KELOMPOK 4
KELAS IX-1
SMP N 6 DENPASAR
Seni Lukis memang memberikan nuansa tersendiri bagi para penikmat dan
pelukisnya. Bagaimana tidak, seorang pelukis harus mampu mentransformasikan
keindahan ke dalam kanvas lukisnya.
Seperti itu pula yang dirasakan pelukis naturalis Bengkulu, Mirza Rizal, yang
akrab disapa Ical. Pria kelahiran Lubuk Linggau 10 Desember 1961 yang ditemui
Liputan6.com di kediamannya, Sabtu (19/12/2015) mengaku sejak anak-anak
sudah tertarik dengan seni rupa. Ketertarikannya pada dunia seni rupa mulai
diseriusi saat dirinya menginjak bangku SLTA. Bahkan saat memasuki dunia
kampus, kegemaran tersebut terus diasah.
Mirza terus berguru dengan berbagai seniman lukis yang lebih dulu mapan. Saya
ada obsesi yang belum terlaksana, yakni menggelar pameran tuggal lukisan
Bengkulu, ujarnya sambil terus melukis delapan ekor kuda yang berlari di pantai
Jakat Bengkulu.
Lukisan delapan ekor kuda yang sedang dikerjakan tersebut sudah mamasuki
minggu ketiga penggerjaan, dan sekitar tiga atau empat hari kedepan lukisan
tersebut akan selesai. Dalam menggerjakan lukisan, pikiran saya harus benarbenar tenang dan makanya saya melukis selalu ditemani dengan musik-musik,
dengan nada yang memberkan nuansa santai, untuk menambah ketenangan.
Apalagi pelukis naturalis, ketenangan, batin, dan kedamaian pikiran mutlak
diperlukan, karena yang ditransformasikan dalam kanvas dan kuas lukis adalah
keindahan yang mendekati kesempurnaan, katanya melanjutkan.
Sebagai seniman, Mirza Rizal terus berharap, ke depan semakin banyak anak
muda, khususnya di Bengkulu, yang kreatif dan terus berkarya di bidang seni.
Selain itu dirinya juga mengungkapkan harapannya kepada pemerintah, "Kami
tidak mengemis anggaran, kami hanya ingin pemerintah memperhatikan para
pelukis dengan sering membuat event yang akan memacu kreativitas seniman
untuk berkarya," ungkap Mirza.
Selama fokus dalam dunia seni rupa, hanya satu keinginan perupa Mirza yang
belum terwujud, yaitu menggelar pameran tunggal. Hanya saja untuk menggelar
pameran tunggal tersebut bukanlah perkara mudah, selain harus mempersiapkan
lukisan, dirinya juga harus siap lahir dan batin. Minimal ada 60 lukisan yang akan
dipamerkan dalam pameran tunggal, tutup dia. (Yuliardi Hardjo Putro)
Karya-karya I Nyoman Masriadi identik dengan figur pria berotot, dipercantik efek kemilau
cahaya. Karya seniman yang mampu menjual lukisannya hingga miliaran rupiah itu terkesan
sederhana, tetapi sering memperlihatan satire politik.
Meninggalkan pengaruh beberapa seniman yang ia kagumi, seperti Jasper Jones, Pablo Picasso
dan Affandi, I Nyoman Masriadi menemukan dunianya sendiri dalam genre pop art. Masriadi
belajar dari kehidupan sehari-hari melalui permainan komputer dan komik.
Kehidupan pelukis kelahiran Gianyar, Bali itu, tak dapat lepas dari game. Seperangkat komputer
senantiasa menemaninya di ruang kerja yang ia sulap jadi studio di rumahnya, Sinduharjo,
Ngaglik, Sleman.
Komputer itu tak jarang berdampingan dengan kanvas sehingga memudahkannya untuk mencari
solusi ketika idenya buntu, tanpa Masriadi harus berpindah tempat. Dia tergolong maniak game.
Bahkan, kata dia, permainan di komputer lebih menggodanya ketimbang melukis.
Nyoman bekerja sendiri di studio itu, tanpa asisten yang membantunya. Di situ juga ada minibar,
sebuah meja biliar, dan tergantung pula kantong tinju. Tak jauh dari papan kanvasnya, tergeletak
sit up bench body gym atau alat kebugaran yang berfungsi khusus untuk sit up. Biar six pack,
kata dia sembari memegang perutnya yang mulai mengendur karena jarang menggunakan alat
kebugaran tersebut.
Figur pria kekar dengan bentuk otot perut menyerupai susunan enam kotak atau sering disebut
six pack tercermin dalam karyanya yang terjual Rp4,5 miliar pada Art Jog di Taman Budaya
Yogyakarta (TBY), Juni 2015 lalu. Kedua tangan pria itu menengadah ke atas, dilengkapi dengan
kotak bertuliskan Shangri-La yang menutup alat kelaminnya. Latarnya putih disemarakkan
gelembung-gelembung air. Wajahnya penuh ekpresi kegembiraan. Mulutnya terbuka lebar dan
matanya menatap ke atas seolah merasakan kenikmatan yang tak terkira. Judul lukisan itu
Shangri-La.
Shangri-La menceritakan surga dunia, menciptakan surga sendiri. Rekaan surga yang
menyenangkan, ujar bapak tiga anak itu.
Lukisan Shangri-La diadaptasi dari novel Lost Horizon karya sastrawan Inggris, James Hilton
pada 1933. Novel itu menceritakan tempat indah yang tidak nyata di Pegunungan Himalaya yang
disebut sebagai Shangri-La.
Nyoman mengaku mengerjakan Shangri-La kurang lebih sebulan. Karyanya biasanya ia kerjakan
dalam kurun waktu itu, tergantung besar kecilnya lukisan. Shangri-La dibuat dalam kanvas
berdimensi dua meter kali 1,5 meter.
Figur pria berotot menjadi corak kebanyakan karya Nyoman. Dalam lukisan The Man From
Bantul (The Final Round) yang terjual sekitar Rp10 miliar dalam lelang Sothebys di Hong Kong
pada Oktober 2009, Masriadi menggambarkan sosok tiga manusia berkulit hitam sedang beradu
jotos di atas ring.
Begitu halnya pada Sorry Hero, I Forgot pada 2008 yang disebut-sebut menjadi motor booming
lukisan kontemporer di Asia Tenggara karena laku terjual Rp6 miliar dalam lelang Sothebys di
Hong Kong.
Lukisan itu menggambarkan deformasi pria berotot yang merupakan persilangan tokoh DC
Comics, yakni Superman dan Batman. Laki- laki indah digambar. Cewek jarang ototnya, kata
dia.
Sementara, warna hitam banyak dia goreskan pada lukisannya karena kesan gelap yang kontras
dengan warna putih. Masriadi mengaku bisa terus berkarya ketika banyak persoalan. Saat santai,
dia malah kehabisan ide. Kebanyakan masalah pribadi. Sosial sudah tak banyak digarap, ujar
dia.
Kembalinya dia dan keluarganya ke Jogja pada 1998 adalah periode yang sangat produktif. Saat
itu Indonesia sedang mengalami transisi yang penuh gejolak
Masriadi kala itu membuat lukisan berjudul Diet Sudah Berakhir, dan menggambarkan seorang
pria merosot di toilet, dengan tangannya diborgol ke pipa. Seorang pelayan berdiri di
sampingnya dan berkata, Ganteng pesan apa?
Masriadi merepresentasikan gambar yang humoris dan kadang- kadang adegan yang menyindir.
Masriadi memanfaatkan visual karikatur yang canggih untuk menciptakan ekpresi lucu, ujar
kritikus seni dari Institut Senin Indonesia (ISI) Yogyakarta, Dwi Marianto.
Basoeki Abdullah atau Pak Bas, pelukis kenamaan Indonesia, meninggal pada 5 November 1993
di usia 78 tahun. Kematiannya tragis. Seorang pencuri masuk ke kamarnya di Jalan Keuangan
Raya 19, Jakarta, dengan niat menjarah koleksi arlojinya.
Tatkala Basoeki tergeragap, sang pencuri menyambar bedil koleksi Basoeki yang ada dalam
almari dan menghantamkannya ke kepala sang pelukis. Januari lalu, dihitung dari tahun
kelahirannya (ia lahir pada 27 Januari 1915), Basoeki genap 100 tahun.
Basoeki adalah seorang Katolik. Bekas kamarnya di rumah Jalan Keuangan Raya 19, Jakarta,
tetap dipertahankan apa adanya. Di samping Bibel, buku-buku Katolik, salib besar di dinding,
tepat di atas tempat tidurnya juga ada dua repro mozaik Yesus ala Eropa.
Kini, rumah itu menjadi Museum Basoeki Abdullah. Kami minta Ibu Nataya Nareraat (istri
keempat Basoeki) menata kamar seperti saat Pak Bas hidup, kata Joko Madsono, Direktur
Museum Basoeki Abdullah.
Ayah Basoeki, pelukis Abdullah Suryosubroto, dan ibunya, Raden Ayu Sukarsih, adalah muslim.
Namun, saat remaja, Basoeki memilih menjadi Katolik. Tatkala usianya belasan, Basoeki pernah
terkena tifus yang hampir membuatnya meninggal. Di tengah sakit keras itu, ia menggambar
figur Yesus Kristus pada kertas.
Ajaib, Basoeki sembuh dari sakitnya. Daddy (ayah) cerita waktu itu dia seolah mendapatkan
vision, lelaki dengan janggut putih yang dipercayainya sebagai Tuhan Yesus, kata Cicilia, anak
Basoeki.
Pada umur 18 tahun, di Yogya, Basoeki minta dibaptis sebagai seorang Katolik. Basoeki punya
nama baptis Fransiskus Xaverius. Basoeki pernah mencantumkan nama FX pada karyanya, kata
Mikke Susanto, konsultan kuratorial benda seni Istana Presiden.
Museum Basoeki Abdulah memiliki koleksi dua lukisan konte Basoeki bergambar sosok
perempuan dan laki-laki yang tanda tangannya masih ada inisial FX. Ini koleksi langka. Tidak
diketahui siapa kedua orang ini, kata Joko Madsono.