Anda di halaman 1dari 3

Oeripan Notohamidjojo dan Pendidikan Ahli Sejarah

Pemimpin pertama Universitas Kristen Satya Wacana ternyata bukan hanya ahli hukum.
Sejarah mencatatnya sebagai salah satu peletak dasar pendidikan ahli sejarah.

Senin pagi, 17 Desember 1957. Seorang lelaki paruh baya bertubuh kecil, tegap, sedikit
gempal, dan berkacamata menaiki podium di tengah pendopo yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bangunan lain di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sitinggil atau tanah tinggi,
demikian orang biasa menyebutkan bangunan suci yang sejak 1946 difungsikan sebagai aula
universitas Republik, Universitas Gadjah Mada. Dia adalah Oeripan Notohamidjojo yang
didatangkan dari Salatiga.

Oeripan bukan "orang baru." Ia masuk dalam jajaran kaum intelektual yang dimiliki oleh
Republik Indonesia setelah perang. Pemikirannya tentang hukum dan kebudayaan sangat
bernas dan tajam. Ia juga Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPG
Kristen Indonesia) yang baru saja genap setahun berdiri.

"Memelihara dan mengembangkan ilmu, mencari kebenaran berdaulat yang


mentrasendensikan manusia, bangsa, dan agama di masa peralihan," demikian profil singkat
perguruan tinggi baru itu. Tugas itu diturunkannya dalam jurusan ilmu mendidik, bahasa
Inggris, ekonomi, hukum, dan tentu saja sejarah kebudayaan (Notohamidjojo, 2011). Posisi
inilah yang membuatnya menjadi tamu khusus dalam seminar yang bertujuan untuk
merumuskan sejarah baru, yaitu sejarah Indonesia yang tidak lagi menggunakan buku-buku
dan tulisan yang berasal dari penulis penjajah Belanda dan menjadi sumber semangat bagi
kehidupan bangsa Indonesia untuk selama-lamanya.

Sejarah Berwawasan Global

Oeripan adalah satu dari dua pembicara panel kelima seminar yang cukup panas dan
menggemparkan sejak hari pertama. Dengan pembawaan tenang dan suara menggelegar, ia
menyampaikan sebelas saran untuk pendidikan ahli sejarah Indonesia. Salah satunya adalah
pendidikan ahli sejarah di Indonesia yang harus berorientasi pada pandangan dunia, konteks
internasional, serta perlengkapan keterampilan teknis. Dalam konteks ini, gagasannya berada
satu langkah di depan M.D. Mansoer, rekan satu panelnya yang berasal dari Inspeksi Pusat
Pendidikan Guru, yang menekankan pada sejarah Indonesia yang mendukung kerja sama
antara sesama bangsa Indonesia khususnya Asia Tenggara. Selain itu, ia juga menguatkan
gagasan Moh. Ali dari Jakarta yang menekankan Indonesiasentris sebagai diskursus baru
untuk menghapus warisan feodalisme. Oeripan menawarkan sebuah perspektif global dalam
pendidikan ahli sejarah. Konteks internasional itu, menurut Oeripan, bisa dimasukkan dalam
pendidikan historis untuk penyelidik, pengarang, maupun pengajar sejarah terutama dengan
memasukkan topik-topik relasi internasional atau mengembangkan sebuah genre, yaitu
sejarah hukum internasional.

Selain menggarisbawahi konteks global atau internasional, Oeripan juga menyarankan agar
setiap universitas di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan ahli sejarah wajib untuk
menyiapkan dan memimpin sejarawan yang dapat menggunakan sumber-sumber sejarah asli 
serta wajib menyiapkan dan memimpin penulis-penulis yang secara sintesis mempergunakan
sumber-sumber yang sudah dan belum diterbitkan. Sumber-sumber yang dimaksudkan oleh
Oeripan bukan semata-mata sumber teks dalam bahasa Belanda, melainkan sumber-sumber
asli Indonesia. Dalam hal ini ia mencontohkan sumber-sumber teks kerajaan, baik kerajaan di
Surakarta, kerajaan Yogyakarta, maupun kerajaan-kerajaan dari luar Jawa.

Keterbukaan tentang Pendidikan Ahli Sejarah di PTPG

Sekalipun tidak sepanas panel-panel sebelumnya, diskusi tentang pendidikan ahli sejarah
yang dibawakan oleh Oeripan Notohamidjojo dan M.D. Mansoer memantik perdebatan,
sanggahan, juga saran. Setidaknya, ada sepuluh penyanggah yang tercatat dalam dokumen
notulensi. Sanggahan-sanggahan itu menghasilkan diskusi panjang dan merumuskan banyak
kesimpulan. Pertama, seorang ahli sejarah harus memiliki kepribadian dan rasa kebangsaan.
Kedua, pendidikan ahli sejarah di PTPG tingkat III sebaiknya diberi bahasa Jawa kuno dan
sejarah kebudayaan yang mendalam dan luas. Ketiga, didaktik dan pedagogik diajarkan
secara fakultatif kepada calon-calon ahli sejarah mengingat banyak dari mereka yang terjun
ke lapangan perguruan sebagai guru sejarah. Keempat, pendidikan sejarah negara-negara
tetangga hendaknya harus diajarkan dengan cukup mendalam kepada calon-calon ahli
sejarah.

Selain empat kesimpulan di atas, seminar juga menghasilkan kesimpulan bahwa pendidikan
PTPG harus menitikberatkan pada pendidikan kejuruan daripada keguruan. Kesimmpulan
tersebut  bertentangan saran M.D. Mansoer yang berpendapat bahwa PTPG atau FKIP
sebaiknya menitikberatkan pada pendidikan keguruan daripada kejuruan. Menariknya, panitia
seminar memberikan tambahan catatan "saran ini disetujui oleh pemasaran O.
Notohamidjojo" (Panitia Seminar Sejarah, 2017).

Tidak ada catatan jelas tentang alasan Oeripan menerima saran tersebut. Namun,
penerimaannya menunjukkan keterbukaannya terhadap kritik sekaligus menarik apabila
dikomparasikan dengan posisinya sebagai dekan PTPG. Dalam hal ini, Oeripan agaknya
mengarahkan pendidikan ahli sejarah di perguruan tinggi yang dipimpinnya tidak semata-
mata menekankan pada keahlian pedagogis melainkan juga vokasi. Di sisi yang lain, Oeripan
juga menyetujui bahwa pelajaran sejarah harus diperdalam dengan cara mengadakan ruangan
model dari benda-benda atau duplikat sejarah benda-benda sejarah. Dalam hal ini, konsep
laboratorium yang disetujui oleh Oeripan bukan semata-mata laboratorium untuk ilmu-ilmu
eksakta melainkan juga untuk ilmu humaniora khususnya sejarah.

Refleksi
Kehadiran Oeripan dalam seminar sejarah 1957 adalah sebuah realitas sejarah. Setidaknya,
sosok yang kini akrab dengan panggilan "pak Noto" itu telah tercatat sebagai salah satu
peletak dasar-dasar pendidikan ahli sejarah. Demikian juga, warisannya, jurusan sejarah
kebudayaan yang telah bersalin nama menjadi program studi pendidikan sejarah di perguruan
tinggi yang kini dikenal sebagai Universitas Kristen Satya Wacana, masih tetap bertahan.

Seminar sejarah 1957 barangkali telah berjarak lama, tepatnya 64 tahun, dari sekarang.
Namun, ada banyak pemikiran Oeripan Notohamidjojo yang kiranya masih relevan untuk
diperbincangkan sampai hari ini. Setidaknya untuk tiga hal. Pertama,  tentang relasi global
atau konteks internasional. Jika ia sedemikian gigih dan visioner memperjuangkan
gagasannya tersebut, pendidikan untuk ahli sejarah di Universitas Kristen Satya Wacana
sebagai pengembangan PTPG Kristen Indonesia juga semestinya menempatkan keduanya
sebagai agenda utamanya. Dalam konteks ini pula, mata kuliah sejarah (termasuk sejarah
lokal) semestinya ditempatkan dalam relasi global atau konteks internasional.
Poin berikutnya adalah tentang konsep ahli sejarah dan kompetensinya. Oeripan
Notohamidjojo telah dengan tegas menyampaikan bahwa ahli sejarah dari PTPG bukanlah
semata-mata pengajar atau guru sejarah, melainkan juga peneliti dan penulis sejarah. Program
Studi Pendidikan Sejarah, sebagai salah satu pewaris pemikiran Oeripan Notohamidjojo
mengembangkannya  dengan menambah satu keahlian lagi, yaitu pengelola wisata (sejarah).
Persoalannya, tiga profesi terakhir relatif tidak populer. Begitu juga dengan fokus
pendidikannya, akan berorientasi pada pedagogis atau mengikuti dengan tinjauan kritis
pilihan Oeripan Notohamidjojo tentang pendidikan ahli sejarah yang berorientasi pada
kejuruan.

Hal terakhir adalah soal laboratorium. Sekalipun gagasan laboratorium disetujui oleh Oeripan
Notohamidjojo, tidak bisa dipungkiri bahwa Laboratorium Sejarah adalah laboratorium
tersempit atau terkecil di Laboratorium Terpadu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana. Alih-alih untuk memajang beragam ruangan model dari
benda-benda atau duplikat sejarah benda-benda sejarah, sebagai pusat aktivitas pun sulit.
Keterbatasan ruang laboratorium ini menjadi menarik apabila disandingkan dengan
pemikiran Oeripan Notohamidjojo tentang universitas di masa peralihan. Di masa sekarang
ini, keterbatasan itu semestinya bukan lagi halangan. Laboratorium sosial atau laboratorium
berbasis teknologi, semacam augmented virtual reality, dibutuhkan. Tentu saja, itu semua
hanya mungkin apabila ada kolaborasi.

Akhirnya, pemikiran-pemikiran Oeripan Notohamidjojo tentang pendidikan ahli sejarah


kiranya adalah warisan berharga yang akan mengabadi. Lebih dari itu, warisan itu bukanlah
warisan statis melainkan harus terus diperbincangkan dan dikritisi. Tentu saja, ini bukan
pekerjaan pimpinan ataupun staf melainkan juga para mahasiswa yang sedang menjalani
pendidikan ahli sejarah di Universitas Kristen Satya Wacana.

Galuh Ambar Sasi


Pendidik Ahli Sejarah

Anda mungkin juga menyukai