Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan saat ini memerlukan referensi-referensi yang relevan
untuk mendukung atau memastikan urgensi masalah yang diangkat. Penelitian
terdahulu digunakan sebagai referensi dan perbandingan bagi penelitian yang akan
dilakukan sekarang. Penelitian mengenai behavior intention pada online shopping
sudah banyak dilakukan. Berikut adalah hasil dari penelitian yang telah dilakukan
oleh para peniliti terdahulu.
Pertama, penelitian Intanti (2017) yang bertujuan untuk mengatahui tingkat
penerimaan konsumen terhadap online grocery shopping di Malang. Penelitian ini
menggunakan pendekatan TAM (Technology Acceptance Model) untuk menjelaskan
tingkat penerimaan konsumen. Penelitian ini juga menambahkan variabel visibilitas,
persepsi risiko, dan pengaruh sosial untuk menjelaskan tingkat penerimaan konsumen
terhadap online grocery shopping. Metode pengumpulan data dilakukan melalui
pembagian kuesioner. Sedangkan metode analisis data yang digunakan yaitu analisis
regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TAM yang terdiri dari
variabel perceived usefulness, perceived ease of use, serta social influence dapat
menjelaskan penerimaan masayarakat terhadap online grocery shopping. Sedangkan,
variabel persepsi risiko dan visibilitas tidak memiliki pengaruh dalam menjelaskan
penerimaan masyarakat untuk menggunakan online grocery shopping.
Penelitian yang dilakukan oleh Kian (2019) mengenai customer purchase
intention pada online grocery shopping di Melaka dengan menggunakan model TAM
(Technology Acceptance Model). Model TAM (Technology Acceptance Model)
digunakan untuk menjelaskan purchase intention seseorang pada online grocery
shopping. Selain itu, juga terdapat tiga variabel lain yaitu visibility, social influence,
dan perceived risk yang dilibatkan dalam penelitian tersebut. Pengumpulan data pada
penelitian tersebut menggunakan instrumen kuesioner. Metode analisis data
penelitian ini menggunakan software SPSS. Hasil penelitian yang didapatkan yaitu
seluruh variabel kecuali perceived ease of use memiliki hubungan yang signifikan
terhadap purchase intention pada online grocery shopping. Variabel social influence
merupakan faktor paling penting dalam memengaruhi purchase intention pada online
grocery shopping.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Arslan dan Turan (2022) mengenai
niat penerimanaan online grocery shopping selama pandemi Covid-19 di Turki.
Penelitian tersebut juga menerapkan TAM (Technologi Acceptance Model) dan
penambahan variabel trust untuk menjelaskan tingkat penerimaan online grocery
shopping. Penelitian tersebut menggunakan variabel moderasi yaitu ketakutan akan
virus Covid-19 yang mampu meningkatkan tingkat penerimaan online grocery
shopping. Metode pengumpulan data pada penelitian ini yaitu wawancara yang
menggunakan instrumen kuesioner online. Teknik analisis data penelitian Arslan dan
Turan menggunakan AMOS-21. Hasil penelitian yang didapatkan yaitu keseluruhan
variabel dalam TAM berpengaruh langsung terhadap niat penerimaan online grocery
shopping. Selain itu, variabel trust berpengaruh positif terhadap sikap perilaku
konsumen yang nantinya secara tidak langsung berpengaruh pula terhadap niat
penerimaan online grocery shopping. Sedangkan untuk variabel moderasi, ketakutan
akan Covid-19 memiliki pengaruh negatif terhadap hubungan seluruh variabel
independen dengan niat penerimaan online grocery shopping. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat Turki cenderung lebih memetingkan faktor
situasional seperti pandemi untuk mengadopsi online grocery shopping daripada
faktor-faktor berpengaruh lainnya.
Kemudian, Listyowati (2020) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi niat dan keputusan konsumen membeli sayuran dan buah secara
online. Variabel yang digunakan yaitu persepsi kemanfaatan, persepsi kemudahan,
persepsi risiko, persepsi harga, kepercayaan, pendapatan, dan getok tular elektronik
untuk menjelaskan niat pembelian sayuran dan buah secara online. Penelitian ini
menggunakan model SEM-PLS (Structural Equation Model-Partial Least Square)
sebagai metode analisis data. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa variabel
persepsi kemanfaatan, persepsi harga, pendapatan, dan getok tular elektronik
memiliki pengaruh positif terhadap niat dan keputusan konsumen membeli sayuran
dan buah secara online. Sedangkan variabel kepercayaa, persepsi risiko, dan persepsi
harga memiliki pengaruh negatif terhadap niat dan pembelian sayur dan buah secara
online.
2.2 Online Grocery Shopping
Grocery merupakan bahan pangan dan kebutuhan dasar rumah tangga yang
umumnya dijual oleh ritel. Produk yang dijual pada ritel sejenis grocery merupakan
produk pangan yang pada umumnya bersifat perishable (rentan rusak) maupun
produk pangan kemasan yang memiliki jangka penyimpanan lebih lama. Produk
pangan seperti sayuran dan buah-buahan pada umumnya dijual di pasar tradisional
atau toko kelontong. Namun seiring berkembangnya zaman, produk pangan mulai
dijual di toko ritel modern seperti supermarket ataupun hypermarket. LEK
Consulting (2021) pada risetnya menyebutkan bahwa pelaku usaha grocery di
Indonesia didominasi oleh tradional trade atau toko-toko yang dimiliki perorangan.
Perbedaan utama pelaku usaha grocery yaitu terdapat pada kekhususan penawaran
produk, seperti misalnya supermarket atau hypermarket yang cenderung
mengkombinasikan produk pangan dengan produk tambahan (kosmetik, farmasi,
fashion). Sedangkan, pedagang grocery skala kecil seperti toko kelontong atau pasar
tradisional umumnya hanya menjual produk pangan segar seperti buah dan sayuran.
Grocery khususnya pada produk pangan kini sudah dapat dibeli melalui layanan
online grocery shopping. Online grocery shopping merupakan kegiatan membeli
produk pangan menggunakan website atau sistem e-commerce (Gutama, 2017).
Konsumen melalui internet tidak perlu lagi berbelanja produk grocery secara
konvensional. Online grocery shopping memungkinkan konsumen untuk berbelanja
dari rumah atau kantor, tanpa harus keluar dan terjebak oleh macet ataupun
menunggu antrian kasir. Menurut Kamble et al. (2022) ada dua metode dasar yang
digunakan konsumen dalam online grocery shopping. Pertama yaitu skema online-to-
offline melalui fitur “collect in storer”. Metode ini memungkinkan konsumen untuk
membeli produk pangan secara online lalu mengambil pesanannya yang sudah
disiapkan secara langsung di toko. Peritel besar seperti Ranch Market dan Farmers
sudah menerapkan metode ini sebagai upaya transformatif. Selanjutnya, metode
membeli produk pangan secara online melalui e-commerce seperti Happyfresh,
Amazon, Tanihub, dan lainnya, yang nantinya akan mengirim pesanan konsumen
secara langsung ke rumah.
Konsumen dengan layanan online grocery shopping dapat mendapatkan beberapa
manfaat saat berbelanja produk pangan. Mengutip dari riset yang dilakukan Titipku
Research (2022) manfaat yang didapatkan melalui online grocery shopping yaitu
meningkatkan aksesisbilitas pada produk segar dan sehat, mempermudah jika ingin
membeli dalam jumlah yang banyak, serta tidak perlu mengantri di kasir. Hal tersebut
sesuai dengan yang dikatakan Aylott dan Mitchell (1998) yaitu antrian yang panjang
dan kepadatan yang berlebihan merupakan faktor-faktor yang tidak disukai konsumen
dalam berbelanja produk pangan secara langsung. Namun, saat berbelanja produk
pangan secara online pun terdapat kekhawatiran akan produk yang dibeli tidak sesuai
harapan. Mengingat beberapa produk pangan bersifat perishable atau rentan rusak.
Berdasarkan penjalsan yang sudah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa online grocery shopping merupakan cara konsumen untuk berbelanja produk
pangan secara online melalui media yang terhubung ke internet. Peritel ataupun e-
commerce menyediakan fitur layanan online grocery shopping sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan konsumen yang segala aktivitasnya sudah mulai terdigitalisasi.
2.3 Purchase Intention
Purchase intention atau minat pembelian merupakan perilaku konsumen yang
muncul sebagai respon terhadap suatu objek yang menunjukkan keinginan konsumen
untuk melakukan pembelian (Kotler dan Keller, 2012). Kinnear dan Taylor (dalam
Yusnidar et al., 2014) menyatakan bahwa purchase intention merupakan tahapan
sebelum keputusan pembelian konsumen benar-benar dilaksanakan. Purchase
intention menurut Hakim (2019) ialah bentuk keinginan diri untuk memenuhi
kebutuhan pribadi yang menimbulkan tindakan membeli suatu produk. Saad et al.
(2012) menyebutkan bahwa purchase intention merupakan tindakan pengevaluasian
alasan konsumen untuk menciptakan keinginan dalam membeli suatu produk.
Purchase intention tidak muncul seketika tetapi terdapat proses dan faktor yang
berperan di dalamnya. Kian et al. (2019) menyebutkan bahwa purchase intention
terjadi saat konsumen sudah merencanakan pembelian ataupun mempunyai kesan
yang baik terhadap suatu produk. Menurut Hawkins dan Motherbaugh (2010) dalam
Ali et al. (2020) menyatakan bahwa purchase intention merujuk pada pengalaman
yang merangsang dan mendorong konsumen untuk membeli produk atau layanan.
Dapat disimpulkan bahwa purchase intention merupakan kecendrungan konsumen
untuk bertindak sebelum membeli suatu produk yang ditimbulkan atau didasari
melalui pengevaluasian informasi, respon terhadap produk, dan pengalaman pribadi.
Purchase intention didasari oleh pengalaman-pengalaman yang telah dilalui
konsumen terhadap suatu produk atau jasa. Purchase intention ialah tindakan
merefleksi rencana pembelian suatu produk yang diakibatkan oleh daya tarik produk
atau jasa yang ditawarkan. Menurut Ferdinand (2008), terdapat empat indikator
dalam mengidentifikasi purchase intention yaitu, sebagai berikut:
1. Minat transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk membeli suatu
produk, artinya konsumen selalu mempunyai niat untuk melakukan pembelian
terhadap suatu produk.
2. Minat referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk mereferensikan
produk kepada orang lain, artinya konsumen selalu mempunyai kesediaan
untuk mereferensikan suatu produk
3. Minat preferensial, yaitu minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang
mempunyai preferensi utama pada produk tersebut. Preferensi ini akan terus
berlangsung hingga terjadi sesuatu dengan produk preferensinya.
4. Minat eksploratif, yaitu minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang
selalu mencari informasi sebanyak mungkin mengenai suatu produk yang
diminati dan mencari hal-hal positif yang sifatnya mendukung produk
tersebut.
Sedangkan menurut Ajzen (2005) menyatakan bahwa niat beli terdiri dari tiga aspek
sebagai berikut:
1. Attitude toward the behavior (Sikap terhadap perilaku), yaitu kecendrungan
untuk menanggapi hal-hal yang disenangi ataupun tidak disenangi pada suatu
objek, orang, institusi, atau peristiwa.
2. Subjective Norm (Norma subyektif), yaitu kecendrungan seseorang untuk
mengikuti pandangan orang lain terhadap perilaku yang dilakukannya.
3. Perceived Behavioral Control (Kontrol perilaku yang dirasakan), yaitu
kepercayaan seseorang mengenai kapabilitas dirinya untuk melaksanakan
suatu perbuatan.
2.4 TAM (Technology Acceptance Model)
TAM atau Technology Acceptance Model merupakan model yang digunakan
untuk menggambarkan penerimaan individu terhadap suatu teknologi informasi baru.
Model TAM (Techonology Acceptance Model) adalah model yang diadaptasi dari
TRA (Theory of Reasoned Action) yang diperkenalkan oleh Ajzen dan Fishbein pada
tahun 1980. TRA merupakan sebuah teori yang menjelasakan suatu tindakan individu
dipengaruhi oleh keyakinan atau niat tertentu. Davis pada tahun 1989
mengembangkan model TRA menjadi model TAM, yang mengasumsikan
penerimaan individu terhadap suatu teknologi informasi ditentukan oleh dua variabel
utama yaitu, perceived usefulness (PU) dan perceived ease of use (PEOU). TAM
didasari pada pendekatan psikologis sosial yang dibangun dari hubungan antara
keyakinan (belief), niat (intention), dan perilaku (attitude). TAM menjelaskan suatu
hubungan sebab-akibat antara suatu keyakinan (kebermanfaatan dan kemudahan
penggunaan suatu informasi) dengan perilaku serta keperluan dan penggunaan suatu
sistem informasi. Tujuan model ini adalah untuk menjelaskan faktor-faktor utama
dari perilaku penggunaan terhadap pernerimaan pengguna teknologi.
Model TAM (Theory Acceptance Model) menjelaskan bagaimana adopsi
teknologi individu dan perilaku penggunaan secara ringkas dan memiliki tingkat
kejelasan yang tinggi. Berbagai penelitian sudah mengaplikasikan TAM dalam kajian
adopsi teknologi. Lee et al. (2003) menyebutkan bahwa TAM sudah digunakan ke
berbagai jenis teknologi (e-mail, e-commerce, aplikasi) pada berbagai situasi yang
berbeda (waktu dan budaya) dengan faktor yang berbeda (gender, jenis organisasi)
dan subjek yang berbeda (sarjana, akademisi, magister). Pengaplikasian TAM pada
berbagai penelitian disebabkan karena Technology Acceptance Model (TAM) spesifik
ditujukan untuk teknologi informasi, didasarkan teori psikologi sosial, dan
melibatkan variabel yang sedikit (Giovanis et al., 2012 dalam Sitorus dan Vania,
2021). TAM juga dapat berperan untuk memprediksi perilaku penggunaan dan
penerimaan seseorang terhadap suatu sistem informasi dan teknologi. Saat ini, TAM
dianggap sebagai pendekatan yang paling baik untuk mempridiksi perilaku
penerimaan dan penggunaan individu terhadap online grocery shopping (Arslan dan
Turan, 2022).
Berikut merupakan model TAM (Technology Acceptance Model) yang
diperkenalkan oleh Davis (1989):

Berdasarkan model TAM yang diperkenalkan Davis tahun 1989, menunjukkan


bahwa penggunaan (usage) merupakan variabel dependen yang dipengaruhi secara
tidak langsung oleh dua variabel independen yaitu perceived usefulness dan
perceived ease of use. Davis menjelaskan perceived usefulness atau persepsi
kemanfaatan merupakan persepsi seseorang terhadap penggunaan sebuah teknologi
akan membantu meningkatkan peforma kinerjanya. Sedangkan, perceived ease of use
merupakan persepsi seseorang terhadap kemudahan penggunaan suatu teknologi atau
sistem informasi. Pada dasarnya, perceived usefulness dan perceived ease of use
memiliki pengaruh terhadap attitude toward using, yang mana merupakan sikap
penerimaan atau penolakan terhadap penggunaan suatu sistem teknologi informasi.
Terakhir, behavioral intention to use akan dipengaruhi oleh sikap penerimaan atau
penolakan terhadap penggunaan teknologi dan sekaligus akan mempengaruhi actual
usage.
2.5 Perceived Usefulness
Perceived usefulness merupakan persepsi yang menjelaskan tentang tingkatan
dimana seseorang pengguna dapat percaya bahwa dengan menggunakan suatu
teknologi akan meningkatkan performa kerjanya (Davis 1989). Davis (1989)
menyatakan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang atas kemanfaatan suatu
tekonogi, semakin tinggi pula kecendrungan seseorang untuk menggunakannya.
Menurut Mohd et al. (2011), perceived usefulness merupakan suatu subjektivitas
perspektif seseorang dalam menggunakan suatu teknologi memicu terjadinya
peningkatan kinerja. Usefulness merupakan suatu kondisi ketika seseorang
menggunakan sebuah teknologi akan memungkinkan membantu menyelesaikan suatu
pekerjaan yang ada (Jahangir dan Begum, 2008).
Perceived usefulness telah banyak diaplikasikan di berbagai penelitian. Bangkara
dan Mimba (2016) menyatakan bahwa seseorang cenderung akan menggunakan e-
commerce apabila seseorang tersebut merasakan kemafaatan melalui fasilitas ataupun
layanan yang ditawarkan oleh e-commerce. Menurut Albaraq (2014), seseorang akan
memiliki sikap dan niat terhadap pembelian produk secara online apabila melalui
pembelian online tersebut mampu meningkatkan kinerja dan memilki dampak positif.
Driediger dan Bhativesi (2019) menyatakan niat seseorang akan penggunaan online
grocery shopping akan meningkat apabila terdapat kemanfaatan yang risakan melalui
online grocery shopping.
Berdasarkan penjelasan yang sudah diuraiakan, dapat disimpulkan bahwa
perceived usefulness merupakan persepsi seseorang apabila menggunakan online
grocery shopping dapat memberikan kemanfaatan bagi dirinya. Kemanfaatan yang
dimaksud yaitu berupa peningkatan peforma kerja, penyelesaian suatu masalah,
ataupun mendapatkan dampak positif dari penggunaannya. Menurut Venkatesh dan
Davis (2016) persepi seseorang terhadap kemanfaatan teknologu dapat diukur melalui
faktor-faktor berikut:
1. Effectiveness, persepsi yang menunjukkan adanya penghematan waktu dari
penggunaan suatu teknologi.
2. Accomplish Faster, persepsi yang menunjukkan dengan penggunaan teknologi
mampu mempermudah suatu kegiatan.
3. Overall Usefulness, persepsi yang menunjjukan sejauh mana penggunaan
teknologi dapat berguna bagi kegiatan individu.
2.6 Perceived Ease-of-Use
Perceived ease of use atau persepsi kemudahan penggunaan merupakan persepsi
yang menjelaskan tentang tingkatan kemudahan yang dirasakan oleh seseorang
melalui penggunaan suatu sistem teknologi informasi (Davis, 1989). Menurut
Naufalfi dan Tjokrosaputro (2020) menjelaskan bahwa perceived ease of use
merupakan tingkat keyakinan suatu individu untuk mempelajari, memanfaatkan, dan
menggunakan teknologi dipercaya dapat memudahkan penggunaan. Perceived ease
of use merupakan kemudahan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang saat
menggunakan suatu teknologi (Lim dan Ting, 2012).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perceived ease of use
merupakan persepsi seorang akan kemudahan dalam mempelajari dan menggunakan
suatu teknologi. Pada konteks online grocery shopping, kemudahan berhubungan
dengan mudah atau tidaknya platform online grocery shopping yang digunakan oleh
konsumen. Berdasarkan Rout et al. (2022) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
persepsi kemudahan seseorang dalam menggunakan teknologi yaitu, sebagai berikut:
1. Easy to learn, yaitu kemudahan pengguna untuk mempelajari teknologi.
2. Easyness, yaitu kemudahan pengguna dalam pemakaian teknologi.
3. Clear and understandable, yaitu kemudahan penggunan untuk memahami
konten atau prosedur suatu teknologi.

2.7 Perceived Risk


Perceived risk atau persepsi risiko merjelaskan tentang persepsi seseorang
terhadapa suatu risiko yang akan didapatkan apabila membeli suatu produk (Cox dan
Rich, 1964 dalam Ali et al., 2020). Definisi lain disampaikan Shiffman dan Kanuk
(dalam Rahmadi dan Malik, 2016) bahwa perceived risk atau persepsi risiko
merupakan kecendurngan seseorang terhadap ketidakpastian yang akan dihadapi saat
memutuskan membeli suatu produk. Persepsi risiko pun telah berubah sejak transaksi
online populer. Loanata dan Tileng (2016) menyebutkan bahwa perceieved risk
sekarang mengacu pada kemungkinan kerugian yang akan diterima oleh seorang
ketika melakukan transaksi online. Persepsi risiko menjadi alasan mengapa seseorang
enggan berbelanja online karena terdapat ketidakyakinan atau kekhawitaran yang
muncul.
Sifat berbelanja online yang tidak bertemu langsung, menimbulkan persepsi
risiko yang berbeda tiap individu. Kemungkinan seperti kerugian akan kehilangan
uang, produk yang tidak sesuai, ataupun kerugian akan keamanan pribadi
menyebabkan muncul persepsi negatif terhadap pembelian online. Berdasarkan
Osman et al. (2010) dalam Kian (2019), persepsi risiko saat berbelanjan online
diklasifikasikan menjadi beberapa indikator yaitu, sebagai berikut:
1. Financial risk, yaitu risiko yang hasilnya akan merugikan konsumen secara
keungan.
2. Product peril, yaitu risiko yang dihasilkan karena adanya kemungkinan
produk yang dipesan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
3. Time risk, yaitu risiko yang dihasilkan karena waktu, usaha, atau kenyamanan
dapat terbuang sia-sia jika produk yang diberil harus diganti.
4. Security, risiko yang hasilnya akan merugikan informasi pribadi

2.8 Trust
Kotler dan Keller (2014) dalam Chrysnaputra (2020) mendefinisikan kepercayaan
sebagai kesediaan individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain.
Sedangkan Wang et al. (2015) menjelaskan trust atau kepercayaan sebagai sebuah
harapan positif yang bersal dari atribut tertentu suatu pihak yang dapat dipercaya.
Trust merupakan faktor penting bagi konsumen untuk menentukan melakukan
pembelian secara online atau tidak. Pavlou (2001) dalam Nugroho (2009)
menyebutkan bahwa trust merupakan kondisi saat seseorang merasa yakin transaksi
online mereka sesuai dengan apa yang diharapkan. Tyrvainen dan Karjaluoto (2022)
menjelaskan bahwa jika konsumen percaya akan mitra transaksi online dalam
menjalankan fungsinya, maka dia akan lebih bersedia untuk melakukan pembelian.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa trust atau kepercayaan
merupakan komponen penting dalam memengaruhi minta beli konsumen. Trust
sendiri dapat definisikan sebagai kondisi dimana seorang konsumen memiliki
keyakinan akan proses transaksi online yang dilakukan akan memenuhi harapan yang
dinginkan. Menurut Jadil et al. (2022) menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kepercayaan seseorang terhadap online shop, yaitu sebaga berikut:
1. Perceived size, yaitu keyakinan konsumen bahwa semakin besar suatu online
shop maka semakin meningkat kompetensi yang dimiliki online shop tersebut
untuk memenuhi janjinya kepada konsumen.
2. Perceived reputation, yaitu keyakinan konsumen yang memungkikan online
shop dianggap dapat dipercaya secara subjektif oleh konsumen tersebut.

Anda mungkin juga menyukai