Anda di halaman 1dari 7

pembelajaran kolaborasi

1 Pengertian pembelajaran kolaborasi


          
     Dalam pandangan masyarakat umum, pengertian collaborative learning (CBL) sering disamakan
dengan cooperative learning (CPL). Definisi pembelajaran kooperatif digambarkan sebagai suatu struktur
kerjasama dalam bentuk kerja kelompok. Didalam struktur kerja kooperasi ini terjadi proses-proses
interaksi antar para anggota kelompok, yang disebut kolaborasi. Kolaborasi ini menurut pendapat Gerlach
(1994) adalah : “Collaboration is a philosophy of interaction and personal lifestyle where individuals are
responsible for their actions, including learning and respect the abilities and contributions of their peers.
Menurut pandangan ini, kolaborasi merupakan suatu landasan interaksi dan cara hidup seseorang
dimana individu bertanggung jawab atas tindakannya, yang mencakup kemampuan belajar dan
menghargai serta memberikan dukungan terhadap kelompoknya. Melalui aktivitas-aktivitas tersebut, kita
dapat mengindentifikasi perilaku-perilaku kolaborasi, menempatkan perilaku tersebut dalam urutan yang
sesuai, dan pebelajar mendemonstrasikannya. Hal yang inti berkenaan dengan keterampilan-
keterampilan kolaborasi ini adalah kemampuan untuk melakukan tukar pikiran dan perasaan antara
pebelajar yang satu sama lainnya pada tingkatan yang sama (Borich,1996).  CPL lebih dikendalikan oleh
pembelajar, sedangkan CBL oleh pebelajar. Dalam CPL banyak mekanisme analisis tim dan introspeksi
berpusat pada pembelajar sedangkan dalam CBL lebih berpusat pada pebelajar (Panitz,1996). Kagan
(1990) mendefinisikan CPL sebagai suatu pendekatan struktural yang berdasarkan pada penciptaan,
analisis dan aplikasi struktur yang sistematis, atau mengorganisir interaksi sosial di dalam kelas . Struktur
pada umumnya melibatkan satu rangkaian langkah-langkah. Kata kunci penting pendekatan ini adalah
pembedaan antara " struktur" dan " aktivitas".
     Dalam CBL, pembelajar memindahkan semua otoritas kepada tim, sementara CPL tidak
melakukan hal seperti ini. Kerja kolaborasi adalah suatu proses kerjasama yang dilakukan oleh antar
individu maupun antar kelompok, yang saling penuh perhatian dan penghargaan sesama anggota untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam konteks pembelajaran Robert et.al mengatakan,  pembelajaran
kolaboratif adalah pembelajaran yang asaskan koperatif. Sehingga untuk mewujudkan pembelajaran
kolaboratif diawali dengan membiasakan siswa dengan pembelajaran kooperatif.  Pembelajaran
kooperatif yang didesain oleh guru, akan menjadi awal perubahan di kelas.  Jika siswa terbiasa
bekerjasama, saling tergantung satu dengan yang lain untuk memperoleh pengetahuan, maka siswa
akan berkembang menjadi siswa-siswa kolaboratif.   Lebih lanjut Robert membedakan pembelajaran
kooperatif dan kolaboratif, sebagai berikut:
Aspek Kooperatif Kolaboratif
Siswa sudah memiliki kemampuan
Siswa menerima latihan dalam bekerjasama dan sosial. Siswa  membangun
Siswa
kemampuan bekerjasama dan sosial. kemampuannya itu untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Aktivitas distrukturkan, setiap pelajar Siswa berunding dan mengorganisasikan
Aktivitas
memainkan peranan spesifik. sendiri.
Aktivitas kelompok tidak dipantau oleh guru.
Guru memantau, mendengar dan campur Jika timbul persoalan, siswa memecahkan
Guru tangan dalam kegiatan kelompok jika sendiri dalam kelompoknya. Guru hanya
perlu. membimbing siswa ke arah penyelesaian
persoalan.
Ada hasil kerja kelompok yang akan Draf kerja untuk disimpan siswa untuk  kerja
Output
dinilai guru. lanjutan.
Siswa menilai prestasi individu dan Siswa menilai prestasi individu dan kelompok
Penilaian
kelompok dengan dibimbing oleh guru. tanpa dibimbing oleh guru.
Oleh karena itulah, Schrage (1990) menyatakan  pembelajaran kolaboratif melebihi aktivitas
bekerjasama (kooperatif) kerana ia melibatkan kerjasama hasil penemuan dan hasil yang didapatkan
daripada sekedar pembelajaran baru. Menurut Jonassen (1996), seperti halnya pembelajaran kooperatif,
pembelajaran kolaboratif juga dapat membantu siswa membina pengetahuan yang lebih bermakna jika
dibandingkan dengan pembelajaran secara individu. Selain itu, dengan menjalankan aktivitas dan projek
pembelajaran secara kolaboratif secara tidak langsung  kemahiran-kemahiran seperti bagaimana
berkomunikasi akan dipelajari oleh pelajar.
Kolaboratif dapat dilakukan di dalam kumpulan yang besar maupun kumpulan yang terdiri dari
empat atau lima orang pelajar. Sedangkan pembelajaran koperatif hanya kelompok kecil pelajar yang
bekerja dan memahami secara bersama.  Jadi pembelajaran koperatif adalah satu  bentuk kolaboratif,
yaitu kelompok besar belajar bersama untuk mencapai hasil  yang disepakati bersama (Johnson &
Johnson, 1989).
2 Karakteristik Pembelajaran Kolaborasi
Myers (1991) memandang collaborative learning sebagai pembelajaran yang berorientasi
"transaksi" ditinjau dari sisi metodologi. Orientasi itu memandang pembelajaran sebagai dialogue antara
pebelajar dengan pebelajar, pebelajar dengan pembelajar, pebelajar dengan masyarakat dan
lingkungannya. Para pebelajar dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif ini memandang
mengajar sebagai " percakapan" di mana para pembelajar dan para pebelajar belajar bersama-sama
melalui suatu proses negosiasi. Proses negosiasi dalam pola belajar kolaborasi memiliki 6 karakteristik,
yakni (1) tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran, (2) diantara anggota tim saling memberi
masukan untuk lebih memahami masalah yang dihadapi, (3) para anggota tim saling menanyakan untuk
lebih mengerti secara mendalam, (4) tiap anggota tim menguasakan kepada anggota lain untuk berbicara
dan memberi masukan, (5) kerja tim dipertanggungjawabkan ke (orang) yang lain, dan dipertanggung-
jawabkan kepada dirinya sendiri, dan (6) diantara anggota tim ada saling ketergantungan. Ada sejumlah
faktor yang perlu diperhatikan dalam pola belajar kolaboratif, yakni peran pebelajar dan peran pembelajar
(Panitz,1996). Peran pebelajar yang harus dikembangkan adalah (1) mengarahkan, yaitu menyusun
rencana yang akan dilaksanakan dan mengajukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi, (2)
menerangkan, yaitu memberikan penjelasan atau kesimpulan-kesimpulan pada anggota kelompok yang
lain, (3) bertanya, yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang ingin
diketahui, (4) mengkritik, yaitu mengajukan sanggahan dan mempertanyakan alasan dari usulan/
pendapat/pernyataan yang diajukan, (5) merangkum, yaitu membuat kesimpulan dari hasil diskusi atau
penjelasan yang diberikan, (6) mencatat, yaitu membuat catatan tentang segala sesuatu yang terjadi dan
diperoleh kelompok, dan (7) penengah, yaitu meredakan konflik dan mencoba meminimalkan ketegangan
yang terjadi antara anggota kelompok. Dalam kaitan dengan ciri-ciri khusus atau karakteristik itu,
diidentifikasi ada empat karakteristik dalam melakukan aktifitas pembelajaran yang melibatkan proses-
proses kolaborasi (Tinzmann,et al.,1990). Keempat karakteristik tersebut meliputi :
1.      Berbagi pengetahuan antara pembelajar dan pebelajar
Sumber pengetahuan bukan hanya berasal dari pembelajar (guru dan dosen) saja, tetapi juga berasal
dari sumber-sumber lain termasuk dari pebelajar sendiri. Dalam pembelajaran konvensional (tradisional),
pebelajar sangat dominan sebagai penyaji pengetahuan atau informasi (information sender). Artinya alur
informasi hanya melalui satu arah saja, the sage on the stage, yaitu dari pembelajar kepada pebelajar.
Pebelajar bersifat pasif karena hanya menerima saja dari guru. Sebaliknya dalam pembelajaran
kolaborasi alur informasi dilakukan secara timbal balik dan sharing baik antara pembelajar-pebelajar
ataupun antara pebelajar sendiri dalam kelompok kerjanya. Pembelajar memiliki pengetahuan tentang isi,
keterampilan dan bekerja secara kolaboratif membangun pengetahuan, pengalaman personal, bahasa
dan strategi serta kultur belajar pebelajar. Dengan demikian, pembelajar lebih berperan sebagai the
guide on the side.
2.      Berbagi kekuasaan antara pembelajar dan pebelajar
Membagi kekuasaan (share authority) antara pembelajar dan pebelajar atau sesama pebelajar akan
memberikan dampak positif dalam situasi kehidupan kelas. Dalam pemebelajaran kolaborasi, pembelajar
berbagi kekuasaan dengan pebelajar secara khusus. Sebaliknya, dalam pembelajaran tradisional,
pemebelajar lebih dominan dalam bertanggung jawab, menetapkan tujuan, merancang tugas-tugas
belajar, dan menilai hasil belajar. Pembelajar yang kolaboratif secara bersama-sama merumuskan tujuan
pemebelajaran, memberikan pilihan-pilihan kegiatan dan tugas-tugas belajar sesuai dengan perbedaan
minat dan tujuan belajar serta mendorong pebelajar terlibat dalam kegiatan penilaian.
3.      Pembelajar sebagai perantara
Pada saat berbagi pengetahuan dan otoritas antara pebelajar dan pembelajar, peran pembelajar lebih
menekankan pada mediator belajar. Keberhasilan bantuan belajar ini akan membantu pebelajar
mengkaitkan pengetahuan baru terhadap pengalamannya serta dalam mempelajari bidang-bidang lain.
Dengan demikian, pebelajar akan memperoleh manfaat besar atas pengalaman belajarnya yang
memungkinkan pengalaman belajar fungsional di masyarakat. Selain itu, tugas pembelajar juga
membantu pebelajar menjelaskan tentang apa yang dapat dilakukan pada saat mereka (para pebelajar)
mengahadapi kebingungan dan membantu mereka belajar bagaimana mempelajari sesuatu. Yang
terpenting, pembelajar sebagai mediator menyesuaikan tingkat pengetahuan dan membantu semaksimal
mungkin kemammpuan untuk bertanggung jawab terhadap belajar.
4.      Pengelompokan pebelajar secara heterogen
Berbagai pustaka memberikan saran-saran dan telah memberikan tekanan bahwa kelompok seyogyanya
heterogen bila memungkinkan (Cooper,1990;Johnson,et al.,1998; Nurrenbern,1995; Slavin,1995).
Rasionalnya, agar tercipta lingkungan kelompok yang lebih beragam berkaitan dengan latar
belakang,gagasan,suku atau kelompok ras,dan jenis kelamin. Pengelompokan pebelajar atau pebelajar 
secara heterogen ini akan memberikan gambaran atau wawasan,pengalaman,dan latar belakang kepada
pebelajar,perihal ini sangat penting untuk memperkaya belajar mereka dalam kelas. Manakala
pembelajaran berlangsung di luar kelas yang menuntut pemahaman beragam,pembelajar perlu
memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk melakuakn hal tersebut dalam berbagai konteks.
Dalam pembelajaran kolaboratif, pebelajar terlibat secara aktif dalam latihan berpikir, setiap pebelajar
belajar dari pebelajar dari pebelajar lain, dan tak seorangpun pebelajar kehilangan kesempatan untuk
saling memberi kontribusi dan melakukan aspresiasi satu sama lain.
5.      Pembelajaran kolaborasi bersifat kontinum
Pembelajaran kolaborasi dapat juga kita pahami sebagai suatu ikatan atau jalinan kerja sama yang
bersifat kontinum yang mencakup empat komponen (Bonwell and Sutherland,1996). Keempat komponen
itu meliputi :
a.       Mulai tugas yang sederhana menuju ke kompleks
Tugas sederhana biasanya bersifat kurang terstruktur dan sangat terbatas, sehingga mudah dipelajari
dan waktu penyelesainnya pun hanya memerlukan beberapa jam saja. Sedangkan, tugas yang kompleks
lebih terstruktur dan sulit sehingga dalam mempelajari atau menyelesaikan memerlukan waktu
penyelesaian yang lebih luas. Tugas kompleks ini mungkin dapat berlangsung selama beberapa hari,
minggu, dan bahkan selama satu periode.
b.      Tujuan bahan dari pemerolehan pengetahuan menuju ke pemerolehan keterampilan dan sikap.
Pemerolehan pengetahuan merujuk pada penguasaan konsep-konsep dan fakta-fakta. Sedangkan,
pemerolehan keterampilan dan sikap merujuk pada suatu apresiasi bagaimana suatu bahan atau materi
berdampak terhadap kehidupan sehari-hari dalam situasi praktis.
c.       Interaksi dalam kelas, dari yang terbatas menuju ke meluas.
Tingkat interaksi antara pebelajar dan pembelajar dan antar pebelajar tergantung kepada preferensi
pembelajar, kepribadian, dan kebutuhan untuk melakukan pengendalian. Proses-proses dalam kelas
tidak hanya terbatas dalam cakupan isi bahan kajian yang tertera dalam dokumen kurikulum tetapi lebih
pada cakupan pengalaman belajar di luar kelas. Dengan demikian, interaksi pembelajarn lebih bersifat
multidimensional artinya membuka peluang kepada pebelajar untuk berinteraksi dengan sumber-sumber
diluar kelas, apakah teman sebaya, masyarakat, organisasi, dan lain sebagainya.
d.      Tingkat pengalaman pebelajar:dari yang kurang berpengalaman menuju ke yang berpengalaman.
Proses pembelajaran kolaborasi memiliki anggota yang heterogen. Para anggota kelompok terdiri atas
berbagai kelas sosial. Heterogenitas kelompok ini juga melibatkan pebelajar yang kurang memiliki
pengetahuan dan pengalaman, sehingga mereka yang telah menguasai pengetahuan dan pengalaman
tersebut dapat berbagi sesamaanggota kelompok. Dalam proses pembelajaran terjadi saling
membelajarkan antar anggota.
Ciri-ciri khusus aktivitas kelompok dengan tingkat struktur yang berbeda-beda (Millis & Cottel,1998)
tersebut mencakup:
1.      Tugas yang lebih terstruktur
Aktivitas-aktivitas yang lebih terstruktur lebih sering dilakukan pada saat awal terutama bagi pebelajar
yang belum berpengalaman yang biasanya masih belum merasa belum nyaman dalam lingkungan
belajar yang baru. Tugas yang lebih terstruktur memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Tujuan dan tugas sudah pasti
b.      Evaluasi sementara, misalnya berupa kuis atau ringkasan
c.       Peran kelompok ditentukan oleh pembelajar
d.      Proses-proses kelompok dilakukan pada waktu tertentu
e.       Metode berkenaan dengan bagaimana menyelesaikan tugas dibatasi.
2.      Kurang terstruktur
Aktivitas-aktivitas ini kemudian semakin kurang terstruktur sejalan dengan perkembangan atau
pengalaman belajar pebelajar. Ciri-ciri tugas yang kurang terstruktur yakni :
a.       Tujuan tidak didefinisikan dengan baik atau didefinisikan berdasarkan kelompok (luas)
b.      Balikan tidak bersifat formal
c.       Kelompok menentukan bagaimana kerja sama dan jika ada apa peran-peran kelompok yang
seharusnya dilakukan
d.      Pengelompokan dilakukan sendiri oleh kelompok
e.       Tidak ada cara tertentu untuk menyelasaikan tugas.
3 Keunggulan Kerja Kolaborasi
Hasil penelitian menunjukkan keunggulan pembelajaran kolaboratif, diantaranya dapat
meninggikan hasil belajar kelompok dan individu yang lebih mengarah pada metakognatif, munculnya
ide–ide baru  dan pendekatan penyelesaian masalah yang sebenarnya di ketengahkan. Selain itu kelas
yang dikelola secara kolaboratif lebih termotivasi, mempunyai sifat ingin tahu, ada perasaan membantu
orang lain, berkompetisi secara sehat dan bekerja secara individu lebih terarah. Ada beberapa
keunggulan yang dapat diperoleh melalui  pembelajaran kolaborasi. Keunggulan-keunggulan
pembelajaran kolaborasi tersebut menurut Hill & Hill (1993) berkenaan dengan :
1.      Prestasi lebih Tinggi
Aliran dan pendekatan kognitif telah memandang bahwa kecerdasan sebagi karakteristik atau menjadi
cirri-ciri khusus individual. Teori-teori yang lebih mutakhir juga memberi perhatian banyak dan
memberikan tekanan pada pengembangan kecakapan social seseorang. Selain memandang kecerdasan
bersifat individual, teori baru tersebut melihat sebagai suatu proses dimana individu mengkontruksi dan
mengorganisasi tindakan bersama berdasarkan lingkungannya. Doise dan Mugny (1984) telah
melakukan penelitian yang mendukung anggapan bahwa interaksi social benar-benar memberikan
arahan bagi kemajuan perkembangan kognitif. Penelitian terdahulu yang dilakukan (misalnya, Johnson &
Johnson, 1981) menunjukkan adanya bukti empiric yang besar sekali bahwa pengalaman belajar secara
kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademik lebih tinggi daripada pengalaman belajar individual dan
belajar kompetitif. Kedua pakar diatas telah melakukan penelitian terhadap sebanyak 26 kelas yang
mencakup data prestasi belajar  pada pebelajar tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah dengan
kemampuan dan usia yang beragam serta cakupan bidang kurikulum yang cukup banyak. Kesimpulan,
pengalaman belajar kooperatif meningkatkan prestasi belajar lebih tinggi daripada pengalaman belajar
individual dan kompetitif. Teori yang lebih mutakhir, berdasarkan hasil penelitian dan bukti eksperimen
semua menyarankan bahwa jika sekolah-sekolah ingin memberikan perkembangan kecerdasan secara
optimal bagi para pebelajarnya, meningkatkan hubungan sosial diantara pebelajarnya, maka pebelajar itu
perlu dilibatkan secara sungguh-sungguh dalam berbagai jenis aktivitas kooperatif. Dengan demikian
membelajarkan keterampilan belajar kolaborasi, manajemen dan organisasi kelompok akan menjadi lebih
penting daripada hanya membelajarkan dan menanamkan pengetahuan saja.
2.      Pemahaman yang lebih Mendalam
Pembelajaran kolaborasi yang dilakukan mulai di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi
memberikan kepada para pebelajar latihan-latihan bekerja sama dalam kelompok untuk memecahkan
sebuah masalah. Kita kadangkala menghadapkan para pebelajar dengan berbagai masalah atau ide dan
menuntut mereka memadukan ide-ide atau gagasan tersebut melalui suatu kerja kolaborasi. Perihal ini
memerlukan perhatian sungguh-sungguh dan secara terus-menerus memotivasi mereka belajar melalaui
kegiatan atau aktivitas kerja sama dan sama-sama kerja. Bentuk interaksi yang digambarkan dalam
suasana kerja sama secara transaksional diantara pebelajar merupakan ciri kelas kolaborasi. Suasana
pembelajaran kooperasi atau kolaborasi berbeda dengan kelas-kelas konvensional-tradisional yang
dikelola secara ketat, yang ditandai suasan diam dan sangat teratur (Diaz, Pelletier, & Provenzo, Jr,
2006).
3.      Belajar lebih menyenagkan
Pebelajar baik yang masih muda belia maupun yang sudah dewasa sama-sama belajar lebih banyak dan
merasa senang apabila mereka terlibat dalam situasi belajar kooperasi dan kolaborasi. Pengalaman
pribadi kita sendiri tentulah menjadi contoh tentang situasi tersebut. Hal yang paling penting kita sadari
bahwa dalam kerja sama atau kooperasi, melakukan komunikasi dan bertukar ide sesame kelompok
sebaya tersebut akan menimbulkan merasa senang. Mereka (para pebelajar) benar-benar dituntut
memiliki keterampilan social dalam aktivitas kerja sama sewaktu mereka diminta mempertahankan
keutuhan pasangan atau kelompok.
4.      Mengembangkan Keterampilan Kepemimpinan
Pembelajaran kolaborasi memberikan kesempatan yang secara terus menerus kepada para pebelajar
bagi penegmbangan keterampilan kepemimpinan (leadership skill) dan kerja kelompok. Pebelajar dengan
pengalaman-pengalaman semacam ini akan lebih mampu memahami pandangan orang lain dan memiliki
keterampilan berinteraksi lebih baik dengan orang lain daripada pebelajar dalam  situasi kompetisi dan
individualistic(Johnson & Johnson,1987).
5.      Meningkatkan Sikap Positif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila lingkungan distruktur untuk member kemungkinan pebelajar
bekerja sama secara kooperatif, mereka akan lebih bersikap positif terhadap sekolahnya, mata ajaran
dan terhadap pembelajarannya. Lebih jauh , dalam aktivitas kelompok tanpa melihat perbedaan latar
belakang kemampuan dan etnis, pebelajar bersikap lebih positif terhadap  yang lain setelah mereka
bekerja sama secara kooperatif daripada mereka yang belajar dalam situasi lingkungan yang distruktur
secara kompetitif dan individual. Lingkungan belajar kooperatif juga mendorong harapan-harapan yang
lebih positif tentang kerja samanya dengan orang lain dan berperan serta dalam menyelesaikan
perbedaan-perbedaan (Cooper dkk.,1980; Johnson & Johnson 1987).
6.      Meningkatkan Harga Diri
Ada bukti penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan belajar kooperatif dapat meningkatkan harga
diri pebelajar lebih tinggi daripada struktur situasi belajar tradisional (konvensional). Norem-Hebeison dan
Johnson (1981) juga menemukan bahwa pengalaman belajar kooperatif meningkatkan proses yang lebih
menyehatkan daripada hasil pengalaman sendiri, dan bahwa sikap terhadap kerja sama cenderung
berkaitan dengan penerimaan diri sendiri dan penilaian diri yang positif. Dalam aktivitas pembelajaran
kolaborasi, setiap anggota kelompok memiliki kesempatan brbicara dan setiap pandangan mendapatkan
penghargaan. Situasi seperti ini dapat meningkatkan citra dan percaya diri individu pebelajar sehingga ia
merasa dihargai. Sebaliknya, situasi kompetititf cenderung berkaitan dengan penerimaan diri yang
kondisional, dan sikap positif terhadap situasi individulistik cenderung pada penolakan diri.
7.      Belajar lebih Inklusif
Belajar bersama, yang melibatkan pihak lain (inklusif) dalam kelompok belajar kooperatif dan
menetapkan lingkungan kelas kolaboratif secara aktif meningkatkan kepedulian dan penghargaan pada
pihak lain. Situasi kolaborasi dapat mengembangkan hubungan atau interaksi positif dalam dan antar
kelompok sebaya (inklusif), cara-cara mengkomunikasikan gagasan atau ide dan yang paling penting
adalah persepektif terhadap orang lain mudah dipahami. Dalam situasi kelompok, setiap pandangan dan
pendapat dari setiap anggota (tanpa melihat asal usul) mendapatkan respon dari anggota kelompok lain.
Berkenaan dengan hal-hal diatas, pengalaman pembelajaran melalui aktivitas kolaborasi dapat dipakai
untuk mngembangkan kesadran dan meningkatkan sikap, misalnya menghargai, kepedulian social,
empatik dan seterusnya. Kegiatan pembelajaran ini di arahkan untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan
(habits) untuk memahami apa yang dipelajari, sikap ingin melakukan sesuatu, dan keterampilan
bagaimana melakukan sesuatu. Hal ini sejalan dengan pandangan (Covey,dalam Medsker &
Holdsworth,2001) yang menyatakan bahwa sikap mencakup tiga hal pokok, yaitu : 1) pengetahuan atau
knowledge (the what,where,when,and why), 2) sikap atau attitudes (the want to), dan 3) keterampilan
atau  skill (the how to).
Belajar kolaborasi secara inklusif sangatlah penting apabila pebelajar di dalam kelas berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda dan memiliki tingkat kemampuan yang luas. Keberhasilan pemaduan
pebelajar luar biasa dalam kelas regular atau konvensional menuntut usah-usaha yang bersifat
kolaboratif. Pebelajar dengan kemampuan khusus dapat berperan aktif dalam kelas apabila di dalam
situasi kelas yang bekerja secara aktif  mau menerima kehadiran mereka yang berasl dari kelompok luar
biasa. Belajar kolaborasi juga memiliki implikasi sangat penting dalam pengembangan hubungan saling
menguntungkan dan pemahaman lebih baik antara pebelajar laki-laki dan perempuan (gender).
Pembelajaran kolaborasi ini merupakan sarana yang ampuh untuk mengembangkan karakteristik
manusia sesuai dengan yang diinginkan, karerna pebelajar belajar melalui kelompok (student-team
learning). Pembelajaran kolaborasi dan kooperatif merupakan suatu prosedur pembelajaran dalam hal ini
para pebelajara belajar bersama secara berkelompok dan diarahkan untuk mencapai tujuan secara
kolektif ( Cruickshank, Jenkins & Metcalf, 2006). Belajar bersama, bekerja melakukan peran-peran sama
dalam kelompok dan memecahkan persoalan dengan cara kooperatif meningkatkan harga diri setiap
orang karena semua pebelajar dan kooperatif meningkatkan harga diri setiap orang karena semua
pebelajar dan pembelajarannya memiliki peran yang sama dan berarti.
8.      Rasa Saling Memiliki
Ada beberapa pebelajar yang tidak memiliki sarana-sarana sosialisasi positif sehingga kondisi ini
mungkin tidak sesuai dengan prestasi belajar individu. Situasi belajar seperti ini hanya terdapat dalam
lingkungan belajar tradisional ini hanya akan memperoleh kemajuan akademik yang kecil. Bahkan
mereka tidak dapat meningkatkan motivasi belajarnya dan mungkin juga merasa tertekan perasaan dan
harga dirinya. Mereka terjebak dalam apa yang disebut a self-defeating cycle; untuk memenuhi
kebutuhan pengakuan dan rasa memiliki mereka berbuat kacau dan kemudian melakukan suatu
perlawanan yang akhirnya mengarah pada masalah perilaku. Sebagai kemungkinana lain, mereka
cenderung menarik diri dan mudah menyerah (withdrawal dan give up). Sebaliknya, lingkungan belajar
kolaborasi memiliki sejumlah potensi untuk mengatasi hal-hal diatas. Pembelajaran kolaborasi ini
memberikan pemenuhan bagi kebutuhan setiap pebelajar baik kebutuhan pengakuan harga diri dan rasa
memiliki melalui pelibatan mereka dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat. Mereka mengemukakan
pendapat,gagasan,saling menghargai, terbuka, dan lebih menekankan cirri kebersamaan untuk mencapai
Sharing goals.
9.      Keterampilan Belajar Masa Depan
Latihan-latihan keterampilan atau kecakapan hidup (life skills) perlu diberikan kepada pebelajar sejak
awal atau sedini mungkin. Latihan hidup bersama dengan orang lain atau aktivitas bersama, yaitu melalui
situasi atau lingkungan belajar kolaborasi. Keterampilan hidup bersama di sekolah sangat diperlukan.
Tujuan latihan keterampilan hidup bersama di kelas ini memberikan bukan hanya pada saat pebelajar
berada di kelas atau sekolah saja, tetapi juga untuk penyiapan keberhasilan di lingkungan kerja dan
bergaul bersama anggota keluarga di rumah. Pebelajar diberikan latihan keterampilan hidup bersama
melalui kerja kolaborasi. Kerja kolaborasi ini untuk menyiapkan pebelajar melalui latihan pemecahan
masalah baik masalah akademik maupun masalah kontekstual. Kita menyadari bahwa kehidupan
pebelajar di kelas tidak dapat dilepaskan dari pebelajar lain, mereka saling tergantung satu sama lain,
bekerja sama dan membangun suasana kebersamaan. Melalui suasana kehidupan di dalam kelas inilah,
kita siapkan kehidupan pebelajar memasuki kehidupan masa depannya.
 Dalam kerja kolaboratif, pebelajar berbagi tanggung-jawab yang digambarkan dan yang disetujui
oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi (1) kesanggupan untuk menghadiri, kesiapan dan tepat waktu
untuk memenuhi kerja tim, (2) diskusi dan perselisihan paham memusatkan pada masalah yang
dipecahkan dengan menghindarkan kritik pribadi, dan (3) ada tanggung jawab tugas dan
menyelesaikannya tepat waktu. Pebelajar boleh melaksanakan tugas, sesuai dengan pengalaman
mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya yang penting dapat berpikir
jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya. Peran-peran yang harus dihindari oleh pebelajar adalah (1)
free-rider, yaitu membiarkan teman-temannya melakukan tugas tim, tanpa berusaha ikut serta
memberikan kontribusi dalam proses kolaborasi, (2) sucker, yaitu tidak ikut serta memberikan
kontribusinya karena tidak bersedia membagi pengetahuan yang dimilikinya, (3) mendominasi, yaitu
menguasai jalannya proses penyelesaian tugas, sehingga kontribusi anggota tim yang lain tidak optimal,
(4) ganging up on task, yaitu cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan sedikit usaha untuk
menyelesaikannya. Dalam pembelajaran kolaborasi, pembelajar tidak lagi memberikan ceramah di depan
kelas, tapi dapat berperan seperti (1) fasilitator, dengan menyediakan sarana yang memperlancar proses
belajar; mengatur lingkungan fisik, memberikan atau menunjukkan sumber-sumber informasi,
menciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong pebelajar memiliki sikap dan tingkah laku tertentu,
dan merancang tugas; (2) model, secara aktif berupaya menjadi contoh dalam melakukan kegiatan
belajar efektif, seperti mencontohkan penggunaan strategi belajar atau cara mengungkapkan pemikiran
secara verbal (think aloud) yang dapat membantu proses konstruksi pengetahuan; (3) pelatih (coach),
memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap upaya belajar pebelajar. Pebelajar tetap
mencoba memecahkan masalahnya sebelum memperoleh masukan pengajar.
4 Peran Pembelajar dalam Pembelajaran Kolaborasi
McCahon & Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative learning, kelas dibagi ke
dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset sederhana, kemudian dievaluasi dan
didiskusikan kembali di dalam kelas. Tim yang dimaksud adalah: “a group of two to five students who are
tied together by a common purpose to complete a task and to include every group member” (Dishon dan
O’Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and Seats (1991) menegaskan bahwa premis mayor dalam
suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim tersebut harus berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif
dan produktif untuk menuju tercapainya hasil yang diinginkan. Dengan sangat menekankan pentingnya
kohesivitas, Duin, Jorn, DeBower, dan Johnson (1994) mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu
proses di mana dua orang atau lebih merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan
bersama. Konsep “tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh pebelajar.
Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya kesadaran akan pentingnya
kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan tim daripada tujuan individu, dan pada gilirannya dapat
berakibat berbuat kesalahan dalam menyelenggarakan pertemuan, mengabaikan batas waktu
penyelesaian pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab, serta kurang dapat bekerja secara
efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995). Kita sepakat bahwa pembelajar memiliki peran yaitu menjadi
perantara (mediator) belajar melaui dialog dan kolaborasi. Yang dimaksud sebagai perantara adalah
penyampai informasi melalui interaksi timbal balik diantara pebelajar. Perantara dalam hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Feuerstein, Jensen,(1980); Vygotsky(1986), dan Tinzmann, Jones,
Fennimore,Bakker,. Fine, dan Pierce (1990) yang mendefinisikan mediasi sebagai
facilitating,modeling,and coaching. Hal-hal apa  yang penting mencakup perilaku-perilaku, yaitu :
1)mendorong pembelajaran dalam kelas kolaboratif, 2) memiliki tujuan-tujuan khusus dalam konteks
kolaboratif. Peran pembelajar dalam pembelajaran kolaborasi yakni :
1.      Memfasilitasi ( Facilitating)
Pembelajaran merupakan suatu upaya untuk memfasilitasi atau memudahkan belajar pebelajar
dalam rangka mencapai tujuannya. Kemudahan ini mencakup penciptaan lingkungan dan kegiatan yang
kaya untuk mengkaitkan antara pengalaman baru diterima atau telah dimiliki oleh pebelajar dan
pengetahuan sebelumnya (prior knowledge). Di samping itu, tugas pebelajar juga memberikan
keragaman kesempatan untuk kerja kolaborasi, dan pemecahan masalah, dan memeberikan kepada
pebelajar berbagai tugas-tugas belajar secara autentik. Hal ini pertama kali menuntut perhatian pada
lingkungan fisik yang ada. Disamping itu, pembelajar perlu menata   atau menstruktur sumber-sumber
dalam kelas untuk memberikan beberapa ragam dan wawasan yang selanjutnya untuk dipakai dan
menciptakan karya budaya berdasarkan pengalaman belajar di rumah, masyarakat, serta untuk
mengorganisasikan variasi aktivitas belajar. Dengan demikian, suatu pembelajaran kolaborasi sering
memiliki keragaman tugas-tugas atau pusat aktivitas yang menggunakan objek-objek keseharian untuk
merepresentasikan informasi numerikal dalam cara-cara yang bermakna (meaningful ways) dan untuk
melakukan percobaan guna memecahkan masalah nyata.
Fasilitasi dalam pembelajaran kolaborasi juga dapat melibatkan orang lain. Di dalam kelas, pebelajar
diorganisasi menjadi kelompok heterogen dengan peran-peran yang berbeda-beda misalnya pemimpin
kelompok (team leader), pemberi dorongan atau semangat (encourager) menyatakan kembali tugas yang
diberikan (reteller), perekam atau pencatat hasil(recorder), dan juru bicara kelompoknya(spokesperson).
Cara lain yang dapat dilakukan oleh guru dalam memfasilitasi belajar klaborasi adalah dengan
menetapkan kelas menurut struktur kelas yang berbeda tetapi fleksibel. Tujuannya untuk meningkatkan
perilaku kelas dengan mempertimbangkan kesesuaian untuk melakukan komunikasi dan kolaborasi
diantara pebelajar. Untuk memfasilitasi interaksi kelompok yang bermutu tinggi, pembelajar mungkin
perlu mengajarkan kepada pebelajar dan berikutnya para pebelajar perlu mempraktekkan, kaida-kaidah
dan fungsi untuk interaksi dalam kelompok. Akhirnya, para pembelajar untuk memfasilitasi belajar
kolaborasi dilakukan dengan cara menciptakan tugas-tugas belajar yang mendorong keberagaman, tetapi
yanng diarahkan untuk mencapai standart kinerja tinggi bagi seluruh pebelajar. Tugas-tugas ini
melibatkan pebelajar dalam proses berpikir tingkat tinggi misalnya melalui pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah (problem solving) yang paling baik melalui kolaborasi.
2.      Memberi Contoh ( Modelling)
Pemberian contoh (modelling) menekankan adanya sharing pikiran dan mendemonstrasikannya atau
menjelaskan sesuatu. Dalam suatu kelas kolaborasi, modelling ini berfungsi untuk melibatkan para
pebelajar untuk melakukan kerja sama bukan hanya memikirkan isi bahan yang dipelajarinnya, tetapi
juga melibatkan dalam proses komunikasi dan belajar berkolaborasi. Berkenaan dengan isi yang di
pelajari, pembelajar mungkin perlu mengungkapkan melalui kata-kata tentang proses berpikir yang
mereka gunakan untuk membuat prediksi tentang suatu eksperimen ilmiah, membuat ringkasan sebuah
gagasan dalam bentuk kalimat, menjelaskan arti kata-kata yang tidak dikenal, menyajikan dan
memecahkan masalah, mengorganisasi informasi yang sangat kompleks, dan seterusnya. berkaitan
dengan proses kelompok, pemeblajar mungkin melakukan sharing pikiran, peran-peran, aturan-aturan
dan melakukan kerja sama dalam kelas. Misalnya, mengammbil peran sebagai piminan kelompok,
pembelajar memberikan contoh (model) berkenaan dengan hal-hal bagaimana mengelola waktu
berkelompok, bagaimana mencapai konsensus, bagaimana berkomunikasi yanng efektif dalam
berkelompok, bagaimana merancang suatu pendekatan untuk memecahkan masalah dan sebagainya.
3.      Memberi Arahan (coaching)
Dalam pembelajaran kolaborasi, peranan pembelajar di awal kegiatan sangat penting. Guru atau
pembelajar menjadikan dirinya panutan bagi pebelajar sehingga mereka (pebelajar) akan mampu
melakukan aktivitas secara mandiri dalam bingkai kerja sama dan sama-sama kerja. Setidaknya prinsip-
prinsip pendidikan ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani merupakan
landasan pendidikan yang masih perlu dijadikan pijakan bagi tegaknya pilar pendidikan bagi warga
bangsa ini. Memberikan arahan tidak berarti semata-mata tidak memberikan kepercayaan dan tanggung
jawab bagi pebelajar. Arahan ini sekaligus merupakan bentuk latihan tanggung jawab bagi pebelajar.
Latihan mencakup pemberian petunjuk, pemberian balikan,mengarahkan kembali usaha-usaha pebelajar,
dan membantu pebelajar menggunakan strategi. Prinsip pokok pengarahan adalah ingin memberikan
bantuan yang tepat kepada pebelajar apabila diperlukan, apakah banyak atau sedikit sehingga mereka
tetap memiliki komitmen tanggung jawab bagi belajar mereka sendiri.
5 Prinsip-prinsip Belajar Kolaborasi
Pembelajaran kolaborasi menekankan adanya prinsip-prinsip kerja. Prinsip-prinsip penting yang perlu
diperhatikan dalam pembelajaran kolaborasi tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Setiap anggota melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan saling ketergantungan.
2.      Individu-individu bertanggung jawab atas dasar belajar dan perilaku masing-masing.
3.      Keterampilan kooperatif dibelajarkan, dipraktekkan dan balikan (feedback) diberikan berdasrkan
bagaimana sebaiknya latihan keterampilan tersebut diharapkan.
4.      Kelas atau kelompok didorong ke arah terjadinya pelaksanaan suetu aktivitas kerja kelompok yang
kohesif.
Strategi-strategi pembelajaran kolaborasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas,
diterapkan dengan berdasarkan pada adanya saling hubungan satu sama lain, atau dilakukan dengan
menerpkan secara berulang ( a cyclical way), misalnya latihan keterampilan kolaboratif atau kooperatif
akan kekohesifan dan tanggung jawab.
6 Keterbatasan Pembelajaran Kolaboratif atau Kooperatif
Pembelajaran kolaboratif atau kooperatif memang memiliki sejumlah keuntungan, tetapi pembelajaran ini
bukan berarti tidak memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keberhasilan pembelajaran kolaborasi atau
kooperasi sangat tergantung pada sejumlah kondisi menurut Cruickshank,Jenkins, & Metcalf (2006) yakni
ada lima kondisi :
1.      Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa suatu aktivitas pembelajaran kooperatif berhasil, para
anggota tidak cukup hanya memberikan jawaban secara sederhana tentang tugas, tetapi yang paling
penting mereka harus menjelaskan bagaimana mereka memperoleh jawaban dan mengapa jawaban
tersebut benar( Slavin,2002).
2.      Setiap Individu anggota kelompok memiliki tanggung jawab terhadap kelompoknya. Adanya suatu
ekspresi bahwa harapan satu untuk semua,the one for all, tidak atau belum terbiasa di milki oleh
pebelajar. Dengan demikian kondisi yang diharapkan dalam situasi kerja kolaborasi adalah adanya
tanggung jawab dari setiap anggota tersebut saling bergantung satu sama lain.
3.      Agar supaya terjadi kerja kelompok atau situasi belajar kooperatif, setiap anggota harus setia pada
tugas (stay on task), karena waktu yang diurahkan untuk menunaikan tugas-tugas tersebut secara
konsisten berkaitan dengan hasil belajar pebelajar. Sebaliknya, para pebelajar cenderung mengabaikan
tugas-tugas manakala pemeblajara tidak “hadir” dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, dalam
situasi pembelajaran kolaborasi atau koopperasi kehadiran pembelajaran sangat penting untuk
memonitor kerja individu dan kelompok secara teratur selama kegiatan berlangsung.
4.      Dalam setiap kelompok setiap anggota tergantung satu sama lainnya. Dalam proses pembelajaran,
pastilah ada pebelajaran tertentu yang menghadapi atau mengalami suatu kesulitan. Apabila terjadi
kondisi semacam ini, dalam hal ini pebelajar tidak bekerja dengan baik atu tidak mampu menyelesaikan
tugasnya. Brophy dan Good (dalam Cruickshank,dkk.,2006) mengingatkan bahwa bentuk pembelajaran
kellompok kecil lebih sulit daripada mengajar kepada kelompok besar atau kelas karena kita akan banyak
menghadapi berbagai persoalan manajemen.
5.      Menurut Biemiller (1993) bahwa pengaturan pembelajaran yang mendorong para pembelajara
memberikan bantuan kepada yang lain dan pihak lain menerimanya memungkinkan untuk meningkatkan
adanya saling ketergantungan. Andaikan kondisi ini tidak terjadi, yaitu tidak adanya saling
ketergantungan maka kerja kelompok tidak akan terwujud dan hasilnya tidak produktif lagi.
Sumber:

Setyosary, Punaji. 2009. Pembelajaran Kolaborasi. Malang:Departemen Pendidikan Nasional.


 Raharjo, Kurniawan B. 2013. Model Pembelajaran Kolaboratif.
http://kurniawanbudi04.wordpress.com/2013/05/27/collaborative-learning/. [25 November 2014].
              . 2013. Model Pembelajaran Kolaborasi. http://www.asikbelajar.com/2013/05/model-
pembelajaran-kolaborasi.html. [24 November 2014].

Anda mungkin juga menyukai