Anda di halaman 1dari 3

TARI TOPENG

TARI topeng Cirebon, Jawa Barat, merupakan seni tari pertunjukan yang sarat simbol penuh
makna yang diharapkan bisa dipahami penontonnya. Simbol-simbol itu disampaikan melalui
warna topeng, jumlah topeng, dan jumlah gamelan pengiringnya. Makna yang disampaikan
bisa berupa nilai kepemimpinan, cinta, atau kebijaksanaan yang disampaikan melalui media
tari.

Siapa empu pencipta tarian ini tak diketahui. Kemunculannya pun ada banyak versi. Salah
satunya menyebut tari topeng sudah dikenal pada masa Majapahit. Jacob Sumardjo dalam
Arkeologi Budaya Indonesia menyebut Raja Hayam Wuruk menari dengan topeng terbuat
dari emas. Setelah jatuhnya Majapahit. tarian ini dipertahankan sultan-sultan Demak dengan
kemasan baru. Dari Demak, tarian ini menyebar ke daerah lainnya, termasuk Cirebon, yang
pernah berada di bawah pengaruh Demak.

Di Cirebon, tari ini tetap menjadi kesenian keraton. Suatu ketika raja-raja Cirebon tak punya
cukup dana untuk memelihara semua kesenian keraton. Akibatnya, para penari dan penabuh
gamelan mencari sumber pendapatan di luar keraton. Tari topeng pun menyebar dan menjadi
kesenian rakyat.

Tari topeng Cirebon kemudian mengalami transformasi. Muncullah dua tipologi tari topeng
Cirebon. Pertama, topeng Cirebon wilayah barat, yakni Gegesik, Slangit, dan Palimanan di
Kabupaten Cirebon; Pekandangan dan Tambi di Kabupaten Indramayu; serta Bongas di
Kabupaten Majalengka. Kedua, topeng Cirebon wilayah timur, yakni Losari. Masing-masing
memiliki gaya atau ekspresi tarian yang berbeda.

Nama daerah-daerah tersebut kemudian melekat pada tari topeng. Selain itu, ada pula
penyebutan lain untuk menunjukkan ciri dan gaya menari dari dalang topeng (penari topeng).
Sebagai contoh, “topeng Rasinah” untuk menyebut tarian yang dibawakan Mimi Rasinah,
salah satu maestro yang pernah dimiliki Indonesia.

Setiap dalang topeng punya ciri khas, estetika, dan kemampuan masing-masing dalam
menafsirkan tarian-tariannya. Menurut Lasmiyati dari Balai Pelestarian Nilai Budaya
Bandung dalam “Rasinah: Maestro Tari Topeng Indramayu” di jurnal Patanjala Vol. 5 No. 3,
September 2013, Rasinah mempunyai gaya yang spesifik, yaitu gerak mengular ngalageday
dengan diiringi suara gamelan yang lembut dan tidak gemuruh. Urutan gerak daner adalah
topeng slangit, dodoan, unggah tengah, dan deder.

Kendati gerak tarian di masing-masing daerah atau yang dibawakan penari topeng berlainan,
bentuk topeng dan tokohnya tetap sama. Total jumlah topengnya ada sembilan, yang dibagi
menjadi dua kelompok: lima topeng pokok (panji, samba atau pamindo, rumyang,
tumenggung atau patih, kelana atau rahwana) dan empat topeng lainnya (pentul, nyo atau
sembelep, jingananom, dan aki-aki) digunakan jika lakon yang dimainkan berjudul Jaka
Blowo, Panji Blowo, atau Panji Gandrung.

Lima topeng pokok disebut sebagai “Topeng Panca Wanda”, artinya topeng lima watak, yang
akan mempengaruhi gerakan yang dibawakan penari topeng. Topeng panji, wajahnya putih
bersih seperti bayi baru lahir. Gerakan tari topeng panji pun halus dan lembut. Topeng samba
atau pamindo berkarakter anak-anak sehingga gerakan tariannya ceria, lucu, dan lincah.
Topeng rumyang menggambarkan sifat keremajaan sehingga banyak menampilkan gerakan
ganjen (genit). Topeng tumenggung menggambarkan orang dewasa yang gagah, tegas, dan
bertanggung jawab sehingga gerakannya laksana seorang patih atau tumenggung. Sementara
topeng kelana atau rahwana berkarakter kasar, serakah, penuh amarah, dan tak bisa
mengendalikan hawa nafsu. Gerak tariannya agresif, energik, angkatan kakinya dibuat tinggi
dan rentangan tangannya lebar sebagai penggambaran gerakan yang kuat dan keras.
“Menyaksikan tari topeng Cirebon sesungguhnya kita menonton sekaligus mempelajari
beberapa mitologi dari ajaran agama dan moral,” tulis Dadang Kusnandar dalam Cirebon:
Silang Peradaban.

Kelima topeng itu bisa dibedakan dari warnanya. Topeng panji berwarna putih, parmindo
berwarna kuning muda, rumyang merah muda, tumenggung berwarna coklat, dan kelana
berwarna merah.

Tari topeng Cirebon biasanya diawali dengan gerakan membungkuk sebagai bentuk
penghormatan kepada penonton sekaligus tanda tarian akan segera dimulai. Setelah itu kaki
penari digerakkan melangkah maju-mundur diiringi rentangan tangan dan lemparan senyum
kepada penonton. Gerakan dilanjutkan dengan membelakangi penonton dan menggoyangkan
pinggul sambil memakai topeng sesuai karakter yang akan dibawakannya.

Setelah menari berputar-putar, tubuh penari kembali membelakangi penonton sambil


mengganti topeng dengan karakter yang berbeda. Saat mengenakan topeng, bunyi gamelan
jadi perlambang dari karakter tokoh yang diperankan. Alunan musik paling keras adalah
ketika penari hendak mengenakan topeng berwarna merah tua sebagai perlambang nafsu
angkara murka.

Busana penari meliputi baju kutung lengan pendek, celana panjang di bawah lutut (sontog)
penutup dada yang dikenakan di bahu (mongkron), “dasi”, selendang di pinggang (sampur
atau soder), ikat pinggang (badong), tutup kepala (sobrah), serta gelang tangan dan kaki.

Penari gamelan diiringan waditra atau gamelan berlaras pelog, salendro atau prawa yang
terdiri atas kendang (dua buah), kendang kecil (dua buah), saron kecil, bonang, kenong, dan
jengglong, saron (dua set), tutukan dan kebluk, kelenang, kademung, kempul, dan gong
keprak, suling, dan kemanak.

Tari topeng sempat berjaya pada masa Orde Lama. Kedekatannya dengan kelompok kiri
membuat tari topeng meredup di awal Orde Baru. Menjamurnya musik dangdut dan tarling
menambah tenggelam kesenian tari topeng. Meski ada upaya mengembangkan kembali tari
topeng, termasuk munculnya sangar-sangar, tari topeng tetap dalam kondisi sulit. Apalagi
umumnya kemampuan menari yang mumpuni diwariskan secara turun-temurun.

Anda mungkin juga menyukai