net/publication/358274034
CITATIONS READS
0 100
1 author:
Bhakti Alamsyah
Universitas Pembangunan Panca Budi
23 PUBLICATIONS 53 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Bhakti Alamsyah on 02 February 2022.
Penerbit
BINA TEKNIK PRESS
Seri Arsitektur Nusantara
Penerbit
Bina Teknik Press
Jl. Almamater Gedung K.01 Fakultas Teknik USU
Telp. (061) 8213250
Fax. (061) 8213250
Cetakan Pertama
Bulan April Tahun 2004
ISBN 979-98114-0-6
Daftar Isi
Halaman
Sekapur Sirih iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar xii
Daftar Tabel xvii
Pembuka Wacana xviii
1. Pendahuluan 1
Mitos Dan Fakta Asal Karo 1
Kesimpulan 4
2. Mata Pencaharian 5
Zaman Dahulu 5
Sumpit (Eltep) 6
Perangkap (Siding) 6
Perangkap Tikus (Tuktak) 6
Perangkap Tikus (Seruh) 7
Perangkap Burung dan Tupai (Bentang) 7
Perangkap Burung (Turitit) 7
Lembing 7
Perangkap Burung (Rewas) 7
Perangkap Ikan (Tuar) 7
Perangkap Ikan (Bubu) 7
Perangkap Ikan (Durung) 7
Upacara Mengolah Padi 8
Sebelum Menanam (Rebu Merdang) 8
Saat Menanam Padi (Merdang) 8
Peralatan Pertanian 9
Tenggala 9
Cuan 9
Cangkul 9
Sabi-Sabi 9
Paduk-Paduk 10
Roka 10
Perlebeng 10
Engkal 10
Pangkur-pangkur 10
Memuja Padi (Mengupa-upa / Mere-mere Page) 10
Memetik Padi (Mutik) 11
Menyabit Padi (Rani) 12
Merontok Padi (Ngerik) 12
Zaman Sekarang 13
Kesimpulan 14
v
Raibnya Para Dewa,
Kajian Arsitektur Karo
3. Hubungan Kekeluargaan 16
Hubungan Kekeluargaan (Kinship) 16
Struktur Kemasyarakatan Karo 18
Bangsa Taneh atau Anak Taneh 19
Ginemgem 19
Rayat Derip 19
Sistem Kekerabatan Karo 19
Sangkep Nggeluh atau Sangkep Sitelu 19
Sukt (Sembuyak/ Senina) 20
Kalimbubu 20
Anak Beru 21
Marga Pendiri Kuta (Kampung) 21
Kesimpulan 23
vi
Raibnya Para Dewa,
Kajian Arsitektur Karo
Upacara Kematian 37
Jenis Kematian 37
Upacara Perpisahan (Sirang-sirang) dengan Jenajah 38
Tarian Permohonan dan Pemberkatan (Pedalan Morah-Morah/Maneh-
38
Maneh)
Memusnahkan Nazar (Namsamken Belawan) 39
Upacara Pembersihan Remah Nasi (Narsarken Rimah) 39
Pembakaran Mayat 39
Merumahkan Roh (Perumah Begu) 40
Mematangkan Roh (Ngerebuken Kesah) 40
Mencari Begu (Ndarami) 40
Menuang Air (Ngambur Lau Meciho) 41
Memisahkan Roh (Ngeleka Tendi) 41
Tandu (Pating-Pating) 41
Obyek-obyek Reliji Seperti Ajimat, Penangkal Bala 41
Patung dan Skulptur 41
Pagar Rumah (Bekem-Bekem) 43
Tempat Ramuan (Perminaken) 43
Tongkat Malaikat 43
Tongkat Penakluk (Penalun) 44
Tongkat Pulubalang 44
Topeng dan Tarian Yang Mengiringinya 44
Tembut-tembut 44
Raja (Panglima) 44
Permasuri (Kemberahen) 45
Putri Raja (anak beru) 45
Menantu (Kela) 45
Musuh (Burung Sigurda-gurdi) 45
Topeng Kera 46
Pisau tumbuk Lada 47
Peralatan Makan Sirih 47
Kampil Gempang Sawa 47
Kampil Tumba (Tandek atau Kampil Indung-Indung) 48
Tutu-tutu 48
Kalakati Penjabat 49
Tagan Diberu dan Tagan Kicik 49
Tagan Kinukut 49
Kerandam 49
Petak Ranto 49
Kain Tenunan (Uis) 49
Uis Julu 50
Uis Teba 50
Uis Arinteneng 50
Uis Batujala 50
Uis Kelam-kelam 50
Uis Bekabuluh (Bulang-bulang) 50
Gobar Dibata 51
vii
Raibnya Para Dewa,
Kajian Arsitektur Karo
Uis Pementing 51
Gatip Gewang 51
Gatip Jongkit 51
Gatip Cukcak 51
Uis Gara-Gara 51
Uis Perembah 51
Uis Junjung-Junjungen 51
Uis Nipes Ragi Mbacang 51
Uis Nipes Padang Rusak 52
Uis Nipes Benang Iring 52
Uis Nipes Mengiring 52
Peralatan Lain 52
Tempat Nitra (Kitang) 52
Tempat Makanan (Abal-abal) 52
Tempat perhiasan (Tagan) 52
Tempat Tembakau 52
Kesimpulan 52
6. Kesenian Karo 54
Musik Dan Lagu 54
Lagu Dalam Musik Karo 55
Lagu Tabas 55
Lagu Tangis 55
Lagu Katoneng-Katoneng 55
Lagu Pingko-pingko 55
Lagu Perkolong-Kolong 55
Peralatan Musik Tradisional 55
Alat Musik Tiup (Aerophone) 55
Balobat Pingko-Pingko 55
Balobat Gendek 56
Surdam Cingkes 56
Surdam Puntung (Surdam Pemakan) 57
Surdam Biasa 57
Teknik Meniup Surdam 57
Suling 58
Sarune 58
Alat Musik Gesek (Chardophone) 59
Murbab 59
Kulcapi 59
Keteng-Keteng 60
Alat Musik Pukul (Idiophone) 61
Gung atau Simbal 61
Penganak 61
Alat musik Tabuh (Membranophone) 61
Gendang Singindungi 61
Gendang Singanaki 62
viii
Raibnya Para Dewa,
Kajian Arsitektur Karo
7. Arsitektur Karo 80
Orientasi dan Pola Perkampungan 80
Arah Rumah Tradisional 82
Tipologi Bangunan 83
Siwaluh Jabu 83
Griten 85
Jambur 86
Lumbung Padi (Lumbung Page) 86
Tempat Menumbuk Padi (Lesung) 87
Kandang Ayam (Lipo) 87
Pembagian Tipologi Berdasarkan Aspek Lain 88
Bentuk Tiang Bagian Bawah 88
Bentuk Atap 88
Puak 89
Upacara Pendirian Kampung dan Bangunan 90
Pendirian Bangunan (Tulo Mulo) 90
Persiapan dan Penentuan Lokasi 91
Pengadaan Bahan Bangunan 91
Pengawetan Bahan 92
Tahap-Tahap Pendirian Bangunan 92
Upacara Sebelum Pendirian Bangunan 92
Jalannya Upacara 93
Upacara Pada Saat Pendirian Bangunan 93
Peserta Upacara 93
Pelaksanaan Upacara 93
Upacara Menyiapkan Tanah Dapur 93
Jalannya Upacara 94
Upacara Setelah Bangunan Selesai 94
Upacara Ngarkari 94
ix
Raibnya Para Dewa,
Kajian Arsitektur Karo
Peserta Upacara 94
Tata Pelaksanaan Upacara 94
Jalannya Upacara 95
Upacara Memasang Peralatan Dapur 95
Peserta Upacara Memasang Tungku (Majekken Diliken) 95
Upacara Memasang Tungku 96
Upacara Memasuki Rumah 97
Peralatan Upacara Memasuki Rumah 97
Prosesi Memasuki Rumah 98
Anatomi Bangunan 98
Struktur Bawah Rumah 98
Struktur Tengah Rumah 99
Struktur Atas Rumah 104
Analisa Struktur Rumah Tradisional Karo 112
Pembagian Ruang Didalam Bangunan Pada Saat Upacara Agama,
114
Upacara Adat Dan Penggunaan Sehari-Hari
Pola Pembagian Ruang Dalam Rumah Siwaluh Jabu 114
Nama dan Kedudukan Keluarga Dalam Rumah 115
Ruang Raja (Jabu Benana Kayu) 116
Jabu Ujung Kayu 116
Jabu Lepar Benana Kayu 116
Jabu Lepar Ujung Kayu 117
Jabu Sidapurken Benana Kayu 117
Jabu Sidapurken Ujung Kayu 117
Jabu Sidapurken Lepar Ujung Kayu 117
Jabu Sidapurken Lepar Benana Kayu 118
Giliran Jaga (Kerin) 118
Pengelompokan Ruang 119
Jabu Adat 119
Ruang Tengah (Jabu Tengah) 120
Simbolis dan Pelambang 120
Motif Pada Dapur-Dapur 120
Motif Pada Derpik 123
Rumah Sebagai Simbol Kinship 123
Motif Pada “Ayo” Atau “Lambe-Lambe” 123
Motif Ukiran, Lukisan Dan Pahatan 125
Tanduk Kerbau 129
Furniture dan Peralatan 129
Alat-alat Rumah Tangga dan Perlengkapan lainnya 129
Kesimpulan 140
x
Raibnya Para Dewa,
Kajian Arsitektur Karo
xi
Raibnya Para Dewa,
Kajian Arsitektur Karo
Sekapur Sirih
Seberapa banyak pengetahuan tentang Arsitektur Karo yang telah ada yang dapat
memberikan suatu pengetahuan khususnya di bidang Arsitektur ?. Pertanyaan ini sangat
wajar untuk dilontarkan sehubungan dengan demikian kecilnya perhatian yang diberikan
terhadap pengetahuan yang meletakkan Arsitektur sebagai dasar pengetahuan. Kenyataan
ini seakan sangat ironis mengingat sedemikian banyak pengkajian terhadap arsitektur-
arsitektur masyarakat daerah di Indonesia ini telah dipublikasikan, namun dirasakan belum
dapat mewakili akan kebutuhan suatu informasi tentang kajian arsitekturnya secara
lengkap, terutama kajian tentang arsitektur Karo. Apalagi jumlah buku-buku yang tersedia
yang membahas arsitektur suatu daerah memang tidak banyak jumlahnya.
Oleh karena itu kami selaku penyusun mengambil suatu inisiatif ilmiah menyusun sebuah
buku yang berorientasi kepada keilmuan arsitektur dan mengangkat salah satu daerah yaitu
Karo. Diharapkan dari penyusunan ini di dapatkan suatu perluasan pemahaman dari apa
yang telah diketahui sebelumnya sehingga dapat memberikan suatu ungkapan gagasan,
pandangan, pikiran tentang Arsitektur Karo. Perluasan pemahaman ini juga bertujuan
secara langsung memberikan kesempatan yang luar biasa bagi perhatian dan kepedulian
kita terhadap Arsitektur Nusantara
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan
baik jasmani dan rohani, maka bersama ini kami persembahkan suatu karya tulis dalam
bentuk buku dengan judul „Raibnya Para Dewa, Kajian Arsitektur Karo“. Pemilihan
judul tersebut didasarkan atas minat kami untuk lebih melengkapi pengetahuan pada salah
satu bidang yang mendukung ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang
arsitektur sebagai satu keseluruhan. Dalam mengisi seluruh wacana di dalam buku ini,
kami telah melakukan pengamatan lapangan, penelitian fisik, wawancara, yang
berhubungan dengan bangunan tradisional Karo dan suatu telaah baik yang ada di lapangan
maupun telaah yang dilakukan bedasarkan data literatur.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
saudara Joko Indra Leksmana, ST dan Ir Novrial, M.Eng yang telah membantu di dalam
membuat sketsa-sketsa gambar dan perhitungan momen gaya pada struktur dan konstruksi
rumah Karo tersebut. Juga kepada seluru pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu.
Akhir kata, kami mengharapkan agar buku ini dapat menjadi bahan pelengkap terutama
bagi para pengamat arsitektur. Kritik dan saran sangat kami harapkan.
Penyusun
iv
Kata Pengantar
Perubahan Tradisi Arsitektur Karo
Manusia dijadikan berkelompok kelompok agar mereka saling mengenal dan berkasih saying
(Kitab Suci).
Kebudayaan suatu kelompok masyarakat seperti halnya sebuah sel-sel yang hidup, selalu
menyatu, terbelah dan berubah serta mengelompok membentuk suatu sintesa baru yang
berbeda dari bentuk awalnya. Arsitektur sebagai produk dari suatu kebudaayaan telah
mengikuti logika yang sama.
Dengan demikian adalah suatu kekeliruan membuat simplifikasi tipologi fisikal suatu
arsitektur tanpa memperhatikan latar belakang budaya pendukung dari tipologi tersebut.
Arsitektur Tradisional Karo yang dikenal sekarang ini bukan suatu bentuk yang berhenti
dan stagnan tetapi sesuatu yang berproses dan berubah. Sehingga segala sesuatunya
hanya dapat dilihat dalam suatu serial transformasi yang hidup dalam suatu sekuel
perjalanan waktu, sehingga setiap bentuk selalu orisinal dan mencampur adukkannya
akan menciptakan anakronis.
Kajian ini menunjukkan suatu uraian dari sekuel perjalanan sejarah yang berawal dari
suatu kelompok budaya yang dilatari oleh suatu kepercayaan yang untuk mudahnya
dinamakan kepercayaan animisme dan dinamisme, yang percaya terhadap para arwah
(begu-begu) yang melatari setiap misteri dan fenomena yang terdapat dalam alam. Para
begu yang dapat melindungi dan merusak terutama begu ganjang yang sangat ditakuti
karena merupakan roh jelmaan dari dukun pendeta (priest magic) yang kecewa. Mereka
meyakini bahwa hulu sungai adalah sesuatu orientasi yang lebih sakral dari hilir, dengan
demikian karena hulu sungai telah dijadikan sebagai sesuatu yang penting, maka dapat
ditarik analogi bahwa sungai dan hulu dapat diinterpretasikan sebagai perjalanan dan
sumber air dihulu adalah ketinggian atau gunung. Rumah disimbolkan sebagai vessel
yang akan penghuninya dalam suatu pelayaran kesuatu alam yang hanya dapat
digambarkan dalam imajinasi, sehingga posisinya harus sesuai dengan arah arus sungai
untuk memudahkan pelayaran. Imajinasi ini konform dengan realita karena alat
pengangkutan yang umum digunakan untuk menempuh jarak yang jauh pada saat itu
adalah melalui perahu melalui sungai dan laut. Sebagai simbol alat pengangkutan air
maka rumah harus berbentuk perahu yang ditegaskan dengan hadirnya lunas perahu
(dapur-dapur) yang demikian dominan pada rumah Karo saat itu. Kemungkinan atap
rumah juga dapat mendukung simbolisme tersebut dengan menganggapnya sebagai layar.
Tentunya dinding bukanlah bagian dari struktur sehingga rumah ini tidak harus memakai
dinding.
Pada tahap selanjutnya, pengaruh Hindu menyentuh kehidupan kelompok ini, sehingga
mereka diperkenalkan dengan suatu budaya yang mengenal hirarkis para dewa dalam
bentuk trimurti, dimana Syiwa adalah dewa yang paling ditakuti yang dapat
mendatangkan segala bentuk bencana yang sangat dakhsyat, Brahmana yang penyayang,
serta sistem kasta yang menjadi suatu keharusan dari keyakinan ini. Kedua kepercayaan
ini berbaur menjadi suatu keyakinan baru dimana Syiwa telah menjelma dalam
penampilan begu ganjang sehingga kedua karakter ini menyatu menjadi suatu figur yang
baru yang mempresentasikan sifat keduanya. Brahma, Wisnu, Syiwa, telah menjelma
menjadi Dibata Diatas (Dibata berasal dari kata Deva atau Dewata) yang dipresentasikan
Guru Batara, penguasa dunia bagian atas yang maha luas, yaitu dunia angkasa. Dibata
Tengah atau disebut juga Tuhan Padukah Ni Aji adalah menguasai dunia tengah atau
bumi. Dibata Teruh atau dunia bawah dan kegelapan yang dikuasai oleh Tuhan Banua
Koling (Banua berasal dari Vanua dari bahasa sankskerta yang artinya adalah wilayah
dan koling adalah keling yang berarti hitam atau kegelapan).
Disamping itu terdapat dua unsur lain, yang pertama, sinar matahari (Sinarmataniari)
adalah unsur cahaya yang tempatnya adalah di “kepultaken” di Timur dimana matahari
terbit dan di “kesunduten” matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan
menjadi penghubung antara Guru Batara, Tuhan Padukah Ni Aji, dan Tuhan Banua
Koling. Yang kedua, Si Beru Dayang adalah seorang wanita, bertempat tinggal di bulan
dan sering kali kelihatan pada pelangi, adalah begu seorang wanita yang terusir dari dunia
karena berbuat incest dengan saudara ibunya kandung, yang bertugas membuat bumi
tempat Tuhan Padukah Ni Aji kuat dan stabil dan tidak dapat diterbangkan oleh angin
topan sebagai manifestasi kekuatan Tuhan Banua Koling.
Dewa yang menguasai dunia tengah dimanifestasikan pemberi dara atau pimpinan rumah
dalam sistem kekerabatan Karo “rakut si telu” tiga kelompok kekerabatan yang tercakup
dalam penerima dara (anak beru), saudara (senina), dan pemberi dara (kalimbubu).
Kalimbubu adalah golongan orang yang terhormat, yang disegani. Orang-orang yang
menghormati kalimbubu mereka akan memperoleh tanah dan rezeki, segala usaha akan
membawa hasil, hewan yang dipelihara akan berkembang biak. Oleh karena dinamakan
dewa yang dapat dilihat (Dibata Idah) maksudnya wakil Dibata di dunia ini.
Konsekuensinya mereka menempati ruang yang paling sakral didalam rumah. Karena
setiap orang merupakan kalimbubu dari orang lain maka setiap orang adalah jelmaan
dewa, suatu konsekuensi yang menghubungkan dunia kedewaan dengan manusia, namun
kualitas kedewaannya akan luntur jika yang bersangkutan tidak berhasil dalam kehidupan
nyata diukur dari standard kelompok masyarakat tersebut.
Dalam keyakinan tradisional, dewa yang paling banyak dipuja dan diberikan sesembahan
adalah dewa yang paling jahat dan berkuasa menciptakan kesengsaraan bagi manusia dan
dewa tersebut adalah Tuhan Banua Koling penguasa alam kegelapan. Dewa ini
dilambangkan sebagai naga, gajah, singa (meskipun binatang ini tidak dikenal dialam
Karo tetapi karena didomestifikasi dari benua India dimana Singa bukan merupakan
nama binatang yang asing) dan cecak sebagai lambang kesuburan yang sangat penting
dalam kehidupan nyata. Simbol-simbol ini dihadirkan di dunia tengah atau di mikro
kosmos yang melambangkan dunia tengah yaitu bagian dinding rumah. Sesembahan
yang paling tinggi tingkatannya pada saat itu adalah kerbau yang dipersembahkan bagi
dewa ini agar yang bersangkutan tidak menurunkan bala. Dengan demikian yang ditakuti,
yang dipuja, sesembahan dan kehidupan yang tidak dapat dengan mata telanjang
dihadirkan dalam bentuk simbol-simbol dan motif dalam bangunan Karo.
Perlakuan terhadap mayat, yang pada awalnya ditanam disekitar pemukiman lalu
tulangnya disimpan dipara bagian atas akhirnya dengan perkenalan Hindu dimana mayat
dibakar lalu diperabukan dan dilayarkan kesungai, maka terbentuk sintesa atau
sinkritisme antara keduanya, yang memperkenalkan sistem kasta dalam perlakuan
terhadap mayat, mayat orang biasa terutama yang dianggap tidak beruntung dalam
masyarakat harus segera dipisahkan ditanam dan dilupakan dan diusahakan agar begunya
tidak kembali kekampung yang berbeda halnya dengan begu orang yang dianggap
berhasil yang tulangnyapun perlu disimpan didalam geriten suatu bangunan khusus nyang
disebut geriten. Meskipun pada awalnya majat diperabukan terutama dilingkungan
kelompok Sembiring, tetapi tradisi lokal untuk menyimpan tulang belukang agaknya
lebih banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat Karo. Konsekuensi dari perubahan
pandangan hidup tersebut secara langsung telah mempengaruhi arsitektur dan ruang
dilingkungan Karo, termasuk simbol-simbol yang disebut diatas.
Pada sekitar tahun 1910. Kolonial Belanda telah melarang banyak hal termasuk melarang
pemembakaran mayat, lalu memperkenalkan keyakinan baru dan Tuhan yang baru dan
secara tegas menegaskan bahwa rumah tradisional tidak sehat dan tidak hyginis sehingga
harus dihentikan pembangunannya. Para dewa dan tempat tinggalnya secara perlahan
tergusur dan mereka secara perlahan dan pasti telah raib, pertanyaannya adalah: apakah
mereka mati atau menjelma dalam bentuk lain ?.
Raibnya Para Dewa,
Kajian Arsitektur Karo
Daftar Kepustakaan
Bangun, T., (1990), Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo, Medan: Yayasan
Merga Silima.
Sibeth, A., (1991). Peoples of the Island of Sumatera. London: Thames and Hudson,.
Kennedy, R., (1943), Island of the Peoples of the Indies, New York: Smithsonian
Sitepu. A.G., (1977). Ragam Hias Ornamen Tradisional Karo. Medan: Tidak Dipublikasi
Sitepu A.G., et al, (1996). Pilar Budaya Karo. Medan: Tidak Dipublikasi.
Setiadi, D. M., et al, (1975), Kuliah Kerja; Sumatera Utara. Jakarta: Departemen
Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Trisakti.
Tarigan ,H.G (1983), Nure-nure di Karo, Bandung: Tidak Dipublikasi Widya, D., et. al.
(1989), Arsitektur Rumah Tradisional Karo. Seminar Mahasiswa di Jurusan
Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Institut teknologi Medan.
Woollams, G.D, (1991), A Garammar of Karo Batak, Phd Thesis, Griffith University,.
Tarigan, H.G, (1990)Seri Cerita Rakyat Karo, Dambaan Hati Nurani (Tedeh-tedeh
Perukuren), Yayasan Merga Silima,.
Tarigan, H. G, (1994), Makna Bilangan pada Masyarakat Karo (Antusen Bilangan Ibas
Kalak Karo), Serial Cerita Rakyat Karo. Bandung: FPBS-Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
151
View publication stats
Padang, L dan N (ed), (1998), Tradisi dan Perubahan, Konteks Masyarakat Pakpak,
Dairi. Medan: Monora,.
Waterson, R., (1990), The Living House: An Anthropology of Architecture in South East
Asia. Oxford University Press.
Sitepu, S., (1993), Sejarah-Pijer podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia:
Penyelenggaraan Adat Karo Sifatnya bukan Formalitas Tetapi Merupakan
Manifestasi dari Tanggung Jawab, Medan: Forum Komunikasi Masyarakat Karo
Sumatera Utara,
152