 9). Adapun
arkeologi marxis. bentuk dari upah yang dimaksud dalam hal
Tidak dapat dipungkiri bahwa ini berupa uang.
perkembangan teori Marxisme Uang, merupakan sebuah artefak
berkembang melalui gagasan-gagasan budaya yang berfungsi sebagai alat tukar
Karl Marx. Salah satu persoalan yang dan memiliki standar nilai yang berlaku
menjadi pokok bahasan Marx pada karya- pada waktu serta lokasi tertentu. Hal ini
karya awalnya adalah mempertanyakan tentu sangat memudahkan apabila
perbedaan ontologis antara manusia dan dibandingkan dengan sistem barter yang
binatang. Bagi Marx, jawaban dari tidak memiliki standar nilai terukur (baku).
pertanyaan tersebut terdapat pada sifat Walaupun demikian, pada praktiknya uang
kebutuhan manusia dan cara tetap memiliki batasan-batasan tertentu
pemenuhannya. Dalam konteks ini dalam penggunaannya. Faktor
manusia dan binatang dapat disamakan kesepakatan menjadi unsur utama dalam
apabila dilihat dari ketergantungannya menentukan batasan spasial-temporal
dalam memanfaatan sumber alam untuk penggunaan mata uang. Sebelum uang
memenuhi kebutuhan dan menjamin menjadi sebuah alat tukar, logam mulia
hidupnya. Walaupun demikian, manusia berupa emas dan perak sudah terlebih
secara aktif dan sadar dapat mereproduksi dahulu dijadikan sebagai standar nilai alat
sarana hidup mereka dari alam melalui tukar. Selanjutnya barulah uang yang
proses produksi material, penyesuaian, dan
pengerjaan sumber daya alam. Aktivitas
yang dilakukan secara sadar inilah yang
1 Pada sisi tertentu uang tidak hanya memiliki politik untuk menjalani sebuah sistem
nilai ekonomis semata sebagai alat tukar, produksi.
melainkan juga dimanfaatkan sebagai alat
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 3
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
sebagai peletak dasar munculnya Handel-Maatschappij. Pada saat itu,
perkebunan di Sumatera Timur adalah J. perusahaan ini sudah memiliki 7000
Nienhuys (Bremen 1997, 16; Perret 2010, hektare lahan tembakau, 1.200 kuli
121). Tionghoa, dari total 3000 kuli yang bekerja
Jacob Nienhuys merupakan di wilayah Kesultanan Deli (Pelzer 1985,
wirausahawan pertama yang didaulat oleh 51—53). Sampai tahun 1869, konsesi yang
pedagang-pedagang Belanda untuk berkaitan dengan tanah perkebunan hanya
menanamkan investasinya pada diberikan pada wilayah-wilayah yang
perkebunan tembakau di Jawa. berada di bawah wewenang sultan. Akan
Pertemuannya dengan Pangeran Said tetapi dikarenakan tanah hutan di Pesisir
Abdullah Ibn Umar Bilsagih di Surabaya, Timur hanya dapat menghasilkan satu kali
kelak menjadi titik penting meluasnya panen tembakau, maka para pekebun
perkebunan swasta ke wilayah Sumatera berusaha untuk memperluas lahan mereka
Timur. Pangeran ini menunjukkan bahwa di luar wilayah sultan. Pada tahun yang
kesuburan dan iklim di daerah Deli sangat sama diresmikannya Terusan Suez juga
tepat untuk perkebunan tembakau. Setelah menjadi pemicu pertumbuhan meluasnya
peristiwa tersebut Nienhuys tiba di perkebunan-perkebunan swasta di wilayah
Labuhandeli pada tahun 1863, dan kecewa Deli pada tahun berikutnya. Akibatnya,
karena melihat kondisi perkebunan perkebunan di Kasultanan Langkat dan
tembakau yang diproduksi penduduk Kasultanan Serdang semakin berkembang,
setempat. Walaupun demikian, dia tetap demikian juga di Hamparan Perak (Perret
memutuskan untuk mencoba membuka 2010,182).
sebuah perkebunan eksperimental di Deli Syarat-syarat kerja untuk para kuli
seluas 75 hektar. Setelah izin diberikan, telah tertuang sepenuhnya di dalam Koeli
Nienhuys mendatangkan orang-orang Oordonantie 1880. Dalam peraturan
Tionghoa dari Singapura untuk mengurus tersebut, ditetapkan masa kontrak seorang
perkebunannya, hal tersebut karena tidak kuli adalah selama tiga tahun. Setelah
seorangpun orang pribumi yang mau masa kontrak itu habis, pihak institusi
membantunya mengurus perkebunan. perkebunan harus mengembalikan kuli.
Hasil panen pertamanya pada tahun 1864 Dalam peraturan tersebut juga terdapat
ternyata memiliki kualitas istimewa ketika sanksi-sanksi atas kuli yang tertuang di
diekspor ke Belanda (Perret 2010, 180). dalam bab Poenali Sanctie. Adapun isinya
Melihat kenyataan tersebut, Nienhuys secara umum adalah setiap kuli kontrak
bersama dengan Janssen, Clemen kembali yang meninggalkan pekerjaannya, yang
ke Deli pada tahun 1869 dan mendirikan lari, dan yang mengabaikan kewajiban
Deli Maatschappij dan Nederlandsche
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 5
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
atau ditukar dengan mata uang lain yang seperti ini sebenarnya memiliki relevansi
berlaku pada masa itu. Hal inilah yang ketika membahas permasalahan yang
menjadi sebuah permasalahan menarik berkaitan dengan relasi sosial-budaya
dalam kajian arkeologi kolonial. Dalam sebagai sebuah alternatif pendekatan.
konteks ini salah satu permasalahan yang
2. Metode
berkaitan dengan keberadaan uang kebon
Data utama yang digunakan dalam
sebagai mata uang perkebunan yaitu
hal ini adalah fenomena munculnya uang
bagaimanakah praktik kolonialisme yang
kebon dalam sistem ekonomi perkebunan
tercermin dalam uang kebon ketika ditinjau
di Sumatera Timur. Dalam hal ini beberapa
dengan menggunakan pendekatan
contoh uang kebon akan dideskripsikan
arkeologi marxis?
secara formal. Selain data utama juga
Penggunaan arkeologi marxis
digunakan data sekunder berupa studi
sebagai sebuah pendekatan didasari dari
pustaka. Adapun metode penalaran yang
kecocokannya dengan kondisi sosial
digunakan adalah induktif yang dimulai dari
budaya pada masa ketika peristiwa
pengamatan terhadap gejala-gejala khusus
tersebut terjadi. Melalui kerangka kerja
pada data utama, kemudian disimpulkan
arkeologi marxis diharapkan dapat
sebagai gejala yang bersifat empiris umum.
diketahui lebih dalam tentang praktik
Penelitian ini bersifat deskriptif-eksplanatif
kolonialisme pada sistem produksi
dengan tujuan akhir untuk menjelaskan
perkebunan melalui artefak budaya berupa
gejala-gejala khusus yang berkaitan
uang kebon. Adapun tujuan dari tulisan ini
dengan permasalahan yang diajukan.
selain menjawab permasalahan yang di
Dalam penelitian ini gejala-gejala khusus
ajukan, sekaligus juga memperkenalkan
tersebut akan dijelaskan dengan teori yang
arkeologi Marxist sebagai sebuah
berkaitan dengan Arkeologi Marxis. Hodder
paradigma yang belum banyak
(2003, 7) yang mengadopsi diagram dari
dikembangkan di Indonesia. Paradigma
beberapa contoh uang kebon yang beredar Uang token atau sering dikenal
pada perkebunan di Sumatera Timur pada dengan nama uang kebon merupakan alat
abad ke-19. Deskripsi morfologi uang tukar yang hanya beredar dan berlaku di
kebon yang tersebut di bawah ini tidak wilayah perkebunan tertentu. Mata uang ini
menjadi bahasan utama untuk menjawab tidak memiliki nilai tukar apabila digunakan
permasalahan, melainkan hanya sebagai di luar wilayah perkebunan. Uang kebon
contoh beberapa koin yang beredar pada memiliki berbagai jenis, bentuk dan ukuran,
masa itu. beberapa di antaranya:
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 7
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
berbahan perunggu, dan warnanya
cokelat kemerahan. Terdapat tulisan
pada kedua sisinya, dengan dua macam
aksara yaitu aksara latin dan cina. Pada
sisi depan bagian tengah terdapat
tulisan “Unternehmung Gut Für 1 Dollar
Gambar 3. Contoh uang kebon 1
1879 Tanah Radja”, dan terdapat motif
(Dok. Churmatin Nasoichah 2010)
sulur-suluran pada bagian tepianya.
1. Uang ini berbentuk persegi dengan
Adapun pada bagian sisi yang lain
keempat sudut terpotong dengan
terdapat tulisan dalam aksara cina dan
panjang 3 cm, lebar 2,2 cm, lebar sudut
terdapat motif garis-garis kecil di bagian
0,5 cm, dan tebal 0,1 cm dengan bagian
tepiannya.
tepiannya didekorasi dengan deretan
lingkaran-lingkaran berukuran kecil.
Uang ini berbahan logam perunggu
dengan mayoritas campuran kuningan.
Terdapat tulisan di kedua sisinya. Pada
sisi depan terdapat dua jenis aksara
yaitu aksara latin dan aksara cina.
Sebuah angka arab 20 dengan tulisan
CENTS EONG HONG berada di bagian Gambar 5. Contoh uang kebon 3
(Dok. Churmatin Nasoichah 2010)
tengah, sedangkan pada sisi kanan dan
kirinya terdapat aksara Cina. Adapun 3. Uang ini berbentuk oval dengan
pada bagian sebaliknya terdapat aksara diameter panjang 4,8 cm, diameter
pendek 3 cm, dan tebal 0,1 cm. Adapun
Cina yang berada tepat di tengah bidang
pada bagian tepiannya didekorasi
mata uang.
dengan deretan lingkaran-lingkaran
berukuran kecil. Uang ini berupa uang
logam dengan bahan perunggu. Pada
uang ini hanya satu sisi yang terdapat
tulisan, sedangkan sisi lainnya kosong.
Sisi yang terdapat tulisan memiliki
aksara latin yang berbunyi
Gambar 4. Contoh uang kebon 2
“UNTERNEHMUNG pada bagian atas,
(Dok. Churmatin Nasoichah 2010)
rata tengah, sedangkan pada bagian
2. Uang ini berbentuk persegi empat
bawah dibatasi oleh dua buah tanda
dengan panjang 3 cm, lebar 2,3 cm, dan
bintang, adalah tulisan Poelau Radja.
tebal 0,5 cm. Uang ini berbentuk logam
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 9
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
bertulisan UNTERNEHMUNG pada pekerja, negara kolonial menyediakan
bagian atas luar, dan TANJOENG ALAM seperangkat peraturan yang turut
pada bagian di bawahnya. Kedua tulisan menentukan bekerjanya sistem ini.
tersebut digambarkan melingkari mata Lahan yang melimpah dan murah
uang yang pada bagian tepinya telah dijamin oleh pemerintah Hindia
didekorasi dengan deretan bentuk Belanda melalui berbagai cara, antara lain
lingkaran-lingkaran kecil. Adapun pada (I) pengambilalihan langsung dari tanah
bagian lingkaran kedua yang dibatasi koloni, (ii) melalui asumsi kondisi
dengan garis tipis menonjol bertulisan ketidakjelasan status kepemilikan tanah
GUT FUR pada bagian atas, 1 DOLLAR, tanpa perlu memerhatikan kepetingan
pada deret kedua, REIS pada deret ekonominya, (iii) dukungan negara untuk
ketiga, dan 1892 pada deret terakhir. mencabut status tanah adat yang dianggap
Dalam rangka membedah praktik ilegal sewaktu-waktu (status ilegal dalam
kolonialisme pada perkebunan, hal hal ini sebagian besar dilakukan melalui
pertama yang harus diketahui adalah penerapan hukum kontrak dan properti
sistem ekonomi perkebunan itu sendiri. Eropa pada tanah adat) melalui
Sistem ekonomi perkebunan walaupun penggunaan kekuatan fisik untuk
telah jelas berbentuk kapitalis tetapi menghancurkan perlawanan lokal ketika
memiliki perbedaan dengan sistem diperlukan, (iv) kadang-kadang melalui
ekonomi kapitalis standar pada umumnya. peraturan khusus tentang penyediaan dan
Adapun perbedaan mendasar pada sistem penyewaan lahan yang menguntungkan
ekonomi kapitalis perkebunan adalah (i) bagi pihak perkebunan. Adapun hal penting
adanya kepemilikan asing (ii) didirikan pada selanjutnya berkaitan dengan
wilayah yang ditaklukkan (Gordon 1986, ketenagakerjaan. Tenaga kerja dalam hal
1420). Beberapa prinsip dasar berkaitan ini harus didatangkan dari luar wilayah
dengan jalannya sistem ekonomi karena penduduk pribumi dirasa tidak
perkebunan yang harus dimiliki oleh para dapat mencukupi kebutuhan perkebunan
tuan kebun sebagai modal produksi atau (Gordon 1986, 1420). Perekrutan pekerja
kekuatan produksi, yaitu ketersediaan melalui sistem kontrak di wilayah Pantai
lahan/ tanah dan tenaga kerja. Dalam Timur Sumatera telah dimulai sejak tahun
sistem ekonomi perkebunan kolonial, 1880 pada perkebunan tembakau. Sejak
kedua hal tersebut lebih mudah untuk saat itu peraturan tentang kuli telah
didapatkan. Hal tersebut karena diperluas ke ranah lain.
perkebunan tidak beroperasi pada jalur Kewajiban dan hak kedua belah
kapitalis normal yang sangat tergantung pihak, dalam hal ini institusi perkebunan
dari pembayaran sewa tanah dan upah dan kulinya harus memenuhi tuntutan yang
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 11
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
tampak pada beberapa produk hukum yang
semakin menindas kaum pekerja
perkebunan. Selain itu terdapat sebuah
fiksi legal bahwa penyerahan wewenang
dari penguasa lokal kepada tuan kebun
tidak hanya berlaku untuk tanah melainkan
juga untuk hak menguasai tenaga kerja
Gambar 9. Sistem tata sosial-ekonomi (Bremen 1997, 31). Hal tersebut semakin
perkebunan Sumatera Timur (Digambar
menguatkan eksistensi para kapitalis Eropa
oleh:Andri Restiyadi)
di Deli.
perkebunan. Di samping itu terdapat kelas-
Salah satu pola relasi yang
kelas lain yaitu kelas penguasa lokal, yaitu
menjadi bukti bahwa ekonomi menjadi
para sultan yang sebenarnya menjadi pihak
sentral dalam gejala sosial adalah dengan
penguasa tanah, sekaligus juga menjadi
melihat adanya ekonomi dalam kaitannya
pemilik modal lokal sebagai saingan dari
dengan uang. Dalam bukunya yang
orang-orang Eropa yang merasa terancam.
termasyhur Philosophie des Geldes (1900),
Terdapatnya kelas-kelas sosial tersebut
Simmel mencoba memerlihatkan
tidak lain karena beberapa pihak ingin
bagaimana ekonomi uang dan
mempertahankan status quo
institusionalisasi hak milik pribadi telah
mempertahankan kedudukannya yang
memberi kontribusi bagi penciptaan jarak
lebih tinggi dibanding dengan yang lainnya.
sosial dan pelonggaran sebuah kolektivitas
Adapun model produksi dari
yang tak lain berarti membesarnya ruang
sebuah sistem kapitalis adalah kompetitif.
kebebasan individu. Uang memungkinkan
Dalam artian, seperti data yang terdapat di
distansi sekaligus individualisasi sehingga
awal, bahwa kapitalis dalam hal ini adalah
pola hubungan etnosentris dan ekslusif
orang-orang Eropa yang memiliki
diubah menjadi pola-pola hubungan yang
perkebunan-perkebunan di Deli, sementara
lebih longgar (Hardiman 2010, 8). Menurut
itu sebagai kompetitor mereka selain kelas-
Simmel, pertukaran ekonomi dapat
kelas mereka sendiri, juga para sultan Deli
dipahami sebagai bentuk interaksi sosial.
yang ingin juga memiliki perkebunan
Ketika transaksi moneter menggantikan
dengan sistem kerja Eropa. Pada sisi lain,
barter, terjadi perubahan penting dalam
pemerintah Hindia Belanda diam-diam
bentuk interaksi antara para pelaku sosial.
mendukung dan memperkuat keberadaan
Simmel melihat uang sebagai suatu yang
perkebunan swasta tersebut agar terus
bersifat impersonal, suatu yang tidak
berproduksi dengan cara menidas kapum
terdapat pada ekonomi barter. Hubungan
pekerjanya. Dukungan dari pihak
antar individu diwarnai warna dan ciri
pemerintah Hindia Belanda antara lain
Gambar 10. Penerapan tesis Arkeologi Marxis pada sistem sosial-ekonomi perkebunan
Sumatera Timur (Digambar oleh: Andri Restiyadi)
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 13
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
pemberhalaan hidup manusia pada mengeluarkan alat tukar perusahaan
barang-barang industri. Dengan fenomena karena ada kekurangan mata uang
ini, jati diri masyarakat menjadi pecahan di Sumatera Timur. Satu dolar
terfragmentasi ke dalam sistem sosial yang terdiri atas 100 kupang atau 1000 duit, dan
dibingkai oleh kepentingan ekonomis semuanya disebutnya duit.
belaka, dan dalam sistem ini yang Selanjutnya menurut Broesrma
diuntungkan adalah pihak yang memiliki yang dikutip Bremen (1997, 117) dikatakan
jaringan dengan para pemilik modal bahwa:
(kapitalis) yang bekerjasama dengan “pernah terjadi untuk mencegah
kekuasaan negara (Saptawasana 2005, ledakan ketidaksabaran,
seorang majikan menggunting
28). bagi Lukacs, kaum proletar adalah kaleng biskuit menjadi keping-
pihak yang paling dirugikan nasibnya dalam keping bulat pipih, menuliskan
angka-angka di atasnya, dan
kondisi objektif masyarakat yang demikian
membayarkannya kepada
ini. pekerjanya. Ia mengatakan,
Adapun uang kebon itu sendiri para kuli bisa menukarkan
keping tersebut di Malaka. Kuli-
memiliki makna yang cukup kompleks kuli pun menyeberang ke
dalam sebuah perkebunan. Uang kebon Malaka, tetapi beberapa hari
kemudian datang kembali
menjadi sebuah simbol dari relasi antara
dengan kecewa. Tetapi
kelas kapitalis dan proletariat. Pada muslihat majikan sudah
kenyataannya, uang tersebut hanya berhasil, yakni mendapatkan
dolar dan mata uang logam
berlaku pada sebuah lingkungan yang diperlukannya.”
perkebunan tertentu saja. Hal tersebut
Pada dasarnya, uang kebon yang
tentunya untuk mengikat para pekerja
hanya dapat dibelanjakan di toko-toko
perkebunan di lingkungan kerja mereka
perkebunan yang para penjualnya tak lain
dengan segala konsekuensinya.
adalah orang-orang dari tuan kebun itu
Menurut Bremen (1997, 117),
sendiri, merupakan sebuah rantai
salah satu bentuk penipuan yang
kolonialisme dalam bentuk yang lain.
dikerjakan oleh para tuan kebun ialah kuli
Praktik kolonialisme tersebut sebenarnya
tidak diberikan kebebasan untuk
memaksa para pekerja untuk terbelit
membelanjakanupahnya yang sudah
hutang yang lebih banyak pada toko-toko
sangat rendah. Banyak perkebunan
perkebunan dan hutang tersebut yang
menggaji kulinya sebagian dengan uang
nantinya akan membuat para pekerja
buatan sendiri berupa kertas bon atau
menjadi semakin terikat oleh sistem
keping logam yang hanya dapat
perkebunan itu sendiri. Ketika terjadi protes
dibelanjakan di toko (kedai) perkebunan.
sosial berkaitan dengan ketidakadilan
Menurut para tuan kebun, mereka telah
perlakuan tuan kebun terhadap para
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 15
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
2008, 135-136). Menurut Marx, kapitalisme hanya pada perkebunan tertentu saja.
adalah suatu model produksi yang menurut Pada sisi yang lain, uang merupakan
kodratnya menghasilkan orang-orang yang simbol dari relasi produksi antara pekerja
teralienasi, yaitu orang-orang yang terpisah dan majikan. Dengan kata lain hal ini
dari kemanusiaan mereka, manusia yang menjadi sebuah kesadaran bagi kaum
tidak bisa bertindak sebagai manusia. pekerja bahwa mereka mendapatkan upah,
Kaum kapitalis harus memperlakukan tetapi di luar jangkauan mereka, mereka
kaum proletariat sebagai potongan- tidak sadar bahwa uang tersebut ternyata
potongan mesin. Bila suatu mesin mengikat mereka lebih kuat ke dalam
dinyatakan tidak berfungsi mereka dibuang, sistem kolonialisme yang sengaja dibangun
karena hal itulah yang ditekankan oleh oleh para kapitalis.
sistem produksi (Kebung 2008, 138--9).
Daftar Pustaka
Selain itu, teori Gramsci tentang
Bachri, Saiful. Sejarah Perekonomian.
hegemoni juga terjadi di sini. Di dalam Surakarta: Lembaga
Pengembangan Pendidikan (LPP)
sistem perkebunan, setidaknya terdapat
UNS dan UPT Penerbitan dan
dua cara penguasaan. Pertama melalui Pencetakan UNS (UNS Press).
jalan kekerasan dan pemaksaan, yang Bremen, Jan, 1997. Menjinakkan Sang Kuli,
Politik Kolonial Pada Awal Abad ke-
tercermin dengan perlakuan para tuan 20. Diterjemahkan oleh: Koesalah
kebun terhadap para pekerja perkebunan, Soebagyo Toer. Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti dan
dan yang kedua melalui hegemoni.
Perwakilan Koninkljk Instituut voor
Hegemoni dijalankan oleh para tuan kebun Taal-,Land-en Volkenkunde.
untuk memengaruhi selain para pekerjanya Gordon, Alec. 1986. “Colonial Mode of
Production and Indonesian
sendiri, juga pemerintah Hindia Belanda, Revolution,” dalam Economic and
penguasa-penguasa lokal untuk Political Weekly, Vol. 21, No. 32
(Aug. 9, 1986). Economic and
menyewakan tanah-tanah mereka dalam Political Weekly. Halaman 1417-
jangka panjang. 1426.
Hardiman, F. Budi. 2010. “Georg Simmel
4. Kesimpulan Dan Relasionisme: Sebuah
Uang kebon, sejatinya merupakan Tinjauan Filosofis Atas Hubungan
Individu Dan Masyarakat,” dalam
sebuah simbol dari keberadaan praktik Studia Philosophica et Theologica,
kolonialisme pada sistem produksi di Vol. 10 No. 1, Maret 2010.
perkebunan Deli. Uang kebon tidak lain Hodder, Ian dan Scott Hutson. 2003.
Reading The Past: Current
menjadi sebuah sarana pengikat untuk Approach to Interpretation In
mempertahankan status quo relasi antara Archaeology. Edisi ketiga.
Cambridge: Cambridge University
sistem produksi perkebunan dan para Press.
pekerjanya. Sementara itu makna uang Kebung, Konrad. 2008. Esai Tentang
kebon bersifat mengikat, karena berlaku Manusia: Rasionalisasi Dan
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 17
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
TEMUAN GERABAH DI PURA WASAN, BLAHBATUH, GIANYAR
(Suatu Pendekatan Etnoarkeologis)
I Wayan Badra
Balai Arkeologi Bali
Jalan Raya Sesetan No 80 Denpasar
iwayanbadra57@gmail.com
Abstract
Wasan is the name of a subak (Balinese traditional irrigation system) that is located eastern of Banjar
Blahtanah and around Banjar Canggi (banjar = community unit). Wasan yielded a number of
archaeological finds such as candi (temple), pond, building structure, figurine, animal statues, lingga,
yoni, and potsherds. The purpose of this research is to find out the shapes and functions of the potsherds
which found at the temple. Data were collected by means of survey and excavation, then have been
analyze for morphologically, technologically, and contextually. Results of this research include three
penyembeans, three coblongs, and a jar. Derived from their shapes, the three types of pottery have
different functions. Penyembean was functioned as a container to ignite fire before the commencing of
a yadnya ceremony at Pura Wasan. Coblong was used to place holy water or (tirtha), while the jar, due
to its larger size, besides being functioned to store tirtha, could also be used as a container for toye anyar
during religious ceremonies.
Abstrak
Wasan merupakan nama sebuah subak yang terletak di sebelah timur Banjar Blahtanah dan di sekitar
Banjar Canggi. Wasan mengandung beberapa tinggalan arkeologis di antaranya candi, kolam, struktur
bangunan, arca perwujudan, arca binatang, lingga, yoni, dan sejumlah fragmen gerabah. Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk dan fungsi temuan gerabah yang terdapat di pura
tersebut. Data penelitian ini dikumpulkan melalui survei dan ekskavasi, kemudian dianalisis secara
morfologi, teknologi dan kontekstual. Hasil penelitian ini berupa tiga buah penyembean, tiga buah
coblong, dan sebuah periuk. Berdasarkan ketiga bentuk gerabah ini mempunyai fungsi yang berbeda-
beda. Penyembean dapat difungsikan sebagai wadah tempat menyalakan api, ketika upacara yadnya
di Pura Wasan dimulai. Coblong dapat difungsikan sebagai wadah tempat air suci atau tirtha, sedangkan
periuk yang bentuknya lebih besar, selain difungsikan sebagai tempat tirtha, dapat juga dipakai sebagai
wadah tempat toye anyar dalam pelaksanaan upacara agama.
Gambar 9. Periuk Prangsada, Blahbatuh, Gianyar. Gambar 11. Periuk Pejaten, Kediri, Tabanan.
(Sumber: Dokumen pribadi) (Sumber: Dokumen pribadi)
Daftar Pustaka
Badra, I Wayan. 2016. “Ekskavasi
Arkeologi Situs Wasan, Dusun
Blahtanah, Desa Batuan Kaler,
Sukawati, Gianyar, Tahap XXIII.”
Laporan Penelitian Arkeologi, Balai
Arkeologi Bali, Denpasar.
Durkheim, Emile. 1965. “The element
Forms of the religious Life.” Dalam
The Origin and Development of
Religion: 28-36.
Geertz.C.1966. “Religion as a Cultural
System.”Dalam Anthropological
Approach to the Study Religion,
disunting oleh Bantom. London:
Tavistock Publication.
Geria, I Made. 1990.”Kajian Arsitektural
Candi Wasan, Desa Batuan,
Kecamatan Sukawati, Kabupaten
Gianyar.” Laporan Penelitian
Arkeologi, Tidak diterbitkan.
Hooykaas, C. 1964. Agama Tirtha: Five
Studies at Hindu-Balinese Religion.
Amsterdam: A.V. Noor Hollandsche
Uitgeveers Matschapij.
Heekeren, H.R.Van & Eigil Knuth, 1967.
Archaeological Exavation in
Ketut Wiradnyana
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No. 1, Medan
Ketut_wiradnyana@yahoo.com
Abstract
The functions of menhirs are often being connected to medium of worship, burial markers, and
guardian of an area/village, or stakes to tether sacrificial animals. Such functions are known to
be related to visual aspect or practical functions. Menhirs in Batak Toba culture on Samosir
Island, which are called tunggal panaluan and borotan also have the above functions. Moreover,
the cultural items have other functions in relation to the aspect of cosmogony. Hence the aim of
this article is to understand the function of tunggal panaluan and borotan in relation to
cosmogony, which were carried out using descriptive-interpretative method, supported by
ethnographical data of Batak Toba culture that was compared to similar cultures and functions
in other places. The implementation of the method to fulfill the research aim reveals that tunggal
panaluan and borotan also function as a bridge to connect the three levels of environment.
Abstrak
Kerap fungsi menhir itu dikaitkan dengan medium pemujaan, tanda kubur, penjaga areal/
perkampungan atau tambatan hewan kurban. Fungsi–fungsi dimaksud diketahui terkait dengan
aspek visual atau fungsi yang bersifat praktis. Menhir dalam budaya masyarakat Batak Toba di
Pulau Samosir yang disebut dengan tunggal panaluan dan borotan juga memiliki fungsi
dimaksud. Kedua benda budaya itu juga memiliki fungsi lainnya yang terkait dengan aspek
kosmogoni. Berkenaan dengan itu maka tujuan uraian ini adalah mengetahui fungsi tunggal
panaluan dan borotan dalam kaitannya dengan kosmogoni. Hal tersebut dilakukan melalui
metode deskriptif -interpretatif yang disertai data etnografi budaya Batak Toba untuk kemudian
dibandingkan dengan budaya dan fungsi sejenis di tempat lainnya. Pemanfaatan metode
tersebut dalam pencapaian tujuan penelitian menghasilkan fungsi tunggal panaluan dan borotan
sebagai jembatan bagi roh untuk menyatukan ketiga tingkatan alam.
Kata Kunci: roh, menhir, tunggal panaluan dan borotan, kosmogoni
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 33
menandakan kuatnya pengaruh budaya sebuah tinggalan arkeologis menjadi
megalitik di wilayah ini. Berkenaan kurang tepat.
dengan itu, tradisi megalitik sebagian Salah satu bentuk tinggalan
masih berlangsung hingga kini, seperti megalitik yang dimiliki masyarakat
prosesi penguburan primer-skunder, Batak Toba adalah tunggal panaluan
prosesi upacara adat yang berkaitan yang difungsikan sebagai tongkat bagi
dengan prosesi Agama Malim, yang tokoh ataupun sebagai media pemujaan
dianggap sebagai kepercayaan lama dalam berbagai prosesi upacara. Pada
masyarakat Batak Toba (Gultom prosesi upacara, para datu (dukun)
2010,81). Selain itu pada aspek menancapkan tunggal panaluan di
pertanian yaitu pada kegiatan sekitar areal upacara di tengah halaman
penentuan musim tanam padi ataupun rumah ataupun kampung. Tongkat ini
jenis padi yang akan ditanam, difungsikan juga sebagai pengusir roh
pengesahan hukum adat dan jahat yang akan mengganggu prosesi
penyelesaian konflik juga masih upacara. Menilik fungsi tersebut maka
berkaitan dengan kepercayaan tunggal panaluan dapat dimasukkan
terhadap nenek moyang yang dalam kategori menhir. Menhir ada juga
merupakan dasar dari tradisi megalitik yang berfungsi sebagai pengikat hewan
(Wiradnyana 2014,17). Aspek megalitik kurban, selain sebagai media pemujaan
lainnya juga tampak dari bentuk (Kaudern 1938 dalam Sukendar 1983,
arsitektur rumah adat berupa rumah 97). Masyarakat Batak Toba menyebut
panggung, yang melambangkan tiga bangunan megalitik yang berfungsi
tingkatan alam yaitu dunia bawah, sebagai pengikat hewan kurban dan
tengah dan dunia atas (Wiradnyana diletakkan di tengah perkampungan
2011,146). adalah borotan. Oleh karena itu tunggal
Megalitik merupakan sebuah panaluan dan borotan merupakan
corak budaya yang perkembangannya menhir yang berfungsi sebagai pengikat
dimulai pada awal-awal Masehi hingga hewan kurban selain sebagai media
ke masa kini. Mengingat pemujaan (Wiradnyana 2016, 103).
keberlangsungan tradisi ini cukup Pemahaman atas fungsi sebuah objek
panjang dan sebagian diantara arkeologis tersebut lebih cenderung
unsurnya telah berubah, sehingga tidak terkait dengan aspek visual semata,
semua data yang disampaikan sebagai sehingga pemahaman objek menjadi
sebuah informasi, memadai untuk dapat kurang baik. Objek arkeologis dapat
menjelaskan sebuah tinggalan memiliki fungsi lain kalau dilakukan
arkeologis. Sehingga memahami kajian-kajian yang lebih intensif
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 35
bertujuan menggambarkan fungsi mengkomunikasikan makna dalam
tunggal panaluan dan borotan yang konteks religi/tradisi megalitik (Geertz
merupakan budaya materi Batak Toba 1995,102). Berbagai aspek yang dimuat
yang bercorak megalitik sebagai merupakan unsur budaya dalam
sebuah simbol. Untuk itu, memahami sebuah sistem (Ritzer dan Goodman
objek dimaksud hanya dapat dilakukan 2004, 238--63), diantaranya adalah
dengan memahami prosesi religi yang sistem religi yang terdiri dari subsistem,
menyertai dalam kaitannya dengan teridentifikasi sebagai sebuah menhir.
kosmogoni. Hal tersebut akan Benda budaya tersebut merupakan
memberikan pemahaman fungsi menhir hasil dari pencapaian tata kebudayaan
yang sesungguhnya yang tidak hanya atau simbol-simbol kolektif masyarakat
didasarkan visual semata. Adapun Batak Toba. Berkenaan dengan itu,
ruang lingkup dari bahasan ini adalah fungsi dari sebuah tunggal panaluan
tunggal panaluan dan borotan yang dan borotan hanya dapat dipahami
merupakan hasil budaya materi dalam lingkup sistem religi.
masyarakat Batak Toba di Pulau
2. Metode
Samosir, Sumatera Utara.
Metode penelitian yang
Menhir memiliki bentuk yang
digunakan untuk pengungkapan
cukup variatif, dengan bentuknya
permasalahan di atas adalah deskriptif-
tersebut kerap menhir tampak memiliki
kualitatif. Hal itu merupakan upaya
fungsi yang berbeda. Namun
pengungkapan berbagai aspek yang
sesungguhnya fungsi yang berbeda
terkandung pada objek arkeologis
tersebut sebenarnya memuat makna
berupa tunggal panaluan dan borotan
yang serupa pada aspek religi, jadi
yang menjadi benda budaya penting
sebuah menhir itu pada hakekatnya
pada masyarakat Batak Toba. Metode
memiliki fungsi yang sama kalau
tersebut dilakukan dengan observasi
dipandang menhir itu sebagai sebuah
yaitu melalui pengamatan langsung
simbol, sehingga teridentifikasi memiliki
objek di Museum Simanindo, Pulau
makna yang sama. Untuk memahami
Samosir, untuk kemudian dilakukan
menhir sebagai sebuah simbol, maka
pendeskripsian. Selain itu juga
konsep tunggal panaluan dan borotan
dilakukan wawancara terbuka yang
dapat dijadikan analogi yang
disertai dengan pengamatan atas
mengkomunikasikan makna
perilaku masyarakat pada aspek tujuan
sesungguhnya tentang seseorang atau
hidupnya, untuk membantu penerapan
tentang sesuatu, (Geertz 1973, dalam
metode eksplanatif. Studi pustaka juga
Abdullah 2006, 240--1) dan
dilakukan dalam upaya mendapatkan
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 37
hanya menyisakan bagian kecil yang Penggambaran manusia pada tunggal
tidak dihias yaitu bagian pegangan yang panaluan merupakan figur orang-orang
berada di bagian tengah tongkat. Pada yang telah meninggal bersama istrinya,
bagian atas tongkat ini biasanya saudaranya atau pembantunya.
dipahatkan manusia dalam ukuran yang Binatang yang digambarkan mewakili
lebih besar dan diberi hiasan kurban-kurban yang dipersembahkan
rambut/bulu ayam di bagian kepalanya, dalam prosesi upacara atau hewan
serta ikat kepala tiga warna (merah yang dikurbankan atau dibunuh oleh
putih dan hitam). Adapun pahatannya orang yang meninggal selama
menggambarkan serangkaian figur hidupnya. Tunggal panaluan serupa
manusia laki-laki ataupun wanita dengan patung-patung (hampatong),
bertubuh kecil dengan karakter muka Dayak (Rassers 2008,104). Tunggal
seperti monster. Kepala kerap panaluan dalam kaitannya dengan religi
dipahatkan dengan ukuran yang lebih meminta hujan, maka dalam ritualnya
besar dengan tubuh dalam posisi sesaji dipersembahkan untuk tanah dan
jongkok atau setengah jongkok, satu di terutama untuk figur-figur wanita pada
atas yang lain. Pada bagian–bagian tongkat tersebut (Rassers 2008, 125).
tertentu dipahatkan juga hewan Prosesi itu sangat erat dengan budaya
diantaranya lembu, kerbau, kadal, ular pertanian masyarakat Batak Toba.
dan buaya. Selain itu pada tunggal Menhir yang berbahan kayu
panaluan juga ada lubang tempat pupuk dengan hiasannya dilengkapi dengan
(zat mistis) untuk memberi kekuatan. ranting beserta daun pohon beringin
Pada masyarakat Batak Toba masa disebut dengan borotan. Borotan dalam
lalu, tunggal panaluan digunakan bahasa setempat berarti ikat, adalah
sebagai tongkat para datu (dukun) lambang pohon mistis tumburjati atau
dalam menjalankan prosesi upacara pohon kehidupan (hariara) (Tobing
atau juga para tokoh-tokoh tertentu 1963, 118). Borotan digunakan sebagai
(Keurs 2008, 54--7). Tunggal panaluan tempat mengikat kerbau yang akan
tersebut ditancapkan pada tanah di disembelih pada prosesi upacara
tengah halaman kampung dimana tradisional seperti upacara kematian
prosesi upacara dilaksanakan. Adapun (saurmatua dan mangongkal holi).
pahatan tunggal panaluan tidak selalu Di Pulau Samosir tunggal
sama satu dengan yang lainnya, namun panaluan dan borotan diletakkan
pahatan manusia yang saling berdampingan di tengah halaman
menjunjung ataupun pahatan hewan perkampungan Museum Simanindo
selalu hadir dalam objek tersebut. (Wiradnyana dkk 2016, 103--5).
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 39
megalitik tetap masih terlihat jelas Alam Atas terbagi dalam 7 lapisan, pada
“benang merahnya,” terutama dalam lapisan yang tertinggi merupakan
kaitannya dengan aspek religi. Hal tempat bertahtanya Mulajadi Na Bolon.
tersebut dimungkinkan mengingat religi Beliau merupakan pencipta alam
merupakan unsur budaya yang tidak beserta isinya. Pada Alam Tengah
mudah berubah dibandingkan unsur merupakan tempat tinggal manusia, dan
budaya yang lainnya (Koentjaraningrat pada Alam Bawah merupakan tempat
1990, 97). Artinya konsep tersebut juga tinggal para roh jahat. Selain Mulajadi
merefleksikan aspek adaptasi yang Na Bolon, masyarakat Batak Toba juga
mengacu kepada keseimbangan yang mengenal tokoh-tokoh lain yang
terus berubah-ubah antara kebutuhan memiliki fungsi tertentu seperti Si
sosial manusia dengan potensi Leangleang Mandi yang bertugas
lingkungannya dalam upaya sebagai utusan Mulajadi Na Bolon, Si
keberlangsungan hidup (Haviland Leangleang Nagurasta sebagai penjaga
1988a, 348;1988b, 3, 35). Hal tersebut pintu surga, dan lain-lain. Selain itu
menggambarkan bahwa sebuah objek Mulajadi Na Bolon juga menciptakan
megalitik akan selalu mengalami pohon kehidupan (Tumburjati) yang
perubahan atau perkembangan bentuk ditempatkan di Alam Atas pada lapisan
dan fungsinya. Perkembangan tersebut ke dua (Tobing 1963, 27;Wiradnyana
menjadikan adanya struktur bentuk dan 2016, 85; Gultom 2010,98; Warneck
fungsi dari sebuah objek budaya 1909, 4-6 dalam Nainggolan 2012, 22).
tersebut, bahkan juga dapat Folklor kosmogoni masyarakat
membangun struktur-stuktur lain dalam Batak menunjukkan bahwa,
kehidupan masyarakatnya. kepercayaan lama tersebut juga
Keberadaan struktur dalam mengalami perubahan ke struktur
masyarakat Batak Toba tercermin dari kepercayaan yang lebih teratur seperti
keberadaan struktur sosial, struktur adanya dewa dalam Agama Hindu.
organisasi sosial dan kosmogoninya. Ompu Mulajadi Na Bolon yaitu dewa
Hal tersebut mencerminkan bahwa tertinggi sebagai pencipta alam
struktur merupakan model kebudayaan semesta didalamnya terdapat tiga dewa
yang banyak digunakan dalam aspek yaitu:1). Batara Guru, dewa ini
kebudayaan. Struktur kosmogoni dalam bertempat tinggal di Banua Atas disebut
konsep masyarakat Batak Toba terdiri Tuan Pane Na Bolon. Dewa ini
atas tiga tingkatan yaitu: Alam Atas berfungsi untuk pengirim hujan, cahaya,
(Banua Ginjang), Alam Tengah (Banua guruh/petir dan ombak ke dunia tengah
Tonga) dan Alam Bawah (Banua Toru). serta memberikan kesuburan tanah. 2).
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 41
penjaga wilayah/batas kampung dan sebagai tempat meminta pertimbangan
juga penjaga pintu masuk kampung. dalam kaitannya dengan peperangan
Kalau ditinjau dari tradisi pembuatan atau pengobatan. Sedangkan sibaso
arca menhir yang kerap disebut juga merupakan orang yang dapat
dengan arca panghulubalang itu, maka berhubungan dengan roh leluhur
menhir dan arca menhir yang berada di dengan menggunakan tubuhnya
luar perkampungan cenderung tidak sebagai media untuk menyampaikan
berkaitan dengan roh nenek moyang kehendak masyarakat dengan
karena pembuatan arca menhir itu leluhurnya atau sebaliknya melalui
menggunakan roh budak sebagai tunggal panaluan/borotan. Mengingat
kekuatannya. Selain itu patung roh orang yang meninggal atau pun roh
panghulubalang berfungsi sebagai leluhur itu bertempat pada tingkatan
pelindung atau penjaga kampung dan tertentu di dunia atas maka untuk
sawah dari serangan musuh dan roh menghadirkannya diperlukan kurban
jahat serta hama. Oleh karena itu yang besar yaitu kerbau, kambing,
patung ini kerap ditempatkan di pinggir kuda. Hal tersebut menggambarkan
kampung di bawah pohon beringin, di bahwa hewan kurban juga memiliki
atas bukit dan di tepi sungai. struktur, dimana hewan yang kecil
Arca menhir dan seperti ayam dan ikan itu merupakan
panghulubalang memiliki lubang tempat persembahan bagi roh atau roh leluhur
memasukkan pupuk (zat gaib). Prosesi pada tingkat yang tidak terlalu tinggi.
pembuatan arca penghulubalang Pada prosesi upacara besar
diantaranya dengan memasukkan selalu menghadirkan tunggal panaluan
pupuk yaitu abu atau minyak dari dan borotan sebagai sarananya.
manusia sengaja dibunuh dan rohnya Tunggal panaluan pada upacara besar
dijadikan budak dalam kaitannya tersebut berfungsi sebagai penolak
dengan berbagai kepentingan, seperti bala. Berkenaan dengan itu, menhir di
menjaga areal, atau keperluan lain dalam halaman perkampungan (huta)
seperti membunuh seseorang dengan dikenal dengan nama borotan atau
cara gaib (Rassers 2008, 88--90). tunggal panaluan. Borotan yang
Sedangkan untuk berhubungan dengan merupakan simbol pohon kehidupan ini
roh leluhur atau sebagai media roh digunakan pada prosesi upacara besar
leluhur maka digunakan sibaso. berfungsi sebagai pemersatu dunia
Perbedaan datu dan sibaso, atas, dunia tengah dan dunia bawah
diantaranya adalah datu memimpin (Voorhoeve 1958, 242 dalam
upacara kecil ataupun besar dan juga Nainggolan 2012, 122--3). Dalam mite
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 43
disamakan fungsinya dengan tunggal Adanya struktur dan fungsi
panaluan ataupun borotan. Konsepsi itu yang ada pada tunggal panaluan dan
juga ditemukan pada masyarakat Bali borotan itu sejalan dengan pandangan
dalam prosesi ngaben (pembakaran Emile Durkheim dan Marcel Mauss
mayat) yang diantaranya ada prosesi dalam karya Annee Sociologique
hewan sapi mengelilingi tiang yang (1903/1961) tentang konsep klasifikasi
berhias daun beringin sebelum prosesi primitif. Bahwa kemampuan manusia
mati gni (melepas/memberikan jalan roh untuk mengklasifikasikan segala
si mati ke dunia lain). Jadi tiang yang sesuatu di dunia menurut logika yang
serupa borotan itu adalah jalan roh berasal dari kategori morfologis yang
menuju alam lain. Oleh karena itu berakar dalam masyarakat. Klasifikasi
tunggal panaluan ataupun borotan benda-benda dalam masyarakat
selain sebagai media pemujaan dalam menghasilkan kembali klasifikasi sosial
konteks visual, juga merupakan dari masyarakat itu, setiap klasifikasi
jembatan penghubung dunia atas, kosmologis mencerminkan kategori
tengah dan bawah termasuk morfologis dari suatu masyarakat
didalamnya jalan bagi roh untuk menuju (Prager 2008, 6-7). Penjelasan itu
dunia atas. Hal tesebut juga berarti menggambarkan bahwa dikenalnya
tugu/tambak dan juga gunung yang struktur kosmologi masyarakat Batak
kerap disebut sebagai tempat roh itu Toba diantaranya merupakan
merupakan jalan roh ke dunia atas yaitu representasi dari dikenalnya struktur
dunia arwah. Oleh karena itu, pada budaya. Struktur budaya dimaksud juga
prosesi kematian jasad si mati mencakup bangunan megalitik, baik itu
diarahkan kesuatu tempat sebagai wadah kubur dengan berbagai
tujuan agar roh tidak tersesat dalam variasinya maupun menhir.
perjalanan ke dunia arwah (Soejono Berkenaan dengan itu, menhir
2009, 247--8). Adanya ungkapan- yang dikenal pada masyarakat Batak
ungkapan yang mengaitkan gunung Toba paling tidak ada dua jenis yaitu
sebagai tempat roh atau borotan menhir yang berbahan batu dan menhir
sebagai tempat menambatkan hewan yang berbahan kayu. Sejalan dengan itu
kurban, merupakan fungsi yang menhir yang berbahan batu ada yang
dinyatakan atas hasil pengamatan tidak dikerjakan, dan ada yang
visual. Perbedaan interpretasi tersebut dikerjakan (panghulubalang/arca
memiliki perbedaan yang sangat menhir), sedangkan menhir berbahan
signifikan dalam memahami sebuah kayu, yang keseluruhannya dikerjakan
tinggalan arkeologis. yaitu tunggal panaluan, borotan dan
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 45
dengan dunia bawah diperlukan kurban prosesi religi. Tunggal panaluan
kerbau. cenderung digunakan untuk
Penggunaan tunggal panaluan kepentingan dalam kaitannya dengan
sebagai sebuah tongkat oleh prosesi yang kecil, selain prosesi
datu/sibaso ataupun tokoh tertentu, kematian, dan menggunakan kurban
merupakan upaya dalam menjaga dari hewan berukuran kecil. Sedangkan
roh-roh jahat ataupun kekuatan- borotan digunakan dalam kaitannya
kekuatan yang mencoba dengan prosesi upacara kematian,
mencelakainya. Tunggal panaluan menghantarkan roh kepada tempat
dipercaya akan memberikan arahan- leluhur yang lebih tinggi dengan hewan
arahan serta peringatan baik pada saat kurban kerbau. Kedua objek arkeologis
datu/sibaso memimpin prosesi upacara tersebut memiliki fungsi yang sama
ataupun dalam keseharian. Jadi tunggal yaitu penghubung dunia atas dengan
panaluan merupakan penghubung dunia tengah dan dunia bawah,
antara datu/sibaso dengan roh (Wikler sehingga menjadi sebuah jembatan roh.
1925 dalam Rassers 2008, 84--5). Sebagai sebuah penghubung ketiga
Konsep seperti ini serupa dengan tingkatan alam, dengan kurban darah
konsep panghulubalang, dan hewan yang membasahi tanah,
panghulubalang adalah arca menhir diharapkan penguasa tanah dapat
yang merupakan perkembangan dari menjamin kesuburan tanah pertanian.
menhir. Jadi tunggal panaluan memiliki Jadi objek arkeologis tersebut juga
fungsi yang sama dengan menhir, yang terkait erat dengan prosesi pertanian.
juga berarti panghulubalang adalah Kedua objek itu juga memiliki fungsi
menhir. Hal tersebut diperkuat oleh yang saling terkait, pada prosesi
Ficher (1940) bahwa tunggal panaluan penyatuan ketiga alam dengan media
adalah menhir yang difungsikan borotan, maka tunggal panaluan dalam
sebagai pengikat hewan kurban, prosesi itu berfungsi sebagai penolak
pemujaan leluhur yang banyak bala. Keseluruhan prosesi penyatuan itu
ditemukan di Indonesia dan di Asia terkait dengan upaya tercapainya
Timur (Rassers 2008, 103-4). keharmonisan ketiga dunia. Jadi uraian
Berkenaan dengan pernyataan tersebut tunggal panaluan dan borotan yang
maka borotan dengan fungsi pengikat lebih komperensif dalam kaitannya
hewan kurban adalah menhir. dengan kosmogoni akan menghasilkan
fungsi menhir yang berbeda dengan
4. Kesimpulan
fungsi yang dilihat secara visual.
Tunggal panaluan dan borotan
merupakan objek yang terkait dengan
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 47
REPRESENTASI RELIEF OGUNG (GONG) PADA KUBUR KUNA
SITUS SUTAN NASINOK HARAHAP, KECAMATAN BATANG
ONANG, KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA,
SUMATERA UTARA
Nenggih Susilowati
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No.1, Medan 20134
snenggih@yahoo.com
Abstract
Gong musical instrument as an ornamental motif is found on ancient graves at Sutan Nasinok Harahap
Site, Batang Onang Subdistrict, North Padang Lawas Regency, in North Sumatera Province. Sutan
Nasinok Harahap site is an ancient grave complex located on a quite extensive landscape of about ± 7
Ha. The purpose is to find out the reasons for the use of gong decorative motifs and interpret the use of
gong decorative motifs on the ancient graves at the site.The applied method is qualitative research with
ethno-archaeology study. The study was used to interpret more deeply the ogung (gong) relief at the
ancient grave site of Sutan Nasinok Harahap. Comparison with existing ethnographic data is expected
to give a good picture about the meaning of ogung (gong) relief on ancient grave complex at Sutan
Nasinok Harahap Site. The result shows that ogung (gong) relief on the ancient grave complex of Sutan
Nasinok Harahap Site confirms the long journey of utilization of the instrument from the past until now.
Its position on the tombs in particular also reveals that the figures who have been buried had carried out
customary duties such as horja godang during their lives – namely Siriaon (joyous event), Sipareon (to
raise dignity), and even on the occasion of death or Siluluton (sad event) – carried out by their heirs. The
existence of ogung (gong) reliefs and the like can also illustrate that the buried figure is a distinguished
figure and had been given the title of adat king.
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 49
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
motif alat musik. Motif alat musik inilah yang berkaitan dengan ogung dan pentingnya
akan dibahas lebih lanjut dalam artikel ini. dalam kehidupan masyarakatnya.
Permasalahan yang diangkat dalam
2. Metode
tulisan ini adalah mengapa alat musik gong
Metode yang diterapkan adalah
dipilih dan digunakan sebagai motif hias
penelitian kualitatif dengan kajian
pada kompleks kubur kuna di Situs Sutan
etnoarkeologi. Logika yang dilakukan
Nasinok Harahap bersama dengan motif
dalam penarikan kesimpulan penelitian
hias lainnya ?. Makna apa yang terkandung
kualitatif bersifat induktif, seperti
dalam motif hias tersebut ?. Adapun
dikemukakan Faisal (dalam Bungin 2003,
tujuannya adalah mengetahui alasan
68-9), yaitu: dalam penelitian kualitatif
pemanfaatan motif hias gong dan
digunakan logika induktif. Suatu logika yang
memaknai pemanfaatan motif hias alat
bertitik tolak dari ”khusus ke umum”; bukan
musik gong pada kubur kuna di situs itu.
dari ”umum ke khusus” sebagaimana dalam
Untuk mencoba memahami kreasi
logika deduktif. Antara kegiatan
seniman di suatu situs, tentu tidak dapat
pengumpulan data dan analisis data tak
dilepaskan dari budaya yang melatar
mungkin dipisahkan satu sama lain,
belakangi kehidupan masyarakatnya,
berlangsung secara simultan dan
mengingat latar belakang budaya
serempak.
merupakan kunci utama dalam usaha
Penalaran induktif berawal dari
pemahaman makna suatu seni (Sulistyanto
kajian terhadap data yang dapat
1989, 32). Konteks lingkungan alam dan
memberikan suatu kesimpulan yang
budaya menjadi bagian penting yang
bersifat umum atau generalisasi empiris
melatar belakangi hadirnya seni di masa
setelah melalui proses tahap analisis data.
lalu, kemudian diwariskan kepada generasi
Data tersebut dideskripsikan untuk dapat
kini. Perbandingan dengan budaya yang
menggambarkan suatu fakta atau gejala
ada kini menjadi bahan rujukan untuk
yang diperoleh dalam penelitian, dengan
menguraikan makna yang tersembunyi
mengutamakan kajian data untuk
dibalik suatu hasil karya seni, karena ada
menemukan suatu hubungan antara suatu
benang merah yang menghubungkan
gejala dengan gejala lainnya dalam
antara masa lalu dan masa kini. Oleh
kerangka bentuk, ruang, dan waktu
karena itu perbandingan dengan
(Tanudirjo 1989, 34).
menggunakan data etnografi yang terdapat
Kajian Etnoarkeologi adalah suatu
di Desa Gunung Tua Julu, Kecamatan
cabang studi arkeologi yang memanfaatkan
Batang Onang menjadi bagian penting
data etnografi sebagai analogi untuk
dalam upaya mengetahui berbagai hal yang
membantu memecahkan masalah-masalah
arkeologi (Sukendar dalam Wibowo 2015,
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 51
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
musik, dan juga batu dengan pertulisan berdiameter 33 cm, lingkaran dalam
yang kondisinya sebagian besar tertanam berdiameter 10 cm. Jenis reliefnya adalah
dalam tanah. Kemudian di bagian barat relief tipis seperti goresan (lihat Gambar 1).
terdapat batuan pipih berbentuk hampir Tidak jauh dari kubur Sutan
segitiga dengan relief sulur-suluran. Nasinok Harahap terdapat kubur kuna lain.
Kubur kuna ini telah beberapa kali Kubur-kubur lain di sekitarnya cukup
ditimbun tanah untuk meninggikan banyak dan memiliki ciri yang hampir sama
gundukannya. Hal ini terlihat pada pagar yaitu berupa gundukan tanah dengan
batu yang disusun berlapis-lapis. Sebagian pembatas berupa batuan pipih. Pada
batuan sudah dicat warna putih yang beberapa kubur yang berada di bagian
dilakukan oleh sebagian peziarah yang timur dari kubur Sutan Nasinok Harahap,
datang ke lokasi itu (Nasoichah 2016, 22). diantaranya menggunakan batuan pipih
Salah satu motif hias alat musik itu dengan pahatan relief dan ada yang polos.
dipahatkan pada batu berbentuk pipih Bagian yang berelief berada di bagian
lonjong yang kini sebagian terbenam ke timur, barat, dan ada juga di bagian utara.
tanah. Motif hias tersebut dipahatkan pada Melihat kondisi kubur-kubur batu tersebut
bagian tengah batu itu dengan pahatan menunjukkan bahwa bagian yang penting
yang tipis berupa bulatan besar dan di berada pada orientasi timur-barat. Hal ini
bagian tengahnya ada bulatan kecil, ditunjukkan oleh salah satu kubur yang raya
berbentuk seperti alat musik ogung (gong). dengan hiasan relief, bagian batuan pipih
Batu pipihnya jelas menunjukkan adanya yang raya reliefnya berada di bagian barat,
pengerjaan tangan manusia dengan jejak dibandingkan dengan yang terdapat di
pahatan yang terlihat kasar berupa utara. Sedangkan pada kubur-kubur lain
cekungan-cekungan tipis pada permukaan juga demikian yang terdapat hiasannya di
batuannya. Adapun ukuran batunya lebar timur atau barat, atau kedua arah timur-
36 cm, tinggi 41 cm, tebal 11 cm, kemudian barat.
bagian hiasannya lingkaran luar Relief yang dipahatkan motifnya
beragam, ada manusia, (kepala manusia
berbadan ikan -motif ini juga digunakan
pada parhalaan (pertanggalan) bambu -
bagian kepala memiliki rambut
bergelombang menyerupai bentuk
matahari dengan lidah api dan juga bentuk
sudut bintang/ tumpal), motif flora (sulur-
suluran, kelopak bunga, pucuk manggis),
Gambar 1. Relief ogung pada kubur kuna jenis fauna (cecak, kera, muka kera),
Sutan Nasinok Harahap (dok. Penulis, 2016)
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 53
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
hampir segiempat menggambarkan adanya gaba/ gapura, senjata dan payung adat),
karya manusia, ada juga batuan yang makkobar/ martahi (sidang adat),
awalnya bulat kemudian agak dipipihkan margondang (membunyikan gendang),
yang diketahui dari jejak alat pahat berupa manortor (menari tor-tor), serta
cekungan-cekungan dangkal, seperti yang penyembelihan kerbau. Margondang
dijumpai di kubur Sutan Nasinok Harahap. adalah menabuh gondang saraban yaitu
Ada juga yang memanfaatkan batuan alam seperangkat alat musik (uning-uningan),
yang bentuknya agak pipih secara sebagian besar berupa alat musik perkusi
langsung. Pada satu kubur agaknya tidak yang terdiri dari dua gondang topap/
menggunakan batuan dalam bentuk tunggu-tunggu dua (sepasang gendang),
khusus, melainkan bervariasi bentuk, dua ogung (sepasang gong), satu ogung
ukuran, dan hiasannya. (gong tunggal), satu mongmongan (gong
Relief ogung (gong) menjadi daya kecil), satu doal (bentuknya lebih kecil),
tarik tersendiri karena alat musik ini hingga satu talempong (susunan 6 doal), sepasang
sekarang menjadi bagian penting dari sasayat (tali sayak), ditambah suling
pesta–pesta adat yang dilaksanakan oleh (Informan: Paronang-onang).
subetnis Batak Angkola hingga kini, Alat musik tersebut terutama
khususnya bagi masyarakat Batang Onang. dimainkan pada saat mengantar pengantin
Alat musik itu digunakan pada pesta adat menuju ke galanggang, dan pada acara
besar atau Horja godang Siriaon (kelahiran manortor, dan mengiringi pengantin menuju
anak, memasuki rumah baru, perkawinan), ke tapian raya bangunan. Hanya saja saat
Horja godang Sipaleon (pesta dalam ke tapian raya bangunan hanya diiringi
menaikkan derajat dalam status sosial di dengan dua gondang topap dan satu doal.
masyarakat), maupun Horja godang Sebelumnya ada acara makkobar di
Siluluton (kematian). galanggang, alat musik yang digunakan
hanya mongmongan (gong kecil)
3.2. Pembahasan
(Susilowati 2016, 56). Juga dikenal tawak-
3.2.1. Alat Musik sebagai Pelengkap
tawak (sejenis gong yang bentuknya besar
Horja Godang (Pesta Adat Besar)
dan tebal) yang dibunyikan terus-menerus
Alat musik menjadi unsur penting
pada pesta adat kematian (horja siluluton)
dalam kegiatan horja godang/ pesta adat
(Tinggibarani & Hasibuan 2013, 78).
besar bagi subetnis Batak Angkola,
Adapun gong yang berukuran besar
khususnya masyarakat Batang Onang
dibunyikan untuk menyambut kedatangan
hingga kini. Salah satunya horja godang
tamu.
adalah pesta adat perkawinan yang
Antara ogung (gong),
ditandai dengan pemasangan simbol-
mongmongan, doal, talempong dan tawak-
simbol adat (bendera, rompayan, gaba-
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 55
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
Harahap bergelar Sutan Maujalo membalas Kemudian pengantin dikeluarkan dari
kata paralok-alok artinya sebagai berikut: rumah, diiringi musik yang terus dimainkan
“Kalau seperti ini sudah cukup syarat menuju ke galanggang siriaon (gelanggang
dan rukunnya bagaimana kalau kita pergi ke
Gunung Tua, kebetulan kita lihat ada di situ suka cita). Sesampainya di galanggang
belalai (bendera dengan simbol gajah), pengantin kembali dinasehati sebelum
bagaimana menurutku ini tidak ada salahnya
kita sapa tunggu-tunggu dua ataupun kita acara manortor dimulai. Lalu pengantin
panggil bayo paile-ile (paralok-alok)” (Susilowati
2016, 122). didudukkan menyaksikan acara manortor
sebutan untuk dua pasang gondang atau Pada acara manortor itulah alat musik
menyebut seperangkat alat musik yang mempunyai peranan yang banyak untuk
gendang yaitu Gondang Tunggu-tunggu tor tor) dalam rangkaian memberi restu dan
pada suatu pesta adat. Adapun bayo paile- terdapat acara mamangir, pengantin diarak
ile/ paralok-alok adalah pembawa acara dari rumah ke tapian raya bangunan diiringi
melantunkan pantun (Informan: Raja senjata pedang dan tombak untuk menjaga
merupakan bagian dari paronang-onang juga diiringi musik dan lantunan syair oleh
dan ibu-ibu pihak Suhut, Kahanggi, Raja dingin-dingin) kemudian para raja memberi
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 57
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
Musik juga dibunyikan saat masyarakat Batang Onang dari dahulu
kematian (siluluton). Mula-mula Hasuhuton hingga sekarang, sehingga dipilih sebagai
(tuan rumah) mengumpulkan perangkat motif relief. Ogung (gong) beserta
adat dan keluarga seperti Hatobangon, perangkat lainnya terutama difungsikan
Harajaon, dan Dalihan Natolu di dalam dalam manortor, mongmongan (gong kecil)
huta/ desa. Kemudian dilaksanakan pada makkobar dan doal difungsikan dalam
makkobar/ martahi (sidang adat), apabila mamangir, serta tawak-tawak difungsikan
pihak suhut melaksanakan Horja godang untuk menandai dukacita/ kematian
Siluluton maka disertai perlengkapan (siluluton). Keberadaan relief tersebut
seperti Abit/ Ulos, bendera adat, secara umum dapat menggambarkan
menyiapkan hombung (peti) dan Roto bahwa musik menjadi bagian dari pesta
(keranda), menyiapkan kerbau dan tempat adat besar (horja godang) dalam tahapan
penyembelihannya, juga menggantung kehidupan, bagian budaya masyarakatnya.
tawak-tawak dan dibunyikan terus-menerus
3.2.2. Alat Musik Bagian dari Tradisi
(Tinggibarani & Hasibuan 2013, 78-9).
Lama yang Lestari
Terutama musik dibunyikan untuk
Alat musik yang digunakan dalam
mengiringi manortor sebagai bentuk
relief menilik bentuknya dikenali sebagai
penghormatan terakhir kepada si mati.
ogung (gong) dan sejenisnya seperti
Misalnya Tor-tor Somba ni Siluluton
mongmongan (gong kecil), tawak-tawak
dilaksanakan oleh ahli waris yang terdekat,
(sejenis gong yang bentuknya besar dan
famili, dan orang yang melayat. Tor-tor ini
tebal), doal (bentuknya lebih kecil),
dilaksanakan oleh keturunan untuk mohon
talempong (susunan 6 doal), dan sepasang
ampun dan mohon ditinggalkan segala
sasayat (tali sayak). Nama–nama itu
kesaktian dan keagungan untuk diwariskan
merupakan sebutan untuk jenis alat musik
kepada keturunan (Tinggibarani &
oleh masyarakat Batang Onang- Padang
Hasibuan 2013, 85). Manortor dan
Lawas Utara khususnya, dan subetnis
margondang kini tidak dilaksanakan oleh
Batak Angkola pada umumnya. Alat musik
masyarakat Batang Onang, walaupun Horja
ini memiliki bentuk yang sama yaitu bulat
Siluluton masih dilaksanakan hingga kini,
dengan bagian tengah cembung (menonjol)
tetapi pelaksanaannya disesuaikan dengan
tetapi berbeda ukuran. Adapun bahannya
ajaran Agama Islam yang diyakini
tembaga atau kuningan sehingga berwarna
masyarakatnya.
kuning keemasan. Bagian yang dipukul
Tergambar jelas bahwa alat musik
adalah bagian tengahnya yang menonjol
ogung (gong) dan sejenisnya merupakan
menggunakan tongkat kayu pendek yang
alat musik yang penting dalam kehidupan
dibalut karet atau kain, kecuali sasayat
subetnis Batak Angkola khususnya
yang dibunyikan dengan menggesek atau
menepukkan keduanya. Ogung (gong) dan Jenis alat musik perkusi dibedakan
sejenisnya dikenali sebagai alat musik menjadi dua golongan yaitu ideofon dan
perkusi (pukul), atau juga dikenal sebagai membranofon. Ideofon adalah alat musik
alat musik ritmis (alat musik yang tidak yang sumber bunyinya berupa bahan dari
bernada). Alat musik tersebut digunakan alat musik itu sendiri, sedangkan
bersama-sama alat musik perkusi lainnya membranofon adalah alat musik yang
gondang topap/ gondang tunggu-tunggu sumber bunyinya berupa membran atau
dua dalam seperangkat Gondang Saraban. selaput kulit (Ferdinandus 1994, 177).
Secara umum antara Batak Ogung (gong) dan sejenisnya
Angkola- Mandailing mengenal (mongmongan, tawak-tawak, doal,
seperangkat alat musik yang sama, namun talempong, dan sepasang sasayat
memiliki kecenderungan menggunakan termasuk kelompok alat musik ideofon,
jumlah gendang yang berbeda dalam sedangkan gondang topap/ gondang
kegiatan horja godang. Masyarakat tunggu-tunggu dua termasuk golongan
Angkola cenderung menggunakan dua membranofon.
buah gondang yang disebut gondang topap Alat musik perkusi yang telah ada
atau gondang tunggu-tunggu dua (lihat di Nusantara sejak masa prasejarah
Gambar 10 & 11). Batak Toba lima buah dengan ditemukannya nekara perunggu di
gondang, dan masyarakat Mandailing berbagai tempat. Nekara memiliki bentuk
cenderung menggunakan sembilan buah yang mirip dengan gendang sekarang
yang berukuran besar dan disebut dengan namun menggunakan bahan perunggu.
Gordang Sambilan. Tinggibarani & Selain nekara juga dikenal moko yang
Hasibuan (2013, 89) menyebutkan bahwa banyak dijumpai di wilayah bagian timur
Gordang Sambilan oleh masyarakat Nusantara dengan bentuk yang lebih kecil
Angkola dikenal dengan sebutan Tabu dari nekara. Adapun bentuk gong dan
Sitaroktok ni Tano. sejenisnya adalah wujud perkembangan
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 59
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
alat musik berbahan logam di Nusantara. Di di Padang Lawas Utara terutama berkaitan
Jawa dan Sumatera alat musik makin kubur kuna yang menggunakan papan-
berkembang seiring penyebaran agama papan batu yang menjadi salah satu ciri
Hindu-Buddha mengingat bentuknya budaya megalitik. Budaya megalitik sendiri
diabadikan pada relief candi. Bentuk perkembangannya beragam di berbagai
gendang diantaranya dikenali pada relief daerah mulai dari masa prasejarah hingga
Candi Borobudur, Jawa Tengah sekitar masa sejarah, seiring dengan kemampuan
abad ke-9 dan Biaro Tandihat I, dan keinginan masyarakat dalam menyerap
Padanglawas, Sumatera Utara sekitar abad unsur budaya yang datang dari luar atau
ke- 11-14 M (Restiyadi 2014, 4). Adapun tetap mempertahankan local geniusnya.
bentuk gong diketahui terdapat pada relief Relief gong sekonteks dengan
Candi Kedaton, Jawa Tengah dan Candi patung-patung sederhana (sejenis patung
Penataran, Jawa Timur sekitar abad ke- 14 Pangulubalang), dan relief lain seperti
Masehi (lihat Gambar 9 - Kunst 1977, fig. manusia (kepala manusia berbadan ikan),
58, 59). flora (sulur-suluran, kelopak bunga, pucuk
manggis), jenis fauna (cecak, kera), topeng
dengan mata melotot, serta motif-motif
geometris (tumpal, spiral/ tali, dan garis).
Motif-motif tersebut dikenal sebagai motif
tradisional pada bangunan rumah adat,
pustaha lak-lak, parhalaan (pertanggalan)
bambu yang identik dengan kepercayaan
lama (Sipelebegu) berkaitan dengan roh
Gambar 12. Relief Candi Penataran (14 M)
(Kunst 1977, fig. 58) leluhur. Selanjutnya keberadaan ogung
masa Klasik sekitar abad ke- 9, 11- 14. Data merupakan bagian dari pesta adat atau
kubur kuna Situs Sutan Nasinok Harahap di masyarakat Batang Onang- Padang Lawas
Desa Gunung Tua Batang Onang, Utara dari dahulu hingga kini. Keberadaan
Kecamatan Batang Onang, Padang Lawas artefak berupa relief batu yang digunakan
Utara Hal ini menarik bahwa gong juga pada kubur kuna di Situs Sutan Nasinok
menjadi bagian dari budaya Batak Angkola Harahap menggambarkan pentingnya alat
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 61
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
manortor. Motif tersebut juga menjadi pemberitahuan bahwa ada anggota
simbol bahwa yang dikuburkan sudah masyarakat yang berduka cita yang akan
melaksanakan horja godang dalam siklus menyelenggarakan Horja Godang
kehidupannya ketika masih hidup (Horja Siluluton. Kemudian di dalam horja godang
Siriaon/ Pesta adat sukacita). Mengingat itu dilakukan manortor yang diiiringi dengan
ada beberapa tahapan horja godang yang seperangkat alat musik Gondang Saraban.
harus dilaksanakan oleh seseorang dalam Gondang Saraban yang terdiri dari
hidupnya seperti kelahiran anak, memasuki beragam alat musik perkusi ideofon (ogung/
rumah baru, perkawinan, bahkan gong dan sejenisnya) dan membranofon
menaikkan status sosial seperti pemberian (gondang/ gendang) dilengkapi dengan alat
nama gelar Raja adat (Sipareon). musik tiup terutama digunakan untuk
Contohnya: pertulisan aksara mengiringi manortor. Apabila disebutkan
Batak yang menyebut nama “Sutan suatu persta adat mengadakan
Nasinok Harahap” pada salah satu kubur margondang artinya juga disertai manortor.
(Nasoichah 2016, 23). Tokoh yang Bunyi yang dihasilkan perangkat alat musik
dikuburkan tersebut sudah mendapat nama tersebut sesuai dengan gerakan manortor
gelar Sutan. Nama gelar yang digunakan (tari tor-tor) yang cenderung monoton (tidak
hingga kini oleh masyarakat Padang Lawas banyak pergantian gerakan), sehingga
Utara adalah Sutan (Sutan Kumalo Bulan, alunan musiknya disebut sebagai musik
Sutan Sualoon, Sutan Sori Muda, Sutan sakral. Alunan musik Gondang Saraban
Maujalo), Baginda (Baginda Oloan Muda, (margondang) maupun tari tor-tor
Baginda Daila Sari) yang diketahui melalui (manortor) memiliki falsafah adat yang
nama-nama tokoh raja yang duduk dalam tinggi, seperti somba (sembah) yang berarti
acara makkobar maralok-alok pada salah penghormatan, atau bentuk restu keluarga,
satu pesta adat perkawinan di Gunung Tua kerabat, tetangga, dan raja-raja.
Julu, Kecamatan Batang Onang- Padang Tor-tor somba pamuli sibaso, yaitu
Lawas Utara. tor-tor yang dilaksanakan oleh Suhut
Analogi lainnya adalah ahli waris Sihabononan secara bersama-sama,
dari tokoh yang dikuburkan di Situs Sutan diayapi oleh Anakboru. Tor-tor ini gaya dan
Nasinok Harahap sudah geraknya semakin lama semakin serius
menyelenggarakan horja godang Siluluton dengan kaki menghentak-hentak sampai
yaitu pesta adat besar berkaitan dengan ada yang trance (tidak sadarkan diri dan
kematian tokoh yang dikuburkan. Diketahui kerasukan roh). Melalui orang tersebut
bahwa alat sejenis ogung yaitu tawak- (yang dipercaya kerasukan roh leluhur)
tawak juga dibunyikan ketika terjadi keluar ramalan yang menyebutkan kondisi
kematian, fungsinya sebagai
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 63
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
sekarang oleh masyarakat subetnis Batak Konteks yang menandai adanya
Angkola di kawasan ini. kepercayaan tersebut berupa patung-
Ogung (gong) dan sejenisnya patung manusia, relief topeng manusia,
dibunyikan ketika margondang pada Horja manusia dan relief hewan diantaranya
Godang (pesta adat besar) dalam Horja cecak yang dikenal dengan Boraspati ni
Siriaon (Suka cita), Horja Sipareon (penaik Tano (Dewa tanah/ kesuburan). Alat musik
harkat martabat), dan Siluluton (Duka cita/ seperti ogung menjadi bagian penting
Kematian). Alat musik menjadi elemen berkaitan dengan upacara-upacara adat
penting dalam rangkaian pesta adat, seperti yang dilaksanakan sesuai kepercayaan
acara makkobar, mamangir, dan ketika itu.
pemberitahuan ketika ada yang Relief ogung (gong) di kompleks
menginggal. Terutama untuk mengiringi kubur kuna Situs Sutan Nasinok Harahap
manortor (menari tor-tor) yang gerakannya menjadi bukti perjalanan panjang
cenderung monoton sehingga seseorang pemanfaatan alat musik tersebut dari
dapat terbawa dalam suasana khidmat dan dahulu hingga kini. Posisinya pada
sakral, bahkan hingga trance (tidak sadar). bangunan kubur, secara khusus dapat
Hasil analogi berkaitan dengan keberadaan dimaknai bahwa tokoh yang dikuburkan
relief ogung (gong) pada kubur kuna telah melaksanakan kewajiban adat seperti
tersebut dikaitkan dengan Horja Godang horja godang semasa hidup (Siriaon/ suka
yang diselenggarakan tokoh yang cita), Sipareon (penaik harkat martabat),
dikuburkan dan keluarganya. Horja Siriaon dan bahkan saat kematian (Siluluton/ duka
(Suka cita), Horja Sipareon (penaik harkat cita) yang dilaksanakan oleh ahli warisnya.
martabat) diselenggarakan ketika tokoh Keberadaan relief ogung (gong) dan
yang dikuburkan masih hidup, dan Horja sejenisnya juga dapat menggambarkan
Siluluton (Duka cita) diselenggarakan oleh bahwa tokoh yang dikuburkan adalah tokoh
keluarganya. terhormat dan telah mendapat gelar raja
Keberadaan relief ogung (gong) adat.
pada kubur-kubur kuno di Situs Sutan Perbandingan dengan kondisi
Nasinok Harahap yang berpagar papan- masa kini untuk mengetahui kejelasan
papan batu berorientasi timur-barat pemanfaatannya oleh masyarakat
dikaitkan dengan kepercayaan lama yang Kecamatan Batang Onang, Kabupaten
mempercayai hal gaib berkaitan dengan Padang Lawas Utara yang merupakan
roh leluhur (Sipelebegu). Di dalam subetnis Batak Angkola. Alat musik ogung
arkeologi dikenal sebagai budaya megalitik, (gong) dan perangkat gondang saraban
ketika masyarakat masih hidup dalam serta pesta adatnya merupakan warisan
kepercayaan animisme dan dinamisme. budaya subetnis Batak Angkola di wilayah
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 65
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
POTENSI SUMBERDAYA ARKEOLOGI MARITIM
DI PESISIR PANTAI TEJAKULA, BULELENG, BALI
Wayan Sumerata
Gendro Keling
Ati Rati Hidayah
Balai Arkeologi Bali
Jalan Raya Sesetan No 80 Denpasar
kojekfals@gmail.com
gendrokeling@gmail.com
atirati83@gmail.com
Abstract
Tejakula has long been attracted a number of researchers as a potential site to be developed. The site
is located along the coast of North Bali which, according to several sources, was part of a sailing route
for ships to and from other areas in the Indonesian Archipelago and even foreign places. Among the
research locations are Pantai Bangsal (Bangsal Coast) Site at the hamlet of Geretek Beberapa (Dusun
Geretek) and along Bondalem Beach. The method of data collections were bibliographical study, land
survey, and underwater exploration using SCUBA Diving technique. Results of this research include
information about the contour and condition of the ocean floor of Sambirenteng, which are trough and
muddy, as well as the finding of traces of a rock structure and pottery on Bangsal Coast, Geretek Hamlet,
Sambirenteng Village. The structure and pottery show that there were activities on the coast area that
were related to harbor or habitation. Furthermore, there are also prehistoric pottery finds, which are now
submerged under the water because of severe beach abrasion at the village of Bondalem.
Keywords: maritime culture, old harbor, structure, pottery
Abstrak
Situs Tejakula sejak dulu sudah dilirik oleh peneliti sebagai situs yang potensial untuk dikembangkan.
Situs ini berada di kawasan pesisir pantai Bali Utara yang menurut beberapa sumber merupakan jalur
pelayaran bagi kapal-kapal dari berbagai wilayah lain di Nusantara bahkan dari luar negeri. Beberapa
titik lokasi penelitian ini antara lain adalah Situs Pantai Bangsal di Dusun Geretek, dan Sepanjang Pantai
Bondalem. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, survei berupa observasi di darat
dan juga di bawah air dengan menggunakan teknik SCUBA Diving. Hasilnya diperoleh kontur dan kondisi
dasar laut Sambirenteng yang berupa palung dan berlumpur, serta temuan bekas struktur berupa batu
padas di Pantai Bangsal, Dusun Geretek, Desa Sambirenteng. Temuan struktur dan gerabah ini
memperkuat adanya aktifitas di sekitar pantai yang terkait dengan aktifitas pelabuhan atau pemukiman.
Selain itu temuan gerabah dari masa prasejarah yang kondisi saat ini di bawah permukaan air karena
abrasi pantai yang parah di Desa Bondalem.
Kata kunci: budaya maritim, pelabuhan kuna, struktur, gerabah.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di pesisir Pantai Tejakula (Sumber Google Earth).
transformasi situs menjadi situs bawah air. Ambra Calo, Bagyo Prasetyo, Peter
Perkembangan penelitian Bellwood, James W. Lankton,
Bernard Gratuze, Thomas
arkeologi maritim di sepanjang pantai Oliver Pryce, Andreas Reinecke,
Tejakula telah dilakukan sebelumnya Verena Leusch, Heidrun Schenk,
Rachel Wood, Rochtri A.
antara lain yang dilakukan oleh Calo 2014, Bawono, I Dewa Kompiang Gede,
dengan memberikan pemaparan mengenai Ni. L.K. Citha Yuliati, Jack
Fenner, Christian
jalur perdagangan berdasarkan artefak Reepmeyer, Cristina Castillo dan
logam, dan menyimpulkan bahwa sembiran Alison K. Carter. 2015.
Sembiran and Pacung on
dan pacung termasuk kedalam jalur the north coast of Bali: a strategic
perdagangan internasional pada masa awal crossroads for early trans-
Asiatic exchange. Antiquity Vol.
masehi. Ardika yang memberikan hipotesis 89. (hal 378-396).
bahwa pelabuhan Kuno berada di Ardika, et al. 1995. Ekskavasi Arkeologi di
Sembiran dan Pacung, berdasarkan data Situs Sembiran, Kecamatan
Tejakula, Kabupaten Buleleng.
1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah diterbitkan, merupakan hasil penelitian,
tinjauan/pemikiran dan komunikasi pendek tentang arkeologi dan ilmu terkait.
2. Judul harus mencerminkan inti tulisan, bersifat spesifik, efektif, tidak terlalu panjang
(Maksimal 15 kata). Judul berhuruf kapital tebal (Font Type Arial 14) dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris (Italic).
3. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, dibawahnya diikuti nama lembaga tempat
bekerja, alamat lembaga, pos-el (e-mail), dan menggunakan font type Arial 12.
4. Abstrak merupakan ringkasan utuh dan lengkap yang menggambarkan esensi isi
tulisan. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris (maksimum 150 kata) dan bahasa
Indonesia (maksimum 250 kata). Isi abstrak berturut-turut meliputi tujuan, metode, dan
hasil akhir. Abstrak ditulis dengan font type Arial 10 dan diketik satu spasi.
5. Kata Kunci mencerminkan satu konsep yang dikandung dalam tulisan antara 3--5 kata
(dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk), ditampilkan dalam Bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris.
6. Penyajian instrumen pendukung berupa gambar, foto, grafik, bagan, tabel dan
sebagainya (semuanya disebut gambar) harus bersifat informatif dan komplementer
terhadap isi tulisan. Penyajiannya dengan dilengkapi keterangan (termasuk
sumber/rujukan) di bawah instrumen pendukung.
7. Cara dan jumlah pengacuan serta pengutipan, dan penulisan daftar pustaka
menggunakan Chicago style (lihat Lampiran 1).
8. Naskah berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik 1.5 spasi, banyaknya 8--18
halaman dan diketik pada kertas A4, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Font Type : Arial 11
- Left Margin : 2,7 cm
- Right Margin : 2,2 cm
- Top Margin : 2,2 cm
- Bottom Margin : 3 cm
Kerangka penulisan karya yang berupa hasil penelitian meliputi:
1. Pendahuluan, meliputi: latar belakang, permasalahan, tujuan, dan ruang lingkup
(materi dan wilayah), landasan teori/konsep/tinjauan pustaka, dan metode
penelitian.
2. Hasil, (ditulis eksplisit, yang memuat paparan data dan analisa)
3. Pembahasan (ditulis eksplisit dan disajikan dalam beberapa sub-bab)
4. Penutup, meliputi kesimpulan, dan saran/rekomendasi (jika diperlukan)
Daftar Pustaka (minimal 15 pustaka)
Ucapan terima kasih (jika diperlukan)
Kerangka penulisan karya yang berupa tinjauan meliputi:
1. Pendahuluan
2. Pembahasan (ditulis eksplisit dan disajikan dalam beberapa sub-bab)
3. Penutup
Daftar Pustaka (minimal 25 pustaka)
Ucapan terima kasih (jika diperlukan)
9. Pembagian bab menggunakan angka Arab: 1, 2, 3,…. Subbab menggunakan angka:
1.1, 1.2,…, 2.1, 2.2,…., bagian-bagian dari subbab secara berurutan menggunakan
huruf kecil: a, b, c,….: angka 1), 2), 3), ….: huruf kecil a), b), c),….: angka (1), (2), (3),….
10. Daftar pustaka yang dirujuk disusun menurut abjad nama pengarang dengan
mencantumkan tahun penerbitan, judul buku/artikel, penerbit, dan kota terbit. Bila ada
nama keluarga (seperti marga/fam) maka yang ditulis adalah nama keluarga terlebih
dahulu, diikuti koma dan berikutnya nama kecil.
11. Naskah diserahkan dalam bentuk file tipe Microsoft Word 2003/2007 Document
(*.doc/*.docx) dan print out-nya ke alamat redaksi melalui pos-el (email):
sangkhakala.red@gmail.com atau melalui pos ke:
Dewan Redaksi Sangkhakala Berkala Arkeologi
d/a Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jalan Seroja Raya Gg. Arkeologi No.1
Tanjung Selamat, Medan Tuntungan
Medan, Sumatera Utara 20134
12. Dewan Redaksi mengatur pelaksanaan penerbitan (menerima, menolak, dan
menyesuaikan naskah tulisan dengan format Sangkhakala).
Lampiran 1
CONTOH SITASI CHICAGO STYLE
Artikel Suratkabar
Zamiska, Nicholas and Nicholas Casey. 2007. "Toy Makers Face Dilemma Over Supplier." Wall Street
Journal, August 17. Corporate Focus Section.
Di dalam teks:
(Zamiska and Casey 2007)
Buku Elektronik
Rollin, Bernard E. 1998. The Unheeded Cry: Animal Consciousness, Animal Pain, and Science. Ames,
IA: The Iowa State University Press. http://www.netlibrary.com.
Di dalam teks:
(Rollin 1998)
Web Site
Hermans-Killam, Linda. 2010. "Infrared Astronomy." California Institute of Technology. Accessed Sept
21. http://coolcosmos.ipac.caltech.edu/cosmic_classroom/ir_tutorial/.
Di dalam teks:
(Hermans-Killam)
© Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2017
Alamat Redaksi/Penerbit:
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Tanjung Selamat, Medan Tungtungan, Medan 20134
Telp. (061) 8224363, 8224365
E-mail: sangkhakala.balarsumut@kemdikbud.go.id
Laman: www.sangkhakala.kemdikbud.go.id
© Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2017
© Balai Arkeologi Medan, 2015
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon, Pada Perkebunan Sumatera Timur
Abad Ke-19-20 (Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
Colonialism Practice In Uang Kebon's Existence, At The East Sumatra Plantation
In The 19th-20th Century (A Marxist Archaeological Approach)
Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah
Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap,
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara
Representation Of Ogung (Gong) Relief On Ancient Graves At The Site Of Sutan Nasinok Harahap,
Batang Onang Subdistrict, North Padang Lawas Regency, North Sumatera
Nenggih Susilowati