PENDAHULUAN
Dalam usaha mengelola perusahaan dengan baik, terdapat dua pihak yang
menggunakan informasi dalam laporan keuangan sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan perusahaan yaitu pihak internal perusahaan
termasuk direktur, manager, karyawan mengenai kinerja perusahaan dan juga pihak
eksternal perusahaan termasuk pemegang saham, pemerintah, kreditur, calon
kreditur, investor, calon investor, dan pihak lainnya.
Persistensi laba (Earning Persistence) juga salah satu faktor penting dalam
kualitas laba. Penman dalam Persada & Martani (2010) menyatakan bahwa
persistensi laba adalah laba akuntansi yang diharapkan di masa mendatang (expected
future earnings) yang tercermin pada laba tahun berjalan (current earnings). Apabila
1
2
angka laba diduga oleh publik sebagai hasil rekayasa manajemen, maka angka laba
tersebut dinilai mempunyai kualitas rendah, dan konsekuensinya adalah publik akan
merespon negatif angka laba yang dilaporkan tersebut (Wijayanti, 2006). Laba yang
berkualitas adalah laba yang dapat mencerminkan kelanjutan laba (sustainable
earnings) dimasa depan, yang ditentukan oleh komponen akrual dan aliran kasnya
(Munawaroh, 2009).
Persistensi laba terkait juga dengan kinerja harga saham perusahaan di pasar
modal yang diwujudkan dalam imbalan hasil. Persistensi laba yang tinggi dapat
ditunjukkan melalui hubungan kuat yang tercipta antara laba perusahaan dengan
imbalan hasil bagi investor. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan laba dengan
investor dapat mencerminkan persistensi laba perusahaan (Kusuma & Sadjiarto,
2014). Persistensi laba diharapkan dapat memprediksi laba di masa mendatang.
Menurut Jumiati & Ratnadi, Laporan laba selain digunakan untuk memprediksi
perusahaan di masa mendatang, laporan laba juga digunakan untuk mendedikasi
kinerja manajemen. Kinerja manajemen diperuntukkan untuk melihat bagaimana
manajemen dalam mengalokasikan sumber daya.
Laporan Keuangan juga terbagi atas dua jenis laporan, yaitu laporan fiskal
dan laporan komersial. Laporan fiskal merupakan laporan keuangan setelah pajak
sesuai dengan peraturan pajak. Sedangkan laporan komersial adalah laporan
keuangan sebelum pajak sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Perbedaan peraturan antara standar akuntansi dan peraturan pajak ini menghasilkan
perhitungan yang berbeda dan perhitungan laba juga menjadi berbeda. Perbedaan
tersebut disebut Book Tax Difference. Perbedaan tersebut terjadi karena laporan
keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial
dari sektor bisnis, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk
menghitung pajak (Barus & Rica, 2014). Book Tax Difference timbul disebabkan
oleh strategi bisnis yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dengan tujuan
untuk memperkecil laba perusahaan sehingga PPh badan wajib pajak tersebut kecil
dan atau menaikkan laba perusahaan untuk menarik investor untuk menanamkan
modalnya kepada wajib pajak badan tersebut (Ningtyas & Wijaya, 2017).
Book Tax Difference juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
Persistensi laba karena terdapat perbedaan laba antara pembukuan fiskal dan
3
pembukuan komersial yang terjadi dalam Book Tax Difference. Hal ini membuat
Book Tax Difference termasuk dalam salah satu faktor yang mempengaruhi
Persistensi laba. Dalam penelitian yang dilakukan Wijayanti (2006) membuktikan
bahwa perusahaan dengan large book-tax differences mempunyai persistensi laba
lebih rendah daripada perusahaan dengan small book tax difference yang disebabkan
oleh komponen akrualnya. Hasil dari penelitian Hanlon (2005) yang berdasarkan
perusahaan yang melakukan perpajakan menurut peraturan perpajakan di Amerika
Serikat juga menyatakan bahwa perusahaan dengan large positive book-tax
difference mempunyai persistensi laba yang lebih kecil dari perusahaan yang yang
mempunyai small book-tax difference.
Secara umum, investor akan lebih percaya pada perusahaan besar karena
dianggap mampu untuk terus meningkatkan kualitas labanya melalui serangkaian
upaya peningkatan kinerja perusahaan (Dewi & Putri, 2015). Menurut Indriani dalam
Rachmawati & Triatmoko (2007), perusahaan yang memiliki total aktiva besar
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana
dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek
yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan
bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding
perusahaan dengan total asset yang kecil. Ukuran perusahaan dianggap mampu
4
mempengaruhi nilai perusahaan. Karena semakin besar ukuran atau skala perusahaan
maka akan semakin mudah pula perusahaan memperoleh sumber pendanaan baik
yang bersifat internal maupun eksternal (Dewi & Wirajaya, 2013).
2. Akademis
6
3. Investor
4. Peneliti Selanjutnya
Teori agensi sendiri dapat terjadi ketika principal tidak dapat melakukan
pengelolaan perusahaan sehingga principal melakukan kontrak dengan agent untuk
mengelola perusahaan. Maka dari itu terjadi perbedaan kepentingan antara agent dan
principal dalam pengelolaan perusahaan. Perbedaan kepentingan ini disebut dengan
masalah keagenan. Konflik kepentingan antara agent dan principal semakin
meningkat ketika principal kurang mengawasi kinerja agent dalam perusahaan.
Namun, pihak agent mengetahui lebih banyak informasi tentang kemampuan
perusahaan. Maka terjadilah ketidakseimbangan informasi antara principal dan agen
yang sering disebut dengan asimetri informasi. Pemberian fleksibilitas bagi
manajemen untuk memilih satu dari seperangkat kebijakan akuntansi membuka
peluang untuk perilaku oportunis dan kontrak efisien. Artinya, manajer yang
rasional, akan memilih kebijakan akuntansi yang sesuai dengan kepentingannya.
Dengan kata lain, manajer memilih kebijakan akuntansi yang dapat memaksimalkan
expected utility-nya dan atau nilai pasar perusahaan. Perilaku oportunis dan kontrak
efisien ini, mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba (Brolin &
Rohman, 2014).
8
9
bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara pihak
yang berkepentingan (principal) dengan manajemen sebagai pihak yang menjalankan
kepentingan (agent). Konflik ini muncul pada saat setiap pihak berusaha untuk
mencapai tingkat kemakmuran yang diinginkannya. Jensen dan Meckling (1976)
membagi biaya agensi/keagenan menjadi 3 komponen, yaitu:
Biaya bonding memiliki tujuan untuk menjamin bahwa agen tidak akan
bertindak yang dapat merugikan perinsipal, atau untuk meyakinkan bahwa
prinsipal akan memeberikan kompensasi jika agen benar-benar melakukan
tindakan yang tepat.
3. Kerugian residual (residual loss)
Kerugian residual yang dimaksud merupakan nilai uang yang ekuivalen dengan
pengurangan kemakmuran yang dialami oleh prinsipal sebagai akibat dari perbedaan
kepentingan atau nilai kerugian yang dialami prinsipal akibat keputusan yang
diambil oleh agen.
2.1.2 Earning Persistence
Salah satu informasi yang menjadi perhatian para pemilik kepentingan
perusahaan adalah informasi laba. Para pengguna laporan keuangan melihat
informasi laba saat ini untuk memprediksi laba di masa depan. Para principal
membutuhkan kualitas laba yang baik untuk menilai bahwa perusahaan berada dalam
kondisi keuangan yang baik untuk dapat di teruskan. Definisi persistensi laba
menurut Penman dalam Wijayanti (2006) adalah revisi dalam laba akuntansi yang
diharapkan dimasa mendatang (expected future earnings) yang diimplikasi oleh
inovasi laba tahun berjalan (current earnings).
Jika begitu maka tidaklah mustahil jika terjadi asimetri informasi antara pihak
manajemen dan pihak eksternal perusahaan. Sedangkan Chandrarin (2003) dalam
Wijayanti (2006) mengungkapkan bahwa laba yang persisten adalah laba akuntansi
yang memiliki sedikit atau tidak mengandung gangguan (noise), dan dapat
mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang sesungguhnya. Hayn (1995) dalam
Wijayanti (2006) juga menjelaskan bahwa gangguan persepsian dalam laba akuntansi
disebabkan oleh peristiwa transitori (transitory events) atau penerapan konsep akrual
dalam akuntansi.
Menurut Jonas dan Blanchet (2000) persistensi laba dapat digunakan untuk
menilai kualitas laba karena mengandung unsur predictive value, sehingga dapat
digunakan oleh pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi kejadian-kejadian
di masa lalu, sekarang, dan masa depan.
dua laporan, yaitu laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal.
Terdapat beberapa kegiatan yang harus dilakukan dalam mempersiapkan laporan
keuangan komersial yang meliputi pengidentifikasian dan pengukuran data,
pemrosesan data, pelaporan, dan penginformasian atau pengomunikasian kepada
pengguna laporan. Sedangkan, penyusunan laporan keuangan fiskal, perusahaan
hanya perlu melakukan rekonsiliasi fiskal dari laporan keuangan komersial. Standar
yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan komersial merupakan Standar
Akuntansi Keuangan sedangkan standar yang dibutuhkan dalam penyusunan laporan
fiskal adalah Undang – Undang Perpajakan. Proses penyusunan tersebut dapat dilihat
dalam gambar berikut.
Transaksi Laporan
Pencatatan Penggolongan Pengikhtisaran
Keuangan Keuangan
Pengidentifikasian Pemrosesan
Pelaporan Analisis dan
dan Pengukuhan Data Interpretasi
Pengguna
Laporan
Sumber: Waluyo, 2014
Gambar 2.1 Proses Laporan Keuangan Komersial
Buku Tambahan
Laporan Keuangan
Rekonsiliasi
Fiskal
Laporan
Keuangan Fiskal
Sumber: Waluyo, 2014
Gambar 2.2 Proses Laporan Keuangan Fiskal
12
Laba juga dapat diartikan sebagai selisih dari pendapatan di atas biaya. Laba
selalu menjadi dasar dalam pengenaan penghasilan kena pajak, kebijakan pemberian
deviden, pedoman dalam investasi, pengambilan suatu keputusan, dan unsur untuk
memprediksi kinerja (Suwandika & Astika, 2013).
negative dan large positive) tidak memiliki persistensi laba yang lebih rendah
dibanding perusahaan dengan perbedaan laba akuntansi dengan laba fiskal yang
kecil (small).
melaporkan arus kas dari aktivitas operasi dengan menggunakan salah satu dari
metode berikut:
perusahaan maka dapat melakukan tax planning lebih baik. Tax planning adalah
perencanaan pajak sebagai bagian dari kebijakan manajemen dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan dengan teknik dan strategi mengatur akuntansi dan keuangan
perusahaan untuk penghematan pajak tanpa melanggar peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, sehingga dapat mempengaruhi book tax
difference menjadi lebih besar (Scholes dalam Irfan & Kiswara, 2013).
pembayaran pajak.
memperbaiki kinerjanya, sehingga pasar akan mau membayar lebih mahal untuk
mendapatkan sahamnya karena percaya akan mendapatkan pengembalian yang
menguntungkan dari perusahaan tersebut (Dewi & Wirajaya, 2013).
H4: Ukuran Perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap Earning
Persistence
2.3.4 Pengaruh Kualitas Auditor terhadap Persistensi laba
Kualitas audit dipandang sebagai kemampuan untuk mem-pertinggi kualitas
pelaporan keuangan perusaha-an. Dengan kualitas audit yang tinggi diharapkan
mampu meningkatkan kepercayaan investor (Christiani & Nugrahanti, 2014). De
Angelo dalam Alim, Hapsari, & Purwanti, (2007) mendefinisikan kualitas audit
sebagai probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran
pada sistem akuntansi klien. Meutia dalam Christiani & Nugrahanti (2014)
mendefinisikan audit sebagai suatu proses untuk mengurangi ketidakselarasan
informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan
menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan.
H5: Kualitas Auditor tidak mempunyai pengaruh terhadap Earning
Persistence
BAB 3
OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN
Keterangan:
PTBI t+1 : Laba akuntansi sebelum pajak perioda t+1 (pretax income).
PTCFt : Aliran kas sebelum pajak perioda t (pretax cash flow).
PTACCt : Laba akrual sebelum pajak perioda t (pretax accrual).
LNBTDt : Perbedaan besar antara laba akuntansi dan laba fiskal bernilai
negatif perioda t (large negative book-tax differences).
LPBTDt : Perbedaan besar antara laba akuntansi dan laba fiskal bernilai
positif perioda t (large posiiive book-tax differences)
Dahler dan Febrianto dalam Dewi & Putri (2015) menyatakan bahwa selain
dapat memprediksi arus kas masa depan, akrual juga dapat digunakan untuk
memprediksi laba masa depan.
Laba akrual (PTACC) dihitung sebagai laba akuntansi sebelum pajak
(PTBI) dikurangi dengan arus kas operasi sebelum pajak (PTCF) kemudian dibagi
total aset (Hanlon dalam Irfan, 2013)
Laba akrual = laba akuntansi sebelum pajak (PTBI) - aliran kas operasional (PTCF)
Dewi & Putri (2005) pada jurnalnya menyatakan bahwa secara umum, investor
akan lebih percaya pada perusahaan besar karena dianggap mampu untuk terus
meningkatkan kualitas labanya melalui serangkaian upaya peningkatan kinerja
perusahaan.
Sesuai dengan penelitian Persada dan Dwi dalam Dewi & Putri (2015),
proksi untuk mengukur ukuran perusahaan (size) diperoleh dengan rumus:
Size = Log (Total Aset)
Kualitas audit dapat diukur dengan menggunakan ukuran KAP (KAP big-4
dan KAP non big-4) dan spesialisasi industri auditor (Geray dalam Christiani &
Nugrahanti, 2014). Kualitas Audit diukur dengan skala nominal melalui variabel
dummy. Angka digunakan untuk mewakili perusahaan yang diaudit oleh KAP Big
Four dan angka 0 digunakan untuk mewakili perusahaan yang tidak diaudit oleh
KAP Non-Big Four.