Anda di halaman 1dari 16

Fostering the Active Learning

I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand. (Confucius)

Pendidikan Indonesia, seperti yang tertuang dalam Ketentuan Umum Pasal 1 No 20 tahun
2003, menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam hal ini, pemerintah telah
menyarankan kepada pendidik untuk mengutamakan interaksi dalam kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Memenuhi tuntutan ini, berbagai
macam metode pembelajaran pun digunakan. Secara khusus, kegiatan belajar mengajar di
Indonesia harus memenuhi konsep PAIKEM yang berarti pembelajaran aktif, inovatif,
kreatif, efektif dan menyenangkan.

Konsep Pembelajaran Aktif


Pembelajaran aktif adalah model belajar mengajar yang melibatkan siswa secara aktif
melalui pemberian tanggung jawab penuh dalam proses pembelajaran dan pembentukan
sikap positif (Kagan, 2001).
Menurut Niemi, Nevgi dan Aksit (2016) pembelajaran aktif berarti pula proses sosial
pembelajar. Dalam proses ini, pembelajar akan menyerap dan menciptakan
konsep/pengetahuan menurut pemahamannya, kemudian mengelaborasi dan
berkolaborasi. Dalam proses kolaborasi akan terjadi dialog antar para pembelajar sehingga
tujuan akhir dari pembelajaran aktif sebagai proses sosial telah terpenuhi.

Pembelajaran aktif harus memenuhi kriteria aktif melakukan, aktif mengamati, aktif
berinteraksi dan aktif melakukan refleksi. Hal ini penting sebab menurut hasil riset, siswa
akan mengingat 10% dari yang dibaca dan 20% dari yang didengarkan. Namun, bila
diperlihatkan gambar, video ataupun demonstrasi, pemahaman siswa akan meningkat
hingga 30%, apalagi bila dilibatkan dalam diskusi (50%). Apabila siswa didorong untuk
melakukan presentasi, bermain peran ataupun melakukan simulasi, pemahaman tersebut

1
meningkat hingga 90%. Dengan kata lain semakin siswa terlibat dalam proses pembelajaran,
semakin besar kesempatan keberhasilan proses pembelajaran tersebut.

Konsep Model Pembelajaran Kooperatif


Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) menurut Wang Tan (2001) adalah proses
pembelajaran yang dilakukan menurut tujuan yang sudah dituliskan, dengan grup yang
heterogen dan interaksi yang kooperatif, serta imbalan bagi keberhasilan grup. Jadi,
pembelajaran kooperatif tidak berarti siswa duduk bersama dan mengerjakan tugas secara
individu, ataupun mengerjakan tugas secara individu dan membantu siswa lain semata.

Mengapa kita melakukan pembelajaran kooperatif


Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar serta
meningkatkan kemampuan problem-solving dan creative-thinking. Metode ini juga dapat
meningkatkan hubungan interpersonal, self-esteem, self-confidence, hubungan antar grup,
sikap terhadap institusi sekolah serta skill dalam bekerjasama dalam tim (Lang and Evans,
2006).

Slavin (1991) berpendapat bahwa dengan pembelajaran kooperatif, siswa bisa


meningkatkan kemampuan akademiknya. Pembelajaran ini sangat efektif bila keberhasilan
grup diapresiasi dengan pemberian reward berdasarkan perkembangan kemampuan
individu dalam grup tersebut. Dia juga menganggap bahwa pembelajaran kooperatif dapat
menciptakan efek peningkatan prestasi yang relatif sama dalam setiap level, dengan jurusan
yang berbeda-beda, baik untuk siswa pandai maupun berkebutuhan khusus.

Elemen Pembelajaran Kooperatif


• Positive interdependence: Bisa diartikan, tenggelam atau berenang bersama. Siswa
belajar bahwa mereka bertanggungjawab atas proses belajar diri mereka sendiri dan
kelompoknya, misalnya dalam hal memberikan bantuan belajar pada rekannya.
Siswa diajak pula untuk saling membantu dalam mencapai tujuan kelompok.
Sehingga, setiap anggota kelompok diminta secara aktif memberikan kontribusi yang
berbeda-beda untuk usaha bersama.

2
• Shared leadership: Dalam proses pembelajaran, siswa dianjurkan untuk mempunyai
peran dalam kelompoknya. Misalnya, siswa berbagi peran sebagai the initiator, the
contributor, the summarizer, the recorder, dst. Dengan berbagai macam peran yang
diambil, siswa dapat belajar menempatkan diri dan berbagi tanggungjawab dengan
lainnya.

• Face to face interaction: siswa perlu berbincang-bincang, tukar pendapat tentang


hal yang mereka pelajari dan mengerti serta mengerjakan tugasnya sesuai dengan
peranan masing-masing. Sesuai dengan konsep bahwa kesuksesan kelompok bisa
dicapai dengan cara berdiskusi, memberikan penjelasan lisan tentang begaimana
memecahkan masalah, saling berbagi pengetahuan/ ketrampilan satu sama lain, dan
saling memerikasa (peer-assessment/ peer-checking).

• Individual accountability: proses belajar kooperatif memberikan kesempatan pada


siswa untuk unjuk gigi dalam hal yang didiskusikan sehingga bisa memberikan
kontribusi positif dalam kinerja kelompok. Dalam elemen ini, sangat penting untuk
menjaga ukuran kelompok tetap kecil. Sebab, semakin kecil ukuran kelompok
semakin besar tanggungjawab individu. Dengan memberikan tes individu, serta
secara acak menguji siswa secara lisan sepanjang kegiatan berlangsung (monitoring)
dan mengamati setiap kelompok untuk menilai tingkat partisipasi setiap anggota
kelompok, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas individu dalam kelompok.

• Social skills: siswa perlu menunjukkan keahlian komunikasi yang efektif, keahlian
interpersonal, dan teamwork. Sehingga mereka bisa bekerjasama dengan siapa saja
dan meningkatkan kepercayaan diri sebagai individu. Keterampilan bersosial yang
harus diajarkan adalah kepemimpinan, mengambil keputusan, membangun
kepercayaan, komunikasi, ketrampilan pengaturan masalah atau konflik.

• Group processing: secara berkala memberikan evaluasi kefektifan dalam bekerja


dan mencari cara untuk mengembangkan kinerja kelompok supaya lebih baik. Ada
kesepakatan kelompok tentang peraturan dan tanggung jawab, menjelaskan
perbuatan-perbuatan anggota kelompok baik yang membantu atau tidak. Dalam

3
elemen ini, hasil akhir adalah hasil kerja bersama. Yang lebih penting lagi, ada proses
refleksi bersama terhadap hasil akhir.

• Normally heterogenous: pengelompokan siswa heterogen akan meningkatkan


ketergantungan positif setiap anggota kelompok dan keaktifan dalam memberikan
kontribusi.

• Task achievement and group maintenance: setiap anggota kelompok mempunyai


target akademik, terutama yang sesuai dengan kurikulum. Dalam prosesnya
menggunakan proses sosial, antara lain berbagi informasi, bertanya dan
memberikan informasi. Dalam hal kerjasama dalam grup, memiliki ikatan kuat dalam
grup yang bisa bekerja dengan lancar dan terstruktur adalah tujuan utamanya.

Model Pembelajaran Kooperatif


1. Think-Pair-Share
Think-Pair-Share (TPS) adalah salah satu cara untuk mendorong siswa
berpartisipasi dalam diskusi kelompok kecil atau dalam kelas sembari menjabarkan
pemikiran dan pendapat mereka melalui interaksi. TPS dikembangkan oleh Profesor
Frank Lyman dari University of Maryland Howard County Southern Teacher
Education Center (Kagan, 1994).
Dalam TPS siswa menggunakan 3 langkah dalam menyampaikan ide atas
pertanyaan/isu yang diberikan. THINK: Siswa berpikir secara individu mengenai
pertanyaan/isu yang diajukan dan membuat pemikiran atau kesimpulan sendiri atas
hal tersebut. PAIR: Siswa berpasangan untuk mendiskusikan pemikiran/ide-ide
mereka. Langkah ini membuat siswa saling berinteraksi dan mengartikulasikan ide
mereka serta mendengarkan secara aktif ide orang lain. SHARE: Siswa membentuk
grup yang lebih besar dan saling bertukar ide, berdiskusi mengenai isu atau
pertanyaan yang diberikan di awal. Seringkali, dengan berada di grup yang lebih
besar, siswa menjadi lebih percaya diri dan aktif dalam menyampaikan ide.
Kegiatan Think-Pair-Share ini penting karena menurut Pressley (1992) siswa
perlu mendapatkan banyak kesempatan untuk berbicara, dengan begitu proses
belajar mereka bisa memberikan hasil yang memuaskan sebab mereka terbiasa

4
mengelaborasi ide mereka melalui forum. Hal ini juga diperkuat dengan temuan
bahwa dengan strategi TPS, siswa bisa meningkatkan kemampuan komunikasi secara
personal sehingga self-esteem siswa juga meningkat secara signifikan. Lebih lanjut,
saat siswa berdiskusi secara berpasangan juga meminimalisir kemungkinan tidak ikut
serta siswa tertentu dalam proses diskusi. Meski strategi ini terlihat membutuhkan
waktu, tetapi TPS membuat suasana diskusi di kelas menjadi lebih hidup dan
interaktif.
Strategi ini dinilai ideal untuk guru yang baru mempelajari model
pembelajaran kooperatif sebab bisa digunakan dalam konteks yang bervariasi. Untuk
membuatnya lebih efektif, siswa harus diajak untuk memikirkan open-ended
questions, untuk memancing kesempatan berdiskusi lebih dalam. Beberapa guru
biasanya memberikan waktu untuk setiap langkah THINK dan PAIR sehingga siswa
tahu batasan dalam menyampaikan hasil pemikirannya. Dalam langkah SHARE, siswa
bisa menyampaikan pendapatnya dalam beberapa cara. Salah satunya meminta
semua siswa berdiri dan saat setiap siswa selesai menyampaikan hasil diskusi
berpasangan, mereka bisa duduk. Cara lainnya adalah memilih siswa secara acak
untuk menyampaikan hasil diskusi atau sekedar menuliskannya di secarik kertas juga
bisa dilakukan.

2. Inside and Outside Circle


Inside-Outside Circle (Kagan, 1994) adalah strategi untuk pengambilan kesimpulan
dan membiarkan siswa untuk bergerak aktif. Strategi ini memberikan kesempatan
untuk siswa yang biasanya tidak berbicara untuk berinteraksi dengan siswa lainnya.
Biasanya siswa diminta untuk membaca teks, menonton video atau mendengarkan
lecture sebelum melakukan aktivitas ini. Setelah itu guru membentuk 2 grup. Siswa
kemudian diminta untuk membentuk 2 lingkaran yang berbeda; satu lingkaran
berdiri menghadap keluar dan sebagian lingkaran lain membentuk lingkaran
menghadap kedalam, menatap siswa melingkar ke luar. Dalam waktu yang
ditentukan, siswa saling berbagi informasi atas hal yang ia baca atau kesan atas apa
yang ia tonton. Dalam proses ini sebaiknya guru berdiri di tengah lingkaran sehingga
bisa memonitor proses interaksi siswa dengan mudah. Lalu, saatnya berpindah. Saat
guru memberikan aba-aba, siswa bergerak searah jarum jam dan mendapatkan

5
partner lain untuk berbagi informasi. Ulangi proses berbagi informasi kembali dan
saling mendengarkan. Guru bisa meminta siswa berpindah tempat beberapa kali
tergantung dari seberapa banyak siswa di kelas. Setiap siswa wajib untuk
mengatakan sesuatu dan berbagi informasi. Guru juga bisa menggunakan aktivitas
ini sebagai bagian dari tes formatif untuk mengetahui seberapa jauh siswa
memahami materi yang telah dibahas atau dibaca di kelas.

3. Round Robin Brainstorming


Brainstorming adalah proses yang menyenangkan dan menggunakan proses kreatif
dalam menyelesaikan masalah. Dalam Round-Robin Brainstorming, siswa dibagi
dalam grup berjumlah 4-6 orang dan bisa diajak untuk duduk melingkar. Guru
menyiapkan selembar kertas dan sebuah isu/pertanyaan. Dalam waktu yang
ditentukan, secara bergantian siswa menuliskan idenya di kertas tersebut. Alternatif
lain, salah satu siswa ditunjuk sebagai ‘recorder’ yang bertugas menuliskan ide setiap
anggota. Selama proses ini berlangsung, tidak ada jawaban benar atau salah sebab
tujuannya adalah kebebasan berekspresi yang terarah.

4. Two Stay-Two Stray


Two Stay-Two Stray (TS-TS) dikembangkan oleh Spencer Kagan dan biasa
digunakan bersamaan dengan strategi Numbered Head Together (NHT). TS-TS
memberikan kesempatan kepada kelompok untuk saling membagikan hasil dan
informasi kepada kelompok lain. Dalam TS-TS, siswa bekerja secara kooperatif dalam
memahami materi yang diberikan, menemukan suatu konsep dan mengarahkan
siswa untuk aktif berdiskusi, tanya-jawab dan mencari jawaban atau klarifikasi atas
topik yang dibahas. Selain itu, TS-TS ini sering digunakan sebab terdapat pembagian
kerja kelompok yang jelas untuk tiap anggota kelompok, dapat bekerjasama antar
siswa, serta dapat mengatasi kondisi siswa yang ramai dan sulit diatur saat proses
belajar mengajar reguler. Ketrampilan berdiskusi dan menyimak siswa dianggap bisa
lebih meningkat apabila strategi TS-TS ini sering dilakukan. Langkah pembelajaran
TS-TS bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat seperti biasa.

6
b. Setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok akan meninggalkan
kelompoknya dan masing-masing bertamu ke kelompok yang lain.
c. Dua siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan
informasi mereka ke tamu mereka.
d. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan
temuan mereka dari kelompok lain.
e. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka

Dalam melakukan strategi TS-TS, ada beberapa kelebihan dan kekurangan yang perlu
diperhatikan. Strategi TS-TS dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan. Strategi
ini bisa membuat proses belajar siswa menjadi lebih bermakna dan lebih
berorientasi pada keaktifan, sehingga siswa akan berani mengungkapkan
pendapatnya. TS-TS juga bisa menambah kekompakan dan rasa percaya diri siswa,
serta kemampuan berbicara siswa. Pada akhirnya, hal ini juga membantu
meningkatkan minat dan prestasi belajar. Akan tetapi, TS-TS membutuhkan waktu
yang lama, serta kemungkinan siswa yang cenderung tidak mau belajar dalam
kelompok bisa terjadi. Bagi guru, TS-TS membutuhkan banyak persiapan (materi,
dana dan tenaga) dan bila tidak berpengalaman, guru bisa kesulitan dalam
pengelolaan kelas. Untuk mengatasi kekurangan TS-TS, maka sebelum pembelajaran,
guru terlebih dahulu mempersiapkan dan membentuk kelompok-kelompok belajar
yang heterogen ditinjau dari segi jenis kelamin dan kemampuan akademis.
Pembentukan kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar
dan saling mendukung sehingga memudahkan pengelolaan kelas karena dengan
adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi yang diharapkan bisa
membantu anggota kelompok yang lain

5. Jigsaw
Jigsaw adalah metode untuk mengatur aktivitas kelas sehingga siswa bisa
saling membantu satu sama lain. Secara singkat, jigsaw membagi kelas menjadi grup
dan membagi tugas besar menjadi tugas kecil untuk disatukan kembali sehingga
menjadi satu kesatuan gambar besar. Teknik ini didesain oleh Elliot Aronson, seorang
psikolog yang berharap Jigsaw bisa membantu menyelesaikan konflik rasial.

7
Jigsaw adalah strategi yang efisien untuk membuat siswa terlibat aktif dalam
proses pembelajaran, mempelajari banyak materi secara cepat, berbagi informasi
dengan grup lain, meminimalisir waktu untuk mendengarkan pelajaran dan
bertanggung jawab atas apa yang mereka pelajari. Aronson membandingkan kelas
yang menggunakan konsep Jigsaw dengan kelas yang dibentuk berdasarkan grup
yang berkompetisi. Hasilnya, siswa yang yang menggunakan konsep Jigsaw prestasi
akademiknya lebih baik dari kelas lainnya.
Dalam teknik ini, kelas dibagi menjadi beberapa grup yang dinamakan
‘HOME’ grup. Masing-masing anggota ‘HOME’ grup mempelajari materi yang
diberikan dengan baik dan sempurna sebelum nanti berbagi di grup lain yang
bernama ‘EXPERT’ grup. Anggota ‘EXPERT’ grup diambil dari setiap perwakilan
‘HOME’ grup yang mempelajari materi yang sama. Dalam sesi diskusi di
‘EXPERT’grup, setiap anggota wajib membagikan informasi yang telah dibaca dalam
‘HOME’ grup masing-masing. Setelah berdiskusi di ‘EXPERT’ grup, masing-masing
anggota kembali ke ‘HOME’ grup masing-masing dan menampilkan hasil diskusi pada
anggota yang lain.
Dalam Jigsaw, guru berperan sebagai fasilitator. Misalnya saat siswa berada
di EXPERT grup, guru bisa mendorong siswa untuk memberikan informasi dengan
kata-kata mereka sendiri. Siswa harus dimotivasi untuk membantu satu sama lain
sebab semua orang dalam grup harus benar-benar paham mengenai materi
tersebut. Apabila guru mengetahui ada siswa yang merasa kesulitan dalam
menjelaskan, maka guru bisa meminta siswa tersebut untuk berpartner dengan
siswa lain yang bisa membantu dalam proses pemahaman tersebut.
Strategi Jigsaw sangat fundamental untuk digunakan dalam berbagai macam
kerja kelompok dalam berbagai konteks. Menggunakan strategi ini secara regular
bisa untuk memaksimalkan interaksi antar siswa. Apabila siswa sudah mulai terbiasa
dalam sharing ide dengan lainnya, maka siswa akan menjadi pembelajar yang
bertanggungjawab. Guru bisa memberikan materi yang berbeda tingkat kesulitannya
setiap kali melakukan Jigsaw. Kuis bisa juga diberikan untuk mengecek pemahaman
siswa setelah Jigsaw dilakukan.

8
6. Numbered Head Together
Numbered Head Together adalah strategi yang mengutamakan aktivitas
siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber
yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas (Rahayu, 2006). NHT pertama kali
dikenalkan oleh Spencer Kagan dkk (1993) yang menekankan pada strategi untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Kagan menghendaki agar para siswa bekerja
dengan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Strategi
tersebut dikembangkan sebagai bahan alternatif dari kebiasaan di kelas tradisional
seperti mengacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru
untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. Suasana seperti ini biasanya
menimbulkan kegaduhan dalam kelas, karena para siswa saling berebut dalam
mendapatkan kesempatan untuk menjawab.
Menurut Kagan (2007) model pembelajaran NHT ini secara tidak langsung
melatih siswa untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta
berbicara dengan penuh perhitungan, sehingga siswa lebih produktif dalam
pembelajaran.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa lngkah-langkah yang dapat
dilakukan dalam melaksanakan model pembelajaran ini adalah :
a. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dan masing-masing siswa dalam setiap
kelompoknya mendapatkan nomor urut
b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakan
permasalahan.
c. Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan
setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini.
d. Guru memanggil salah satu nomor dan siswa yang bernomor tersebut
melaporkan hasil kerja kelompok.
e. Teman yang lain bisa memberikan tanggapan dan kemudian guru menunjuk
nomor yang lain.
f. Kesimpulan diambil dari hasil jawaban sebelumnya.

Akan tetapi, salah satu kekurangan dari metode ini adalah kelas cenderung
jadi ramai, dan jika guru tidak dapat mengkondisikan dengan baik, keramaian itu

9
dapat menjadi tidak terkendali, sehingga bisa mengganggu proses belajar mengajar.
Bisa juga terjadi kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru atau
tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru. Di lain pihak, kelebihan Number
Heads Together adalah membuat setiap siswa menjadi siap untuk ditanya serta
dapat melakukan diskusi untuk mengajari siswa yang kurang pandai.

7. Student Team Achievement Division (STAD)


Dalam STAD siswa didorong untuk bekerjasama dalam atmosfer yang kompetitif.
Guru membagi siswa dalam grup yang terdiri dari 4-5 orang. Diusahakan grup ini
cukup heterogen untuk merepresentasikan komposisi kelas. STAD adalah salah satu
strategi pembelajaran yang berguna untuk menumbuhkan kemampuan kerjasama,
kreatifitas, berpikir kritis dan kemampuan untuk membantu teman.
STAD terdiri lima komponen utama, yaitu :
a. Penyajian kelas
Guru menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan penyajian kelas. Penyajian
kelas tersebut mencakup pembukaan, pengembangan dan latihan terbimbing.
b. Kegiatan kelompok
Siswa mendiskusikan lembar kerja yang diberikan dan diharapkan saling membantu
sesama anggota kelompok untuk memahami bahan pelajaran dan menyelesaikan
permasalahan yang diberikan.
c. Kuis
Kuis adalah tes yang dikerjakan secara mandiri dengan tujuan untuk mengetahui
keberhasilan siswa setelah belajar kelompok. Hasil tes digunakan sebagai hasil
perkembangan individu dan disumbangkan sebagai nilai perkembangan dan
keberhasilan kelompok.
d. Skor kemajuan (perkembangan) individu
Skor kemajuan individu ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi
berdasarkan pada seberapa jauh skor kuis terkini yang melampui rata-rata skor siswa
yang lalu.
e. Penghargaan kelompok
Penghargaan keompok adalah pemberian predikat kepada masing-masing kelompok.
Predikat ini diperoleh dengan melihat skor kemajuan kelompok. Skor kemajuan

10
kelompok diperoleh dengan mengumpulkan skor kemajuan masing-masing
kelompok sehingga diperoleh skor rata-rata kelompok.

Tahapan STAD bisa dijelaskan sebagai berikut


Pendahuluan:
Guru memberikan informasi kepada siswa tentang materi yang akan mereka pelajari, tujuan
pembelajaran dan pemberian motivasi agar siswa tertarik pada materi. Kemudian, guru
membentuk siswa kedalam kelompok yang sudah direncanakan, serta
mensosialiasakan kepada siswa tentang strategi pembelajaran yang digunakan
dengan tujuan agar siswa mengenal dan memahamimya. Terakhir, guru memberikan
apersepsi yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari.
Pengembangan:
Guru mendemonstrasikan konsep atau keterampilan secara aktif dengan
menggunakan alat bantu. Guru membagikan lembar kerja siswa (LKS) sebagai bahan
diskusi kepada masing-masing kelompok. Lalu, siswa diberikan kesempatan untuk
mendiskusikan LKS bersama kelompoknya. Kemudian, Guru memantau kerja dari
tiap kelompok dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan.
Penerapan:
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal yang ada
dalam LKS dengan waktu yang ditentukan, siswa diharapkan bekerja secara individu
tetapi tidak menutup kemungkinan mereka saling bertukar pikiran dengan anggota
yang lainnya. Setelah siswa selesai mengerjakan soal lembar jawaban, kemudian
dikumpulkan untuk dinilai.

Menggunakan strategi STAD dapat memberikan kesempatan kepada siswa


untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah, serta
memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih intensif mengadakan
penyelidikan mengenai suatu masalah. Ketrampilan berdiskusi siswa juga lebih
terasah selama proses STAD sebab mereka dituntut untuk aktif dan bergabung
dalam berinteraksi. STAD dapat pula memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan rasa menghargai, menghormati pribadi temannya, dan menghargai
pendapat orang lain.

11
8. Discussion Web
Seringkali saat mengajak siswa berdiskusi di kelas hanya beberapa siswa yang
turut serta dalam proses tersebut. Discussion Web (Alvermann, 1991) adalah strategi
yang didesain untuk mengikutsertakan semua siswa untuk secara aktif berdiskusi.
Guru berperan sebagai moderator dan penyemangat siswa. Sebagai moderator,
Guru membantu grup tersebut untuk selalu fokus pada topik yang dibicarakan.
Sebagai penyemangat, guru wajib untuk meminta siswa yang enggan berpartisipasi
untuk ikut serta dalam diskusi dan mengekspresikan ide mereka dengan bebas.
Dalam Discussion Web, guru meminta siswa untuk membaca bahan bacaan
yang telah disiapkan atau mendengarkan bahan untuk diskusi. Bacaan yang dipilih
kalau bisa yang mempunyai pandangan bertentangan atau isu kontraversial.
Kemudian, guru memperkenalkan Discussion Web dan fokus pertanyaan yang akan
didiskusikan. Pertanyaan ini sebisa mungkin adalah pertanyaan yang menimbulkan
perdebatan. Siswa bekerja berpasangan untuk mengembangkan jawaban atas
pertanyaan tersebut dari sudut pandang yang berbeda (YES dan NO). Sembari
mendiskusikan pertanyaan, minta mereka untuk menuliskan argumen pada dua sisi
di lembar Discussion Web yang disediakan. Dalam proses ini, penekanan pada
membuat argumen terkuat dari kedua sisi Discussion Web.
Lalu, setiap pasangan dikelompokkan dengan pasangan lain dan saling
berbagi argument/membandingkan pendapat mereka untuk pertanyaan/isu yang
diangkat. Grup terus berdiskusi hingga sampai pada kesimpulan akhir; argumen
terkuat dan alasan atas pilihan tersebut. Kesimpulan grup diambil dan dituliskan di
Discussion Web. Terakhir, minta perwakilan grup untuk menjabarkan kesimpulan
yang diambil dan siswa bisa diminta untuk menuliskan opini pribadi mereka tentang
isu tersebut di akhir diskusi. Discussion Web memberikan kesempatan siswa untuk
berpikir kritis dan melihat baik-baik pendapat dari 2 sisi sebelum memberikan
penilaian.

12
Lembar discussion web yang digunakan bisa seperti yang dibawah ini:

………………… …………………………

………………… ………………………..
REASON
……………….. …………………………

………………… …………………………

……………….. NO YES ………………………..

TOPIC

………………. ……………………….
………………. ……………………….
………………. ……………………….
………………. CONCLUSIONS ……………………….

Yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif


1. Anggota kelompok sebaiknya terbatas 4-6 orang saja. Apabila terlalu banyak, kinerja
2. kelompok akan menjadi tidak efektif.
3. Sejak awal, tujuan, arahan dan petunjuk kelompok harus dinyatakan dengan jelas.
Bila tidak, objektif dari pembelajaran kooperatif akan tidak tercapai.
4. Siswa sebaiknya siap untuk bekerja dengan siapa saja dalam pembelajaran
kooperatif.
5. Pembelajaran kooperatif tidak hanya untuk kegiatan higher order thinking namun
juga lower order thinking.
6. Dalam pembelajaran kooperatif, guru diminta untuk bekerjasama, saling memonitor
dan mengkontrol.
7. Kegiatan pembelajaran kooperatif harus dimulai dengan saling mengenal dan
menyapa, sebab kedekatan interpersonal penting untuk penguasaan materi

13
8. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan aspek kognitif, afektif dan kemahiran
social dan tidak hanya berorientasi pada nilai semata.

Implementasi Pembelajaran Kooperatif yang Efektif


Dalam penerapan pembelajaran kooperatif yang efektif, guru perlu melakukan hal-hal yang
bersifat taktis dan praktikal untuk keefektifan kegiatan pembelajaran. Pertama, guru perlu
menyepakati silent signal yang bisa dilakukan saat menenangkan siswa tanpa harus
mengeluarkan suara. Kedua, guru perlu menentukan tujuan yang jelas dalam pembelajaran.
Ketiga, kelompok yang dibentuk haruslah heterogen supaya setiap anggota bisa saling
mengisi kekurangan masing-masing dan berkontribusi sesuai dengan kapasitas mereka.
Keempat, pembelajaran kooperatif harus melibatkan seluruh individu sesuai dengan peran
dan kewajiban masing-masing. Kelima, guru perlu menentukan deadline yang jelas sehingga
siswa dapat mengatur diskusi kelompok dengan jelas. Terakhir, refleksi guru dan siswa
sangat penting untuk kelanjutan kefektifan pembelajaran kooperatif.

Dukungan Alat Bantu dalam Pembelajaran Kooperatif di Kelas


Salah satu alat bantu pengajaran yang mendukung pembelajaran kooperatif dan membantu
pemahaman materi inti secara visual melalui organisasi informasi dan konsep yang teratur
dinamakan graphic organizer (Fisher and Schumaker, 1995).
Dalam menerapkan graphic organizer di kelas, guru perlu menerapkan konsep 3C’s
(Baxendell, 2003). 3C’s ini terdiri dari; consistent, coherent dan creative.
1. Consistent: menerapkan standar dalam pemakaian Graphic Organizer,
mengembangkan sistem penerapan dalam pembelajaran di kelas.
2. Coherent: menyediakan panduan yang jelas antara Graphic Organizer, batasan ide
yang diutarakan dan meminimalisir gangguan.
3. Creative: menggunakan Graphic Organizer dalam setiap tahapan desain
pembelajaran, menggabungkan dengan homework dan test review, menambahkan
ilustrasi, dan penerapan dalam kelompok.

14
Contoh Graphic Organizer
1. Plus, Minus, Interesting (PMI)
Graphic Organizer ini membantu dalam proses brainstorming yang membantu siswa
untuk melihat permasalahan/isu dari berbagai macam point of view.
2. 4 Square
Graphic Organizer ini seringkali digunakan untuk pengembangan ide saat menulis.
Siswa diminta untuk menuliskan ide sesuai dengan heading yang tertulis di setiap
kotak.
3. Fishbone
Disebut juga Cause and Effect Diagram. Graphic Organizer ini digunakan untuk
mengidentifikasi sebab dari permasalahan dan memberikan kebebasan dalam
mengkategorikan efek yang ditimbulkan.
4. Venn Diagram
Diagram ini digunakan untuk membantu siswa dalam menjelaskan persamaan dan
perbedaan antara 2 hal. Karakteristik setiap hal bisa dijabarkan lebih jelas dalam
setiap bagian dari diagram venn ini.

15
Resources:

Borich, Gary D. 2014. Effective Teaching Methods; Research Based Practice. Pearson
Education: USA.

Buehl, Doug. 2001. Classroom Strategies for Interactive Learning. International Reading
Association, Inc.

Lang, Hellmut R and Evans, David N. 2006. Models, Strategies, and Methods for Effective
Teaching. Pearson Education: USA.

Niemi, Hannele, Nevgi, Anne & Aksit, Fisun. 2016. Active Learning Promoting
Student Teachers’ Professional Competences in Finland and Turkey. European Journal of
Teacher Education. Retrieved from http://dx.doi.org/10.1080/02619768.2016.1212835.

Wolfe, Kara. 2006. Active Learning. Journal of Teaching in Travel & Tourism, 6:1, 77-82

16

Anda mungkin juga menyukai