Anda di halaman 1dari 21

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983


TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Tanggal: 6 SEPTEMBER 1990 (JAKARTA)


_________________________________________________________________

Presiden Republik Indonesia

Menimbang a.bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
beristri lebih dari seorang dan perceraian sejauh mungkin harus dihindarkan;
b.bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;
c.untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai
Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan yang serasi,
sejahtera, dan bahagia, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan
tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya;
d.bahwa dalam rangka usaha untuk lebih meningkatkan dan menegakkan disiplin
Pegawai Negeri Sipil serta memberikan kepastian hukum dan
rasa keadilan dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil;

Mengingat 1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);
3.Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3041);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor
12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);
5.Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang Pengangkatan
Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3058);
6.Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);
7.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu :

1. Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


"Pasal 3
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat
(1)
keterangan lebih dahulu dari Pejabat;
Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi Pegawai
Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat
keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara
(2)
tertulis; (3)Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian
untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang
mendasarinya".

2. Mengubah ketentuan Pasal 4 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


"Pasal 4
Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin
(1)
lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan
(4)
alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang".

3. Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 5 sehingga berbunyi sebagai berikut: "(2) Setiap atasan
yang menerima permintaan izin dari Pegawai
Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri
lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat
melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai
tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud".
4. Mengubah ketentuan Pasal 8 sebagai berikut:
Diantara ayat (3) dan ayat (4) lama disisipkan satu ayat yang dijadikan ayat (4) baru, yang
berbunyi sebagai berikut : "(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila
alasan perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau istri melakukan kekejaman
a. atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi
pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah
meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya ".
b. Ketentuan ayat (4) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (5) baru.
Mengubah ketentuan ayat (5) lama dan selanjutnya dijadikan ayat (6) baru sehingga
c. berbunyi sebagai berikut : "(6) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena
dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi
pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah
meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemampuannya".
d. Ketentuan ayat (6) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (7) baru.
5. Mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 9 sehingga berbunyi sebagai berikut:
"(1) Pejabat yang menerima perniintaan izin untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib
memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan
izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan."
6. Ketentuan Pasal II dihapuskan seluruhnya.
Ketentuan Pasal 12 lama dijadikan ketentuan Pasal 11 baru, dengan mengubah ketentuan
ayat (3) sehingga berbunyi sebagai berikut :
7.
"(3) Pimpinan Bank Milik Negara dan pimpinan Badan Usaha Milik Negara, wajib meminta izin
lebih dahulu dari Piesiden."
Mengubah ketentuan Pasal 13 lam a dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 12 baru,
8.
sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 12
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-
lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut."
9. Ketentuan Pasal 14 lama selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 13 baru.
Mengubah ketentuan Pasal 15 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 14 baru,
10
sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
"Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau
dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri
tanpa ikatan perkawinan yang sah"
Mengubah ketentuan Pasal 16 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 15 baru,
11.
sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 15
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/ ketentuan Pasal 2
ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan
perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai
(1) terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat
dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut
dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) dijatuhi hukuman
(2)
disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil;
Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang melanggar ketentuan
(3) Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil."
Mengubah ketentuan Pasal 17 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 16 baru,
12.
sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji sesuai dengan
ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman
disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peratuan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil."
Sesudah Pasal 16 baru ditambah satu ketentuan baru, yang dijadikan Pasal 17 baru yang
13.
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
Tata cara penjatuhan hukuman disiplin berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan atau Pasal 16
Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan sesuai
(1)
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil;
Hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil terhadap pelanggaran Peraturan Pemerintah
(2) Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini, berlaku bagi mereka yang
dipersamakan sebagai Pegawai Negeri Sipil menurut ketentuan Pasal 1 huruf a angka 2
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983."

Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 September 1990

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd.
SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 September 1990


MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN
1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UMUM
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat
diharapkan dapat menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundangundangan
yang berlaku. Perkawinan merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pegawai Negeri Sipil harus mentaati kewajiban tertentu dalam hal
hendak melangsungkan perkawinan, beristri lebih
dari satu, dan atau bermaksud melakukan perceraian. Sebagai unsur aparatur negara, abdi
negara, dan abdi masyarakat Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan tugasnya diharapkan tidak terganggu oleh urusan kehidupan rumah
tangga/keluarganya. Dalam pelaksanaannya, beberapa
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tidak jelas. Pegawai Negeri Sipil tertentu
yang seharusnya terkena ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dapat
menghindar, baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu
adakalanya pula Pejabat tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidakjelasan
rumusan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 itu sendiri, sehingga dapat
memberi peluang untuk melakukan penafsiran sendiri-sendiri. Oleh karena itu dipandang perlu
melakukan penyempurnaan dengan menambah dan atau mengubah beberapa ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tersebut. Beberapa perubahan yang dimaksud
adalah mengenai kejelasan tentang keharusan mengajukan permintaan izin dalam hal akan ada
perceraian, larangan bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat,
pembagian gaji sebagai akibat terjadinya perceraian yang diharapkan dapat lebih menjamin
keadilan bagi kedua belah pihak. Perubahan lainnya yang bersifat mendasar dan lebih memberi
kejelasan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ialah mengenai
pengertian hidup bersama.yang tidak diatur sebelumnya. Dalam Peraturan Pemerintah ini di
samping diberikan batasan yang lebih jelas, juga ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil
dilarang melakukan hidup bersama. Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama
dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980. Mengingat faktor penyebab pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 berbeda-beda maka sanksi terhadap pelanggaran yang semula berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dalam Peraturan
Pemerintah ini diubah menjadi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah, Nomor 30 Tahun 1980, hal mana dimaksudkan untuk lebih memberikan rasa
keadilan. Mereka yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dipersamakan
dengan Pegawai Negeri Sipil, apabila melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini, dikenakan pula hukuman disiplin berat berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 3
Ayat (1) Ketentuan ini berlaku bagi setiap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan
perceraian, yaitu bagi Pegawai Negeri Sipil
1. yang mengajukan gugatan perceraian (penggugat) wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
Pejabat, sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang menerima gugatan perceraian (tergugat)
wajib memperoleh surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat sebelum melakukan
perceraian.
Ayat (2) Permintaan izin perceraian diajukan oleh penggugat kepada Pejabat secara tertulis
melalui saluran hierarki sedangkan tergugat wajib memberitahukan adanya gugatan
perceraian dari suami/istri secara tertulis melalui saluran hierarki dalam jangka waktu
selambat-lambatnya enam hari kerja setelah menerima gugatan perceraian.
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 4
2.
Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri
kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi Pegawai Negeri Sipil

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin untuk
melakukan perceraian atau untuk beristri lebih
dari seorang wajib memberikan pertimbangan secara tertulis kepada Pejabat. Pertimbangan
itu harus memuat hal-hal yang dapat digunakan
3. oleh Pejabat dalam mengambil keputusan, apakah permintaan izin itu mempunyai dasar
yang kuat atau tidak. Sebagai bahan dalam membuat
pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari suami/istri yang
bersangkutan atau dari pihak lain yang dipandang
dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

Pasal 8
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
4.
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Ayat (6) Cukup jelas
Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1) Cukup jelas
5.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1) Cukup jelas
6. Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 12
7.
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan hidup bersama adalah melakukan hubungan sebagai suami istri di
8.
luar ikatan perkawinan yang sah yang
seolah-olah merupakan suatu rumah tangga.

Pasal 15
Ayat (1) Cukup jelas
9.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 16
10.
Cukup jelas

Pasal 17
11. Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas

Pasal II
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah diatur
ketentuan tentang perkawinan yang berlaku bagi segenap warga
negara dan penduduk Indonesia;

b. bahwa Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik


kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara
yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan
kehidupan berkeluarga;

c. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan disiplin Pegawai


Negeri Sipil dalam melakukan perkawinan dan perceraian,
dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah
mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai
dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Tahun 1969
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2906);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3153);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3050);

7. Peraturan Pemerintah …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang


Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3058);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976 tentang
Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil Dalam Partai Politik dan
Golongan Karya;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IZIN PERKAWINAN


DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

a. Pegawai Negeri Sipil adalah


1. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
8 Tahun 1974;
2. Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu
(a) Pegawai Bulanan di samping pensiun;
(b) Pegawai Bank milik Negara;
(c) Pegawai Badan Usaha milik Negara;
(d) Pegawai Bank milik Daerah;
(e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah;
(f) Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di Desa;

b. Pejabat adalah
1. Menteri;
2. Jaksa Agung;
3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara
5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
6. Pimpinan Bank milik Negara;
7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara;
8. Pimpinan Bank milik Daerah;
9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah;

Pasal 2 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-

Pasal 2

(1) Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, wajib


memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi Pegawai-
Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi.

Pasal 3

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin
lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Permintaan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diajukan
secara tertulis.

(3) Dalam surat permintaan izin perceraian harus dicantumkan alasan yang lengkap
yang mendasari permintaan izin perceraian itu.

Pasal 4

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh
izin lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/
ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari
bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara
tertulis.

(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri
lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat.

Pasal 5

(1) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada
Pejabat melalui saluran tertulis.

(2) Setiap …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-

(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam
lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari
seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat, wajib memberikan
pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia
menerima permintaan izin dimaksud.

Pasal 6

(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang
dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan.

(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin
tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan
dari isteri/suami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu
atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang
meyakinkan.

(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan


kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara
langsung untuk diberi nasehat.

Pasal 7

(1) Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan pada alasan-
alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

(2) Izin untuk bercerai karena alasan isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, tidak diberikan oleh
Pejabat.

(3) Izin untuk bercerai tidak diberikan oleh Pejabat apabila


a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan;
b. tidak ada alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.

Pasal 8 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-

Pasal 8

(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.

(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk
Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan
sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.

(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib
diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah
dari gajinya.

(4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian
penghasilan dari bekas suaminya.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri
meminta cerai karena dimadu.

(6) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka
haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia
kawin lagi.

Pasal 9

(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau
untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam
surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan.

(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin
tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan
dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak
lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.

Pasal 10

(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila
memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat
kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

(2) Syarat …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-

(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah


a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah


a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang
cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang
dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia
akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal 11

(1) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh Pejabat
apabila :
a. ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami;
b. bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih
dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat
keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.

(2) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat ,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh Pejabat apabila
:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai
Negeri Sipil wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya;
b. tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal 12 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7-

Pasal 12

Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari
seorang yang berkedudukan sebagai :
(1) Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta
izin lebih dahulu dari Presiden.

(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah


Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih
dahulu dari Menteri Dalam Negeri.

(3) Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan
Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang
secara teknis membawahi Bank milik Negara atau Badan Usaha milik Negara yang
bersangkutan.

(4) Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib
meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 13

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 3, untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin
tersebut.

Pasal 14

Pejabat dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Pejabat lain dalam


lingkungannya, serendah-rendahnya Pejabat eselon IV atau yang dipersamakan dengan
itu, untuk memberikan atau menolak pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4, sepanjang mengenai permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil
golongan II ke bawah atau yang dipersamakan dengan itu.

Pasal 15

(1) Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai
suami isteri tanpa ikatan perkawinan yang sah.

(2) Setiap …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-

(2) Setiap atasan wajib menegur apabila ia mengetahui ada Pegawai Negeri Sipil
bawahan dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 16

Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 17

Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai
suami isteri, dan setelah ditegur atasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 masih
terus melakukannya, dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat
tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 18

Ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3050), dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 19

Setiap Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya membuat dan memelihara catatan
perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-masing.

Pasal 20

(1) Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya menyampaikan salinan sah surat
pemberitahuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tembusan
surat pemberian izin atau penolakan pemberiannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, kepada :
a. Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara, sepanjang menyangkut
Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka I dan angka 2
huruf (a);

b. Pimpinan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-

b. Pimpinan masing-masing Bank milik Negara, Badan Usaha milik Negara,


Bank milik Daerah, dan Badan Usaha milik Daerah, sepanjang menyangkut
Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (b), (c),
(d), dan (e);
c. Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri
Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (f).

(2) Berdasarkan salinan dan tembusan surat-surat dimaksud dalam ayat (1) Kepala
Badan Administrasi Kepegawaian Negara, Pimpinan masing-masing Bank milik
Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, Badan Usaha milik
Daerah, serta Bupati Kepala Daerah Tingkat II, membuat dan memelihara :
a. catatan perkawinan dan perceraian;
b. kartu isteri/suami.

Pasal 21

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.

Pasal 22

Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Kepala


Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

Pasal 23

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
TTD
SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 13
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UMUM

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut azas monogami, yaitu
seorang pria hanya mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya mempunyai
seorang suami. Namun demikian hanya apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan, seorang pria dimungkinkan beristeri lebih dari seorang
apabila ajaran agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka
perceraian sejauh mungkin dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang
sangat terpaksa. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan.

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami
isteri.

Pegawai Negeri Sipil adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat
yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan
ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan
kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh
kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam
melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam
keluarganya.

Sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus diberikan oleh Pegawai Negeri
Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan
ketentuan disiplin yang tinggi.Untuk melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai
Negeri Sipil harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat yang bersangkutan.
Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil
wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang bukan Pegawai
Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat. Demikian juga
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih
dahulu dari Pejabat. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk
menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
Ketentuan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

Ketentuan berupa Keharusan memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat bagi
perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil tersebut tidak mengurangi ketentuan-
ketentuan yang berlaku bagi lembaga perkawinan dan perceraian itu sendiri.

Keharusan adanya izin terlebih dahulu tersebut mengingat yang bersangkutan mempunyai
kedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri Sipil meliputi selain Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian termasuk juga Pegawai Bulanan disamping pensiun, Pegawai
Bank milik Negara, Pegawai Badan Usaha milik Negara, Pegawai Bank milik Daerah,
Pegawai Badan Usaha milik Daerah, dan Kepala Desa, Perangkat Desa, serta petugas
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Setiap atasan yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian
atau untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan secara tertulis
kepada Pejabat. Pertimbangan itu harus memuat hal- hal yang dapat
digunakan oleh Pejabat dalam mengambil keputusan, apakah permintaan
izin itu mempunyai dasar yang kuat atau tidak. Sebagai bahan dalam
membuat pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat meminta
keterangan dari suami/isteri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang
dipandangnya dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Pada dasarnya, dalam rangka usaha merukunkan kembali isteri yang
bersangkutan, Pejabat harus memanggil mereka secara langsung dan
memberikan nesehat secara pribadi. Tetapi apabila tempat kedudukan
Pejabat dan tempat suami/isteri yang bersangkutan berjauhan, maka Pejabat
dapat memerintahkan Pejabat lain dalam lingkungannya untuk berusaha
merukunkan kembali suami/isteri tersebut.

Pasal 7.
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan
bahwa salah satu alasan dapat terjadinya perceraian ialah salah satu pihak
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri. Namun demikian, seorang Pegawai
Negeri Sipil yang melakukan perceraian karena alasan isteri tertimpa
musibah tersebut tidaklah memberikan keteladanan yang baik, meskipun
ketentuan peraturan perundang-undangan memungkinkannya. Oleh karena
itu izin untuk bercerai dengan alasan tersebut tidak diberikan. Alasan
tersebut hanyalah dapat merupakan salah satu syarat alternatif yang harus
disertai syarat-syarat kumulatif lainnya bagi Pegawai Negeri Sipil untuk
minta izin beristeri lebih dari seorang. (Lihat Pasal 10 ayat (2))

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2) …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-

Ayat (2)
huruf a
Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
isteri, adalah apabila isteri yang bersangkutan menderita penyakit
jasmaniah atau rohaniah sedemikian rupa, sehingga ia tidak dapat
memenuhi kewajibannya sebagai isteri baik secara biologis maupun
lainnya yang menurut keterangan dokter sukar disembuhkan lagi.

huruf b
Yang dimaksud dengan cacad badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, adalah apabila isteri yang bersangkutan menderita
penyakit badan yang menyeluruh yang menurut keterangan dokter
sukar disembuhkan.

huruf c
Yang dimaksud dengan tidak dapat melahirkan keturunan, adalah
apabila isteri yang bersangkutan menurut keterangan dokter tidak
mungkin melahirkan keturunan atau sesudah pernikahan sekurang-
kurangnya 1O (sepuluh) tahun tidak menghasilkan keturunan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12.
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1983 NOMOR 3250

Anda mungkin juga menyukai