Anda di halaman 1dari 93

Vol. 20 No.

1, Mei 2017 P-ISSN 1410 – 3974


E-ISSN 2580 – 8907

BERKALA ARKEOLOGI

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon, Pada Perkebunan Sumatera Timur
Abad Ke-19-20 (Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
Colonialism Practice in Uang Kebon's Existence, at The East Sumatra Plantation
in the 19th-20th Century (A Marxist Archaeological Approach)
Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah

Temuan Gerabah di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis)


Pottery Found at Pura Wasan (Wasan Temple), Blahbatuh, Gianyar
(An Ethnoarchaeological Approach)
I Wayan Badra

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba


Repositioning of Menhirs Functions in Megalithic of the Batak Toba Tradition
Ketut Wiradnyana

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap,
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara
Representation of Ogung (Gong) Relief On Ancient Cemetery Site of Sutan Nasinok Harahap,
in Batang Onang, North Padang Lawas, North Sumatera
Nenggih Susilowati

Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim Di Sepanjang Pantai Tejakula, Buleleng, Bali


The Potency of Maritime Archaeological Resources a Long Tejakula Coast in, Buleleng, Bali
Wayan Sumerata, Gendro Keling, Ati Rati Hidayah

BALAI ARKEOLOGI SUMATERA UTARA


PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Akreditasi: 575/Akred/P2MI-LIPI/07/2014

P-ISSN 1410 – 3974


BAS VOL. 20 NO. 1 Hal 1--78 Medan, Mei 2017
E-ISSN 2580 – 8907
Vol. 20 No. 1, Mei 2017 P-ISSN 1410 – 3974
E-ISSN 2580 – 8907

Akreditasi: 575/Akred/P2MI-LIPI/07/2014

BERKALA ARKEOLOGI

Sangkhakala terdiri dari dua kata yaitu Sangkha dan Kala. Sangkha adalah sebutan dalam
Bahasa Sansekerta untuk jenis kerang atau siput laut. Sangkha dalam mitologi Hindhu
digunakan sebagai atribut dewa dalam sekte Siwa dan Wisnu. Sedangkan Kala berarti
waktu, ketika atau masa. Jadi Sangkhakala merupakan alat dari kerang laut yang
mengeluarkan suara sebagai tanda bahwa waktu telah tiba untuk memulai suatu tugas
atau pekerjaan. Berkenaan dengan itu, BERKALA ARKEOLOGI SANGKHAKALA merupakan
istilah yang dikiaskan sebagai terompet ilmuwan arkeologi dalam menyebarluaskan arti
dan makna ilmu arkeologi sehingga dapat dinikmati oleh kalangan ilmuwan khususnya dan
masyarakat luas umumnya. Selain itu juga merupakan wadah informasi bidang arkeologi
yang ditujukan untuk memajukan arkeologi maupun kajian ilmu lain yang terkait.
Muatannya adalah hasil penelitian, tinjauan arkeologi dan ilmu terkait. Dalam kaitannya
dengan penyebarluasan informasi dimaksud, redaksi menerima sumbangan artikel dalam
Bahasa Indonesia maupun asing yang dianggap berguna bagi perkembangan ilmu arkeologi.
Berkala Arkeologi ini diterbitkan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan
November.

Dewan Redaksi
Ketua Redaksi : Andri Restiyadi, M.A. (Arkeologi Sejarah)
Anggota Redaksi : Ery Soedewo, S.S., M.Hum. (Arkeologi Sejarah)
Drs. Bambang Budi Utomo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara)
Redaksi Pelaksana : Nenggih Susilowati, S.S., M.I.Kom. (Arkeologi Prasejarah)
Dyah Hidayati, S.S. (Arkeologi Prasejarah)
Mitra Bestari : Prof. DR. M. Dien Madjid, M.Ag. (UIN Syarif Hidayatullah)
Prof. (Ris.). DR. Truman Simanjuntak (Centre for Prehistoric and Audtronesia Studies)
Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak (Universitas Negeri Medan)
DR. Wanny Raharjo Wahyudi (Universitas Indonesia)
Manajer Jurnal : Taufiqurrahman Setiawan, M.A. (Arkeologi Prasejarah)
Penata Letak : Abdullah Imansyah
Kesekretariatan : Ali Ma’’ruf, S.E.

Alamat Redaksi/Penerbit:
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Tanjung Selamat, Medan Tungtungan, Medan 20134
Telp. (061) 8224363, 8224365
E-mail: sangkhakala.balarsumut@kemdikbud.go.id
Laman: www.sangkhakala.kemdikbud.go.id
© Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2017
Vol. 20 No. 1, Mei 2017 P-ISSN 1410 – 3974
E-ISSN 2580 – 8907

Akreditasi: 575/Akred/P2MI-LIPI/07/2014

BERKALA ARKEOLOGI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

 Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah 1--17


Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon, Pada Perkebunan Sumatera Timur
Abad Ke-19-20 (Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
Colonialism Practice in Uang Kebon's Existence, at The East Sumatra Plantation
in the 19th-20th Century (A Marxist Archaeological Approach)

 I Wayan Badra 18--32


Temuan Gerabah di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar
(Suatu Pendekatan Etnoarkeologis)
Pottery Found at Pura Wasan (Wasan Temple), Blahbatuh, Gianyar
(An Ethnoarchaeological Approach)

 Ketut Wiradnyana 33--47


Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba
Repositioning of Menhirs Functions in Megalithic of the Batak Toba Tradition

 Nenggih Susilowati 48--65


Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap,
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara
Representation of Ogung (Gong) Relief On Ancient Cemetery Site
of Sutan Nasinok Harahap, in Batang Onang, North Padang Lawas, North Sumatera

 Wayan Sumerata, Gendro Keling, Ati Rati Hidayah 66--78


Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim di Sepanjang Pantai Tejakula, Buleleng, Bali
The Potency of Maritime Archaeological Resources a Long Tejakula Coast in, Buleleng,
Bali
Berkala Arkeologi
SANGKHAKALA
P-ISSN 1410 - 3974 Terbit : Mei 2017
E-ISSN 2580 – 8907

Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar Abstrak ini boleh digandakan tanpa ijin dan biaya

DDC 959.802 Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, Mei, Vol 20 No. 1, Hal.


Andri Restiyadi (Balai Arkeologi Sumatera Utara) 33--47
Churmatin Nasoichah (Balai Arkeologi Kerap fungsi menhir itu dikaitkan dengan medium
Sumatera Utara) pemujaan, tanda kubur, penjaga areal/ perkampungan atau
Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada tambatan hewan kurban. Fungsi–fungsi dimaksud diketahui
Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 (Sebuah terkait dengan aspek visual atau fungsi yang bersifat praktis.
Pendekatan Arkeologi Marxis) Menhir dalam budaya masyarakat Batak Toba di Pulau
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, Mei, Vol 20 No. 1, Hal. 1- Samosir yang disebut dengan tunggal panaluan dan borotan
-17 juga memiliki fungsi dimaksud. Kedua benda budaya itu
Uang yang berfungsi sebagai alat tukar menyimpan juga memiliki fungsi lainnya yang terkait dengan aspek
berbagai makna tersembunyi dalam praktik sosialnya di kosmogoni. Berkenaan dengan itu maka tujuan uraian ini
masyarakat. Salah satu yang menarik adalah keberadaan adalah mengetahui fungsi tunggal panaluan dan borotan
uang kebon yang digunakan oleh para Tuan Kebun dalam dalam kaitannya dengan kosmogoni. Hal tersebut dilakukan
hal ini berlokasi di Tanah Deli atau yang lebih dikenal melalui metode deskriptif -interpretatif yang disertai data
dengan Sumatera Timur. Dalam konteks ini terdapat sebuah etnografi budaya Batak Toba untuk kemudian dibandingkan
permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan uang dengan budaya dan fungsi sejenis di tempat lainnya.
kebon yaitu bagaimanakah praktik kolonialisme pada saat Pemanfaatan metode tersebut dalam pencapaian tujuan
itu, yang tercermin dalam uang kebon? Melalui pisau bedah penelitian menghasilkan fungsi tunggal panaluan dan
arkeologi Marxis didapatkan makna uang kebon sebagai alat borotan sebagai jembatan bagi roh untuk menyatukan
praktik hegemoni yang dilakukan oleh para Tuan Kebun ketiga tingkatan alam.
terhadap Kuli/ pekerjanya. (Ketut Wiradnyana)
Kata kunci: roh, menhir, tunggal panaluan dan borotan,
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah) kosmogoni
Kata kunci: uang kebon, kolonialisme, perkebunan,
sumatera timur, arkeologi marxis
DDC 959.8
Nenggih Susilowati (Balai Arkeologi
DDC 959.801 Sumatera Utara)
I Wayan Badra (Balai Arkeologi Bali) Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs
Temuan Gerabah di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Sutan Nasinok Harahap, Kecamatan Batang Onang,
Pendekatan Etnoarkeologis) Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, Mei, Vol 20 No. 1, Hal. Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, Mei, Vol 20 No. 1, Hal.
18--32 48--65
Wasan merupakan nama sebuah subak yang terletak di Alat musik gong sebagai motif hias terdapat pada kubur
sebelah timur Banjar Blahtanah dan di sekitar Banjar kuna di Situs Sutan Nasinok Harahap, Kecamatan Batang
Canggi. Wasan mengandung beberapa tinggalan arkeologis Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera
di antaranya candi, kolam, struktur bangunan, arca Utara. Situs Sutan Nasinok Harahap merupakan kompleks
perwujudan, arca binatang, lingga, yoni, dan sejumlah kubur kuna yang terletak pada bentang lahan yang cukup
fragmen gerabah. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk luas sekitar ± 7 Ha. Adapun tujuannya adalah mengetahui
mengetahui bentuk dan fungsi temuan gerabah yang alasan pemanfaatan motif hias gong dan memaknai
terdapat di pura tersebut. Data penelitian ini dikumpulkan pemanfaatan motif hias gong pada kubur kuna di situs itu.
melalui survei dan ekskavasi, kemudian dianalisis secara Metode yang diterapkan adalah penelitian kualitatif dengan
morfologi, teknologi dan kontekstual. Hasil penelitian ini kajian etnoarkeologi. Kajian itu dimanfaatkan untuk
berupa tiga buah penyembean, tiga buah coblong, dan memaknai lebih dalam tentang relief ogung (gong) di
sebuah periuk. Berdasarkan ketiga bentuk gerabah ini kompleks kubur kuna Situs Sutan Nasinok Harahap.
mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Penyembean dapat Perbandingan dengan data-data etnografi yang ada,
difungsikan sebagai wadah tempat menyalakan api, ketika diharapkan dapat memberikan gambaran yang baik tentang
upacara yadnya di Pura Wasan dimulai. Coblong dapat makna relief ogung (gong) pada kompleks kubur kuna di
difungsikan sebagai wadah tempat air suci atau tirtha, Situs Sutan Nasinok Harahap. Hasilnya relief ogung (gong)
sedangkan periuk yang bentuknya lebih besar, selain di kompleks kubur kuna Situs Sutan Nasinok Harahap
difungsikan sebagai tempat tirtha, dapat juga dipakai menjadi bukti perjalanan panjang pemanfaatan alat musik
sebagai wadah tempat toye anyar dalam pelaksanaan tersebut dari dahulu hingga kini. Posisinya pada bangunan
upacara agama. kubur secara khusus dapat dimaknai bahwa tokoh yang
dikuurkan telah melaksanakan kewajiban adat seperti horja
(I Wayan Badra)
godang semasa hidup (Siriaon/ suka cita), Sipareon (penaik
Kata kunci: gerabah, Pura Wasan, analisis morfologi harkat martabat), dan bahkan saat kematian (Siluluton/
duka cita) yang dilaksanakan oleh ahli warisnya.
Keberadaan relief ogung (gong) dan sejenisnya juga dapat
menggambarkan bahwa tokoh yang dikuburkan adalah
Ketut Wiradnyana (Balai Arkeologi Sumatera Utara)
tokoh terhormat dan telah mendapat gelar raja adat.
Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak
Toba (Nenggih Susilowati)
Kata kunci: gong, kubur kuna, musik, horja godang

DDC 959.8
Wayan Sumerata (Balai Arkeologi Bali)
Gendro Keling (Balai Arkeologi Bali)
Ati Rati Hidayah (Balai Arkeologi Bali)
Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim di Sepanjang Pantai
Tejakula, Buleleng, Bali
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 19 No. 2,
Hal. 66--78
Situs Tejakula sejak dulu sudah dilirik oleh peneliti sebagai
situs yang potensial untuk dikembangkan. Situs ini berada
di kawasan pesisir pantai Bali Utara yang menurut beberapa
sumber merupakan jalur pelayaran bagi kapal-kapal dari
berbagai wilayah lain di Nusantara bahkan dari luar negeri.
Beberapa titik lokasi penelitian ini antara lain adalah Situs
Pantai Bangsal di Dusun Geretek, dan Sepanjang Pantai
Bondalem. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka, survei berupa observasi di darat dan juga di
bawah air dengan menggunakan teknik SCUBA Diving.
Hasilnya diperoleh kontur dan kondisi dasar laut
Sambirenteng yang berupa palung dan berlumpur, serta
temuan bekas struktur berupa batu padas di Pantai Bangsal,
Dusun Geretek, Desa Sambirenteng. Temuan struktur dan
gerabah ini memperkuat adanya aktifitas di sekitar pantai
yang terkait dengan aktifitas pelabuhan atau pemukiman.
Selain itu temuan gerabah dari masa prasejarah yang
kondisi saat ini di bawah permukaan air karena abrasi pantai
yang parah di Desa Bondalem.
(Wayan Sumerata, Gendro Keling, Ati Rati Hidayah)
Kata kunci: budaya maritim, pelabuhan kuna, struktur,
gerabah
Berkala Arkeologi
SANGKHAKALA
ISSN 1410 – 3974 Publish : Mei 2017
E-ISSN 2580 – 8907

The discriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

DDC 959.802 Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 19 No. 2,


Andri Restiyadi (Balai Arkeologi Sumatera Utara) page 33—47
Churmatin Nasoichah (Balai Arkeologi The functions of menhirs are often being connected to
Sumatera Utara) medium of worship, burial markers, and guardian of an
Colonialism Practice in The Existence Of “Uang Kebon” In area/village, or stakes to tether sacrificial animals. Such
East Sumatran Plantations During Colonialism Practice in functions are known to be related to visual aspect or
Uang Kebon's Existence, at The East Sumatra Plantation in practical functions. Menhirs in Batak Toba culture on
the 19th – 20th Century (A Marxist Archaeological Approach) Samosir Island, which are called tunggal panaluan and
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, May Vol 20 No.1, page 1- borotan also have the above functions. Moreover, the
-17 cultural items have other functions in relation to the aspect
Money, which functions as means of transfer, has various of cosmogony. Hence the aim of this article is to understand
hidden meanings in its social practice among the the function of tunggal panaluan and borotan in relation to
communities. An interesting thing is the existence of “uang cosmogony, which were carried out using descriptive-
kebon” (plantation money) that was used by Plantation interpretative method, supported by ethnographical data of
Owners in Tanah Deli, which is better known as East Batak Toba culture that was compared to similar cultures
Sumatra. In this context, there is a problem in relation with and functions in other places. The implementation of the
uang kebon, namely how was the colonialism practice method to fulfill the research aim reveals that tunggal
during the period, which was reflected in form of uang panaluan and borotan also function as a bridge to connect
kebon? Through Marxist Archaeology, we reveal the the three levels of environment.
meaning of uang kebon as a tool of hegemony practice that (Ketut Wiradnyana)
was used by plantation owners (Tuan Kebun) towards their Keywords: spirit, menhir, tunggal panaluan and borotan,
workers (coolies). cosmogony
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
DDC 959.8
Keywords: uang kebon, colonialism, plantation, east
sumatra, marxist archaeology Nenggih Susilowati (Balai Arkeologi
Sumatera Utara)
DDC 959.801 Representation of Ogung (Gong) Relief On Ancient
Cemetery Site of Sutan Nasinok Harahap, in Batang Onang,
I Wayan Badra (Balai Arkeologi Bali) North Padang Lawas, North Sumatera
Pottery Found At Pura Wasan (Wasan Temple), Blahbatuh, Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 19 No. 2,
Gianyar (An Ethnoarchaeological Approach) page 48--65
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, May Vol 20 No.1, page Gong musical instrument as an ornamental motif is found on
18--32 ancient graves at Sutan Nasinok Harahap Site, Batang
Wasan is the name of a subak (Balinese traditional irrigation Onang Subdistrict, North Padang Lawas Regency, in North
system) that is located to the east of Banjar Blahtanah and Sumatera Province. Sutan Nasinok Harahap site is an
around Banjar Canggi (banjar = community unit). Wasan ancient grave complex located on a quite extensive
yielded a number of archaeological finds such as candi landscape of about ± 7 Ha. The purpose is to find out the
(temple), pond, building structure, personification statues, reasons for the use of gong decorative motifs and interpret
animal statues, lingga, yoni, and fragments of pottery. The the use of gong decorative motifs on the ancient graves at
purpose of this research is to find out the shapes and the site.The applied method is qualitative research with
functions of the pottery found at the temple. Data were ethno-archaeology study. The study was used to interpret
collected by means of survey and excavation, and they were more deeply the ogung (gong) relief at the ancient grave
then analyzed morphologically, technologically, and site of Sutan Nasinok Harahap. Comparison with existing
contextually. Results of this research include three ethnographic data is expected to give a good picture about
penyembeans, three coblongs, and a jar. Derived from their the meaning of ogung (gong) relief on ancient grave
shapes, the three types of pottery have different functions. complex at Sutan Nasinok Harahap Site. The result shows
Berdasarkan ketiga bentuk gerabah ini mempunyai fungsi that ogung (gong) relief on the ancient grave complex of
yang berbeda-beda. Penyembean was functioned as a Sutan Nasinok Harahap Site confirms the long journey of
container to ignite fire before the commencing of a yadnya utilization of the instrument from the past until now. Its
ceremony at Pura Wasan. Coblong was used to place holy position on the tombs in particular also reveals that the
water or (tirtha), while the jar, due to its larger size, besides figures who have been buried had carried out customary
being functioned to store tirtha, could also be used as a duties such as horja godang during their lives – namely
container for toye anyar during religious ceremonies. Siriaon (joyous event), Sipareon (to raise dignity), and even
(I Wayan Badra) on the occasion of death or Siluluton (sad event) – carried
Keywords: pottery, Pura Wasan, morphological analysis out by their heirs. The existence of ogung (gong) reliefs and
the like can also illustrate that the buried figure is a
distinguished figure and had been given the title of adat
DDC 305.8 king.
Ketut Wiradnyana (Balai Arkeologi Sumatera Utara) (Nenggih Susilowati)
Repositioning of Menhirs Functions in Megalithic of the Batak
Toba Tradition Keywords: gong, ancient grave, music, horja godang
DDC 959.8
Wayan Sumerata (Balai Arkeologi Bali)
Gendro Keling (Balai Arkeologi Bali)
Ati Rati Hidayah (Balai Arkeologi Bali)
The Potency of Maritime Archaeological Resources a Long
Tejakula Coast in, Buleleng, Bali
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, May, Vol 20 No. 1, page
66--78
Tejakula has long been attracted a number of researchers
as a potential site to be developed. The site is located along
the coast of North Bali which, according to several sources,
was part of a sailing route for ships to and from other areas
in the Indonesian Archipelago and even foreign places.
Among the research locations are Pantai Bangsal (Bangsal
Coast) Site at the hamlet of Geretek Beberapa (Dusun
Geretek) and along Bondalem Beach. The method of data
collections were bibliographical study, land survey, and
underwater exploration using SCUBA Diving technique.
Results of this research include information about the
contour and condition of the ocean floor of Sambirenteng,
which are trough and muddy, as well as the finding of traces
of a rock structure and pottery on Bangsal Coast, Geretek
Hamlet, Sambirenteng Village. The structure and pottery
show that there were activities on the coast area that were
related to harbor or habitation. Furthermore, there are also
prehistoric pottery finds, which are now submerged under
the water because of severe beach abrasion at the village of
Bondalem.
(Wayan Sumerata, Gendro Keling, Ati Rati Hidayah)
Keywords: maritime culture, old harbor, structure, pottery
KATA PENGANTAR

Dalam rangka melanjutkan penyebaran informasi arkeologi, pada bulan Mei tahun
2017, Balai Arkeologi Sumatera Utara menerbitkan Berkala Arkeologi Sangkhakala Volume 20
Nomor 1. Melalui serangkaian seleksi, tinjauan, dan penyuntingan baik yang dilakukan oleh
dewan redaksi ataupun mitra bestari, dalam hal ini terdapat 5 (lima) artikel terpilih yang layak
untuk diterbitkan. Adapun ragam topik bahasan yang terdapat dalam materi penerbitan kali ini
berkaitan dengan Arkeologi Maritim, Sejarah, dan Etnoarkeologi.
Bahasan pertama diawali oleh Andri Restiyadi dan Churmatin Nasoichah yang
menguraikan tentang praktik kolonilalisme yang terjadi pada perkebunan di Sumatera Timur
melalui data berupa uang kebon dengan sudut pandang Arkeologi Marxis. Dalam hal ini
disebutkan bahwa eksistensi uang kebon pada sistem ekonomi perkebunan Sumatera Timur
merupakan salah satu indikasi dari praktik kolonialisme itu sendiri. Dikatakan juga bahwa uang
kebon tidak lain merupakan sebuah media untuk mempertahankan status quo relasi antara
sistem produksi perkebunan dengan para pekerjanya (kuli kontrak). Artikel ini menggunakan
data berupa uang kebon yang merupakan koleksi pribadi DR. Phil. Ihwan Azhari, seorang
pengajar di Universitas Negeri Medan dan Museum Provinsi Sumatera Utara.
Artikel selanjutnya menggunakan etnoarkeologi yang ditulis oleh I Wayan Badra yang
menulis tentang temuan gerabah di Situs Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar, Bali. Melalui
metode etnoarkeologis, temuan gerabah tersebut menunjukkan indikasi fungsional yang setara
dengan penyambean, coblong, dan periuk. Penyembean menurut data etnoarkeologis
berfungsi sebagai tempat minyak kelapa, sementara coblong dan periuk sebagai wadah tirtha.
Melalui ketiga fungsi gerabah tersebut, dapat disimpulkan bahwa temuan gerabah di Pura
Wasan digunakan pada saat upacara Dewa Yadnya dan Butha Yadnya.
Kajian yang ketiga ditulis oleh Ketut Wiradnyana yang membahas tentang reposisi
fungsi menhir dalam tradisi megalitik Batak Toba. Ketiadaan temuan menhir dalam tradisi
megalitik Batak Toba merupakan sebuah fenomena menarik. Dalam hal ini Ketut Wiradnyana
mencoba untuk membandingkan fungsi menhir dengan keberadaan tunggal panaluan dan
borotan pada masyarakat Batak Toba. Tunggal panaluan merupakan tongkat berbahan kayu
yang dimiliki oleh seorang tokoh adat yang digunakan sebagai media pemujaan dalam suatu
prosesi upacara. Adapun borotan adalah batu yang berada di tengah perkampungan adat
sebagai pengikat hewan kurban dalam upacara tertentu. Melalui pendekatan etnoarkeologi,
dalam artikel ini disebutkan bahwa fungsi tunggal panaluan dan borotan dalam masyarakat
Batak menggantikan fungsi menhir pada tradisi megalitik.
Kajian etnoarkeologi selanjutnya ditulis oleh Nenggih Susilowati dengan topik
bahasan pemaknaan terhadap relief Ogung (gong) pada kubur kuna di situs Sutan Nasinok
Harahap, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera
Utara. Dalam artikel ini disebutkan bahwa relief ogung (gong) pada kompleks kubur kuna
tersebut merupakan sebuah tanda bahwa orang yang dikuburkan merupakan tokoh terhormat
dan telah mendapatkan gelar raja adat. Keberadaan relief tersebut sekaligus menjadi bukti
perjalanan panjang pemanfaatan alat musik dari dahulu sampai saat ini.
Artikel terakhir bertema arkeologi maritim ditulis oleh Wayan Sumerata, Gendro
Keling, dan Ati Rati Hidayah yang membahas tentang potensi arkeologi maritim yang terdapat
di pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali. Melalui metode survei SCUBA Diving pada beberapa
titik, dihasilkan gambaran kontur dan kondisi dasar laut Sambirenteng yang berupa palung dan
berlumpur. Adapun temuan menarik lainnya adalah keberadaan bekas struktur bangunan
berupa batu padas yang terdapat di Pantai Bangsal, Dusun Geretek, Desa Sambirenteng yang
disertai dengan beberapa fragmen gerabah. Temuan struktur dan gerabah ini memperkuat
adanya aktifitas di sekitar pantai yang terkait dengan pelabuhan atau pemukiman.
Demikian disampaikan serangkaian artikel yang dimuat pada Berkala Arkeologi
Sangkhakala Volume 20 Nomor 1 sebagai pengantar. Selanjutnya pada kesempatan ini kami
ucapkan terimakasih disampaikan kepada Drs. Bambang Budi Utomo (Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional), dan Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara) yang telah berkenan
membantu Dewan Redaksi selaku editor. Ucapan terima kasih juga diucapkan kepada Prof.
DR. M. Dien Madjid, M.Ag. (UIN Syarif Hidayatullah), Prof. (Ris.). DR. Truman Simanjuntak
(Centre for Prehistoric and Austronesia Studies), Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjun tak
(Universitas Negeri Medan), dan DR. Wanny Raharjo Wahyudi (Universitas Indonesia) atas
kerjasamanya selaku mitra bestari. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para penulis
yang telah berkontribusi dalam penyusunan Berkala Arkeologi Sangkhakala Volume 20 Nomor
1 ini. Semoga karya dalam Sangkhakala Berkala Arkeologi ini dapat menambah pengetahuan
tentang berbagai hal terkait dengan arkeologi. Selamat menyimak.

Medan, Mei 2017


Dewan Redaksi
PRAKTIK KOLONIALISME DALAM EKSISTENSI UANG KEBON
PADA PERKEBUNAN SUMATERA TIMUR ABAD KE-19-20
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)

COLONIALISM PRACTICE IN UANG KEBON'S EXISTENCE


AT THE EAST SUMATRA PLANTATION IN THE 19 th-20th CENTURY
(A Marxist Archaeological Approach)

Naskah diterima: Naskah direvisi: Naskah disetujui terbit:


02-02-2017 10-04-2017 20-04-2017

Andri Restiyadi
Churmatin Nasoichah
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Medan
andri.restiyadi@kemdikbud.go.id
curma.oke@gmail.com

Abstract
Money, which functions as means of transfer, has various hidden meanings in its social practice among
the communities. An interesting thing is an existence of “uang kebon” (plantation money) that was used
by Plantation Owners in Tanah Deli, which is better known as East Sumatra. In this context, there is a
problem in relation with uang kebon, namely how was the colonialism practice during the period, which
was reflected in form of uang kebon? Through Marxist Archaeology, we reveal the meaning of uang
kebon as a tool of hegemony practice that was used by plantation owners (Tuan Kebun) towards their
workers (coolies).
Keyword: uang kebon, colonialism, plantation, East Sumatra, marxist archaeology
Abstrak
Uang yang berfungsi sebagai alat tukar menyimpan berbagai makna tersembunyi dalam praktik
sosialnya di masyarakat. Salah satu yang menarik adalah keberadaan uang kebon yang digunakan oleh
para Tuan Kebun dalam hal ini berlokasi di Tanah Deli atau yang lebih dikenal dengan Sumatera Timur.
Dalam konteks ini terdapat sebuah permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan uang kebon yaitu
bagaimanakah praktik kolonialisme pada saat itu, yang tercermin dalam uang kebon? Melalui pisau
bedah arkeologi Marxis didapatkan makna uang kebon sebagai alat praktik hegemoni yang dilakukan
oleh para Tuan Kebun terhadap Kuli/ pekerjanya.
Kata kunci: uang kebon, kolonialisme, perkebunan, Sumatera Timur, arkeologi marxis

1. Pendahuluan sebelum masa tersebut. Menurut Gosden,


Istilah arkeologi kolonial di kolonialisme merupakan suatu kebijakan
Indonesia memiliki perbedaan yang ketika suatu negara/ institusi mengklaim
signifikan dengan pengertian kolonial itu kedaulatan atas wilayah dan orang-orang di
sendiri. Di Indonesia, arkeologi kolonial luar batas-batas negara itu sendiri. Hal
merujuk pada tinggalan-tinggalan arkeologi tersebut dilakukan untuk memfasilitasi
yang berasal dari masa kedatangan dominasi ekonomi atas sumber daya
bangsa-bangsa Eropa. Pada sisi lain, mereka, tenaga kerja, dan pasar.
kolonialisme sebenarnya telah hadir jauh Fenomena kolonialisme tersebut bukanlah

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 1
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
hal baru dan sudah terjadi ada selama kemudian membedakan esensi khas
ribuan tahun yang lalu. Namun, spesies manusia (Lee 2006, 4-5). Dengan
kolonialisme dan kolonialisme formal tidak kata lain, gagasan Marx yang berkaitan
hanya berbicara tentang eksploitasi dengan tata kehidupan sosial didasarkan
ekonomi, melainkan perampasan dan pada sebuah asumsi dasar yaitu faktor
bekerjanya hegemoni, ideologi, dan budaya ekonomilah yang menjadi pangkal dari
(Diaz-Andreu 2007, 209). Arkeologi kolonial segala kehidupan sosial (Sairin, Semedi
dalam pengertian itulah yang kurang dan Hudayana 2002, 121). Walaupun
mendapat perhatian di Indonesia. Dalam demikian, di bawah sistem ekonomi
konteks ini, terdapat beberapa cara untuk kapitalisme, para pekerja tidak lagi memiliki
membedah praktik kolonialisme dalam kontrol atas potensi yang terkandung dalam
arkeologi melalui tinggalan-tinggalan kerja mereka, potensi ini bagi para kapitalis
budaya materialnya, salah satu yang akan dipertukarkan dengan benda abstrak yang
digunakan dalam hal ini adalah pendekatan terdapat dalam upah (Lee 2006, 9). Adapun
arkeologi marxis. bentuk dari upah yang dimaksud dalam hal
Tidak dapat dipungkiri bahwa ini berupa uang.
perkembangan teori Marxisme Uang, merupakan sebuah artefak
berkembang melalui gagasan-gagasan budaya yang berfungsi sebagai alat tukar
Karl Marx. Salah satu persoalan yang dan memiliki standar nilai yang berlaku
menjadi pokok bahasan Marx pada karya- pada waktu serta lokasi tertentu. Hal ini
karya awalnya adalah mempertanyakan tentu sangat memudahkan apabila
perbedaan ontologis antara manusia dan dibandingkan dengan sistem barter yang
binatang. Bagi Marx, jawaban dari tidak memiliki standar nilai terukur (baku).
pertanyaan tersebut terdapat pada sifat Walaupun demikian, pada praktiknya uang
kebutuhan manusia dan cara tetap memiliki batasan-batasan tertentu
pemenuhannya. Dalam konteks ini dalam penggunaannya. Faktor
manusia dan binatang dapat disamakan kesepakatan menjadi unsur utama dalam
apabila dilihat dari ketergantungannya menentukan batasan spasial-temporal
dalam memanfaatan sumber alam untuk penggunaan mata uang. Sebelum uang
memenuhi kebutuhan dan menjamin menjadi sebuah alat tukar, logam mulia
hidupnya. Walaupun demikian, manusia berupa emas dan perak sudah terlebih
secara aktif dan sadar dapat mereproduksi dahulu dijadikan sebagai standar nilai alat
sarana hidup mereka dari alam melalui tukar. Selanjutnya barulah uang yang
proses produksi material, penyesuaian, dan
pengerjaan sumber daya alam. Aktivitas
yang dilakukan secara sadar inilah yang

2 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 1—17


digunakan sebagai alat tukar yang sah pertanian untuk kepentingan tertentu.
1
pada suatu wilayah . Zenden dan Marks (2012,147)
Salah satu yang menarik untuk menyebutkan bahwa hal ini ditandai
menjadi bahan kajian tentang kaitan antara setidaknya oleh dua hal penting. Pertama,
uang, politik, dan sistem produksi adalah adanya sebuah gerakan untuk
keberadaan uang kebon. Kemenarikan menghapuskan semua jenis tenaga kerja
uang kebon sebagai bahan kajian antara paksa dan menggantinya dengan tenaga
lain terlihat pada relasi yang terjadi antara kerja bayaran secara bertahap, dan yang
pemerintah selaku pemegang kekuasaan, kedua, munculnya bentuk baru dari
instansi perkebunan, para tenaga kuli perkebunan yang berorientasi pada
kontrak/ pekerja, dan uang kebon itu komoditas yang dikembangkan melalui
sendiri. Secara sederhana relasi tersebut modal kewirausahaan Eropa. Senada
dapat digambarkan adalah sebagai berikut: dengan pendapat di atas, Bremen (1997,
uang kebon diproduksi oleh instansi 15) menyatakan bahwa munculnya
perkebunan tertentu, digunakan sebagai Undang-Undang Agraria, pada tahun 1870
alat tukar/transaksi yang sah dalam yang dalam arti formal menandai
lingkungan perkebunan tertentu, dan hanya berakhirnya sistem tanam paksa di Jawa,
berlaku dalam sistem ekonomi perkebunan dan beralih menjadi sistem liberalisme yang
tertentu. Dalam konteks ini, sangat lebih bebas, segera menunjukkan arah
dimungkinkan terjadinya praktik-praktik politik baru yaitu terbukanya akses sumber
kolonialisme yang disembunyikan di dalam daya alam bagi kepentingan modal
sistem ekonomi tersebut. Adapun batasan kewirausahaan asing. Adapun dampak dari
perkebunan yang dimaksud dalam hal ini perubahan sistem tanam paksa ke
adalah perkebunan yang terdapat di Tanah liberalisme tersebut menyebabkan
Deli (Sumatera Timur). meluasnya sistem perkebunan dalam skala
Data sejarah mencatat bahwa besar di Jawa. Sementara di luar Jawa
reformasi yang dimulai pada akhir tahun yang penduduknya masih sangat sedikit,
1840-an dan 1850-an yang pada awalnya baru melangkah pada tahap awal pada
bertujuan untuk menyederhanakan tanam sektor pertambangan. Walaupun demikian,
paksa, secara perlahan menjelma menjadi kelak arti penting dari masa ini adalah
sebuah perubahan mendasar dalam cara terbentuknya masyarakat perkebunan di
pengorganisasian produksi-konsumsi hasil Sumatera Timur. Dan orang pertama

1 Pada sisi tertentu uang tidak hanya memiliki politik untuk menjalani sebuah sistem
nilai ekonomis semata sebagai alat tukar, produksi.
melainkan juga dimanfaatkan sebagai alat

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 3
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
sebagai peletak dasar munculnya Handel-Maatschappij. Pada saat itu,
perkebunan di Sumatera Timur adalah J. perusahaan ini sudah memiliki 7000
Nienhuys (Bremen 1997, 16; Perret 2010, hektare lahan tembakau, 1.200 kuli
121). Tionghoa, dari total 3000 kuli yang bekerja
Jacob Nienhuys merupakan di wilayah Kesultanan Deli (Pelzer 1985,
wirausahawan pertama yang didaulat oleh 51—53). Sampai tahun 1869, konsesi yang
pedagang-pedagang Belanda untuk berkaitan dengan tanah perkebunan hanya
menanamkan investasinya pada diberikan pada wilayah-wilayah yang
perkebunan tembakau di Jawa. berada di bawah wewenang sultan. Akan
Pertemuannya dengan Pangeran Said tetapi dikarenakan tanah hutan di Pesisir
Abdullah Ibn Umar Bilsagih di Surabaya, Timur hanya dapat menghasilkan satu kali
kelak menjadi titik penting meluasnya panen tembakau, maka para pekebun
perkebunan swasta ke wilayah Sumatera berusaha untuk memperluas lahan mereka
Timur. Pangeran ini menunjukkan bahwa di luar wilayah sultan. Pada tahun yang
kesuburan dan iklim di daerah Deli sangat sama diresmikannya Terusan Suez juga
tepat untuk perkebunan tembakau. Setelah menjadi pemicu pertumbuhan meluasnya
peristiwa tersebut Nienhuys tiba di perkebunan-perkebunan swasta di wilayah
Labuhandeli pada tahun 1863, dan kecewa Deli pada tahun berikutnya. Akibatnya,
karena melihat kondisi perkebunan perkebunan di Kasultanan Langkat dan
tembakau yang diproduksi penduduk Kasultanan Serdang semakin berkembang,
setempat. Walaupun demikian, dia tetap demikian juga di Hamparan Perak (Perret
memutuskan untuk mencoba membuka 2010,182).
sebuah perkebunan eksperimental di Deli Syarat-syarat kerja untuk para kuli
seluas 75 hektar. Setelah izin diberikan, telah tertuang sepenuhnya di dalam Koeli
Nienhuys mendatangkan orang-orang Oordonantie 1880. Dalam peraturan
Tionghoa dari Singapura untuk mengurus tersebut, ditetapkan masa kontrak seorang
perkebunannya, hal tersebut karena tidak kuli adalah selama tiga tahun. Setelah
seorangpun orang pribumi yang mau masa kontrak itu habis, pihak institusi
membantunya mengurus perkebunan. perkebunan harus mengembalikan kuli.
Hasil panen pertamanya pada tahun 1864 Dalam peraturan tersebut juga terdapat
ternyata memiliki kualitas istimewa ketika sanksi-sanksi atas kuli yang tertuang di
diekspor ke Belanda (Perret 2010, 180). dalam bab Poenali Sanctie. Adapun isinya
Melihat kenyataan tersebut, Nienhuys secara umum adalah setiap kuli kontrak
bersama dengan Janssen, Clemen kembali yang meninggalkan pekerjaannya, yang
ke Deli pada tahun 1869 dan mendirikan lari, dan yang mengabaikan kewajiban
Deli Maatschappij dan Nederlandsche

4 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 1—17


kerjanya akan dikenakan sanksi berupa persembahan dalam bentuk mata uang
denda atau penjara (Reid 1987, 82). emas Aceh dalam transaksi perkawinan.
Sejak semula, para tuan kebun Pada saat bersamaan masyarakat
menyadari kesulitan untuk mempekerjakan pedalaman yang sama sekali tidak
penduduk pribumi di perkebunan mereka mengenal peraturan baru yang berlaku di
dengan syarat-syarat yang sudah Pesisir Timur Laut masih biasa
ditetapkan. Akhirnya mereka sangat menggunakan dollar Spanyol. Akan tetapi,
tergantung pada tenaga kerja yang sejak tahun 1864 dan penempatan
didatangkan secara terus menerus dari controeler pertama di Deli, guilder mulai
Cina dan Jawa. Pada masa pertama dipakai. Ditambah lagi, sejak tahun 1890
pembukaan hutan pada tahun 1870-an kuli- berlaku sebuah peraturan baru yang
kuli Cina telah dibeli dengan harga tinggi menyebutkan bahwa mata uang standar
dari tengkulak mereka di Penang, dan adalah dollar Meksiko dan mengesahkan
Singapura. Dalam setahun mereka telah penggunaan mata uang yen, serta dollar
mempekerjakan lebih dari 7000 kuli, dan Hongkong. Lima tahun kemudian, dolar
pada akhir tahun 1890-an berkembang Inggris menggantikan dolar Meksiko
menjadi 20.000 orang (Reid 1987, 80). sebagai mata uang standar. Tahun 1908,
Pada sisi lain para penguasa setempat, pemerintah kolonial mengambil
sultan dan kerabatnya, memanfaatkan kebijaksanaan untuk mengakhiri
kondisi ini untuk mengembangkan harta penggunaan dolar Spanyol di residentie.
pribadinya dengan cara menyesuaikan Mereka melancarkan tindakan menukar
pengelolaan perkebunan tradisional dolar Spanyol dengan guilder.
miliknya dengan pengelolaan sistem Eropa. Pemberlakuan guilder sebagai mata uang
Model pengelolaan perkebunan semacam yang baru tidak pernah berhasil
ini sering disebut oleh Belanda sebagai mewujudkan sebuah wilayah kesatuan
dagangstelsel. Pegawai-pegawai Belanda moneter (Perret 2010, 227--8).
memandang dagangstelsel sebagai Selain beberapa mata uang yang
sesuatu yang mengancam keberadaan berlaku di Sumatera Timur tersebut,
mereka (Perret 2010, 192). terdapat sebuah mata uang yang hanya
Pada awal abad ke-20, mata uang berlaku dalam sistem ekonomi perkebunan.
emas Aceh masih berlaku di dua pasar Mata uang yang dimaksud adalah uang
besar di Pane, sebuah daerah di kebon. Akibat ketiadaan sistem moneter
Simalungun, Sumatera Utara. Pada yang jelas menyebabkan para Tuan Kebun
periode yang sama, di utara Danau Toba, memiliki wewenang untuk mengeluarkan
penduduk dataran tinggi masih mata uang sendiri untuk perkebunannya.
menjalankan adat memberikan Mata uang kebon tidak dapat disetarakan

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 5
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
atau ditukar dengan mata uang lain yang seperti ini sebenarnya memiliki relevansi
berlaku pada masa itu. Hal inilah yang ketika membahas permasalahan yang
menjadi sebuah permasalahan menarik berkaitan dengan relasi sosial-budaya
dalam kajian arkeologi kolonial. Dalam sebagai sebuah alternatif pendekatan.
konteks ini salah satu permasalahan yang
2. Metode
berkaitan dengan keberadaan uang kebon
Data utama yang digunakan dalam
sebagai mata uang perkebunan yaitu
hal ini adalah fenomena munculnya uang
bagaimanakah praktik kolonialisme yang
kebon dalam sistem ekonomi perkebunan
tercermin dalam uang kebon ketika ditinjau
di Sumatera Timur. Dalam hal ini beberapa
dengan menggunakan pendekatan
contoh uang kebon akan dideskripsikan
arkeologi marxis?
secara formal. Selain data utama juga
Penggunaan arkeologi marxis
digunakan data sekunder berupa studi
sebagai sebuah pendekatan didasari dari
pustaka. Adapun metode penalaran yang
kecocokannya dengan kondisi sosial
digunakan adalah induktif yang dimulai dari
budaya pada masa ketika peristiwa
pengamatan terhadap gejala-gejala khusus
tersebut terjadi. Melalui kerangka kerja
pada data utama, kemudian disimpulkan
arkeologi marxis diharapkan dapat
sebagai gejala yang bersifat empiris umum.
diketahui lebih dalam tentang praktik
Penelitian ini bersifat deskriptif-eksplanatif
kolonialisme pada sistem produksi
dengan tujuan akhir untuk menjelaskan
perkebunan melalui artefak budaya berupa
gejala-gejala khusus yang berkaitan
uang kebon. Adapun tujuan dari tulisan ini
dengan permasalahan yang diajukan.
selain menjawab permasalahan yang di
Dalam penelitian ini gejala-gejala khusus
ajukan, sekaligus juga memperkenalkan
tersebut akan dijelaskan dengan teori yang
arkeologi Marxist sebagai sebuah
berkaitan dengan Arkeologi Marxis. Hodder
paradigma yang belum banyak
(2003, 7) yang mengadopsi diagram dari
dikembangkan di Indonesia. Paradigma

Gambar 1. Diagram relasi infrastruktur dan suprastruktur dalam Marxisme


(Sumber: Hodder, 2003: 7).

6 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 1—17


Friedman (1974) menggambarkan sebuah Walaupun demikian, penting
diagram yang berkaitan dengan hal yang kiranya deskripsi morfologis dilakukan
berkaitan dengan analisis arkeologi marxis, terhadap mata uang kebon tersebut,
seperti yang terdapat pada gambar 1. mengingat terdapat beberapa perbedaan
antaruang kebon maupun dengan uang
3. Hasil dan Pembahasan
gulden yang digunakan sebagai mata uang
Koleksi mata uang kebon yang
resmi pada masa itu di Hindia Belanda,
dijadikan sebagai data artefaktual di bawah
termasuk di dalamnya Sumatera Timur.
ini berasal dari koleksi pribadi salah satu
Menurut pengamatan Nasoichah
pengajar di Universitas Negeri Medan
(2010, 19), terdapat beberapa perbedaan
bernama Ichwan Azhari, dan juga koleksi
antara uang kebun dan mata uang resmi
dari Museum Negeri Provinsi Sumatera
Hindia Belanda. Perbedaan yang dimaksud
Utara. Mata uang yang dijadikan sebagai
seperti yang tertera pada gambar 2.
bahan bahasan di bawah ini merupakan
No. parameter Uang Hindia Belanda Uang Kebun/ token
1. Satuan Gulden, Sen Dolar, Sen
2. Bentuk Lingkaran variatif
3. Gambar Dua sisi Satu sisi
4. Lambang kerajaan ada Tidak ada
5. Aksara Latin Latin, Cina
6. Bahasa Belanda Cina, Jerman
7. Tulisan Munt van het koningryjk der Unternehmung Gutfur
nederlanden Reis disertai penyebutan
perkebunan misalnya
Tanah Tadja,
Toentoengan, dan lain
sebagainya.
8. Gambar Ratu Belanda ada Tidak ada

Gambar 2. Tabel perbedaan uang Hindia Belanda dan uang Kebon


(Sumber: Nasoichah 2003, 7)

beberapa contoh uang kebon yang beredar Uang token atau sering dikenal
pada perkebunan di Sumatera Timur pada dengan nama uang kebon merupakan alat
abad ke-19. Deskripsi morfologi uang tukar yang hanya beredar dan berlaku di
kebon yang tersebut di bawah ini tidak wilayah perkebunan tertentu. Mata uang ini
menjadi bahasan utama untuk menjawab tidak memiliki nilai tukar apabila digunakan
permasalahan, melainkan hanya sebagai di luar wilayah perkebunan. Uang kebon
contoh beberapa koin yang beredar pada memiliki berbagai jenis, bentuk dan ukuran,
masa itu. beberapa di antaranya:

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 7
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
berbahan perunggu, dan warnanya
cokelat kemerahan. Terdapat tulisan
pada kedua sisinya, dengan dua macam
aksara yaitu aksara latin dan cina. Pada
sisi depan bagian tengah terdapat
tulisan “Unternehmung Gut Für 1 Dollar
Gambar 3. Contoh uang kebon 1
1879 Tanah Radja”, dan terdapat motif
(Dok. Churmatin Nasoichah 2010)
sulur-suluran pada bagian tepianya.
1. Uang ini berbentuk persegi dengan
Adapun pada bagian sisi yang lain
keempat sudut terpotong dengan
terdapat tulisan dalam aksara cina dan
panjang 3 cm, lebar 2,2 cm, lebar sudut
terdapat motif garis-garis kecil di bagian
0,5 cm, dan tebal 0,1 cm dengan bagian
tepiannya.
tepiannya didekorasi dengan deretan
lingkaran-lingkaran berukuran kecil.
Uang ini berbahan logam perunggu
dengan mayoritas campuran kuningan.
Terdapat tulisan di kedua sisinya. Pada
sisi depan terdapat dua jenis aksara
yaitu aksara latin dan aksara cina.
Sebuah angka arab 20 dengan tulisan
CENTS EONG HONG berada di bagian Gambar 5. Contoh uang kebon 3
(Dok. Churmatin Nasoichah 2010)
tengah, sedangkan pada sisi kanan dan
kirinya terdapat aksara Cina. Adapun 3. Uang ini berbentuk oval dengan

pada bagian sebaliknya terdapat aksara diameter panjang 4,8 cm, diameter
pendek 3 cm, dan tebal 0,1 cm. Adapun
Cina yang berada tepat di tengah bidang
pada bagian tepiannya didekorasi
mata uang.
dengan deretan lingkaran-lingkaran
berukuran kecil. Uang ini berupa uang
logam dengan bahan perunggu. Pada
uang ini hanya satu sisi yang terdapat
tulisan, sedangkan sisi lainnya kosong.
Sisi yang terdapat tulisan memiliki
aksara latin yang berbunyi
Gambar 4. Contoh uang kebon 2
“UNTERNEHMUNG pada bagian atas,
(Dok. Churmatin Nasoichah 2010)
rata tengah, sedangkan pada bagian
2. Uang ini berbentuk persegi empat
bawah dibatasi oleh dua buah tanda
dengan panjang 3 cm, lebar 2,3 cm, dan
bintang, adalah tulisan Poelau Radja.
tebal 0,5 cm. Uang ini berbentuk logam

8 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 1—17


Bagian oval kedua yang dibatasi oleh
garis tipis menonjol bertuliskan REIS
pada bagian atas, diikuti oleh GUT FÜR
di bawahnya, ½ DOLLAR dan 1890.

Gambar 7. Contoh uang kebon 5


(Dok. Churmatin Nasoichah 2010)

cm, dan tebal 0,2 cm. Uang ini


merupakan koleksi Museum Negeri
Prov. Sumatera Utara dengan nomor
inventaris 3460. Uang ini berbahan
Gambar 6. Contoh uang kebon 4
(Dok. Churmatin Nasoichah 2010) perunggu, dan memiliki dua sisi yang
bergambar. Pada satu sisi bergambar
4. Uang ini berbentuk segitiga sama sisi
hanya satu sisi yang memiliki tulisan
dengan ujung membulat yang memiliki
berupa aksara latin yang berbunyi
panjang pada masing-masing sisi 4,1 cm
“Unternehmung Gut Für 1 Dollar Reis
dan tebal 0,1 cm. Pada bagian tepi uang
1891 Soengei Serbangan”
ini berdekorasi deretan bulatan-bulatan
kecil yang berujung bintang pada
masing-masing ujung segitiganya. Uang
ini berbahan perunggu. Mata uang ini
hanya terdapat satu sisi saja yang
bertulisan, sedangkan sisi lainnya
kosong. Adapun tulisan yang dimaksud
Gambar 8. Contoh uang kebon 6
adalah Unter Nehmung Gur Für.Co (Dok. Churmatin Nasoichah 2010)
Bandar Poeloe yang berada pada
6. Uang kebon ini berbentuk lingkaran
tepiannya sedangkan pada bagian
bersayap lancip yang memiliki ukuran
dalam yang dibatasi oleh garis tipis
panjang 5 cm dan lebar 3,7 cm. Uang
menonjol bertulisan 50 pada bagian
berbahan perunggu ini merupakan
atas, Cents, pada bagian tengah, dan
koleksi Museum Negeri Sumatera Utara
1892 pada bagian bawah.
dengan nomor inventaris 3461. Pada
5. Uang ini berbentuk oval berukuran uang
salah satu sisinya memiliki lambang
ini panjang 5,3 cm, diameter pendek 3,4
negara, sedangkan pada sisi lainnya

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 9
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
bertulisan UNTERNEHMUNG pada pekerja, negara kolonial menyediakan
bagian atas luar, dan TANJOENG ALAM seperangkat peraturan yang turut
pada bagian di bawahnya. Kedua tulisan menentukan bekerjanya sistem ini.
tersebut digambarkan melingkari mata Lahan yang melimpah dan murah
uang yang pada bagian tepinya telah dijamin oleh pemerintah Hindia
didekorasi dengan deretan bentuk Belanda melalui berbagai cara, antara lain
lingkaran-lingkaran kecil. Adapun pada (I) pengambilalihan langsung dari tanah
bagian lingkaran kedua yang dibatasi koloni, (ii) melalui asumsi kondisi
dengan garis tipis menonjol bertulisan ketidakjelasan status kepemilikan tanah
GUT FUR pada bagian atas, 1 DOLLAR, tanpa perlu memerhatikan kepetingan
pada deret kedua, REIS pada deret ekonominya, (iii) dukungan negara untuk
ketiga, dan 1892 pada deret terakhir. mencabut status tanah adat yang dianggap
Dalam rangka membedah praktik ilegal sewaktu-waktu (status ilegal dalam
kolonialisme pada perkebunan, hal hal ini sebagian besar dilakukan melalui
pertama yang harus diketahui adalah penerapan hukum kontrak dan properti
sistem ekonomi perkebunan itu sendiri. Eropa pada tanah adat) melalui
Sistem ekonomi perkebunan walaupun penggunaan kekuatan fisik untuk
telah jelas berbentuk kapitalis tetapi menghancurkan perlawanan lokal ketika
memiliki perbedaan dengan sistem diperlukan, (iv) kadang-kadang melalui
ekonomi kapitalis standar pada umumnya. peraturan khusus tentang penyediaan dan
Adapun perbedaan mendasar pada sistem penyewaan lahan yang menguntungkan
ekonomi kapitalis perkebunan adalah (i) bagi pihak perkebunan. Adapun hal penting
adanya kepemilikan asing (ii) didirikan pada selanjutnya berkaitan dengan
wilayah yang ditaklukkan (Gordon 1986, ketenagakerjaan. Tenaga kerja dalam hal
1420). Beberapa prinsip dasar berkaitan ini harus didatangkan dari luar wilayah
dengan jalannya sistem ekonomi karena penduduk pribumi dirasa tidak
perkebunan yang harus dimiliki oleh para dapat mencukupi kebutuhan perkebunan
tuan kebun sebagai modal produksi atau (Gordon 1986, 1420). Perekrutan pekerja
kekuatan produksi, yaitu ketersediaan melalui sistem kontrak di wilayah Pantai
lahan/ tanah dan tenaga kerja. Dalam Timur Sumatera telah dimulai sejak tahun
sistem ekonomi perkebunan kolonial, 1880 pada perkebunan tembakau. Sejak
kedua hal tersebut lebih mudah untuk saat itu peraturan tentang kuli telah
didapatkan. Hal tersebut karena diperluas ke ranah lain.
perkebunan tidak beroperasi pada jalur Kewajiban dan hak kedua belah
kapitalis normal yang sangat tergantung pihak, dalam hal ini institusi perkebunan
dari pembayaran sewa tanah dan upah dan kulinya harus memenuhi tuntutan yang

10 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 1—17


ditetapkan oleh pemerintah dan harus hukuman penjara dipaksakan untuk kuli
dituangkan dalam kontrak yang terdaftar (Vandenbosch 1931, 320). Pemaksaan
pada pemerintah. Majikan harus membayar sanksi penjara bagi kuli berdasarkan
upah secara teratur, menyediakan asumsi tidak lain merupakan sebuah
perumahan yang layak, membuat makanan pelanggaran bagi hukum itu sendiri.
yang tepat tersedia, menyediakan rumah Keputusan sepihak dari institusi
sakit dan perawatan medis gratis, perkebunan yang ternyata juga didukung
menyediakan air minum yang baik, dan oleh pemerintah tersebut merupakan
memberikan transportasi gratis setelah bentuk perlindungan pemerintah terhadap
berakhirnya masa kontrak untuk institusi perkebunan. Bentuk penekanan
mengembalikan ke daerah asalnya pada kuli telah terjadi sejak awal bekerja di
(Vandenbosch 1931, 320). Pada sisi lain, perkebunan. Menurut Vandenbosch (1931,
pihak kapitalis dalam hal ini adalah para 320), seorang kuli impor yang dirasa tidak
tuan kebun melakukan negosiasi yang menguntungkan selama beberapa bulan
berkaitan dengan adanya pengakuan, pertamanya, dipaksakan agar terbiasa
dukungan, dan perlindungan dari pihak bekerja dengan sistem perkebunan melalui
pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk berbagai cara. Adapun caranya antara lain
regulasi yang mengukuhkan kedudukan dengan adanya kewajiban mengembalikan
mereka dalam sistem ekonomi uang impor dan transportasinya kepada
perkebunan. Regulasi tersebut tidak hanya institusi perkebunan. Ancaman yang lain
mengatur masalah lahan tetapi juga adalah bawa masa kerjanya akan ditambah
tentang hak dan kewajiban kuli. sampai kuli tersebut dirasa dapat
Keberadaan regulasi tersebut dapat dilihat memberikan keuntungan pada
dalam Undang-Undang Agraria yang perkebunan. Cara-cara untuk
mengatur tentang lahan dan Undang- mempertahankan kuli ditempuh oleh
Undang Pidana yang mengatur tentang hak institusi perkebunan karena tidak mudah
dan kewajiban tenaga kerja. untuk mendapatkan penggantinya dalam
Dalam Undang-Undang Pidana waktu singkat.
yang merupakan bagian dari Koeli Secara kasatmata masyarakat
Oordonantie 1880 disebutkan bahwa kedua pada era perkebunan terbagi menjadi
belah pihak, baik institusi perkebunan beberapa kelas, yaitu kelas penguasa,
maupun kuli dalam kasus pelanggaran dalam hal ini adalah pemerintah Hindia
kewajiban akan dikenakan sanksi, baik Belanda, kelas kapitalis, adalah para
penjara atau denda. Dalam hal ini terdapat penguasa modal yaitu orang-orang Eropa,
asumsi bahwa kuli tidak memiliki apapun dan kelas proletariat yaitu para pekerja
untuk membayar denda, sehingga

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 11
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
tampak pada beberapa produk hukum yang
semakin menindas kaum pekerja
perkebunan. Selain itu terdapat sebuah
fiksi legal bahwa penyerahan wewenang
dari penguasa lokal kepada tuan kebun
tidak hanya berlaku untuk tanah melainkan
juga untuk hak menguasai tenaga kerja
Gambar 9. Sistem tata sosial-ekonomi (Bremen 1997, 31). Hal tersebut semakin
perkebunan Sumatera Timur (Digambar
menguatkan eksistensi para kapitalis Eropa
oleh:Andri Restiyadi)
di Deli.
perkebunan. Di samping itu terdapat kelas-
Salah satu pola relasi yang
kelas lain yaitu kelas penguasa lokal, yaitu
menjadi bukti bahwa ekonomi menjadi
para sultan yang sebenarnya menjadi pihak
sentral dalam gejala sosial adalah dengan
penguasa tanah, sekaligus juga menjadi
melihat adanya ekonomi dalam kaitannya
pemilik modal lokal sebagai saingan dari
dengan uang. Dalam bukunya yang
orang-orang Eropa yang merasa terancam.
termasyhur Philosophie des Geldes (1900),
Terdapatnya kelas-kelas sosial tersebut
Simmel mencoba memerlihatkan
tidak lain karena beberapa pihak ingin
bagaimana ekonomi uang dan
mempertahankan status quo
institusionalisasi hak milik pribadi telah
mempertahankan kedudukannya yang
memberi kontribusi bagi penciptaan jarak
lebih tinggi dibanding dengan yang lainnya.
sosial dan pelonggaran sebuah kolektivitas
Adapun model produksi dari
yang tak lain berarti membesarnya ruang
sebuah sistem kapitalis adalah kompetitif.
kebebasan individu. Uang memungkinkan
Dalam artian, seperti data yang terdapat di
distansi sekaligus individualisasi sehingga
awal, bahwa kapitalis dalam hal ini adalah
pola hubungan etnosentris dan ekslusif
orang-orang Eropa yang memiliki
diubah menjadi pola-pola hubungan yang
perkebunan-perkebunan di Deli, sementara
lebih longgar (Hardiman 2010, 8). Menurut
itu sebagai kompetitor mereka selain kelas-
Simmel, pertukaran ekonomi dapat
kelas mereka sendiri, juga para sultan Deli
dipahami sebagai bentuk interaksi sosial.
yang ingin juga memiliki perkebunan
Ketika transaksi moneter menggantikan
dengan sistem kerja Eropa. Pada sisi lain,
barter, terjadi perubahan penting dalam
pemerintah Hindia Belanda diam-diam
bentuk interaksi antara para pelaku sosial.
mendukung dan memperkuat keberadaan
Simmel melihat uang sebagai suatu yang
perkebunan swasta tersebut agar terus
bersifat impersonal, suatu yang tidak
berproduksi dengan cara menidas kapum
terdapat pada ekonomi barter. Hubungan
pekerjanya. Dukungan dari pihak
antar individu diwarnai warna dan ciri
pemerintah Hindia Belanda antara lain

12 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 1—17


kalkulatif, menggantikan kecenderungan Menurut Georg Lucas seorang
kualitas sebelumnya. Dalam pemikir Marxist berpandangan bahwa,
pengamatannya, manusia modern telah kapitalisme menguasai seluruh dimensi
menjadikan uang sebagai tujuan itu sendiri, kehidupan masyarakat sehingga interaksi
padahal uang sebetulnya hanya dalam kehidupan masyarakat ini selalu
merupakan sarana. Bahkan, uang adalah ditandai oleh pemiskinan makna hidup
contoh paling murni dimana sarana diubah yang autentik. Kebebasan untuk
menjadi tujuan. Bersamaan dengan itu, mengaktualkan dimensi kemanusiaan
muncullah dampak-dampak negatif dalam masyarakat sebagai ciri autentik
terhadap individu, seperti sinisme dan sikap kehidupan masyarakat yang mampu
indiferen (blase attitude). Dampak ekonomi memaknai kebebasan dirinya kemudian
uang lain yang digarisbawahi Simmel diganti oleh adanya aktivitas pertukaran
adalah reduksi nilai-nilai manusia menjadi nilai uang yang secara objektif
uang. Segalanya bernilai kalau menimbulkan keterasingan hidup. Hal
menghasilkan banyak uang. Nilai manusia tersebut disebut sebagai komodifikasi. Hal
direduksi ke ekspresi moneter, kata ini terkait erat dengan proses reifikasi, yaitu
Simmel. Sambil menunjukkan dampak proses merosotnya dimensi manusia yang
negatif dari fenomena uang, Simmel utuh menjadi benda belaka: manusia
menegaskan semuanya tergantung pada kehilangan jati-dirinya sebagai subjek
manusia itu sendiri. Tapi diingatkannya pelaku (agent) bagi dirinya sendiri karena
bahwa uang hanyalah sarana, bukannya lenyapnya kreativitas. Proses ini berujung
tujuan pada dirinya sendiri. kepada fetisisme komoditas, yaitu

Gambar 10. Penerapan tesis Arkeologi Marxis pada sistem sosial-ekonomi perkebunan
Sumatera Timur (Digambar oleh: Andri Restiyadi)

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 13
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
pemberhalaan hidup manusia pada mengeluarkan alat tukar perusahaan
barang-barang industri. Dengan fenomena karena ada kekurangan mata uang
ini, jati diri masyarakat menjadi pecahan di Sumatera Timur. Satu dolar
terfragmentasi ke dalam sistem sosial yang terdiri atas 100 kupang atau 1000 duit, dan
dibingkai oleh kepentingan ekonomis semuanya disebutnya duit.
belaka, dan dalam sistem ini yang Selanjutnya menurut Broesrma
diuntungkan adalah pihak yang memiliki yang dikutip Bremen (1997, 117) dikatakan
jaringan dengan para pemilik modal bahwa:
(kapitalis) yang bekerjasama dengan “pernah terjadi untuk mencegah
kekuasaan negara (Saptawasana 2005, ledakan ketidaksabaran,
seorang majikan menggunting
28). bagi Lukacs, kaum proletar adalah kaleng biskuit menjadi keping-
pihak yang paling dirugikan nasibnya dalam keping bulat pipih, menuliskan
angka-angka di atasnya, dan
kondisi objektif masyarakat yang demikian
membayarkannya kepada
ini. pekerjanya. Ia mengatakan,
Adapun uang kebon itu sendiri para kuli bisa menukarkan
keping tersebut di Malaka. Kuli-
memiliki makna yang cukup kompleks kuli pun menyeberang ke
dalam sebuah perkebunan. Uang kebon Malaka, tetapi beberapa hari
kemudian datang kembali
menjadi sebuah simbol dari relasi antara
dengan kecewa. Tetapi
kelas kapitalis dan proletariat. Pada muslihat majikan sudah
kenyataannya, uang tersebut hanya berhasil, yakni mendapatkan
dolar dan mata uang logam
berlaku pada sebuah lingkungan yang diperlukannya.”
perkebunan tertentu saja. Hal tersebut
Pada dasarnya, uang kebon yang
tentunya untuk mengikat para pekerja
hanya dapat dibelanjakan di toko-toko
perkebunan di lingkungan kerja mereka
perkebunan yang para penjualnya tak lain
dengan segala konsekuensinya.
adalah orang-orang dari tuan kebun itu
Menurut Bremen (1997, 117),
sendiri, merupakan sebuah rantai
salah satu bentuk penipuan yang
kolonialisme dalam bentuk yang lain.
dikerjakan oleh para tuan kebun ialah kuli
Praktik kolonialisme tersebut sebenarnya
tidak diberikan kebebasan untuk
memaksa para pekerja untuk terbelit
membelanjakanupahnya yang sudah
hutang yang lebih banyak pada toko-toko
sangat rendah. Banyak perkebunan
perkebunan dan hutang tersebut yang
menggaji kulinya sebagian dengan uang
nantinya akan membuat para pekerja
buatan sendiri berupa kertas bon atau
menjadi semakin terikat oleh sistem
keping logam yang hanya dapat
perkebunan itu sendiri. Ketika terjadi protes
dibelanjakan di toko (kedai) perkebunan.
sosial berkaitan dengan ketidakadilan
Menurut para tuan kebun, mereka telah
perlakuan tuan kebun terhadap para

14 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 1—17


pekerja, hutang tersebutlah nantinya yang kekerasan, dan yang kedua, adalah
akan menyelamatkan para tuan kebun penguasaan lewat jalan hegemoni, yaitu
tersebut sebagai sebuah alibi. kepatuhan dan kesadaran para elemen
Dalam hal ini apa yang dikatakan masyarakat. Menurutnya rezim fasis
oleh Georg Lucaks dengan konsep menyebarkan kekuasaan pengaruh yang
komodifikasi dan reifikasi, membuat hegemonik ini karena didukung oleh
manusia menjadi seperti benda sungguh organisasi-organisasi infrastruktur terkait
terjadi dalam sistem perkebunan. (Saptawasana 2005, 30). Dalam sistem
Walaupun para pekerja tersebut merasa produksi standar, uang merupakan suatu
kecewa denga berbagai perlakuan tuan- bentuk pengganti pekerjaan. Dalam
tuan kebun, tetapi pada kenyataannya, konteks perkebunan, seperti juga yang
mereka tetap kembali lagi ke perkebunan diharapkan para pekerja pada umumnya,
tersebut, walaupun terdapat kesempatan dengan bekerja maka mereka akan
untuk melarikan diri ketika menukarkan mendapatkan upah sebagai pengganti
uang-uang kaleng tersebut ke Malaka. pekerjaan yang mereka lakukan. Hal inilah
Dalam konteks ini para pekerja dapat dilihat yang kemudian menjadi sebuah
sebagai sebuah kekuatan produksi, selain ketidaksadaran pada kaum pekerja, yang
modal tentunya, yang berusaha untuk sengaja ditanamkan oleh kaum kapitalis.
dipertahankan oleh para tuan kebun Dalam bekerja mereka tetap mendapatkan
melalui praktik-praktik kolonialisme. upah berupa uang, tetapi dalam bentuk
Mereka berusaha untuk menggantungkan yang lain. Secara umum mereka tetap
kehidupan dan kebebasan para pekerja mendapatkan upah yang mereka harapkan,
pada sistem perkebunan. walaupun sebenarnya upah tersebut malah
Antonio Gramsci menyoroti mengikat mereka semakin kuat ke dalam
persoalan baru yang tidak terpikirkan oleh sistem kapitalisme perkebunan itu sendiri.
pendukung pemikiran Marxisme Dalam masyarakat kapitalis, secara kasar
sebelumnya. Dalam buku pentingnya, terdapat dua kelas manusia: mereka yang
Prisson Notebook, Gramsci mematahkan memiliki sarana-sarana produksi dan
tesis utama Marxisme bahwa dominasi mereka yang tidak. Pemilik sarana produksi
kekuasaan tidak selamanya berakar pada disebut Marx sebagai kapitalis, tidak
kepentingan ekonomis belaka, melainkan bekerja untuk orang lain melainkan bekerja
juga karena akar-akar kebudayaan dan untuk dirinya sendiri dan mempekerjakan
politis. Dalam sistem kekuasaan yang orang lain dengan imbalan upah. Mereka
fatisis, suatu rezim akan memakai dua jalan yang bekerja untuk kau kapitalis adalah
penguasaan. Pertama, penguasaan kaum proletariat, karena yang mereka miliki
kesadaran melalui jalan pemaksaan dan adalah kapasitas untuk bekerja (Kebung

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 15
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
2008, 135-136). Menurut Marx, kapitalisme hanya pada perkebunan tertentu saja.
adalah suatu model produksi yang menurut Pada sisi yang lain, uang merupakan
kodratnya menghasilkan orang-orang yang simbol dari relasi produksi antara pekerja
teralienasi, yaitu orang-orang yang terpisah dan majikan. Dengan kata lain hal ini
dari kemanusiaan mereka, manusia yang menjadi sebuah kesadaran bagi kaum
tidak bisa bertindak sebagai manusia. pekerja bahwa mereka mendapatkan upah,
Kaum kapitalis harus memperlakukan tetapi di luar jangkauan mereka, mereka
kaum proletariat sebagai potongan- tidak sadar bahwa uang tersebut ternyata
potongan mesin. Bila suatu mesin mengikat mereka lebih kuat ke dalam
dinyatakan tidak berfungsi mereka dibuang, sistem kolonialisme yang sengaja dibangun
karena hal itulah yang ditekankan oleh oleh para kapitalis.
sistem produksi (Kebung 2008, 138--9).
Daftar Pustaka
Selain itu, teori Gramsci tentang
Bachri, Saiful. Sejarah Perekonomian.
hegemoni juga terjadi di sini. Di dalam Surakarta: Lembaga
Pengembangan Pendidikan (LPP)
sistem perkebunan, setidaknya terdapat
UNS dan UPT Penerbitan dan
dua cara penguasaan. Pertama melalui Pencetakan UNS (UNS Press).
jalan kekerasan dan pemaksaan, yang Bremen, Jan, 1997. Menjinakkan Sang Kuli,
Politik Kolonial Pada Awal Abad ke-
tercermin dengan perlakuan para tuan 20. Diterjemahkan oleh: Koesalah
kebun terhadap para pekerja perkebunan, Soebagyo Toer. Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti dan
dan yang kedua melalui hegemoni.
Perwakilan Koninkljk Instituut voor
Hegemoni dijalankan oleh para tuan kebun Taal-,Land-en Volkenkunde.
untuk memengaruhi selain para pekerjanya Gordon, Alec. 1986. “Colonial Mode of
Production and Indonesian
sendiri, juga pemerintah Hindia Belanda, Revolution,” dalam Economic and
penguasa-penguasa lokal untuk Political Weekly, Vol. 21, No. 32
(Aug. 9, 1986). Economic and
menyewakan tanah-tanah mereka dalam Political Weekly. Halaman 1417-
jangka panjang. 1426.
Hardiman, F. Budi. 2010. “Georg Simmel
4. Kesimpulan Dan Relasionisme: Sebuah
Uang kebon, sejatinya merupakan Tinjauan Filosofis Atas Hubungan
Individu Dan Masyarakat,” dalam
sebuah simbol dari keberadaan praktik Studia Philosophica et Theologica,
kolonialisme pada sistem produksi di Vol. 10 No. 1, Maret 2010.

perkebunan Deli. Uang kebon tidak lain Hodder, Ian dan Scott Hutson. 2003.
Reading The Past: Current
menjadi sebuah sarana pengikat untuk Approach to Interpretation In
mempertahankan status quo relasi antara Archaeology. Edisi ketiga.
Cambridge: Cambridge University
sistem produksi perkebunan dan para Press.
pekerjanya. Sementara itu makna uang Kebung, Konrad. 2008. Esai Tentang
kebon bersifat mengikat, karena berlaku Manusia: Rasionalisasi Dan

16 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 1—17


Penemuan Ide-Ide. Yogyakarta: Sairin, Sjafri, Pujo Semedi, dan Bambang
Prestasi Pustakaraya. Hudayana. 2002. Pengantar
Antropologi Ekonomi. Yogyakarta:
Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen
Pustaka Pelajar.
Terlahir Kembali: Arah Baru
Modernitas Dalam Kajian Modal Thomas, Julian (Ed.). 2000. “Part III: Social
Konsumsi Dan Kebudayaan. Relations, Power, And Ideology:
Yogyakarta: Kreasi Wacana. Introduction,” dalam Interpretive
Archaeology A Reader. London dan
Maurer, Bill. 2006. “The Anthropology of
NewYork: Leicester University
Money,” dalam Annual Review of
Press.
Anthropology, Vol. 35 (2006).
Annual Reviews. Halaman 15-36. Saptawasana, Bima dan Haryanto
Cahyadi. 2005. “Kebudayaan
Nasoischah, Churmatin. 2010. “Uang
Sebagai Kritik Ideologi Diteropong
Keboen: Mata Uang Lokal
Dari Perspektif Para Eksponen
Perkebunan Deli,” dalam Berkala
Neo-Marxisme,” dalam Sutrisno,
Arkeologi Sangkhakala Vol. XVIII
Mudji dan Hendar Putranto (Ed.),
No. 25, Maret 2010. Medan: Balai
Teori-Teori Kebudayaan.
Arkeologi Medan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Pelzer, Karl J.. 1957. “The Agrarian Conflict
Vandenbosch, Amry. 1931. “Colonial Labor
in East Sumatra,” dalam Pacific
Problems: The Labor Contract With
Affairs, Vol. 30, No. 2 (Jun., 1957).
Penal Sanction in the Dutch East
Pacific Affairs, University of British
Indies,” dalam Pacific Affairs, Vol. 4,
Columbia. Halaman 151-159
No. 4 (Apr., 1931). Pacific Affairs,
___________. 1961. “Western Impact on University of British Columbia.
East Sumatra and North Tapanuli: Halaman 318-324.
The Roles of the Planter and the
Van Zanden, Jan Luiten dan Daan Marks.
Missionary,” dalam Journal of
2012. Ekonomi Indonesia 1800—
Southeast Asian History, Vol. 2, No.
2010. Jakarta: PT. Kompas Media
2. Cambridge University Press on
Nusantara.
behalf of Department of History,
National University of Singapore. Wertheim, Wim F. 1993. “Conditions on
Halaman 66-71. Sugar Estates in Colonial Java:
Comparisons with Deli, “dalam
___________. 1985. Toean Keboen Dan
Journal of Southeast Asian Studies,
Petani: Politik Kolonial dan
Vol. 24, No. 2 (Sep., 1993).
Perjuangan Agraria di Sumatera
Cambridge University Press on
Timur 1863—1947. Jakarta:
behalf of Department of History,
Penerbit Sinar Harapan.
National University of Singapore.
Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme Dan Halaman 268-284.
Etnisitas Batak dan melayu di
Sumatera Timur Laut. Jakarta: KPG
(Kepustakaan Gramedia Grub),
École française d' Extrême-Orient,
Forum Jakarta-Paris, dan Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional.
Reid, Anthony, 1987. Perjuangan Rakyat
Revolusi dan Hancurnya Kerajaan
di Sumatera. Diterjemahkan oleh
Sinar Harapan. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon Pada Perkebunan Sumatera Timur Abad Ke-19-20 17
(Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
(Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah)
TEMUAN GERABAH DI PURA WASAN, BLAHBATUH, GIANYAR
(Suatu Pendekatan Etnoarkeologis)

POTTERY FOUND AT PURA WASAN (WASAN TEMPLE),


BLAHBATUH, GIANYAR
(An Ethnoarchaeological Approach)

Naskah diterima: Naskah direvisi: Naskah disetujui terbit:


10-04-2017 25-04-2017 29-04-2017

I Wayan Badra
Balai Arkeologi Bali
Jalan Raya Sesetan No 80 Denpasar
iwayanbadra57@gmail.com

Abstract
Wasan is the name of a subak (Balinese traditional irrigation system) that is located eastern of Banjar
Blahtanah and around Banjar Canggi (banjar = community unit). Wasan yielded a number of
archaeological finds such as candi (temple), pond, building structure, figurine, animal statues, lingga,
yoni, and potsherds. The purpose of this research is to find out the shapes and functions of the potsherds
which found at the temple. Data were collected by means of survey and excavation, then have been
analyze for morphologically, technologically, and contextually. Results of this research include three
penyembeans, three coblongs, and a jar. Derived from their shapes, the three types of pottery have
different functions. Penyembean was functioned as a container to ignite fire before the commencing of
a yadnya ceremony at Pura Wasan. Coblong was used to place holy water or (tirtha), while the jar, due
to its larger size, besides being functioned to store tirtha, could also be used as a container for toye anyar
during religious ceremonies.

Keywords: pottery findings at Wasan Temple

Abstrak
Wasan merupakan nama sebuah subak yang terletak di sebelah timur Banjar Blahtanah dan di sekitar
Banjar Canggi. Wasan mengandung beberapa tinggalan arkeologis di antaranya candi, kolam, struktur
bangunan, arca perwujudan, arca binatang, lingga, yoni, dan sejumlah fragmen gerabah. Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk dan fungsi temuan gerabah yang terdapat di pura
tersebut. Data penelitian ini dikumpulkan melalui survei dan ekskavasi, kemudian dianalisis secara
morfologi, teknologi dan kontekstual. Hasil penelitian ini berupa tiga buah penyembean, tiga buah
coblong, dan sebuah periuk. Berdasarkan ketiga bentuk gerabah ini mempunyai fungsi yang berbeda-
beda. Penyembean dapat difungsikan sebagai wadah tempat menyalakan api, ketika upacara yadnya
di Pura Wasan dimulai. Coblong dapat difungsikan sebagai wadah tempat air suci atau tirtha, sedangkan
periuk yang bentuknya lebih besar, selain difungsikan sebagai tempat tirtha, dapat juga dipakai sebagai
wadah tempat toye anyar dalam pelaksanaan upacara agama.

Kata Kunci: gerabah, Pura Wasan, analisis morfologi

1. Pendahuluan Sebagai temuan permukaan, gerabah pada


Gerabah adalah bentuk wadah umumnya ditemukan berupa fragmen yang
yang terbuat dari tanah liat bakar, tersebar maupun terkonsentrasi pada
ditemukan di situs-situs arkeologi, baik radius tertentu. Temuan permukaan ini
sebagai temuan permukaan maupun sering dipakai sebagai indikator untuk
temuan hasil ekskavasi dari dalam tanah. menentukan kotak ekskavasi yang

18 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 18--32


menunjukkan bahwa pada areal ini pernah hiasannya. Tatap tersebut menghasilkan
terjadi aktivitas manusia di masa lalu gerabah-gerabah berpola hias tali dan pola
(Banjaray & Trem 1972, 188). hias lainnya (Heekeren & Knuth 1967, 173-
Gerabah telah dikenal sejak masa -83). Di Indonesia, gerabah dari situs-situs
prasejarah terutama masa bercocok tanam seperti, Kendeng Lembu (Banyuwangi),
dan tersebar hampir di seluruh dunia. Kelapa Dua (Bogor), Serpong (Tangerang),
Gerabah yang ada dalam tanah (hasil Kalumpang dan Managasipakha (Sulawesi
ekskavasi) sering berasosiasi dengan Tengah) dan dari sekitar Danau Bandung
benda-benda lain yang tertinggal menunjukkan teknik pembuatan gerabah
bersamanya. Benda-benda tersebut dapat dari masa bercocok tanam yang masih
digunakan sebagai data kontekstual yang sangat sederhana (Soejono 1975, 174).
saling mendukung satu sama lain dan Penggunaan tatap batu (tatap pelandas)
sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi dan roda pemutar baru dikenal pada masa
jenis situs, seperti situs pemukiman, situs perundagian. Pada masyarakat petani di
kubur dan situs pemujaan. Sebagai situs beberapa tempat di Indonesia
pemukiman, gerabah biasanya dalam menunjukkan, bahwa awal dari
bentuk fragmen sebagai alat keperluan penggunaan teknik ini menggabungkan
sehari-hari berasosiasi dengan benda teknik tatap pelandas dengan roda
lainnya, misalnya manik-manik dan pemutar.
perlengkapan rumah tangga lainnya. Pada Seiring dengan perkembangan
situs kubur gerabah dapat berfungsi jaman, pada masa perundagian teknologi
sebagai bekal kubur, sedangkan pada situs pembuatan gerabah mengalami kemajuan
pemujaan, gerabah berasosiasi dengan yang sangat pesat. Bukti-bukti arkeologis
sarana pemujaan seperti lingga, arca menunjukkan bahwa gerabah-gerabah
perwujudan, candi, kolam dan lain-lainnya. pada masa ini memiliki beragam bentuk
Hasil penelitian arkeologi menunjukkan dengan teknik penyelesaian yang lebih
perkembangan teknologi pembuatan halus terutama pada gerabah polos. Di
gerabah di masing-masing daerah sangat samping itu juga gerabah hias banyak
berbeda. Temuan gerabah di Asia daratan ditemukan pada situs-situs kubur dalam
yang berdekatan dengan Indonesia, berbagai wadah kubur (tempayan kubur)
misalnya Malaysia, Tailand, Cina, Taiwan maupun sebagai bekal kubur dalam
dan Jepang pada masa tersebut telah berbagai bentuk (Soejono 1975, 243).
mengenal metode atau teknik roda putar Gerabah-gerabah sebagai wadah kubur
serta penggunaan tatap yang dibalut ditemukan tersebar di seluruh dunia.
dengan seutas tali atau diukir dengan Adapun di Indonesia tersebar di daerah
bermacam-macam pola sebagai Anyer, Plawangan (Jawa), Melolo,

Temuan Gerabah Di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis) 19


(I Wayan Badra)
Lambanapu (Sumba Timur) dan di Bali Wasan, 7. kajian teknoarkeologi terhadap
yaitu situs Gilimanuk. Selain Gilimanuk kompleks Candi Wasan, dan 8. Candi
gerabah juga ditemukan di situs Manikliyu Wasan dalam pengembangan pariwisata
Kintamani Bangli. Gerabah sebagai bekal budaya. Kedelapan aspek tersebut belum
kubur dari situs ini yang paling dominan pernah menyinggung maupum mengkaji
berupa periuk polos. secara khusus tentang gerabah di situs
Situs Wasan banyak memiliki Wasan.
tinggalan arkeologi, hal ini dapat dibuktikan Pada kesempatan ini penulis akan
dari hasil penelitian, baik dari dalam negeri mengkaji tentang gerabah yang merupakan
maupun dari luar negeri. Penelitian luar temuan ekskavasi tahun 2016. Melalui hasil
negeri diawali oleh orang Belanda yang ekskavasi tersebut cukup banyak
bernama Krijgsman pada tahun 1950 ditemukan fragmen gerabah, yang di
menemukan fragmen bangunan candi. antaranya dapat direkonstruksi, selain
Penelitian dalam negeri yaitu dari tim temuan beberapa gerabah dalam kondisi
arkeologi Bali dimulai tahun 1986 sampai utuh. Adapun fragmen gerabah yang dapat
tahun 2009 dan berhasil merekonstruksi direkonstruksi kembali berupa tiga buah
sebuah bangunan candi, dan kolam. Selain penyembean, buah periuk, dan dua buah
itu ditemukan sejumlah arca dewa, arca coblong. Berdasarkan sejumlah temuan
perwujudan, lingga, arca binatang, pripih, tersebut, terdapat hal yang menarik untuk
dan ratusan fragmen gerabah. Melalui dikaji berkaitan dengan aspek
banyaknya temuan tersebut dan dalam morfologinya. Permasalahan yang dibahas
rangka mengungkap keberadaan tinggalan adalah bagaimana bentuk, fungsi dan
arkeologi di Situs Wasan, maka atas makna gerabah tersebut pada masa
kebijakan dari kepala Balai Arkeologi lampau dengan masa kini. Secara umum
Denpasar ketika itu membuat terbitan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
khusus tahun 2003 dengan tema: Wasan religi dan tingkah laku masyarakat dalam
Dalam Lintasan Sejarah Bali Kuno. Dari kehidupan beragama. Secara khusus
tema tersebut diangkat delapan aspek penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kajian, yakni: 1. lingkungan sosial budaya bentuk, fungsi dan makna pada masa
masyarakat di sekitar Candi Wasan pada lampau kaitannya dengan masa kini.
masa lampau, 2. Wasan dan sekitarnya Secara teoritis penelitian ini diharapkan
dalam telaah epigrafis, 3. tinjauan arsitektur dapat bermanfaat untuk kepentingan
Candi Wasan, 4. arca binatang kompleks arkeologi dalam usaha merekontruksi
Candi Wasan, 5. fungsi dan peran arca sejarah kebudayaan, cara-cara hidup
dewa dan arca perujudan di komplek Candi masyarakat dan penggambaran proses
Wasan, 6. latar belakang keagamaan situs budaya. Secara praktis penelitian ini

20 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 18--32


diharapkan dapat dijadikan acuan untuk adalah pola-pola daripada tindakan-
mengenal tinggalan budaya berupa tindakan yang berbentuk modus-modus
gerabah. dan biasanya sangat simbolis seperti
Permasalahan tersebut di atas bentuk-bentuk tertentu daripada pemujaan
dibahas dengan menggunakan teori (Durkheim 1965, 29). Sejumlah pendapat
kebudayaan yang mempelajari aspek- yang berhubungan dengan religi antara lain
aspek yang berkaitan dengan wujud dikatakan bahwa religi juga dianggap
kebudayaan yang meliputi ide, gagasan, sebagai sistem simbol yang berfungsi untuk
nilai, norma, peraturan dan sebagainya. menanamkan semangat dan motivasi yang
Wujud kebudayaan sebagai suatu kuat, mendalam dan bertahan lama pada
kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia. Dengan menciptakan konsepsi-
dari manusia dalam masyarakat. Tingkah konsepsi yang bersifat umum tentang
laku berpola dari manusia dan wujud fisik eksistensi konsep-konsep itu sedemikian
berupa benda-benda hasil karya manusia rupa, sehingga suasana dan motivasi itu
(Koentjaraningrat 2004, 5-6). Pandangan keliatan sangat realitas (Geertz 1966, 4).
tersebut akan ditunjang dengan teori religi, Geertz menambahkan bahwa selama ini
karena hal ini mencakup kegiatan manusia simbol-simbol yang tersedia dalam
yang ditandai dengan dua hal pokok, yaitu kehidupan masyarakat sesungguhnya
kepercayaan dan ritus. Kepercayaan menunjukkan bagaimana para warga
ditunjukkan dalam bentuk pandangan dan masyarakat bersangkutan melihat, merasa
dapat dicapai lewat penggambaran- dan berpikir tentang dunia mereka untuk
penggambaran dan simbol-simbol. Ritus bertindak berdasarkan nilai-nilai yang

Gambar 1. Peta Lokasi Pura Puseh Wasan.


(Sumber: Google Earth)

Temuan Gerabah Di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis) 21


(I Wayan Badra)
sesuai. Di samping itu, ada pula yang berkaitan pula dengan gerabah yakni
mengatakan premis dasar dari setiap religi tempat benda tersebut ditemukan,
adalah kepercayaan akan adanya jiwa, termasuk juga data geografis dan
yaitu sesuatu yang bersifat supernatural lingkungan wilayah Desa Batuan Kaler dan
dan kekuatan supernatural (Thomas 1979, sekitarnya. Wawancara dilakukan terhadap
359). beberapa pihak yang dipandang memiliki
Religi merupakan seperangkat pengetahuan tentang gerabah, terutama
upacara yang diberikan rasionalisasi mitos penyembean (wadah menyalakan api),
dan menggerakkan kekuatan-kekuatan coblong dan periuk. Tentunya wawancara
supernatural dengan maksud untuk ini bersifat bebas aktif tanpa terikat dengan
mencapai atau menghindarkan sesuatu pertanyaan. Dalam kegiatan analisis ini
perubahan keadaan pada manusia atau dimaksudkan untuk mengetahui identifikasi,
alam (Wallace 1966, 107). Dalam kegiatan bentuk, bahan, teknologi pembuatan, fungsi
penelitian ini menggunakan metode dan makna tersebut. Dari hasil analisis
penelitian kualitatif yaitu dengan melakukan tersebut disajikan deskripsi-kualifikasi dan
pendekatan bentuk, fungsi dan makna diakhiri dengan kesimpulan. Disamping itu
terhadap gerabah pada masa lalu dengan juga dilakukan studi komperatif di tempat
masa sekarang. Lokasi yang dijadikan lain dengan harapan dapat diketahui
sasaran penelitian terletak di Pura Puseh bentuk, fungsi dan maknanya masa lalu
Wasan, Dusun Blahtanah, Desa Batuan maupun masa sekarang.
Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten
3. Hasil dan Pembahasan
Gianyar. Secara astronomis situs ini berada
3.1. Beberapa Temuan gerabah di Situs
terletak pada koordinat 115°16’4314”BT
Wasan
dan 8°33’51”LS dengan ketinggian 113
Sejumlah gerabah Situs Wasan yang masih
mdpl (gambar 1).
utuh dan dapat direkontruksi, yaitu tiga
2. Metode buah gerabah yang dikenal dengan
Metode yang digunakan dalam sebutan penyembean atau wadah tempat
penelitian ini adalah pengumpulan data, menyalakan api, tiga buah coblong, dan
pengolahan dan analisis data. satu buah periuk. Gerabah-gerabah
Pengumpulan data dilakukan melalui tersebut dapat dideskripsikan sebagai
ekskavasi untuk mendapatkan data berikut:
arkeologi yang bersifat primer serta 1. Penyembean/sumbu lampu dengan
didukung dengan studi pustaka dan dua sumbu yang terbuat dari tanah liat
wawancara. Studi pustaka yaitu suatu dengan ukuran: diameter bibir: 6,5 cm,
kegiatan pengumpulan data yang berkaitan diameter badan: 5,5 cm, tinggi seluruh:
dengan literatur atau buku-buku yang

22 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 18--32


5 cm, tebal bibir: 0,4 cm, diameter
dasar: 5 cm, tebal dasar: 0,3 cm.
2. Penyembean/sumbu lampu dengan
dua sumbu yang terbuat dari tanah liat
dengan ukuran: diameter bibir: 5,5 cm,
diameter badan: 4,5 cm, tinggi seluruh:
2,5 cm, tebal bibir: 0,4 cm, diameter
dasar: 4 cm, tebal dasar: 0,3 cm.
3. Penyembean/sumbu lampu dengan
dua sumbu yang terbuat dari tanah liat Gambar 1. Penyembean Wasan, Blahbatuh,
Gianyar.
dengan ukuran: diameter bibir: 6 cm, (Sumber: Dokumen pribadi)
diameter badan: 5,5 cm tinggi seluruh:
3.2. Pembahasan
2,6 cm, tebal bibir: 0,4 cm, diameter
Memperhatikan gerabah tersebut
dasar: 4,5 cm, tebal dasar: 0,3 cm
di atas mempunyai ukuran berkisar antara
(yang pecah bagian bibir depan).
tinggi 2,6 cm sampai 6 cm. Untuk ukuran
4. Fragmen bibir periuk yang terbuat dari
besar maupun kecil bibir gerabah tersebut
tanah liat dengan ukuran: diameter
berkisar anatara 5,5 cm sampai 11,5 cm
bibir: 11,5 cm, diameter lobang: 7 cm,
dan ketebalan bibir berkisar antara 0,3 cm
tebal bibir: 1 cm, tinggi bibir: 5,2 cm,
sampai dengan 1 cm, sedangkan ketebalan
(setelah direkontruksi diameter badan:
dasar atau alas dari 0,3 cm, 1 cm,1,3 cm, 6
16 cm, tebal dasar: 1,6 cm, tinggi
cm dan memiliki ketinggian: 2,5 cm sampai
seluruh: 17 cm.
16 cm. Dari tujuh buah gerabah-gerabah
5. Coblong/Cawan yang terbuat dari
yang dideskripsikan di atas tidak ada yang
tanah liat dengan ukuran: diameter
memiliki hiasan. Proses pengerjaan
bibir: 9 cm, diameter badan 8 cm, tebal
gerabah adalah pertama tanah dijemur,
bibir: 0,5 cm, tinggi seluruh: 3 cm.
kemudian ditumbuk lalu diaduk
6. Coblong/cawan yang terbuat dari tanah
menggunakan alat pemukul sampai halus.
liat dengan ukuran diameter bibir: 8 cm,
Kedua, tanah dibentuk menggunakan
diameter badan: 5,5 cm, tinggi seluruh:
metode atau teknik roda pemutar (potterys
3,5 cm, tebal bibir: 0,3 cm, diameter
wheel) dengan penyelesaian permukaan
dasar: 4 cm.
sedang. Teknik ini dipergunakan baik untuk
Coblong yang terbuat dari tanah liat dengan
membentuk gerabah yang besar maupaun
diameter bibir: 8,5 cm, diameter badan: 9
gerabah yang kecil. Bahan yang digunakan
cm, tebal bibir: 0,4 cm, tinggi seluruh: 6 cm,
dalam pembuatan gerabah di antaranya
diameter dasar: 7 cm, tebal dasar: 1,3 cm.
tanah liat yang berasal dari sawah. Hal ini
dapat dilihat dari sejumlah gerabah tersebut

Temuan Gerabah Di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis) 23


(I Wayan Badra)
sumbu tersebut dinyalakan api. Dilihat dari
bentuk dan model penyembean ini sengaja
dibuat oleh pengerajin gerabah masa lalu
untuk tujuan tertentu seperti, untuk
kepentingan ritual upacara keagamaan.
Gerabah penyembean yang
ditemukan di Pura Puseh Wasan
nampaknya berkaitan dengan kegiatan
Gambar 3. Penyembean Wasan, Batuam Kaler, upacara Dewa Yadnya yang telah
Sukawati, Gianyar.
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Bali) dilaksanakan pada masa lalu. Setelah
rangkaian kegiatan upacara telah selesai
memiliki tekstur cukup halus. Secara
dilaksanakan, gerabah penyembean
umum, dikatakan bahwa pembakaran
tersebut ditananam di sekitar Pura Puseh
gerabah dilakukan di tempat-tempat
Wasan. Data di peroleh di lapangan oleh
terbuka (Heekeren 1960, 58). Hal tersebut
Tim penelian Balai Arkeologi Bali
kemungkinan juga dilakukan pada situs ini.
menunjukkan bahwa gerabah-gerabah
Suhu pembakaran untuk penyelesaian
yang dipergunakan sebagai pelengkap
gerabah sedang, mencapai panas antara
upacara. Selain sebagai alat upacara
350 - 450 °C. Apabila suhu pembakaran
yadnya, penyembean tersebut dapat juga
melebihi panas tersebut, maka gerabah
difungsikan untuk kepentingan profan,
akan retak. Gerabah-gerabah yang
yakni sebagai wadah alat penerangan pada
dihasilkan tersebut di atas, berupa gerabah
malam hari. Menurut Mangku Wasan,
polos dengan bentuk yang kadang tidak
secara umum dalam kehidupan masyarakat
simetris dan ketebalan gerabah tidak sama.
di Bali ada lima macam Yadnya yang
Melalui pengamatan bentuk
menggunakan alat atau wadah
gerabah tersebut baik penyembean, periuk
dan coblong tidak tampak memiliki
pegangan khusus, pegangan langsung
pada bibir, badan atau alas. Tiga buah
penyembean tersebut, memiliki bentuk bibir
pada diameter pertengahan bagian
belakang nampak bulat, sedangkan bagian
depan, tampak melengkung kedalam
membentuk dua sudut yakni semacam
sumbu (lihat gambar 3). Sumbu ini nantinya Gambar 4. Fragmen Periuk Wasan, Batuan
Kaler, Sukawati, Gianyar.
diisi ikatan benang dan diisi minyak kelapa, (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Bali)
ketika upacara yadnya dimulai, kemudian

24 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 18--32


penyembean. Kelima Yadnya tersebut sebagai tempat tirtha, dapat juga
yakni: difungsikan sebagai tempat toya ning atau
1. Dewa Yadnya, penyembean digunakan tote anyar.
ketika upacara pedudusan alit atau Periuk untuk alat upacara seperti
agung, yang ditemukan di Bali juga ditemukan di
2. Resi Yadnya, penyembean digunakan Jawa. Sampai saat ini masyarakat Jawa di
ketika upacara pediksan atau beberapa daerah pedesaan masih terdapat
pentahbisan, biasa mempergunakan barang-barang
3. Manusa Yadnya, penyembean gerabah terutama periuk sebagai salah
digunakan dalam upacara menanam ari- satu perlengkapan untuk suatu upacara
ari, antara lain:
4. Pitra Yadnya, penyembean digunakan a. Pada waktu kelahiran bayi, orang
pada saat upacara ngaben dan, selalu mempergunakan periuk atau
5. ButhaYadnya, penyembean digunakan lajah sebagai tempat ari-ari yang biasa
pada saat upacara Candra Gni. dilengkapi dengan benda-benda
Terkait fungsinya sebagai alat lainnya: misalnya garam, bunga, jarum
penerangan, wadah peyembean ini diisi dan benang.
dengan minyak kelapa dan pada sumbunya b. Pada waktu upacara perkawinan,
diisi dengan gulungan kapas yang telah didalam sajian-sajian tersebut terdapat
dikat dan dinyalakan api guna penerangan periuk kecil yang dipergunakan
pada malam hari. Selain penyembean sebagai tempat telur, beras kuning,
wadah coblong dan periuk mempunyai kacang ijo, dan lain-lainnya (Sumijati
fungsi khusus. Dalam kegiatan upacara 1971, 77).
dewa yadnya, coblong mempunyai fungsi Ditinjau dari fungsi gerabah atau
dalam kaitan dengan tempat tirtha secara alat-alat upacara di Bali dengan di Jawa
khusus, sedangkan wadah periuk, selain terutama periuk memiliki fungsinya yang
berbeda. Periuk di Bali dalam kaitan
upacara difungsikan sebagai tempat tirtha,
sedangkan di Jawa difungsikan sebagai
wadah sajian seperti telur, beras kuning
dan lain-lainnya.
Ida Pedanda Kemenuh,
Blahbatuh, Gianyar, menyebutkan bahwa,
di Bali ada lima upacara yadnya yang
Gambar 5. Periuk Wasan, Batuan Kaler, dikenal dengan Panca Yadnya yang
Sukawati, Gianyar.
(Sumber: Dokumen pribadi) berkaitan dengan alat upacara berupa

Temuan Gerabah Di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis) 25


(I Wayan Badra)
wadah penyembean yang telah diisi minyak
kelapa dan pada sumbunya dinyalakan api,
hal ini difungsikan sebagai simbol
penerangan, pengantar dan kesucian, yaitu
saksi upacara yang ditujukan kepada Dewa
Agni. Saksi upacara ini dapat diketahui dari
cerita epos Ramayana, ketika Sita, istri
Rama Raja di Ayodya dilarikan oleh Raja
Rahwana ke Alengkapura, namun berkat
Gambar 6. Coblong Wasan, Batuan Kaler,
Sukawati, Gianyar. bantuan raja kera Sugriwa, Hanoman dan
(Sumber: Dokumen pribadi) sekalian kera, berasil membunuh raja
penyembean. Kelima Panca Yadnya Rahwana dan Sita dapat dibebaskan
tersebut yakni: Dewa yadnya, Butha kembali. Kembalinya Sita tidak langsung
Yadnya, Manusa Yadnya, Resi Yadnya dan diterima oleh Rama, karena Rama kawatir,
Pitra Yadnya. Dalam pelaksanaan upacara bahwa Sita telah dinodai selama berada di
manusa yadnya wadah penyembean dapat Alengkapura.
difungsikan ketika ada upacara menanam Sita disuruh untuk membakar
ari-ari bayi baru lahir, kemudian di atas dirinya demi membuktikan kesuciannya,
gundukan tersebut ditaruh penyembean apabila ia tidak terbakar, maka Rama akan
yang telah berisi minyak kelapa dan pada menerimanya kembali sebagai istrinya. Sita
sumbunya diisi kapas, selanjutnya menerima permintaan Rama, berkat doa
dinyalakan api sampai bayi berumur tiga dan bantuan Dewa Api yang
bulan.Wadah penyembean biasanya melindunginya, Sitapun berhasil keluar dari
dipergunakan juga dalam upacara Pitra api tanpa terbakar. Dalam hal ini, Api dapat
yadnya, ketika upacara mepegat dan dimaknai sebagai kemurnian, kesucian dan
upacara memukur. Dalam upacara Resi keteguhan iman dan swadharmaning
yadnya wadah penyembean dipergunakan sebagai seorang istri raja yang arif
ketika upacara pediksan atau upacara bijaksana dan menjadi panutan seorang
pentahbisan. Pemakaian wadah pemimpin. Sesuai dengan kegunaan
penyembean digunakan dalam kaitan maupun fungsi, selain penyembean yang
upacara Butha yadnya, terutama upacara disebutkan di atas, temuan gerabah-
pedudusan alit maupun agung. Demikian gerabah berbentuk periuk rupanya juga
pula dalam upacara ritual Dewa yadnya, mempunyai fungsi berkaitan dengan
berupa tebasan Candra Geni kegiatan upacara di Pura Wasan.
menggunakan wadah penyembean. Lima Periuk ini hanya sebatas bibir dan
upacara yadnya tersebut menggunakan leher, namun setelah direkontruksi

26 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 18--32


bentuknya lebih besar dan lehernya Kabupaten Gianyar. Lokasi daerah
panjang. Nampaknya periuk yang lebih Prangsada berjarak kurang lebih 3,5 km ke
besar ini dapat difungsikan untuk tempat arah timur dari situs wasan. Informasi Ni
tirtha, terutama tirtha pengelukatan, Made Rinten menyebutkan, bahwa
pebersihan, namun dapat juga sebagai ditempat kelahirannya di Banjar Prangsada
tempat toya anyar. Demikian juga halnya ini adalah merupakan daerah pengrajin
coblong yang merupakan bentuk wadah gerabah yang cukup tua yakni, enam
agak kecil difungsikan sebagai wadah yang keturunan (lima ratus tahun yang lalu).
special untuk tirtha. Dengan demikian Gerabah-gerabah yang dihasilkan adalah
gerabah/penyembean, periuk dan coblong alat-alat upacara seperti kendi, periuk,
mempunyai fungsi yang sangat penting, coblong, jeding, penyembean dan lain-
karena menjadi perlengkapan dalam lainnya. Sampai saat ini gerabah/ alat
upacara ritual di Pura Wasan. Dari upacara seperti coblong, periuk dan
informasi dari Pemangku Pura Wasan, penyembean masih diproduksi dan ada
bahwa pada masa lalu gerabah berbentuk kadang-kadang pesanan terkait dengan
penyembean nampaknya dapat kegiatan upacara yadnya. Dilihat dari
difungsikan sebagai alat penerangan bentuk dan teknik pengerjaannya gerabah-
malam hari, ketika di daerah /wilayahnya gerabah ini masing-masing memiliki
belum ada listrik. persamaan dan perbedaan. Persamaannya
dapat dilihat pada wadah penyembean,
yakni bibir belakang berbentuk setengah
bulatan dan sebagian bagian depan
melengkung ke dalam dan memiliki dua
sumbu. Sedangkan perbedaan terlihat ada
kesan goresan bergelang pada leher
maupun pada lubang coblong. Bahan yang

Gambar 7. Coblong Wasan, Batuan Kaler,


Sukawati, Gianyar.
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Bali)

Untuk mendapatkan gambaran


yang lebih luas tentang temuan gerabah
Wasan, maka dilakukan studi komperatif
dengan daerah lainnya yang dekat dengan
situs Wasan. Daerah yang dijadikan sampel
Gambar 8. Penyembean Prangsada,
perbandingan adalah Banjar Prangsada,
Blahbatuh, Gianyar.
Desa Pring, Kecamatan Blahbatuh, (Sumber: Dokumen pribadi)

Temuan Gerabah Di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis) 27


(I Wayan Badra)
digunakan adalah tanah liat pekarangan, sehingga suhu pembakarannya hanya
namun tidak dicampur pasir, sehingga sekitar 100 °C.
terkesan agak halus. Dilihat dari hasil Selain dilakukan studi komparatif
pengerjaan wadah penyembean dengan gerabah daerah Prangsada,
Prangsada dibuat agak tambun. Dari dilakukan perbandingan dengan daerah
kualitas gerabah prangsada dibuat agak lainnya, seperti di daerah Pejaten. Desa ini
tebal, demikian pula lekukan bagian bibir sangat terkenal dengan seni kerajinan
terutama lekukan pada sumbu kurang pembuatan gerabah dan kerajinan ini
menyempit dan nampak sedikit melebar, menjadi salah satu mata pencaharian
demikian pula badan maupun pada dasar kebutuhan hidup sehari-hari penduduk
cukup halus. Dengan demikian terlihat setempat. Menurut keterangan Ni Wayan
kurang rapi dan memiliki ukuran lebih tebal Santi, Banjar Dalem Baleran, Desa Pejaten,
dan berat, dibandingkan penyembean Kediri Tabanan, bahwa pembuatan
Wasan bentuknya lebih ramping. Demikian gerabah merupakan warisan dari buyutnya
pula coblong dan periuk memiliki tempo dulu dan dilanjutkan sampai
perbedaan. Secara global, coblong sekarang. Gerabah yang dihasilkan adalah
Prangsada memiliki ukuran lebih tinggi,
lebih besar, bibirnya lebih lebar dan
mengecil pada bagian dasar, sedangkan
persamaannya terlihat dari serat dan
goresan mengikuti bulatan bentuk coblong
tersebut. Dilihat dari bahannya, gerabah ini
hanya menggunakan bahan tanah liat, air
dan teknik pengerjaan menggunakan roda
putar serta sistem pembakaran Gambar 10. Penyembean di Desa Pejaten,
menggunakan bahan daun alang-alang, Kediri, Tabanan. (Sumber: Dokumen pribadi)

Gambar 9. Periuk Prangsada, Blahbatuh, Gianyar. Gambar 11. Periuk Pejaten, Kediri, Tabanan.
(Sumber: Dokumen pribadi) (Sumber: Dokumen pribadi)

28 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 18--32


alat-alat rumah tangga dan alat upacara. teori religi, mengingat hal ini mencakup
Gerabah alat rumah tangga seperti kegiatan manusia. Dalam kaitannya
tempayan, kendi, periuk dan lain-lainnya. dengan kehidupan kepercayaan
Khusus alat-alat upacara seperti: keagamaan, masyarakat Wasan pada
penyembean, coblong dan periuk, masa lalu maupun pada masa kini, memiliki
dihasilkan atau dibuat kebanyakan tanggung jawab untuk melaksanakan
pemesan dari kalangan yang membuat upacara Yadnya. Selain memelihara pura
upakara yadnya. Berkaitan dengan bentuk melakukan penghormatan dan pemujaan
dan fungsi gerabah sebagai alat-alat yang dipimpin oleh rohaniawan dengan
upacara yang dihasilkan rupanya memiliki menggunakan alat-alat sarana upacara
kesamaan atau kemiripan dengan temuan seperti penyembean, periuk, coblong dan
gerabah situs Wasan, namun kebanyakan lain-lainnya, hal ini tidak terlepas dari religi.
pembuatan gerabah penyembean yang Religi mencakup kegiatan manusia yang
memiliki dua sumbu lebih sedikit dibuat ditandai dengan dua hal pokok yaitu
dibandingkan dengan satu sumbu. Selain kepercayaan dan ritus. Kepercayaan
itu gerabah penyembean yang dihasilkan di ditunjukkan dalam bentuk pandangan dan
Pejaten bentuknya sedikit lebih besar dan dapat dicapai lewat penggambaran, simbol-
tebal, sehingga nampak kurang ramping simbol seperti alat-alat upacara, yakni
dan menarik (indah). Mungkin hal ini penyembean, periuk, coblong dan lain-
disebabkan daya estetis pengrajin masih lainnya, sedangkan ritus lebih berbentuk
kurang kalau dibandingkan temuan modus-modus tindakan tertentu (Durkheim
penyembean Wasan lebih tipis dan 1965, 29).
bentuknya naturalistis. Pembuatan Menurut informasi Pemangku Pura
gerabah-gerabah pada masa lalu tidak Wasan, bahwa gerabah penyembean yang
hanya dibuat untuk kepentingan upacara memiliki sumbu tempat api dapat
ritual, tetapi juga untuk keperluan sehari- difungsikan pengantar upacara dan
hari. Tentang bentuk, teknik pembuatan, sekaligus simbol Dewa Banjarahma
fungsi dan makna gerabah tersebut di atas sebagai Dewa Agni dalam kegiatan
dibahas dengan teori kebudayaan yang upacara Dewa Yadnya. Gerabah coblong
mempelajari aspek-aspek yang berkaitan yang memiliki bentuk lebih kecil, dapat
dengan wujud kebudayaan yang meliputi difungsikan sebagai tempat tirtha secara
wujud idea, wujud kompleks aktivitas khusus pada kegiatan upacara Dewa
kelakuan berpola dari manusia dan wujud Yadnya, sedangkan periuk yang memiliki
fisik berupa benda-benda hasil karya ukuran yang tirtha lebih besar, selain
manusia (Koentjaraningrat 2004, 4-5). sebagai tempat tirtha, dapat difungsikan
Pandangan tersebut akan ditunjang dengan sebagai tempat toya ning atau toya anyar.

Temuan Gerabah Di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis) 29


(I Wayan Badra)
Berkaitan dengan pengertian tirtha suci dan dianggap mempunyai historis
tersebut, bahwa lokasi suatu bangunan suci mitologi seperti: tirtha segara atau laut,
akan didirikan atau dibangun, tempat itu tirtha ulun danau dan lain sebagainya.
harus suci dan lokasi itu dinamakan tirtha. Demikianlah kepercayaan atau religi umat
Mengingat tirtha sangat penting dalam Hindu tentang peranan dan fungsi tirtha
upacara yang mempunyai potensi dalam upacara.
membersihkan, menyucikan dan dianggap Selain itu Koentjaraningrat
sebagai sumber kehidupan. Fungsi tirtha mengatakan bahwa, setiap religi
dalam masyarakat pada jaman dahulu dan merupakan suatu sistem yang terdiri dari
sekarang sangat berperanan penting. empat komponen, yaitu: 1. emosi
Pengertian tirtha sebagai air suci keagamaan yang menyebabkan manusia
bagi umat Hindu Dharma di Bali, bukanlah menjadi religious; 2. sistem kepercayaan
merupakan suatu hal yang asing lagi. yang mengandung keyakinan bayangan-
Mengingat hampir setiap upacara yang bayangan manusia tentang sifat-sifat
termasuk dalam Panca Yadnya, tirtha Tuhan serta wujud dari alam gaib
selalu dipakai. Apabila salah satu (supernatural); 3. sistem upacara religious
perlengkapan suatu upacara tidak yang bertujuan mencari hubungan manusia
mepergunakan tirtha, upacara itu belum dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk
dikatakan sempurna. Tirtha boleh dikatakan halus yang mendiami alam gaib; 4.
sebagai pemuput dalan rangkaian upacara kelompok-kelompok religious atau
agama Hindu pada jaman dahulu dan kesatuan-kesatuan sosial yang menganut
bahkan disebut agama tirtha, yaitu agama sistem upacara-upacara religius tersebut
dari air suci (Hooykaas 1964, 148). Pada (Koentjaraningrat 1974, 137--8). Dengan
setiap persembahyangan tanpa diperciki demikian, sistem kepercayaan erat
tirtha oleh para sulinggih, rasanya belum berhubungan dengan sistem upacara-
lengkap dan kurang mantap, karena fungsi upacara religius dan menentukan tata cara
tirtha sebagai air suci akan dapat daripada unsur-unsur, serta rangkaian alat-
memberikan ketenangan batin dan alat yang dipakai dalam upacara seperti
sekaligus kesegaran jasmani dan rohani. penyembean berfungsi sebagai alat
Demikian pula bebanten belum juga berati penerangan simbolisasi Dewa Agni;
suci atau belum bisa dipersembahkan, coblong sebagai tempat tirtha, sedangkan
sebelum dipercikan tirtha. Kesucian tirtha periuk memiliki bentuk lebih besar, dapat
atau air suci, selain dibuat oleh pedanda, difungsikan sebagai tempat tirtha anyar
ada juga cara lain untuk memperolehnya sekaligus sebagai tempat tirtha
yakni dengan jalan mengambil air itu di pengelukatan. Adapun system upacara
suatu tempat yang dianggap keramat atau religious melambangkan konsep-konsep

30 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 18--32


yang terkandung dalam sistem Esa. Dengan adanya upacara, warga suatu
kepercayaan. masyarakat bukan saja selalu diingatkan,
Berkaitan dengan simbol-simbol tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan
tersebut di atas, tampaknya upacara tidak simbol-simbol.
bisa lepas dari tiga kerangka agama Hindu
4. Kesimpulan
yaitu tatwa, susila dan upacara. Tatwa
Bentuk dan gaya gerabah seperti
adalah petunjuk filosofis yang sangat
penyembean, periuk dan coblong di situs
mendalam yang bersifat keyakinan tentang
Wasan menunjukkan hasil karya pengerajin
konsepsi ketuhanan. Tatwa bersifat
gerabah pada masa lalu relatif cukup baik,
abstrak, karena berada di dalam angan dan
profesional, hal ini berdasarkan kaedah
pikiran manusia. Susila adalah penjabaran
seni yang telah ditetapkan, sehingga
kepercayaan, keyakinan yang berkaitan
tampak gerabah tersebut mempunyai nilai
dengan prilaku, norma-noma, aturan-
estettis. Selain itu gerabah Wasan dibuat
aturan, patokan, petunjuk kewajiban
dari bahan tanah liat yang berasal dari
maupun larangan yang patut ditaati dan
tanah liat sawah. Gerabah dengan sebutan
dipatuhi dalam aktivitas kehidupan
penyembean, pada bagian bibir memiliki
beragama. Jadi susila tampak pada gerak
bentuk melengkung kedalam, memiliki dua
dan aktivitas, sedangkan upacara meliputi
sudut. Penyembean ini digunakan, ketika
proses kegiatan dan mempersembahkan
upacara Dewa yadnya dan Butha yadnya
sesajen atau upakara. Dengan demikian
dimulai, di dalamnya diisi minyak kelapa
upacara yang dilaksanakan di suatu pura,
dan pada sumbunya dinyalakan api.
khususnya di pura Wasan merupakan
Gerabah dengan sebutan coblong dapat
wujud penjabaran umat dalam membina
difungsikan sebagai tempat tirtha,
hubungan dirinya dengan Maha Kuasa
sedangkan periuk bentuknya lebih besar,
dalam bentuk persembahan yang
selain sebagai tempat tirtha juga sebagai
esensinya berupa yadnya, terutama
tempat toya anyar. Gerabah yang dijadikan
upacara Dewa Yadnya. Korban suci yang
komperatif seperti penyembean, periuk dan
tulus ikhlas yang ditujukan untuk para dewa
coblong di dua tempat yaitu Prangsada dan
atau pemujaan terhadap Ida Sang Hyang
Pejaten, memiliki bentuk yang lebih besar,
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
memiliki bagian-bagian lebih tebal dan tidak
Peranan upacara selalu
merata, sehingga tampak lebih tambun,
mengingatkan pada eksistensi dan
dibandingkan gerabah Wasan bentuknya
hubungan manusia dengan lingkungannya,
lebih langsing. Melalui sejumlah gerabah
baik lingkungan alam, binatang maupun
seperti penyembean periuk coblong yang
lingkungan manusia sendiri serta
ditemukan di Pura Wasan, tampaknya
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha
memiliki fungsi berkaitan dengan kegiatan

Temuan Gerabah Di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis) 31


(I Wayan Badra)
upacara Dewa Yadnya dan Butha Yadnya. Thailand. Vol. 1, Sai-yok,
Munksgaard, Covenhagen.
Penyembean yang telah berisi api, dapat
Koentjaraningrat, 1974. Bunga Rampai
disimbolisasikan sebagai dewa agni. Periuk Kebudayaan Mentalitet Dan
Pembangunan. Jakarta: P.T.
dan coblong sebagai wadah tempat tirtha,
Gramedia.
yakni air suci, difungsikan sebagai pemuput Koentjaraningrat, 2004. Kebudayaan
Mentalitet dan Pembangunan.
dalam suatu rangkaian upacara. Pada
Jakarta: PT Gramedia.
umumnya setiap persembahyangan umat Soejono, R.P., et al. 1975. Jaman
Prasejarah Di Indonesia: Sejarah
Hindhu, tanpa dipercikan tirtha oleh para
Nasional Indonesia I, (Edisi I)
sulinggih, rasanya belum lengkap dan Jakarta; Depdikbud.
Atmosoediro, Sumijati. 1971. “Daerah
kurang mantap, karena tirtha atau air suci
Bantul (Jogyakarta).” Tesis, Jurusan
akan dapat memberikan ketenangan batin Purbakala, Fakultas Sastra dan
Kebudayaan, Universitas Gajah
sekaligus kesegaran jasmani dan rohani.
Mada.
Upacara merupakan wujud penjabaran Thomas, David Hurst. 1979. Archaeology.
New York Chicago.
umat Hindu dalam membina hubungan
Rinehart dan Winston, Wallace, dan
dirinya dengan Maha Kuasa dalam bentuk Anthony. F.C. 1966. Religion an
Anthropological View. New York:
persembahan yang esensinya berupa
Random House.
yadnya dengan tulus iklas tanpa pemerih.

Daftar Pustaka
Badra, I Wayan. 2016. “Ekskavasi
Arkeologi Situs Wasan, Dusun
Blahtanah, Desa Batuan Kaler,
Sukawati, Gianyar, Tahap XXIII.”
Laporan Penelitian Arkeologi, Balai
Arkeologi Bali, Denpasar.
Durkheim, Emile. 1965. “The element
Forms of the religious Life.” Dalam
The Origin and Development of
Religion: 28-36.
Geertz.C.1966. “Religion as a Cultural
System.”Dalam Anthropological
Approach to the Study Religion,
disunting oleh Bantom. London:
Tavistock Publication.
Geria, I Made. 1990.”Kajian Arsitektural
Candi Wasan, Desa Batuan,
Kecamatan Sukawati, Kabupaten
Gianyar.” Laporan Penelitian
Arkeologi, Tidak diterbitkan.
Hooykaas, C. 1964. Agama Tirtha: Five
Studies at Hindu-Balinese Religion.
Amsterdam: A.V. Noor Hollandsche
Uitgeveers Matschapij.
Heekeren, H.R.Van & Eigil Knuth, 1967.
Archaeological Exavation in

32 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 18--32


MEREPOSISI FUNGSI MENHIR
DALAM TRADISI MEGALITIK BATAK TOBA

REPOSITIONING OF THE MENHIRS FUNCTIONS


IN MEGALITHIC OF BATAK TOBA TRADITION

Naskah diterima: Naskah direvisi: Naskah disetujui terbit:


05-01-2017 03-03-2017 17-03-2017

Ketut Wiradnyana
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No. 1, Medan
Ketut_wiradnyana@yahoo.com

Abstract
The functions of menhirs are often being connected to medium of worship, burial markers, and
guardian of an area/village, or stakes to tether sacrificial animals. Such functions are known to
be related to visual aspect or practical functions. Menhirs in Batak Toba culture on Samosir
Island, which are called tunggal panaluan and borotan also have the above functions. Moreover,
the cultural items have other functions in relation to the aspect of cosmogony. Hence the aim of
this article is to understand the function of tunggal panaluan and borotan in relation to
cosmogony, which were carried out using descriptive-interpretative method, supported by
ethnographical data of Batak Toba culture that was compared to similar cultures and functions
in other places. The implementation of the method to fulfill the research aim reveals that tunggal
panaluan and borotan also function as a bridge to connect the three levels of environment.

Keywords: spirit, menhir, tunggal panaluan and borotan, cosmogony

Abstrak
Kerap fungsi menhir itu dikaitkan dengan medium pemujaan, tanda kubur, penjaga areal/
perkampungan atau tambatan hewan kurban. Fungsi–fungsi dimaksud diketahui terkait dengan
aspek visual atau fungsi yang bersifat praktis. Menhir dalam budaya masyarakat Batak Toba di
Pulau Samosir yang disebut dengan tunggal panaluan dan borotan juga memiliki fungsi
dimaksud. Kedua benda budaya itu juga memiliki fungsi lainnya yang terkait dengan aspek
kosmogoni. Berkenaan dengan itu maka tujuan uraian ini adalah mengetahui fungsi tunggal
panaluan dan borotan dalam kaitannya dengan kosmogoni. Hal tersebut dilakukan melalui
metode deskriptif -interpretatif yang disertai data etnografi budaya Batak Toba untuk kemudian
dibandingkan dengan budaya dan fungsi sejenis di tempat lainnya. Pemanfaatan metode
tersebut dalam pencapaian tujuan penelitian menghasilkan fungsi tunggal panaluan dan borotan
sebagai jembatan bagi roh untuk menyatukan ketiga tingkatan alam.
Kata Kunci: roh, menhir, tunggal panaluan dan borotan, kosmogoni

1. Pendahuluan punden berundak, mehir dan aktivitas


Di Pulau Samosir, dominasi religi yang berkaitan dengan
tinggalan tradisi megalitik berupa wadah penghormatan terhadap nenek
kubur berbentuk sarkofagus, tempayan moyang. Keberadaan tinggalan
batu, peti kubur batu atau peti pahat megalitik yang cukup banyak dan
batu. Selain itu ada juga arca megalitik, variatif disertai aktivitas religi

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 33
menandakan kuatnya pengaruh budaya sebuah tinggalan arkeologis menjadi
megalitik di wilayah ini. Berkenaan kurang tepat.
dengan itu, tradisi megalitik sebagian Salah satu bentuk tinggalan
masih berlangsung hingga kini, seperti megalitik yang dimiliki masyarakat
prosesi penguburan primer-skunder, Batak Toba adalah tunggal panaluan
prosesi upacara adat yang berkaitan yang difungsikan sebagai tongkat bagi
dengan prosesi Agama Malim, yang tokoh ataupun sebagai media pemujaan
dianggap sebagai kepercayaan lama dalam berbagai prosesi upacara. Pada
masyarakat Batak Toba (Gultom prosesi upacara, para datu (dukun)
2010,81). Selain itu pada aspek menancapkan tunggal panaluan di
pertanian yaitu pada kegiatan sekitar areal upacara di tengah halaman
penentuan musim tanam padi ataupun rumah ataupun kampung. Tongkat ini
jenis padi yang akan ditanam, difungsikan juga sebagai pengusir roh
pengesahan hukum adat dan jahat yang akan mengganggu prosesi
penyelesaian konflik juga masih upacara. Menilik fungsi tersebut maka
berkaitan dengan kepercayaan tunggal panaluan dapat dimasukkan
terhadap nenek moyang yang dalam kategori menhir. Menhir ada juga
merupakan dasar dari tradisi megalitik yang berfungsi sebagai pengikat hewan
(Wiradnyana 2014,17). Aspek megalitik kurban, selain sebagai media pemujaan
lainnya juga tampak dari bentuk (Kaudern 1938 dalam Sukendar 1983,
arsitektur rumah adat berupa rumah 97). Masyarakat Batak Toba menyebut
panggung, yang melambangkan tiga bangunan megalitik yang berfungsi
tingkatan alam yaitu dunia bawah, sebagai pengikat hewan kurban dan
tengah dan dunia atas (Wiradnyana diletakkan di tengah perkampungan
2011,146). adalah borotan. Oleh karena itu tunggal
Megalitik merupakan sebuah panaluan dan borotan merupakan
corak budaya yang perkembangannya menhir yang berfungsi sebagai pengikat
dimulai pada awal-awal Masehi hingga hewan kurban selain sebagai media
ke masa kini. Mengingat pemujaan (Wiradnyana 2016, 103).
keberlangsungan tradisi ini cukup Pemahaman atas fungsi sebuah objek
panjang dan sebagian diantara arkeologis tersebut lebih cenderung
unsurnya telah berubah, sehingga tidak terkait dengan aspek visual semata,
semua data yang disampaikan sebagai sehingga pemahaman objek menjadi
sebuah informasi, memadai untuk dapat kurang baik. Objek arkeologis dapat
menjelaskan sebuah tinggalan memiliki fungsi lain kalau dilakukan
arkeologis. Sehingga memahami kajian-kajian yang lebih intensif

34 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 33--47


terutama dalam kaitannya dengan Sebuah tinggalan megalitik itu
aspek religi. Hal itu terjadi mengingat dapat dijelaskan dari aspek fisik atau
seluruh aspek kehidupan masyarakat visual, namun akan lebih tepat kalau
Batak Toba sangat terkait dengan dijelaskan dari satu kesatuan prosesi
aspek religi. Jadi tunggal panaluan dan religi yang terkait dengan objek yaitu
borotan dapat dipahami lebih baik sebagai sebuah simbol. Sebagai
hanya dengan memahami religi yang sebuah simbol tinggalan arkeologis itu
melingkupinya. memiliki kandungan makna yang juga
Pemahaman tersebut dapat merupakan pandangan hidup yang
juga dicontohkan pada tinggalan melekat di setiap warga masyarakat,
arkeologis yang berbentuk rumah adat dan tercermin pada perilaku warganya.
bangsawan (si ulu) di Nias Selatan, Makna dari simbol tersebut terbentuk
yang memiliki sembilan tingkatan atap dari nilai-nilai yang terbangun di
rumah adat. Dalam koteks visual hal masyarakat dan merupakan produk
tersebut cukup dijelaskan sebagai kebudayaan yang sangat sulit berubah.
simbol dari kosmologi yaitu adanya Kondisi itu menjadikan nilai-nilai yang
sembilan tingkatan langit atau bahkan ada pada masa lalu merupakan dasar
hanya terkait dengan struktur sosial dari nilai-nilai yang ada pada masa
saja, tetapi dengan kajian religi yang setelahnya (Ritzer 2011, 85).
lebih dalam, hal tersebut terkait dengan Berkenaan dengan itu nilai-nilai yang
capaian posisi roh si mati di tingkatan ada pada kebudayaan megalitik dapat
langit tertentu, yang terkait juga dengan dilacak dari tradisi megalitik atau
adanya hubungan status sosial antara dibandingkan dengan objek dengan
dunia langit dengan dunia nyata. Pada yang sama di tempat yang berbeda.
rumah adat di Nias Utara atau di Artinya adanya keberlanjutan nilai-nilai
Sumatera Utara (Batak Toba, Karo, yang ada pada masa sebelumnya ke
Mandailing, Pakpak/Dairi) arsitektur masa selanjutnya atau sebuah menhir
yang berupa rumah panggung itu dapat dilacak fungsinya dari menhir
dikaitkan dengan kosmologi bahwa yang memiliki kaitan dengan prosesi
dunia ini terbagi atas tiga tingkatan. upacara yang sama di tempat lain.
Tentu pemahaman tersebut tidak keliru, Uraian tersebut di atas
namun kurang dapat menggambarkan diantaranya memunculkan
aspek-aspek lainnya, terutama yang permasalahan yaitu bagaimanakah
terkait dengan konsepsi simbol dalam fungsi tunggal panaluan dan borotan itu
kehidupan masyarakatnya ataupun dalam kaitannya dengan kosmologi ?.
aspek lainnya. Berkenaan dengan itu, uraian ini

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 35
bertujuan menggambarkan fungsi mengkomunikasikan makna dalam
tunggal panaluan dan borotan yang konteks religi/tradisi megalitik (Geertz
merupakan budaya materi Batak Toba 1995,102). Berbagai aspek yang dimuat
yang bercorak megalitik sebagai merupakan unsur budaya dalam
sebuah simbol. Untuk itu, memahami sebuah sistem (Ritzer dan Goodman
objek dimaksud hanya dapat dilakukan 2004, 238--63), diantaranya adalah
dengan memahami prosesi religi yang sistem religi yang terdiri dari subsistem,
menyertai dalam kaitannya dengan teridentifikasi sebagai sebuah menhir.
kosmogoni. Hal tersebut akan Benda budaya tersebut merupakan
memberikan pemahaman fungsi menhir hasil dari pencapaian tata kebudayaan
yang sesungguhnya yang tidak hanya atau simbol-simbol kolektif masyarakat
didasarkan visual semata. Adapun Batak Toba. Berkenaan dengan itu,
ruang lingkup dari bahasan ini adalah fungsi dari sebuah tunggal panaluan
tunggal panaluan dan borotan yang dan borotan hanya dapat dipahami
merupakan hasil budaya materi dalam lingkup sistem religi.
masyarakat Batak Toba di Pulau
2. Metode
Samosir, Sumatera Utara.
Metode penelitian yang
Menhir memiliki bentuk yang
digunakan untuk pengungkapan
cukup variatif, dengan bentuknya
permasalahan di atas adalah deskriptif-
tersebut kerap menhir tampak memiliki
kualitatif. Hal itu merupakan upaya
fungsi yang berbeda. Namun
pengungkapan berbagai aspek yang
sesungguhnya fungsi yang berbeda
terkandung pada objek arkeologis
tersebut sebenarnya memuat makna
berupa tunggal panaluan dan borotan
yang serupa pada aspek religi, jadi
yang menjadi benda budaya penting
sebuah menhir itu pada hakekatnya
pada masyarakat Batak Toba. Metode
memiliki fungsi yang sama kalau
tersebut dilakukan dengan observasi
dipandang menhir itu sebagai sebuah
yaitu melalui pengamatan langsung
simbol, sehingga teridentifikasi memiliki
objek di Museum Simanindo, Pulau
makna yang sama. Untuk memahami
Samosir, untuk kemudian dilakukan
menhir sebagai sebuah simbol, maka
pendeskripsian. Selain itu juga
konsep tunggal panaluan dan borotan
dilakukan wawancara terbuka yang
dapat dijadikan analogi yang
disertai dengan pengamatan atas
mengkomunikasikan makna
perilaku masyarakat pada aspek tujuan
sesungguhnya tentang seseorang atau
hidupnya, untuk membantu penerapan
tentang sesuatu, (Geertz 1973, dalam
metode eksplanatif. Studi pustaka juga
Abdullah 2006, 240--1) dan
dilakukan dalam upaya mendapatkan

36 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 33--47


informasi melalui berbagai literatur yang
relevan dengan objek dan
permasalahan.
Analisis dilakukan dengan
metode kualitatif dan juga komparatif.
Pemanfaatan metode kualitatif
diharapkan dapat mengungkap
berbagai pola makna yang terkandung
dalam objek penelitian maupun tingkah
laku masyarakat. Perbandingan data
yang dilakukan melalui metode
komparatif dengan data yang lain baik
pada masa dan wilayah yang relatif
Gambar 1. Sebagian detil pahatan tunggal
dekat serta budaya yang relatif sama, panaluan di Museum Simanindo, Pulau
Samosir (dok. Ketut Wiradnyana 2013)
akan sangat membantu untuk mengerti
Menhir yang ditempatkan di tengah
berbagai aspek dalam objek dan prilaku
perkampungan berkaitan dengan
masyarakat Batak Toba.
prosesi upacara religi. Karena tunggal
3. Hasil dan Pembahasan
panaluan itu merupakan sebuah
Menhir di Pulau Samosir ada tongkat maka posisinya bisa di dalam
yang ditempatkan di tengah halaman ataupun di luar halaman kampung.
perkampungan dan ada juga di luar Untuk tunggal panaluan yang berada di
perkampungan. Menhir yang dalam kampung biasanya diletakkan di
ditempatkan di dalam ataupun di luar tengah halaman, sedangkan yang di
perkampungan ada yang dikerjakan luar biasanya diletakan di dekat pintu
dan ada juga yang tidak dikerjakan. masuk kampung. Tunggal panaluan di
Menhir yang dikerjakan itu adalah buat oleh datu yaitu dengan membawa
tunggal panaluan dan arca menhir persembahan ke sebuah pohon kayu
(panghulubalang). Sedangkan yang piu-piu tanggulan sebagai bahan dasar
tidak dikerjakan kerap disebut batu. tongkat untuk kemudian dikerjakan.
Tunggal panaluan adalah menhir Setelah selesai, kembali tunggal
dengan tinggi sekitar tiga meter yang panaluan diberi persembahan, sebagai
berbahan kayu piu-piu tanggulan simbol penyatuan datu dengan tongkat
(Cassia javanica) atau tada tada (Keurs 2008, 62).
(penolak) karena memiliki duri di Tunggal Panaluan dihiasi
seluruh cabangnya (Rassers 2008, 80). ukiran dari ujung sampai pangkal dan

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 37
hanya menyisakan bagian kecil yang Penggambaran manusia pada tunggal
tidak dihias yaitu bagian pegangan yang panaluan merupakan figur orang-orang
berada di bagian tengah tongkat. Pada yang telah meninggal bersama istrinya,
bagian atas tongkat ini biasanya saudaranya atau pembantunya.
dipahatkan manusia dalam ukuran yang Binatang yang digambarkan mewakili
lebih besar dan diberi hiasan kurban-kurban yang dipersembahkan
rambut/bulu ayam di bagian kepalanya, dalam prosesi upacara atau hewan
serta ikat kepala tiga warna (merah yang dikurbankan atau dibunuh oleh
putih dan hitam). Adapun pahatannya orang yang meninggal selama
menggambarkan serangkaian figur hidupnya. Tunggal panaluan serupa
manusia laki-laki ataupun wanita dengan patung-patung (hampatong),
bertubuh kecil dengan karakter muka Dayak (Rassers 2008,104). Tunggal
seperti monster. Kepala kerap panaluan dalam kaitannya dengan religi
dipahatkan dengan ukuran yang lebih meminta hujan, maka dalam ritualnya
besar dengan tubuh dalam posisi sesaji dipersembahkan untuk tanah dan
jongkok atau setengah jongkok, satu di terutama untuk figur-figur wanita pada
atas yang lain. Pada bagian–bagian tongkat tersebut (Rassers 2008, 125).
tertentu dipahatkan juga hewan Prosesi itu sangat erat dengan budaya
diantaranya lembu, kerbau, kadal, ular pertanian masyarakat Batak Toba.
dan buaya. Selain itu pada tunggal Menhir yang berbahan kayu
panaluan juga ada lubang tempat pupuk dengan hiasannya dilengkapi dengan
(zat mistis) untuk memberi kekuatan. ranting beserta daun pohon beringin
Pada masyarakat Batak Toba masa disebut dengan borotan. Borotan dalam
lalu, tunggal panaluan digunakan bahasa setempat berarti ikat, adalah
sebagai tongkat para datu (dukun) lambang pohon mistis tumburjati atau
dalam menjalankan prosesi upacara pohon kehidupan (hariara) (Tobing
atau juga para tokoh-tokoh tertentu 1963, 118). Borotan digunakan sebagai
(Keurs 2008, 54--7). Tunggal panaluan tempat mengikat kerbau yang akan
tersebut ditancapkan pada tanah di disembelih pada prosesi upacara
tengah halaman kampung dimana tradisional seperti upacara kematian
prosesi upacara dilaksanakan. Adapun (saurmatua dan mangongkal holi).
pahatan tunggal panaluan tidak selalu Di Pulau Samosir tunggal
sama satu dengan yang lainnya, namun panaluan dan borotan diletakkan
pahatan manusia yang saling berdampingan di tengah halaman
menjunjung ataupun pahatan hewan perkampungan Museum Simanindo
selalu hadir dalam objek tersebut. (Wiradnyana dkk 2016, 103--5).

38 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 33--47


Tunggal panaluan dikaitkan dengan materi gelombang pertama dan arca
folklor adanya perkawinan incest dalam nenek moyang merupakan hasil budaya
masyarakat Batak Toba. Hal tersebut materi gelombang kedua. Tampaknya
merupakan salah satu aspek yang ada hubungan yang erat (keberlanjutan)
ditabukan dalam kehidupan antara fungsi menhir sebagai media
masyarakat. Untuk mengingatkan pemujaan roh dengan arca menhir
masyarakat agar tidak melakukan sebagai media pemujaan roh leluhur.
perbuatan yang menyimpang tersebut, Menhir merupakan salah satu
maka dibuatkan tunggal panaluan yang produk dari budaya megalitik yang
ditempatkan di depan rumah atau di memiliki pengertian sebagai batu
halaman perkampungan (Wiradnyana berdiri, berkaitan dengan pemujaan
2016, 105). terhadap roh/roh leluhur. Mengingat
Megalitik merupakan konsep tidak semua tradisi megalitik
budaya yang berkembang pada masa menggunakan batu, maka monumen
neolitik, dibawa oleh penutur bahasa yang berbahan kayu dengan fungsi
Austronesia melalui dua gelombang, yang sama juga merupakan tradisi
yaitu tradisi megalitik tua dan tradisi megalitik. Adanya keterkaitan bentuk
megalitik muda. Tradisi megalitik tua dan fungsi megalitik itu
menghasilkan dolmen, menhir, tahta mengindikasikan terjadinya
batu dan lainnya pada kisaran 2500- perubahan/pengembangan bentuk dan
1500 SM. Gelombang kedua yaitu fungsi serta akibat panjangnya proses
tradisi megalitik muda yang antara lain keberlangsungan tradisi megalitik.
menghasilkan sarkofagus, kubur batu, Perubahan menhir dimaksud sangat
arca nenek moyang dan lainnya, diduga terkait dengan kondisi lingkungan dan
berkembang pada masa perundagian masyarakat pendukungnya, sehingga
(Awal Masehi) (Geldern, 1945, 126--60; bentuk dan fungsi monumen megalitik
Soejono,1984, 205--8 dalam Sutaba, memiliki kekhasan di setiap wilayah.
2001, 5). Aspek lainnya yang dikaitkan Namun semakin jauh dari pusat
dengan kebudayaan megalitik budayanya, maka semakin banyak
diantaranya pertanian, pemujaan perbedaan unsur-unsur budayanya. Hal
terhadap leluhur dan penguburan itu menjadikan beberapa unsur budaya
primer-sekunder (Soejono, 1989, 221-- di dalam satu wilayah budaya, berbeda
31; Soejono, 2008, 5). Kalau baik itu unsur materi maupun unsur non-
diperhatikan lebih seksama gelombang materinya (Wiradnyana 2015, 88).
penyebaran megalitik menunjukkan Sekalipun ada perubahan, beberapa
bahwa, menhir merupakan hasil budaya aspek yang ada pada tinggalan

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 39
megalitik tetap masih terlihat jelas Alam Atas terbagi dalam 7 lapisan, pada
“benang merahnya,” terutama dalam lapisan yang tertinggi merupakan
kaitannya dengan aspek religi. Hal tempat bertahtanya Mulajadi Na Bolon.
tersebut dimungkinkan mengingat religi Beliau merupakan pencipta alam
merupakan unsur budaya yang tidak beserta isinya. Pada Alam Tengah
mudah berubah dibandingkan unsur merupakan tempat tinggal manusia, dan
budaya yang lainnya (Koentjaraningrat pada Alam Bawah merupakan tempat
1990, 97). Artinya konsep tersebut juga tinggal para roh jahat. Selain Mulajadi
merefleksikan aspek adaptasi yang Na Bolon, masyarakat Batak Toba juga
mengacu kepada keseimbangan yang mengenal tokoh-tokoh lain yang
terus berubah-ubah antara kebutuhan memiliki fungsi tertentu seperti Si
sosial manusia dengan potensi Leangleang Mandi yang bertugas
lingkungannya dalam upaya sebagai utusan Mulajadi Na Bolon, Si
keberlangsungan hidup (Haviland Leangleang Nagurasta sebagai penjaga
1988a, 348;1988b, 3, 35). Hal tersebut pintu surga, dan lain-lain. Selain itu
menggambarkan bahwa sebuah objek Mulajadi Na Bolon juga menciptakan
megalitik akan selalu mengalami pohon kehidupan (Tumburjati) yang
perubahan atau perkembangan bentuk ditempatkan di Alam Atas pada lapisan
dan fungsinya. Perkembangan tersebut ke dua (Tobing 1963, 27;Wiradnyana
menjadikan adanya struktur bentuk dan 2016, 85; Gultom 2010,98; Warneck
fungsi dari sebuah objek budaya 1909, 4-6 dalam Nainggolan 2012, 22).
tersebut, bahkan juga dapat Folklor kosmogoni masyarakat
membangun struktur-stuktur lain dalam Batak menunjukkan bahwa,
kehidupan masyarakatnya. kepercayaan lama tersebut juga
Keberadaan struktur dalam mengalami perubahan ke struktur
masyarakat Batak Toba tercermin dari kepercayaan yang lebih teratur seperti
keberadaan struktur sosial, struktur adanya dewa dalam Agama Hindu.
organisasi sosial dan kosmogoninya. Ompu Mulajadi Na Bolon yaitu dewa
Hal tersebut mencerminkan bahwa tertinggi sebagai pencipta alam
struktur merupakan model kebudayaan semesta didalamnya terdapat tiga dewa
yang banyak digunakan dalam aspek yaitu:1). Batara Guru, dewa ini
kebudayaan. Struktur kosmogoni dalam bertempat tinggal di Banua Atas disebut
konsep masyarakat Batak Toba terdiri Tuan Pane Na Bolon. Dewa ini
atas tiga tingkatan yaitu: Alam Atas berfungsi untuk pengirim hujan, cahaya,
(Banua Ginjang), Alam Tengah (Banua guruh/petir dan ombak ke dunia tengah
Tonga) dan Alam Bawah (Banua Toru). serta memberikan kesuburan tanah. 2).

40 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 33--47


Soripada, bertempat tinggal di Banua dilambangkan kepada Mangala Bulan.
Tengah dan disebut Silaon Na Bolon, Putih berarti bersih, merah berarti
dewa inilah yang memberikan anak berani, dan hitam berarti kecelakaan
pada manusia dan yang menciptakan (gelap). Penyatuan warna itu
dalam kandungan. 3). Mangala Bulan, mengambarkan keharmonisan
bertempat tinggal di Banua Bawah dan kehidupan.
disebut Tuan Buni Na Bolon. Dewa Uraian tersebut
inilah yang mengatur hidup dan matinya menggambarkan bahwa struktur dan
manusia, usia tua dan muda, kaya dan fungsi sebuah sistem budaya megalitik
miskin, senang atau susah. Ketiga dewa tampak semakin lama semakin
tersebut di atas disebut Ompu Mulajadi kompleks. Perubahan tersebut telah
Na Bolon dan dikenal dengan Tri disepakati masyarakat sebagai jaminan
Tunggal Dewa dan dipuja oleh bagi keseimbangan dan
masyarakat Batak Toba sesuai dengan keberlangsungan sebuah masyarakat
kebutuhan manusia dan sesuai pula dengan kebudayaannya. Upaya
dengan fungsi dewa tersebut memahami kebudayaan megalitik
(Vergouwen 1986, 80). Selain Tri tersebut hendaknya dilakukan dengan
Tunggal Dewa tersebut, masih ada memperhatikan aspek struktur dan
dewa – dewa lain yang dipuja seperti fungsi tinggalannya. Upaya memahami
dewa penjaga tanah dilambangkan menhir diantaranya melalui struktur
dengan biawak (Boraspati Ni Tano), yaitu perbedaan bahan dan keletakan
dewa penjaga laut disebut dengan menhir akan cenderung berkaitan
Saniang Naga, dan dewa penjaga dengan perbedaan fungsinya. Untuk
kebahagiaan rumah tangga (debata keletakan menhir ada menhir yang
idup) (Lubis dkk, 1984 dalam berada di luar perkampungan dan
Wiradnyana 2011, 147). Dengan prinsip menhir yang berada di dalam halaman
Tri Tunggal ini, maka dunia pun dibagi perkampungan. Di Pulau Samosir,
menjadi 3 yaitu dunia atas, tengah dan menhir yang berada di luar
bawah, dan alam itu juga dilambangkan perkampungan memiliki bahan dari
dengan warna tertentu yang juga dibagi batu, tidak dikerjakan dan difungsikan
menjadi tiga yang disebut bonang sebagai penjaga halaman
manalu dianggap warna sempurna yaitu perkampungan. Selain itu ada juga arca
merah, putih, dan hitam. Warna merah menhir yang diletakkan di luar
dilambangkan kepada Debata perkampungan (batas kampung) atau
Soripada, putih dilambangkan kepada juga di pintu masuk kampung. Arca-arca
Batara Guru dan warna hitam menhir tersebut difungsikan sebagai

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 41
penjaga wilayah/batas kampung dan sebagai tempat meminta pertimbangan
juga penjaga pintu masuk kampung. dalam kaitannya dengan peperangan
Kalau ditinjau dari tradisi pembuatan atau pengobatan. Sedangkan sibaso
arca menhir yang kerap disebut juga merupakan orang yang dapat
dengan arca panghulubalang itu, maka berhubungan dengan roh leluhur
menhir dan arca menhir yang berada di dengan menggunakan tubuhnya
luar perkampungan cenderung tidak sebagai media untuk menyampaikan
berkaitan dengan roh nenek moyang kehendak masyarakat dengan
karena pembuatan arca menhir itu leluhurnya atau sebaliknya melalui
menggunakan roh budak sebagai tunggal panaluan/borotan. Mengingat
kekuatannya. Selain itu patung roh orang yang meninggal atau pun roh
panghulubalang berfungsi sebagai leluhur itu bertempat pada tingkatan
pelindung atau penjaga kampung dan tertentu di dunia atas maka untuk
sawah dari serangan musuh dan roh menghadirkannya diperlukan kurban
jahat serta hama. Oleh karena itu yang besar yaitu kerbau, kambing,
patung ini kerap ditempatkan di pinggir kuda. Hal tersebut menggambarkan
kampung di bawah pohon beringin, di bahwa hewan kurban juga memiliki
atas bukit dan di tepi sungai. struktur, dimana hewan yang kecil
Arca menhir dan seperti ayam dan ikan itu merupakan
panghulubalang memiliki lubang tempat persembahan bagi roh atau roh leluhur
memasukkan pupuk (zat gaib). Prosesi pada tingkat yang tidak terlalu tinggi.
pembuatan arca penghulubalang Pada prosesi upacara besar
diantaranya dengan memasukkan selalu menghadirkan tunggal panaluan
pupuk yaitu abu atau minyak dari dan borotan sebagai sarananya.
manusia sengaja dibunuh dan rohnya Tunggal panaluan pada upacara besar
dijadikan budak dalam kaitannya tersebut berfungsi sebagai penolak
dengan berbagai kepentingan, seperti bala. Berkenaan dengan itu, menhir di
menjaga areal, atau keperluan lain dalam halaman perkampungan (huta)
seperti membunuh seseorang dengan dikenal dengan nama borotan atau
cara gaib (Rassers 2008, 88--90). tunggal panaluan. Borotan yang
Sedangkan untuk berhubungan dengan merupakan simbol pohon kehidupan ini
roh leluhur atau sebagai media roh digunakan pada prosesi upacara besar
leluhur maka digunakan sibaso. berfungsi sebagai pemersatu dunia
Perbedaan datu dan sibaso, atas, dunia tengah dan dunia bawah
diantaranya adalah datu memimpin (Voorhoeve 1958, 242 dalam
upacara kecil ataupun besar dan juga Nainggolan 2012, 122--3). Dalam mite

42 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 33--47


penciptaan pohon kehidupan, borotan Bangunan megalitik
itu juga diberi nama yang berbeda yaitu kontemporer yang dikaitkan dengan roh
hariara sundung dilangit atau hariara kerabat dan juga leluhur diantaranya
jambubarus. Nama itu adalah tugu/tambak. Bangunan
merepresentasikan hubungan dengan tersebut merupakan bangunan
dunia atas. Pohon kehidupan itu berisi penguburan sekunder bagi masyarakat
daun-daun yang memuat nasib Batak Toba. Pada masa sekarang
manusia. Tempat ditancapkannya bangunan tersebut juga dijadikan
borotan ataupun tunggal panaluan itu tempat bagi penguburan primer-
menjadi representasi pusat dunia, yaitu sekunder. Bentuk tugu/tambak
pusat kedelapan penjuru mata angin umumnya semakin ke atas semakin
(desa na ualu). Hadirnya pohon/borotan kecil, dengan lubang kubur di setiap
ini dalam ritus dimaknai sebagai simbol tingkat bangunannya. Sedangkan
kehidupan dan keharmonisan dunia perilaku masyarakat yang
atas, tengah dan bawah (Nainggolan menempatkan tulang belulang si mati,
2012, 123). Bagi orang Batak Toba pada akhirnya dari tingkat di bawah ke
yang menjadi tempat sakral dalam tingkat di atasnya, menunjukkan bahwa
sebuah ritus adalah di rumah dan tempat yang paling tinggi dianggap
halaman rumah. Di dalam rumah, ada semakin dekat dengan dunia atas.
tempat untuk meletakkan persembahan Selain itu juga menunjukkan adanya ide
yang disebut dengan galapang atau tentang dunia atas yang menjadi tujuan
raga –raga yang dipercaya sebagai perjalanan roh dan tempat roh. Jadi
media bagi roh nenek moyang (Tobing tugu/tambak juga merupakan sebuah
1963, 67--70). Tempat sakral yang simbol yang berkaitan dengan tujuan
lainnya adalah halaman rumah atau perjalanan roh. Tugu/tambak yang
huta. Biasanya di halaman rumah merupakan tempat penguburan kedua
diperuntukkan bagi pelaksanaan ritus bagi masyarakat Batak Toba juga
yang besar. Dalam tradisi Batak Toba digunakan sebagai media pemujaan.
ritus persembahan ada juga di sawah, Tetapi yang harus diingat bahwa
hutan atau di gunung. Ritus di sawah tugu/tambak sebagai media juga
dan hutan diperuntukkan bagi merupakan jalan roh dari dunia atas ke
penguasa sawah dan hutan, sedangkan dunia tengah. Jadi tugu adalah
ritus di gunung dipersembahkan pada penghubung dunia atas dengan dunia
roh nenek moyang (Nainggolan 2012, tengah. Kalau dikaitkan dengan
124--5). keberadaan tunggal panaluan ataupun
borotan maka tugu/tambak dapat

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 43
disamakan fungsinya dengan tunggal Adanya struktur dan fungsi
panaluan ataupun borotan. Konsepsi itu yang ada pada tunggal panaluan dan
juga ditemukan pada masyarakat Bali borotan itu sejalan dengan pandangan
dalam prosesi ngaben (pembakaran Emile Durkheim dan Marcel Mauss
mayat) yang diantaranya ada prosesi dalam karya Annee Sociologique
hewan sapi mengelilingi tiang yang (1903/1961) tentang konsep klasifikasi
berhias daun beringin sebelum prosesi primitif. Bahwa kemampuan manusia
mati gni (melepas/memberikan jalan roh untuk mengklasifikasikan segala
si mati ke dunia lain). Jadi tiang yang sesuatu di dunia menurut logika yang
serupa borotan itu adalah jalan roh berasal dari kategori morfologis yang
menuju alam lain. Oleh karena itu berakar dalam masyarakat. Klasifikasi
tunggal panaluan ataupun borotan benda-benda dalam masyarakat
selain sebagai media pemujaan dalam menghasilkan kembali klasifikasi sosial
konteks visual, juga merupakan dari masyarakat itu, setiap klasifikasi
jembatan penghubung dunia atas, kosmologis mencerminkan kategori
tengah dan bawah termasuk morfologis dari suatu masyarakat
didalamnya jalan bagi roh untuk menuju (Prager 2008, 6-7). Penjelasan itu
dunia atas. Hal tesebut juga berarti menggambarkan bahwa dikenalnya
tugu/tambak dan juga gunung yang struktur kosmologi masyarakat Batak
kerap disebut sebagai tempat roh itu Toba diantaranya merupakan
merupakan jalan roh ke dunia atas yaitu representasi dari dikenalnya struktur
dunia arwah. Oleh karena itu, pada budaya. Struktur budaya dimaksud juga
prosesi kematian jasad si mati mencakup bangunan megalitik, baik itu
diarahkan kesuatu tempat sebagai wadah kubur dengan berbagai
tujuan agar roh tidak tersesat dalam variasinya maupun menhir.
perjalanan ke dunia arwah (Soejono Berkenaan dengan itu, menhir
2009, 247--8). Adanya ungkapan- yang dikenal pada masyarakat Batak
ungkapan yang mengaitkan gunung Toba paling tidak ada dua jenis yaitu
sebagai tempat roh atau borotan menhir yang berbahan batu dan menhir
sebagai tempat menambatkan hewan yang berbahan kayu. Sejalan dengan itu
kurban, merupakan fungsi yang menhir yang berbahan batu ada yang
dinyatakan atas hasil pengamatan tidak dikerjakan, dan ada yang
visual. Perbedaan interpretasi tersebut dikerjakan (panghulubalang/arca
memiliki perbedaan yang sangat menhir), sedangkan menhir berbahan
signifikan dalam memahami sebuah kayu, yang keseluruhannya dikerjakan
tinggalan arkeologis. yaitu tunggal panaluan, borotan dan

44 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 33--47


arca menhir. Atas kategori tersebut dikurbankan tersebut akan membasahi
maka tunggal panaluan berfungsi tanah (dunia bawah) sebagai simbol
sebagai tongkat dan penolak bala persembahan dan juga menghidupkan
seperti fungsi panghulubalang (Keurs dunia bawah (darah sebagai simbol
2008, 54). Sedangkan borotan kehidupan). Darah yang membasahi
berfungsi sebagai pengikat hewan tanah sebagai persembahan kepada
kurban. Berkaitan dengan uraian itu penguasa tanah tersebut diyakini akan
kembali menunjukkan bahwa dalam membantu menjauhkan hama,
kategori apriori, tunggal panaluan dan sehingga hasil pertanian menjadi baik.
juga borotan memiliki fungsi yang sama Konsep tersebut tidak lepas dari
yaitu penghubung antara dunia atas borotan sebagai pohon kehidupan yang
dengan dunia tengah dan dunia bawah. juga merupakan simbol tanaman
Fungsi dalam kategori ini dalam pertanian. Tampaknya tunggal
pandangan logika akan berbeda yaitu panaluan/borotan/menhir itu
tunggal panaluan itu cenderung sebagai merupakan bagian dari pohon surga,
penghubung dunia atas dengan dunia pohon kehidupan dan berbagai pohon
tengah, sedangkan borotan itu pertanian yang dapat menjauhkan
penghubung dunia atas, tengah dan hama karena pohon piu-piu tanggulan
dunia bawah. Hal tersebut dapat rantingnya dipenuhi duri, yang berbeda
dijelaskan dalam perilaku masyarakat dengan pohon lain sehingga tidak
Batak Toba, dimana tunggal panaluan mudah ditebang. Dalam folklor
itu dibawa oleh datu dalam berbagai terbentuknya tunggal panaluan
kegiatan prosesi yang merupakan jalan diungkapkan bahwa dua tokoh kembar
bagi kehadiran nenek moyang yang yang berubah bentuk menjadi tunggal
memiliki tingkat lebih rendah di dunia panaluan dan ada juga yang
atas termasuk roh kerabat yang baru menyebutkan bahwa dua tokoh kembar
meninggal. Sedangkan borotan sebagai itu meninggal di atas pohon tersebut,
jalan bagi kehadiran nenek moyang yang menandakan adanya penyatuan
yang memiliki tingkat lebih tinggi atau antara manusia dengan pohon
jalan bagi roh untuk menuju tingkatan kehidupan yang diyakini hidup di dunia
yang lebih tinggi di dunia atas. atas (Rassers 2008, 132), sebagai
Dalam kaitannya dengan bentuk penyatuan dunia tengah dengan
prosesi upacara pertanian maka dunia atas. Jadi tunggal panaluan itu
borotan selain sebagai tambatan hewan sama dengan borotan yang merupakan
kurban (kerbau) juga sebagai simbol simbol penyatuan dunia tengah dan
pohon kehidupan. Darah kerbau yang dunia atas, dan untuk menyatukan

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 45
dengan dunia bawah diperlukan kurban prosesi religi. Tunggal panaluan
kerbau. cenderung digunakan untuk
Penggunaan tunggal panaluan kepentingan dalam kaitannya dengan
sebagai sebuah tongkat oleh prosesi yang kecil, selain prosesi
datu/sibaso ataupun tokoh tertentu, kematian, dan menggunakan kurban
merupakan upaya dalam menjaga dari hewan berukuran kecil. Sedangkan
roh-roh jahat ataupun kekuatan- borotan digunakan dalam kaitannya
kekuatan yang mencoba dengan prosesi upacara kematian,
mencelakainya. Tunggal panaluan menghantarkan roh kepada tempat
dipercaya akan memberikan arahan- leluhur yang lebih tinggi dengan hewan
arahan serta peringatan baik pada saat kurban kerbau. Kedua objek arkeologis
datu/sibaso memimpin prosesi upacara tersebut memiliki fungsi yang sama
ataupun dalam keseharian. Jadi tunggal yaitu penghubung dunia atas dengan
panaluan merupakan penghubung dunia tengah dan dunia bawah,
antara datu/sibaso dengan roh (Wikler sehingga menjadi sebuah jembatan roh.
1925 dalam Rassers 2008, 84--5). Sebagai sebuah penghubung ketiga
Konsep seperti ini serupa dengan tingkatan alam, dengan kurban darah
konsep panghulubalang, dan hewan yang membasahi tanah,
panghulubalang adalah arca menhir diharapkan penguasa tanah dapat
yang merupakan perkembangan dari menjamin kesuburan tanah pertanian.
menhir. Jadi tunggal panaluan memiliki Jadi objek arkeologis tersebut juga
fungsi yang sama dengan menhir, yang terkait erat dengan prosesi pertanian.
juga berarti panghulubalang adalah Kedua objek itu juga memiliki fungsi
menhir. Hal tersebut diperkuat oleh yang saling terkait, pada prosesi
Ficher (1940) bahwa tunggal panaluan penyatuan ketiga alam dengan media
adalah menhir yang difungsikan borotan, maka tunggal panaluan dalam
sebagai pengikat hewan kurban, prosesi itu berfungsi sebagai penolak
pemujaan leluhur yang banyak bala. Keseluruhan prosesi penyatuan itu
ditemukan di Indonesia dan di Asia terkait dengan upaya tercapainya
Timur (Rassers 2008, 103-4). keharmonisan ketiga dunia. Jadi uraian
Berkenaan dengan pernyataan tersebut tunggal panaluan dan borotan yang
maka borotan dengan fungsi pengikat lebih komperensif dalam kaitannya
hewan kurban adalah menhir. dengan kosmogoni akan menghasilkan
fungsi menhir yang berbeda dengan
4. Kesimpulan
fungsi yang dilihat secara visual.
Tunggal panaluan dan borotan
merupakan objek yang terkait dengan

46 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 33--47


Daftar Pustaka Soejono, R.P (ed).2009. Sejarah
Nasional Indonesia I, Zaman
Abdullah, Irwan., 2006. Konstruksi dan
Prasejarah Indonesia. Jakarta:
Reproduksi Kebudayaan.
Balai Pustaka
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sukendar, Haris. 1985. “ Peranan
Geertz, Clifford.,1995. Kebudayaan dan
Menhir Dalam masyarakat
Agama. Yogyakarta:Kanisius
Prasejarah Di Indonesia”
Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di
dalam PIA III, Ciloto, 23-28 Mei
Tanah Batak.Jakarta: Bumi
1983. Jakarta: Puslit Arkenas.
Aksara
Hal.92-106
Haviland, William A.1988. Antropologi
Sutaba, I Made. 2001. Tahta Batu
Jilid 1. Jakarta; Erlangga
Prasejarah Di Bali, Telaah
_______. 1988. Antropologi Jilid 2.
Tentang Bentuk dan
Jakarta; Erlangga
Fungsinya.Yogyakarta:
Keurs, ter Pieter. 2008. “ W.H. Rassers
Mahavhira
dan Studi Budaya Materiil”.
Tobing, PH.O.L., 1963. The Structure Of
dalam Tunggal Panaluan,
The Toba-Batak Belief In The
Tongkat Mistis Batak. Medan:
High God. Amsterdam: Jacob
Bina Media Perintis. hal 37-74
Van Campen.
Koentjaraningrat.1990. Sejarah Teori
Vergouwen, J.C., 1986. Masyarakat dan
Antropologi II. Universitas
Hukum Adat Batak
Indonesia Press, Jakarta
Toba.Jakarta: Pustaka Azet
Nainggolan, Togar. 2012. Sejarah dan
Wiradnyana, Ketut., 2011. Prasejarah
Transformasi Religi. Medan:
Sumatera Bagian Utara
Bina Media Perintis
Konstribusinya Pada
Prager, Michael. 2008. “Dari Benda ke
Kebudayaan Kini. Jakarta:
Masyarakat, Petunjuk Jalan
Yayasan Obor Indonesia
Menuju Analisa Rassers
_______. 2014. “Toguan dan Batu
Mengenai Struktur Sosio-
Siungkap-Ungkapon,
Kosmik Batak”. dalam Tunggal
Paradigma Objek Arkeologis
Panaluan, Tongkat Mistis
Bagi Masyarakat Batak Toba di
Batak. Medan: Bina Media
Tipang” dalam Sangkhakala
Perintis.hal. 1-36
Vol. 17 No.1 Mei 2014. Medan:
Rassers, W.H. 2008. “Tentang Tongkat
Balar Medan. Hal. 1-19
Mistik Batak”. dalam Tunggal
Wiradnyana, Ketut., 2015. “Paradigma
Panaluan, Tongkat Mistis
Perubahan Evolusi Pada
Batak. Medan: Bina Media
Budaya Megalitik di Wilayah
Perintis.hal. 75-251
Budaya Nias” dalam Kapata
Ritzer, George & Douglas J. Goodman.
Arkeologi Vol.11. No.2.
2004. Teori Sosiologi Medern.
November 2015. Ambon, Balar
Jakarta: Kencana
Ambon.hal 87-96
Ritzer, George. 2011. Sosiologi Ilmu
Wiradnyana, Ketut., Lucas P. Koestoro.,
Pengetahuan Berparadigma
Taufiqurrahman Setiawan.,
Ganda. Jakarta: PT
Pesta H.H. Siahaan., Stanov
Radjagrafindo Persada
Purnawibowo. 2016.
Soejono, R.P. 1989. “Beberapa
“Menyusuri Jejak Peradaban
Masalah Tentang Tradisi
masa lalu di Pulau Samosir”
Megalitik” dalam PIA V.
dalam Berita Penelitian
Jogyakarta: Puslit Arkenas
Arkeologi. No.30. Medan, Balar
_______. 2008. Sistem Sistem
Sumatera Utara
Penguburan Pada Akhir Masa
Prasejarah Di Bali. Jakarta:
Puslitbang Arkenas

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba (Ketut Wiradnyana) 47
REPRESENTASI RELIEF OGUNG (GONG) PADA KUBUR KUNA
SITUS SUTAN NASINOK HARAHAP, KECAMATAN BATANG
ONANG, KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA,
SUMATERA UTARA

REPRESENTATION OF OGUNG (GONG) RELIEF ON ANCIENT


GRAVES AT THE SITE OF SUTAN NASINOK HARAHAP, BATANG
ONANG SUBDISTRICT, NORTH PADANG LAWAS REGENCY,
NORTH SUMATERA

Naskah diterima: Naskah direvisi: Naskah disetujui terbit:


20-02-2017 28-03-2017 02-04-2017

Nenggih Susilowati
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No.1, Medan 20134
snenggih@yahoo.com

Abstract
Gong musical instrument as an ornamental motif is found on ancient graves at Sutan Nasinok Harahap
Site, Batang Onang Subdistrict, North Padang Lawas Regency, in North Sumatera Province. Sutan
Nasinok Harahap site is an ancient grave complex located on a quite extensive landscape of about ± 7
Ha. The purpose is to find out the reasons for the use of gong decorative motifs and interpret the use of
gong decorative motifs on the ancient graves at the site.The applied method is qualitative research with
ethno-archaeology study. The study was used to interpret more deeply the ogung (gong) relief at the
ancient grave site of Sutan Nasinok Harahap. Comparison with existing ethnographic data is expected
to give a good picture about the meaning of ogung (gong) relief on ancient grave complex at Sutan
Nasinok Harahap Site. The result shows that ogung (gong) relief on the ancient grave complex of Sutan
Nasinok Harahap Site confirms the long journey of utilization of the instrument from the past until now.
Its position on the tombs in particular also reveals that the figures who have been buried had carried out
customary duties such as horja godang during their lives – namely Siriaon (joyous event), Sipareon (to
raise dignity), and even on the occasion of death or Siluluton (sad event) – carried out by their heirs. The
existence of ogung (gong) reliefs and the like can also illustrate that the buried figure is a distinguished
figure and had been given the title of adat king.

Keywords: gong, ancient grave, music, horja godang


Abstrak
Alat musik gong sebagai motif hias terdapat pada kubur kuna di Situs Sutan Nasinok Harahap,
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Situs Sutan
Nasinok Harahap merupakan kompleks kubur kuna yang terletak pada bentang lahan yang cukup luas
sekitar ± 7 Ha. Adapun tujuannya adalah mengetahui alasan pemanfaatan motif hias gong dan
memaknai pemanfaatan motif hias gong pada kubur kuna di situs itu. Metode yang diterapkan adalah
penelitian kualitatif dengan kajian etnoarkeologi. Kajian itu dimanfaatkan untuk memaknai lebih dalam
tentang relief ogung (gong) di kompleks kubur kuna Situs Sutan Nasinok Harahap. Perbandingan
dengan data-data etnografi yang ada, diharapkan dapat memberikan gambaran yang baik tentang
makna relief ogung (gong) pada kompleks kubur kuna di Situs Sutan Nasinok Harahap. Hasilnya relief
ogung (gong) di kompleks kubur kuna Situs Sutan Nasinok Harahap menjadi bukti perjalanan panjang
pemanfaatan alat musik tersebut dari dahulu hingga kini. Posisinya pada bangunan kubur secara khusus
dapat dimaknai bahwa tokoh yang dikuurkan telah melaksanakan kewajiban adat seperti horja godang
semasa hidup (Siriaon/ suka cita), Sipareon (penaik harkat martabat), dan bahkan saat kematian
(Siluluton/ duka cita) yang dilaksanakan oleh ahli warisnya. Keberadaan relief ogung (gong) dan

48 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


sejenisnya juga dapat menggambarkan bahwa tokoh yang dikuburkan adalah tokoh terhormat dan telah
mendapat gelar raja adat.
Kata kunci: gong, kubur kuna, musik, horja godang

1. Pendahuluan Onang dan satu Luat (wilayah adat)


Situs Sutan Nasinok Harahap Gunung Tua Batang Onang.
tepatnya berada di wilayah administratif Secara umum masyarakat
antara Desa Padang Garugur dan Desa Kecamatan Batang Onang, Kabupaten
Gunung Tua Batang Onang, Kecamatan Padang Lawas Utara termasuk Subetnis
Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Batak Angkola atau penutur budaya dan
Utara, Provinsi Sumatera Utara. Wilayah bahasa Batak Angkola. Hal ini diketahui
Kabupaten Padang Lawas Utara terletak dari tampilan budaya, tata cara adat, dan
dekat garis khatulistiwa, sehingga tergolong bahasa yang digunakan oleh masyarakat
ke dalam daerah beriklim tropis, dengan itu. Pendapat Bangun (1983, 94) secara
suhu rata-rata sebesar 25,7⁰C (BPS (a) antropologis wilayah Padanglawas Utara
2015, 1). Ketinggian permukaan daratan juga disebutkan sebagai wilayah budaya
Kabupaten Padang Lawas Utara berada Batak Angkola.
pada 0-1.915 Meter dpl (BPS (b) 2015, 3). Situs Sutan Nasinok Harahap
Lingkungan Desa Padang Garugur merupakan kompleks kubur kuna yang
memiliki wilayah seluas 48,13 km 2 (9,92 %), cukup luas sekitar ± 7 Ha. Kubur-kubur
Desa Gunung Tua Batang Onang memiliki yang ada berupa gundukan tanah yang
wilayah seluas 10 km2 (2,06 %), sedangkan dibatasi dengan batuan-batuan pipih
Desa Gunung Tua Julu memiliki wilayah berdenah segiempat. Batu-batu yang
seluas 19,11 km 2 (3,94 %) dari luas wilayah digunakan sebagian tidak dikerjakan
Kecamatan Batang Onang 485 km 2 (BPS (batuan alam) dan sebagian dikerjakan
2015, 1, 9). Desa Padang Garugur lebih lanjut (diketahui dari jejak pahat batu
merupakan desa yang terluas di berupa cekungan-cekungan dangkal).
Kecamatan Batang Onang, berpenduduk Batuan pipih tersebut sebagian dihiasi
1.052 jiwa dengan 247 RT, Desa Gunung dengan relief dan sebagian polos, sebagian
Tua Batang Onang berpenduduk 506 jiwa juga terdapat pertulisan seperti yang
dengan 114 RT, dan Desa Gunung Tua terdapat pada kubur Sutan Nasinok
Julu berpenduduk 903 jiwa dengan 105 RT Harahap. Pada beberapa sisi kubur kuna
(BPS 2015, 12). Desa Gunung Tua Julu kadang ditempatkan patung-patung
menjadi lokasi studi etnografi tempat sederhana (sejenis patung
pelaksanaan Horja Godang Siriaon. Kedua Pangulubalang). Motif hias reliefnya berupa
desa tersebut masih berada dalam satu motif flora, fauna, geometris, topeng, dan
wilayah administrasi Kecamatan Batang

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 49
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
motif alat musik. Motif alat musik inilah yang berkaitan dengan ogung dan pentingnya
akan dibahas lebih lanjut dalam artikel ini. dalam kehidupan masyarakatnya.
Permasalahan yang diangkat dalam
2. Metode
tulisan ini adalah mengapa alat musik gong
Metode yang diterapkan adalah
dipilih dan digunakan sebagai motif hias
penelitian kualitatif dengan kajian
pada kompleks kubur kuna di Situs Sutan
etnoarkeologi. Logika yang dilakukan
Nasinok Harahap bersama dengan motif
dalam penarikan kesimpulan penelitian
hias lainnya ?. Makna apa yang terkandung
kualitatif bersifat induktif, seperti
dalam motif hias tersebut ?. Adapun
dikemukakan Faisal (dalam Bungin 2003,
tujuannya adalah mengetahui alasan
68-9), yaitu: dalam penelitian kualitatif
pemanfaatan motif hias gong dan
digunakan logika induktif. Suatu logika yang
memaknai pemanfaatan motif hias alat
bertitik tolak dari ”khusus ke umum”; bukan
musik gong pada kubur kuna di situs itu.
dari ”umum ke khusus” sebagaimana dalam
Untuk mencoba memahami kreasi
logika deduktif. Antara kegiatan
seniman di suatu situs, tentu tidak dapat
pengumpulan data dan analisis data tak
dilepaskan dari budaya yang melatar
mungkin dipisahkan satu sama lain,
belakangi kehidupan masyarakatnya,
berlangsung secara simultan dan
mengingat latar belakang budaya
serempak.
merupakan kunci utama dalam usaha
Penalaran induktif berawal dari
pemahaman makna suatu seni (Sulistyanto
kajian terhadap data yang dapat
1989, 32). Konteks lingkungan alam dan
memberikan suatu kesimpulan yang
budaya menjadi bagian penting yang
bersifat umum atau generalisasi empiris
melatar belakangi hadirnya seni di masa
setelah melalui proses tahap analisis data.
lalu, kemudian diwariskan kepada generasi
Data tersebut dideskripsikan untuk dapat
kini. Perbandingan dengan budaya yang
menggambarkan suatu fakta atau gejala
ada kini menjadi bahan rujukan untuk
yang diperoleh dalam penelitian, dengan
menguraikan makna yang tersembunyi
mengutamakan kajian data untuk
dibalik suatu hasil karya seni, karena ada
menemukan suatu hubungan antara suatu
benang merah yang menghubungkan
gejala dengan gejala lainnya dalam
antara masa lalu dan masa kini. Oleh
kerangka bentuk, ruang, dan waktu
karena itu perbandingan dengan
(Tanudirjo 1989, 34).
menggunakan data etnografi yang terdapat
Kajian Etnoarkeologi adalah suatu
di Desa Gunung Tua Julu, Kecamatan
cabang studi arkeologi yang memanfaatkan
Batang Onang menjadi bagian penting
data etnografi sebagai analogi untuk
dalam upaya mengetahui berbagai hal yang
membantu memecahkan masalah-masalah
arkeologi (Sukendar dalam Wibowo 2015,

50 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


17). Kemudian Schiffer (Tanudirjo 2009, 3) perkebunan sawit, di selatan perkebunan
menyebutkan etnoarkeologi adalah kajian karet, dan di bagian barat perkebunan karet
tentang budaya bendawi dalam sistem dan Kantor Balai Penelitian Pertanian.
budaya yang masih ada untuk Kubur Sutan Nasinok Harahap
mendapatkan informasi, khusus maupun dikenal karena pada salah satu batunya
umum, yang dapat berguna bagi penelitian terdapat petulisan dan kubur ini sudah
arkeologi. diberi bangunan pelindung oleh ahli
Kajian itu dimanfaatkan untuk warisnya. Bangunan pelindung
memaknai lebih dalam tentang relief ogung menggunakan pagar besi, tiang beton
(gong) di kompleks kubur kuna Situs Sutan semen, dan atap seng. Di sekitarnya
Nasinok Harahap. Perbandingan dengan terdapat kubur-kubur kuna lain dengan
data-data etnografi yang ada, diharapkan beragam ukuran. Kubur-kubur kuna yang
dapat memberikan gambaran yang baik ada berbentuk gundukan tanah yang
tentang makna relief ogung (gong) pada dibatasi dengan pagar batu-batu pipih
kompleks kubur kuna di Situs Sutan berukuran kecil, sedang, dan besar. Batu-
Nasinok Harahap. Untuk mendapatkan batu yang digunakan sebagian tidak
data-data etnografi yang menunjang dikerjakan (batuan alam), sebagian
analisa dan pembahasan dilakukan dengan menunjukkan adanya pengerjaan lebih
pengamatan dan wawancara. Informan lanjut yang dikenali dari jejak-jejak alat
adalah orang yang mengetahui tentang pahatnya berupa cekungan-cekungan
adat dan berperanan dalam Horja Godang dangkal. Sebagian berrelief dengan ragam
di Desa Gunung Tua Julu, Kecamatan motif hias dan sebagian tidak berrelief.
Batang Onang. Adapun batuan yang berrelief jelas
menggambarkan adanya hasil karya
3. Hasil dan Pembahasan
manusia.
3.1. Hasil
Kubur Sutan Nasinok Harahap
Alat musik sebagai motif hias
dikenali karena terdapat batu penanda di
terdapat pada kubur kuna ditemukan di
bagian timur dan barat. Di bagian timur
Situs Sutan Nasinok Harahap, Desa
terdapat batu dengan relief dua ekor burung
Gunung Tua Batang Onang, Kecamatan
yang berhadapan, motif sulur dan
Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas
pertulisan beraksara Batak yang
Utara, Provinsi Sumatera Utara. Situs
menyebutkan nama “Sutan Nasinok
Sutan Nasinok Harahap merupakan
Harahap” (Nasoichah dkk. 2016, 23).
kompleks kubur kuna yang terletak pada
Sederet dengan batuan dengan pertulisan
bentang lahan yang cukup luas. Areal
tersebut di bagian utaranya terdapat batu
kompleks kubur kuna ini sekitar 5 ha. Di
berukuran lebih kecil dengan motif hias alat
bagian utara merupakan perrbukitan, timur

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 51
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
musik, dan juga batu dengan pertulisan berdiameter 33 cm, lingkaran dalam
yang kondisinya sebagian besar tertanam berdiameter 10 cm. Jenis reliefnya adalah
dalam tanah. Kemudian di bagian barat relief tipis seperti goresan (lihat Gambar 1).
terdapat batuan pipih berbentuk hampir Tidak jauh dari kubur Sutan
segitiga dengan relief sulur-suluran. Nasinok Harahap terdapat kubur kuna lain.
Kubur kuna ini telah beberapa kali Kubur-kubur lain di sekitarnya cukup
ditimbun tanah untuk meninggikan banyak dan memiliki ciri yang hampir sama
gundukannya. Hal ini terlihat pada pagar yaitu berupa gundukan tanah dengan
batu yang disusun berlapis-lapis. Sebagian pembatas berupa batuan pipih. Pada
batuan sudah dicat warna putih yang beberapa kubur yang berada di bagian
dilakukan oleh sebagian peziarah yang timur dari kubur Sutan Nasinok Harahap,
datang ke lokasi itu (Nasoichah 2016, 22). diantaranya menggunakan batuan pipih
Salah satu motif hias alat musik itu dengan pahatan relief dan ada yang polos.
dipahatkan pada batu berbentuk pipih Bagian yang berelief berada di bagian
lonjong yang kini sebagian terbenam ke timur, barat, dan ada juga di bagian utara.
tanah. Motif hias tersebut dipahatkan pada Melihat kondisi kubur-kubur batu tersebut
bagian tengah batu itu dengan pahatan menunjukkan bahwa bagian yang penting
yang tipis berupa bulatan besar dan di berada pada orientasi timur-barat. Hal ini
bagian tengahnya ada bulatan kecil, ditunjukkan oleh salah satu kubur yang raya
berbentuk seperti alat musik ogung (gong). dengan hiasan relief, bagian batuan pipih
Batu pipihnya jelas menunjukkan adanya yang raya reliefnya berada di bagian barat,
pengerjaan tangan manusia dengan jejak dibandingkan dengan yang terdapat di
pahatan yang terlihat kasar berupa utara. Sedangkan pada kubur-kubur lain
cekungan-cekungan tipis pada permukaan juga demikian yang terdapat hiasannya di
batuannya. Adapun ukuran batunya lebar timur atau barat, atau kedua arah timur-
36 cm, tinggi 41 cm, tebal 11 cm, kemudian barat.
bagian hiasannya lingkaran luar Relief yang dipahatkan motifnya
beragam, ada manusia, (kepala manusia
berbadan ikan -motif ini juga digunakan
pada parhalaan (pertanggalan) bambu -
bagian kepala memiliki rambut
bergelombang menyerupai bentuk
matahari dengan lidah api dan juga bentuk
sudut bintang/ tumpal), motif flora (sulur-
suluran, kelopak bunga, pucuk manggis),
Gambar 1. Relief ogung pada kubur kuna jenis fauna (cecak, kera, muka kera),
Sutan Nasinok Harahap (dok. Penulis, 2016)

52 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


topeng dengan mata melotot, serta motif- terdapat relief lain yang tipis dengan motif
motif geometris seperti pada rumah adat hias kepala manusia berbadan ikan dengan
Batak (tumpal, spiral/ tali, garis-garis tangan diangkat ke atas seolah menyangga
vertikal dan horizontal). Salah satu batu alat musik itu. Di bagian bawahnya terdapat
dikenali menggunakan motif hias alat musik goresan yang mirip pertulisan.
berbentuk ogung (gong), posisinya
bersebelahan dengan batuan dengan relief
cecak (Nasoichah 2016, 27). Adapun
ukuran batuannya lebar 50 cm, tinggi 65
cm, tebal 15 cm, bagian hiasan lingkaran
luar berdiameter 40 cm, dan lingkaran
dalam berdiameter 5 cm. Jenis reliefnya
adalah relief tebal (lihat Gambar 2).
Gambar 3. Relief ogung (gong) pada kubur
kuna di bagian timur laut kubur Sutan
Nasinok Harahap (dok. Balar Sumut 2016)

Kemudian batuan lain dalam posisi


rebah bentuknya segiempat dengan motif
hias gong berukuran tinggi 54 cm, lebar 39
cm, tebal 9 cm, bagian hiasan lingkaran luar
berdiameter 20 cm, dan lingkaran dalam
berdiame ter 4,5 cm. Jenis reliefnya adalah
Gambar 2. Relief ogung (gong) dan relief relief sedang (lihat Gambar 4). Menilik
cicak pada kubur kuna
di bagian timur kubur Sutan Nasinok Harahap bentuk dan ukuran bebatuan yang
(dok. Balar Sumut 2016)
digunakan diketahui bahwa dalam sebuah
Tidak jauh dari deretan batu kuna
kubur umumnya menggunakan batuan
tersebut terdapat kubur lain dengan deretan
pipih yang terbentuk oleh alam maupun
batu yang diantaranya terdapat motif hias
buatan manusia. Batuan yang bentuknya
alat musik ogung (gong) dalam posisi satu
masih berdiri dan yang lainnya dengan
posisi rebah (Nasoichah 2016, 31-2). Batu
pipih dengan motif hias gong itu berukuran
tinggi 40 cm, lebar 32 cm, tebal 8 cm,
bagian hiasan lingkaran luar berdiameter
23 cm, lingkaran tengah berdiameter 16
cm, dan lingkaran dalam berdiameter 5 cm.
Jenis reliefnya adalah relief tebal (lihat Gambar 4. Relief ogung pada batuan dengan
posisi rebah (dok. Balar Sumut 2016)
Gambar 3). Pada bagian bawah relief itu

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 53
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
hampir segiempat menggambarkan adanya gaba/ gapura, senjata dan payung adat),
karya manusia, ada juga batuan yang makkobar/ martahi (sidang adat),
awalnya bulat kemudian agak dipipihkan margondang (membunyikan gendang),
yang diketahui dari jejak alat pahat berupa manortor (menari tor-tor), serta
cekungan-cekungan dangkal, seperti yang penyembelihan kerbau. Margondang
dijumpai di kubur Sutan Nasinok Harahap. adalah menabuh gondang saraban yaitu
Ada juga yang memanfaatkan batuan alam seperangkat alat musik (uning-uningan),
yang bentuknya agak pipih secara sebagian besar berupa alat musik perkusi
langsung. Pada satu kubur agaknya tidak yang terdiri dari dua gondang topap/
menggunakan batuan dalam bentuk tunggu-tunggu dua (sepasang gendang),
khusus, melainkan bervariasi bentuk, dua ogung (sepasang gong), satu ogung
ukuran, dan hiasannya. (gong tunggal), satu mongmongan (gong
Relief ogung (gong) menjadi daya kecil), satu doal (bentuknya lebih kecil),
tarik tersendiri karena alat musik ini hingga satu talempong (susunan 6 doal), sepasang
sekarang menjadi bagian penting dari sasayat (tali sayak), ditambah suling
pesta–pesta adat yang dilaksanakan oleh (Informan: Paronang-onang).
subetnis Batak Angkola hingga kini, Alat musik tersebut terutama
khususnya bagi masyarakat Batang Onang. dimainkan pada saat mengantar pengantin
Alat musik itu digunakan pada pesta adat menuju ke galanggang, dan pada acara
besar atau Horja godang Siriaon (kelahiran manortor, dan mengiringi pengantin menuju
anak, memasuki rumah baru, perkawinan), ke tapian raya bangunan. Hanya saja saat
Horja godang Sipaleon (pesta dalam ke tapian raya bangunan hanya diiringi
menaikkan derajat dalam status sosial di dengan dua gondang topap dan satu doal.
masyarakat), maupun Horja godang Sebelumnya ada acara makkobar di
Siluluton (kematian). galanggang, alat musik yang digunakan
hanya mongmongan (gong kecil)
3.2. Pembahasan
(Susilowati 2016, 56). Juga dikenal tawak-
3.2.1. Alat Musik sebagai Pelengkap
tawak (sejenis gong yang bentuknya besar
Horja Godang (Pesta Adat Besar)
dan tebal) yang dibunyikan terus-menerus
Alat musik menjadi unsur penting
pada pesta adat kematian (horja siluluton)
dalam kegiatan horja godang/ pesta adat
(Tinggibarani & Hasibuan 2013, 78).
besar bagi subetnis Batak Angkola,
Adapun gong yang berukuran besar
khususnya masyarakat Batang Onang
dibunyikan untuk menyambut kedatangan
hingga kini. Salah satunya horja godang
tamu.
adalah pesta adat perkawinan yang
Antara ogung (gong),
ditandai dengan pemasangan simbol-
mongmongan, doal, talempong dan tawak-
simbol adat (bendera, rompayan, gaba-

54 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


sedangkan sasayat (bentuknya kecil dan
tipis, diikatkan pada satu tali) dan dipegang
oleh pemusiknya.
Pada acara makkobar alat musik
mongmongan (gong kecil) digunakan oleh
paralok-alok untuk memberi tanda pada
Gambar 5. Mongmongan (gong kecil) tiap-tiap sesi percakapan meminta
(dok. Penulis)
pendapat antara paralok-alok dengan Raja
tawak memiliki persamaan bentuk yaitu yang ditunjuk untuk bicara pada saat itu.
berbentuk bulat dengan bagian tengah Mongmongan dipukul satu kali pada awal
cembung/ menonjol, sedangkan dan akhir setiap paralok-alok
perbedaannya hanya terletak pada ukuran bersenandung untuk meminta Raja bicara.
dan cara meletakkan/ menggantungnya Kemudian setelah selesai Raja berbicara,
(lihat Gambar 5). Karena bentuknya besar alat musik tersebut dipukul satu kali hingga
maka ogung dan tawak-tawak biasanya tiga kali tergantung kedudukan Raja-Raja
digantungan pada kayu penyangga, saat itu. Mongmongan dipukul tujuh kali
sedangkan mongmongan dan doal cukup untuk Raja Panusunan Bulung sebagai
dipegang oleh penabuhnya (lihat Gambar 6 pemimpin makkobar itu (Susilowati 2016,
& 7). Adapun talempong yang terdiri dari 6 144).
doal diletakkan rebah pada kayu, Pada makkobar nama alat musik
juga disebutkan dalam pembicaraan.
Seperti cuplikan pembicaraan Baginda
Sinondang (Raja Gunung Tua Godang)
sebagai Raja Bona Bulu membalas kata
paralok-alok yang artinya sebagai berikut:
“Di bawalah ini ke rumah namborunya
(saudara perempuan dari ayah). Kamu seperti
Gambar 6. Mongmongan yang digunakan melihat dari langit, pengantin laki-laki juga anak
dalam acara makkobar (dok. Penulis 2016) gadis yang dinikahkan, katanya akan di bawa ke
Tapian Raya Bangunan, agar dipangir marpale-
pale, yang berpangirkan jeruk Mukkur,
menjemput tuah dan hagabe, meminta doa
panjang umur. Di sore hari kalau sudah datang
tingonion dari kakek kita yang sebelumnya
(leluhur), itulah tunggu-tunggu dua, harus ada
pesta di tengah malam, supaya mangalolong
anak raja juga mereka yang disembah di
gelanggang Siotangon ini” (Susilowati 2016,
117).

Gambar 7. Dua Ogung (gong)


Cuplikan perkataan Raja Torbing
(dok. Penulis 2016) Balok dari Sayur Matinggi, Maujalo

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 55
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
Harahap bergelar Sutan Maujalo membalas Kemudian pengantin dikeluarkan dari
kata paralok-alok artinya sebagai berikut: rumah, diiringi musik yang terus dimainkan
“Kalau seperti ini sudah cukup syarat menuju ke galanggang siriaon (gelanggang
dan rukunnya bagaimana kalau kita pergi ke
Gunung Tua, kebetulan kita lihat ada di situ suka cita). Sesampainya di galanggang
belalai (bendera dengan simbol gajah), pengantin kembali dinasehati sebelum
bagaimana menurutku ini tidak ada salahnya
kita sapa tunggu-tunggu dua ataupun kita acara manortor dimulai. Lalu pengantin
panggil bayo paile-ile (paralok-alok)” (Susilowati
2016, 122). didudukkan menyaksikan acara manortor

Tunggu-tunggu dua adalah sampai pagi hari (Susilowati 2016, 57).

sebutan untuk dua pasang gondang atau Pada acara manortor itulah alat musik

menyebut seperangkat alat musik yang mempunyai peranan yang banyak untuk

menyertakan dua pasang gondang/ mengiringi orang-orang yang manortor (tari

gendang yaitu Gondang Tunggu-tunggu tor tor) dalam rangkaian memberi restu dan

dua. Perangkatnya sama dengan Gondang mendoakan kebahagiaan pasangan

Saraban. Alat musik tersebut digunakan pengantin itu.

dalam margondang (menabuh gondang) Selanjutnya keesokan harinya

pada suatu pesta adat. Adapun bayo paile- terdapat acara mamangir, pengantin diarak

ile/ paralok-alok adalah pembawa acara dari rumah ke tapian raya bangunan diiringi

yang bertugas mengarahkan jalannya tarian marmoncak oleh parmoncak sebagai

persidangan dengan bersenandung pembuka jalan yang dilengkapi dengan

melantunkan pantun (Informan: Raja senjata pedang dan tombak untuk menjaga

Pangundian). Bayo paile-ile/ paralok-alok iring-iringan itu. Perjalanan rombongan itu

merupakan bagian dari paronang-onang juga diiringi musik dan lantunan syair oleh

(kelompok penabuh musik). paronang-onang yang berjalan di belakang

Setelah kedua makkobar itu rombongan, berupa gondang topap/

berakhir, maka acara berikutnya gondang tunggu-tunggu dua, dan doal.

menurunkan pengantin ke galanggang Setelah sampai di tapian raya

siriaon atau panortoran (paturun pengantin bangunan pengantin didudukkan dan

tu galanggang). Diawali dengan manortor di dilaksanakan mamangir (memercikkan air

dalam rumah oleh kelompok bapak-bapak ke kepala pengantin menggunakan daun

dan ibu-ibu pihak Suhut, Kahanggi, Raja dingin-dingin) kemudian para raja memberi

Pamusuk dan Raja Pangundian di depan nasehat secara bergantian kepada

Raja Panusunan Bulung, Raja (Banir) pengantin itu. Kemudian pengantinnya

Paronding-ondingan, dan Hatobangon. diarak lagi ke galanggang siriaon dengan

Lalu pengantin dinasehati oleh Raja iring-iringan musik dari paronang-onang

Panusunan Bulung, Raja (Banir) dan parmoncak. Sesampainya di

Paronding-ondingan, dan Hatobangon. galanggang kedua pengantin manortor

56 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


adik laki-lakinya yang dilaksanakan saat
akhir makkobar maralok-alok di
gelanggang.
Di dalam adat Batak Angkola
khususnya di Kecamatan Batang Onang ini
tidak hanya pada horja godang yang
berkaitan dengan perkawinan yang
menggunakan perangkat alat musik, tetapi
Gambar 8. Manortor oleh pihakSuhut dan
kahanggi (dok. Penulis, 2016) juga pada horja godang lainnya. Seperti
pada horja godang saat kelahiran anak,
mendirikan rumah, menaikkan status
sosial, maupun pada kematian dan
mangokal holi (mengggali tulang). Horja
godang ditandai dengan simbol-simbol adat
(bendera, rompayan, gaba-gaba/ gapura,
senjata dan payung adat), kegiatan
martahi/ makkobar (sidang adat),
Gambar 9. Manortor oleh Raja-raja saat margondang (membunyikan gendang), dan
Horja Siriaon (dok. Penulis, 2016) manortor, serta penyembelihan kerbau.
dengan tor-tor pamunan sele-sele (minta Saat manortor inilah alat musik dibunyikan
izin kepada keluarga) (Informan: Paronang- untuk mengiringi orang- orang yang menari
onang). Tor-tor dilakukan di atas tikar tor-tor (lihat Gambar 8 & 9).
hambi tolu diiringi musik dari paronang- Manortor lebih dari sekedar menari
onang. karena mengandung falsafah adat. Tor-tor
Gambaran pesta adat di atas dalam penampilannya mempunyai
menunjukkan bahwa .alat musik sangat pasangan, di depan yang disebut na
berperanan dalam setiap sesi rangkaian manortor memakai abit/ ulos, dan yang
kegiatannya. Bunyi ritmis yang dihasilkan dibelakangnya adalah si pelindung yang
selain menambah semarak acara, disebut pangayapi memakai kopiah/ detar
menandai pergantian sesi bicara dalam dan sicaping (kain plekat yang dibelitkan di
makkobar, juga memberi nuansa sakral pinggang/ kain sarung). Dalam manortor,
dalam manortor, dan menjadi simbol horja keduanya Panortor dan Pangayapi harus
godang (pesta adat besar) yang tertib dan sopan, gerak-gerik dan
diselenggarakan. Apalagi pada pesta ini pandangan mata harus teratur (domom)
juga sekaligus sebagai acara pemberian (Tinggibarani & Hasibuan 2013, 81, 86).
gelar raja adat untuk pengantin laki-laki dan

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 57
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
Musik juga dibunyikan saat masyarakat Batang Onang dari dahulu
kematian (siluluton). Mula-mula Hasuhuton hingga sekarang, sehingga dipilih sebagai
(tuan rumah) mengumpulkan perangkat motif relief. Ogung (gong) beserta
adat dan keluarga seperti Hatobangon, perangkat lainnya terutama difungsikan
Harajaon, dan Dalihan Natolu di dalam dalam manortor, mongmongan (gong kecil)
huta/ desa. Kemudian dilaksanakan pada makkobar dan doal difungsikan dalam
makkobar/ martahi (sidang adat), apabila mamangir, serta tawak-tawak difungsikan
pihak suhut melaksanakan Horja godang untuk menandai dukacita/ kematian
Siluluton maka disertai perlengkapan (siluluton). Keberadaan relief tersebut
seperti Abit/ Ulos, bendera adat, secara umum dapat menggambarkan
menyiapkan hombung (peti) dan Roto bahwa musik menjadi bagian dari pesta
(keranda), menyiapkan kerbau dan tempat adat besar (horja godang) dalam tahapan
penyembelihannya, juga menggantung kehidupan, bagian budaya masyarakatnya.
tawak-tawak dan dibunyikan terus-menerus
3.2.2. Alat Musik Bagian dari Tradisi
(Tinggibarani & Hasibuan 2013, 78-9).
Lama yang Lestari
Terutama musik dibunyikan untuk
Alat musik yang digunakan dalam
mengiringi manortor sebagai bentuk
relief menilik bentuknya dikenali sebagai
penghormatan terakhir kepada si mati.
ogung (gong) dan sejenisnya seperti
Misalnya Tor-tor Somba ni Siluluton
mongmongan (gong kecil), tawak-tawak
dilaksanakan oleh ahli waris yang terdekat,
(sejenis gong yang bentuknya besar dan
famili, dan orang yang melayat. Tor-tor ini
tebal), doal (bentuknya lebih kecil),
dilaksanakan oleh keturunan untuk mohon
talempong (susunan 6 doal), dan sepasang
ampun dan mohon ditinggalkan segala
sasayat (tali sayak). Nama–nama itu
kesaktian dan keagungan untuk diwariskan
merupakan sebutan untuk jenis alat musik
kepada keturunan (Tinggibarani &
oleh masyarakat Batang Onang- Padang
Hasibuan 2013, 85). Manortor dan
Lawas Utara khususnya, dan subetnis
margondang kini tidak dilaksanakan oleh
Batak Angkola pada umumnya. Alat musik
masyarakat Batang Onang, walaupun Horja
ini memiliki bentuk yang sama yaitu bulat
Siluluton masih dilaksanakan hingga kini,
dengan bagian tengah cembung (menonjol)
tetapi pelaksanaannya disesuaikan dengan
tetapi berbeda ukuran. Adapun bahannya
ajaran Agama Islam yang diyakini
tembaga atau kuningan sehingga berwarna
masyarakatnya.
kuning keemasan. Bagian yang dipukul
Tergambar jelas bahwa alat musik
adalah bagian tengahnya yang menonjol
ogung (gong) dan sejenisnya merupakan
menggunakan tongkat kayu pendek yang
alat musik yang penting dalam kehidupan
dibalut karet atau kain, kecuali sasayat
subetnis Batak Angkola khususnya
yang dibunyikan dengan menggesek atau

58 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


Gambar 11. Gondang untuk mengiring
Gambar 10. Gondang tunggu-tunggu dua pengantin ke Tapian Raya Bangunan
(dok. Penulis, 2016) (dok. Penulis, 2016)

menepukkan keduanya. Ogung (gong) dan Jenis alat musik perkusi dibedakan
sejenisnya dikenali sebagai alat musik menjadi dua golongan yaitu ideofon dan
perkusi (pukul), atau juga dikenal sebagai membranofon. Ideofon adalah alat musik
alat musik ritmis (alat musik yang tidak yang sumber bunyinya berupa bahan dari
bernada). Alat musik tersebut digunakan alat musik itu sendiri, sedangkan
bersama-sama alat musik perkusi lainnya membranofon adalah alat musik yang
gondang topap/ gondang tunggu-tunggu sumber bunyinya berupa membran atau
dua dalam seperangkat Gondang Saraban. selaput kulit (Ferdinandus 1994, 177).
Secara umum antara Batak Ogung (gong) dan sejenisnya
Angkola- Mandailing mengenal (mongmongan, tawak-tawak, doal,
seperangkat alat musik yang sama, namun talempong, dan sepasang sasayat
memiliki kecenderungan menggunakan termasuk kelompok alat musik ideofon,
jumlah gendang yang berbeda dalam sedangkan gondang topap/ gondang
kegiatan horja godang. Masyarakat tunggu-tunggu dua termasuk golongan
Angkola cenderung menggunakan dua membranofon.
buah gondang yang disebut gondang topap Alat musik perkusi yang telah ada
atau gondang tunggu-tunggu dua (lihat di Nusantara sejak masa prasejarah
Gambar 10 & 11). Batak Toba lima buah dengan ditemukannya nekara perunggu di
gondang, dan masyarakat Mandailing berbagai tempat. Nekara memiliki bentuk
cenderung menggunakan sembilan buah yang mirip dengan gendang sekarang
yang berukuran besar dan disebut dengan namun menggunakan bahan perunggu.
Gordang Sambilan. Tinggibarani & Selain nekara juga dikenal moko yang
Hasibuan (2013, 89) menyebutkan bahwa banyak dijumpai di wilayah bagian timur
Gordang Sambilan oleh masyarakat Nusantara dengan bentuk yang lebih kecil
Angkola dikenal dengan sebutan Tabu dari nekara. Adapun bentuk gong dan
Sitaroktok ni Tano. sejenisnya adalah wujud perkembangan

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 59
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
alat musik berbahan logam di Nusantara. Di di Padang Lawas Utara terutama berkaitan
Jawa dan Sumatera alat musik makin kubur kuna yang menggunakan papan-
berkembang seiring penyebaran agama papan batu yang menjadi salah satu ciri
Hindu-Buddha mengingat bentuknya budaya megalitik. Budaya megalitik sendiri
diabadikan pada relief candi. Bentuk perkembangannya beragam di berbagai
gendang diantaranya dikenali pada relief daerah mulai dari masa prasejarah hingga
Candi Borobudur, Jawa Tengah sekitar masa sejarah, seiring dengan kemampuan
abad ke-9 dan Biaro Tandihat I, dan keinginan masyarakat dalam menyerap
Padanglawas, Sumatera Utara sekitar abad unsur budaya yang datang dari luar atau
ke- 11-14 M (Restiyadi 2014, 4). Adapun tetap mempertahankan local geniusnya.
bentuk gong diketahui terdapat pada relief Relief gong sekonteks dengan
Candi Kedaton, Jawa Tengah dan Candi patung-patung sederhana (sejenis patung
Penataran, Jawa Timur sekitar abad ke- 14 Pangulubalang), dan relief lain seperti
Masehi (lihat Gambar 9 - Kunst 1977, fig. manusia (kepala manusia berbadan ikan),
58, 59). flora (sulur-suluran, kelopak bunga, pucuk
manggis), jenis fauna (cecak, kera), topeng
dengan mata melotot, serta motif-motif
geometris (tumpal, spiral/ tali, dan garis).
Motif-motif tersebut dikenal sebagai motif
tradisional pada bangunan rumah adat,
pustaha lak-lak, parhalaan (pertanggalan)
bambu yang identik dengan kepercayaan
lama (Sipelebegu) berkaitan dengan roh
Gambar 12. Relief Candi Penataran (14 M)
(Kunst 1977, fig. 58) leluhur. Selanjutnya keberadaan ogung

Relief-relief di atas (gong) dan sejenisnya yang digunakan

menggambarkan bahwa alat musik perkusi hingga kini menggambarkan perjalanan

seperti gendang dan gong digunakan untuk panjang sejarah budayanya.

melengkapi upcara Hindu-Buddha sejak Ogung (gong) dan sejenisnya

masa Klasik sekitar abad ke- 9, 11- 14. Data merupakan bagian dari pesta adat atau

tentang perkembangan gong di luar area upacara tradisional yang diselenggarakan

percandian ditemukan pada kompleks oleh subetnis Batak Angkola, khususnya

kubur kuna Situs Sutan Nasinok Harahap di masyarakat Batang Onang- Padang Lawas

Desa Gunung Tua Batang Onang, Utara dari dahulu hingga kini. Keberadaan

Kecamatan Batang Onang, Padang Lawas artefak berupa relief batu yang digunakan

Utara Hal ini menarik bahwa gong juga pada kubur kuna di Situs Sutan Nasinok

menjadi bagian dari budaya Batak Angkola Harahap menggambarkan pentingnya alat

60 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


musik ini di masa lalu. Pemanfaatannya menandai pergantian pembicara dan
hingga kini menggambarkan bahwa alat menandai siapa yang menjadi pucuk
musik tersebut tetap menjadi bagian pimpinan dalam sidang.
penting dalam kesenian masyarakat Alat musik perkusi dibunyikan
terutama dalam pelaksanaan horja godang secara lengkap ketika mengiringi pengantin
/ pesta adat besar yang diselenggarakan. untuk menuju galanggang siriaon untuk
Alat musik perkusi menjadi simbol dalam mengikuti acara manortor (menari tor-tor)
percakapan pada acara makkobar yang dan menuju Tapian Raya Bangunan untuk
menandai adanya horja godang/ pesta adat mamangir (memercikkan air ke kepala
besar yang digelar masyarakat atau pengantin menggunakan daun dingin-
keluarga raja. Pesta besar juga ditandai dingin). Pada acara manortor (menari tor-
dengan penyembelihan kerbau sebagai tor) peran alat musik sangat besar dalam
syarat acara tersebut. mengiringi setiap tarian dan secara lengkap
Alat musik perkusi dimainkan dibunyikan. Gondang saraban yang terdiri
untuk menghasilkan suatu bunyi dengan dari gondang tunggu-tunggu dua (dua
ritme yang monoton, sehingga disebut juga gondang/ gendang), dua ogung/ gong, satu
sebagai alat musik ritmis. Di dalam mongmongan (gong kecil), sepasang
makkobar pada suatu pesta adat besar sasayat/ tali sayak, tawak-tawak, satu doal
(Horja Godang) alat musik mongmongan kecil, satu talempong dan suling mengiringi
atau doal (di Mandailing) dibunyikan untuk tarian tor-tor yang gerakannya terkesan
menandai waktu bicara atau giliran bicara monoton. Tarian dan musiknya merupakan
dari paralok-alok ke raja-raja adat yang satu kesatuan sebagai bentuk restu
hadir dalam acara tersebut. Alat musik itu keluarga, kerabat, tetangga, dan raja-raja,
melengkapi perkataan yang sekaligus doa kebahagiaan kepada
disenandungkan paralok-alok, dan pasangan pengantin apabila
menandai giliran atau status raja-raja yang diselenggarakan dalam upacara
duduk dalam makkobar (sidang adat) saat perkawinan adat.
itu. Selesai raja-raja berpendapat maka Keberadaan relief musik sebagai
mongmongan akan dipukul satu, tiga, atau motif hias bukan tanpa alasan, mengingat
tujuh kali sesuai statusnya. Untuk Raja perangkat alat musik menjadi bagian
Panusunan Bulung dipukul tujuh kali karena penting dalam kehidupan masyarakat dari
statusnya sebagai pimpinan makkobar. dahulu hingga kini. Alat musik ogung (gong)
Paralok-alok tidak memukul sendiri alat dan sejenisnya berkaitan dengan acara
musik itu tetapi didampingi oleh margondang yang menjadi salah satu tanda
anggotanya. Secara tidak langsung alat dilaksanakan horja godang (pesta adat
musik ini menjadi sarana komunikasi yang besar). Bila margondang digelar artinya ada

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 61
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
manortor. Motif tersebut juga menjadi pemberitahuan bahwa ada anggota
simbol bahwa yang dikuburkan sudah masyarakat yang berduka cita yang akan
melaksanakan horja godang dalam siklus menyelenggarakan Horja Godang
kehidupannya ketika masih hidup (Horja Siluluton. Kemudian di dalam horja godang
Siriaon/ Pesta adat sukacita). Mengingat itu dilakukan manortor yang diiiringi dengan
ada beberapa tahapan horja godang yang seperangkat alat musik Gondang Saraban.
harus dilaksanakan oleh seseorang dalam Gondang Saraban yang terdiri dari
hidupnya seperti kelahiran anak, memasuki beragam alat musik perkusi ideofon (ogung/
rumah baru, perkawinan, bahkan gong dan sejenisnya) dan membranofon
menaikkan status sosial seperti pemberian (gondang/ gendang) dilengkapi dengan alat
nama gelar Raja adat (Sipareon). musik tiup terutama digunakan untuk
Contohnya: pertulisan aksara mengiringi manortor. Apabila disebutkan
Batak yang menyebut nama “Sutan suatu persta adat mengadakan
Nasinok Harahap” pada salah satu kubur margondang artinya juga disertai manortor.
(Nasoichah 2016, 23). Tokoh yang Bunyi yang dihasilkan perangkat alat musik
dikuburkan tersebut sudah mendapat nama tersebut sesuai dengan gerakan manortor
gelar Sutan. Nama gelar yang digunakan (tari tor-tor) yang cenderung monoton (tidak
hingga kini oleh masyarakat Padang Lawas banyak pergantian gerakan), sehingga
Utara adalah Sutan (Sutan Kumalo Bulan, alunan musiknya disebut sebagai musik
Sutan Sualoon, Sutan Sori Muda, Sutan sakral. Alunan musik Gondang Saraban
Maujalo), Baginda (Baginda Oloan Muda, (margondang) maupun tari tor-tor
Baginda Daila Sari) yang diketahui melalui (manortor) memiliki falsafah adat yang
nama-nama tokoh raja yang duduk dalam tinggi, seperti somba (sembah) yang berarti
acara makkobar maralok-alok pada salah penghormatan, atau bentuk restu keluarga,
satu pesta adat perkawinan di Gunung Tua kerabat, tetangga, dan raja-raja.
Julu, Kecamatan Batang Onang- Padang Tor-tor somba pamuli sibaso, yaitu
Lawas Utara. tor-tor yang dilaksanakan oleh Suhut
Analogi lainnya adalah ahli waris Sihabononan secara bersama-sama,
dari tokoh yang dikuburkan di Situs Sutan diayapi oleh Anakboru. Tor-tor ini gaya dan
Nasinok Harahap sudah geraknya semakin lama semakin serius
menyelenggarakan horja godang Siluluton dengan kaki menghentak-hentak sampai
yaitu pesta adat besar berkaitan dengan ada yang trance (tidak sadarkan diri dan
kematian tokoh yang dikuburkan. Diketahui kerasukan roh). Melalui orang tersebut
bahwa alat sejenis ogung yaitu tawak- (yang dipercaya kerasukan roh leluhur)
tawak juga dibunyikan ketika terjadi keluar ramalan yang menyebutkan kondisi
kematian, fungsinya sebagai

62 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


masa depan orang yang membuat horja itu mempengaruhi jiwa seseorang
(Tinggibarani 2013, 83). (Ferdinandus 1995, 216 dalam Susilowati
Dahulu perangkat alat musik 2000, 60). Kini karena pengaruh agama
Gondang Tunggu-tunggu dua maupun Islam peran tokoh Sibaso atau tor-tor yang
Gordang Sambilan (di Mandailing) juga berkaitan dengan roh leluhur berangsur
digunakan untuk mengiringi tor-tor yang ditinggalkan, sehingga iringan musik dan
dilakukan oleh Sibaso (dukun), dan manortor yang dilakukan juga tidak sampai
iramanya mampu menimbulkan trance trance, namun suasana khidmat dan sakral
sehingga dapat berhubungan dengan roh masih tercipta.
leluhur. Tor-tor dilakukan dalam suatu ritual
4. Penutup
yang disebut paturun sibaso (Nasution
Alat musik perkusi seperti gong
2005, 143). Disebut juga marsibaso atau
dan gendang telah dikenal sejak lama
pasusur begu, saat masyarakat masih
melalui relief alat musik pada candi-candi di
menganut religi lama yang mempercayai
Jawa- Sumatera sekitar abad ke 9, hingga
hal gaib berkaitan dengan roh leluhur
abad ke- 11-14 M. Relief gong belum
(Sipelebegu). Upacara pemanggilan roh
ditemukan pada biaro-biaro di kawasan
yang disebut pasusur begu atau marsibaso
Padang Lawas (sekitar abad ke 11-14),
yang masih berlangsung hingga sekitar
namun keberadaan relief gendang di Biaro
awal abad ke- 20 dalam catatan
Tandihat I (sekarang masuk Kabupaten
Pangaduan Lubis. Upacara tersebut
Padang Lawas) memungkinkan gong juga
dilakukan untuk meminta pertolongan roh
dikenal pada masa itu, mengingat
leluhur untuk mengatasi suatu keadaan
keduanya merupakan alat musik perkusi
yang sulit, seperti misalnya musim kemarau
yang digunakan bersama–sama.
panjang yang merusak tanaman padi
Relief-relief Ogung (gong) pada
penduduk (Nasution 2007, 25). Kondisi
batu-batu yang memagari beberapa kubur
trance yang terjadi pada Sibaso selain
di kompleks kubur kuna Sutan Nasinok
disebabkan oleh gerakan tor-tor yang
Harahap diperkirakan berasal dari abad ke-
cenderung monoton, utamanya disebabkan
16 -- 18 M (kronologi relatif berdasarkan
oleh bunyi ritmis alat musik perkusi yang
garis keturunan/ stambok) salah satu
dibunyikan.
kelompok keturunan Sutan Nasinok
Bunyi keras dan monoton dapat
Harahap di Kecamatan Batang Onang,
mengakibatkan seorang mencapai trance.
Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera
Dengan adanya trance dalam upacara
Utara. Ogung (gong) bersama perangkat
keagamaan, musik mempunyai peranan
lain dalam Gondang Saraban (Gendang
penting. Bahkan bunyi ritme yang
Seperangkat) merupakan alat musik
dihasilkan oleh alat musik perkusi mampu
perkusi yang masih digunakan sampai

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 63
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
sekarang oleh masyarakat subetnis Batak Konteks yang menandai adanya
Angkola di kawasan ini. kepercayaan tersebut berupa patung-
Ogung (gong) dan sejenisnya patung manusia, relief topeng manusia,
dibunyikan ketika margondang pada Horja manusia dan relief hewan diantaranya
Godang (pesta adat besar) dalam Horja cecak yang dikenal dengan Boraspati ni
Siriaon (Suka cita), Horja Sipareon (penaik Tano (Dewa tanah/ kesuburan). Alat musik
harkat martabat), dan Siluluton (Duka cita/ seperti ogung menjadi bagian penting
Kematian). Alat musik menjadi elemen berkaitan dengan upacara-upacara adat
penting dalam rangkaian pesta adat, seperti yang dilaksanakan sesuai kepercayaan
acara makkobar, mamangir, dan ketika itu.
pemberitahuan ketika ada yang Relief ogung (gong) di kompleks
menginggal. Terutama untuk mengiringi kubur kuna Situs Sutan Nasinok Harahap
manortor (menari tor-tor) yang gerakannya menjadi bukti perjalanan panjang
cenderung monoton sehingga seseorang pemanfaatan alat musik tersebut dari
dapat terbawa dalam suasana khidmat dan dahulu hingga kini. Posisinya pada
sakral, bahkan hingga trance (tidak sadar). bangunan kubur, secara khusus dapat
Hasil analogi berkaitan dengan keberadaan dimaknai bahwa tokoh yang dikuburkan
relief ogung (gong) pada kubur kuna telah melaksanakan kewajiban adat seperti
tersebut dikaitkan dengan Horja Godang horja godang semasa hidup (Siriaon/ suka
yang diselenggarakan tokoh yang cita), Sipareon (penaik harkat martabat),
dikuburkan dan keluarganya. Horja Siriaon dan bahkan saat kematian (Siluluton/ duka
(Suka cita), Horja Sipareon (penaik harkat cita) yang dilaksanakan oleh ahli warisnya.
martabat) diselenggarakan ketika tokoh Keberadaan relief ogung (gong) dan
yang dikuburkan masih hidup, dan Horja sejenisnya juga dapat menggambarkan
Siluluton (Duka cita) diselenggarakan oleh bahwa tokoh yang dikuburkan adalah tokoh
keluarganya. terhormat dan telah mendapat gelar raja
Keberadaan relief ogung (gong) adat.
pada kubur-kubur kuno di Situs Sutan Perbandingan dengan kondisi
Nasinok Harahap yang berpagar papan- masa kini untuk mengetahui kejelasan
papan batu berorientasi timur-barat pemanfaatannya oleh masyarakat
dikaitkan dengan kepercayaan lama yang Kecamatan Batang Onang, Kabupaten
mempercayai hal gaib berkaitan dengan Padang Lawas Utara yang merupakan
roh leluhur (Sipelebegu). Di dalam subetnis Batak Angkola. Alat musik ogung
arkeologi dikenal sebagai budaya megalitik, (gong) dan perangkat gondang saraban
ketika masyarakat masih hidup dalam serta pesta adatnya merupakan warisan
kepercayaan animisme dan dinamisme. budaya subetnis Batak Angkola di wilayah

64 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 48--65


Padang Lawas Utara dan menjadi bagian Pasaribu. Medan: Balai Arkeologi
Medan.
dari penyebaran seni musik di Nusantara.
Sulistyanto, Bambang, 1989. “Proses
Daftar Pustaka Perkembangan Kesenian dalam
Perubahan Kebudayaan”. Berkala
Bangun, Payung. 1983. “Kebudayaan Arkeologi X (2): 31-51
Batak” Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia, Koentjaraningrat Susilowati, Nenggih. 2000. “Musik. Salah
(ed). Jakarta: Penerbit satu komponen Budaya Megalitik
Djambatan. di Pulau Nias”. Berkala Arkeologi
Sangkhakala 08: 52-63.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data
____________. 2016. Tradisi Makkobar
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja
Pada Upacara Perkawinan Adat
Grafindo Persada.
Padang Lawas Utara dalam
BPS Kabupaten Padang Lawas Utara. Analisis Etnografi Komunikasi.
2015. Statistik Kecamatan Batang Tesis. Medan: Universitas
Onang. Gunung Tua. Muhammadiyah Sumatera Utara.
Tanudirjo, Daud Aris. 1989. “Ragam
____________. 2015. Padang Lawas Utara Penelitian Arkeologi Dalam
dalam Angka. Gunung Tua. Skripsi Karya Mahasiswa
Ferdinandus, Peter. 1994. “Beberapa Alat Arkeologi Universitas Gadjah
Musik pada Masa Jawa Kuna: Mada”. Laporan Penelitian.
Sebuah Kajian Arkeomusikologi.” Yogyakarta: Fakultas Sastra
AHPA, Analisis Sumber Tertulis Universitas Gadjah Mada.
Masa Klasik: 169-79. Jakarta: ____________. 2009. “Memikirkan
Proyek Penelitian Purbakala Kembali Etnoarkeologi”. Jurnal
Jakarta. Penelitian Arkeologi Papua dan
Kunst, Jaap. 1977. Hindu-Javanese Papua Barat, 2: 1-15.
Musical Instruments. Springer Tinggibarani, Sutan & Hasibuan, Zainal
Science + Business Media, B.V. Efendi. 2013. Adat Budaya Batak
Angkola Menyelusuri Perjalanan
Nasoichah, Churmatin; Oetomo, Repelita Masa. Padang Sidempuan.
Wahyu & Susilowati, Nenggih.
2016. LPA, Penelitian Prasasti Wibowo, Bayu Ari. 2015. Pemaknaan
dan Naskah Beraksara Batak Lingga-Yoni dalam masyarakat
Beserta Budaya Pendukungnya. Jawa-Hindu di Kabupaten
Medan: Balai Arkeologi Sumatera Banyuwangi Provinsi Jawa Timur:
Utara (belum terbit). Studi Etnoarkeologi. Skripsi.
Denpasar: UNUD.
Nasution, Pandapotan. 2005. Adat Budaya
Mandailing dalam Tantangan
Zaman. Medan: Forkala Prov. ---------
Sumatera Utara. Informan :
Nasution, Edi. 2007. Tulila: Muzik Bujukan - Paronang –onang - Maraganti
Mandailing. Penang: Areca Hasibuan (60 th).
Books.
Raja Pangundian - Maralohot Harahap
Restiyadi, Andri. 2014. “Kajian Musik gelar Sutan Oloan Muda (45 th).
Dalam Arkeologi: Upaya
Rekonstruksi Terhadap Aktivitas
Musik Pada Masa Lampau”.
Arkeomusikologi. Ed. Ben M

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap, 65
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara (Nenggih Susilowati)
POTENSI SUMBERDAYA ARKEOLOGI MARITIM
DI PESISIR PANTAI TEJAKULA, BULELENG, BALI

THE POTENCY OF MARITIME ARCHAEOLOGICAL RESOURCES


ALONG THE COAST OF TEJAKULA, BULELENG, BALI

Naskah diterima: Naskah direvisi: Naskah disetujui terbit:


05-03-2017 20-04-2017 25-04-2017

Wayan Sumerata
Gendro Keling
Ati Rati Hidayah
Balai Arkeologi Bali
Jalan Raya Sesetan No 80 Denpasar
kojekfals@gmail.com
gendrokeling@gmail.com
atirati83@gmail.com

Abstract
Tejakula has long been attracted a number of researchers as a potential site to be developed. The site
is located along the coast of North Bali which, according to several sources, was part of a sailing route
for ships to and from other areas in the Indonesian Archipelago and even foreign places. Among the
research locations are Pantai Bangsal (Bangsal Coast) Site at the hamlet of Geretek Beberapa (Dusun
Geretek) and along Bondalem Beach. The method of data collections were bibliographical study, land
survey, and underwater exploration using SCUBA Diving technique. Results of this research include
information about the contour and condition of the ocean floor of Sambirenteng, which are trough and
muddy, as well as the finding of traces of a rock structure and pottery on Bangsal Coast, Geretek Hamlet,
Sambirenteng Village. The structure and pottery show that there were activities on the coast area that
were related to harbor or habitation. Furthermore, there are also prehistoric pottery finds, which are now
submerged under the water because of severe beach abrasion at the village of Bondalem.
Keywords: maritime culture, old harbor, structure, pottery

Abstrak
Situs Tejakula sejak dulu sudah dilirik oleh peneliti sebagai situs yang potensial untuk dikembangkan.
Situs ini berada di kawasan pesisir pantai Bali Utara yang menurut beberapa sumber merupakan jalur
pelayaran bagi kapal-kapal dari berbagai wilayah lain di Nusantara bahkan dari luar negeri. Beberapa
titik lokasi penelitian ini antara lain adalah Situs Pantai Bangsal di Dusun Geretek, dan Sepanjang Pantai
Bondalem. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, survei berupa observasi di darat
dan juga di bawah air dengan menggunakan teknik SCUBA Diving. Hasilnya diperoleh kontur dan kondisi
dasar laut Sambirenteng yang berupa palung dan berlumpur, serta temuan bekas struktur berupa batu
padas di Pantai Bangsal, Dusun Geretek, Desa Sambirenteng. Temuan struktur dan gerabah ini
memperkuat adanya aktifitas di sekitar pantai yang terkait dengan aktifitas pelabuhan atau pemukiman.
Selain itu temuan gerabah dari masa prasejarah yang kondisi saat ini di bawah permukaan air karena
abrasi pantai yang parah di Desa Bondalem.
Kata kunci: budaya maritim, pelabuhan kuna, struktur, gerabah.

1. Pendahuluan 1987 di Sembiran dan Pacung oleh I Wayan


Wilayah pantai Bali Utara, telah Ardika. Selanjutnya penelitian dilakukan
menjadi perhatian para peneliti sejak lama. dengan melakukan ekskavasi di Sembiran
Bermula dari penelitian prasasti pada tahun dan Pacung yang menghasilkan fragmen

66 SBA VOL.20 NO.1/2017 Hal 66--78


gerabah arikamedu dari India. Latar kuno seperti yang disebutkan dalam
belakang diadakan penelitian itu adalah prasasti. Lebih lanjut disebutkan bahwa
adanya penyebutan aktifitas terkait pasar pelabuhan kuno tersebut kemungkinan
dan aktifitas pelabuhan, serta terkait berada di Desa Sembiran dan Pacung saat
dengan hukum tawan karang di Julah, ini. Aktivitas pelabuhan ini diduga sudah
seperti yang disebutkan dalam Prasasti berlangsung sejak awal masehi hingga
Sembiran yang berangka tahun 922-1181 abad ke-12 M. pada masa selanjutnya
M (Ardika 2008, 149--50). berkurangnya fungsi pelabuhan tersebut
Prasasti Bali Kuno yaitu Prasasti tidak diketahui secara pasti penyebabnya,
Sembiran A I berangka tahun 922 Masehi, tetapi beberapa kemungkinan seperti faktor
menyebutkan seorang petugas pasar (ser sosial dan akibat adanya proses erosi serta
pasar) di Julah. Selain itu, peraturan sedimentasi yang sangat cepat terjadi
mengenai kapal terdampar dan kargo diwilayah ini adalah faktor pelabuhan tidak
mereka (tawan karang) juga muncul dalam difungsikan lagi (Ardika 2008, 155).
prasasti. Hal ini juga disebutkan bahwa Hasil penelitian di Sembiran
orang-orang yang tinggal di pemukiman mendorong para peneliti untuk melakukan
(kuta) di Julah diserang oleh musuh-musuh penelitian di wilayah sekitarnya, salah
mereka, sehingga memaksa melarikan diri satunya adalah di Desa Bondalem.
ke desa-desa lain (Ardika 2008, 150). Istilah Penelitian dilakukan karena adanya
kuta dan ser pasar (petugas pasar) juga penyebutan buhun dalm dalam prasasti 703
disebutkan dalam prasasti Bebetin A I yang Kintamani E yang dikeluarkan oleh Raja
berangka tahun 896 Masehi. Selain Ekajaya Lancana dengan ibunya Arjaya
petugas pasar (ser pasar) juga disebutkan Deng Jaya Ketana pada tahun 1122 Saka
istilah undagi lancang (pembuat perahu). atau 1200 Masehi (Suantika 1993, 2).
“…banyaga saking sabrang, bahitra, Secara etimologi, kata buhun dalm berarti
cumunduk ri manasa…” artinya “…para sumur raja (Warsito dalam Suantika 1993,
pedagang dari luar daerah dengan 3). Jika kata ini diartikan secara harfiah,
menggunakan kapal, perahu, berlabuh di maka dapat diduga bahwa pada masa
manasa…” banyaga yang ditafsirkan lampau di lokasi di desa tersebut ada
sebagai pedagang bersekala besar yang sebuah sumur yang penggunaannya
melakukan perdagangan antarpulau (Goris khusus bagi raja atau keluarga raja
1954, 54-55; Prihatmoko 2014, 166). (kerajaan), namun jika diartikan secara
Menurut Ardika, berdasarkan data kias, maka dapat berarti bahwa di desa
yang diperoleh dari hasil ekskavasi, tersebut tinggal keluarga raja atau pejabat
Sembiran dan Pacung secara geografis kerajaan. Jika dikaitkan dengan dugaan
kemungkinan bagian dari wilayah Julah bahwa Desa Julah merupakan lokasi

Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim Di Pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali 67


(Wayan Sumerata, Gendro Keling dan Ati Rati Hidayah)
pelabuhan kuna, maka dapat diduga bahwa kaca, perunggu, emas, dan artefak dari
Bondalem atau buhun dalm adalah karnelian dengan situs-situs lain di Asia
merupakan lokasi tempat tinggal dari raja (Calo et al. 2015, 379).
atau keluarga kerajaan yang mengurusi Hasil penelitian yang telah
masalah pelabuhan (Suantika 1993, 3). dilakukan di wilayah Tejakula menunjukkan
Hasil penelitian pada tahun 1993 bahwa wilayah Tejakula memiliki potensi g
ini menemukan fragmen gerabah, logam, besar sebagai salah satu wilayah yang
dan juga rangka manusia hasil ekskavasi mengandung tinggalan arkeologi dari awal
dekat Pura Sasahan (Suantika 1993, 4). abad masehi. Seiring dengan besarnya
Temuan serupa juga ditemukan di tepi potensi sebagai sumber data untuk
pantai yang terkena abrasi ketika laut surut. mengungkap sejarah masa lalu, wilayah ini
Selanjutnya karena abrasi yang terjadi di juga terancam oleh abrasi. Situs arkeologi
Desa Bondalem sangat parah, kurang lebih yang sebagian besar berada di wilayah
mencapai 1 meter pertahun, penelitian pantai, saat ini telah tergerus dan hilang
dilakukan oleh Jurusan Arkeologi atau terendam di dasar laut. Hal inilah yang
Universitas Udayana, oleh Balai Arkeologi menjadi salah satu pertimbangan
dan juga Puslit Arkenas (Ardika 2000, 81). dilakukannya penelitian dengan metode
Berdasarkan dari hasil ekskavasi yang survei bawah air dengan melakukan
dilakukan di Desa Bondalem, terlihat penyelaman (SCUBA diving).
kesamaan tinggalan dan lapisan stratigrafi Selain itu, penelitian dilakukan
antara situs di Desa Bondalem dengan di untuk menjajaki adanya kemungkinan lain
Sembiran dan Gilimanuk, yang diduga lokasi pelabuhan atau aktifitas terkait
berasal dari masa logam awal. Fragmen pelabuhan yang disebut dalam prasasti.
gerabah yang ditemukan serupa dengan Para ahli sementara menyebutkan bahwa
gerabah di Sembiran dari fase awal (Ardika lokasi yang dimaksud berada di Desa
2000, 83). Sembiran dan Pacung. Survei kali ini
Beranjak dari hasil-hasil penelitian dilakukan dengan melihat kontur laut dan
tersebut dapat dikatakan bahwa wilayah juga muara sungai yang berpotensi sebagai
Bali merupakan salah satu bagian dari lokasi pelabuhan bagian dari wilayah Julah
sistem perdagangan dari Asia daratan dan pada masa lalu.
India pada awal abad masehi. Sembiran Topik rumusan awal penelitian ini
dan Pacung merupakan bagian dari adalah banyaknya tinggalan arkeologi baik
jaringan trans asiatic pada akhir masa berupa prasasti maupun situs yang telah
prasejarah, dengan hasil penelitian berupa diteliti sejak lama di wilayah Bali Utara,
fragmen gerabah arikamedu dan juga khususnya Tejakula. Potensi wilayah
berdasarkan dari hasil analisis komparasi Tejakula sebagai pusat aktivitas

68 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 66--78


kemaritiman pada masa lalu sangat besar, memberikan sudut pandang baru dalam
sehingga penting untuk melakukan penyusunan proses sejarah budaya yang
penelitian dan kajian lebih jauh mengenai terjadi pada masa lalu di wilayah Bali,
potensi sumberdaya budaya maritim di khususnya pesisir Bali Utara.
wilayah pesisir Tejakula. Lebih spesifik
2. Metode
beberapa permasalahan penelitian yang
Lokasi penelitian ini terletak di
dibahas dalam penelitian ini adalah apa
beberapa desa di Kecamatan Tejakula,
saja sumberdaya arkeologi maritim di
Kabupaten Buleleng (gambar 1). Metode
pesisir pantai Tejakula?, dan sejauh mana
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
perkembangan penelitian arkeologi maritim
eksplorasi, survei, wawancara, dan studi
yang dilakukan di pesisir Pantai Tejakula?.
pustaka. Eksplorasi dilakukan terhadap
Tujuan penelitian ini adalah untuk
data arkeologi primer dan data lingkungan,
melihat potensi wilayah Tejakula sebagai
yaitu artefak-artefak di dasar laut dan
pusat aktifitas kemaritiman pada masa lalu,
kawasan sekitarnya. Pada penelitian ini
melalui situs yang telah diteliti sebelumnya
dilaksanakan dua jenis survei yaitu survei
maupun hasil dari survei yang dilakukan.
darat dan survei bawah air. Survei darat
Selain itu untuk melihat perkembangan
dilakukan untuk mengobservasi tinggalan
penelitian maritim di wilayah tersebut.
arkeologi yang berkaitan dengan aktifitas
Manfaat penelitian ini diharapkan bisa
pelayaran dan segala bentuk tinggalan
menambah data baru untuk dapat

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di pesisir Pantai Tejakula (Sumber Google Earth).

Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim Di Pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali 69


(Wayan Sumerata, Gendro Keling dan Ati Rati Hidayah)
pendukungnya yang terdapat di darat, bawah air, sedangkan arkeologi maritim
sedangkan survei bawah air dilakukan mempelajari interaksi manusia dengan laut,
dengan teknik selam, menggunakan alat danau dan sungai. Interaksi ini dipelajari
SCUBA (Self Contained Underwater dengan kajian arkeologis atas benda materi
Breathing Apparatus). dari kebudayaan maritim, yang mencakup
Survei bawah air dilakukan untuk objek kapal, muatan kapal, fasilitas yang
mengetahui tinggalan-tinggalan di bawah ada dipantai dan bahkan rangka manusia
permukaan air, selain itu juga untuk (Mundarjito 2007, 10).
mengeksplorasi kondisi bawah laut dan Menurut Keith Muckelroy, kajian
kontur laut daerah penelitian. Penelusuran arkeologi maritim antara lain, mempelajari
data bawah air dengan cara pembuatan proses tenggelamnya kapal dan proses
garis baseline atau garis acuan dan titik pembentukan situs bawah air, mempelajari
acuan untuk mengetahui luas situs dan kapal sebagai sebuah alat dan mempelajari
memudahkan dalam pengukuran dan kebudayaan maritim masa lalu (Keith
pembuatan denah situs. Teknik baseline Muckelroy dalam Cleere, Henry 1980, 496).
adalah teknik pengukuran pada objek Definisi ini berkembang seiring
bawah air berdasarkan garis acuan dengan perkembangan keilmuan arkeologi. Definisi
menggunakan meteran. Garis tersebut Arkeologi Maritim saat ini tidak hanya
dibentangkan dari kedua titik acuan yang terbatas pada tinggalam kapal tenggelam
telah ditentukan. Sepanjang garis tersebut dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
dilakukan perekaman dengan kebudayaan maritim, tetapi pada seluruh
menggunakan kamera (foto dan video). tinggalan yang berada di bawah air atau
Analisis dan intepretasi data dilakukan tenggelamnya suatu daratan yang
dengan mengolah data yang diperoleh dan mengandung tinggalan arkeologi, masuk
juga dikolaborasikan dengan hasil kedalam wilayah objek kajian arkeologi
penelitian lain yang telah ada sebelumnya maritim
di wilayah ini. (https://en.wikipedia.org/wiki/Maritime_arch
aeology). Secara umum, sumber data
3. Hasil dan Pembahasan
arkeologi maritim adalah kombinasi dari
Pembahasan mengenai aktifitas
situs bawah laut dan daratan, yang tidak
yang terkait dengan laut dalam ilmu
hanya terdiri dari bangkai kapal, tetapi juga
arkeologi disebut dengan istilah arkeologi
pelabuhan, galangan kapal, dermaga,
maritim. Arkeologi Maritim memiliki
mercusuar, dan segala hal yang berkaitan
pengertian yang lebih luas, dibandingkan
dengan dunia pelayaran.
dengan arkeologi bawah air. Arkeologi
Wilayah pantai Bali Utara, memiliki
bawah air memusatkan perhatian pada
situs yang sebagian besar berada di
benda-benda masa lalu yang berada di

70 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 66--78


wilayah pantai, sangat rentan terjadi bernama Pura Pegonjongan. Di depan Pura
kerusakan atau hilang karena abrasi seperti ini terdapat dua buah mata air yang saat ini
yang telah terjadi di wilayah Bondalem. Hal dijadikan sebagai petirthaan. Berdasarkan
ini menjadi kajian yang menarik, karena informasi dari tokoh masyarakat, pada
berdasarkan hasil survei bawah air yang tahun 60-70an pantai ini merupakan
dilakukan pada penelitian ini, sebagian pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
situs di Desa Bondalem saat ini telah kapal pedagang dari Madura dan Sulawesi.
berada di bawah laut dengan kedalaman Pedagang yang berlabuh di pantai ini
yang bervariasi. Beberapa titik lokasi bertujuan untuk memasarkan barang
penelitian yang disurvei antara lain Pantai dagangan yang dibawa sekaligus membeli
Bangsal, di Dusun Geretek, Desa barang-barang komoditi yang terdapat di
Sambirenteng, dan Sepanjang Pantai Desa tempat ini yaitu gula aren. Sumber air tawar
Bondalem. di pantai ini juga menjadi salah satu faktor
Pantai Bangsal dijadikan sebagai
3.1. Temuan Struktur di Pantai Bangsal
pelabuhan kapal. Informan Jero Penyarikan
Desa Sambirenteng
memperkuat keterangan bahwa pada masa
Nama bangsal dalam bahasa
lalu, pedagang Cina berlabuh di
setempat berkaitan dengan gudang. Pantai
Pegonjongan. Kata Pegonjongan berasal
ini terletak tidak jauh dari temuan struktur
dari kata Pengojogan, yang lama kelamaan
batu padas di bibir pantai dengan panjang
berubah menjadi pegonjongan, yang berarti
31,5m, selanjutnya dilakukan survei bawah
tempat yang dituju.
air di tempat tersebut. Selain bernama
Untuk membuktikan keterangan
pantai Bangsal, pantai ini dikenal juga
dari jero penyarikan yang merupakan
dengan nama Pantai Pegonjongan, karena
informan dari desa setempat maka
di tempat ini merupakan muara sungai
dilakukan survei bawah air dengan cara
Tukad Seme dan terdapat pura yang

Gambar 2. Jalur Penyelaman di Pantai Bangsal


Balai Arkeologi Bali.

Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim Di Pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali 71


(Wayan Sumerata, Gendro Keling dan Ati Rati Hidayah)
menyelam. Penyelaman dilakukan dari terdapat mata air tawar, gelombang/arus,
muara sungai Tukad Seme, tempat Pura sedimentasi, pasang surut air laut dan
Pegonjongan , kemudian menyisir ke arah angin (Saefudin 2008, 116--9).
timur dan barat, sekitar sejauh 200 meter Selain morfologi dan juga mata air
(gambar 2). Hal ini dilakukanuntuk yang memperkuat Pantai Bangsal sebagai
mengetahui kondisi kontur dasar laut dan sebuah pelabuhan, juga terdapat temuan
untuk mengetahui ada tidaknya indikasi struktur batu padas di sebelah timur muara
sisa aktifitas maritim di masa lalu. sungai dengan jarak sekitar 200 meter.
Hasil penyelaman kontur laut di Susunan batu padas ini sudah tertimbun
muara sungai berbentuk palung yang tanah, dan karena ada abrasi pantai,
memiliki kedalaman lebih dari 35 meter. sehingga tersingkap di dinding tepi pantai.
Jarak bibir palung dari muara sungai Tukad Temuan susunan padas ini memanjang dari
Seme sekitar 10 meter. Dasar laut di sekitar barat ke timur, tersusun atas dua lapis balok
tepi palung kondisinya berlumpur, sedikit padas dengan ukuran masing-masing
terdapat terumbu karang di sebelah timur bervariasi (gambar 3). Rata-rata ukuran
dan barat muara sungai. Hasil penyelaman balok penyusun 50x20x20 cm. Secara
selain mensurvei langsung kondisi dasar keseluruhan panjang struktur ini adalah
laut yang berlumpur, juga melihat 31,5 meter, diduga struktur ini masih
kemungkinan adanya tinggalan aktivitas
perdagangan di pantai ini. Namun karena
lumpur yang cukup tebal, tidak
memungkinkan melihat adanya sisa
aktifitas berupa artefak yang mungkin ada
di dasar laut. Meskipun demikian
penyelaman ini dapat membuktikan bahwa
kontur pantai ini yang cukup dalam, kurang
lebih 5 meter dari bibir pantai sudah
mencapai kedalaman 15 meter
mengindikasikan bahwa tempat ini
berpotensi sebagai tempat kapal
bersandar. Secara morfologi pantai ini
sangat potensial sebagai pelabuhan pada
masa lalu. Menurut Saefudin salah satu
kriteria pantai yang cocok dijadikan sebagai
pelabuhan berupa kedalaman yang Gambar 3. Temuan Struktur batu padas di
Pantai Bangsal, Dusun Geretek, Desa
memadai untuk berlabuhnya kapal, Sambirenteng
(Sumber Balai Arkeologi Bali).

72 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 66--78


berlanjut ke arah barat akan tetapi sudah warna coklat tua, bagian tengah ke bawah
mengalami kerusakan karena abrasi. tanpa glasir (glasir sistem celup). Ukuran
Masyarakat setempat tidak mengetahui tinggi: 22 cm, diameter dasar 13 cm,
keberadaan struktur ini, karena sudah diameter badan 20 cm, diameter mulut 8
terkubur dan tertutup vegetasi yang cukup cm. Terdapat 4 buah hiasan berupa
lebat, sebagai pembatas antara pantai pegangan pada bagian atas, salah satunya
dengan kebun warga. Dugaan sementara pecah/patah (gambar 4). Menurut informasi
struktur ini memiliki kesamaan fungsi dari pemilik, pada masa lalu, sebelum ada
dengan struktur yang ditemukan di Julah, mesin pendingin, penduduk masih sering
meskipun menggunakan bahan baku yang menggunakan guci ini untuk menyimpan
berbeda. Struktur yang ditemukan di Julah sayur atau bahan makanan agar tidak cepat
menggunakan bahan batu andesit dengan rusak. Beberapa orang menggunakan guci
ukuran yang bervariasi dengan untuk menyimpan tuak.
pemasangan yang sangat rapi menyerupai
pondasi suatu bangunan. Atas dasar
perbandingan ini struktur padas yang
ditemukan di Desa Sambirenteng diduga
bagian dari sebuah bangunan yaitu
bangsal, yang terkait dengan aktivitas
pelabuhan. Untuk mengungkap bentuk dan
fungsi susunan batu padas ini, perlu tindak
lanjut penelitian. Susunan batu padas di Gambar 4. Guci Koleksi warga
(Sumber Balai Arkeologi Bali).
Dusun Geretek merupakan salah satu
3.2. Survei bawah laut di Desa Bondalem
indikasi bahwa pada masa lalu, wilayah ini
Situs di Desa Bondalem telah
dijadikan sebagai permukiman. Selain
diteliti oleh Ardika dengan membuka kotak
temuan struktur, menurut informasi dari
ekskavasi di sekitar Pura Sang Bingin. Hasil
hasil wawancara, beberapa penduduk di
ekskavasi berupa tempayan, manik-manik
wilayah sekitar situs masih menyimpan
kaca, dan artefak logam (Ardika 2000, 81).
beberapa barang kuno seperti guci
Pada tahun 1995, tim dari Pusat Penelitian
peninggalan leluhur mereka, namun tidak
Arkeologi Nasional melakukan penelitian di
diketahui secara pasti darimana leluhur
Desa Bondalem menyatakan bahwa di
mereka mendapatkan barang tersbut.
kawasan pantai Bondalem ditemukan
Salah satunya adalah milik keluarga I Made
rangka manusia, tempayan kubur, fragmen
Sudha (56 tahun). Guci ini diduga berasal
gerabah, gelang perunggu, dan fragmen
dari Cina, berbentuk bulat, berwarna coklat
logam perunggu (Sudiono dan Arfian 1995,
dengan gelasir di bagian tengah ke atas
17).

Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim Di Pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali 73


(Wayan Sumerata, Gendro Keling dan Ati Rati Hidayah)
tepian tegalan. Pada saat penelitian
berlangsung, pasir tergerus ke laut,
sehingga dasar laut di tepi pantai tidak
tertutup pasir. Hal ini menyebabkan
tinggalan arkeologi yang terdapat di dasar
laut tampak dengan jelas.
Survei bawah laut di Desa
Bondalem, dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya situs yang terkena
abrasi dan saat ini berada di bawah laut
serta melihat kontur laut secara langsung
(gambar 5). Penyelaman dilakukan di lokasi
kawasan Tirta Penembak, yaitu di Pantai
Lawahan, Dusun Jero Kuta, Banjar Kelod
Kauh. Hasil survei pada kedalaman 3

Gambar 5. Survei bawah air di Situs Bondalem


dengan teknik baseline.
(Sumber Balai Arkeologi Bali).

Situs di kawasan pantai Bondalem


rawan terkena abrasi yang menimbulkan
kerusakan situs. Selain itu juga pengaruh
pasang surut air laut dapat mempengaruhi
kerusakan situs. Gelombang yang besar
pada bulan-bulan tertentu dikenal dengan
istilah ngedug-ngurug, yaitu naik dan
turunnya pasir di pantai. Pada musim barat
sekitar bulan Februari, pasir dari pantai naik
kedaratan dihempas oleh tingginya
gelombang sehingga pantai tertutup oleh
pasir, hal ini menyebabkan pantai nampak
lebih landai. Sedangkan pada musim angin
timur, sekitar bulan Juni-Juli pasir di pantai
masuk ke laut digerus oleh air, sehingga Gambar 6. Temuan gerabah di bawah air
bibir pantai nampak lebih terjal. Batas dengan hiasan tumpal, foto sebelah kanan
dengan hiasan tumpal00 yg diperjelas
pantai dengan tegalan juga lebih terjal, menggunakan aplikasi d-strecth. (Sumber
sehingga nampak singkapan pada dinding Balai Arkeologi Bali).

74 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 66--78


sampai dengan 15 meter banyak terdapat arkeologi khususnya berupa rangka di Situs
terumbu karang. Kedalaman 15 s/d 30 Bondalem berkisar antara 210 cm sd 335
meter terumbu berkurang, dasar laut cm (Ardika 2000, 82). Fragmen gerabah
berupa lumpur. Pada jarak 25 meter dari yang ditemukan di Situs Bondalem sangat
tepi pantai, pada kedalaman 1-2 meter, mirip dengan gerabah dari Sembiran pada
terdapat sebaran temuan fragmen gerabah masa awal (Ardika 2008, 82). Lapisan
dengan ukuran yang beragam, diameter tinggalan budaya yang terdeposit di
dan ketebalannya. Fragmen gerabah Bondalem dan sembiran memiliki karakter
sebagian besar tertutup terumbu atau yang serupa, juga stratigrafinya (Ardika
menempel pada karang dan hampir tidak 2000, 83). Bahkan Ardika menyamakan
dapat dilihat. Bila dilihat dari kedalaman lapisan budaya di Bondalem sangat mirip
temuan sebaran gerabah ini, nampaknya dengan Sembiran, Gilimanuk dan situs di
lapisan yang berada di bawah laut saat ini Pantai di Pulau Jawa seperti di Buni, jawa
merupakan lapisan asli yang terkena barat dan Plawangan jawa timur. Menurut
abrasi. Di salah satu gerabah yang Ardika berasal dari masa logam awal
menempel dikarang ini, memiliki hiasan (Ardika 2008, 83).
tumpal (gambar 6). Bisa jadi temuan ini Adanya gerabah India di Situs
merupakan salah satu dari sedikit jenis Pacung yang pertanggalannya sama
temuan arkeologi prasejarah bawah air di dengan pertanggalan di Situs Batu Jaya
Indonesia. (Calo et al 2015, 379). Di Situs Sembiran
Sebaran temuan fragmen gerabah ditemukan fragmen gerabah yang berasal
diduga kuat merupakan akibat dari adanya dari dinasti Han. Fragmen gerabah ini
abrasi yang kup parah tiap tahun. Bahkan serupa dengan fragmen yang ditemukan di
Ardika menyebut abrasi terjadi setiap tahun Vietnam utara dan selatan, yang pada akhir
hingga mencapai satu meter (Ardika 2000, abad kedua dan abad pertama SM, telah
82). Wilayah Bondalem merupakan menunjukkan adanya pengaruh dari Dinasti
kawasan situs yang telah diteliti oleh Balai Han (Calo 2015, 385). Sejak ekskavasi
Arkeologi Denpasar sejak 1993 pertama yang dilakukan oleh Ardika pada
(Suantika,1993). Di sepanjang pantai tahun 1987 dan beberapa ekskavasi yang
Bondalem merupakan kawasan yang dilakukan oleh lembaga arkeologi
potensial sebagai situs prasejarah, yang setelahnya, didapatkan gerabah india
diduga sejaman dengan Situs Sembiran dalam jumlah yang besar, hingga 600
dan Pacung, jarak kedua situs ini yaitu 3 fragmen, dan bukti adanya cetakan
km. perunggu memnunjukkan adanya
Seperti yang telah disebutkan pelabuhan yang secara berkelanjutan
pada pendahuluan, kedalaman tinggalan berhubungan dengan India dan pembuatan

Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim Di Pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali 75


(Wayan Sumerata, Gendro Keling dan Ati Rati Hidayah)
perunggu di Asia Tenggara daratan (Calo 1991, 229). Pertanggalan gerabah
2014, 379). Situs Sembiran menghasilkan Arikamedu yang berasal dari Pacung,
temuan berupa fragmen gerabah dengan berasal dari sampel gabah (lapisan luar
hias rolet, yang dijadikan sebagai bukti bulir padi) yang menjadi temper gerabah
adanya kontak dengan India. Para ahli yang berasal dari lapisan yang sama
menyatakan bahwa Sembiran merupakan dengan lapisan ditemukannya gerabah
bagian dari sistem perdagangan arikamedu dan menghasilkan 2660±100 BP
internasional yang mencakup wilayah (Ardika dan Bellwood 1991, 223).
Mediterania, India Asia Tenggara daratan Hubungan antara Bali dengan Asia
hingga Tiongkok, yang terjadi pada abad Tenggara dan Tiongkok telah terjadi sejak
pertama masehi (Ardika 1991, 2008, abad kedua sebelum masehi, pertanggalan
150;Ardika and Bellwood 1991; Manguin terbaru berasal dari penelitian tahun 2015
2004, 289; Glover and Bellina, 2004, 150; (Calo et al) di Situs Sembiran yang berasal
Calo et al 2015, 394). dari abad pertama M (25 M), dan
Gerabah berhias rolet memiliki pertanggalan di Pacung dengan konteks
berbagai macam tipe, awalnya diperoleh kubur dari abad ke-2 SM hingga abad ke-
dari situs arkeologi di Pantai Coromandel, 12 Masehi. Gerabah yang diduga berasal
Tamil Nadu (India). Gerabah ini dikenal dari Dinasti Han (Tiongkok), berdasarkan
dengan gerabah arikamedu, yang pola hiasnya, ditemukan di Sembiran dan
merupakan komoditas utama perdagangan berasal dari lapisan dengan pertanggalan
dengan wilayah laut mediterania dan abad ke-2 SM (Calo et al 2015, 385).Ardika
kerajaan romawi (Begley, V. 1996 dan dalam artikel terbarunya menyimpulkan
Wheeler, 1946). Sejauh ini di Indonesia, bahwa Bali tampaknya telah terlibat dalam
Situs Sembiran dan Pacung merupakan sistem perdagangan internasional yang
situs yang menghasilkan gerabah mencakup wilayah Mediterania, India, Asia
arikamedu terbanyak di Indonesia, bahkan Tenggara daratan hingga Tiongkok (Ardika
di Asia Tenggara (Ardika 2008, 151). et al. 2015, 41). Pendapat ini senada
Pertanggalan gerabah berhias rolet dengan Bellina dan Glover, bahwa wilayah
berkisar antara 150 BC dan 200 AD. Asia Tenggara merupakan bagian dari
Berdasarkan analisis Neutron Activation sistem perdagangan dunia, yang
Analysis (NAA) dan X-ray Diffraction (XRD) sebelumnya telah sejarah panjang pada
berasal dari India. masa prasejarah (Bellina and Glover 2004,
Keberadaan gerabah rolet di Bali 83).
dan Indonesia secara umum
pertanggalannya berasal dari abad pertama
sampai kedua Masehi (Ardika dan Bellwood

76 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 66--78


4. Penutup prasasti dan adanya temuan gerabah india
4.1. Kesimpulan di situs tersebut. Pada penelitian ini, hasil
Sumberdaya arkeologi di Pesisir survei bawah laut berhasil mengetahui
Pantai Tejakula berada di beberapa desa, kontur dan kondisi dasar laut, di wilayah
yaitu Desa Sembiran, Pacung dan Desa Sambirenteng yang mendukung
Bondalem. Penelitian ini menambah daftar aktifitas pelabuhan. Hasil survei bawah air
sumberdaya arkeologi di sepanjang pantai juga menemukan situs yang diduga
Tejakula yaitu situs yang berpotensi sejaman dengan Situs Sembiran dan
sebagai situs bekas pelabuhan di Pantai Pacung berdasarkan temuan gerabahnya.
Bangsal, Dusun Geretek, Desa Temuan situs bawah air ini menambah data
Sambirenteng. Temuan yang mendukung arkeologi khususnya prasejarah di Bali,
antara lain struktur batu padas di bibir yang belum pernah ditemukan sebelumnya.
pantai yang diduga sebagai bekas
4.2. Saran
bangunan. Toponim pantai yang disebut
Wilayah kecamatan Tejakula
sebagai Pantai Bangsal, yang berarti
sangat potensial sebagai situs yang
gudang atau gudang pelabuhan. Hal
komprehensif, sejak masa prasejarah
tersebut memperkuat bahwa pada masa
hingga kolonial sehingga diperlukan
lalu tempat ini merupakan bagian dari
penelitian lanjutan khususnya bawah air.
aktifitas maritim. Tinggalan arkeologi
Pemerintah dan masyarakat hendaknya
lainnya berupa gerabah berhias geometris
menjaga dan melestarikan sumberdaya ini
yang terendam di dasar laut Bondalem,
agar dapat dimanfaatkan oleh semua pihak.
membuktikan bahwa abrasi yang terjadi di
pantai Bondalem, menyebabkan terjadinya DAFTAR PUSTAKA

transformasi situs menjadi situs bawah air. Ambra Calo, Bagyo Prasetyo, Peter
Perkembangan penelitian Bellwood, James W. Lankton,
Bernard Gratuze, Thomas
arkeologi maritim di sepanjang pantai Oliver Pryce, Andreas Reinecke,
Tejakula telah dilakukan sebelumnya Verena Leusch, Heidrun Schenk,
Rachel Wood, Rochtri A.
antara lain yang dilakukan oleh Calo 2014, Bawono, I Dewa Kompiang Gede,
dengan memberikan pemaparan mengenai Ni. L.K. Citha Yuliati, Jack
Fenner, Christian
jalur perdagangan berdasarkan artefak Reepmeyer, Cristina Castillo dan
logam, dan menyimpulkan bahwa sembiran Alison K. Carter. 2015.
Sembiran and Pacung on
dan pacung termasuk kedalam jalur the north coast of Bali: a strategic
perdagangan internasional pada masa awal crossroads for early trans-
Asiatic exchange. Antiquity Vol.
masehi. Ardika yang memberikan hipotesis 89. (hal 378-396).
bahwa pelabuhan Kuno berada di Ardika, et al. 1995. Ekskavasi Arkeologi di
Sembiran dan Pacung, berdasarkan data Situs Sembiran, Kecamatan
Tejakula, Kabupaten Buleleng.

Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim Di Pesisir Pantai Tejakula, Buleleng, Bali 77


(Wayan Sumerata, Gendro Keling dan Ati Rati Hidayah)
Laporan Penelitian Arkeologi, No Mundardjito, 2007. Paradigma dalam
1. Balai Arkeologi Denpasar. Arkeologi Maritim. Wacana vol.9
No.1, April 2007 (hal: 1-20)
Ardika, I Wayan, 2000.Archaeological
Research at Bondalem, Prihatmoko, Hedwi. 2014. “Transportasi air
Northeastern Bali. Indo dalam perdagangan pada masa
Pacific Prehistory Jawa Kuno di Jawa Timur.”
Association Bulletin 19, Melaka Forum Arkeologi, 27 (3): 155-174.
Papers, Vol 3. (hal 81-83).
Saefudin, 2008. Studi Pemilihan Lokasi
Ardika, I Wayan. 2008. Archaeological Alternatif Pelabuhan Trisaksi,
Traces of the Early Harbour Town. Banjarmasin Propinsi Kalimantan
dalam B. Hauser-Schaublin Selatan. Jurnal Hidrosfir
and I Wayan Ardika (ed) Burials, Indonesia. Vol 3. Jakarta. BPPT.
Text and Ritual: (hal 113-122).
Ethnoarchaeological
Suantika, I Wayan. 1993. Ekskavasi Situs
investigations in north Bali,
Arkeologi Bondalem Kecamatan
Indonesia (hal 149-157).
Tejakula Kabupaten Buleleng.
Gottingen: Gottingen
Laporan Penelitian Arkeologi no.
University Press.
5. Balai Arkeologi Denpasar.
Ardika, I Wayan and Bellwood, Peter. 1991.
Wheeler, R.E.M., A.Gosh and
Sembiran: The Beginnings of
K.Deva.1946. An Indo Roman
Indian Contact with Bali.
trading station on the east coast
Antiquity, vol 65. (hal 221-232)
of India. Ancient India vol 2: (hal
Begley, V.1996. Changing perception on 17-124)
Arikamedu, in V. Begley (ed) the
https://en.wikipedia.org/wiki/Maritime_arch
Ancient Port of Arikamedu: new
aeology
excavation and researches 1989-
1992, vol 1; (hal 1-40) Paris: Ecole http://www.dictionary.com/browse/marine-
Francaise d’extreme-orient. archaeology?s=ts
Bellina, Berenice dan Ian Glover. 2004. The
Archaeology of Early contact with Daftar Informan
India and Medditeranean
World, from the Fourth Century BC 1. Nama : I Nyoman Sudha (56 tahun)
to the Fourth Century AD. In
Alamat : Dusun Geretek, Desa
Glover, Ian and Peter
Sambirenteng, Kecamatan
Bellwood (ed). Southeast Asia
Tejakula.
from Prehistory to History.
London: Routledge Curzon. Pekerjaan : Swasta
(hal 68-88)
Cleere, Henry, 1980. Maritim Archaeology.
2. Nama : Drs.I Nyoman Adnyana (69
Archaeological Journal, 137. (496-
tahun)
497)
Alamat : Banjar Dinas Kawanan,
Goris, R. 1954. Prasasti Bali. 2 Vols.
Desa Penuktukan,
Bandung: Masa Baru.
Kecamatan Tejakula.
Pekerjaan : Pensiunan.

78 BAS VOL.20 NO.1/2017 Hal 66--78


PEDOMAN PENULISAN

1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah diterbitkan, merupakan hasil penelitian,
tinjauan/pemikiran dan komunikasi pendek tentang arkeologi dan ilmu terkait.
2. Judul harus mencerminkan inti tulisan, bersifat spesifik, efektif, tidak terlalu panjang
(Maksimal 15 kata). Judul berhuruf kapital tebal (Font Type Arial 14) dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris (Italic).
3. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, dibawahnya diikuti nama lembaga tempat
bekerja, alamat lembaga, pos-el (e-mail), dan menggunakan font type Arial 12.
4. Abstrak merupakan ringkasan utuh dan lengkap yang menggambarkan esensi isi
tulisan. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris (maksimum 150 kata) dan bahasa
Indonesia (maksimum 250 kata). Isi abstrak berturut-turut meliputi tujuan, metode, dan
hasil akhir. Abstrak ditulis dengan font type Arial 10 dan diketik satu spasi.
5. Kata Kunci mencerminkan satu konsep yang dikandung dalam tulisan antara 3--5 kata
(dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk), ditampilkan dalam Bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris.
6. Penyajian instrumen pendukung berupa gambar, foto, grafik, bagan, tabel dan
sebagainya (semuanya disebut gambar) harus bersifat informatif dan komplementer
terhadap isi tulisan. Penyajiannya dengan dilengkapi keterangan (termasuk
sumber/rujukan) di bawah instrumen pendukung.
7. Cara dan jumlah pengacuan serta pengutipan, dan penulisan daftar pustaka
menggunakan Chicago style (lihat Lampiran 1).
8. Naskah berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik 1.5 spasi, banyaknya 8--18
halaman dan diketik pada kertas A4, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Font Type : Arial 11
- Left Margin : 2,7 cm
- Right Margin : 2,2 cm
- Top Margin : 2,2 cm
- Bottom Margin : 3 cm
Kerangka penulisan karya yang berupa hasil penelitian meliputi:
1. Pendahuluan, meliputi: latar belakang, permasalahan, tujuan, dan ruang lingkup
(materi dan wilayah), landasan teori/konsep/tinjauan pustaka, dan metode
penelitian.
2. Hasil, (ditulis eksplisit, yang memuat paparan data dan analisa)
3. Pembahasan (ditulis eksplisit dan disajikan dalam beberapa sub-bab)
4. Penutup, meliputi kesimpulan, dan saran/rekomendasi (jika diperlukan)
Daftar Pustaka (minimal 15 pustaka)
Ucapan terima kasih (jika diperlukan)
Kerangka penulisan karya yang berupa tinjauan meliputi:
1. Pendahuluan
2. Pembahasan (ditulis eksplisit dan disajikan dalam beberapa sub-bab)
3. Penutup
Daftar Pustaka (minimal 25 pustaka)
Ucapan terima kasih (jika diperlukan)
9. Pembagian bab menggunakan angka Arab: 1, 2, 3,…. Subbab menggunakan angka:
1.1, 1.2,…, 2.1, 2.2,…., bagian-bagian dari subbab secara berurutan menggunakan
huruf kecil: a, b, c,….: angka 1), 2), 3), ….: huruf kecil a), b), c),….: angka (1), (2), (3),….
10. Daftar pustaka yang dirujuk disusun menurut abjad nama pengarang dengan
mencantumkan tahun penerbitan, judul buku/artikel, penerbit, dan kota terbit. Bila ada
nama keluarga (seperti marga/fam) maka yang ditulis adalah nama keluarga terlebih
dahulu, diikuti koma dan berikutnya nama kecil.
11. Naskah diserahkan dalam bentuk file tipe Microsoft Word 2003/2007 Document
(*.doc/*.docx) dan print out-nya ke alamat redaksi melalui pos-el (email):
sangkhakala.red@gmail.com atau melalui pos ke:
Dewan Redaksi Sangkhakala Berkala Arkeologi
d/a Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jalan Seroja Raya Gg. Arkeologi No.1
Tanjung Selamat, Medan Tuntungan
Medan, Sumatera Utara 20134
12. Dewan Redaksi mengatur pelaksanaan penerbitan (menerima, menolak, dan
menyesuaikan naskah tulisan dengan format Sangkhakala).
Lampiran 1
CONTOH SITASI CHICAGO STYLE

Buku (satu pengarang)


Reid, Anthony. 2010. Sumatra Tempo Doeloe dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Di dalam teks:
(Anthony 2010, 34)

Buku (dua pengarang)


Perret, Daniel & Heddy Surachman, ed. 2009. Histoire De Barus III Regards Sur Une Place Marchande
De I’Ocean Indien (Xlle-milieu du XVIIe s.). Paris: Cahier d’ Archipel 38.
Di dalam teks:
(Perret dan Surachman 2009, 101-4)

Artikel Jurnal (satu pengarang)


Terborgh, James. 1974. "Preservation of Natural Diversity: The Problem of Extinction-prone Species."
Bioscience 24: 715-22.
Di dalam teks:
(Terborgh 1974, 720)

Artikel Jurnal (dua pengarang)


Bolzan, John F. and Kristen C. Jezek. 2000. "Accumulation Rate Changes in Central Greenland from
Passive Microwave Data." Polar Geography 27(4): 277-319.
Di dalam teks:
(Bolzan and Jezek 2000, 280)

Thesis atau Disertasi


Karcz, J. 2006. First-principles Examination of Molecule Formation in Interstellar Grains. PhD diss.,
Cornell University.
Di dalam teks:
(Karcz 2006)

Artikel Suratkabar
Zamiska, Nicholas and Nicholas Casey. 2007. "Toy Makers Face Dilemma Over Supplier." Wall Street
Journal, August 17. Corporate Focus Section.
Di dalam teks:
(Zamiska and Casey 2007)

Artikel jurnal elektronik


Thomas, Trevor M. 1956. "Wales: Land of Mines and Quarries." Geographical Review 46, no.1:
(January), http://www.jstor.org/stable/211962.
Di dalam teks:
(Thomas 1956)

Buku Elektronik
Rollin, Bernard E. 1998. The Unheeded Cry: Animal Consciousness, Animal Pain, and Science. Ames,
IA: The Iowa State University Press. http://www.netlibrary.com.
Di dalam teks:
(Rollin 1998)

Web Site
Hermans-Killam, Linda. 2010. "Infrared Astronomy." California Institute of Technology. Accessed Sept
21. http://coolcosmos.ipac.caltech.edu/cosmic_classroom/ir_tutorial/.
Di dalam teks:
(Hermans-Killam)
© Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2017

Alamat Redaksi/Penerbit:
Balai Arkeologi Sumatera Utara
Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Tanjung Selamat, Medan Tungtungan, Medan 20134
Telp. (061) 8224363, 8224365
E-mail: sangkhakala.balarsumut@kemdikbud.go.id
Laman: www.sangkhakala.kemdikbud.go.id
© Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2017
© Balai Arkeologi Medan, 2015

Praktik Kolonialisme Dalam Eksistensi Uang Kebon, Pada Perkebunan Sumatera Timur
Abad Ke-19-20 (Sebuah Pendekatan Arkeologi Marxis)
Colonialism Practice In Uang Kebon's Existence, At The East Sumatra Plantation
In The 19th-20th Century (A Marxist Archaeological Approach)
Andri Restiyadi, Churmatin Nasoichah

Temuan Gerabah di Pura Wasan, Blahbatuh, Gianyar (Suatu Pendekatan Etnoarkeologis)


Pottery Found at Pura Wasan (Wasan Temple), Blahbatuh, Gianyar
(An Ethnoarchaeological Approach)
I Wayan Badra

Mereposisi Fungsi Menhir Dalam Tradisi Megalitik Batak Toba


Repositioning The Functions of Menhirs Within The Megalithic Tradition of Batak Toba
Ketut Wiradnyana

Representasi Relief Ogung (Gong) Pada Kubur Kuna Situs Sutan Nasinok Harahap,
Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara
Representation Of Ogung (Gong) Relief On Ancient Graves At The Site Of Sutan Nasinok Harahap,
Batang Onang Subdistrict, North Padang Lawas Regency, North Sumatera
Nenggih Susilowati

Potensi Sumberdaya Arkeologi Maritim Di Sepanjang Pantai Tejakula, Buleleng, Bali


The Potency of Maritime Archaeological Resources Along The Coast Of Tejakula, Buleleng, Bali
Wayan Sumerata, Gendro Keling, Ati Rati Hidayah
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA Vol. 20 No. 1 MEI 2017: 1--78

Anda mungkin juga menyukai