Anda di halaman 1dari 95

BAHAN AJAR MATA KULIAH

SEJARAH PENDIDIKAN

DOSEN PENGAMPUH:

MEGIRIDHA LOPPIES, S. PD., M. PD

NIP. 199106122022032011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan bahan ajar mata
kuliah sejarah pendidikan dengan sangat baik. Penyusunan bahan ajar ini
merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tugas dosen dalam rangka
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran serta untuk mempermudah
mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah sejarah pendidikan. Bahan ajar mata
kuliah sejarah pendidikan ini memuat meteri tentang konsep dasar sejarah
pendidikan, pendidikan pada masa prasejarah, pendidikan pada masa Hindu-
Budha, pendidikan pada masa perkembangan Islam, penetrasi barat dalam
pendidikan zaman Portugis, pendidikan pada masa pendudukan Belanda,
pendidikan pada masa pendudukan militer Jepang, pendidikan setelah proklamasi
kemerdekaan (orde lama), pendidikan zaman orde baru, pendidikan zaman
reformasi dan secara khusus akan mengkaji sejarah perkembangan pendidikan di
daerah Papua.

Perlu diketahui juga bahwa dalam pembuatan bahan ajar ini ada pihak-
pihak yang telah berkontribusi memberikan sumbangan pikiran dan juga sumber-
sumber sebagai referensi dalam menulis bahan ajar ini. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam mewujjudkan bahan ajar seajrah pendidikan ini. Semoga
bahan ajar ini dapat bermanfaat bagi adik-adik mahasiswa sebagai sumber belajar
sekaligus mengatasi kesulitan dalam mencari literature-literatur yang
berhubungan dengan sejarah pendidikan. Jika terdapat kekurangan penyajian
dalam bahan ajar ini, penulis menerima kritik dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaannya.

Jayapura, Januari 2023

ML
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Konsep Dasar Sejarah Pendidikan

BAB II Pendidikan Pada Masa Prasejarah

BAB III Pendidikan Pada Masa Hindu-Budha

BAB IV Pendidikan Pada Masa Perkembangan Islam

BAB V Penetrasi Barat Dalam Pendidikan Zaman Portugis dan Spanyol

BAB VI Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda (abad IX dan XX)

BAB VII Pendidikan Pada Masa Pendudukan Militer Jepang

BAB VIII Perkembangan Pendidikan Setelah Proklamasi Kemerdekaan (orde


lama)

BAB IX Pendidikan Zaman Orde Baru

BAB X Pendidikan Zaman Reformasi

BAB XI Perkembangan Pendidikan di Tanah Papua.


BAB I

KONSEP DASAR SEJARAH PENDIDIKAN

Deskripsi Singkat:

Bab ini akan membahas mengenai pengertian sejarah pendidikan, ruang lingkup
sejarah pendidikan dan manfaat mempelajari sejarah pendidikan. Bagian ini
merupakan dasar bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.

Capaian Pembelajaran:

Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah:

1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian sejarah pendidikan.


2. Mahasiswa mampu mendeskripsikan ruang lingkup sejarah
pendidikan.
3. Mahasiswa mampu mengemukakan manfaat belajar sejarah
pendidikan.
A. Pengertian Sejarah

Saudara-saudari mahasiswa, sebelum kita mempelajari lebih jauh tentang


konsep dasar sejarah pendidikan, baiknya kita perlu memahami terlebih dulu apa
itu “Sejarah”. Nah, kata “sejarah” sendiri berasal dari bahasa Arab, dari kata
“syajaratun” yang berarti pohon. Dalam perkembangannya kata syajaratun
mengalami perluasan makna menjadi akar, keturunan dan silsilah. Dalam bahasa
Inggris kata sejarah dikenal dengan sebutan history. Kata “history” berasal dari
bahasa Yunani yaitu istoria yang berarti ilmu (Madjid dan Wahyuni, 2014).

Menurut Roeslan Abdul Gani (1963: 174) sejarah adalah cabang ilmu
yang menyelidiki secara terstruktur perkembangan social serta kemanusiaan di
masa lampau, beserta segala peristiwa-peristiwanya dengan maksud untuk
melakukan tinjauan kritis seluruh hasil penyelidikan itu untuk dijjadikan
perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang dan
masa depan. Sementara Sartono Kartodidjo (dalam Simanjuntak, 2005),
berpendapat bahwa ada dua pengertian sejarah yaitu sejarah dalam arti obyektif,
dan sejarah dalam arti subjektif. Sejarah dalam arti obyektif menunjuk kepada
kejadian atau peristiwa itu sendiri ialah proses sejarah dalam aktualisasinya.
Maksudnya bahwa kejadian itu hanya terjadi sekali dan tidak dapat di ulang
kembali.uruhan proses itu berlangsung terlepas dari subjek manapun. Jadi
obyektif berarti tidak mengandung unsur-unsur subyek pengamat atau pencerita.
Sejarah dalam arti subjektif adalah sebuah konstruksi, ialah bangunan yang di
susun penulis sebagai suatu uraian cerita. Sejarawan Indonesia, Kuntowijoyo
mengartikan sejarah sebagai rekonstruksi masa lalu. Bahwasannya peristiwa masa
lampau manusia direkonstruksi (“re” artinya kembali, konstruksi artinya
bangunan). Jadi yang dimaksud oleh Kuntowijoyo adalah bagaimana masa
lampau manusia dibangun kembali melalui penulisan cerita atau kisah sejarah.
Pendapat lain dikemukakan oleh Madjid dan Wahyuni (2014) yang menyatakan
bahwa sejarah adalah penelitian terhadap semua aspek kehidupan manusia pada
masa lalu, seperti politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum, seni,
budaya, peradaban, pemikiran, dan lain sebagainya.

B. Pengertian Pendidikan

Perlu diketahui juga bahwa pendidikan di Indonesia terus mengalami


proses dinamisasi dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena terjadi perubahan
dan perkembangan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Tanpa terkecuali
dalam bidang pendidikan. Berbagai persoalan dan tantangan dalam dunia
pendidikan silih berganti menghiasi wacana pendidikan di Indonesia. Seiring
dengan perkembangan dunia yang terus bergerak maju, maka pendidikan menjadi
faktor utama untuk meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia.
Proses pengembangan sumber daya manusia harus dilakukan dengan
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai agar mampu
beradaptasi dengan lingkungannya (Widiansyah, 2018). Selain itu, kualitas
sumber daya manusia yang baik diperlukan untuk mengelola berbagai potensi
sumber daya alam untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia.

Menurut undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan


nasional, yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Oleh
karena itu, pendidikan merupakan bentuk investasi jangka panjang yang utama
bagi manusia dan kehidupannya. Mukodi, (2016) menegaskan bahwa pendidikan
merupakan alat yang paling efektif bagi perubahan masyarakat untuk mencapai
kemajuan dalam berbagai dimensi kehidupan. Hanya bangsa-bangsa yang
menyadari dan memahami makna strategisnya pendidikanlah yang mampu meraih
kemajuan dan menguasai dunia. Oleh karena itu, pendidikan harus terus di
perbaharui (Harahap, 2011), agar kualitas pendidikan Indonesia mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang unggul, inovatif, kreatif, dan mandiri
(Ningrum, 2016; Susilowaty, 2019) serta adaptif dengan perkembangan zaman
(Yuliati & Saputra, 2019).

C. Pengertian Sejarah Pendidikan

Setelah mengetahui pengertian sejarah dan pengertian pendidikan, maka


kita akan melihat apa yang dimaksud dengan sejarah pendidikan. Sejarah
pendidikan ialah uraian yang sistematis dari segala sesuatu yang dipikirkan dan
dikerjakan dalam lapangan pendidikan pada waktu lampau (Hetharion, 2011).
Sejarah pendidikan termasuk dalam ilmu mendidik (pedagogik). Bagan di bawah
ini akan menjelaskan kedudukan sejarah dalam keseluruhan lapangan ilmu
mendidik.

Sistematis

Aspek Teoritis Historis (Sejarah


Pendidikan)

Ilmu mendidik Didaktis


Aspek Praktis
Administrasi sekolah

Gambar 1: Kedudukan sejarah dalam lapangan ilmu mendidik.


Ilmu mendidik sistematis itu adalah ilmu yang memberikan uraian secara
tersusun tentang dasar, tujuan, lingkungan pendidikan dan segala sesuatu yang ada
sangkut pautnya dengan itu. Sedangkan antara ilmu mendidik dan sejarah
pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat. Ilmu mendidik sistematis
berusaha untuk menunjukan jalan, agar tercapailah cita-cita pendidikan. Segala
sesuatu didasarkan atas keadaan yang nyata, yang telah kita pelajari dalam sejarah
pendidikan.

D. Ruang Lingkup Sejarah Pendidikan

Ruang lingkup kajian sejarah pendidikan terdiri dari: 1). Konsep dasar
sejarah pendidikan yang membahas tentang pengertian, ruang lingkup, dan
manfaat sejarah pendidikan, 2) pendidikan pada masyarakat xaman purba, 3)
perkembangan pendidikan pada masa pengaruh Hindu-Budha, 4) perkembangan
pendidikan masa Islam, 5) perkembangan pendidikan pada masa Portugis dan
Spanyol, 6) pendidikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda abad XIX dan
XX, 7) pendidikan pada masa pendudukan Jepang, 8).pendidikan masa
kemerdekaan, 9) perkembangan pendidikan di Papua.

E. Manfaat Sejarah Pendidikan

Sejarah pendidikan itu mempunyai nilai khusus, karena:

1. Dengan mempelajari sejarah pendidikan, kita memperoleh pengertian


tentang fungsi pendidikan dalam keseluruhan kebudayaan.
2. Sejarah pendidikan mengajar kita membedakan mana yang bernilai
tinggi dan mana yang tidak, sehingga kita terhindar dari tindakan-
tindakan yang salah dan sesat dalam melaksanakan usaha-usaha
pendidikan.
3. Sejarah pendidikan memberi kita pegangan, sehingga tidak akan
terjadi bahwa kita akan selalu menganggap rendah hal-hal yang sudah
lama dan menganggap tinggi hal-hal yang up to date (modern)
4. Dalam mempelajari sejarah pendidikan kita akan sadar bahwa
pendidikan itu hendaknya disesuaikan atau diselaraskan dengan
perubahan-perubahan keadaan, ilmu pengetahuan dan teknik.
5. Sejarah pendidikan menginsafkan kita bahwa pendidikan dan tugas
pendidik sangatlah penting
6. Dengan mempelajari sejarah pendidikan kita memperoleh contoh-
contoh pendidikan yang baik. Dalam pada itunperlu kitabperhatikan
tiga hal:
a. Sejarah pendidikan memberi pelajaran kepada kita bahwa sejak
dahulu kala banyak dalil-dalil pendidikan dikemukakan orang yang
kemudian dilupakan lagi. Tetapi kita juga sadari bahwa ada kita
jumpai kebenaran-kebenaran yang berlaku sepanjang masa dan
yang besar sekali nilainya bagi perkembangan kebudayaan
b. Hasil kedua adalah timbul pendapat bahwa teori-teori pendidikan
tidak dapat kita rumuskan dalam suatu rumus yang nilainya
mutlak; berlaku untuk setiap waktu dan untuk tiap-tiap bangsa.
Pendidikan itu berhubungan erat dengan pendirian falsafah,
kepercayaan pendirian politik dan pendirian hidup.
c. Akhirnya kita lihat dalam sejarah pendidikan itu suatu garis yang
menuju kearah perkembangan, ke arah perbaikan dalam sistem
pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa barangsiapa yang ingin


memahami keadaan keadaan sekarang dan ingin berusaha untuk mencapai
kemajuan hendaknya ia mengetahui hal-hal dari masa lampau.

F. Latihan

Buatlah kelompok kecil dan diskusikanlah dengan teman sekelompokmu


mengenai hal-hal berikut:

1. Apakah kegunaan saudara mempelajari mata kuliah sejarah pendidikan?

2. Mengapa pendidikan di Indonesia selalu mengalami dinamisasi?


BAB II

PENDIDIKAN ZAMAN PURBA

Deskripsi Singkat:

Pada bab ini akan membahas mengenai pendidikan pada zaman purba, dimana
kehidupan pendidikan pada zaman ini masih sangat sederhana. Bab ini merupakan
dasar bagi bab-bab selanjutnya dalam modul ini.

Capaian Pembelajaran:

Setelah mempelajari materi pada bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:

1. Menjelaskan ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman purba.


2. Menjelaskan perkembangan pendidikan pada zaman purba.

A. Ciri-ciri Kehidupan Masyarakat Zaman Purba


1. Kebudayaan
Kebudayaan masyarakat zaman purba umumnya termasuk kebudayaan
maritim.
2. Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat zaman purba masih berbau animisme dan
dinamisme. Animisme adalah kepercayaan akan kesaktian roh nenek
moyang. Roh ini sangat dipuja-puja karena orang beranggapan bahwa
nenek moyanglah yang mewariskan dan melindungi adat.
Kesejahteraan masyarakat bergantung kepada penuaian kewajiban
orang-orang terhadap adat. Sedangkan dinamisme adalah kepercayaan
akan adanya “mana” (tenaga-tenaga gaib) pada manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan sebagainya. Kepercayaan akan
adanya tenaga-tenaga gaib itu merupakan bagian penting dari pada
hidup kerohanian orang nenek moyang kita pada masa itu.
3. Masyarakatnya merupakan masyarakat gotong royong
Meskipun pada waktu itu belum terdapat kota-kota, tetapi orang-orang
telah diam bersama-sama dalam masyarakat-masyarakat kecil.
Masyarakat itu merupakan masyarakat gotong-royong karena di
dalamnya belum terdapat perbedaan-perbedaan kelas.
Sistem gotong-royong dipakai dalam mengerjakan tanah-tanah
pertanian, mendirikan rumah-rumah dan memelihara desa. Tiap
masyarakat memrlukan seorang pemimpin. Ketua adat merupakan
pemimpin masyarakat kecil itu. Ia dianggap tetap mempunyai
kewajiban serupa dengan anggota-anggota lainnya. Jadi bukan
merupakan pemuka yang benar-benar, kecuali dalam hubungan dengan
acara-acara keagamaan. Bila upacara-upacara itu selesai, ia biasa lagi
seperti anggota-anggota lainnya. Karena pengaruh kebudayaan Hindu,
kelak ketua adat itu dijadikan raja.

B. Pendidikan pada zaman Purba

Pendidikan yang berlangsung dalam keluarga dan dalam masyarakat baik


secara formal maupun secara informal, pada masa ini tidak meninggalkan bukti
tertulis sehingga kita sulit untuk mendeskripsikannya secara jelas. Akan tetapi,
kita dapat melukiskan kehidupan masyarakat pada masa prasejarah itu. Menurut
arkeologi jaman prasejarah dibagi menjadi : 1. Jaman Batu; Paleolitikum,
Mesolitikum, Neolitikum; 2. Jaman Logam; Tembaga, Perunggu dan Besi, dengan
karakteristik masyarakatnya.

Kehidupan manusia prasejarah, masa neolitikum bisa dikatakan sebagai


“revolusi” yang besar dalam peradaban manusia. Sebenarnya revolusi itu didapati
benihnya di jaman mesolitikum, beserta datangnya arus kebudayaan baru yang
jauh lebih tinggi tingkatannya. Penghidupan food gathering (mengumpulkan
makanan) menjadi food producing (penghasil/produksi makanan). Perubahan
inilah yang dimaksud dengan revolusi tersebut meskipun tak seberapa
nampaknya, tetapi perubahan itu sangat besar artinya menilik akan akibatnya yang
sangat mendalam serta meluas di dalam perekonomian dan kebudayaan.
Penghidupan mengembara telah lampau, orang telah bercocok tanam dan
berternak. Hidup berkumpul berarti membentukkan suatu masyarakat yang
memerlukan segala peraturan dan kerjasama. Pembagian kerja memungkinkan
perkembangan berbagai macam cara dan penghidupan di dalam kerja sama itu.
Kerajinan tangan; seperti menenun dan membuat periuk belanga, sangat mendapat
kemajuan. Singkat kata bahwa dalam masa neolithikum itu terdapat dasar-dasar
pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan
sekarang.

Manusia memiliki kedudukan yang istimewa jika dibandingkan dengan


makhluk lain, karena pada intinya manusia berkedudukan sebagai makhluk sosial
(Zoon Politicon) dan interaksi dalam konteks sosialnya disisi lain manusia
sebagai makhluk budaya (Homo Humanus) dan nilai-nilai kemanusiaan. Nah
kelompok masyarakat yang paling pertama adalah keluarga sebagai unit
masyarakat terkecil. Keluarga berfungsi sebagai sumber interaksi pertama, sumber
budaya dan sistem nilai, sumber penerus generasi, dan sumber pendidikan
pertama bagi kehidupan manusia, yang kemudian baru meluas ke berbagai
kelompok sosial lainnya.

Oleh karena itu lukisan-lukisan bagaimana pendidikan pada masa


prasejarah kita dapat melihatnya dari perkembangan kehidupan manusia dan
jumlah penduduknya. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat,
sehingga salah satu fungsi keluarga adalah sebagai sumber pendidikan pertama
bagi kehidupan manusia, apapun bentuk pendidikan itu sesuai dengan masanya.

Pendidikan pada masa itu berlangsung dalam lingkungan keluarga sudah


mencukupi kebutuhan karena masyarakat saat itu masih serba bersahaja. Yang
menjadi pendidik terutama adalah ayah dan ibu. Ayah mengajarkan pengetahuan
dan kepandaian yang ada padanya kepada anak laki-laki dan ibu berbuat pula
terhadap anak perempuan.

Di antara manusia pada waktu itu, ada dua golongen yang mempunyai
kecakapan istimewa yakni pandai besi dan dukun. Mereka itu bergelar Empu.
Pandai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan duniawi, sedangkan dukun
adalah ahli dalam pengetahuan maknawiah. Para Empu itu dapat pula disebut guru
karena merekalah yang menjadi guru. Umumnya yang berguru padanya sangat
terbatas, terutama anak-anaknya sendiri.

Tujuan pendidikan ialah supaya anak-anak itu kelak dapat memegang


kekuasaan dalam masyarakat sebagai manusia yang mempunyai kecakapan
istimewa. Manusia yang dicita-citakan adalah a). Manusia yang mempunyai
semangat gotong royong, b) manusia yang menghormati para Empu, c) manusia
yang taat akan adat. Pada waktu itu belum ada lapisan bangsawan. Masyarakat
adalah masyarakat gotong royong, tidak berlapis-lapis. Empu tidak dianggap
sebagai anggota lapisan tinggi. Mulai pada zaman Hindu masyarakat itu berubah
menjadi masyarakat feodal, yakni masyarakat yang terbagi atas beberapa
tingkatan.

C. Latihan
1. Bagaimanakah penerapan pendidikan pada masa purba? Siapakah yang
bertindak sebagai guru?
2. Apa sajakah pelajaran yang dibelajarkan kepada peserta didik?
BAB III
PENDIDIKAN PADA ZAMAN HINDU-BUDHA

Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan pada zaman
Hindu-Budha. Bagian ini merupakan bagian dari bab-bab sebelumnya dan
menjadi acuan bagi bab-bab selanjutnya.
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan Latar Belakang Sejarah Masuknya Hindu-Budha.
2. Menjelaskan perkembangan pendidikan zaman Hindu/Budha.

A. Latar Belakang Sejarah Masuknya Hindu-Budha


Kedatangan pengaruh India ke Indonesia erat kaitannya dengan perniagaan
yang dilakukan oleh para pedagang-pedagang Cina dan India. Bermula dari
berniaga kemudian berkembang menjadi hubungan agama dan budaya. Melalui
hubungan niaga itu, turut pula para pendeta yang bermaksud menyebarkan agama,
kemudian disusul dengan perginya orang Indonesia ke daerah asal para guru
agama atau pendeta. Hubungan seperti itu telah berlangsung cukup lama. Dalam
proses terjadinya hubungan timbal balik seperti itu, masyarakat-masyarakat
setempat yang sudah menetap di beberapa daerah tertentu, menerima budaya dan
peradaban baru itu.
Adanya tanda-tanda kebudayaan dan peradaban Hindu tertua di temukan
pada abad ke-5 di daerah Kutai (Kalimantan). Namun demikian gambaran tentang
pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia di dapatkan dari sumber-sumber
Cina kurang lebih satu abad kemudian.
Cendikiawan, ulama-biarawan, musafir-peziarah Budha dalam
perjalanannya ke India, singgah di pulau Jawa untuk mengadakan studi
pendahuluan dan persiapan lainnya. India adalah Tanah suci dan merupakan
sumber inspirasi spritual, ilmu pengetahuan, serta kesenian bagi pemeluk-pemeluk
agama Hindu dan Budha.
Seorang cendikiawan dan musafir-penulis Cina bernama I-Tsing singgah
di pulau Jawa bersama seorang cendekiawan lainnya Hwui-Ning. Mereka
menterjemahkan tulisan dari bahasa Sansktrta ke dalam bahasa Cina mengenai
Nirwana menurut pandangan mazhab Hinayana dari agama Budha. Hwui-Ning
berada tiga tahun (664-667) dan bekerja sama dengan seorang sarjana–
PUJANGGA Indonesia bernama Djananabhara. Ketika penterjemahan itu selesai
Hwui-Ning mengutus seorang ulama muda Cina untuk membawa karya tersebut
ke negerinya.
Sudah jelas bahwa pulau Jawa bukanlah merupakan pulau yang terletak
pada rute terpendek antara Cina dan India. Tetapi dari sumber Cina tersebut dapat
diketahui bahwa pada waktu itu di pulau Jawa merupakan pusat theologi Budha
dengan guru-guru besar yang berasal dari wilayah itu sendiri. Dari sumber sama
yaitu I-Tsing dapat diketahui bahwa di Sumatera terdapat kerajaan kuat serta
berpengaruh bernama Sriwijaya yang pusat pemerintahannya dari Ganton ke India
pada tahun 671 singgah di Sriwijaya untuk belajar Gramatika bahasa Sanskerta
selama enam bulan.

B. Pendidikan pada Zaman Hindu-Budha


1. Organisasi Pendidikan
Lembaga pendidikan pada masa Hindu Budha tidak dapat diketahui secara
pasti. namaun beberapa teori mengemukakan bahwa lembaga pendidikan yang
utama pada waktu itu adalah lingkungan keluarga. Pada abad ke-10 di Jawa Timur
disamping asrama Hindu juga telah berkembnag agama Budha dan telah ada pula
lembaga pendidikan sistem Wihara (bihara). Wihara atau bihara adalah tempat
belajar dan hidup bersama para biksu atau pendeta Budha. Di samping belajar
sendiri, para biksu-biara juga mengajar anak-anak dan orang-orang dewasa. Biara-
biara ini juga menyelenggarakan semacam sekolah. Biara sekolah dapat
digambarkan sebgai madrasah dalam pendidikan agama Islam.
Pupuh Negarakertagama pupuh 32 sampai 35 menunjukkan adanya sebuah
asrama siswaistik yang terletak di tengah-tengah hutan pada lereng bukit yang
pada tahun 1339 dikunjungi oleh raja Hayam Wuruk. Menurut Dr. Pigeaud,
asrama Sagara adalah sebuah mandala yang dahulunya merupakan pusat ligkaran
suci dari sekelompok pertapaan tersebar di seluruh desa. Perkembangan
selanjutnya pengaruh agama budha rupanya juga masuk ke keraton. Dengan
demikian ada lembaga pendidikan keraton yang dilaksankan oleh para pendeta
keraton untuk mendidik ahli waris dan keturunan-keturunan raja, dan ada juga
pendidikan diluar keraton yang biasa diselenggarakan oleh para guru pertapa
(resi).

2. Kualifikasi Guru dan Murid


a. Kualifikasi Guru
Kaum Brahman yaitu kaum ulama menyelenggrakan pendidikan dan
pengajaran. Mereka mempelajari dan mengajarkan ilmu-ilmu Theologi, sastra,
bahasa, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Diantara golongan masyarkat desa pada
masa itu ada dua golongan yang mempunyai kecakapan istimewa, yakni pandai
besi dan dukun. Padai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan duniawi,
sedangkan dukun adalah ahli dalam pengetahuan maknawiayah. orang yang
memiliki kemampuan istimewa tersebut mendapat gelar empu (tuan atau engku).
dua jenis kecakapan itu ternyata menjadi monopoli suatu keluarga, sehingga
hanya keturunan merekalah yang mendapat mewarisi ilmu yang istimewa itu.
Untuk membentuk manusia baru diperlukan adanya guru yang
menyebarluaskan pengetahuan baru berdasarkan agama Hindu. Maka muncullah
lembaga pendidikan guru dengan para empu sebagai siswanya dan Brahmana
sebagai gurunya.
Perkembangan selanjutnya pengaruh agama Budha rupanya juga masuk ke
keraton. Dengan demikian ada lembaga pendidikan keraton yang dilaksankan oleh
para pendeta keraton untuk mendidik ahli waris dan keturunan-keturunan raja, dan
ada juga pendidikan diluar keraton yang biasa diselenggarakan oleh para guru
pertapa (resi). Guru keraton adalah punggawa-keraton yang hanya melayani ahli
waris keraton atau kaum ningrat, jadi bersifat aristokrastis. Sedangkan guru-
pertapa tidak mementingkan asal-usul orang. Setiap orang diterima sebagai
muridnya.
b. Kualifikasi Murid
Klasifikasi murid sebagai berikut:
 Ahli waris keraton atau kaum ningrat. Murid pada golongan ini diajarkan
oleh para Brahmana dan para pendeta yang khusus didatangkan ke
keraton. Mereka diajarkan berbagai ilmu pengetahuan seperti bahasa,
sastra, dan ilmu kemasyrakatan.
 Masyarakat biasa.
Masyarakat biasa adalah masyarakat yang berada diluar keraton. umumnya
mereka adalah petani, peggawai.
 Murid dari luar daerah, yaitu murid yang datang untuk menuntut ilmu dari
berbagai negara dan daerah. mereka umumnya adalah para muasafir
Budha yang belajar salah satunya adalah di Sriwijaya.
3. Cara Pendidikan
Mengenai sistem pendidikan tinggi telah digambarkan pada keadan sekitar
abad ke-4 sampai abad ke-8. Pada abad-abad terakhir menjelang jatuhnya kerajaan
Hindu di Indonesia sistem pendidikan tidak lagi dijalankan secara besar-besaran
seperti sebelumnya tetapi dilakukan oleh ulama guru kepada siswa dalam jumlah
terbatas dalam pedepokan. Pada pedepokan tersebut kepada siswa selain diajarkan
ilmu pengetahuan yang bersifat umum diajarkan pula ilmu-ilmu yag bersifat
spritual religius. Selain itu mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Dengan pendidikan tinggi dipegang oleh kaum ulama. Namun
demikian pendidikan dan pengajaran tidak dilaksanakan secara formal sehingga
seorang siswa yang belum merasa puas akan ajaran yang telah diperoleh, mungkin
saja berusaha mencari dan perpindah-pindah dari guru yang satu ke guru yang
lainnya.
4. Materi Pelajaran
Di dalam Hinduisme dikenal dengan sistem kasta, meskipun di Indonesia
pelaksanaannya tidak setajam di India. Kaum Brahmana yaitu kaum ulama
mengajarkan ilmu-ilmu Theologis, sastra, bahasa, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan.
Ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti dan perhitungan waktu
juga diajarkan. Begitu juga dengan seni bangunan, seni rupa, dan ilmu
pengetahuan lainnya.
Dalam perkembagannya kemudian kebudayaan Hindu mulai bercampur
dengan kebudayaan-kebudayaan dan unsur-unsur Indonesia sehingga melahirkan
ciri-ciri yang unik dan bercorak khas. Sampai jatuhnya kerajaan Hindu terakhir di
Indonesia yaitu Majapahit pada akhir abad ke-15, ilmu pengetahuan berkembang
terus, khsusnya dibidang sastra, bahasa, ilmu pemerintahan, tatanegara, dan
hukum. Kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kaling, Medang, Kediri, Singosari, dan
Majapahit melahirkan empu-empu, pujangga yang meghasilkan karya-karya
bermutu tinggi. Selain karya seni bangunan dan seni pahat dalam kerangka
arsitektur yang menakjubkan, juga dihasilakan penjabaran ilmiah dalam bidang
dogmatik, philosofi, sastra, dan bahasa. Bagi pendidikan kejuruan dan
keterampilan seperti pertanian, pelayaran, perdagangan, kontruksi bangunan, seni
pahat, seni dan ilmu bela diri (termasuk perang), dan sebagainya diselenggarakan
secara turun-temurun melalui jalur kastanya masig-masing.

C. Latihan
1. Bagaimana sistem pendidikan yang diimplementasikan pada masa
perkembangan agama Hindu-Budha? Siapakah yang menjadi guru
pada masa itu?
2. Pelajaran apa sajakah yang diberikan kepada peserta didik?
BAB IV
PENDIDIKAN MASA PERKEMBANGAN ISLAM

Deskripsi singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan masa pengaruh
Islam. Bagian ini merupakan bagian dari bab-bab sebelumnya dan menjadi acuan
untuk mempelajari bab-bab selanjutnya seperti perkembangan pendidikan pada
masa Portugis dan Spanyol.
Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari materi pada bab ini diharapkan mahasiswa dapat
menjelaskan perkembangan pendidikan pada masa pengaruh Islam

A. Kedatangan dan Penyebaran Agama Islam di Indonesia.


Pada abad ke-13, sebagai dampak perkembangan perdagangan internasional
(globalisasi), maka banyak pedagang asing yang meluaskan areal perdagangan ke
Indonesia. Selain saudagar cina terdapat pula kelompok pedagang dari Indonesia
yang berasal dari Sumatera dan Jawa, yang mana saudagar Gujarat telah memeluk
agama Islam.
Pada saat itu pusat kekuasaan ada di daerah pedalaman, sementara daerah
pesisir berkedudukan sebagai vassal atau daerah bawahan. Padahal daerah pesisir,
yang lebih dulu berhubungan dengan pedagang asing dari pada pusat kerajaan di
pedalaman. Oleh karena itu, kedatangan orang asing diterima dengan baik oleh
masyarakat pesisir, hal ini disebabkan anatara lain: Sifat terbuka orang pesisir
menerima unsur-unsur yang baru (dari luar) sehingga terjadi akulturasi
kebudayaan (aspek budaya), dan masyarakat pantai bersifat dinamis dan bersaing
dalam kehidupan ekonomi perdagangan (kehidupan mereka berlayar sambil
berdagang-Aspek Ekonomi). Ditambah lagi motif (aspek) politik dari daerah
pesisir agar terlepas dari induknya di pedalaman yang masih beragama Hindu.
Faktor politik inilah yang melahirkan kerajaan-kerajaan di pesisir (Demak, dll)
yang mampu melumpuhkan kekuasaan Majapahit.
Dengan beralihnya pusat kekuasaan dari pedalaman ke wilayah pantai, maka
penyebaran agama Islam makin berkembang pesat di Nusantara. Menurut Marco
Polo di Aceh Utara (Perlak) terdapat sekelompok penduduk Islam dan banyak
pedagang Islam (India) yang giat menyebarkan agamanya (1292), dan kemudian
muncul kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai (1297).
Singkatnya bahwa penyebaran agama islam datang ke Indonesia melalui
pusat-pusat perdagangan daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi
perdagangan internasional, Malaka. Kemudian menyebar ke Jawa dan lalu ke
Indonesia bagian Timur dan umumnya perpindahan dari agama Hindu/Budha ke
Islam berjalan dengan damai.

B. Sistem Pendidikan Dan Pengajaran


Ada 3 (tiga) macam sistem pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia,
yaitu pendidikan di Langgar, Pendidikan di Pesantren, dan Pendidikan di
Madrasah.
1. Pendidikan di Langgar
Langgar adalah tempat ibadah (sholat) di desa-desa terutama di Jawa yang
dikelola oleh seorang amil, modin atau lebih (sumatera). Pengajaran di langgar
merupakan pengajaran agama permulaan. Mula-mula murid-murid mempelajari
abjad Arab, kemudian mengeja ayat-ayat Quran pertama dengan irama suara
tertentu. Pelajaran diberikan dengan sistim sekepala. Guru menyebutkan sesuatu
dan murid menirunya. Yang dicita-citakan dari pengajaran ini adalah dapat
membaca Quran sampai tamat.
Lama belajar tidak tentu, biasanya sekitar setahun, namun kadang-kadang
hanya diikuti selama beberapa bulan saja. Biasanya pelajaran diberikan pada pagi
dan malam hari dan berlangsung sekitar dua jam lamanya. Yang menjadi guru
disini adalah seseorang yang sudah memiliki pengetahuan agama yang agak
mendalam. Guru pada masa ini dipandang sebagai seorang yang sakti. Sehingga
murid-murid harus tunduk kepada guru. Uang sekolah tidak dipungut bagi
pelajaran agama permulaan itu. Bila seorang murid sudah menamatkan
pelajarannya, dalam arti sudah dapat membaca Quran sampai tuntas, maka
diadakan lah selamatan atau khataman. Sebagai bagian dari lembaga sosial,
langgar dianggap penting artinya. Anak-anak rakyat lambat laun menyadari
menjadi anggota persekutuan besar, yaitu persekutuan umat Islam.
2. Pendidikan di Pondok Pesantren
Pengajaran yang lebih lanjut dan lebih mendalam diberikan di pesantren.
Murid-muridnya dinamakan santri yang pada umumnya terdiri atas anak-anak
yang lebih tua dantelah memiliki pengetahuan dasar yang mereka peroleh di
langgar. Para santri yang biasanya berasal dari berbagai-bagai tempat
dikumpulkan dalam suatu ruangan yang disebut pondok (semacam asrama).
Berdekatan dengan pondok, ada mesjid dan rumah guru. Guru lazim disebut
ajengan atau kiyai. Adakalanya guru menerima sumbangan dari murid-muridnya
berupa uang atau bahan makanan. Sumbangan itu merupakan kerelaan dari murid-
muridnya (santri-santrinya). Guru hidup bersama-sama dengan santri-santrinya.
Santri-sasantri yang tinggal di asrama harus memasak makanan sendiri-sendiri.
Untuk itu mereka membawa bekal dari rumah masing-masing berupa beras, uang
dan alat-alat memasak.
Lama belajar di pesantren tidak tentu. Ada yang setahun, tapi ada juga yang
sampai sepuluh tahun atau lebih. Pelajaran pertama diberikan pada pagi hari,
sesudah itu sembahyang subuh. Sesudah itu para santri melakukan kerja bakti
seperti membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah dan sebagainya.
Sesudah makan siang, semua beristirahat untuk kemudian dimulai lagi dengan
pelajaran dan diselingi dengan menghafal. Kepada murid-murid yang telah
dipandang tingggi tingkatan pelajarannya diberikan pelajaran dari pelbagai kitab
dengan sistim klasikal. Mata pelajaran-mata pelajaran yang penting diberikan
antara lain:
1. Usuluddin (pokok-pokok ajaran kepercayaan)
2. Usul Fiqh (alat penggali hukum dari Quran dan Hadits)
3. Fiqh (cabang dari Usuluddin).
Di daerah Sumatera Barat, tidak ada pemisahan antara langgar dan pesantren.
Sekolah-sekolah agama Islam disana dinamakan: Surau. Di Surau, orang tidak
hanya mempelajari pelajaran agama permulaan, tetapi juga lanjutan. Di Aceh,
sekolah semacam itu disebut rangkang. Melihat organisasi pesantren di pulau
Jawa, Surau dan rangkang di pulau Sumatera yang banyak menunjukan
persamaan dan sistem asrama (sistem guru-kula) di India, ada dugaan kuat bahwa
lembaga-lembaga pendidikan semacam itu sudah ada lama sebelum Islam masuk
ke Indonesia.
3. Pendidikan di Madrasah

C. Latihan

1. Bagaimanakah sistem pendidikan yang diimplementasikan pada masa


perkembangan agama Islam di nusantara?
2. Siapakah yang menjadi guru dalam proses pendidikan pada masa
perkembangan Islam? Mata pelajaran apa sajakah yang diberikan
kepada peserta didik?
3. Mengapa agama Islam begitu cepat menyebar ke berbagai pelosok
nusantara?
BAB V
PENDIDIKAN PADA MASA PORTUGIS DAN SPANYOL
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan pada zaman
pengaruh Portugis dan Spanyol. Bagian ini merupkan bagian dari bab-bab yang
sebelumnya dan akan menadi acuan untuk mempelajari bab-bab selanjutnya.
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
perkembangan pendidikan pada zaman pengaruh Portugis dan Spanyol.

A. Latar Belakang Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol ke Indonesia


Perang Salib memporak-porandakan jalur perdagangan Eropa dan Asia
karena berlangsung di perbatasan 2 benua tersebut. Selain jalur perdagangan,
keadaan ekonomi kerajaan-kerajaan Eropa pun menjadi terpuruk. Kas mereka
menyusut drastis karena besarnya biaya perang. Berselang 2 abad setelah Perang
Salib selesai, kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) jatuh ke tangan imperium
Turki Usmani (Ottoman). Hal ini adalah kabar buruk bagi kerajaan-kerajaan di
Eropa karena kota tersebut menjadi titik penting jalur perdagangan antar-benua
(Eropa dan Asia). Jatuhnya Konstantinopel ke tangan imperium Turki Usmani di
tahun 1453 merupakan faktor penting yang paling utama mendorong pelayaran
bangsa-bangsa Eropa ke negeri-negeri jauh. Sejak Konstantinopel dikuasai oleh
Turki Usmani, bangsa-bangsa Eropa kesulitan mencari akses perdagangan ke
Asia. Sultan Muhammad II melarang pedagang-pedagang dari Eropa masuk ke
Konstantinopel (Istanbul). Padahal, kota itu menjadi pintu masuk ke jalur
perdagangan dengan orang-orang Asia, terutama para penyuplai rempah-rempah.
Karena itulah, bangsa-bangsa Eropa mengerahkan para pelautnya untuk berlayar
mengarungi samudera demi mencari jalur perdagangan baru, sekaligus
menemukan kepulauan sumber rempah-rempah.
Di antara bangsa-bangsa Eropa yang paling aktif merintis pelayaran untuk
menemukan "dunia baru" itu adalah Spanyol dan Portugis. Namun, keduanya
sempat berselisih mengenai jalur pelayaran yang akan ditempuh. Akhirnya, pada 7
Juni 1449 ditandatangani Perjanjian Tordesilas, yang isinya membagi dunia
menjadi dua wilayah kekuasaan dengan garis yang membentang dari Kutub Utara
menuju Kutub Selatan. Berdasar perjanjian Tordesilas, area pelayaran Bangsa
Spanyol melewati jalur barat. Salah satu pelayar termasyur yang dimiliki Spanyol
adalah Christoper Colombus, yang “menemukan” benua Amerika. Adapun
Portugis mendapat jatah area pelayaran melewati jalur timur yang membuat
mereka lebih cepat menemukan kepulauan sumber yang menjadi sumber utama
rempah-rempah, yakni nusantara.

B. Tujuan Kedatangan Bangsa Spanyol ke Indonesia


Para penjelajah dari Bangsa Spanyol pertama kali datang ke Indonesia
(nusantara), tepatnya di Maluku, pada 8 November 1521. Rombongan pertama
penjelajah Spanyol yang tiba di Kepulauan Maluku dipimpin oleh Kapten Joan
Sbastian El Cano. Mengutip modul pembelajaran SMA Sejarah Indonesia (2020)
terbitan Kemendikbud RI, tujuan dari kedatangan Bangsa Spanyol adalah untuk
mewujudkan semangat 3G, yaitu: Gold, yaitu mencari emas dan mencari
kekayaan (dari perdagangan rempah). Glory, yaitu mencari keharuman nama,
kejayaan, dan kekuasaan (wilayah jajahan). Gospel, yaitu tugas suci menyebarkan
agama Katolik. Namun, kedatangan Bangsa Spanyol di Maluku ditentang oleh
Bangsa Portugis yang telah datang terlebih dahulu di kepulauan paling dicari
orang-orang Eropa itu. Portugis menuding Spanyol melanggar Perjanjian
Tordesillas. Alhasil, demi memenangkan persaingan dalam perdagangan rempah,
orang-orang Spanyol mendekati Kesultanan Tidore, rival Kesultanan Ternate
yang sebelumnya menjalin kerja sama dengan Portugis. Buntut dari koalisi-koalisi
ini adalah permusuhan Ternate dan Tidore yang makin memanas, karena telah
dibumbui oleh kepentingan Spanyol dan Portugis di belakangnya. Perang pun tak
terelakkan. Di pertempuran itu, Ternate yang dibantu Bangsa Portugis keluar
sebagai pemenang. Akibat kekalahan ini, sejak tahun 1535, bangsa Spanyol mulai
tersisih dari persaingan memperebutkan dominasi perdagangan rempah-rempah di
Indonesia. Akan tetapi, kekalahan dalam perang ini tak serta-merta menjadi
penyebab utama mundurnya Bangsa Spanyol dari Indonesia. Faktor lain yang
membikin Bangsa Spanyol mundur adalah Perjanjian Saragosa tahun 1535.
Perjanjian Saragosa berisi kesepakatan antara Kerajaan Portugis dan Kerajaan
Spanyol dalam pembagian wilayah operasi perdagangan di timur jauh. Berdasar
perjanjian Saragosa, Bangsa Spanyol berhak beroperasi kembali di Filipina,
sementara Bangsa Portugis di Kepulauan Maluku. Perjanjian Saragosa sekaligus
menandai berakhirnya masa pendudukan Bangsa Spanyol di Indonesia yang
terbilang singkat.

C. Perkembangan Pendidikan pada masa Portugis dan Spanyol


Waktu orang-orang Portugis menyerbu Indonesia, mereka dibarengi oleh
missionaries, yang diberi tugas untuk menyebarkan agama Nasrani di kalangan
penduduk Indonesia. Salah satu tokoh Portugis yang menyebarkan missi itu
adalah Franciscus Xaverius, yang dianggap sebagai peletak batu pertama dari
agama Katholik di Indonesia. Ia berpendapat bahwa untuk memperluas
penyebaran agama Nasrani itu perlu sekali mendirikan sekolah-sekolah. Maka
pada tahun 1536 didirikan sebuah seminarie di Ternate yang merupakan sekolah
agama bagi anak-anak orang terkemuka. Selain pelajaran agama diberikan juga
membaca, menulis dan berhitung. Kemudian di Solor juga didirikan semacam
seminarie yang mempunyai sekitar 50 orang murid. Di sekolah itu juga diajarkan
bahasa latin. Pendidikan yang lebih tinggi diberikan di Goa sebagai pusat
kekuasaan Portugis di Asia. Pemuda-pemuda Indonesia yang cakap dikirimkan ke
sana untuk mendapatkan pendidikan sehingga kelak mereka dijadikan pembantu-
pembantu paderi. Pada tahun 1546 di Ambon sudah ada 7 kampung yang
penduduknya memeluk agama Katholik. Rupanya disana diselenggarakan pula
pengajaran untuk rakyat yang bersifat umum. Keterangan-keterangan lebih lanjut
mengenai hal ini tidak diketahui dengan pasti. Karena sering timbul
pemberontakan-pemberontakan terutama dari Sultan Ternate dan banyak
peperangan yang harus dihadapi dengan orang-orang Spanyol, Inggris dan
Belanda, maka pada akhir abad ke-16 habislah kekuasaan Portugis di Indonesia.
Hal ini berarti habis pula riwayat misi Katholik di daerah Maluku.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan jaman Portugis
tidak bisa lepas dari institusi keagamaan dalam hal ini gereja. Misi pengembangan
agama Khatolik tidak dapat dipungkiri pengaruhnya sangat dominan dalam
pengembangan pendidikan pada masa Portugis. Kenyataan tersebut seperti
diungkapkan oleh Said dan Affan (1987) bahwasannya pendirian sekolah–sekolah
oleh Portugis tidak lain merupakan bentuk dari pola penyebaran agama Katholik.
Sehingga tidak mengherankan jika sekolah guru yang pertama di Indonesia
(Maluku-Ternate) didirikan oleh Gereja Khatolik. Demikian pula lulusan yang
ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi mereka dikirim ke Goa
(India) untuk mengikuti perkuliahan di universitas keagamaan. Jika memang
pendidikan adalah bagian dari misi gereja, maka peranan tokoh dari Ordo Yesuit
bernama Franciscus Xaverius harus di akui sebagai pelopor pendidikan Barat
(Kristen) di Indonesia.

D. Latihan

1. Jelaskan latar belakang kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol ke


nusantara!
2. Apa sajakah usaha-usaha yang dilakukan bangsa Portugis dan Spanyol
untuk mewujudkan tujuan pendidikan di nusantara?
3. Bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan pada masanya?
BAB VI
PENDIDIKAN MASA HINDIA BELANDA

Deskripsi Singkat

Bab ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan pada masa Hindia
Belanda. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab-bab sebelumnya dan menjadi
acuan bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.

Capaian Pembelajaran

Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa Hindia Belanda.

A. Masa “Vereenigde Oost-Indische Compagnie” (VOC)


1. Tujuan dan Landasan Idiil
Pada abad 17-18 di negeri Belanda segala kegiatan yang menyangkut
bidang pendidikan dan pengajaran dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
keagamaan. Pemerintah tidak ikut campur tangan langsung dalam
penyelengaraannya, sehingga Gereja mempunyai kebebasan yang besar dalam
bidang pendidikan. Berbeda dengan di Indonesia pada waktu VOC sama sekali
tidak menghendaki bahwa lembaga keagamaan mempunyai wewenang besar
dalam mengatur masyarakat di daerah-daerah yang mereka kuasai. Kegiatan
Gereja merupakan sebagian dari kegiatan VOC secara menyeluruh dalam rangka
aktivitas komersialnya. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran walaupun masih tetap dilakukan oleh kalangan agama, yang juga
adalah pegawai-pegawai VOC.
Untuk mendapatkan pengetahuan tentang Indonesia dan tenaga-tenaga
orang pribumi untuk membantu melaksanakan tugas VOC maka pemerintah VOC
menjalankan pendidikan bagi orang-orang Belanda maupun orang pribumi. Dasar
dari pendidikan VOC pada waktu itu adalah Agama Nasrani (Protestan) karena
para pengajar pendidikan dijalankan oleh Gereja.
2. Jangkauan Wilayah Pendidikan VOC
VOC mula-mula datang ke Indonesia, mereka menuju langsung ke daerah-
daerah yang menjadi sumber kekayaan bagi pasaran dunia, yaitu kepulauan
Maluku. Baru pada abad ke-17 Raja Ternate menganggap VOC sebagai kawan
dan memperbolehkan mendirikan benteng di Pulau Ambon, setelah orang Portugis
yang sementara itu berpengaruh di wilayah tersebut diusir oleh orang-orang
Belanda, maka VOC berkuasa mutlak dan mulai mengatur perdagangan dan
kehidupan masyarakat. Sejak tahun 1605 VOC meluaskan daerah pengaruhnya
ke arah utara kedudukannya di Pulau Ambon sampai ke wilayah Sulawesi utara
dan Kepulauan Sangir Talaud. Dalam bidang pendidikan VOC selain mengambil
alih bekas lembaga-lembaga pendidikan Portugis juga mendirikan sekolah-
sekolah baru. Perbedaan pola pengajaran yang disampaikan adalah; bangsa
Portugis memberikan pendidikan agama Khatolik Roma sedangkan VOC Belanda
memberikan pendidikan Kristen Protestan. Menurut laporan tahun 1695 mengenai
keadaan sekolah, dan murid diluar pulau Ambon yang terdapat di 8 pulau,
terdapat 34 guru, 29 sekolah dan 1075 murid.
Di pulau Ambon dan sekitarnya pada tahun 1645 terdapat 33 sekolah dan
1300 murid pada tahun 1708 jumlah muridnya meningkat menjadi 3966 jiwa.
Pada abad ke-18 VOC meluaskan jangkauannya wilayah pendidikannya ke arah
selatan sejalan dengan perluasan daerah pengaruhnya ke bekas daerah kekuasaan
orang-orang Portugis dan Spanyol yang telah mulai dengan kegiatan bidang
pendidikan. Daerah pendidikan VOC meluas ke Pulau Timor (1701), Sawu
(1756), Kei (1635, Kepulauan Aru (1710), Pulau-pulau Kisar, Wettar Damar dan
Letti (1700).
Berbeda dengan Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur, di
Sumatera, Jawa dan Sulawesi Selatan, VOC tidak mengadakan kontak langsung
denga penduduk tetapi melalui sultan, raja atau penguasa daerah. Dengan
demikian di wilayah tersebut tidak terdapat sistem pendidikan VOC, kecuali di
tempat kedudukan, di kota pelabuhan, atau benteng-benteng yang dijadikan basis.
3. Sistem dan Jenis Persekolahan
Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh VOC didasarkan dan
dilakukan oleh orang-orang dari kalangan beragama, dengan sendirinya sekolah-
sekolah mempunyai ciri-ciri dan corak agama (Kristen). Jenis-Jenis Persekolahan
yang berlangsung pada masa pemerintahan VOC adalah :
a. Pendidikan Dasar
b. Sekolah Latin
c. Seminari Theologicum
d. Akademi Pelayaran (Academie der Marine)
e. Sekolah Cina
4. Fasilitas Fisik, Personil, dan Faktor-faktor yang Berpengaruh
terhadap Pendidikan.
VOC telah mempersiapkan sarana dan prasarana berupa sarana fisik;
personil dan kurikulum sebagai faktor yang penting dalam pelaksanaan
pendidikan; yang mencakup dalam sarana fisik adalah bangunan sekolah yang
dibangun di daerah-daerah yang menjadi basis VOC, informasi mengenai jumlah
sarana fisik yang dibangun pada masa VOC di Indonesia belum dapat
disampaikan dengan tepat. Sedangkan untuk personil sesuai dengan kebijakan
umum VOC, maka guru-guru untuk sekolah di wilayah kekuasaannya, pada
umumnya merangkap sebagai guru agama (Kristen). Guru-guru ini sebelum
melaksanakan tugasnya harus mempunyai lisensi yang diterbitkan oleh kompeni.
Sedangkan untuk ujiannya diselenggarakan oleh Gereja Reformasi dengan
menunjukkan kepada calon guru tersebut, warga dari gereja tersebut. Kurikulum
untuk setiap jenis pendidikan telah diatur misalnya untuk pendidikan dasar, yang
dibagi menjadi 3 kelas dengan mata pelajaran membaca, menulis, pelajaran
agama, menyanyi dan berhitung. Sekolah Latin yang menjadi mata pelajaran
utama adalah bahasa Belanda dan bahasa Latin, demikian halnya dengan Sekolah
Seminari Tehologicum, Sekolah Pelayaran dan Sekolah Cina.
B. Perkembangan Pendidikan Masa Pemerintahan Hindia Belanda
(Abad 19 -20)
1. Prinsip Pendidikan Abad 19
Pada tahun 1799 VOC bubar sehingga segala sesuatu yang mengatur
pemerintahan dan masyarakat di Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah
Belanda. Kebangkrutan VOC antara lain akibat cara-cara perdagangan tradisional
dan korupsi yang merejalela dikalangan pegawai-pegawai VOC. Secara tidak
langsung yang dilakukan secara tradisional menempatkan penguasa pribumi
mengurusi administrasi pemerintah lokal dan perusahaan perkebunan sebagai
pengawas. Hal ini menyebabkan banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh
penguasa pribumi dan orang-orang Belanda. Bentuk-bentuk korupsi ada
bermacam-macam, misalnya perdagangan pribadi, pejabat VOC yang lebih
memperhatikan perdagangannya sendiri dari pada majikannya (VOC), sedangkan
untuk menjalankan usahanya, mereka menggunakan Fasilitas VOC. Dikatakan
bahwa pada abad ke-18 banyak kapal VOC yang tenggelam karena terlalu banyak
muatan barang-barang pribadi. Selain itu pejabat VOC menerima suap dari
pejabat VOC rendahan dan pejabat Indonesia.
Perpindahan dari VOC ke Pemerintahan Belanda itu bersamaan dengan
munculnya pola pemikiran baru orang-orang Eropa yang mempengaruhi langkah-
langkah dan kebijakan pada umumnya, khususnya tentang daerah-daerah jajahan.
Oleh karena itu, ada beberapa prinsip pendidikan pemerintah Belanda di Hindia
Belanda yaitu:
1. Pemerintah tidak akan memihak kepada salah satu Agama
2. Peserta didik setelah lulus dapat mengabdi pada pemerintah kolonial,
3. Sistem pendidikan atas dasar struktur sosial masyarakat
4. Pada dasarnya pendidikan untuk membentuk golongan/kelas baru (elit)
sosial untuk kepentingan supremasi ekonomi dan politik kolonial.
Dampak dari kebijakan diatas, maka hanya anak-anak “Priyayi” atau
golongan bangsawan dan kaum kaya yang bisa/boleh mengikuti pendidikan
dengan orientasi dan pengatahuan Barat. Hal ini berkaitan dengan kebijakan
pemerintah Belanda yang tidak secara langsung memerintah daerah jajahannya
(indirect rule). Tepatnya melalui kaum bangsawan sehingga hanya anak-anak
mereka yang dapat sekolah dengan harapan kelak dapat melaksanakan “status
quo” hubungan antara Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan kaum
bangsawan dan rakyat biasa. Pembatasan ini masih nampak hingga tahun
1900/1912, misalnya pada OSVIA (Opleidingscholen voor Indische Amtenaren)
atau sekolah Pangre/Pamong Praja Pribumi yang terdiri dari 40 siswa yang
kesemuanya anak kaum bangsawan/aristokrasi. OSVIA adalah
reorganisasi/pengembangan dari sekolah Raja (Hoofdenschool), lama belajar 5
tahun, kemudian tahun 1972 diubah menjadi MOSVIA (Middelbaar
Opleindingschool voor Indische Amtenaren). Sekolah ini dibuka untuk anak-anak
Indonesia yang telah menyelesaikan ELS (Europese Lagere School) atau Sekolah
Rendah Eropa untuk anak-anak Eropa dan anak-anak orang Pribumi kalangan elit.
a. Sistem, Tingkat dan Jenis Persekolahan
1) Sekolah untuk Golongan Penduduk Eropa
a. Sekolah Dasar
b. Sekolah Lanjutan
2) Sekolah Untuk Golongan Bumi Putra
a. Sekolah Dasar Negeri : Sekolah Dasar Kelas Satu (De scholen der
eerste klasse); Sekolah Dasar Kelas Dua (De scholen der tweede
klsse; sekolah dasar kelas satu diperuntukan bagi anak-anak dari
pemuka-pemuka, tokoh-tokoh terkemuka dan orang-orang yang
terhormat Bumiputra; sedangkan sekolah dasar kelas dua untuk anak-
anak rakyat bumi putra.
3) Sekolah Raja (Hoofdenschool)
4) Sekolah lanjutan
5) Sekolah Kejuruan
a. Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool) dan
b. Sekolah Pendudukan Guru (Kweekschool)
6) Sekolah Gadis
a. Sekolah kejuruan dan
b. Sekolah umum untuk gadis
7) Sekolah Dokter
2. Perkembangan Pendidikan Pada Abad 20
a. Zaman Pemerintahan Hindia-Belanda dan Pendudukan
1. Politik Pendidikan Etis
Semenjak permulaan abad ke-20, di seluruh permukaan bumi terdapat
perkembangan dan pembaharuan, khususnya di bidang politik, ekonomi, dan
ideologi. Demikian pula di Indonesia, perusahan-perusahan Eropa di Indonesia
mengalami kemajuan pesat dan berkembang dengan cepat. Dengan demikian
mereka membutuhkan pekerja-pekerja yang terdidik dan ahli. Selain itu penduduk
Bumiputra sendiri mulai bangkit dan menyadari dirinya.
Di kalangan orang Belanda timbul aliran-aliran untuk memberikan kepada
penduduk asli bagian dari keuntungan yang diperoleh orang Eropa (Belanda),
selama mereka menguasai Indonesia. Aliran ini mempunyai pendapat bahwa
kepada orang-orang Bumiputra harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan
Barat yang menjadikan Belanda bangsa yang besar. Aliran atau paham ini dikenal
sebagai politik Etis (Etische Politiek).
Gagasan tersebut dicetuskan semula oleh Van Deventer pada tahun 1899
dengan mottonya: “Hutang Kehormatan (de Eureschuld)”. Politik Etis ini
diarahkan untuk kepentingan penduduk Bumiputra dengan cara memajukan
penduduk asli secapat-cepatnya melalui pendidikan secara Barat. Langkah politik
baru (politik etis) itu antara lain dengan slogan: “Pendidikan, Irigasi, dan emigrasi
(Educatie, Irigatie, Emigratie)”
2. Landasan Idiil
Berkaitan dengan “Arah Etis” (Etsche Koers) yang menjadi landasan dari
langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia-Belanda, maka pemerintah
mendasarkan kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
b. Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi
golongan penduduk Bumiputera. Untuk itu bahasa Belanda diharapkan
dapat menjadi bahasa pengantar disekolah-sekolah.
c. Pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan
dengan kebutuhan mereka.
d. Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan persekolahan di
Hindia Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui 2 jalur tersebut.
Disatu pihak jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan akan
unsur-unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik bermutu tinggi bagi
keperluan industri dan ekonomi, dan dilain pihak terpenuhi kebutuhan
tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.
Landasan Idiil zaman pemerintah Hindia Belanda sesudah tahun 1900:

ETISCHE POLITIEK

TANGGUNG JAWAB MORAL PEMERINTAH (KOLONIAL HINDIA


BELANDA) UNTUK MEMBANTU RAKYAT INDONESIA YANG TELAH
BANYAK MEMBERIKAN PIUTANG KEPADA RAKYAT DAN NEGARA
BELANDA

b. Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan selama periode kolonial tidak pernah dinyatakan
secara tegas. Tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan
tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal Belanda. Dengan demikian
penduduk setempat dididik untuk menjadi buruh-buruh tingkat rendahan
(buruh kasar). Ada juga sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi
tenaga adninistrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang
diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua dan tiga.
Secara singkat tujuan pendidikan ialah untuk memperoleh tenaga-
tenaga kerja murah. Suatu fakta menurut hasil komisi pendidikan Indonesia
Belanda (Hollandsch Onderwijs Commissie) yang dibentuk oleh pemerintah
pada tahun 1928-1929 menunjukan bahwa, 2% dari orang Indonesia yang
mendapat pendidikan Barat berdiri sendiri dan lebih dari 83% menjadi
pekerja-pekerja dan selebihnya menganggur.

Tujuan Pendidikan Zaman Hindia Belanda


Sesudah 1900

SEKOLAH KELAS ELIT

Sebelum 1900 KELAS ELIT


SEKOLAH
TENAGA TERDIDIK
c. Kesempatan Belajar
Pada zaman Kolonial Belanda keadaan Sosial sengaja dipelihara
agar terbagi dalam golongan-golongan. Pembagian golongan sosial
didasarkan kepada keturunan bangsa dan status.
1. Pembagian Penduduk menurut Hukum pada Tahun 1848
a) Golongan Eropa
b) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa
c) Golongan Bumiputra
d) Golongan Timur Asing
Pada Tahun 1920 terdapat perubahan sehingga menjadi :
a) Golongan Eropa
b) Golongan Bumiputra
c) Golongan Timur Asing
2. Pembagian penduduk menurut keturunan atau status sosial
a) Golongan Bangsawan (Aristokrat) dan Pemimpin Adat.
b) Pemimpin Agama (Ulama)
c) Rakyat Biasa
Katergori kedua ini hanya terdapat pada golongan Bumiputra.
Sejalan dengan landasan idiil dan tujuan pendidikan dan pendidikan
pemerintah Hindia Belanda yang berusaha mempertahankan sistem
kolonialnya melalui aristokrasi, maka sistem pendidikan dan
persekolahan pun didasarkan kepada pola penggolongan tersebut diatas.
d. Sistem Pendidikan, Tingkat, dan Jenis Persekolahan
Dua dasawarsa pertama setelah tahun 1900, pendidikan dasar di
Hindia-Belanda mengalami kemajuan luar biasa pesatnya. Demikian
pesatnya seolah-olah pendidikan selama tiga abad sebelumnya tidak
berarti apapun. Pemerintah berusaha menciptakan suatu sistem yang
umum bagi sekian banyak golongan penduduk yang beraneka ragam
coraknya. Secara umum sistem pendidikan, khususnya menurut sistem
persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan
atau lapisan (kelas) sosial yang ada menurut golongan kebangsaan yang
berlaku waktu itu.
1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (westersch
Lager Onderwijs) meliputi:
a. Sekolah rendah Eropa (Europeesche Lagereschool), yaitu sekolah
rendah untuk anak-anak keturunan Eropa, Timur Asing dan
Bumiputra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah 7 tahun,
dan yang pertama didirikan pada tahun 1818.
b. Sekolah Bumiputra (Inlansdscheschool) Sekolah Cina-Belanda
(Holandsch Chineescheschool) yaitu sekolah rendah untuk anak-
anak keturunan Timur Asing, khususnya keturunan Cina. Yang
pertama didirikan pada tahun 1908. Lamanya sekolah 7 tahun.
c. Sekolah Bumiputera-Belanda (Holandsch Inlansdscheschool),
yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk keturunan
Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak dari
golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai-
pegawai negeri. Lamanya bersekolah 7 tahun, dan pertama
didirikan pada tahun 1914.
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar Daerah, meliputi:
a. Sekolah Bumiputera (Inlandsche School) kelas dua (Tweede Klasse).
Sekolah ini disediakan untuk anak-anak dari golongan Bumiputera.
Lamanya bersekolah 5 tahun.
b. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan
Bumiputera, lamanya bersekolah 3 tahun dan pertama kali didirikan
pada tahun 1907.
c. Sekolah Lanjutan (Vervolgschool). Lamanya bersekolah 2 tahun,
merupakan kelanjutan dari sekolah Desa, juga diperuntukan bagi anak-
anak golongan Bumiputera. Yang pertama kali didirikan pada tahun
1914.
d. Sekolah peralihan (Schakelschool), adalah sekolah peralihan dari
sekolah desa (3 tahu) ke sekolah dasar dengan bahasa pengantar
bahasa Belanda. Lama belajarnya 5 tahun dan diperuntukan bagi anak-
anak golongan Bumiputera.
e. Disamping sekolah-sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat
sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool
yang pada tahun 1922 dijadikan HIS (Holandsch Inlanscheschool) dan
sekolah serdadu Ambon (Ambonsche Soldatenscheschool) yang
terdapat di kota-kota garnisun besar seperti Magelang, Jakarta, Padang
dan lain-lain.
f. Selain itu atas usaha swasta seperti Zending dan Missie didirikan pula
sekolah Jawa-Belanda (Holandsch Javaansche School), dan sekolah-
sekolah berbahasa pengantar Belanda di tempat-tempat lainnya di
Indonesia, misalnya Tapanuli, Flores, Timor dan Manado. Untuk anak
dari golongan Bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang
disebut sekolah Raja (Hoofdenschool).

2. Pendidikan Lanjutan: Pendidikan menengah (Middelbaar


Ondewijs)

Sebenarnya terdapat satu jenis sekolah lanjutan yang menurut


sistem persekolahan Belanda digolongkan dalam sekolah Dasar yaitu:
Sekolah Dasar yang diperluas (Meer Uitgebreid Leger Oderwijs : MULO).
Sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa
pengantar Belanda. Lamanya sekolah anatar 3 – 4 tahun. Yang pertama
didirikan pada tahun 1914 yang diperuntukan bagi golongan Bumiputera
dan Timur Asing.

a. Sekolah menengah Umum (Algemeene Middelbareschool) adalah


kelanjutan dari MULO berbahasa Belanda, dan diperuntukkan bagi
golongan Bumiputera dan Timur Asing. Lamanya sekolah 3 Tahun dan
yang pertama-tama didirikan pada tahun 1915. AMS ini terdiri dari 2
Jurusan (Bagian=Afdeling) yaitu:
i) Bagian A – Pengetahuan Kebuadayaan (Cultuurwetenschap)
yang terbagi lagi menjadi : Bagian A1; Sastra Timur (Oostersch-
Letterkunde); A2; Klasik Barat (Wetersch-Klassiek)
ii) Bagian B – Pengaetahuan Alam (Natuurwetenschap)
b. Sekolah Tinggi Warga Negara (Hogere Burgerschool) adalah sekolah
menengah kelanjutan dari ELS (Europeesche Lagere School), yang
disediakan untuk golongan Eropa, Bangsawan golongan Bumiputera
atau tokoh-tokoh terkemuka.
3. Pendidikan Kejuruan (Vakonderwijs)

Sebagai pelaksanaan dari Politik Etis, pemerintah Hindia Belanda


benyak mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan khususnya
pendidikan kejuruan. Jenis-jenis sekolah kejuruan yang ialah :

a. Sekolah Pertukangan (Ambachts Leergang), yaitu sekolah berbahasa


daerah yang menerima lulusan Bumiputera kelas dua (5 tahun) atau
sekolah lanjutan (vervolgschool), lamanya pendidikan 2 tahun.
b. Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool), adalah sekolah pertukangan
berbahasa Belanda yang menerima lulusan HIS, HCS, dan
Schakelschool (sekolah peralihan), lamanya pendidikan 3 tahun.
c. Sekolah Teknik (Technisch Ondewijs), adalah kelanjutan dari
Ambachtsschool, berbahasa pengantar Belanda dan lamanya
pendidikan 3 tahun. Sekolah ini dibagi menjadi dua bagian : Bagian
Sastra/Ekonom pada tahun 1911 terpisahkan menjadi sekolah
tersendiri, menjadi HBS dengan nama “Prins Hendrik School dan
Bagian Teknik, sekolah inilah yang merupakan sekolah kejuruan
teknik menengah atas.
a. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs)
b. Pendidikan Pertanian (Landbouw Oderwijs)
c. Pendidikan Kejuruan Kewanitaan (Meisjes Valkondewijs)
d. Pendidikan Keguruan (Kweekschool) :
a) Normalschool, sekolah guru dengan masa empat tahun dan
menerima lulusan sekolah dasar 5 tahun berbahasa daerah.
b) Kweekschool, sekolah guru 4 tahun dengan menerima lulusan
sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda
c) Hollandsch Inlandsche Kweekschool, sekolah guru 6 Tahun
berbahasa pengantar Belanda dengan tujuan mengahasilkan
guru-guru HIS/HCS.

4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)


Baru setelah menginjak dasawarsa kedua di abad ke-20 dikalangan
penganjur politik etis terdapat gagasan mengenai pendidikan tinggi
bagi golongan Bumiputera. Pada tahu 1910 didirikan perkumpulan
Universitas Indonesia (Indische Universiteits Vereeniging) yang
bertujuan untuk mendirikan pendidikan tinggi baik melalui
pemerintah maupun swasta.
1) Pendidikan Tinggi Kedokteran
2) Pendidikan Tinggi Hukum
3) Pendidikan Tinggi Teknik
BAB VII

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA PENDUDUKAN


JEPANG

Deskripsi Singkat:

Bab ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan pada masa


pendudukan Jepang. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab-bab sebelumnya
dan menjadi acuan bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.

Capaian Pembelajaran:

Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: Mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa pendudukan Jepang

A. Landasan Idiil

Pada tahun 1940 rencana untuk mendirikan “Kemakmuran Bersama Timur


Raya” telah dipublikasikan. Menurut rencana Jepang menjadi pusat suatu
lingkungan pengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Dataran Cina, Kepulauan
Philippina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Indocina dan Asia (Rusia). Konkritnya
landasan idiil pendidikan pada jaman pendudukan Jepang yang disebutkan “Hikko
Ichu: adalah mengajak bangsa Indonesia bekerja sama dengan bangsa Jemapang
dalam rangka mencapai “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” oleh karena
itu setiap pelajar tiap hari harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang
dan membentuk Indonesia baru dalam rangka “Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya”. Kenyataannya bangsa Indonesia menjadi miskin dan menderita demi untuk
kepentingan perang Jepang.

Kebijakan pemerintahan militer Jepang terhadap bangsa Indonesia memiliki


dua prioritas yaitu:

1. Kebijakan memobilisasi rakyat untuk mendukung kepentingan Jepang


untuk memperoleh kemenangan dalam perang melawan Sekutu. Untuk
melenyapkan pengaruh Barat, Jepang melarang penggunaan bahasa
Belanda dan Inggris, dan memperkenalkan penggunaan bahasa Jepang.
Akibat pelarangan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris, kegiatan
pendidikan tinggi terhenti selama masa pendudukan Jepang.
2. Jepang melancarkan propaganda anti Belanda, dan meyakinkan bangsa
Indonesia bahwa mereka adalah saudara dalam berjuang untuk
membangun Asia Baru (ATR). Patung dan gambar orang Barat
diturunkan, dan nama jalan diubah dengan nama Indonesia. Jepang
menggunakan orang-orang Indonesia untuk melancarkan propaganda
tersebut, terutama para guru sekolah, seniman, dan sastrawan.
Propaganda anti-Belanda di kalangan masyarakat Indonesia memberikan
sumbangan penting terhadap penanaman kesadaran kebangsaan
dikalangan rakyat luas. Bahasa Indonesia juga naik status sebagai bahasa
nasional kerena saat itu hanya sedikit yang mampu mengerti bahasa
Jepang.

B. Dampak Perang masa Pendudukan Jepang

Akibat perang selama pendudukan Jepang, keadaan ekonomi Indonesia


mengalami kemerosotan. Demikian juga pendidikan disekolah mengalami
kemunduran diantaranya diakibatkan dari banyaknya guru sekolah diangkat
menjadi pegawai pemerintah sehingga tenaga guru disekolah yang berkurang.
Pengangkatan guru-guru ke jabatan administratif ini sejalan dengan kebutuhan
reformasi administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh Jepang, yaitu dari
sistem administrasi-administrasi pemerintahan yang tunggal dari pemerintahan
militer Jepang.

Kegiatan pendidikan sekolah juga diarahkan untuk pentingan mobilisasi


massa untuk mendukung pertahanan pemerintahan militer Jepang. Sebagai contoh
anak-anak muda umur sekolah yang banyak dimobilisasi ke dalam organisasi-
organisasi pemuda semi-militer seperti : Seinendan, Keibodan, dan Heiho.
Organisasi yang lain adala PUTERA. Sudah barang tentu hal tersebut
mengakibatkan kegiatan sekolah mengalami hambatan. Sekalipun demikian, pada
tahun 1943 Jepang membuka sekolah pendidikan untuk pegawai dan guru di
Jakarta.
C. Perubahan Sosial masa pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang terjadi perubahan masyarakat cukup drastis


pada masyarakat Indonesia. Yang terutama adalah : Runtuhnya struktur
masyarakat kolonial. Golongan ras kulit putih yang menempati strata atas
masyarakat kolonial dan mendominasi politik, ekonomi, dan sosial dalam
masyarakat. Indonesia berganti penjajah baru, namun sekaligus membawa
perubahan yang mendasar.

Pada prinsipnya Jepang menghendaki dukungan penuh dari rakyat Indonesia


untuk memenagkan perang terhadap sekutu. Untuk mencapai hal itu diperlukan
pendekatan politis, ekonomis, dan sosial budaya dalam waktu sesingkat-
singkatnya. Maka tokoh-tokoh pergerakan Indonesia, tokoh-tokoh Islam di
pedesaan serta birokrat priyayi semua harus dirangkul. Sekaligus juga diperlukan
mobbilisasi seluruh rakyat untuk persiapan perang Jepang. Dibidang ekonomi
diadakan pengumpulan bahan makanan serta material lain secara paksa dari
rakyat. Dibidang sosial budaya perlu ditanamkan budaya Jepang, dan anti Barat.
Untuk itu harus melalui propaganda dan terutama pendidikan.

D. Politik Pendidikan masa pendudukan Jepang

Guna mencapai seluruh tujuan pendudukan Jepang tersebut, politik


pendidikan sama sekali dirombak, dari pendidikan elitis, dualistik dan
diskriminatif, menjadi pendidikan egaliter dan berdisplin militer. Seluruh
golongan dan lapisan masyarakat boleh mamasuki sekolah rakyat (kokumin
gakko) dengan lama pendidikan 6 tahun, dilanjutkan dengan sekolah menengah
pertama (shoto Chu Gakko) dan selanjutnya sekolah menengah tinggi (Koto Chu
Gakko). Lama pendidikan 3 tahun untuk SMP dan tiga tahun untuk SMT. Selain
itu juga ada sekolah guru laki-laki dan sekolah guru perempuan, semuanya 3
tahun setelah tamat sekolah rakyat dan beberapa sekolah kejuruan. Kurikulum
tentu saja diganti dengan memasukan bahasa Jepang, pelajaran moral dan
kemiliteran.
Satu hal yang sangat mencolok adalah sifat kerakyatan dari pendidikan
Jepang yaitu bahwa sekolah dasar rakyat banyak (terutama rakayt desa) sangat
digalakan. Uang sekolah sangat murah dan ada sekolah-sekolah yang tidak
memungut bayaran sama sekali. Akibatnya jumlah murid meningkat, murud
sekolah rakyat meningkat 167%.

Secara singkat pedidikan masa pendudukan Jepang telah ikut berperan


dalam proses ka arah masyarakat egaliter, menghapus diskriminasi dan sifat
dualistik. Mobilitas sosial terjadi baik vertikal, yaitu perekrutan orang-orang
Indonesia untuk mengisi lowongan jabatan yang ditinggalkan orang Belanda,
pengangkatan para kyai kedalam jajaran kepemimpinan nasional, pemerintah dan
kemiliteran, serta orang-orang desa diberi kesempatan menjadi heiho, peta, dan
keibodan. Juga terjadi mobilitas horisontal, dimana banyak dilakukan berbagai
pelatihan bagi para pemuda di berbagai tempat, palatihan tentara PETA, dan
penempatan mereka diberbagai tangsi. Namun mobilitas ini bukan karean faktor
pendidikan melainkan karena faktor politik. Pluralitas masyarakat tidak membawa
pergeseran atau pertentangan, karena semua golongan sekolah disamaratakan, dan
dimobilisasi untuk kepentingan perang Jepang.

Kesimpulan: Pendidikan pada masa kedudukan Jepang dikaitkan dengan


usaha memenagkan perang ART (Latihan Fisik, kemiliteran, dan indoktrinasi);
sokalah yang didasarkan pada ras dan status sosial dihapus.
BAB VIII
PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN

Deskripsi Singkat:

Bab ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan pada masa


kemerdekaan. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab-bab sebelumnya dan
menjadi acuan bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.

Capaian Pembelajaran:

Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: Mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa pendudukan kemerdekaan.

A. Latar Belakang

Pada awal kemerdekaan tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945


pembelajaran di sekolah-sekolah lebih ditekankan pada semangat nasionalisme
dan membela tanah air (Fadli & Kumalasari, 2019). Proklamasi merupakan
peristiwa yang luar biasa dimana hal ini membuat bangsa ini tidak dijajah lagi dan
menimbulkan hidup baru dibidang apa saja salah satunya pada bidang pendidikan,
perlu mencoba untuk mengubah sistem pendidikan yang dimana sesuai dengan
suasana baru menurut Ahmadi (Fadli & Kumalasari, 2019). Oleh karena itu ada
usaha perencanaan pada pendidikan serta pengajaran yang sudah dipersiapkan di
hari-hari terakhir penjajahan Jepang menjadikan modal dalam pedoman pertama
dilapangan pendidikan. Pendidikan masa awal kemerdekaan berlandaskan
Pancasila yang merupakan falsafah negara menurut Somarsono Moestoko (Fadli
& Kumalasari, 2019). Pada sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak di
Proklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidaklah
mudah dilalui untuk sampai sekarang. Oleh karena itu, sejarah pendidikan
Indonesia di era Orde Lama dapat diantaranya periode 1945-1950 dan Periode
1950-1966. Sekarang akan dibahas tentang sistem pendidikan pada periode
tersebut.
B. Pendidikan Masa Kemerdekaan (1945-1950)

Mohammad Yamin sebagai menteri pendidikan, pengajaran, dan


kebudayaan, pada masa itu memberikan penjelasan diposisi pendidikan sebagai
landasa pembangunan masyarakat indonesia secara nasionalisme, yang artinya
pendidikan itu harus mengangkat tata nilai sosial yang dijadikan identitas bangsa
dengan corak tradisi,agama,budaya,bahasa,ras, dan sukunya yang beragam untuk
menggantikan sitem pendidikan pada warisan kolonial. Secara garis besar,
pendidikan nasional ialah bentuk reaksi pada sistem pendidikan yang dimana
bersifat deskriptif serta elitis. Karena itu tujuan pendidikan nasional adalah
membentuk masyarakat yang demokratis. (Syaharuddin & Susanto, 2019).

Pada zaman kemerdekaan kondisi sosial politik sangatlah tidak stabil.


Maka dari itu hal tersebut sangat mempengaruhi pola dan dinamika pendidikan
nasional saat itu, dan telah terjadi beberapa kali perubahan arah dan orientasi
pendidikan nasional. Pada Tanggal 1 maret 1946, tujuan pendidikan berorientasi
untuk usaha dalam menanamkan jiwa patriotisme dan lebih jauh yang
dimaksudkan untuk menghasilkan patriot-patriot bangsa yang rela berkorban demi
bangsa dan negaranya. 139 Undang- undang No. 4 tahun 1950 pasal 3, tujuan
pendidikan nasional berubah yaitu dengan adanya perumusan tujuan pendidikan
dan pengajaran. (Syaharuddin & Susanto, 2019). Di tanggal 25 November 1945,
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mempunyai asas-asas perjuangan
sebagai berikut: 1). mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia,
2). mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar
kerakyatan, 3). membela hak serta nasib para buruh pada umumnya dan juga guru
pada khususnya.

Dengan dicantumkan asas pertama, yaitu “Mempertahankan serta


menyempurnakan Republik Indonesia, PGRI memiliki tujuan pertama-tama untuk
lebih memprioritaskan perjuangan dalam mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan dibanding kepentingan – kepentingan lain sehingga dengan
demikian partisipasi guru dalam melaksanakan pengabdian dan perjuangan
kemerdekaan tidak sedikit”. Bisa dimenyimpulkan bahwa usaha-usaha yang
pernah dilakukan pemerintah berkaitan dengan pendidikan pada tahun 1945-1950
adalah seputar bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja,serta biaya.
Berkaitan dengan keperluan bangunan sekolah, tindakan utama adalah merenovasi
bangunan rusak atau hancur lebur akibat revolusi fisik atau bangunan tersebut
dipakai oleh pemerintah. Langkah Yang dibuat oleh pemerintah adalah 1).
Mendirikan gedung-gedung untuk sekolah baru tetapi hal itu tidak mencukupi
kebutuhan. 2). Menggunakan perumahan-perumahan rakyat/swasta yang memadai
untuk dijadikan bangunan sekolah, dan 3). Menyelenggarakan proses
mengajar sebanyak dua kali sehari yang berarti bahwa dalam satu bangunan
sekolah dipergunakan oleh dua sekolah.

Selain usaha yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi usaha


kekurangan bangunan sekolah tersebut, juga tidak kekurangan partisipasi
masyarakat yang bergotong royong membangun bangunan sekolah dengan
peralatannya dan yang kemudian disumbangkan kepada pemerintah. Hal ini juga
merupakan suatu cara yang bertujuan hendak membentuk kelas masyarakat dan
dengan harapan pelajaran di sekolah akan disesuaikan dengan keadaan masyarakat
pada waktu itu. Pendidikan di Indonesia antara tahun 1945- 1950 merupakan
pendidikan masa perjuangan. Ciri – ciri utama pada masa periode ini ialah
terdapat semacam dualisme dalam pendidikan. Ketika salah satu pihak pendidikan
dan pengajaran berlangsung dibeberapa daerah negara federal yang dikuasai atau
dalam pengaruh Belanda, sedangkan yang dipihak lain langsung dikuasai oleh
Pemerintah Republik Indonesia.

1. Sistem persekolahan dan Kurikulum Pendidikan di era awal


kemerdekaan

Sistem susunan disekolah setelah Indonesia merdeka berdasarkan tingkat


pendidikan seperti di masa Jepang tetap diteruskan, sedangkan pelajaran tetap
sama dan bahasa pengantar yang telah ditetapkan ialah bahasa Indonesia. Buku-
buku pelajaran yang digunakan adalah merupakan buku terjemahan dari bahasa
Belanda ke dalam bahasa Indonesia yang sudah dibuat pada masa Jepang.
Dibawah ini merupakan susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak
tahun 1945-1950 yaitu:

a. Pendidikan Rendah

Dimulai dari pendidikan yang rendah di Indonesia dimulai pada awal


kemerdekaan disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) masa pendidikannya awalnya
3 tahun menjadi 6 tahun. Yang dimana kurikulum SR diatur sesuai dengan
keputusan Menteri PKK pada tanggal 19 November 1946 No. 1153/Bhg A yang
menetapkan daftar pelajaran sekolah rakyat dimana penekanannya di pelajaran
bahasa dan berhitung. Hal ini dapat dilihat dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam
digunakan untuk bahasa Indonesia, 4 jam digunakan untuk bahasa daerah dan 17
jam digunakan untuk berhitung untuk kelas IV, V dan VI.

b. Pendidikan Guru

Pada periode diantara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru
yaitu: Sekolah Guru B (SGB), masa pendidikan 4 tahun serta tujuan pendidikan
guru adalah untuk sekolah rakyat. Dan murid yang diterima adalah tamatan
sekolah rakyat yang lulus dalam ujian akan masuk kesekolah lanjutan. Pelajaran
yang diberikan kepada murid bersifat umum dimulai dari kelas I,II,III sedangkan
pendidikan keguruan baru diberikan di kelas IV. Sekolah Guru C (SGC),
dikarenakan kebutuhan guru disekolah rakyat sangat mendesak maka perlu
melakukan pembukaan sekolah guru yang dalam waktu singkat. Dan didirikan
sekolah guru selama dua tahun setelah sekolah rakyat dan lebih dikenal dengan
sebutan SGC tetapi dirasa kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan
diantaranya dijadikan SGB. Sekolah guru A (SGA), karena ada yang beranggapan
bahwa pendidikan guru 4 selama tahun belum menjamin pengetahuan yang cukup
untuk tingkat pendidikan guru, maka dari itu dibukalah SGA yang memberi
pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Mata pelajaran yang didapat di SGA sama
dengan mata pelajaran yang didapat di SGB hanya penjabarannya lebih luas dan
mendalam.

c. Pendidikan Umum
Terdapat dua jenis pendidikan Umum yaitu Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan sekolah Menengah Tinggi (SMT). 573 Pendidikan Indonesia di Era
Awal Kemerdekaan Sampai Orde Lama Sekolah Menengah Pertama (SMP),
sama seperti di zaman jepang, juga SMP menggunakan sistem pelajaran yang
sama, tapi setelah dikeluarnya surat keputusan oleh menteri PPK, maka dibuatlah
pembagian A dan B dimulai dari kelas II sehingga di dapat kelas IIA,IIB, IIIA dan
IIIB. Pada bagian A diberikan setidaknya sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi
lebih banyak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi dan B
sebaliknya. Sekolah Menengah Tinggi (SMT), SMT merupakan pendidikan
dengan masa tiga tahun setelah SMP dan sesudah lulus dapat melanjutkan ke
perguruan tinggi. Berikut merupakan rencana pembelajaran yang berlaku yaitu:
(1) isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa indonesia adalah bahasa
pengantar,(3) mutu yang tingkatannya sama dengan SMT menjelang
kemerdekaan.

d. Pedidikan Kejuruan

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan ekonomi dan pendidikan


kewanitaan: Pendidikan ekonomi, masa pendidikannya tiga tahun sesudah
Sekolah Rakyat. Yang dimana sekolah dagang ini memiliki tujuan agar bisa
memenuhi kebutuhan tenaga administrasi. Pendidikan Kewanitaan, sesudah
kemerdekaan pemerintah akhirnya membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP)
dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) masa pelajara yang di
tempuh empat tahun setelah SMP.

e. Pendidikan Teknik

Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena


disamping pelajaranya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut
kadang-kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Adapun sekolah-sekolah
teknik yang ada pada masa itu ialah: Yang pertama Kursus Kerajinan Negeri
(KKN), bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai
dengan pengetahuan teori. Kedua Sekolah Teknik (ST), bertujuan mendidik
tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Ketiga Sekolah Teknik menengah (STM),
bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah.
Keempat Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik, bertujuan untuk
memenuhi keperluan guru-guru sekolah teknik. Kelima Ijazah A Teknik
(KGSTP), guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan:
bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak. Keenam Ijazah B I Teknik (KGST),
untuk mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan
bangunan sipil, bangunan gedung-gedung dan mesin. Dan yang terakhir Ijazah B
II Teknik, guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan
bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.

f. Pendidikan Tinggi

Merupakan sekolah program lanjutan. Setelah bersekolah di pendidikan


kejuruan atau teknik bisa memperdalam ilmu pada bidang masing-masing, dan
bisa menyalurkan ilmu tersebut.

g. Pendidikan Tinggi Republik

Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami


berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapat dipisahkan dari perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan salah satu kekuatan dari seluruh kekuatan
rakyat Indonesia. Ketika awal kemerdekaan di Jakarta pada waktu itu merupakan
daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai
kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan November 1946 dibuka pula
Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua
lembaga pendidikan tinggi terakhir ini ditutup oleh Belanda sehingga sudah tidak
ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu
pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda.

h. Pendidikan Berbasis Agama

Penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia awalnya ialah madrasah


dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat biasa
yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Lalu
untuk mengembangkan pendidikan agama Islam di sekolah rakyat mulai diatur
secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu pendidikan
agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman
Jepang, berjalan sendirisendiri di masing-masing daerah. Pada bulan Desember
1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan mulai
kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI.

e. Sistem Pendidikan Masa Orde Lama (1950-1966)

Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud setalah kemerdekaan,di


bawah kekuasaan Soekarno yang dimana hal ini memberikan ruang bebas
terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme ini menjadi
petunjuk dasar bagaimana pendidikan dibentuk dan dijalankan demi
pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Dan secara
kuantitatif pendidikan di Indonesia mengalami perubahan. Sesudah KMB
tepatnya pada 1949 terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam RIS
ini menyusun pendidikan dan pengajaran. Pada UUD RIS diatur juga tentang
pendidikan nasional. Kebijakan yang dimiliki pendidikan nasional pada masa ini
dimulai pada pasal 30 UUDS 1950 RI,yaitu 1). Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran, 2). Memilih pengajaran yang akan diikuti adalah bebas, 3).
Mengajar adalah bebas, dan tidak berkurangnya pengawasan penguasa yang
dilakukan terhadap itu menurut peraturan UU menurut Rifa’i ( dalam Fadli &
Kumalasari, 2019).

Menurut keputusan Presiden Nomor 145 tahun 1965 dalam melakukan


perumusan bertujuan agar pendidikan nasional Indonesia sesuai dengan Manipol-
Usdek, yaitu ”Tujuan pendidikan nasional, baik yang dilakukan dari pihak
pemerintah maupun dari pihak swasta, serta dari pendidikan prasekolah hingga
pendidikan tinggi agar menciptakan warga negara sosialis Indonesia yang susila
dan bertanggung jawab atas diselenggarakannya masyarakat sosialis Indonesia,
adil dan makmur dari spiritual maupun material dan berjiwa Pancasila”. Posisi
siswa sebagai subjek dalam kurikulum orde lama.

f. Kurikulum di era Orde Lama terbagi manjadi 3 kurikulum yaitu:


1. Kurikulum Tahun 1945-1968

Ini adalah kurikulum pertama yang digunakan pada masa kemerdekaan


dan istilah dalam bahasa Belanda yaitu “leer plan” artinya rencana pelajaran. Pada
arah pendidikan ini lebih bersifat politis, dari penyesuaian pendidikan Belanda
pada kepentingan nasional. Sedangkan, pancasila ditetapkan sebagai dasar
pendidikan. Kurikulum yang dijalankan saat itu diingat sebagai julukan “Rencana
Pelajaran 1947”, yang baru dilakukan di tahun 1950. Pendidikan watak, kesadaran
bernegara dan bermasyarakat,merupakan hal yang diutamakan pada kurikulum
ini.

2. Rencana Pelajaran Terurai 1952

Pada kurikulum ini merangkum setiap mata pelajaran yang dijuluki


“Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Pada kurikulum ini siswa berperan sebagai
objek dikarena guru menjadi subjek utama dalam memberikan ilmu pengetahuan.
Serta guru yang mengatur apa saja yang akan didapat siswa di kelas. Dan guru
juga yang keberhasilan siswa pada sistem pendidikan.

3. Kurikulum 1964

Pada era transisi yang begitu singkat dari RIS menjadi RI membuat
pemerintah melakukan pendidikan dan pengajaran menyeluruh yang berlaku
untuk seluruh Indonesia. Pemerintah RI telah mulai dilaksanakan sistem
pendidikan yang direncang dan berlaku secara nasional dengan semua kualitas
yang berbatas. Pada piagam ini ada hubungan khusus dengan pengurus
pendidikan. Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI
mengeluarkan “Pengumuman Bersama yaitu di tanggal 30 Juni 1950 dengan
tujuan untuk sementara tahun ajaran 1950/1951 sistem belajar mengajar yang
berlaku di seluruh Indonesia hingga teknik itu diperiksa kembali. Berikut isi
pengumuman sementaranya yaitu:

g. Susunan Sekolah-Sekolah Negeri

Sekolah-Sekolah Partikelir terdapat beberapa susunan yaitu: Pertama


pemerintah mengenal warga negara dan orang asing. Kedua bagi semua warga
negara melaksanakan pendidikan sekolah negeri berdasarkan UU dengan
mencermati sewajarnya kepentingan khusus mereka yaitu yang mengenal bahasa
rumah. Ketiga bagi warga asing tidak dibangun sekolah negeri, tapi diberi peluang
untuk bersekolah sesuai kebutuhannya. Keempat kemungkinan sekolah asing
bangsa belanda untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah berdasarkan syarat
yaitu:“ Selama 2 tahun setelah 27-12-1949 paling tidak kepada Sekolah Rendah
diberikan bantuan yaitu tenaga guru yang banyak. Kelima sekolah-sekolah
partikelir yang mengikuti rencana pelajaran pemerintah mendapatkan subsidi
berdasarkan peraturan negeri. Kelima semua sekolah partikelir harus
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajarannya. Dan terakhir
pemerintah mengawasi semua sekolah partikelir.

h. Organisasi dan Administrasi Pendidikan

Pemerintah meberikan tugas kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran


dan Kebudayaan (PP dan K) sebagai organisasi penyelenggara administrasi
pendidikan dan pengajaran di seluruh tanah air. Berikut tugas utama dari
kementerian PP dan K adalah : Pertama mengadakan pendidikan dan pengajaran
di sekolah dari tingkat yang rendah (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar) hingga
pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi). Mengenai pendidikan taman kanak-kanak,
kementerian memberikan bantuan terbatas pada alat-alat pelajaran dan tenaga
pengajar. Sedangkan langsung tanggung jawab pemerintah. Kedua mengeadakan
pendidikan dan pengajaran bagi orang-orang dewasa diluar sekolah. Dan ketiga
memelihara serta mengembangkan kebudayaan Indonesia sebagai dasar
pendidikan di dalam maupun luar sekolah.

i. Perubahan Sekolah-Sekolah

Setelah RIS kemabli menjadi kesatuan RI, pada tanggal 25 Agustus 1950
tepatnya di Yogyakarta kementerian PP dan K mengeluarkan keputusan tentang
perubahan sekolah yang dilakukan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran
1949/1950. Sekolah dibagi menjadi enam kelompok: model-model sekoah yang
berasal pada era sebelum kembali kenegara kesatuan di bekas daerah-daerah
kependudukan Belanda diubah dan disesuaikan dengan model pendidikan dan
pengajaran nasional. Beberapa ketentuannya adalah sebagai berikut:

1. Sekolah Rakyat Negeri

Pertama, semua Sekolah Rakyat Negeri harus jadi sekolah yang luar biasa
dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa indonesia. Kedua, kelas pemulihan
dibuka untuk murid-murid Sekolah Rakyat yang awalnya meenggunakan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Ketiga, kelas pemulihan boleh menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dengan syarat bahwa secepat mungkin
harus diperbaiki ke bahasa Indonesia lagi. Dan keempat, Pada kota-kota besar
kelas-kelas pemulihan menjadi sekolah yang berdiri sendiri.

2. Sekolah rakyat Partikelir

Bersubsidi: Pertama, bahasa pengantar bahasa Indonesia. Kedua, harus


menggunakan model pelajaran Sekolah Rakyat Negeri dan diperboleh menembah
pelajaran lain asalkan mendapat persetujuan kemeterian PP dan K. Tak
bersubsidi: Pertama, bebas ingin menggunakan bahasa pengantar apa saja. Kedua
bahasa Indonesia tetap mata pelajaran wajib. Ketiga, pemerintah memiliki hak
pengawas. Istimewa: Pertama, bahasa pengantar yang digunakan yaitu bahasa
Belanda. Kedua ,diperuntukkan anak-anak warga negara Belanda yang bekerja di
pemerintah Indonesia. Ketiga, dari jumlah murid pemerintah dapat menentukan
tunjangan murid. Keempat, diperbolehkan menerima anak-anak dari warga negara
asing.

3. Pendidikan Islam

Pendidikan dasar Madrasah Ibtidayah enam tahun yang berupa bentuk


formal dari lembaga pendidikan dasar yang diatur oleh Departemen Agama.
Madrasah Tsanawiyah dibentuk pada tahun 1959 selama tiga tahun, dan di tahun
1966 dibuka pendidikan khusus perempuan yang memberikan model pendidikan
Muallimat pada jenjang pendidikan selama enam tahun. Departemen agama mulai
melakukan rencana untuk memasukkan mata pelajaran umum di Madrasah yang
dimulai pada tahun 1953. Hal ini ditandai dengan dibukannya Madrasah
Menengah Pertaam (MPP) di tahun 1956, dan disusul Madrasah Atas (MMA) di
tahun 1959. Hal ini berbeda dengan Madrasah sebelumnya yaitu Madrasah
Ibtidayah dan Madrasah Tsanawiyah karena struktur kurikulum MMP dan MMA
ini 60% adalah pelajaran agama dan 40% adalah pelajaran umum.

Berbeda dengan Nahdalatul Wathan (NW) Lombok memberikan sistem


pendidikan dalam tiga tingkat : pertama, tingkat Iljamiyah, yaitu tingkat
pendahuluan. Yang dimana tingkat ini diberikan untuk anak-anak. Masa
belajarnya adalah setahun.Yang kedua, tingkat Tahdliriyah, di tingkat ini ialah
lanjutan dari Iljamiyah. Yang dimana mereka telah belajar diIljamiyah atau
mereka telah lulus dari sekolah formal setingkat SD. Masa belajar sekolah ini
ialah 3 tahun. Ketiga, tingkat Ibtida’yyah,mereka berada disini merupakan murid
yang lulus pada tingkat sebelumnya, Masa pendidikannya 4 tahun. Ada juga
Madrasah Muballighin dan Mubalilighat yang mulai dibuka pada tahun
1955/1956, sekolah ini disediakan hanya untuk mengasah para calon dai. Bukan
hanya itu saja, masa belajar madrasah mualimin dan muallimat yang awalnya
hanya empat tahun lalu ditingkatkan menjadi enam tahun.
BAB IX

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MASA ORDE BARU

A. Latar Belakang

Pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh jenderal Soeharto berlangsung


dari tahun 1966 hingga bulan Mei 1998 memperlihatkan keterlibatan tentara
(Angkatan Darat) dalam praktek politik dan pemerintahan di Indonesia
(Fatgehipon, 2010:79-95). Pengaruh militerisme yang kental dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat menunjukan bahwa rezim orde baru merupakan
suatu rezim pemerintahan yang otoriter sepanjang sejarah pemerintahan di
Indonesia. Di samping itu, penerapan sistem ideologi sentralistik turut
memberikan pengaruh besar dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan
sehingga semua kebijakan pendidikan dilaksanakan dan di kontrol dari pusat.
Sejalan dengan itu, maka pancasila dan UUD 1945 merupakan dua asas yang
paling dianut untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Menurut Tilaar, (dalam Mukodi 2016: 144) bahwa orde baru menandakan
lahirnya suatu orde pembangunan yang ingin membawa bangsa dan masyarakat
Indonesia menuju suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila
dan UUD 1945 secara konsekwen.Target minimal pembangunan pendidikan
zaman orde baru adalah terbentuknya pengetahuan dan kemampuan dasar seperti
membaca, menulis, berhitung dan penggunaan bahasa Indonesia (Mohammad Ali
dalam Sugiyono et al, 2017: 110). Akan tetapi, peran strategis pendidikan cukup
disadari oleh pemerintah orde baru (Soeharto) sehingga pendidikan tidak
sepenuhnya dijalankan dengan tujuan murni untuk mencerdaskan bangsa.
Penyelenggaraan pendidikan yang digalakkan lebih berorientasi untuk
mendukung sektor ekonomi yang menjadi fokus utama pembangunan kala itu
(Sugiyono et al, 2017: 110). Sejak saat itu pendidikan digunakan sebagai
kendaraan politik bagi pemerintah Soeharto untuk melakukan indoktrinasi
terhadap rakyat Indonesia dalam melanggengkan kekuasaannya (Tati, 2015:90).
Hal senada di jelaskan pula oleh Sardiman dan Yuliandri (2016:10), bahwa
pendidikan selalu berpaut pada politik kepemimpinan (leadership) yang berkuasa.
Dengan demikian, peletakkan dasar-dasar pendidikan oleh suatu rezim
pemerintahan pada hakikatnya berpangkal pada perpolitikan suatu bangsa.
Demikian juga arah dan tujuan pendidikan nasional di Indonesia selalu dinamis
dan adaptif sesuai dengan kepentingan penguasa.

B. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan pada masa orde baru lebih diarahkan pada


penyeragaman. Tilaar dalam Tati (2015:91) menjelaskan bahwa pendidikan
dimasa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman dalam berpikir dan
bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial
masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen.
Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan tidak diarahkan kepada
peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas.

Pada masa orde baru, penataran P4 (pedoman, penghayatan dan


pengamalan pancasila) dan mata pelajaran pendidikan moral pancasila (PMP)
disebut-sebut sebagai perwujudan bahwa pendidikan nasional pada era orde baru
selalu berlandaskan pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran pendidikan moral
pancasila (PMP) menekankan bahwa setiap siswa dan warga negara umumnya
harus taat kepada negara tanpa dikenalkan hak-haknya. Sehingga Darmaningtyas
dalam Sugiyono et al (2017:111) mengatakan bahwa produk yang lahir dari mata
pelajaran PMP adalah orang-orang yang apatis, penakut dan cenderung mengikuti
budaya “petunjuk dari atas”. Dalam pandangan Darmaningtyas dalam Sugiyono et
al (2017:112), selain penataran P4 dan mata pelajaran pendidikan moral pancasila
(PMP), terdapat juga politisasi lainnya dalam proses pendidikan zaman orde baru.
Ketika Nugroho Notosusanto menjabat sebagai menteri pendidikan (1983-1985),
dimunculkan mata pelajaran sejarah perjuangan bangsa (PSPB). PSPB dinilai
sebagai upaya hegemoni pendidikan yang lekat dengan nuansa politis karena
materinya hanya terfokus kepada peranan Angkatan Darat (AD) dalam
menghadapi PKI tahun 1965-1966. Hal yang sama ditegaskan pula oleh Sadirman
dan Yuliantri (2012:25) bahwa PSPB berisi sejarah militer dan legitimasi
kekuasaan pada masa orde baru. Tujuan PSPB menurut Notosusanto adalah untuk
memperluas dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai pancasila dan
UUD 1945 untuk generasi muda. Selain itu, pembelajaran PSPB adalah untuk
meningkatkan cinta kepada tanah air. Melalui mata pelajaran PSPB diharapkan
secara evolutif para lulusan pendidikan formal memiliki apresiasi yang tinggi
terhadap ABRI, PMP, P4. Sehingga dapat dikatakan bahwa PSPB merupakan
upaya pemerintah untuk membentuk watak bangsa Indonesia (Sugiyono,
2017:113)..

Beberapa kebijakan pokok pemerintah orde baru dalam bidang pendidikan


adalah:

1. Relevansi pendidikan

Yaitu penyesuaian isi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan terhadap


sumber daya manusia yang diperlukan. Kebijakan ini secara eksplisit muncul
pada pelita I, II, III, IV dan V. Setelah perluasan kesempatan belajar, sasaran
pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Maka langkah
pemerintah adalah dengan membentuk kelompok belajar (kejar). Kejar
merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat
buta aksara yang berusia 10 sampai 45 tahun. Tutor atau pembimbing setiap
kelompok adalah siapa saja yang berpendidikan minimal sekolah dasar.

2. Pemerataan pendidikan

Kebijakan pemerataan pendidikan dilaksanakan melalui wajib belajar sekolah


dasar. Maka langkah yang diambil pemerintah adalah pertama,
menyelenggarakan pendidikan wajib belajar 9 tahun. Namun ternyata dalam
prakteknya masih sulit dilaksanakan sehingga pemerintah mereduksinya
menjadi wajib belajar 6 tahun. Program ini berhasil dilaksanakan dalam waktu
kurang dari 10 tahun sehingga program sebelumnya, yakni wajib belajar 9
tahun oleh pemerintah dirasa sudah bisa untuk diterapkan. Pada tanggal 02
Mei 1994 bertepatan dengan hari pendidikan nasional, presiden Soeharto
mencanangkan wajib belajar 9 tahun. Kebijakan ini diperkuat dengan
dikeluarkannya instruksi presiden (Inpres) nomor 1 tahun 1994. Kedua,
pembangunan SD inpres. Fokus utama pendidikan saat itu adalah peningkatan
angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar. Keberhasilan program wajib
belajar ditandai dengan partisipasi sekolah dasar (SD) dari angka 1,4 persen
naik menjadi 89,91 persen akhir pelita IV.

C. Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan masa orde baru lebih mengedepankan dua jalur dalam
pelaksanaan sistem pendidikan nasional yaitu pendidikan umum dan pendidikan
khusus. Jalur pendidikan umum adalah jalur pendidikan formal yang terdiri dari
pendidikan dasar (SD atau yang sederajat), pendidikan menengah (SMP hingga
SMA atau yang sederajat) dan pendidikan tinggi (Universitas). Sedangkan
pendidikan khusus adalah pendidikan kejuruan yang dibentuk untuk menyiapkan
peserta didik sebelum memasuki lapangan kerja. Pendidikan kejuruan
dilaksanakan pada tingkat menengah pertama, tingkat menengah atas hingga
tingkat tinggi dengan berbagai variasi dan orientasi. Orientasi pendidikan
kejuruan ini diarahkan antara lain kepada bidang teknologi, industri, perdagangan,
pertanian, kerumahtanggaan, pelayanan jasa dan lain-lain.

Penerapan sistem pendidikan masa orde baru sangat lekat dengan nuansa
militerisme. Pada jenjang pendidikan dasar, menengah maupun tingkat atas
diberlakukan kebiasaan-kebiasaan yang berbau militerisme seperti kewajiban
baris-berbaris hingga pemberian saksi yang bersifat fisik bagi peserta didik yang
melakukan pelanggaran. Di tingkat perguruan tinggi, dibentuknya resimen
mahasiswa (menwa) yang merupakan manifestasi militerisme dalam sistem
pendidikan nasional. Hegemoni militerisme dalam dunia pendidikan inilah yang
pernah di gugat oleh Y.B Mangunwijaya. Menurutnya, pendidikan sejati telah
kehilangan maknanya pada masa orde baru seperti yang di tulisnya berikut ini:
“sudah selama 30 tahun lebih, 30 juta anak-anak kita di aniaya setiap hari oleh
suatu sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak menghargai anak sebagai
anak. Mengapa? Bukankah sistem pengajaran dan pendidikan kita berpancasila?”
(Sugiyono, 2017:118). Ia pun menilai bahwa apa yang terjadi dalam dunia
pendidikan pada masa orde baru sudah menyimang dari tujuan yang semula di
harapkan, sebagaimana yang di tulisnya: kurikulum terselubung dari sistem
sekolah saat itu dari TK samai perguruan tinggi adalah sistem militer, sistem
komando, sistem taat, sistem hafalan, dan sistem memeberi instruksi.

Di samping itu, penerapan sistem pendidikan yang cenderung sentarlistik


dan uniformality sebagai ukuran yang dipakai untuk menentukan relevansi
pendidikan pada masa itu adalah merupakan suatu ukuran abstrak yang di
tentukan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan
EBTANAS, UMPTN dan sejenisnya yang digunakan untuk menyeleksi
penyeragaman intelektualitas peserta didik. Artinya bahwa pendidikan zaman orde
baru lebih mementingkan target dari pada proses dan kualitas pengajaran serta
hasil didikan dari sistem yang telah diterapkan.

Semestinya, menurut Isjoni Ishak (2006), relevansi pendidikan di tentukan


oleh kebutuhan daerah yang konkrit dan tidak dapat di tentukan secara sepihak
oleh pemerintah pusat. Kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia yang
berbineka dan tersebar dalam suatu wilayah yang sangat luas dan beragam,
tentunya tidak realistis untuk menentukan suatu standar relevansi dalam
pendidikan nasional. Bahwasannya pendidikan masa orde baru belum atau tidak
mampu menyentuh kebutuhan harkat hidup dan hak-hak asasi sebagian besar
anak-anak di tanah air.

D. Guru dan Peserta Didik

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyelenggaraan


pendidikan pada masa orde baru diorientasikan untuk menyokong pembangunan
ekonomi, maka dapat kita gambarkan bahwa peserta didik pada masa ini dibentuk
untuk menjadi calon pekerja yang diharapkan dapat turut menggerakan roda
perekonomian negara setelah lulus sekolah nanti dan kelak akan berperan sebagai
alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara.

Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat


tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan.
Hal ini dinilai oleh Kleden dalam Sugiyono (2017:119) bahwa orientasi
pendidikan orde baru bukanlah terutama pada pengembangan pribadi dan
kematangan peserta didik tetapi justru pada pasar tenaga kerja yang akan
menampung siswa yang telah selesai dalam pendidikan formalnya.

Peserta didik dalam pendidikan orde baru bukanlah dididik untuk mampu
menjadi seorang pemikir, kreator atau orang yang pada nantinya mampu
menciptakan inovasi yang akan berguna bagi bangsa dan negaranya kelak. Tetapi
nuansa militerisme yang kental dalam sistem pendidikan orde baru membuat
peserta didik menjadi manusia-manusia yang lemah mental, tidak berdaya kritis
dan selalu memetuhi perintah atasan. Guru selalu menjadi pusat kebenaran,
sedangkan siswa hanya diposisikan sebagai obyek yang harus selalu mematuhi
dan mengiyakan kebenaran yang di katakan oleh guru.

Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas seperti yang di uangkapkan oleh


Pradipto dalam (Sugiyono et al, 2017:120) bahwa guru hanya berperan sebagai
pawang yang menjejali anak didiknya dengan seabrek materi ajar. Proses belajar
hanya berjalan searah tanpa ada dialog dan kesempatan bagi siswa untuk bertanya,
apalagi menjawab dengan perspektif lain apa yang dikatakan oleh guru. Guru
bagai dikejar target untuk memberi hafalan dengan cara-cara indoktrinasi.
Sedangkan siswa di pacu untuk menghafal semua meteri yang diberikan yang
justru bisa memunculkan persaingan di dalam kelas. Sehingga siswa hanya belajar
untuk mendapat ranking demi nama baik orang tua, terlebih kelak mereka akan
memasuki dunia kerja.

Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik nyaris


tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada
pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan “tong
sampah” ilmu pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan
disuapkan oleh para guru. Mangunwijaya dalam Sugiyono (2017:120) menilai
fungsi dan peran guru telah teredusir hanya sekedar sebagai penatar, instruktur,
birokrat, komandan atau pawang. Anak atau peserta didik tidak lagi dilihat
sebagai anak, melainkan sebagai kader mini politik atau sumber daya. Sekolah
pun telah kehilangan arti sejatinya karena hanya menjadi kelas-kelas penataran.
Sekolah menjadi ajang kompetensi, lomba ranking dan target prestasi seperti yang
di inginkan oleh dunia bisnis pembelajaran yang tidak adil.
E. Kurikulum Pendidikan

Kurikulum sangat penting untuk mengiringi kemajuan bangsa dan Negara.


Kurikulum menjadi penentu masa depan anak bangsa yang akan meneruskan
pembangunan bangsa. Kurikulum di Indonesia terus mengalami perkembangan
dengan tujuan meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran yang ada di
sekolah. Kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu di kembangkan
secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat.

Namun, tidak mudah untuk menciptakan sistem pendidikan dengan


kurikulum yang bebas dari pengaruh penguasa, sebab peran negara sangat sulit
untuk di pisahkan dari proses pendidikan yang berlangsung di negara tersebut.
Apple (2013:196) menjelaskan bahwa politik kebudayaan suatu negara di
salurkan melalui lembaga-lembaga pendidikannya. Oleh karena itu dalam
pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik dari suatu sistem kekuasaan.

Kurikulum pada dasarnya harus bersifat fleksibel dan elastis sehingga


terbuka kesempatan bagi guru untuk memberikan bahan pengajaran yang penting
dan perlu bagi siswa. Elastisitas kurikulum ini tentu saja di sesuaikan dengan
perkembangan zaman dan perubahan sosial yang terjadi. Selain itu, kurikulum
berfungsi untuk membantu kematangan pribadi siswa agar berhasil menyesuaikan
diri dengan masyarakat sekolahnya, serta membantu siswa menyadari kepentingan
masyarakat dan menghayati masyarakatnya sendiri. Selanjutnya kurikulum juga
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak didik sehingga
bisa memahami kompleksitas lingkungan sosial dan peradabannya serta mampu
menanamkan nilai, sikap, dan kemampuan untuk belajar.

Dalam intervensi terhadap bidang pendidikan di Indonesia di masa orde


baru, kebijakan pendidikan yang di terapkan mirip dengan kebijakan kolonial.
Praktek pendidikan di sterilkan dari politik praktis. Kurikulum dan buku pelajaran
tertentu disusun memuat versi politik pemerintah.

Pada masa ini, masyarakat umumnya tidak menyadari bahwa di balik


kurikulum pendidikan ternyata terselip kepentingan penguasa. Inilah yang
kemudian di sebut sebagai hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi. Hal ini
tampak dalam sistem pendidikan era orde baru dimana proses pendidikan,
kurikulum, metodologi dan aspek-aspek pendidikan lainnya merupakan
pengejawentahan orde baru saat itu.

Pendidikan pada masa orde baru telah merumuskan kurikulum secara


bertahap, mulai dari kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984 hingga
kurikulum 1994 sebagai berikut:

1. Kurikulum 1968

Kurikulum 1968 sebenarnya melanjutkan kurikulum 1964 yang


merupakan warisan orde lama. Perubahan yang dilakukan hanya berupa
pergantian struktur kurikulum dari pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar dan kecakapan khusus. Orde baru mengkalim
bahwa kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekwen.

Kurikulum 1968 ini merupakan awal dimasukannya konsep-konsep


pedagogis, meskipun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah. Secara
teknis, konsep pedagogis yang terdapat dalam kurikulum 1968 masih banyak
yang kurang dimengerti oleh para pelaksananya, bahkan mungkin oleh
penyusun kurikulum itu sendiri (Surakhmad dan Sularto dalam Sugiyono,
2017:122).

2. Kurikulum 1975

Kurikulum berupaya agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasarkan


MBO (management by objective). Metode, materi dan tujuan pengajaran
dirumuskan secara detail dalam prosedur pengembangan sistem instruksional
(PPSI) atau yang kemudian dengan istilah satuan pelajaran yaitu rencana
pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satu pelajaran dirinci menjadi tujuan
instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK), materi
pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar dan evaluasi. Hal yang
paling menonjol dalam kurikulum ini adalah kewajiban bagi guru untuk
membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar mengajar
berlangsung.

Menurut Asvi Warman Adam dalam Sugiyono et al (2017:123), dalam


Kurikulum 1975, khususnya pendidikan sejarah, bukan hanya dijiwai oleh
moral Pancasila, namun juga nilai-nilai UUD 1945 bagi generasi muda (Asvi
Warman Adam, 2010: 134). Namun, saat penggodokan kurikulum ini,
beberapa pihak meminta agar Kurikulum 1975 juga memuat sejarah nasional,
lagu-lagu perjuangan, kisah-kisah kepahlawanan, bahkan hingga pelajaran
tentang pertahanan dan strategi nasional. Dalam pandangan Mc.Greggor, hal
ini dilakukan dengan tujuan untuk mempromosikan agar peran politik orang-
orang militer dapat diterima secara luas serta membuat masyarakat semakin
memahami maksud pertahanan nasional dan dwifungsi ABRI (Sugiono 2017:
134).

3. Kurikulum 1984

Kurikulum 1984 lebih mengedepankan proses skill approach yang


dianggap lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum ini sering
juga disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Peran siswa dalam
kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut cara belajar siswa aktif (CBSA) atau
student active learning (SAL). Walaupun kurikulum CBSA ini menjadikan
siswa sebagai subyek belajar, namun proses pendidikan selalu mendapat
kontrol dari pihak instruktur.

4. Kurikulum 1994

Kurikulum 1994 merupakan perpaduan dari kurikulum-kurikulum


terdahulu, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pengembangan kurikulum
1994 meneruskan proses skill approach atau keterampilan proses serta
pendekatan belajar aktif. Kurikulum 1994 ini dinilai sebagai penambah beban
belajar siswa karena ada penambahan mata pelajaran yang cukup signifikan,
termasuk muatan lokal maupun muatan nasional.
F. Kesimpulan

Sistem pendidikan di Indonesia selalu dinamis dan adaptis sesuai dengan


kepentingan penguasa. Pendidikan zaman orde baru memperlihatkan keterlibatan
tentara (Angkatan Darat) dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang di
dalamnya turut mempengaruhi arah kebijakan di Indonesia. Pendidikan pada masa
orde baru berpijak pada penerapan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Namun dalam
penerapannya tujuan pendidikan tidak dilakukan secara murni untuk
mencerdasarkan bangsa. Fokus utama pendidikan saat itu adalah peningkatan
indikator kualitas pendidikan dasar. Keberhasilan program wajib belajar ditandai
dengan partisipasi sekolah dasar (SD) dari angka 1,4 persen naik menjadi 89,91
persen akhir pelita IV.
BAB X

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI TANAH PAPUA

A. Pendidikan Tradisional
Proses pendidikan yang terjadi pada masyarakat tradisional di Papua pada
umumnya memiliki kemiripan dengan proses pendidikan pada masyarakat
tradisioanl yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Seorang nelayan harus
mengajari anaknya untuk menangkap ikan, seorang petani mengajarkan anaknya
bercocok tanam. Demikian seterusnya setiap orang dalam lingkungan hidup
tertentu akan tahu dan terus membekali kecakapan dan keterampilan tertentu
kepada anak-anaknya. Apa yang dilakukan oleh ayah akan diikuti oleh anak
laki-laki dan sebaliknya apa yang dilakukan ibu akan diikuti oleh anak
perempuan. Orang tua akan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang hal-hal
yang dipelajari dari orang tuanya dahulu dengan jalan bercerita. Segala yang
dipelajari anggota-anggota masyarakat pada waktu silam diwariskan kepada
generasi berikutnya secara lisan. Demikianlah potret perkembangan pendidikan
pada masa tradisional di Papua sebelum adanya kebudayaan barat. Pengaruh
Hindu/Budha dan Islam tidak seberapa nampak dalam proses pendidikan yang
berlangsung di Papua. Berikut adalah gambaran pendidikan tradisional dalam
beberapa suku di Papua.

1. Suku Biak-Numfor

Pendidikan dalam suku Biak-Numfor berlangsung di dalam keluarga dan di


dalam Rum Sram (balai atau rumah pemuda). Di dalam keluarga, pengasuhan dan
pendidikan anak-anak dalam masyarakat Biak-Numfor merupakan tanggung
jawab bersama antara orang tua anak, nenek, bibi, paman, dan seluruh keluarga
besar. Anak-anak yang masih kecil diasuh dan diawasi oleh ibunya. Apabila anak
laki-laki sudah berumur 10 tahun ke atas, mereka harus dipisahkan dari ibu dan
wanita lainnya serta wajib menjalani suatu upacara inisiasi yang melambangkan
bahwa mereka itu dapat diterima dalam lingkungan pergaulan orang-orang pria.
Sesudah mereka mengalami inisiasi, mereka dapat dimasukan ke dalam Rum
Sram untuk mengikuti pendidikan yang meliputi pendidikan kepahlawanan,
keterampilan kerja dan adat-istiadat dalam kehidupan masyarakat Biak-Numfor.

Bagi anak-anak perempuan yang sebaya dengan anak laki-laki tersebut,


mereka masih tetap dalam pendidikan dan asuhan ibunya. Mereka diasuh tentang
kecakapan atau keterampilan wanita seperti memasak, menganyam dan memungut
hasil kebun. Disini terlihat adanya perbedaan pendidikan antara anak laki-laki dan
anak perempuan serta terpisah tempatnya mengingat tugas kewajibannya yang
berbeda pula di masa depan.

2. Suku-suku teluk Humbolt

Penduduk teluk Humbolt adalah sekelompok masyarakat yang mendiami


kampung Tobati, Enggros, Kayu Pulau dan Nafri di daerah teluk Humbolt di
Pantai Utara Irian Jaya yang berbatasan dengan Papua New Guinea. Di daerah
teluk Humbolt inilah tepatnya di teluk Jayapura (Hollandia-baai dahulu).
Pendidikan pada suku-suku teluk Humbolt berlangsung di dalam keluarga dan di
rumah karawari. Dalam keluarga, pemegang peranan penting dalam mengasuh
dan mendidik anak laki-laki adalah saudara laki-laki dari ibu. Sedangkan bagi
anak perempuan adalah saudara perempuan dari ayah. Sebelum anak-anak laki-
laki dan anak-anak perempuan diasuh dan dididik masing-masing oleh paman dan
bibinya, mereka masih menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.

Pada pendidikan di rumah karawari, anak-anak laki-laki yang sudah berumur


tujuh tahun akan dipindahkan dan hidup di Cainpa, yaitu balai pertemuan pria. Di
sini, paman atau sudara laki-laki dari ibu adalah sebagai pendidik yang utama bagi
anak laki-laki, sedangkan bagi anak perempuan, bibi atau saudara perempuan dari
ayah sebagai pendidik utama. Selama anak laki-laki mengikuti pendidikan di
rumah karawari ini, mereka dibiasakan untuk makan sedikit, di larang makan
sirih, merokok, dan tertawa, mandi, membuat api untuk menghangatkan badan,
memegang senjata, memotong rambut. Mereka dibekali dengan pengetahuan
tentang adat istiadat, kebudayaan, mite, sejarah suku bangsa dan clannya. Di
bidang keterampilan, mereka diajari cara membuat jaring, memintal tali, dan
mengukir. Mereka juga dilatih cara menangkap ikan dan berburu binatang.

3. Suku Muyu

Orang-orang Muyu adalah sekelompok penduduk asli Irian Jaya yang


mendiami suatu daerah aliran sungai Kao dan aliran sungai Muyu, terletak di
bagian selatan propinsi Irian Jaya. Dalam masyarakat Muyu dapat dibedakan
atas tiga kelompok kekerabatan yaitu keluarga batih (namaetha), kelompok
kerabat dengan anggota-anggotanya yang diperhitungkan melalui garis laki-laki
saja, dan persekutuan kerabat. Tokoh dalam masyarakat Muyu adalah kepala
kelompok. Kepala yang terpenting yakni kepala Nuwambib. Tokoh masyarakat
lainnya adalah Konontot yang bertugas sebagai pemimpin pasukan; karena
fungsinya ini, ia mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat.

a. Pendidikan dalam Keluarga

Pada umumnya anak yang baru lahi atau yang masih bayi selalu
dekat pada ibunya. Dalam masyarakat Muyu, anak-anak yang masih kecil
juga menjadi asuhan dan tanggung jawab ibunya. Ayah hampir-hampir
tidak berperan pada masa ini. Apabila seorang ibu berhalangan atau sibuk
dengan pekerjaan lain maka anak-anaknya yang masih kecil itu dititipkan
kepada nenek, bibi, atau kakak perempuannya. Ayah mulai berperan
mendidik anak laki-lakinya semenjak anak itu memperoleh gigi susu
pertama. Pada saat itu pula anak itu dipisahkan dari ibunya, kecuali bila
anak itu perempuan tetap masih dalam didikan dan tanggung jawab
ibunya.

b. Pendidikan dalam Masyarakat

Dalam masyarakat tradisional terdapat suatu pandangan umum


tentang perilaku yang baik dan yang tidak baik yang bertalian dengan tata
tertib, moral dan system nilai atau norma-norma yang sedang berlaku.
Norma-norma masyarakat ini tidak tertulis sehingga pewarisannya hanya
diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Tata tertib tersebut dan
norma-norma masyarakat tersebut diawasi oleh anggota-anggota
masyarakat, baik pelaksanaannya maupun pewarisannya dalam
masyarakat. Pengawasan ini timbul dan berkembang dari suatu keharusan
hidup bermasyarakat. Keharusan hidup bermasyarakat inilah yang
mendorong warga kelompok untuk menyesuaikan hidupnya dengan
peraturan-peraturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Apabila anggota-anggota masyarakat melakukan pelanggaran terhadap tata
tertib dan norma-norma masyarakat maka tokoh-tokoh masyarakatlah
yang akan memutuskan jenis hukuman yang patut dijatuhkan kepada
anggota masyarakat yang melanggarnya.

Pada usia enam tahun dan sebelum menginjak usia remaja, anak-
anak orang Muyu dilepaskan dari ikatan adat yang ketat oleh orang tuanya
dan diberi kebebasan untuk menginap di rumah neneknya atau di rumah
kaum kerabatnya. Setelah menginjak usia remaja, anak-anak mulai diberi
tugas-tugas yang lebih berat untuk turut memenuhi kebutuhan hidup
tradisional, misalnya berkebun, mencari kayu bakar dan berburu babi.

Anak-anak laki-laki dari masyarakat Muyu yang menginjak usia


dewasa harus menjalani upacara penyucian diri sebelum mereka dianggap
sebagai orang-orang dewasa. Beberapa hai menjelang upacara inisiasi para
pemuda itu harus pantang terhadap beberapa makanan antara lain buah
ketapang, ikan Sembilan dan sukun. Selama masa inisiasi mereka dilarang
makan makanan-makanan yang dimasak oleh kaum wanita, karena
makanan demikian dianggap sebagai pantangan (amop) juga.

Upacara inisiasi atau upacara Yawarawon (babi suci) itu berjalan


sebagai berikut: para pemuda berjalan melalui jalan kecil yang dihiasi
dengan daun nibung. Pada ujung jalan kecil ini berdirilah seorang pria
dengan menjarangkan kedua kakinya dan para pemuda yang sedang
menjalani inisiasi secara berurutan harus merangkak melalui antara kedua
belah kaki tadi. Pada saat mereka hendak berdiri, mereka melihat
Yawarawon (babi suci) yang berdiri di depannya dengan penuh perhiasan;
setiap pemuda lalu diberi sepotong daging babi tadi yang telah disembelih
untuk dikunyah dan kemudian disimpannya. Dalam upacara Yawarawon
ini, diceritakan mite Kamberap yang ada hubungannya dengan mite-mite
lain oleh orang-orang tua. Anak-anak yang belum menjalani inisiasi
dilarang mendengarkan cerita ini. Pada saat itu juga diajarkan nyanyian-
nyanyian sacral.

4. Suku Dani.

Orang-orang Dani termasuk salah satu suku-suku asli Irian Jaya yang
mendiami daerah kabupaten Jayawijaya, terutama daerah lembah Balim, suatu
dataran yang cukup luas dan terapit gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Orang-orang Dani tinggal di perkampungan yang disebut Usilimo. Usilimo
merupakan satu kesatuan tempat tinggal yang terdiri dari honai (rumah pria),
ebeai (rumah wanita), hunu (dapur), kandang babi dan kebun pisang. Dilihat dari
segi kekerabatan, yang berkaitan dengan usilimo, maka honai abeai, hunu dan
kandang babi merupakan satu kesatuan tempat beberapa keluarga batih (ayah,
ibu dan anak-anak) bertempat tinggal.

Honai adalah rumah yang hanya ditempati oleh kaum pria. Setiap honai
dapat dihuni 5 sampai 14 orang. Ebeai adalah rumah yang hanya ditempati oleh
kaum wanita dan anak-anak yang masih kecil. Beberapa usilimo yang tergabung
dalam satu kesatuan dapat dipimpin oleh seorang kepala suku dengan dibantu
oleh seorang kepala perang, sedangkan setiap usilimo dapat dipimpin oleh
seorang kepala karet atau kepala suku yang lebih rendah derajatnya.

a. Pendidikan dalam keluarga

Adat-istiadat masyarakat Dani mewajibkan bagi anak-anak laki-laki


yang sudah mencapai usia delapan tahun atau lebih untuk meninggalkan ebai
dan hidup bersama dengan ayahnya di honai. Mereka diajari tentang cara
membuat dan menggunakan berbagai macam peralatan seperti anak panah,
busur, tali-temali, jala dan noken (alat tali-temali yang teranyam seperti jala
untuk membawa barang sesuatu), kapak batu, cara berkebun dan cara
membuat rumah. Sedangkan anak-anak perempuan yang hidup dalam satu
ebai oleh ibunya diajarkan tentang cara menganyam noken, memasak dengan
mempergunakan panas dari batu-batu yang di bakar lebih dahulu, dan
bercocok tanam serta memungut hasilnya.

b. Pendidikan dalam masyarakat.

Anak-anak laki-laki yang menjelang usia dewasa wajib menjalani


inisiasi. Upacara inisiasi yang disebut harinyaparek atau ap waia lagasin ini
artinya memelihara dan membentuk pria sejati untuk orang lain.
Pelaksanaannya diumumkan oleh pemimpin upacara yang diselenggarakan di
kampong tempat tinggal pemimpin perang.Semua anak laki-laki yang akan
menjalankan upacara inisiasi ditampung dalam satu honai. Mereka diberi anak
panah dan busur oleh para ami-nya (paman atau saudara laki-laki ibu) untuk
kepentingan latihan perang. Dengan demikian, anak-anak laki-laki yang
sedang menjalani inisiasi itu dilatih untuk berperang. Selain itu, mereka juga
dibawa ke hutan untuk berlatih berburu.

B. Pendidikan Zaman Hindia Belanda (1855-1942)

1. Latar Belakang

Meskipun New Guinea Barat (West New Guinea= Irian Barat= Papua
sekarang) secara resmi telah dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Hindia
Belanda (Netherlands Indie) sejak 24 Agustus 1828, namun kenyataannya baru 8
Oktober 1898 pemerintah colonial Belanda benar-benar mulai menanamkan
kekuasaannya atas daerah itu dengan mendirikan pos pemerintahannya yang
pertama di Manokwari dan Fak-Fak. Kemudian yang kedua di Merauke pada 14
februai 1902, setelah konvensi di Den Haag 16 Mei 1855 di capai persetujuan
antara kerajaan Belanda dan Kearjaan Inggris mengenai perbatasan pembagian
jajahan mereka atas pulau New Guinea itu, yakni dari pantai selatan pulau itu di
tengah-tengah muara sungai Bensbach, 14101’47,9” BT , terus mengarah ke utara
dengan mengikuti meridian ini hingga mencapai sungai Fly yang lalu diikuti
alirannya sebagai batas alam sampai di pantai utara pulau itu pada 141o BT. Jadi
selama 70 tahun paktis penduduk asli bagian barat pulau itu yang kemudian
disebut Nethelands Nieuw Guinea (Papua Sekarang) dibiarkan begitu saja tanpa
diurus sama sekali karena secara ekonomis Nieuw Guinea Belanda dianggap
kurang dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah colonial Belanda.

Kebudayaan barat sesungguhnya secara berhati-hati baru menjamah


penduduk asli Papua dengan kedatangan C. W. Otto dan J. G. Geissler di
Mansinam pada 5 Februari 1855 dengan maksud menyebarluaskan agama Kristen
Protestan. Dari kedua zendeling inilah sebenarnya penduduk asli Papua, terutama
generasi mudanya mulai dikenalkan pendidikan barat dalam bentuk “sekolah”
yang paling sederhana pada tahun 1856 di Mansinam (L. N. van Asperen,
1936:28). Sekolah dalam bentuknya yang permulaan adalah penghimpunan
sejumlah anak yang telah dibebaskan dari perbudakan dengan sejumlah uang
tebusan dan dijadikan anak-anak piara (Pleegkinderen) oleh seorang Zendeling
(pendeta, penyebar agama), kemudian mereka diasuh dengan cara diperkenalkan
dan ditanamkan kebiasaan sehari-hari yang baik dan hidup yang higienis, teratur
serta diajarkan berkebun atau bercocok tanam, pekerjaan tangan, menyanyi,
membaca, menulis, berhitung dan berdoa sebelum memulai dan sesudah selesai
pelajaran. Kesemuanya ini merupakan cara-cara pendekatan dalam rangka
memasukkan ajaran Kisten Protestan. Dalam perkembangan selanjutnya
“sekolah” demikian memperoleh sebutan Sekolah pengadaban atau sekolah
pembudayaan (Beschavingsschool). Sekolah jenis inilah yang tidak sedikit
jumlahnya dan menempati jumlah terbesar diantara jenis sekolah yang ada di
Papua sampai runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda pada Maret 1942.

Politik etis yang dicanangkan pemerintah colonial pada tahun 1901,


terutama di bidang pendidikan praktis belum dapat dilaksanakan di Papua, bahkan
pengaruhnya pun dapat dikatakan tidak ada, karena perhatian pemerintah colonial
masih tertuju ke dalam pembenahan pos pemerintahannya yang pertama (1898)
dan usaha pendirian pos pemerintahannya yang kedua (1902). Selain itu beberapa
tahun kemudian (1907) perhatian pemerintah tertuju mengadakan eksplorasi atas
daerah itu dan dan sebagai hasilnya pada tahun 1920 di terbitkan buku “Verslag
van de Militair Exploratie van Nederlandsch-Nieuw –Guinea 1907-1955” oleh
Departemen Perang Hindia Belanda (Department van Oorlog in Nederlandsch
Indie). Lebih-lebih penyelenggaraan pendidikan di daerah Irian Jaya semasa
Hindia Belanda itu seluruhnya dipercayakan kepada zending dan Misi, masing-
masing terutama di bagian utara dan selatan daerah itu. Dalam menyelenggarakan
pendidikan ini sekali lagi hanyalah sebagai alat untuk menyebarluaskan ajaran
“Terang Kristus” di kalangan generasi muda seawall mungkin. Pemerintah
colonial hanya memberikan subsidi kepada zending dan misi untuk sekolah-
sekolah yang telah memenuhi persyaratan tertentu.

Pendidikan model barat dengan bentuk sekolah merupakan unsur baru


dalam pergaulan hidup bagi orang-orang asli Irian Jaya. Dengan demikian
pelajaran yang diberikan merupakan pula hal-hal kesenjangan yang kadang-
kadang belum dapat diterima oleh alam pikiran mereka, meskipun bertujuan untuk
mempersiapkan tunas-tunas muda mereka demi mencapai tingkat kedewasaan.
Sikap demikian berbeda dengan daerah Indonesia lainnya yang sebelum
masuknya pendidikan barat telah mengenal pendidikan Islam. Oleh kaena itu,
zending dam misi mencari cara mendidik yang lebih sesuai dengan taraf
kebudayaan mereka yang masih sangat sederhana itu (primitive) yakni pendidik
memberikan contoh kemudian murid mengikuti contoh dengan harapan murid
dapat berperan serta pula.

Dengan masuknya sekolah untuk generasi muda, mau tak mau ikatan
tradisi makin terlonggarkan bahkan terputus dan melahirkan pergaulan hidup baru
yang berlainan dengan pergaulan tradisional.

2. Pendidikan Yang diselenggarakan oleh Zending Protestan dan Misi


Katholik Roma.

a. Zending Protestan (1855-1942)


Sejarah pendidikan daerah Irian jaya yang meliputi kurun waktu 1855-
1942 tidaklah dapat dipisahkan dari sejarah penyebarluasan agama Kristen di
daerah itu. Pengembangan pendidikan dalam bentuk sekolah baik dari sekolah
yang paling sederhana atau yang kemudian memperoleh sebutan Sekolah
Pengadaban (Beschavingsschool) sesudah perang disebut Dropsschool C,
Sekolah Desa (Dropsschool), sesudah perang disebut Dropsschool B, Sekolah
sambungan (Vervolgschool), sampai sekolah atau kursus Pendidikan Guru
Sekolah Desa/Rakyat (Cursus tot Opleiding van/Cursus voor Volksonderwijzers)
maupun jumlah masing-masing sekolah itu. Berkaitan erat dengan pandangan
organisasi penyebar agama Kristen itu, dalam hal ini Zending Protestan terhadap
eksistensi sekolah dalam rangka penyebarluasan agama Kristen Protestan dan
persebaran pos-pos Zending Protestan itu sendiri. Menyelenggarakan pendidikan
dalam bentuk sekolah bukanlah merupakan tujuan zending protestan dalam hal ini
UZV (Utrechtsche Zendingsvereeniging), melainkan sebagai sarana baginya
untuk mengembangkan agama Kristen Protestan di kalangan generasi muda.
Sampai menjelang pecahnya perang Pasific (1941) di seluruh Irian Jaya hanya
terdapat satu buah sekolah sambungan saja untuk anak-anak bumiputera. Mula-
mula dibuka dibuka di Mansinam dalam tahun 1923, kemudian dipindahkan ke
Miei di teluk Wandaen tahun 1924. (I. S. Kijne dalam W. C. Klein, III, 1954:
304). Sekolah sambungan Miei dengan lama belajar dua tahun ini kemudian
memasukan para lulusannya ke Sekolah Pendidikan Guru tersebut yang juga
merupakan satu-satunya Sekolah Pendidikan Guru dan Pendidikan tertinggi di
Irian Jaya sebelum pecahnya perang Pasifik. Para lulusan Sekolah Pendidikan
Guru ini nantinyaselain sebagai guru sekolah juga sebagai penginjil jemaat.
Karena itu setelah dua tahun Sekolah Pendidikan Guru diselesaikan, mereka
diwajibkanmengikuti satu tahun pendidikan agama atau evangelisasi lagi.

Mengenai kebijakan evangelisasi yang mempergunakan tenaga bumiputera


sendiri sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1892 dengan mengirim Petus dan
Timotheus ke Seminari Depok (Jawa barat) yang didirikan oleh Ds. Schuurman
pada tahun 1878 (L. N. van Asperen, 1936:64). Melalui merekalah sesungguhnya
masyarakat asli Irian Jaya akan lebih mudah dan jauh lebih cepat mengerti tentang
ajaran Kristen. Lebih-lebih setelah mempergunakan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar, misalnya bahasa Biak untuk suku Biak.

Sekolah yang pertama kali didirikan di Mansinam pada tahun 1956,


setelah sebelumnya Mansinam dijadikan pos zending pertama oleh C. W. Ottow
dan J. G. Geissler yang berhasil mendarat di pulau Manaswari pada tanggal 5
Februari 1855 dalam rangka tugasnya menanamkan benih Kekristenan di Irian
jaya sebagai utusan Komisi Kristen Pekerja dari Jerman (J. Rauws, 1919: 51-52).
Pulau Mansinam demikian nama yang lebih dikenal selanjutnya dari pada
Manaswari, dijadikan basis pertama penyebaran agama Kristen Protestan, karena
selain kenyataan memang relative lebih aman dari pada daerah pantai darat yang
juga menjadi tempat tinggal pedagang-pedagang asing (S. Coolsma, 1901:765)
sebelum Dore (Kwawi) yang terletak di pantai darat menjadi pusat kedudukan
Zending yang kedua. Daerah pantai teluk Cenderawasih (Geelvinksbaai dahulu)
dan pulau-pulau di dekatnya merupakan daerah sasaran dalam penyebaran agama
Kristen Protestan dan hampir setengah abad sejak tahun 1855 pekerjaan Zending
berpusat di daerah itu; karena penghuninya adalah orang-orang Irian Numfor yang
berbahasa pergaulan Numfor, terutama yang berdiam di Numfor, kepulauan Biak,
pulau Run dan pantai barat teluk Cenderawasih. Di samping orang-orang Irian
Waropen di sepanjang pantai timur teluk Cenderawasih (J. Rauws, 1916:134)
sehingga komunikasi untuk daerah yang begitu luas itu jauh lebih mudah daripada
komunikasi orang-orang Irian yang bertempat tinggal lebih ke timur lagi yang
setiap kampong dengan bahasanya sendiri. Dan lazimnya penduduk daerah pantai
lebih mudah berhubungan serta lebih mudah menyesuaikan diri dengan dunia
luar, dalam arti tidak begitu sukar menerima pengaruh dari kebudayaan luar yang
datang masuk.

Sebagai pekerja /tukang, C. W. Ottow dan J. G. Geissler kurang


diperlengkapi dengan ilmu pengetahuan sebagaimana zendeling-zendeling yang
diutus kemudian oleh UZV. Sehingga dapatlah dimengerti selama hampir 10
tahun pekerjaan Zending di Irian Jaya baru dua orang penduduk asli saja
(keduanya perempuan) yang dibaptiskan (D. B. Starrenburg, hlm 14). Selain
secara kebetulan daerah itu pernah mengalami bencana alam yang berjangkit-
jangkitnya penyakit cacar (1861) dan terjadinya gempa bumi (1864) yang sedikit
banyaknya mempunyai pengaruh terhadap pikiran penduduk untuk tidak begitu
saja menerima ajaran agama Kristen karena dugaan bahwa para penyebar agama
itulah sebagai penyebab timbulnya bencana itu.

Sekolah yang mula-mula sebagai penghimpunan sejumlah anak piara yang


dibebaskan dari perbudakan dalam perkembangannya sejalan dengan pos-pos
Zending. Sekolah demikian juga menampung anak-anak penduduk asli yang
tinggal di pos-pos itu beserta daerah sekitarnya. Sampai menjelang akhir abad ke
XIX jumlah sekolah pengadaban sesuai dengan adanya pos-pos Zending paling
banyak berjumlah tujuh buah, yakni pertama-tama pada tahun 1856 dibuka di
Mansinam, tak lama kemudian dibuka di Kwawi (Doreh), tahun 1867 di pulau
Meos War, tahun 1869 di Andai, tahun 1874 di pinggiran sungai Mum, tahun
1875 di manokwari, tahun 1883 di pulau Run, tahun 1891 di Windesi dan pada
tahun 1897 di Amban yang khusus untuk anak-anak suku pegunungan (L. N. van
Asperen, 1936: 28).

Sebagai hasil pekerjaan Zending dalam upaya Kristenisasinya di kalangan


penduduk Irian Jaya, dari kelima pos zending yang ada: Mansinam, Dore atau
Doreh, Run, Andai dan Windesi dengan tujuh orang tenaga utusannya: J. L van
Hasselt, F. J. F van Hasselt, W. L Jens, G. L Bink, J. Metz, J. A van Balen dan J.
L. D van der Roest. Menjelang akhir abad XIX (1894) tercatat jumlah anggota
jemaat Kristen termasuk anak-anak berjumlah 193 orang (W. B. Bergsma, 1897:
131). Sedangkan pos zending yang pernah dibuka ada delapan buah yakni: di
pulau Mansinam atau Manaswari (1855), Dore (1860), pulau Meos War (1867),
pulau Run (1867), Andai (1868), Momi atau Mum (1871), Manokwari (1872) dan
Windesi (1889) yang masing-masing pembukaannya dipelopori oleh utusan
(Zendeling) C. W. Ottow- J. G. Geissler, C. W. Ottow, C. F. F. Mosche, R. Beijer,
W. H Woelders, J. H. Meeuwig, G. L. Bink dan J. A van Balen.

Selain para zendeling tersebut, sesungguhnya tidaklah kecil peranan para


penginjil atau guru dari bangsa Indonesia sendiri, terutama orang-orang Sangir
dan Maluku sebagai pembantu para Zendeling dalam menyebarluaskan agama
Kristen Protestan di kalangan penduduk asli Irian Jaya. Mereka jika dilihat dari
sudut pandang Indonesia sekarang, selain bertugas mengembangkan agama,
sekaligus juga telah menjalankan tugas turut menyebarluaskan bahasa Melayu
yang kemudian sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 diangkat menjadi bahasa
Indonesia dan diakui sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu
telah mereka gunakan sejak awal penyebaran agama Kristen Protestan di Irian
jaya, karena bahasa Melayu pada waktu itu sudah lazim dipakai sebagai bahasa
dagang oleh orang-orang Maluku yang berdagang di pantai utara Irian Jaya. Jadi
sekurang-kurangnya bahasa Melayu-Maluku dimengerti oleh sementara kalangan
penduduk asli di daerah pantai itu. Dari hasil pekerjaan mereka inilah dapat
dikatakan mempermudah komunikasi di kalangan penduduk asli dengan
menggunakan bahasa Indonesia sewaktu Irian Jaya dibebaskan dari penjajahan
Belanda pada tahun 1962 dan dimasukan kembali ke wilayah kekuasaan Negara
kesatuan Republik Indonesia.

Pos-pos Zending dibuka di tempat-tempat tersebut bertalian dengan


perkiraan adanya sejumlah penduduk yang tinggal di suatu kampong, dengan
harapan mereka dapat didekati dan selanjutnya diberikan pelajaran agama Kristen.
Bila penduduk yang menetap terbukti terlalalu sedikit, apalagi ketiadaan anak-
anak yang tidak memungkinkan dibukanya “sekolah”, contohnya pos zending
Momi yang terpaksa dihapuskan pada tahun 1876 (J. Rouws,1919: 93).

Pulau Run agaknya merupakan pos zending yang paling banyak


penduduknya. Dalam tahun 1882 diperkirakan ada 800 sampai 900 jiwa yang
hidup dalam enam kampong (S. Coolsma, 1901:788). Utusan R. Beijer yang
memulai pekerjaan zending di pulau itu mengeluh. Meskipun sekolah yang
dibukanya memperoleh kunjungan 15 sampai 20 orang murid, namun mereka
malas menghadiri kebaktian keagamaan (J. L. van Hasselt, 1888: 144). Pada akhir
abad ke XIX pulau Run memiliki anggota jemaat Kristen sebanyak 13 orang,
termasuk enam orang yang dibebaskan dari budak (D. B. Starrenburg, hlm 20).
Sekitar tahun 1900 Andai sebagai pos zending yang dibuka oleh zendeling W. H.
Woelders menunjukan hasil yang menggembirakan, selain mempunyai anggota
jemaat Kristen sebanyak 30 orang, termasuk 14 orang anak-anak (S. Coolsma,
1901: 805), juga memberikan kepercayaan kepada seorang Andai Kristen
pertama, Philippus, yang bertindak sebagai pembantu untuk membina sekolah di
situ seperti halnya guru-guru Sangir yang bertugas di situ. Pos zendeling Windesi
yang dibuka oleh zendeling J. A. van Balen memiliki anggota jemaat Kristen
sebanyak 11 orang, termasuk lima orang anak-anak ketika itu (S. Coolsma, 1901;
816). Kebalikannya pos zending Manokwari yang dibuka oleh zendeling G. I.
Bink terpaksa ditinggalkan pada tahun 1884. Dia bersama 11 orang anak piaranya
pindah ke pulau Run karena terjadi perselisihan dengan orang-orang Arfak yang
menghendaki kehidupan kembali kepercayaan leluhurnya (S. Coolsma, 1901:808-
809).

UZV yang dibentuk sebagai penerus pekerjaan Comissie Christen


Werkman untuk menangani Kristenisasi penduduk asli Irian Jaya dengan tiga
orang zendeling yakni pertama J. L. van Hasselt, Th. F. Klaassen, W. Otterspoor
yang bekerja di Irian Jaya sejak 1863. Sebagai utusannya, merasa kecewa dan
hampir-hampir putus asa untuk melanjutkan tugas pekerjaannya itu. Kaena hampir
40 tahun zending bekerja di Irian Jaya baru mencapai 193 orang anggota jemaat
Kristen Protestan. Suatu pekerjaan yang dinilai kurang berhasil. Tetapi berkat
kegigihan dan kemauan teguh J. L van Hasselt untuk tetap meneruskan pekerjaan
zending di Irian Jaya mengingat banyaknya pengorbanan yang telah diberikan
demi penyebarluasan ajaran Kristus terutama oleh para zendeling beserta
keluarganya. Akhirnya semenjak kemenangan ajaran Kristen Protestan atas
penduduk pulau Run menjelang munculnya tahun 1907 agama Kristen Protestan
nerkembang dengan pesat, demikian pula pembukaan sekolah-sekolah. Bertolak
dari pantai barat teluk Cenderawasih dan pulau-pulau di dekatnya, berkat kegiatan
dan kerjasama para pendeta, penginjil dan guru yang penuh rasa pengabdian dan
rasa tanggung jawab, agama Kristen Protestan menyebar ke pulau-pulau di teluk
Cenderawasih yang berjauhan dari pantai (Numfor, Biak, Yapen), pantai utara
bagian timur (Hollandia atau Jayapura sekarang) dan pantai barat (Raja Ampat,
Fak-Fak) Irian Jaya (J. Rauws, 1919: 128-169). Sampai sekitar tahun 1930
zending yang terdiri dari UZV sebagai penerus pekerjaan Gosznersche Mission
sudah memiliki anggota jemaat Kristen 45.810 orang dan IK (Indische Kerk) 5.
140 orang, disamping anak-anak sekolah 7.692 dan 900 orang (F. J. F van Hasselt
dalam W. C. Klein, I, 1935: 347).
“Visioen” seseorang di pulau Run yang mencanangkan pertobatan
membuat penduduk daerah itu sadar dan meyakini kebenaran ajaran agama
Kristen Protestan. Akibatnya mereka secara masal dan atas kemauan sendiri
membakar semua atribut tradisionalnya menjelang berakhirnya tahun 1906
sebagai pertanda bahwa mereka telah meninggalkan kepercayaan lama,
kepercayaan warisan leluhurnya, dan untuk seterusnya sejak munculnya tahun
1907 memeluk kepercayaan baru, yakni agama Kristen Protestan. Peristiwa
penting kemenangan “Terang Kristus” atas penduduk pulau Run ini tak hanya
memberikan keteguhan hati melainkan juga menjadi daya pendorong yang kuat
kepada para utusan dalam menunaikan tugas pekerjaannya sehingga tidak
mengherankan apabila penyebarluasan agama Kristen Protestan saat itu sangat
pesat. Demikian juga pembukaan sekolah-sekolah menjadi bertambah. Jika tahun
1904 jumlah sekolah tetap hanya lima buah, perkembangan jumlah ini meningkat
sesudah tahun 1906 (F. J. F van Hasselt, 1922; 33,44,46), maka pada akhir tahun
1914 atau 10 tahun kemudian jumlah sekolah meningkat menjadi 51 buah dengan
73 orang guru dan 2.353 orang murid. Sementara jumlah jemaat Kristen bejumlah
57 jemaat dengan 2. 527 anggota. Kesemuanya mencakup lima wilayah kerja
zending yakni: Teluk Dore, Irian Jaya Timur (Oost Nieuw Guinea), Irian Jaya
Barat (West Nieuw Guinea), Numfor dan Biak (Schouten eilanden) (BUZV,1915:
Lampiran tentang “Staat der Gemeenten en Scholen”). Perinciannya lebih lanjut
sebagai berikut:

1. Wilayah Kerja Teluk Dore


Mempunyai 11 Jemaat dengan 902 anggota dan 11 sekolah dengan 13
guru dan 217 murid. Guru-guru itu antara lain: E. Polnaya, Y. Ariks, P.
Rumbekwaim, P. Rumsayir, A. Rumadas, Y. Mitimu, Y. Werinussa, dan
Y. Latumahina.
2. Wilayah kerja Irian Jaya Timur
Mempunyai 14 jemaat dengan 116 anggota dan 14 sekolah dengan 14 guru
dan 542 murid. Guru-guru itu antara lain: Y. Nanulaitta, A. Pattihuwean,
E. Palapessi, P. C. Yoris, M. A. Pasalbessy, Y. Methusalach, Y. Holle, O.
Sangadji, dan T. Saul.
3. Wilayah kerja Irian Jaya Barat
Mempunyai 10 jemaat dengan 208 anggota dan 4 sekolah dengan 16 guru
dan 710 murid. Guru-guru itu antara lain: A. pasalbessy, B. Nahumury, L.
Nanlohi, D. Manoppo, A. Yakob, E. Huliselan, M. Ihalauw, Y. Z. A. de
Fretes, P. Leiwakabessi, Y. Pattipeilohi dan L. Z. Luhulima.
4. Wilayah kerja Numfor
Mempunyai 10 jemaat dengan 842 anggota dan 10 sekolah dengan 13 guru
dan 395 murid. Guru-guru itu antara lain: L. Tanamal, H. Lopulalan, M.
Y. Tomasoa, Y. Nanlohi, W. Rumbobiar, Y. Yakob, M. Reawaru dan P.
Wattilete.
5. Wilayah kerja Biak
Mempunyai 12 jemaat dengan 459 anggota jemaat dan 12 sekolah dengan
17 guru dan 489 murid. Guru-guru itu antara lain: D. Latuputti, E. Hallatu,
L. Pangimangen, M. Tahitu, W. Rumainum, Y. Abraham, M. Tamaela, M.
Sauer, P. Kafiar, N. Huwae dan W. Sekudu.

Dari nama guru-guru tersebut, terbukti bahwa sebagian besar guru-guru


Sekolah Pengadaban/Desa pada waktu itu berasal dari luar Irian Jaya, terutama
dari Maluku. Oleh karena itu sekurang-kurangnya bahasa Melayu Maluku telah
tersebarluaskan dan dimengerti oleh kalangan penduduk Irian Jaya, terutama
mereka yang telah disentuh oleh agama Kristen Protestan, sedangkan generasi
mudanya yang mengikuti pendidikan formal mulai diajarkan bahasa Melayu
sejak awal kelas II Sekolah Desa. Karena kebanyakan Sekolah Desa untuk kelas I
nya masih menggunakan bahasa daerah (landstaal), dalam hal ini terutama buku
bacaannya (F. J. F van Hasselt, 1922:55). Sekolah-sekolah daerah pantai utara
Irian Jaya yang terletak di sebelah barat tanjung d’Urville mempergunakan bahasa
daerah Numfor atau Windesi untuk kelas satunya. Beberapa orang Zendeling
menghendaki penggunaan bahasa daerah untuk dua tahun pertama Sekolah
Pengadaban/Desa. Karena sebagian besar penduduk daerah itu mengerti kedua
bahasa daerah itu, sedangkan yang disebelah timurnya segera mempergunakan
bahasa Melayu karena di daerah ini banyak beraneka ragam bahasa daerah yang
dipakai oleh beraneka ragam suku pula sehingga bahasa Melayu perlu
dipergunakan selekas mungkin sebagai bahasa pengantar (F. J. F. van Hasselt
1922: 51-52).
Mengenai buku bacaan berbahasa daerah Numfor dibedakan atas buku
membaca- permulaan (Soelboekjes) dan buku membaca lanjutan (leesboekjes).
Untuk jenis buku bacaan yang disebut pertama dipergunakan Surat Ra (Ra selain
berarti bunga kebun dan tanaman dalam rumah/kamar, juga dalam membaca -
permulaan merupakan huruf r dan a). Adapun mata pelajaran yang diberikan di
sekolah desa (Dorpsschool atau yang kemudian digolongkan ke dalam
Dorpschool B atau Volksschool) pada waktu itu meliputi: Sejarah kitab suci,
membaca, berhitung, menulis, bahasa dan menyanyi. Sesuai dengan rencana
pelajaran (kurikulum) sekolah negeri/pemerintah pada masa itu maka untuk kelas
I dalam pelajaran membaca dipergunakan kitab bacaan I, II dan III. Berhitung
dipergunakan Majulah I (1 s/d 20). Bahasa dipergunakan contoh percakapan I,
menyanyi dipergunakan Biduan kecil II dan menulis di atas batu tulis dengan anak
batu tulis. Kelas II dalam pelajaran membaca dipergunakan dekat dan jauh I dan
II, berhitung dipergunakan Majulah II (1 s/d 100). Bahasa yang digunakan adalah
contoh percakapan II, menyanyi dipergunakan biduan kecil II dan menulis diatas
batu tulis dengan anak batu tulis atau di atas kertas/buku tulis dengan pensil.
Kelas III dalam pelajaran membaca dipergunakan Matahari terbit I, II dan III.
Berhitung dipergunakan Majulah III dan sebagian IV (1 s/d 1000 dan bilangan
pecahan sederhana). Bahasa yang digunakan contoh percakapan III, menyanyi
dipergunakan biduan kecil II dan nyanyian-nyanyian lainnya serta menulis di atas
batu tulis dengan anak batu tulis atau di kertas/buku tulis dengan pena dan tinta.
Sekolah diselenggarakan setiap hari kerja dari jam 07.30 sampai 10.00 untuk
kelas I dan dari jam 10. 30 sampai jam 13.00 untuk kelas II dan III, sedangkan
waktu istirahat jam 10.00 sampai jam 10. 30 dan biasanya dipakai guru untuk
makan pagi. Sebelum sekolah dimulai, beberapa murid tertentu wajib
membersihkan ruangan kelas. Menjelang memasuki kelas, guru memeriksa tangan
murid-murid apakah tangan mereka sudah dalam keadaan bersih ataukah tidak.

Penduduk asli Irian Jaya, lebih-lebih yang sudah berkenalan dengan


zending/agama Kristen Protestan makin menyadari betapa pentingnya Sekolah
Pengadaban/Desa di tempat kediamannya demi mendidik generasi muda dan
meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Tentang lajunya perkembangan
jumlah sekolah pengadaban/desa di Irian Jaya dalam empat decade pertama abad
XX ini sebenarnya ada beberpa factor sebagai daya pendorongnya yaitu:

1. Pesatnya perkembangan agama Kristen Protestan sejak pertobatan


penduduk pulau Run (1907) sehingga kegiatan Evangelisasi jauh lebih
meningkat di kalangan para Evangelis (Zendeling, pendeta, penginjil,
guru).
2. Dikeluarkanya peraturan subsidi tahun 1906 yang disusul kemudian
dengan berbagai pengaturan subsidi tersendiri untuk sejumlah atau
sebahagian daerah luar Jawa-Madura (L. N. van. Asperen) sehingga
dapat meningkatkan kemampuan pembiayaan pihak Zending.
3. Penghapusan garis pemisah (Scheidingslijn) pada tahun 1928 untuk
melerai konflik yang sering timbul antara Zending dan misi dalam
penyebarluasan agama, sehingga menjelmakan perutusan rangkap
(double zending) yang dapat memacu evangelisasi dalam
memperebutkan daerah Irian Jaya sebagai wilayah-wilayah kerja
mereka.

Apabila jumlah sekolah pada akhir tahun 1933 mencapai 155 buah,
diantaranya 105 buah bersubsidi, yang terdiri dari Raja Ampat 10 buah 8 buah
bersubsidi 2 buah tidak bersubsidi, Teluk Doreh 3 buah, bersubsidi 2 tidak
bersubsidi 1. Numfor 7 buah bersubsidi semua, Nimboran 15 bersubsidi 9 sisanya
6 tidak bersubsidi, Hollandia-Sentani 17 buah, bersubsidi 5 sisanya 12 tidak
bersubsidi. Biak Utara 12 buah, bersubsidi 9 sisanya 3 buah tidak bersubsidi, Biak
Selatan 17 buah, bersubsidi 6 sisanya 11 tidak bersubsidi, Berau 11 buah
bersubsidi 9 sisanya 2 tidak bersubsidi dan Bintuni 15 buah bersubsidi 10 sisanya
5 tidak bersubsidi (L. N van Asperen, 1936:41). Ini adalah suatu jumlah maksimal
sekolah yang masih ada. Hal ini disebabkan karena terjadinya depresi ekonomi
yang melanda dunia pada tahun 1929-1933 atau yang dikenal dengan sebutan
”zaman Malaise” termasuk Indonesia (Nederlands Indie) pada waktu itu. Hal itu
membuat subsidi pemerintah colonial kepada sekolah-sekolah di Irian Jaya
(Nederlands Nieuw Guinea) sukar dipenuhi sebagaimana mestinya. Sehingga
antara tahun 1920 sampai akhir tahun 1933 sudah banyak sekolah yang
diselenggarakan oleh zending ditutup (L. N van Asperen, 1936:43).

Lalu bagaimanakah keadaan sekolah zending antara tahun 1934-1942?


Ternyata tidak diperoleh data sebagaimana yang diharapkan, sehingga tidak dapat
diketengahkan secara pasti. Namun dapat diperkirakan bahwa dalam kurun waktu
itu, andaikan jumlah sekolah itu bertambah hanya sedikit saja mengingat kurang
lebih lima setengah tahun kemudian dunia mulai dilanda perang dunia II.

b. Misi Katolik Roma (1905-1942)

Dalam usaha menyebarluaskan agama Katolik Roma, misi menempuh dua


jalan yaitu: stasi sebagai pemukiman model dalam kurun waktu 1894-1940 dan
pendidikan dalam bentuk sekolah beserta gagasan yang melandasi
penyelenggaraan pendidikan itu. Interaksi Misi di Irian Jaya dengan pos-pos
utama di darah Indonesia banyak ditentukan oleh cara yang ditempuh dalam
penyebaran agama dan keadaan setempat daerah Irian Jaya yang dihadapi. Sejak
tahun 1905 Misi Orde Hati Kudus yang berpusat di Langgur (Maluku Tenggara)
membuka stasinya yang pertama di Merauke setelah kegagalan pekerjaan Misi
Orde Yesuit di Fak-Fak tahun 1896 dengan tewasnya Pater Le Cocq
d’Armandville. Usaha ini baru menunjukan kegiatan yang lebih positif.
Penyebarluasan agama Katholik Roma selama kurun waktu 1905-1940 menurut J.
Verschueren dibagi atas dua fase yaitu: fase awal yang tidak membawa hasil
(1905-1920) dan fase perluasan secara besar-besaran (1920-1940).

Stasi adalah tempat beribadah, khususnya untuk perayaan Misa Kudus


yang dipimpin oleh seorang Pastur pada hari Minggu/hari besar keagamaan
lainnya atau pada waktu kunjungan ke stasi-stasi yang tidak sedikit jumlahnya itu
secara bergiliran. Kebaktian Sabda (Sembayang tanpa Pastur) dapat juga
dilaksanakan di stasi dengan pimpinan seorang Katekis atau Diakon. Tetapi dalam
kurun waktu itu pimpinan adalah kebanyakan kali seorang guru Misi
(Ensiklopedia Populer tentang Gereja, 1975). Daerah Irian Jaya Selatan dianggap
sebagai “tanah perjanjian” pada tahun-tahun pertama kehadiran misi karena
diduga daerah itu akanmendatangkan kemungkinan-kemungkinan yang baik.

Sebenarnya misi telah berhasil mengadakan kontak-kontak persahabatan


dengan penduduk asli daerah setempat. Terbukti dengan berlanjutnya pembukaan
stasi-stasi baru, misalnya di Wendu (1904), dan Okaba (1910). Namun masih
terdapat juga hambatan-hambatan yang berupa sifat penduduk pantai yang
senantiasa merasa puas dengan apa yang tersediakan oleh alam sekitar dan system
sosio-religius yang menempatkan penduduk asli pada kutub yang bertentangan
dengan ajaran ke-Kristenan. Peter. J Veterten adalah pejuang “Terang Kristus”
yang pantang mundur dalam menghadapi situasi masyarakat seperti ini. Hal ini
mendorong Misi untuk mengadakan pemukiman-model (modeldorpen). Para
penghuni pemukiman terdiri dari pasangan keluarga-keluarga muda yang pernah
menerima pendidikan sekolah. Di beberapa pemukiman dibangun gedung sekolah
semi-permanen, balai pengobatan, disamping ditempatkan para
rohaniawan/rohaniwati. Kehadiran para rohaniawan/rohaniwati disini, meskipun
jauh dari stasi dan pemukiman lainnya, sangat dirasakan pengaruhnya, bahkan
mendorong kegiatan penyebarluasan agama dan kegiatan pendidikan yang
dilakukan guru-guru.

Sekolah yang pada umumnya sebagai sarana untuk membangkitkan


kemampuan bernalar, maka Misi mendirikan sekolah juga untuk melepaskan
penduduk asli dari cara berpikir yang sangat tergantung pada ketakhyulan dan
alam sekitar disamping juga memasukan ajaran “Terang Kristus”. Pandirian
sekolah menurut Misi didasarkan atas keadaan masyarakat, terutama masyarakat
ang kurang mengenal tata tertib dalam hidupnya dan keadaan alam sekitar yang
dapat memenuhi kebutuhan primer sehari-hari walaupun dalam taraf kehidupan
yang masih sangat sederhana. Dengan kata lain sekolah merupakan upaya yang
menentukan dalam penghancuran unsur-unsur kebudayaan tradisional yang
membentengi penduduk setempat dari pengaruh dunia luar yang memajukan.
Sekolah juga merupakan pusat pengubahan tata kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Sekolah jenis ini kemudian mendapat sebutan sekolah pengadaban
(Beschavingschool) karena memang pelajarannya memprioritaskan pengadaban
atau pembudayaan generasi muda yang menjadi sasarannya, dan merupakan
prototype sekolah rakyat (Volkschool) yang sudah ada di daerah Indonesia
lainnya pada waktu itu.

Di beberapa tempat yang dianggap layak seperti di Merauke, sekolah


dilengkapi dengan asrama. Sekolah pengadaban umumnya terdapat di luar kota.
Bahkan kadang-kadang jauh terpencil di daerah pedalaman dengan pergaulan
hidup yang sangat sederhana. Jenis sekolah ini juga dapat dikatakan sebagai
wadah pembiasaan pada ketertiban, keteraturan, dan ketenteraman disamping
sekedar mewujudkan pengajaran agama yang elementer ditambah dengan sekedar
membaca, menulis dan berhitung. Tugasnya sekolah ini merupakan lembaga baru
dan menjadi alat utama dalam rangka penetrasi. Menilik bidang geraknya dalam
segi kerohanian dan kemasyarakatan, lebih-lebih kedudukannya yang langsung
berada di bawah Misi Katholik Roma, penyelenggaraan sekolah pengadaban
bukanlah urusan pemerintah colonial melainkan sepenuhnya urusan dan
pembiayaan Misi.

C. Pendidikan Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)

1. Latar Belakang

Berdasarkan rencana untuk mendirikan “Kemakmuran bersama Asia


Timur Raya” yang dipublikasikan tahun 1940, Jepang mengembangkan
kekuasaannya ke daerah-daerah Asia lainnya termasuk daerah Irian Jaya
(Nederlands Nieuw Guinea). Pada tahun 1942, Jepang telah menguasai hampir
seluruh daerah Irian Jaya, kecuali Merauke yang merupakan satu-satunya daerah
yang tidaka pernah dikuasai Jepang sampai perang selesai. Landasan ideal
pendidikan pada zaman pendudukan Jepang adalah mengajak bangsa Indonesia
bekerja sama dengan bangsa Jepang dalam rangka “Kemakmuran bersama Asia
Timur Raya”. Oleh karena itu, para pelajar setiap hari wajib mengucapkan
janji/sumpah setia kepada kaisar Jepang dan membentuk Indonesia Baru dalam
rangka “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Kenyataannya bangsa
Indonesia di daerah Irian Jaya banyak menderita untuk kepentingan perang
Jepang.
2. Perkembangan Pendidikan

Tujuan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang adalah memenangkan


peperangan. Bala tentara Jepang memberikan sedikit perhatian terhadap
pendidikan. Bahasa Melayu yang segera diubah menjadi bahasa Indonesia adalah
bahasa pengantar resmi, baik di kantor-kantor maupun di sekolah-sekolah.
Sedangkan bahasa Belanda dilarang sama sekali untuk diajarkan, bahkan akhirnya
juga semua hal yang berbau Belanda dilarang.

Secara konkrit tujuan pendidikan zaman pendudukan jepang di daerah


Irian Jaya tidaklah berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, yaitu
menyediakan tenaga kerja cuma-Cuma dan calon-calon prajurit untuk
memenangkan peperangan Jepang dalam perang pasifik.Oleh karena itu, pelajar-
pelajar diharuskan mengikuti latihan-latihan fisik dan indoktrinasi yang
dilaksanakan secara ketat. Pada akhir zaman pendudukan Jepang terdapat tanda-
tanda bahwa tujuan pendidikan zaman pendudukan Jepang adalah men-Japanisasi-
kan generasi muda Indonesia umumnya dan khusunya di daerah Irian Jaya.

Keadaan pendidikan pada zaman pemerintahan militer Jepang merosot


dengan drastic apabila dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Sekolah
pengadaban (Beschavingschool) maupun sekolah desa (Dorpschool) baik yang
diselenggarakan oleh zending Protestan maupun misi Katholik Roma banyak
ditutup. Demikian pula sekolah sambungan (Vervolgschool) dan sekolah guru di
Miei sebagai satu-satunya sekolah lanjutan di daerah Irian Jaya yang dikelola oleh
zending. Keadaan pendidikan semacam ini juga dialami oleh daerah Merauke
yang tidak dikuasai Jepang. Dalam masa peperangan ini banyak guru-guru yang
bertugas di daerah pedalaman meninggalkan tugas pekerjaannya, sedangkan
pengangkatan tenaga guru baru untuk ditempatkan di daerah pedalaman tidaklah
mungkin sama sekali. Semua guru berkebangsaan Belanda ditawan, bahkan
banyak juga guru-guru di Indonesia yang berasal dari luar Irian Jaya ditangkap
dan banyak diantaranya yang dibunuh, antara lain terjadi di Manokwari dan Serui.
Selain itu banyak diantara guru-guru yang ditunjuk sebagai mandor-mandor guna
mengawasi penduduk dan murid-murid yang melakukan kerja bakti atau kerja
rodi seperti membuat perkebunan untuk kepentingan Jepang. Akibatnya di daerah
Irian Jaya di zaman pendudukan Jepang sangat kekuranagn tenaga guru, sehingga
banyak sekolah yang terpaksa ditutup.

Guru-guru diwajibkan pula untuk mengikuti latihan-latihan yang meliputi:


indoktrinasi mental ideologi dalam rangka “Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya”, senam dan semangat Jepang, bahasa dan aksara Jepang. Demi
mengembangkan hari depan Indonesia baru dalam rangka “Kemakmuran Bersama
Asia Timur Raya”, murid-murid sekolah dikenai ketentuan dan indoktrinasi secara
ketat, antara lain mereka harus melakukan: senam pagi, pengucapan janji/sumpah
setia kepada kaisar Jepang serta menghormatinya dengan menundukan kepala kea
rah matahari terbit (Jepang), tata karma ala Jepang, kerja bakti (kinrohosi), belajar
bahasa dan aksara Jepang dan belajar menyanyikan lagu-lagu atau nyanyian-
nyanyian Jepang.

D. Pendidikan Zaman Kolonial Belanda (1945-1962)

1. Latar Belakang

Setelah daerah Hollandia (Jayapura sekarang) dibebaskan oleh tentara


sekutu dari pendudukan bala tentara Jepang pada tahun 1944, pemerintah NICA
(Netherlands Indies Civil Administration) segera melaksanakan tugas
pemerintahannya termasuk tugas di bidang pendidikan. Residen Jan Van Rechoud
mulai membuka sekolah untuk anak-anak bumiputera. Joka Institut di Yoka, dekat
Hollandia Binnen (Kotabaru dalam, Abepura sekarang). Pemerintah dalam negeri
yang diorganisasikan kembali mengangkat guru-guru (F. C. Kamma dalam W. C.
Klein, I, 1953: 124).

Sebagai akibat perang, keadaan pendidikan di daerah Irian Jaya


(Nederlands Nieuw Guinea atau Irian Barat dulu) sangat parah. Banyak sekolah
ditutup karena ketiadaan guru, sementara sekolah yang tetap terbuka berjalan
secara tidak teratur. Banyak diantara guru-guru yang menjadi korban akibat
keganasan perang Pasifik atau meninggal dunia karena sakit.

Pegawai-pegawai orang Indonesia yang berasal dari luar Irian Jaya banyak
yang kembali ke daerah asalnya. Selain itu banyak guru yang beralih tugas
menjadi pegawai pamong Praja semasa pemerintahan NICA (I. S. Kijne dalam W.
C. Klein, III, 1954:305). Karena CVO (Cursus tot Opleiding voor
Volksonderwijzers) atau sekolah guru di Miei sebagai satu-satunya lembaga
pendidikan guru yang mendidik guru-guru untuk Sekolah Dasar tidak berfungsi
lagi, maka kekurangan tenaga guru di daerah Irian Jaya sangat terasa.

Untuk menghidupkan kembali kegiatan sekolah-sekolah yang sudah


ditutup karena tidak adanya guru, maka pemerintah NICA mengambil langkah-
langkah darurat untuk mengatasinya. Pada awal tahun 1947 terdapat sekitar 150
orang yang diangkat dan bekerja sebagai guru. Mereka ini adalah guru-guru
darurat yang hanya memiliki ijazah Vervolgschool (sekolah sambungan) (F. C.
Kamma dalam W. C. Klein, I, 1953:125).

2. Perkembangan Sekolah

Sekolah dibedakan atas sekolah yang diperuntukan untuk anak-anak


bumiputera dan anak-anak orang Belanda. Pendidikan untuk anak-anak
bumiputera terbagi atas beberapa jenis sekolah sesuai dengan daerah tempat anak-
anak itu bermukim. Anak-anak yang bermukim di pedesaan, kesempatan
memperoleh pendidikan dasar dengan cara memasuki Dorpschool (sekolah desa).
Mereka yang bermukim di daerah perkotaan mempunyai kesempatan memasuki
Algemene Lagere School (Sekolah Umum Rendah) 6 tahun. Sementara itu anak-
anak orang Belanda memasuki Europese Lagere School (Sekolah Rendah Eropa).

a. Sekolah Desa (Dorpschool)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pemerintah Kolonial


Belanda tidak banyak menyelenggarakan sekolah tetapi menyerahkan
penyelenggaraannya kepada zending dan misi. Zending yang bekerja di Irian
Jaya sesudah perang terdiri dari beberapa zending yaitu Zending der
Nederlandse Hervormde Kerk (ZNHK), Zending Protestant Maloekoe (ZPM),
Molukse Protestantse Kerk (MPK) yang merupakan penjelmaa dari Indische
Kerk (IK), Cristian and Missionary Alliance (CAMA) dan Zending gereja
Baptis. Sedangkan misi terdiri dari Orde Fransiskan yang bekerja di bagian
Utara, Barat dan Tengah Irian Jaya dan Orde Hati Kudus yang bekerja di
daerah bagian Selatan Irian Jaya.

Tujuan Zending dan Misi di Irian Jaya adalah untuk menyebarluaskan


agama Kristen. Karena pihak zending dan misi beranggapan bahwa salah satu
jalan yang terbaik untuk menyebarluaskan ajaran agama Kristen ialah melalui
pendidikan di Sekolah. Maka Zending dan Misi banyak mendirikan sekolah.
Bahkan dalam memasuki daerah pedalaman yang penduduknya masih sangat
sederhana kebudayaannya, pihak zending dan misi merintis pembukaan
sekolah-sekolah yang sifatnya sangat sederhana yang dikenal sebagai sekolah
Pengadaban (Beschavingschool). Guru-guru yang bekerja pada sekolah
Pengadaban ini pada umumnya adalah penginjil untuk zending dan para
katekis untuk Misi atau guru-guru darurat.

Sesudah perang pasifik berakhir, zending dan misi membuka kembali


sekolah-sekolahnya dan mengembangkannya. Banyak kampong yang
penduduk akhirnya menyadari betapa pentingnya pendidikan demi kemajuan
warga kampungnya terutama generasi mudanya sehingga mereka meminta
kepada zending dan misi untuk membuka sekolah di kampungnya. Untuk
memenuhi kebutuhan tenaga guru di daerah Irian Jaya, semenjak tahun 1948
hingga tahun 1953 pihak zending dan misi mendatangkan banyak guru dari
Maluku. Pada akhir tahun 1951 jumlah sekolah desa yang diselenggarakan
oleh Zending dan Misi berjumlah 525 buah yang bersubsidi dan sekitar 90
buah yang berdikari (I. S. Kijne dalam W.C Klein, III, 1954:309 dan 328).

Program pelajaran pada sekolah desa sangat sederhana. Pelajaran


disesuaikan dengan keadaan dan tingkat kebutuhan masyarakat pedesaan yang
masih sederhana sekali. Oleh karena itu, pelajaran pada sekolah desa lebih
bersifat membantu pengembangan social daripada pengembangan intelektual.
Dengan demikian pelajaran-pelajaran hidup secara higienis, berkebun,
pekerjaan tangan, dan menyanyi atau music (bermain suling) perlu diberikan
disamping membaca, menulis dan berhitung.

b. Sekolah Sambungan (Vervolgschool)


Sesudah perang dunia II lembaga pendidikan di Yoka atau Joka Institut
(dekat Hollandia- Binnen atau Abepura) dan di Merauke akan dijadikan
Sekolah Pendidikan Umum. Pada tahun 1948 rencana ini dibatalkan. Karena
itulah muncullah gagasan untuk membuka Sekolah Sambungan di berbagai
daerah bagi Zending dan Misi. Lama belajar Sekolah Sambungan tiga tahun
dan tingkat pelajarannya sama dengan tingkat pelajaran yang diberikan pada
tiga kelas tertinggi Sekolah Rendah Umum (Algemene Lagere School). Pada
tahun 1951 sekolah sambungan berjumlah 12 buah dengan jumlah guru 31
orang dan jumlah murid sebanyak 910 orang. Sekolah sambungan merupakan
lanjutan pendidikan bagi anak-anak yang telah tamat dari Sekolah Desa dan
lulus dalam ujian masuk.

c. Sekolah Rendah (Lagere School)

Sekolah rendah didirikan di daerah kota dengan pelajaran yang bersifat


kekotaan dan mutunya sejauh mungkin sama dengan sekolah rendah 6 tahun
di negeri Belanda. Lama belajar sekolah rendah 6 tahun. Sekolah rendah ada
dua jenis yaitu Sekolah Rendah Umum (Algemene Lagere School) bagi
penduduk kota yang tidak berbahasa Belanda dan Sekolah Rendah Eropa
(Europese Lagere School) bagi penduduk kota yang berbahasa Belanda.

d. Taman Kanak-Kanak (TK=Kleuterschool)

Pada tahun 1951 di Nieuw Guinea Belanda (Irian Jaya) hanya terdapat
satu buah Taman kanak-kanak yang berkedudukan di Sorong dan
diselenggarakan oleh Orde Fransiskan dengan jumlah muridnya 50 orang. TK
ini tidak mendapat subsidi. Pelajaran berlangsung selama satu tahun. Dalam
kenyataannya TK ini merupakan sekolah persiapan (voor school=pra sekolah)
bagi anak-anak yang akan memasuki sekolah rendah umum (Algemene Lagere
School).
e. Pendidikan Sekolah Guru Rakyat (Opleidingschool voor
Volksonderwijzer= OVVO)
Untuk memenuhi sebagian kebutuhan guru-guru sekolah desa,
zending maupun misi menyelenggarakan pendidikan untuk guru-guru
sekolah rakyat. Pada tahun 1948 zending membuka OVVO di Yoka yang
dalam perkembangan berikutnya dipindahkan ke Serui pada tahun 1951.
Pada tahun 1951 misi Hati Kudus membuka juga OVVO di Merauke dan
Gereja Protestan Maluku membuka OVVO di Fak-Fak. Pada tahun 1952
jumlah OVVO menjadi empat buah yaitu dengan dibukanya lagi oleh Orde
Fransiskan di Fak-Fak. Pendidikan OVVO ini sangat sederhana dan
berlangsung selama dua tahun setelah tamat dari sekolah sambungan.
Setiap OVVO dilengkapi dengan asrama bagi siswa laki-laki dan
perempuan. Asrama OVVO di Serui sebagai kelanjutan dari asrama
OVVO Yoka, yang dalam kehidupan sehari-harinya lebih menekankan
pada pembentukan watak dan kehidupan para penghuninya. Mereka
diorganisasikan sebagai suatu masyarakat desa beseta kepala desa dan
dewan desanya (I. S. Kijne dalam W. C Klein, III, 1954:316).
Dengan mulai berlakunya Peraturan Subsidi Pengajaran Rendah
tanggal 1 Januari 1956, maka OVVO diubah menjadi Opleidingschool
voor Dorpsonderwijzers (ODO). Jumlah sekolahnya tetap, tetapi jumlah
muridnya dari tahun ke tahun meningkat. Jika OVVO lama belajarnya dua
tahun, maka berdasarkan Lager Onderwijs- en Subsidie- ordonnantie
(LOSO) lama belajar di ODO menjadi tiga tahun. Pendidikan tiga tahun
ini dianggap penting karena dipandang dari sudut kualitas pengajaran di
Sekolah Desa sangatlah tergantung kualitas guru-gurunya. Program
pengajaran ODO diarahkan kepada pandangan yang lebih modern, yaitu
dengan meletakkan titik berat pada latihan mengajar. Masyarakat
memandang guru sekolah desa tidak hanya bertugas menyampaikan
pelajaran melainkan juga memegang peranan penting dalam
perkembangan penting dalam masyarakat di desanya. Di samping itu,
setiap ODO selalu berusaha untuk membangun hubungan dengan para
lulusannya yang sudah ditempatkan pada Sekolah Dasar.
f. Kursus Normalis (Normalisten Cursus)

Untuk mendidik calon guru-guru sekolah sambungan, pihak zending


antara tahun 1947 sampai tahun 1950 menyelenggarakan kursus Normalis
dengan mengambil tempat di Yoka. Para pesertanya terdiri dari guru-guru
Sekolah Desa yang terpilih dan yang bekerja di Yoka dan sekitarnya. Kursus
diadakan pada sore hari.

g. Sekolah Teknik Rendah (Lagere Technische School)

Zending gereja reformasi Belanda mendirikan Sekolah Teknik Rendah


di Kotaraja pada tahun 1951. Selanjutnya misi Hati Kudus membuka sekolah
yang sama di Merauke. Masing-masing lengkap dengan asrama. Lama
belajarnya dua tahun.

Sekolah teknik rendah di Kotaraja memiliki dua jurusan yaitu: Jurusan


bangunan dan jurusan mesin. Tiap-tiap jurusan dipimpin oleh seorang ketua
jurusan. Sekolah teknik rendah ini didirikan dengan maksud untuk memenuhi
kebutuhan tenaga-tenaga terampil bagi masyarakat bumiputera. Disamping
kedua sekolah tersebut, perusahaan minyak NNGPM di Sorong juga
mendirikan sekolah pertukangan lengkap dengan asramanya. Tujuannya
adalah untuk memenuhi tenaga terampil yang dibutuhkan di perusahaan.
Selanjutnya pada tahun 1954 pemerintah Belanda juga membuka sekolah
teknik rendah di Hollandia (Jayapura sekarang). Sekolah ini tidak berasrama
dan diperuntukan bagi anak-anak lulusan sekolah rendah umum dan sekolah
rendah Eropa setempat. Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah teknik
rendah meliputi Bahasa Belanda, Ilmu pasti, Menggambar vak, Pertukangan
kayu, Pekerjaan Besi, Pengetahuan tentang Alat, Pengetahuan Bahan Material,
Ilmu Konstruksi dan Auto Montage (pemasangan Oto). Pelajaran diberikan
dalam bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Pada tahun 1961, jumlah siswa
sekolah teknik rendah sebanyak 289 orang, 211 orang diantaranya adalah
putra daerah. Usia murid-murid berkisar antara 14-20 tahun.
h. Sekolah Kerumahtanggaan (Huishoudschool)

Untuk memberi kesempatan kepada anak-anak perempuan lulusan


sekolah sambungan melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan
pelajaran keputrian khusus maka pada tahun 1957 Misi Katholik Roma
mendirikan Sekolah Kerumahtanggaan. Lama belajarnya tiga tahun. Orde
Fransiskan mendirikannya di Kokonao, Epouto, dan Fak-Fak. Sedangkan Misi
Hati Kudus mendirikannya di Mindiptana dan Kepi.

i. Sekolah Menengah Pertama (Primaire Middelbare School)

Primaire Middelbare School (PMS) biasa disebut juga MULO


(Meeruitgebreid Lager Onderwijs) Putra daerah. Artinya MULO diperuntukan
untuk putra daerah. PMS pertama kali didirikan pada tahun 1951 oleh zending
Gereja reformasi Belanda di Kotaraja. Sekolah ini dilengkapi dengan asrama
dan disubsidi oleh pemerintah Belanda. Murid-muridnya adalah lulusan
sekolah sambungan atau sekolah rendah umum. Mata pelajaran yang diajarkan
meliputi Bahasa Belanda, Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Tumbuh-Tumbuhan, Ilmu
Hewan, Ilmu pasti, Bahasa Inggris, Ilmu Alam, Ilmu Kimia, Menggambar dan
Olahraga. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.

j. Meeruitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Untuk pendidikan lanjutan bagi anak-anak bangsa Belanda, pemerintah


Belanda mendirikan MULO. Lama belajarnya 3-4 tahun karena ada beberapa
MULO yang mempergunakan kelas persiapan (Brugklas). Pada tahun 1951
terdapat sebuah MULO yang diselenggarakan oleh pemerintah (MULO
Negeri) di Hollandia dengan empat orang tenaga pengajar dan 60 orang siswa
(Ministerie van Buitenlandse Zaken, 1951: Lampiran XXXIII). Dalam
perkembangan selanjutnya pada tahun 1960, terdapat lima buah MULO
dengan penyelenggaraannya zending Protestan satu buah, Misi Kaholik Roma
satu buah dan tiga buah oleh pemerintah. Tenaga pengajar seluruhnya
berjumlah 20 orang dengan jumlah siswa sebanyak 468 orang.
k. Hogere Burgerschool (HBS)

Pada tahun 1953 Misi katholik Roma membuka HBS 3 tahun di Hollandia.
Jumlah siswanya 80 orang dan sebagian besar adalah anak-anak bangsa
Belanda. Tenaga pengajar berjumlah 10 orang guru. HBS ini memperoleh
subsidi dari pemerintah Belanda sama seperti subsidi untuk MULO. Pada
tahun 1957 HBS tersebut dikembangkan menjadi HBS 4 tahun dan pada tahun
1960 menjadi HBS 5 tahun.

l. Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool)

Pada tahun 1960 pemerintah Belanda membuka sekolah pendidikan


guru di Hollandia-Binnen (Abepura Sekarang). Lama belajarnya tiga tahun.
Sekolah ini menerima lulusan PMS dan MULO. Jumlah siswanya pada tahun
1960 sebanyak 55 orang.

3. Sekolah dan Kursus-Kursus yang diselenggarakan oleh Instansi di Luar


Dinas Pendidikan.

Berbagai instansi pemerintah Belanda menyelenggarakan sekolah dan kursus-


kursus untuk memenuhi kebutuhan tenaga instansi yang bersangkutan.
Penyelenggaraan sekolah dan kursus-kursus ini sepenuhnya dibiayai oleh
pemerintah sehingga para pesertanya tidak membayar uang sekolah. Beberapa
pendidikan kedinasan yang pelajarannya dilaksanakan pada hari sekolah secara
penuh antara lain:

1. Pendidikan untuk tenaga-tenaga pemerintahan putera daerah.


2. Pusat pendidikan Polisi Umum.
3. Sekolah Pertanian
4. Sekolah Pelayaran rendah
5. Pendidikan untuk tenaga-tenaga administrasi rendah.

4. Pendidikan Masyarakat
Pelajaran untuk orang-orang dewasa dalam rangka pemberantasan buta huruf
belum dirasakan perlunya. Hal ini disebabkan sikap orang-orang dewasa
masyarakat bumiputera terhadap pendidikan belum berkembang sebagaimana
layaknya. Namun, bagi sebagian masyarakat kota, kebutuhan akan pendidikan
sudah mulai berkembang. Karena itu pada tahun 1951 di kota Hollandia dan
Merauke dibuka kursus Bahasa Belanda yang diadakan pada sore dan malam hari,
atas prakarsa pemuka-pemuka masyarakat bumiputera. Selain itu, di Manokwari
diselenggarakan kursus mengetik (Ministerie van Bujtenlandse Zaken, 1951: 112).
Pada tahun-tahun berikutnya kursus-kursus semacam itu mendapat bantuan dari
pemerintah Belanda berupa alat-alat pelajaran. Pada tahun 1954 atas prakarsa
Kepala sekolah rendah umum di Merauke dibuka kursus pemberantasan buta
huruf. Di samping kursus membaca dan menulis, diberikan juga pelajaran bahasa
Belanda dan pengetahuan yang berkenaan dengan pengembangan masyarakat.

E. Pendidikan Zaman Indonesia Merdeka (1962-1980)

1. Latar Belakang

Persetujjuan Indonesia –Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (Irian


Jaya, Papua) kepada Republik Indonesia ditandatangani oleh masing-masing
wakil kerajaan Belanda dan wakil Republik Indonesia di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York pada tanggal 15 Agustus 1962.
Berdasarkan persetujuan ini kerajaan Belanda akan menyerahkan pemerintahan
wilayah Irian Jaya kepada Republik Indonesia dengan perantaraan atau
menyerahkan lebih dulu kepada United Nations Temporar Executive Authority
(UNTEA) yang dibentuk oleh PBB.

Pemerintahan UNTEA di Irian Jaya mulai sejak tibanya penguasa UNTEA


di Irian Jaya, pada 01 Oktober 1962. Semenjak itu, secara berangsur-angsur para
pegawai pemerintah colonial Belanda meninggalkan posnya dan kembali ke
negeri Belanda. Demi kelancaran jalannya roda pemerintahan di Irian Jaya maka
UNTEA segera mengisi pos-pos itu dengan mempekerjakan tenaga-tenaga yang
disediakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Dalam hubungan ini sejak bulan
Oktober 1962 tenaga-tenaga sukarelawan Indonesia, termasuk guru-guru untuk
Sekolah Dasar dan Sekolah lanjutan yang berasal dari segala penjuru tanah air
Indonesia diberangkatkan menuju Irian Jaya dalam rangka TRIKORA (Tri
Komando Rakyat). Sebagai bukti kemauan baik bangsa Indonesia, dalam hal ini
pemerintah republic Indonesia untuk segera mengejar ketertinggalan putra-putri
Irian Jaya dari kemajuan saudara-saudara sebangsanya maka pada tanggal 10
November 1962 di Kotabaru dalam (Abepura) dibuka Universitas Cenderawasih
dengan dua fakultas untuk pertama kalinya yakni Fakultas Hukum,
Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (FHKK) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP).

Masa peralihan UNTEA berakhir pada tanggal 01 Mei 1963, pada saat
penguasa UNTEA menyerahkan kekuasaan pemerintahan wilayah Irian Jaya
sepenuhnya kepada pemerintah RI.

2. Perkembangan Pendidikan

Sejak berakhirnya masa pemerintahan peralihan UNTEA tanggal 01


Mei 1963, maka segala kebijaksanaan baik dalam bidang politik maupun
pendidikan dan kebudayaan di seluruh daerah Irian Jaya berada di bawah
kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah RI. Pada pertengahan tahun 1963
telah diterbitkan Surat Keputusan Gubernur Irian Barat No. 7/192/63 tanggal 9
Juli 1963 dan No. 60/GIB/63 tanggal 01 Oktober 1963 yang kedua-duanya
menggariskan tentang kebijaksanaan pendidikan di Irian Jaya bersifat
horizontal meliputi penghapusan system Sekolah Rakyat (SR) 3 tahun dan
menumbuhkan secara bertahap Sekolah Dasar (SD) 6 tahun, pemberantasan
buta huruf secara menyeluruh dan penambahan jumlah sekolah dasar, sekolah
lanjutan dan sekolah kejuruan menurut kebutuhan daerah setempat.
Sedangkan vertical menyangkut pengubahan secara berangsur-angsur kualitas
pengajaran yang ditingkatkan ke arah standar nasional, pembangkitan dan
pembinaan rasa kebangsaan dan kepribadian Indonesia melalui semua aparat
dinas P dan K, serta pembinaan rasa dan sikap toleransi yang tinggi dalam
kehidupan kerohanian yang berbeda-beda bagi setiap warga Negara.

Perkembangan pendidikan selanjutnya di wilayah propinsi Irian Jaya


sebagai berikut:

a. Sekolah dasar (SD)


b. Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP)
c. Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA)
d. Pendidikan Tinggi (PT)
e. Pendidikan Luar Sekolah
Daftar Pustaka

Slamet Santoso Imam, 1987. Pendidikan di Indonesia dari masa-ke masa,


Jakarta: CV. Haji Mas Agung.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah


Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka.

Sumarsono Mustoko, Dkk, 1986. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke jaman,


Jakarta: Balai Pustaka

S. Nasution, 1983. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Bandung : Bumi Aksara.

Djumhur dan Dana Saotra H., 1976. Sejarah Pendidikan, Bandung: CV. Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai