Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Rinosinusitis (RS) adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan sinus
paranasal. Istilah rhinosinusitis lebih tepat dibandingkan sinusitis karena jarang sinusitis
tanpa didahului rhinitis dan tanpa melibatkan mukosa hidung. Secara klinik RS adalah
keadaan yang terjadi sebagai manifestasi adanya peradangan yang mengenai mukosa
rongga hidung dan sinus paranasal dengan terjadinya pembentukan cairan atau adanya
kerusakan pada tulang di bawahnya. Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur
baik anak maupun dewasa. RS adalah salah satu keluhan yang paling sering dialami oleh
penderita yang datang berobat ke dokter umum maupun spesialis THT.
European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps 2012 selanjutnya di
sebut dengan EPOS 2012 mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai sumbatan pada
hidung disertai meler, ada atau tidak ada rasa sakit atau penekanan pada wajah,
berkurangnya atau hilangnya penciuman yang lebih dari 12 minggu dan dengan
pemeriksaan endoskopi dapat disertai atau tanpa adanya polip hidung dan atau discharge
mukopurulen, udem / obstruksi mukosa meatus medius, pemeriksan CT Scan
menunjukkan perubahan pada sinus dan atau daerah kompleks osteomeatal.
Data DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
lainnya berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinosinusitis dapat mengakibatkan masalah
kesehatan yang serius sehingga dapat memperburuk kualitas hidup penderita. Oleh karena
itu, peran profesi kesehatan seperti dokter dan apoteker diperlukan untuk
mengembangkan berbagai alternaltif pengobatan.
Apoteker dapat menjadi perantara antara pasien dan dokter dalam hal pemilihan
terapi farmakologi agar tercapainya pengobatan yang aman, tepat, dan rasional, maupun
terapi non farmakologi dengan memberikan edukasi kepada pasien dalam hal modifikasi
pola hidup sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan terapi yang diinginkan.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sinusitis adalah inflamasi atau peradangan pada dinding sinus paranasal. Sinus
adalah rongga kecil berisi udara yang terletak di belakang tulang pipi dan dahi.
Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului oleh
infeksi saluran napas atas. Sesungguhnya, hampir 40-60 % penderita sinusitis maksila
kronis juga mengalami alergi tipe tertentu; dan hampir 30 % penderita sinusitis akut
memiliki riwayat alergi. Diagnosis dan pengobatannya sangat diperlukan karena sinusitis
sering menyebabkan batuk kronis dan berpengaruh terhadap gejala-gejala asma.
Pengenalan dan pengobatan sinusitis secara tepat biasanya dapat memperbaiki gejala-
gejala pada saluran napas bawah.
Sinusitis mengacu pada peradangan pada rongga sinus, yang lembap pada ruang
kosong dalam tulang tengkorak. Ada empat pasang sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus
etmoidalis, dan sinus sfenoidalis. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-
tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung. Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan
bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi udara. Jika
pembukaan dari rongga sinus menjadi tersumbat, aliran lender terhambat dan tekanan
meningkat sehingga menyebabkan rasa sakit dan peradangan.
Penyakit sinusitis menimbulkan dampak yang nyata terhadap kualitas hidup
pasien. Sebuah kuesioner penilaian kesehatan umum standar menunjukkan bahwa
penderita sinusitis memiliki skor yang jauh lebih rendah daripada penderita penyakit paru-
paru obstruktif kronis, gagal jantung kongestif, angina atau nyeri punggung.
The Joint Task Force on Practice Parameters of the American College of Allergy,
Asthma and Immunology, American Academy of Allergy. Asthma and Immunology; dan
The Joint Council of Allergy, Asthma, and Immunology mendefinisikan sinusitis sebagai
inflamasi di satu atau lebih lebih sinus paranasal. Oleh karena epitel hidung bersebelahan
dengan mukosa yang membatasi sinus, dan inflamasi terdapat di sinus di sinus maupun
saluran hidung, maka penyakit ini juga disebut rinosinusitis. Pada tahun 1997, American
3

Academy of Otolatyngology-Head and Neck Surgery menetapkan bahwa sinusitis lebih


tepat disebut rinosinusitis karena sinusitis biasanya diawali oleh rinitis dan jarang terjadi
tanpa rinitis. Istilah rinosinusitis mulai diadopsi secara perlahan.

B. EPIDEMIOLOGI
Meskipun jarang terjadi pada anak-anak, saat ini diketahui bahwa sinusitis dapat
mencapai hingga 10% infeksi saluran napas atas karena virus di awal masa kanak-kanak.
Sesungguhnya, sinusitis akut lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa.
Faktor risiko utama untuk terjadinya sinusitis adalah rinitis alergi atau infeksi saluran
napas atas karena virus. Terjadinya kedua faktor risiko ini lebih lazim pada anak-anak
daripada orang dewasa.
Sebuah penelitian menilai prevalensi sinusitis pada sebuah populasi anak. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa diagnosis sinusitis oleh dokter terdapat pada 13,1%
anak, dan riwayat rinitis alergi secara bersamaan terdapat pada 78% anak penderita
sinusitis. Meskipun penelitian ini dibatasi oleh ketergantungannya terhadap survey yang
diisi orang tua untuk mengonfirmasi adanya diagnosis, penelitian ini menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit sinus yang dilaporkan bersama rinitis alergi sangat tinggi.
Sinus paranasal adalah empat pasang ruang berisi udara yang mengelilingi rongga
hidung dan masing-masing sinus dikeringkan melalui sebuah ostium yang melewati
dinding lateral hidung. Meskipun fungsi sinus masih belum diketahui, sinus berperan
dalam resonansi vokal, pancaran suara, penurunan bobot tengkorak, olfaksi, pembasahan,
perubahan tekanan di dalam hidung, dan atau pengaturan produksi mukus (lendir).
Hingga akhir-akhir ini, ada asumsi bahwa sinus tidak ada pada bayi dan anak kecil.
Namun sekarang, diketahui bahwa Sinus etmoidalis dan Sinus maksilaris telah ada sejak
lahir. Sinus sfenoidalis dan sinus frontalis tumbuh lebih lambat. Secara anatomi, Sinus
frontalis bisa terlihat saat usia 12 bulan, meskipun tidak akan terlihat di radiograf antara
usia 3 dan 7 tahun. Sinus sfenoidalis berkembang pada usia 3 tahun dan terlihat di
radiograf pada usia 9 tahun.

C. PATOFISIOLOGI
Ostia, fungsi siliar, tingkat imunitas, dan pertahanan enzim semuanya
mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap infeksi sinus. Mukosiliar bertindak sebagai
mekanisme utama untuk perlindungan dari infeksi. Kejadian awal perkembangan sinusitis
adalah penyumbatan saluran sinus. Inflamasi kronis penyumbatan sinus menurunkan
4

fungsi siliar, sehingga menghambat pengeringan sinus dan hipersekresi kelenjar lendir. Zat
iritan kimia, seperti asap rokok, juga bisa menghambat fungsi siliar. Pembersihan
mukosiliar sangat penting untuk mempercepat pengeringan sinus secara spontan.
Pengeringan dari sinus sangat sulit dilakukan karena cairan harus mengalir melalui saluran
yang panjang dan berputar di wilayah osteomeatal. Selain itu, ostium maksila yang
merupakan saluran antrum terletak di bagian atas turbinate hidung, bukan di bagian
bawah. Pada intinya, sekresi harus mengalir “ke atas” melawan kekuatan gravitasi. Jika
ostium tersumbat, maka edema mukosa akan terjadi akibat tekanan sinus negatif yang
terjadi. Oleh karena sekresi harus mengalir ke atas, infeksi sering terjadi di sinus maksila,
diikuti oleh sinus etmoidalis, frontalis, dan sfenoidalis. Pertukaran gas juga terganggu
karena gangguan ostium menyebabkan partial pressure of oxygen (PO2) rendah. PO2 yang
rendah juga dapat mengganggu fungsi granulosit. Oleh sebab itu, pertumbuhan bakteri
mudah terjadi di suatu lingkaran anaerobik akibat sekresi yang tertahan. Hal ini akan
menimbulkan infeksi bakteri, dimana bakteri yang berkumpul disekitar hidung
mendapatkan akses ke sinus melalui ostia.
Faktor yang mempengaruhi sinusitis dapat dibagi menjadi faktor lokal atau faktor
sistemik. Seperti dibahas sebelumnya, dua faktor risiko utama terhadap terjadinya sinusitis
adalah rinitis alergi dan infeksi saluran pernapasan atas. Sifat anatomi yang sama
mendukung hubungan antara penyakit alergi dengan sinusitis. Pembatas jaringan hidung
dan jaringan sinus berdampingan, dan terdiri atas epite kolom dengan sel-sel goblet.
Seperti diperkirakan, sel-sel inflamasi biasa (netrofil dan eosinofil) ditemukan pada
penelitian terhadap penderita rinitis alergi maupun sinusitis.
Sinus yang berbeda memperlihatkan proses inflamasi yang berbeda pula. Jumlah
eosinofil dan sel induk ditemukan lebih banyak pada sinus ethmoid daripada sinus
maksila. Penanda yang sama tidak selalu ada pada penderita sinus. Oleh sebab itu,
mungkin ada perbedaan antara sinus alergi dan sinus nonalergi. Namun, eosinofil jaringan
terlihat jelas pada keduanya. Peran mediator inflamasi belum diketahui dengan jelas,
apakah untuk membuka atau memperpanjang jalannya penyakit. Temuan penelitian
pendahuluan secara in vitro melaporkan adanya sitokin yang berbeda-beda pada sinusitis
akut dibandingkan sinusitis kronis.

D. ANATOMI
Sinus paranasal adalah serangkaian rongga yang mengeliling rongga hidung. Ada empat
pasang sinus paranasal yaitu sinus etmoid, maksila, frontal dan sfenoid. Sinus paranasal
5

dilapisi mukoperiosteum tipis yaitu epitel torak berlapis atau berlapis semu bersilia
dengan sejumlah sel goblet. Dibawahnya terdapat tunika propria yang merupakan
jaringan fibroelastik yang terdapat kelenjar serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet
secara konstan memproduksi nukus. Pada sekresi mukus ini terdapat enzim lisozim
(muramidase) yang mampu membunuh kuman. Palut lendir (mucous blanket) yang
berada di permukaan epitel bersilia berfungsi nelembabkan, menghangatkan udara yang
dihirup dan menangkap (membersihkan) polutan itau berbagai material yang merugikan.
Mukus beserta bahan material yang telah diproses dihancurkan) selanjutnya oleh
pergerakan silia (700 ayunan per menit) akan di dorong dengan gerakan ritmis menuju
ostia dengan pola tertentu.

Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal dan Ostimnya


1. Sinus etmoid
Sinus etmoid terdiri dari 3-16 singular cells dengan volume total sekitar 3 ml. Dibagi
lateral dipisahkan dari orbita oleh selapis tulang tipis yang disebut lamina papirasea.
Lami basalis konka media membagi sinus'etmoid menjadi kompleks etmoidalis
anterior dan posteri Kompleks etmoidalis anterior terdiri atas selule dan celah yang
membuka dan mengalirk sekret kearah anterior dan inferior menuju lamela basalis.
Bula etmoidalis merupakan sell etmoidalis yang terletak paling anterior dan berlokasi
di dalam lamina papirasea orbit Kompleks etmoidalis posterior terdiri atas selulule
dan celah yang mengalirkan sekret muk kearah posterior dan medial menuju lamela
dari konka media, selanjutnya ke dasar tengkor, dan dinding medial orbita.Kompleks
ostiomeatal (KOM) adalah unit drainase fungsional yang terdiri atas bu etmoidalis,
6

prosesus unsinatus, infundibulum etmoidalis, hiatus semilunaris, ostium sini maksila.


resesus frontalis dan resesus di sekeliling berbagai struktur tersebut.
Celah sempit ini (KOM) berperan sangat penting dalam mempertahankan
kondisi fisiologis nus paranasal. Mukus atau sekret yang berasal dari sinus frontal,
etmoid anterior dan laksila akan mengalir melalui daerah ini. Prosesus unsinatus
adalah penonjolan tulang mirip bukit pada dinding meatus medius yang letaknya
anterior dari bula etmoidalis. Infundibulum merupakan ruang berbentuk corong antara
bula etmoidalis da i prosesus unsinatus, pada akhirnya menerima aliran sekret dari nus
frontalis dan maksilaris. Hiatus semilunaris merupakan cekungan berbentuk sabit
dengan panjang sekitar 2 cm dan kedalaman 3-4 mm, terletak diantara bula etmoidalis
dan prosesus isinatus. Sekret yang berada di hiatus semilunaris berasal dari
infundibulum, selanjutnya enuju meatus medius dan kemudian ke dalam hidung.
2. Sinus maksila
Sinus maksilaris merupakan rongga (sinus) yang paling besar dengan bentuk seperti
piramid terbalik, volume pada dewasa antara 15-30 ml. Kadang rongga sinus ini
terbagi dalam beberapa ruang oleh sekat tulang tipistak beraturan. Ostium alami dari
sinus maksilaris irdiameter 1-3 mm (rerata 2,5 mm), terletak tinggi diatas rongga
sinus yaitu di dinding peromedial. Lokasi ostium di meatus medius, letaknya paling
rendah dibandingkan ostiumius paranasal lainnya. Mukus atau sekret yang keluar dari
ostium sinus maksila akan sngalir ke bagian inferior infundibulum, kemudian keluar
melalui hiatus semilunaris menuju meatus medius.
3. Sinus frontal
Sinus frontal mempunyai variabilitas tinggi dalam perkembangan, jumlah dan ukuran.
bagian dari sinus ini yang meluas ke meatus medius membentuk penonjolan, disebut
resesus mtalis. Sinus frontal terbagi oleh septa tak beraturan dan memiliki batas
tulang yang juga tak beraturan. Pada dinding posterior dan inferior sinus ini
berbatasan dengan anyaman mbuluh vena besar yang menuju otak dan orbita. Sekret
yang berasal dari sinus frontalis mengalir ke dalam resesus frontalis melalui ostium
nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret langsung menuju meatus medius, atau
tidak langsung melalui aspek superior infundibulum dan hiatus semilunaris.
4. Sinus sphenoid
Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya. Pada dinding lateral
sinus berbatasan dengan beberapa struktur penting seperti sinus / vena kavernosus,
arteri karotis, dan syaraf kranial I, III, IV, V dan VI. Sekret yang berasal dari sinus
7

sfenoid mengalir melalui ostium tunggal ke dalam resesus sfenoid etmoidalis,


disamping menuju bagian posterior selule noidalis.
E. KLASIFIKASI
Sinusitis dapat dibagi menjadi empat kelompok menurut lamanya berlangsung, yaitu:
1. Sinusitis Akut
Gejala yang timbul mendadak dan bertahan hingga 14 hari, bahkan sebulan. Beberapa
gejalanya adalah munculnya mukus atau lendir berwarna kuning atau hijau dari hidung,
sakit kepala, nyeri pada wajah terutama sekitar mata, pipi, hidung, dan dahi yang terasa
lebih hebat bila membungkuk, terganggunya indera penciuman, batuk, hidung beringus,
demam, nafas berbau, kelelahan, dan sakit gigi. Sinusitis biasanya muncul
setelah infeksi saluran pernapasan atas, misalnya karena pilek dan flu.
2. Sinusitis Subakut
Gejala peradangan sinus yang muncul bertahan selama 1 sampai 3 bulan.
3. Sinusitis Kronis
Gejalanya adalah hidung ber-mukus atau justru terasa tersumbat, nanah di rongga
hidung dan cairan hidung berubah warna, demam, wajah terasa penuh, dan demam.
Kondisi sinusitis dikatakan buruk bila nyeri, kemerahan, dan bengkak di sekitar mata
dan dahi, sakit kepala hebat, demam tinggi, penglihatan ganda, leher kaku, dan
kebingungan. Gejala peradangan sinus yang muncul bertahan hingga 3 bulan atau lebih.
4. Sinusitis Kambuhan.
Gejala peradangan sinus yang biasanya akan kambuh beberapa kali dalam satu tahun.

F. ETIOLOGI
Penyebab sinusitis  yang paling umum pada orang dewasa adalah karena pembengkakan
dinding dalam hidung. Kondisi ini sering kali disebabkan oleh virus flu atau pilek yang
disebarkan sinus dari saluran pernapasan atas. Faktor pemicu sinusitis pada orang dewasa
selain infeksi virus adalah infeksi jamur, infeksi gigi, serta kebiasaan merokok. Biasanya
setelah terjadi pilek atau flu, infeksi bakteri sekunder bisa terjadi. Ini akan menyebabkan
dinding dari sinus mengalami peradangan atau inflamasi.
Sinusitis viral dibedakan dari sinusitis bakteri bila gejala menetap lebih dari 10 hari
atau gejala memburuk setelah 5-7 hari. Selain itu, sinusitis virus menghasilkan demam
menyerupai sinusitis bakteri namun kualitas dan warna sekret hidung jernih dan cair.
Sinusitis bakteri akut umumnya berkembang sebagai komplikasi dari infeksi virus saluran
napas atas. Bakteri yang paling umum menjadi penyebab sinusitis akut adalah
8

Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen


yang menginfeksi pada sinusitis kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan ditambah
adanya keterlibatan bakteri anaerob dan S. aureus.
Penyebab sinusitis kronis tidak diketahui dengan jelas, tapi ada beberapa hal yang
diduga terkait sebagai pemicu sinusitis kronis, yaitu:
1. Polip hidung. Jaringan tumbuh ini bisa menghalangi saluran hidung.
2. Tetap merokok.
3. Kondisi medis lainnya. Komplikasi dari kondisi medis yang membuat kekebalan tubuh
menurun, contoh HIV/AIDS.
4. Alergi seperti hay fever, asma, dan rinitis alergi, dapat menyebabkan terhalangnya
saluran sinus.
5. Deviasi septum hidung. Septum hidung adalah dinding antara lubang hidung. Septum
bisa menghalangi saluran sinus.

G. MANIFESTASI KLINIK
Tanda lokal sinusitis adalah hidung tersumbat, sekret hidung yang kental berwarna hijau
kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri pada wajah di area pipi, di antara
kedua mata dan dahi. Gejala klinis RS pada dewasa dapat digolongkan menjadi :
1. Gejala mayor
Yaitu gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi yang tinggi.
Termasuk dalam gejala mayor adalah :
a. Sakit/nyeri pada daerah wajah (pipi,dahi ,hidung)
b. Buntu hidung
c. Ingus purulens/pos-nasal/berwarna
d. Gangguan penciuman
e. Sekret purulen di rongga hidung
f. Demam (untuk RS akut saja)
2. Gejala minor
a. Batuk
b. Demam (untuk RS non akut)
c. Tenggorok berlendir
d. Nyeri kepala
e. Nyeri gigi/geraham
f. Halitosis (nafas berbau)
9

Kriteria Konvensional untuk Diagnosis Sinusitis didasarkan atas adanya 2 gejala


mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor.

H. PENULARAN DAN FAKTOR RESIKO


Penularan sinusitis adalah adanya kontak langsung dengan penderita melaui udara. Oleh
karena itu, untuk mencegah penyebaran sinusitis, dianjurkan untuk memakai masker
(penutup hidung), cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita. Faktor
predisposisi sinusitis adalah sebagai berikut:
1. ISPA yang disebabkan oleh virus
2. Asma bronkial
3. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas akut yang sering berulang
4. Pajanan polutan dari lingkungan sehari-hari
5. Melemahnya sistem kekebalan tubuh.
6. Penyempitan saluran hidung: ini bisa disebabkan karena kelainan struktur tulang
hidung sejak lahir seperti deviasi septum hidung atau karena trauma luar yang
mengakibatkan luka di wajah. Adanya tumor ataupun polip, yaitu jaringan yang
tumbuh membentuk massa di dalam hidung juga akan menyebabkan penyempitan
saluran hidung. Jika mukus atau ingus mengumpul di daerah yang menyempit, ini
bisa menyebabkan infeksi sinus.
7. Kebiasaan merokok.
8. Cystic fibrosis atau fibrosis kistik: kelainan genetik di mana lendir yang kental dan
lengket tertumpuk dan menyumbat saluran di dalam tubuh, meningkatkan risiko
infeksi.
9. Pemakaian “Nasogastric Tube”

I. KOMPLIKASI
Penderita sinusis akut yang tidak diobati dengan benar akan mengalami komplikasi, yaitu
sinusitis kronis. Bila sinusitis kronis tidak juga ditangani dengan baik, maka juga akan
terjadi komplikasi antara lain:
1. Jika infeksi menyebar ke dinding otak, bisa menyebabkan meningitis.
2. Kerusakan indera penciuman sebagian atau seluruhnya.
3. Masalah dalam penglihatan. Pengelihatan berkurang atau bahkan buta.
4. Memicu munculnya infeksi kulit atau tulang.
10

J. PEMERIKSAAN KLINIS
Untuk penegakan diagnosis sinusitis didasari oleh anamnesa dan adanya keluhan dan
tanda klinis dari pasien dan juga didasari atas pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang tambahan seperti transluminasi sinus, pemeriksaan radiologik, nasal
endoskopi, CT scan, biakan kuman, dan tes alergi.
1. Anamnesis
Pada anamnesis biasanya pasien dengan sinusitis akut datang dengan keluhan hidung
tersumbat disertai nyeri atau rasa tekanan pada muka dan inggus yang purulen yang
sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip). Perlu ditanyakan pula gejala-gejala
lainnya seperti demam, lesu, nyeri kepala, hiposmia/.anosmia, dan halitosis.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri
khas dari sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred
pain). Nyeri pipi menadakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua
mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan
sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipitalm
belakang bola mata, dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada
nyeri laih ke gigi dan telinga.
Pada sinusitis kronik, keluhan tidak khas, sehingga sulit didiagnosis. Kadang-
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post
nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan
kronik muara tuba eusthacius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis),
bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit
diobati. Pada anak mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sinusitis didapati adanya pembengkakan di pipi sampai
kelopak mata bawah, biasanya pada sinusitis maxilaris. Pembengkakkan di kelopak
mata atas mungkin terjadi pada sinusitis frontalis. Pada palpasi dan perkusi, nyeri
tekan dan nyeri ketuk dirasakan pada pipi dan gigi menunjukkan adanya sinusitis
maxilaris, nyeri tekan pada atap orbita menunjukkan adanya sinusitis frontalis. Dan
nyeri tekan di daerah kantus medius menunjukkan adanya sinusitis ethmioidalis.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Transluminasi
Pada pemeriksan transluminasi sinus dilakukan di kamar gelap, dan sumber
cahaya diletakkan di mulut pasien pada salah satu sisi palatum durum, maka
11

cahaya tersebut akan dihantarkan melalui rongga sinus dan akan memberikan
gambaran sinar yang samar-samar dan berbentuk bulan sabit di bawah mata.
Akan tetapi pemeriksaan ini hanya terbatas pada sinus maksila dan sinus frontalis
saja. Pemeriksaan ini bermakna bila hanya satu sisi sinus yang terkena, maka
akan tampak lebih suram dibandingkan dengan yang normal.
b. Rinoskopi Anterior
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan udem, pada
sinusitis maksilaris, ethmoidalis anterior dan frontalis tampak mukopus keluar
dari meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sinusitis
sphenoid keluar mukopus dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak
post nasal drip. Pada sinusitis kronik tampak nanah pada meatus medius atau
meatus superior pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan pada rinoskopi
posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
c. Sinoskopi
Sinoskopi merupakan pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan
endoskop. Endoskop dimasukan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior
atau di fossa koana. Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus,
apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana
keadaan mukosa, apakah ostiumnya terbuka.
d. Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologik pada sinusitis akut mula-mula berupa penebalan
mukosa selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang
membengkak hebat atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya
tebentuk gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang terlihat
pada foto tegak sinus maksilaris. Foto rontgen sinus paranasal dan pemeriksaan
radiologik yang dapat dibuat antara lain:
1) Waters

Gambar 2. Foto kepala posisi waters


12

Posisi Water’s adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya


terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala
pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi
ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan
etmoid.
2) PA
Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal
3) Lateral
Posisi Lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
e. Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan menggunakan CT Scan dan MRI juga dilakukan untuk menegakkan
diagnosis dari sinusitis. Cara ini mampu menggambarkan secara detail area dari
sinus dan area nasal, biasanya digunakan untuk kasus yang kronis dan sinusitis
akut yang rekuren serta pada kasus-kasus sulit. CT Scan disarankan hanya untuk
pemeriksaan sinusitis akut jika terdapat komplikasi atau beresiko tinggi terhadap
terjadinya komplikasi. MRI tidak seefektif CT Scan dalam penggambaran
anatomi dari sinus paranasal. Disamping harganya yang lebih mahal, biasanya
MRI tidak dipakai kecuali pemeriksa menitikberatkan pada tumor, infeksi jamur,
atau komplikasi yang mengenai tulang tengkorak.
CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level,
perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal,
penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik). Hal-hal
yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan:
1) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada
pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar
membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama
makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
2) Polip yang mengisi ruang sinus
3) Polip antrokoanal
4) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
5) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh
massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan
sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran
perifer.
13

f. Pemeriksaan Mikrobiologis
Gold Standart untuk mendiagnosa sinusitis yang disebabkan oleh bakteri adalah
pemeriksaan mikrobiologis ( pungsi sinus dan kultur bakteri). Biakan bakteri
yang berasal dari hidung bagian depan hanya sedikit bernilai dalam interpretasi
bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan dapat memberikan informasi yang salah
karena biakan dari hidung depan akan mengungkapkan organisme dalam
vestibulum nasi termasuk flora normal seperti stafilokok dan beberapa kokus
gram positif lainnya yang tidak ada kaitannya dengan bakteri yang dapat
menimbulkan sinusitis. Suatu biakan dari posterior hidung atau nasofaring justru
lebih memberikan banyak manfaat dan jauh lebih akurat namun sangat sulit
dalam pengerjaannya. Biakan bakteri pada sinusitis kronik dapat ditemukan
infeksi campuran dari berbagai macam mikroba.

K. TUJUAN TERAPI
Tujuan terapi sinusitis antara lain:
1. Membebaskan obstruksi
2. Mengurangi viskositas secret
3. Mengeradikasi kuman.

L. FARMAKOTERAPI SINUSITIS
Sinusitis akut biasanya disebabkan oleh sejumlah pathogen bakteri yang menyebabkan
otitis media akut (Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan Moraxella
catarrhalis). Menurut sejumlah penelitian yang mengidentifikasi agen-agen mikrobiologi
dengan biakan cairan yang diaspirasi dari sinusitis maksilla anak-anak dan orang dewasa,
jumlah isolate dari S Pneumoniae berkisar antara 30% hingga 60% , H. influenza dan M.
catarrhalis masing-masing 20 %, dan patogen virus saja berjumlah 10% dari sejumlah
episode. Sebuah penelitian terhadap 30 orang anak yang menunjukkan temuan sinusitis
maksila secara klinis maupun melalui radiografi dan menjalani aspirasi sinus maksila
menunjukkan pemulihan agen bakteri pada 77% anak dan virus pada 70% anak.
Meskipun bakteri yang diisolasi dari sinus biasanya ditemukan di dalam biakan
nasofaring, bakteri bukanlah spesies yang dominan; artinya, biakan nasofaring tidak
berguna untuk memprediksi pathogen sinus.
14

Sama halnya dengan otitis media akut, sinusitis akut biasanya sembuh meski tanpa
terapi antibiotik. Sebuah percobaan double-blind, dan terkontrol placebo untuk
penggunaan antibiotik bagi anak-anak penderita sinusitis akut (didiagnosis dengan gejala
selama 10 hingga 30 hari dan kelainan radiografi) menunjukkan bahwa pada 50% anak
dikelompok plasebo, gejala membaik sejak hari ke-3 pengobatan dan untuk 60% anak,
gejala membaik pada hari ke-10 pengobatan; dibandingkan angka 85% dan 77% secara
berurutan untuk anak-anak yang mendapatkan amoksisilin atau amoksilin-asam
klavulanat.

Algoritma penggunaan antibiotik untuk bakteri rhinosinusitus akut.

1. Terapi pokok
15

Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari, kecuali
bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotika yang dapat dipilih tertera pada
tabel 2. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotika dapat
diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang kompleks diperlukan tindakan
operasi.
2. Terapi Pendukung
Terapi pendukung terdiri dari pemberian analgesik dan dekongestan. Penggunaan
antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh alergi, namun perlu
diwaspadai bahwa antihistamin akan mengentalkan sekret. Pemakaian dekongestan
topikal dapat mempermudah pengeluaran sekret, namun perlu diwaspadai bahwa
pemakaian lebih dari lima hari dapat menyebabkan penyumbatan berulang.

M. RESISTENSI
Resistensi yang terjadi pada sinusitis umumnya disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae yang menghasilkan enzim beta-laktamase, sehingga resisten terhadap
penicillin, amoksisilin, maupun kotrimoksazol. Hal ini diatasi dengan memilih preparat
amoksisilin-klavulanat atau fluoroquinolon.

N. PENATALAKSANAAN
1. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Modifikasi Gaya Hidup
a. Beristirahat dapat membantu tubuh melawan peradangan dan mempercepat
pemulihan.
b. Mengkonsumsi air atau jus dapat membantu mengencerkan sekresi lendir dan
meningkatkan drainase. Hindari minuman yang mengandung kafein atau
alkohol, yang bisa membuat dehidrasi. Mengkonsumsi alkohol juga bisa
memperburuk pembengkakan pada lapisan sinus dan hidung.
c. Melembabkan rongga sinus. Gosokkan handuk di atas kepala saat menghirup
uap dari semangkuk air panas sedang, jauhkan uap yang diarahkan ke wajah,
atau mandi air panas, hirup udara yang hangat dan lembab untuk membantu
mengurangi rasa sakit dan membantu mengalirkan lendir.
d. mengoleskan kompres hangat ke wajah. Tempatkan handuk hangat dan
lembab di sekitar hidung, pipi, dan mata untuk meredakan nyeri wajah.
16

e. Membilas saluran hidung. Gunakan botol pemeras yang dirancang khusus


(Sinus Bilas, yang lain), tabung garam atau neti pot untuk membilas saluran
hidung Anda. Obat rumahan ini, yang disebut nasal lavage, dapat membantu
membersihkan sinus Anda.
f. Tidur dengan posisi kepala lebih tinggi/terangkat akan membantu menguras
sinus , mengurangi kongesti/mampat.
2. TERAPI FARMAKOLOGI
Pada rhinosinusitis akut (RSA) terapi medikamentosa merupakan terapi utama,sedang
pada rhinosinusitis kronis (RSK) terapi bedah mungkin menjadi pilihan yang lebih
baik dari pada medikamentosa. Terapi medikamentosa merupakan terapi yang penting
karena lebih sederhana,mudah dilaksanakan serta relatif lebih murah dari terapi
pembedahan.
a. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan penting dalam penanganan
rhinosinusitis. Tujuan terapi medikamentosa yang utama adalah untuk
mengembalikan fungsi drainase sinus. Pada dasarnya yang ingin dicapai oleh
terapi medikamentosa adalah kembalinya kondisi normal di dalam rongga
hidung. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pelembaban
(moisturizing,humidification) untuk mengurangi/menghilangkan udem mukosa
serta mengembalikan fungsi transpor mukosiliar. Beberapa upaya diantaranya
adalah : saline nasal spray ,humidification dan pemberian mukolitik. Irigasi
dengan larutan garam faal dapat membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret yang kental, sedangkan humidification dapat mencegah kekeringan dan
pembentukan krusta.
b. Dekongestan
Obat dekongestan yang digunakan dalam pengobatan rhinosinusitis pada
umumnya adalah perangsang reseptor α-adrenergik, yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh kapiler mukosa rongga hidung sehingga mengurangi
udem dan menghilangkan sumbatan hidung serta mengembalikan patensi ostia
sinus. Dekongestan dapat diberikan dalam bentuk topikal maupun sistemik
(oral). Dekongestan topikal dapat diberikan dalam bentuk tetes maupun semprot
hidung. Penggunaan dibatasi tidak lebih dari 5 hari karena pemakaian jangka
panjang dapat menyebabkan timbulnya rinitis medikamentosa. Pemberian
17

dekongestan sistemik harus hati-hati dan sebaiknya tidak digunakan pada


Penderita dengan kelainan kardiovaskular, hipertiroid atau hipertropi prostat.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada pengobatan
RSA maupun RSK baik dengan atau tanpa latar belakang alergi. Kortikosteroid
topikal dapat mengurangi inflamasi dan mengurangi sensitifitas reseptor
kolinergik mukosa rongga hidung sehingga mengurangi sekresi. Beberapa
kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot hidung diantaranya adalah :
beklometason, flutikason, mometason. Kortikosteroid sistemik banyak
bermanfaat pada RSK dengan pembentukan polip atau pada allergic fungal
rhinosinusitis.
Pada RSA mungkin bermanfaat untuk menghilangkan udem dan
mencegah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus. Pengobatan jangka pendek
cukup efektif dan aman, namun untuk jangka panjang penghentian pengobatan
harus dilakukan secara bertahap (tappering off).
d. Antihistamin
Pemberian antihistamin pada rinosinusitis akut masih kontroversial.
Antihistamin memang merupakan obat yang sangat efektif untuk mencegah
serangan alergi sehingga penggunaannya pada rhinosinusitis hanya bermanfaat
pada RSK dengan latar belakang alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek
anti kolinergik yang mengurangi sekresi kelenjar. Dampak efek ini
menyebabkan mengentalnya mukus sehingga mengganggu drainase. Untuk
menghindari efek kolinergik dapat digunakan antihistamin generasi II (loratadin,
setirizin, terfenadin) atau turunannya seperti desloratadin,levosetirizin maupun
feksofenadin.
e. Antibiotik
Antibiotik merupakan terapi penting pada rhinosinusitis akut bakterial (RSAB)
disamping terapi medikamentosa lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat
perlu pengetahuan tentang kuman penyebab serta kepekaannya terhadap
antibiotik yang tersedia. Berdasarkan kuman penyebab maka pilihan pertama
antibiotik pada RSA adalah amoksisilin (first line drugs),karena obat ini efektif
terhadap Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza yang merupakan
dua kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB. Di Amerika kuman
gram negatif penghasil enzim beta-laktamase sudah banyak ditemukan sehingga
18

antibiotik pilihan beralih pada kombinasi amoksisilin dan klavulanat. Antibiotik


harus diberikan 10-14 hari agar dapat dicapai hasil pengobatan yang maksimal.
Meningkatnya kuman yang resisten terhadap berbagai antibiotik
menjadi perhatian serius para ahli sehingga berbagai uji coba antibiotik baru
dilakukan untuk mencari alternatif pilihan antibiotik. Pilihan antibiotik lainnya
bisa digunakan seperti golongan kuinolon,sefiksim,sefdinir,sefprozil dan
sefuroksim dengan efektifitas klinik yang tidak jauh berbeda satu dengan yang
lainnya. Pilihan lain adalah golongan makrolid baru yang mempunyai potensi
antibakterial yang tinggi seperti klaritromisin, roksitromisin serta azitromisin
terutama untuk penderita yang sensitif terhadap golongan betalaktam.
Pilihan antibiotik lini pertama ditentukan bila RSA baru pertama kali
diderita dan tidak ada riwayat pemberian antibiotik sebelumnya. Apabila
penderita mengalami RSA berulang atau ada riwayat pemberian antibiotik
sebelumnya maka pilihan lini kedua perlu dipertimbangkan. Terapi
medikamentosa bukanlah terapi utama pada RSK. Eliminasi penyebab RSK
seperti kelainan pada daerah KOM harus diupayakan agar tercapai hasil terapi
yang memuaskan. Antibiotik bila digunakan harus diberikan dalam jangka
lebih lama yaitu 4-6 minggu, dan sebaiknya dilakukan tes kepekaan kuman
terlebih dahulu. Disamping itu perlu evaluasi terhadap faktor penyebab
lainnya seperti alergi dan penyakit sistemik lainnya.

Tabel 1 Antibiotik pilihan untuk terapi sinusitis


Obat Dosis Dewasa Dosis Anak-anak
Amoksisilin 500 mg 3x sehari Dosis minimum 40 – 50
Dosis maksimal 1 gram 3x mg/kg/hari terbagi dalam
sehari 3x sehari. Dosis maksimum
80 – 100 mg/kg/hari 3x
sehari.
Amoksisilin – clavulanat 500/125 mg 3x sehari 40 – 50 mg/kg/hari terbagi
Dosis maksimal 2 dalam 3x sehari.
gram/125 mg 2x sehari Dosis maksimal dapat
ditambahkan amoksisilin
40 -50 mg/kg/hari
19

Cefuroxime 250 – 500 mg 2x sehari. 15 mg/kg/hari terbagi


dalam 2 dosis terbagi
Cefaclor 250 – 500 mg 3x sehari 20 mg/kg/hari terbagi
dalam 2 dosis terbagi
Cefixime 200 – 400 mg 2x sehari 8 mg/kg/hari dalam satu
atau dua dosis terbagi
Cefdinir 600 mg per hari atau dua 14 mg/kg/hari dalam satu
dosis terbagi atau dua dosis terbagi
Cefpodoxime 200 mg 2x sehari 10 mg/kg/hari dalam dua
dosis terbagi (maksimum
400 mg/hari)
Cefprozil 250 – 500 mg 2x sehari 15-30 mg/kg/hari dalam
dua dosis terbagi
Doxycycline 100 mg seitap 12 jam Tidak tersedia
Thrimethoprim-sulfa- 160/800 mg setiap 12 jam 6 – 8 mg/kg/hari
methoxazol Thrimethropim, 30 – 40
mg/kg/hari
sulfamethoksazol dalam
dua dosis terbagi
Clindamycin 150/140 mg tiap 6 jam 30 – 40 mg/kg/hari dalam
tiga dosis terbagi
Clarithromycin 250-500 mg 2x sehari 15 mg/kg/hari terbagi
dalam dua dosis terbagi.
Azithromycin 500 mg hari pertama, 10 mg/kg hari pertama,
kemudian 250 mg untuk kemudian 5mg/kg untuk
hari ke 2 – 5 hari hari ke 2 - 5
Levofloxacin 500 mg per hari Tidak tersedia
Telithromycin 800 mg per hari untuk 5 Tidak tersedia
hari
Ceftriaxon 1 gram sehari 50 – 75 mg/kg/hari setiap
12-24 jam terbagi

Tabel 2. Antibiotika pilihan berdasarkan jenis sinusitis


20

Agen Antibiotika Dosis


SINUSITIS AKUT
Lini pertama
Amoksisilin/Amoksisilin- Anak= 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis atau
clavulanat 25-45mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
Dewasa= 3 x 500mg atau 2 x 875 mg
Kotrimoxazol Anak= 6-12mg TMP/30-60mg
SMX/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa= 2 x 2tab dewasa
Eritromisin Anak= 30-50mg/kg/hari setiap 6 jam
Dewasa= 4 x 250-500mg
Doksisiklin Dewasa= 2 x 100mg
Lini kedua
Amoksisilin-clavulanat Anak= 25-45mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
Dewasa= 2 x 875mg
Cefuroksim 2 x 500mg
Klaritromisin Anak= 15mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa= 2 x 250mg
Azitromisin 1 x 500mg, kemudian 1x250mg selama 4 hari
berikutnya
Levofloxacin Dewasa= 1 x 250-500mg
SINUSITIS KRONIK
Amoksisilin-clavulanat Anak= 25-45mg/kg/hari terbagi dalam 2dosis
Dewasa= 2 x 875mg
Azitromisin Anak= 10mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4
hari berikutnya
Dewasa= 1x500mg, kemudian 1x250mg selama 4
hari berikutnya
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg
21

BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

A. KASUS
Ny. Sovia berusia 26 tahun (BB 55 kg, TB 156 cm) datang dengan keluhan di daerah
kedua bola mata sejak 2 minggu terakhir. Pasien mengeluh hidung tersumbat disertai
nyeri saat ditekan. Sekret kental dan kadan berbau, berwarna kehijauan yang keluar dari
hidung. Pasien mengaku sering bersin-bersin dengan ingus encer apabila terpapar debu.
Adanya sekret yang mengalir dari hidung ke tenggorokan. Dari hasil pemeriksaan fisik
tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 85 denyut/menit, pernapasan 18 x/menit, suhu
badan 36,70 C. Setelah pemeriksaan dan foto SPN (Sinus Para Nasal) pasien didiagnosa
sinusitis etmoidalis. Dokter meresepkan obat untuk pasien yakni:
22

R/ Bicrolid 500 mg No. V


B. PEMBAHASAN KASUS
S 1dd1
1. DATA
R/ SECARA
Sanexon SUBJEKTIF
4 mg No. X
Gejala pasien:
S 3dd1
Hidung
R/ tersumbat disertai
Mefinal 500 mg nyeri No.
saat X
ditekan.S 3dd1 (bila nyeri)
Sekret
R/ kental SRdan berbau, berwarna
Aldisa No. X
kehijauan.
S 2dd1
Bersin-bersin
R/ Nasonex No. I
sekret S
yang
2 dd mengalir dari hidung ke
II (kanan,kiri)
tenggorokan (post nasal drip)

Riwayat Pengobatan:
Pada 6 bulan terakhir pasien sudah 4 kali mengeluh demam, bersin, hidung
tersumbat dan diberikan amoksisilin dan flutamol oleh dokter umum, namun tidak
ada perbaikan.

2. DATA SECARA OBJEKTIF


a. Hasil Pemeriksaan Fisik
Parameter Uji Data Pasien Nilai Normal Ket.
Suhu 36,7oC 37,0 ± 0,5oC Normal
Nadi 85 x / menit 60-100 x / menit Normal
Tekanan Darah 120/70 mmHg 120/80 mmHg Normal
Laju Pernafasan 18 x / menit 16-20 kali/menit Normal
Berat Badan 55 kg Sesuai BMI Normal
Tinggi Badan 156 cm Sesuai BMI Normal

b. Hasil Pemeriksaan Sinus Para Nasal (SPN)


 Hidung : Nyeri tekan sinus etmoidalis kanan&kiri (+)
Mukosa konka hiperemis dan udem
 Gigi : Karies (-)
23

 Telinga : Bentuk Normotia, Daun telinga normal, nyeri tekan (-),


pendengaran normal
Diagnosa sinusitis etmoidalis

3. ASSESMENT
a. Bicrolid
Komposisi : Clarithromycin 500 mg
Indikasi: 
infeksi saluran napas bagian atas (seperti: faringitis/tonsillitis yang disebabkan
Staphylococcus pyogenes dan sinusitis maxillary akut yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae), infeksi ringan dan sedang pada kulit dan jaringan
lunak, otitis media; terapi tambahan untuk eradikasi Helicobacter pylori pada
tukak duodenum.
Peringatan: 
Gangguan fungsi ginjal; kehamilan; wanita menyusui.
Interaksi: 
Theophyllin, carbamazepine, digoxin, triazolam, antikoagulan.
Efek Samping: 
lihat juga eritromisin; dispepsia, sakit kepala, gangguan indra perasa dan
penciuman, hilangnya warna gigi dan lidah, stomatitis, glossitis, dan sakit
kepala; lebih jarang: hepatitis, arthralgia, dan myalgia; jarang: tinnitus; sangat
jarang: pankreatitis, pusing, insomnia, mimpi buruk, ansietas, bingung, psikosis,
paraesthesia, konvulsi, hipoglikemia, gagal ginjal, leucopenia, dan
trombositopenia; pada pemberian infus intravena: kelunakan local, flebitis.
Dosis:
oral: 250 mg tiap 12 jam selama 7 hari, pada infeksi berat dapat ditingkatkan
sampai 500 mg tiap 12 jam selama 14 hari. ANAK dengan berat badan kurang
dari 8 kg, 7,5 mg/kg bb dua kali sehari; 8-11 kg (1-2 tahun), 62,5 mg dua kali
sehari; 12-19 kg (3-6 tahun), 125 mg dua kali sehari; 20-29 kg (7-9 tahun),
187,5 mg dua kali sehari; 30-40 kg (10-12 tahun), 250 mg dua kali sehari.Infus
intravena: 500 mg dua kali sehari pada vena besar; tidak dianjurkan untuk anak-
anak.
2. Sanexon 4 mg
Komposisi : methyl prednisolone 4 mg
24

Indikasi: 
supresi inflamasi dan gangguan alergi; udema serebral dihubungkan dengan
keganasan; penyakit rematik, kulit.
Peringatan: 
Diabetes; hipotiroid atau sirosis hati; pemberian dosis besar secara intravena
cepat dihubungkan dengan kolaps jantung.
Kontraindikasi: 
Hipersensitivitas; osteoporosis; ulkus lambung
Efek Samping: 
Amenorrhoe; ulkus peptik; iritasi perineal dapat diikuti dengan pemberian
injeksi intravena ester fosfat.
Dosis: 
Oral, 4-8 mg sehari. Pemeliharaan: 4-8 mg sehari, maksimal 16 mg bila perlu.
Injeksi intramuskular atau injeksi intravena lambat atau infus, awal 10-500 mg;
reaksi penolakan pencangkokan sampai 1 g/hari melalui infus intravena selama
3 hari.
3. Mefinal
Komposisi : Asam mefenamat 500 mg
Indikasi: 
nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, sakit gigi, dismenore primer,
termasuk nyeri karena trauma, nyeri otot, dan nyeri pasca operasi.
Peringatan: 
Risiko kardiovaskular; AINS dapat meningkatkan risiko kejadian trombotik
kardiovaskuler serius, infark miokard, dan stroke, yang dapat fatal. Risiko ini
bertambah dengan lamanya penggunaan. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler
atau faktor risiko untuk penyakit kardiovaskuler berada dalam risiko yang lebih
tinggi. Gunakan dengan hati-hati pada pasien lansia, pengobatan jangka lama
lakukan tes darah, ibu hamil dan menyusui.
Interaksi: 
Antikoagulan oral
Kontraindikasi: 
Peradangan usus besar.
Efek Samping: 
25

gangguan sistem darah dan limpatik berupa agranulositosis, anemia aplastika,


anemia hemolitika autoimun, hipoplasia sumsum tulang, penurunan hematokrit,
eosinofilia, leukopenia, pansitopenia, dan purpura trombositopenia.
Dapat terjadi reaksi anafilaksis. Pada sistem syaraf dapat mengakibatkan
meningitis aseptik, pandangan kabur; konvulsi, mengantuk. Diare, ruam kulit
(hentikan pengobatan), kejang pada overdosis.
Dosis: 
500 mg 3 kali sehari sebaiknya setelah makan; selama tidak lebih dari 7 hari.
4. Aldisa SR
Komposisi : Loraatadin 5 mg pseudoefedrin sulfat 120 mg
Indikasi: 
Gejala pada alergi rhinitis dan flu pada nasal kongesti
Peringatan: 
Glukoma, tukak peptic, stenosis, obstruksi pyloro duodenal
Kontraindikasi: 
Penyakit arteri koronari; bayi prematur dan bayi baru lahir; asma akut;
kehamilan dan menyusui.
Efek Samping: 
Insomnia, mulut kering
Dosis: 
2 kali sehari 1 kapsul
Interaksi:
Metildopa, beta bloker, mecamylamine reserpine, alkadoid, digitalis,
ketokonazol, eritromisin, simetidin.
5. Nasonex nasal spray
Komposisi : Mometasone furoate
Indikasi :
Pengobatan gejala rhinitis perennial musiman, khususnya pada beberapa alergi
persisten pada orang dewasa dan anak-anak antara 2-11 tahun. Pengobatan polip
hidung dewasa >18 tahun. Pengobatan rhinosinusitis akut pada orang dewasa
dan anak-anak > 12 tahun, dimana terjadi tanda atau gejala dari infeksi bakteri.
Dosis:
Rhinitis parenial dan alergi : Dewasa dan anak-anak > 12 tahun : 2 x semprot
(50mcg/semprot) dalam 1 x sehari (jumlah dosis 200 mcg),
26

Anak umur 2-11 tahun: (50 mcg/semprot) dalam 1x sehari (jumlah dosis 100
mcg)
Polip hidung : Dewasa > 18 tahun : 2 x semprot (50 mcg/semprot) dalam 2 x
sehari (Jumlah dosis perhari 400 mcg)
Kontra Indikasi:
infeksi lokal yang tidak diobati dan melibatkan mukosa hidung, Pasien yang
pernah mengalami operasi pada nasal. Lokasi infeksi dari hidung atau faring
Peringatan:
Pasien dengan infeksi tuberculosis, jamur yang tidak terobati, bakteri, infeksi
virus sistemik atau ocular herpes simplex, imunosuppresan, ibu hamil, ibu
menyusui, ibu dengan usia subur.
Efek Samping :
Iritasi nasal
4. PLANNING
Tujuan terapi rinosinusitis kronis (RSK) yaitu untuk mengurangi tingkat beratnya
gejala penyakit, mencegah perburukan atau rekurensi penyakit, dan meningkatkan
kualitas hidup.
a. Terapi pokok
Antibiotik merupakan terapi utama pada kasus sinusitis yang disebabkan oleh
bakteri atau infeksi sekunder bakteri. Sekret kental berbau, berwarna kehijauan
dari hidung merupakan sekret yang berasal dari ruang sinus etmoidalis, yang
sudah terakumulasi sehingga menjadi media yang baik untuk berkembangnya
bakteri, sehingga diperlukan terapi antibiotika yang tepat. Pada kasus
rinosinusitis kronik, pemberian antibiotik golongan makrolida seperti
clarithromycin lebih baik bila dibandingkan dengan amoksisilin-klavulanat
dalam hal menurunkan produksi sekret purulen nasal. clarithromycin memiliki
daya eradikasi yang baik terhadap bakteri patogen sinus dan membuktikan
bahwa bakteri patogen masih sensitif terhadap jenis antibiotik tersebut.
b. Terapi Pendukung
1) Analgetik
Kasus sinusitis hampir selalu terjadi rasa nyeri, maka pemberian analgetik
atau peredam nyeri menjadi sangat penting. Analgetik yang sering diberikan
kepada pasien adalah paracetamol. Namun paracetamol memiliki efek
antipiretik lebih kuat dibandingkan efek analgetiknya, sehingga pada
27

pengobatan tersebut dokter memberikan analgetik lain seperti golongan


NSAID yaitu mefinal (komposisi : asam mefenamat 500 mg). Mefinal
diindikasikan untuk nyeri ringan hingga nyeri sedang. Pada kasus ini, pasien
tidak memiliki riwayat tukak peptik atau penyakit lambung, sehingga
pilihan terapi mefinal cocok untuk pasien tersebut.
2) Antiinflamasi
Rasa nyeri pada kasus sinusitis terjadi karena adanya proses inflamasi atau
peradangan pada mukosa sinus etmoidalis tersebut. Golongan kortikosteroid
diberikan untuk menghilangkan udem dan mencegah inflamasi pada mukosa
hidung dan sinus. Pilihan terapi : Sanexon 4 mg (methyl prednisolone 4 mg).
3) Antihistamin
Pada kasus ini pasien mengalami bersin-bersin ketika terpapar debu,
sehingga antihistamin dapat diberikan sebagai terapi alerginya, tetapi tidak
diberikan rutin, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret
menjadi lebih kental. Efek antihistamin untuk meringankan penyumbatan
sangat kecil sehingga antihistamin sering dikombinasikan bersama
dekongestan.
Pilihan terapi : Aldisa SR (kombinasi loratadin + pseudoefedrin).
4) Kortikosteroid topikal
Nasonex nasal spray mengandung mometasone furoate yang merupakan
golongan obat kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi,
menghilangkan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus yang menyumbat drainage mucus, sehingga jika sumbatan ostium
sinus dihilangkan, diharapkan gejala hidung tersumbat dan bengkak dapat
hilang.

Kombinasi klaritromisin dengan kortikosteroid topikal intranasal mampu


memperbaiki fungsi penghidu penderita rinosinusitis kronik, karena kelebihan
klaritromisin antara lain mampu meningkatkan sensitivitas reseptor steroid, sehingga
dapat meningkatkan efek terapi. kombinasi klaritromisin dengan kortikosteroid
topikal intranasal bekerja sinergis terhadap perbaikan klinis bukan hanya pada
perbaikan fungsi penghidu (mengurangi inflamasi dan menghilangkan pembengkakan
mukosa), namun terutama keluhan hidung tersumbat, rinore, dan juga nyeri wajah pun
mengalami perbaikan yang signifikan.
28

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Rinosinusitis (RS) adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan sinus
paranasal. Menurut lamanya berlangsung, Sinusitis dapat dibagi menjadi empat
kelompok yaitu sinusitis akut, subakut, kronis dan kambuhan. Ada empat pasang sinus
paranasal yaitu sinus etmoid, maksila, frontal dan sfenoid.
Berdasarkan anamnesis pasien dan hasil pemeriksaan rinoskopi, ditemukan
mukosa konka hiperemis dan udem, nyeri tekan sinus etmoidalis kanan&kiri, sehingga
pasien didiagnosis mengalami sinusitis kronik.
Berdasarkan penggunaan obat yang diberikan, sasaran terapi sinusitis pada kasus
tersebut yaitu:
a. Mengeradikasi kuman (Bicrolid)
b. Menghilangkan pembengkakan mukosa dan nyeri (Mefinal, Sanexon)
c. Membuka sumbatan ostium sinus yang menyumbat drainase mukus (Aldisa
SR, Nasonex nasal spray)
Berdasarkan evaluasi kerasionalan terapi obat, maka obat-obat yang diberikan dokter
memenuhi kriteria kerasionalan obat sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan terapi.
29

B. SARAN
Sebaiknya pasien beristirahat yang cukup, melaksanakan pola hidup yang sehat dan
menghindari faktor-faktor resiko yang dapat memperburuk kondisi penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Chow, A.W., Michael S. B., Itzhak Brook., et al, 2012, “IDSA Clinical Practice Guidline for
Acute Bacterial Rhinosinusitus in Children and Adults”, IDSA Guidelines. Canada.

Depkes RI. 2006. “Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan”.
Jakarta: BINFAR.

Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., dan Posey, L.M. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. McGraw Hill Professional.

Candra EC, S Iwin, Ratunanda S, Madiadipoera T. 2014. Hubungan Kadar IL-8 Sekret
Mukosa Hidung pada Rinosinusitis Kronik tanpa Polip-Nonalergi dengan Fungsi
Penghidu Setelah Pemberian Antibiotik Makrolid. Bandung : Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,Supplement 20,


2007; www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.

Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktis Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Jakarta : Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
30

Pengurus Pusat PERHATI-KL. 2015.Panduan Praktis Klinis Telinga Hidung Tenggorok


Bedah Kepala Leher Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia

Soetjipto D. 2006. “Fungtional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia”. Diambil dari


http//www.yanmedik-depkes.net.

Syamsudin, Sesilia A.K. 2013. “Buku Ajar Farmakoterapi Gangguan Saluran Pernafasan”.
Jakarta : Salemba Medika.

Teuku Husni T.R. 2011. “Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis”. Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSU Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.

Widodo AK. 2004. “Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi”. Surabaya: Fakultas


Kedokteran
Universitas Airlangga.

http://www.jouefct.com/anatomy-view-of-sinus-anatomy/sinus-anatomy-budget-bucky
painted-and-numbered-working-from-the-ground-upwards-with-your-feet-placed-together/.
Diakses tanggal 25 Maret 2018.

Anda mungkin juga menyukai