Anda di halaman 1dari 62

BAB I

KONSEP DASAR SEJARAH PENDIDIKAN

Deskripsi Singkat

Bab ini akan membahas mengenai pengertian sejarah pendidikan, ruang lingkup
sejarah pendidikan dan manfaat mempelajari sejarah pendidikan. Bagian ini
merupakan dasar bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.

Capaian Pembelajaran

Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah:

1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian sejarah pendidikan


2. Mahasiswa mampu mendeskripsikan ruang lingkup sejarah pendidikan
3. Mahasiswa mampu mengemukakan manfaat sejarah pendidikan

A. Pengertian Sejarah Pendidikan

Sejarah pendidikan ialah uraian yang sistematis dari segala sesuatu yang
dipikirkan dan dikerjakan dalam lapangan pendidikan pada waktu lampau
(Hetharion, 2011). Sejarah pendidikan termasuk dalam ilmu mendidik (pedagogik).
Bagan di bawah ini akan menjelaskan kedudukan sejarah dalam keseluruhan
lapangan ilmu mendidik.

Sistematis
Aspek Teoritis

Historis (Sejarah
Pendidikan)
Ilmu mendidik

Didaktis

Aspek Praktis

Administrasi sekolah

Gambar 1: Kedudukan sejarah dalam lapangan ilmu mendidik.


Ilmu mendidik sistematis itu adalah ilmu yang memberikan uraian secara
tersusun tentang dasar, tujuan, lingkungan pendidikan dan segala sesuatu yang ada
sangkut pautnya dengan itu. Sedangkan antara ilmu mendidik dan sejarah
pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat. Ilmu mendidik sistematis
berusaha untuk menunjukan jalan, agar tercapailah cita-cita pendidikan. Segala
sesuatu didasarkan atas keadaan yang nyata, yang telah kita pelajari dalam sejarah
pendidikan.

B. Ruang Lingkup Sejarah Pendidikan

Ruang lingkup kajian sejarah pendidikan terdiri dari: 1). Konsep dasar
sejarah pendidikan yang membahas tentang pengertian, ruang lingkup, dan manfaat
sejarah pendidikan, 2) pendidikan pada masyarakat xaman purba, 3) perkembangan
pendidikan pada masa pengaruh Hindu-Budha, 4) perkembangan pendidikan masa
Islam, 5) perkembangan pendidikan pada masa Portugis dan Spanyol, 6) pendidikan
pada masa pemerintahan Hindia Belanda abad XIX dan XX, 7) pendidikan pada
masa pendudukan Jepang, 8).pendidikan masa kemerdekaan, 9) perkembangan
pendidikan di Papua.

C. Manfaat Sejarah Pendidikan

Sejarah pendidikan itu mempunyai nilai khusus, karena:

1. Dengan mempelajari sejarah pendidikan, kita memperoleh pengertian


tentang fungsi pendidikan dalam keseluruhan kebudayaan.
2. Sejarah pendidikan mengajar kita membedakan mana yang bernilai
tinggi dan mana yang tidak, sehingga kita terhindar dari tindakan-
tindakan yang salah dan sesat dalam melaksanakan usaha-usaha
pendidikan.
3. Sejarah pendidikan memberi kita pegangan, sehingga tidak akan terjadi
bahwa kita akan selalu menganggap rendah hal-hal yang sudah lama dan
menganggap tinggi hal-hal yang up to date (modern)
4. Dalam mempelajari sejarah pendidikan kita akan sadar bahwa
pendidikan itu hendaknya disesuaikan atau diselaraskan dengan
perubahan-perubahan keadaan, ilmu pengetahuan dan teknik.
5. Sejarah pendidikan menginsafkan kita bahwa pendidikan dan tugas
pendidik sangatlah penting
6. Dengan mempelajari sejarah pendidikan kita memperoleh contoh-
contoh pendidikan yang baik. Dalam pada itunperlu kitabperhatikan tiga
hal:
a. Sejarah pendidikan memberi pelajaran kepada kita bahwa sejak
dahulu kala banyak dalil-dalil pendidikan dikemukakan orang yang
kemudian dilupakan lagi. Tetapi kita juga sadari bahwa ada kita
jumpai kebenaran-kebenaran yang berlaku sepanjang masa dan yang
besar sekali nilainya bagi perkembangan kebudayaan
b. Hasil kedua adalah timbul pendapat bahwa teori-teori pendidikan
tidak dapat kita rumuskan dalam suatu rumus yang nilainya mutlak;
berlaku untuk setiap waktu dan untuk tiap-tiap bangsa. Pendidikan
itu berhubungan erat dengan pendirian falsafah, kepercayaan
pendirian politik dan pendirian hidup.
c. Akhirnya kita lihat dalam sejarah pendidikan itu suatu garis yang
menuju kearah perkembangan, ke arah perbaikan dalam sistem
pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa barangsiapa yang ingin


memahami keadaan keadaan sekarang dan ingin berusaha untuk mencapai
kemajuan hendaknya ia mengetahui hal-hal dari masa lampau.
BAB II

PENDIDIKAN ZAMAN PURBA

Deskripsi Singkat

Pada bab ini akan membahas mengenai pendidikan pada zaman purba, dimana
kehidupan pendidikan pada zaman ini masih sangat sederhana. Bab ini merupakan
dasar bagi bab-bab selanjutnya dalam modul ini.

Capaian Pembelajaran

Setelah mempelajari materi pada bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:

1. Menjelaskan ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman purba


2. Menjelaskan perkembangan pendidikan pada zaman purba
A. Ciri-ciri Kehidupan Masyarakat Zaman Purba
1. Kebudayaan
Kebudayaan masyarakat zaman purba umumnya termasuk kebudayaan
maritim.
2. Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat zaman purba masih berbau animisme dan
dinamisme. Animisme adalah kepercayaan akan kesaktian roh nenek
moyang. Roh ini sangat dipuja-puja karena orang beranggapan bahwa
nenek moyanglah yang mewariskan dan melindungi adat. Kesejahteraan
masyarakat bergantung kepada penuaian kewajiban orang-orang
terhadap adat. Sedangkan dinamisme adalah kepercayaan akan adanya
“mana” (tenaga-tenaga gaib) pada manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, benda-benda dan sebagainya. Kepercayaan akan adanya
tenaga-tenaga gaib itu merupakan bagian penting dari pada hidup
kerohanian orang nenek moyang kita pada masa itu.
3. Masyarakatnya merupakan masyarakat gotong royong
Meskipun pada waktu itu belum terdapat kota-kota, tetapi orang-orang
telah diam bersama-sama dalam masyarakat-masyarakat kecil.
Masyarakat itu merupakan masyarakat gotong-royong karena di
dalamnya belum terdapat perbedaan-perbedaan kelas.
Sistem gotong-royong dipakai dalam mengerjakan tanah-tanah
pertanian, mendirikan rumah-rumah dan memelihara desa. Tiap
masyarakat memrlukan seorang pemimpin. Ketua adat merupakan
pemimpin masyarakat kecil itu. Ia dianggap tetap mempunyai
kewajiban serupa dengan anggota-anggota lainnya. Jadi bukan
merupakan pemuka yang benar-benar, kecuali dalam hubungan dengan
acara-acara keagamaan. Bila upacara-upacara itu selesai, ia biasa lagi
seperti anggota-anggota lainnya. Karena pengaruh kebudayaan Hindu,
kelak ketua adat itu dijadikan raja.

B. Pendidikan pada zaman Purba

Pendidikan yang berlangsung dalam keluarga dan dalam masyarakat baik


secara formal maupun secara informal, pada masa ini tidak meninggalkan bukti
tertulis sehingga kita sulit untuk mendeskripsikannya secara jelas. Akan tetapi, kita
dapat melukiskan kehidupan masyarakat pada masa prasejarah itu. Menurut
arkeologi jaman prasejarah dibagi menjadi : 1. Jaman Batu; Paleolitikum,
Mesolitikum, Neolitikum; 2. Jaman Logam; Tembaga, Perunggu dan Besi, dengan
karakteristik masyarakatnya.

Kehidupan manusia prasejarah, masa neolitikum bisa dikatakan sebagai


“revolusi” yang besar dalam peradaban manusia. Sebenarnya revolusi itu didapati
benihnya di jaman mesolitikum, beserta datangnya arus kebudayaan baru yang jauh
lebih tinggi tingkatannya. Penghidupan food gathering (mengumpulkan makanan)
menjadi food producing (penghasil/produksi makanan). Perubahan inilah yang
dimaksud dengan revolusi tersebut meskipun tak seberapa nampaknya, tetapi
perubahan itu sangat besar artinya menilik akan akibatnya yang sangat mendalam
serta meluas di dalam perekonomian dan kebudayaan.

Penghidupan mengembara telah lampau, orang telah bercocok tanam dan


berternak. Hidup berkumpul berarti membentukkan suatu masyarakat yang
memerlukan segala peraturan dan kerjasama. Pembagian kerja memungkinkan
perkembangan berbagai macam cara dan penghidupan di dalam kerja sama itu.
Kerajinan tangan; seperti menenun dan membuat periuk belanga, sangat mendapat
kemajuan. Singkat kata bahwa dalam masa neolithikum itu terdapat dasar-dasar
pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan
sekarang.

Manusia memiliki kedudukan yang istimewa jika dibandingkan dengan


makhluk lain, karena pada intinya manusia berkedudukan sebagai makhluk sosial
(Zoon Politicon) dan interaksi dalam konteks sosialnya disisi lain manusia sebagai
makhluk budaya (Homo Humanus) dan nilai-nilai kemanusiaan. Nah kelompok
masyarakat yang paling pertama adalah keluarga sebagai unit masyarakat terkecil.
Keluarga berfungsi sebagai sumber interaksi pertama, sumber budaya dan sistem
nilai, sumber penerus generasi, dan sumber pendidikan pertama bagi kehidupan
manusia, yang kemudian baru meluas ke berbagai kelompok sosial lainnya.

Oleh karena itu lukisan-lukisan bagaimana pendidikan pada masa


prasejarah kita dapat melihatnya dari perkembangan kehidupan manusia dan jumlah
penduduknya. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, sehingga salah
satu fungsi keluarga adalah sebagai sumber pendidikan pertama bagi kehidupan
manusia, apapun bentuk pendidikan itu sesuai dengan masanya.

Pendidikan pada masa itu berlangsung dalam lingkungan keluarga sudah


mencukupi kebutuhan karena masyarakat saat itu masih serba bersahaja. Yang
menjadi pendidik terutama adalah ayah dan ibu. Ayah mengajarkan pengetahuan
dan kepandaian yang ada padanya kepada anak laki-laki dan ibu berbuat pula
terhadap anak perempuan.

Di antara manusia pada waktu itu, ada dua golongen yang mempunyai
kecakapan istimewa yakni pandai besi dan dukun. Mereka itu bergelar Empu.
Pandai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan duniawi, sedangkan dukun
adalah ahli dalam pengetahuan maknawiah. Para Empu itu dapat pula disebut guru
karena merekalah yang menjadi guru. Umumnya yang berguru padanya sangat
terbatas, terutama anak-anaknya sendiri.

Tujuan pendidikan ialah supaya anak-anak itu kelak dapat memegang


kekuasaan dalam masyarakat sebagai manusia yang mempunyai kecakapan
istimewa. Manusia yang dicita-citakan adalah a). Manusia yang mempunyai
semangat gotong royong, b) manusia yang menghormati para Empu, c) manusia
yang taat akan adat. Pada waktu itu belum ada lapisan bangsawan. Masyarakat
adalah masyarakat gotong royong, tidak berlapis-lapis. Empu tidak dianggap
sebagai anggota lapisan tinggi. Mulai pada zaman Hindu masyarakat itu berubah
menjadi masyarakat feodal, yakni masyarakat yang terbagi atas beberapa tingkatan.

BAB III
PENDIDIKAN PADA ZAMAN HINDU-BUDHA

Deskripsi Singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan pada zaman Hindu-
Budha. Bagian ini merupakan bagian dari bab-bab sebelumnya dan menjadi acuan
bagi bab-bab selanjutnya.
Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan Latar Belakang Sejarah Masuknya Hindu-Budha
2. Menjelaskan perkembangan pendidikan zaman Hindu/Budha

A. Latar Belakang Sejarah Masuknya Hindu-Budha


Kedatangan pengaruh India ke Indonesia erat kaitannya dengan perniagaan
yang dilakukan oleh para pedagang-pedagang Cina dan India. Bermula dari
berniaga kemudian berkembang menjadi hubungan agama dan budaya. Melalui
hubungan niaga itu, turut pula para pendeta yang bermaksud menyebarkan agama,
kemudian disusul dengan perginya orang Indonesia ke daerah asal para guru agama
atau pendeta. Hubungan seperti itu telah berlangsung cukup lama. Dalam proses
terjadinya hubungan timbal balik seperti itu, masyarakat-masyarakat setempat yang
sudah menetap di beberapa daerah tertentu, menerima budaya dan peradaban baru
itu.
Adanya tanda-tanda kebudayaan dan peradaban Hindu tertua di temukan
pada abad ke-5 di daerah Kutai (Kalimantan). Namun demikian gambaran tentang
pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia di dapatkan dari sumber-sumber
Cina kurang lebih satu abad kemudian.
Cendikiawan, ulama-biarawan, musafir-peziarah Budha dalam
perjalanannya ke India, singgah di pulau Jawa untuk mengadakan studi
pendahuluan dan persiapan lainnya. India adalah Tanah suci dan merupakan sumber
inspirasi spritual, ilmu pengetahuan, serta kesenian bagi pemeluk-pemeluk agama
Hindu dan Budha.
Seorang cendikiawan dan musafir-penulis Cina bernama I-Tsing singgah di
pulau Jawa bersama seorang cendekiawan lainnya Hwui-Ning. Mereka
menterjemahkan tulisan dari bahasa Sansktrta ke dalam bahasa Cina mengenai
Nirwana menurut pandangan mazhab Hinayana dari agama Budha. Hwui-Ning
berada tiga tahun (664-667) dan bekerja sama dengan seorang sarjana–
PUJANGGA Indonesia bernama Djananabhara. Ketika penterjemahan itu selesai
Hwui-Ning mengutus seorang ulama muda Cina untuk membawa karya tersebut ke
negerinya.
Sudah jelas bahwa pulau Jawa bukanlah merupakan pulau yang terletak
pada rute terpendek antara Cina dan India. Tetapi dari sumber Cina tersebut dapat
diketahui bahwa pada waktu itu di pulau Jawa merupakan pusat theologi Budha
dengan guru-guru besar yang berasal dari wilayah itu sendiri. Dari sumber sama
yaitu I-Tsing dapat diketahui bahwa di Sumatera terdapat kerajaan kuat serta
berpengaruh bernama Sriwijaya yang pusat pemerintahannya dari Ganton ke India
pada tahun 671 singgah di Sriwijaya untuk belajar Gramatika bahasa Sanskerta
selama enam bulan.

B. Pendidikan pada Zaman Hindu-Budha


1. Organisasi Pendidikan
Lembaga pendidikan pada masa Hindu Budha tidak dapat diketahui secara
pasti. namaun beberapa teori mengemukakan bahwa lembaga pendidikan yang
utama pada waktu itu adalah lingkungan keluarga. Pada abad ke-10 di Jawa Timur
disamping asrama Hindu juga telah berkembnag agama Budha dan telah ada pula
lembaga pendidikan sistem Wihara (bihara). Wihara atau bihara adalah tempat
belajar dan hidup bersama para biksu atau pendeta Budha. Di samping belajar
sendiri, para biksu-biara juga mengajar anak-anak dan orang-orang dewasa. Biara-
biara ini juga menyelenggarakan semacam sekolah. Biara sekolah dapat
digambarkan sebgai madrasah dalam pendidikan agama Islam.
Pupuh Negarakertagama pupuh 32 sampai 35 menunjukkan adanya sebuah
asrama siswaistik yang terletak di tengah-tengah hutan pada lereng bukit yang pada
tahun 1339 dikunjungi oleh raja Hayam Wuruk. Menurut Dr. Pigeaud, asrama
Sagara adalah sebuah mandala yang dahulunya merupakan pusat ligkaran suci dari
sekelompok pertapaan tersebar di seluruh desa. Perkembangan selanjutnya
pengaruh agama budha rupanya juga masuk ke keraton. Dengan demikian ada
lembaga pendidikan keraton yang dilaksankan oleh para pendeta keraton untuk
mendidik ahli waris dan keturunan-keturunan raja, dan ada juga pendidikan diluar
keraton yang biasa diselenggarakan oleh para guru pertapa (resi).

2. Kualifikasi Guru dan Murid

a. Kualifikasi Guru
Kaum Brahman yaitu kaum ulama menyelenggrakan pendidikan dan
pengajaran. Mereka mempelajari dan mengajarkan ilmu-ilmu Theologi, sastra,
bahasa, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Diantara golongan masyarkat desa pada
masa itu ada dua golongan yang mempunyai kecakapan istimewa, yakni pandai besi
dan dukun. Padai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan duniawi, sedangkan
dukun adalah ahli dalam pengetahuan maknawiayah. orang yang memiliki
kemampuan istimewa tersebut mendapat gelar empu (tuan atau engku). dua jenis
kecakapan itu ternyata menjadi monopoli suatu keluarga, sehingga hanya keturunan
merekalah yang mendapat mewarisi ilmu yang istimewa itu.
Untuk membentuk manusia baru diperlukan adanya guru yang
menyebarluaskan pengetahuan baru berdasarkan agama Hindu. Maka muncullah
lembaga pendidikan guru dengan para empu sebagai siswanya dan Brahmana
sebagai gurunya.
Perkembangan selanjutnya pengaruh agama Budha rupanya juga masuk ke
keraton. Dengan demikian ada lembaga pendidikan keraton yang dilaksankan oleh
para pendeta keraton untuk mendidik ahli waris dan keturunan-keturunan raja, dan
ada juga pendidikan diluar keraton yang biasa diselenggarakan oleh para guru
pertapa (resi). Guru keraton adalah punggawa-keraton yang hanya melayani ahli
waris keraton atau kaum ningrat, jadi bersifat aristokrastis. Sedangkan guru-pertapa
tidak mementingkan asal-usul orang. Setiap orang diterima sebagai muridnya.

b. Kualifikasi Murid
Klasifikasi murid sebagai berikut:
 Ahli waris keraton atau kaum ningrat. Murid pada golongan ini diajarkan
oleh para Brahmana dan para pendeta yang khusus didatangkan ke keraton.
Mereka diajarkan berbagai ilmu pengetahuan seperti bahasa, sastra, dan
ilmu kemasyrakatan.
 Masyarakat biasa.
Masyarakat biasa adalah masyarakat yang berada diluar keraton. umumnya
mereka adalah petani, peggawai.
 Murid dari luar daerah, yaitu murid yang datang untuk menuntut ilmu dari
berbagai negara dan daerah. mereka umumnya adalah para muasafir Budha
yang belajar salah satunya adalah di Sriwijaya.

3. Cara Pendidikan

Mengenai sistem pendidikan tinggi telah digambarkan pada keadan sekitar


abad ke-4 sampai abad ke-8. Pada abad-abad terakhir menjelang jatuhnya kerajaan
Hindu di Indonesia sistem pendidikan tidak lagi dijalankan secara besar-besaran
seperti sebelumnya tetapi dilakukan oleh ulama guru kepada siswa dalam jumlah
terbatas dalam pedepokan. Pada pedepokan tersebut kepada siswa selain diajarkan
ilmu pengetahuan yang bersifat umum diajarkan pula ilmu-ilmu yag bersifat
spritual religius. Selain itu mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Dengan pendidikan tinggi dipegang oleh kaum ulama. Namun demikian
pendidikan dan pengajaran tidak dilaksanakan secara formal sehingga seorang
siswa yang belum merasa puas akan ajaran yang telah diperoleh, mungkin saja
berusaha mencari dan perpindah-pindah dari guru yang satu ke guru yang lainnya.

4. Materi Pelajaran
Di dalam Hinduisme dikenal dengan sistem kasta, meskipun di Indonesia
pelaksanaannya tidak setajam di India. Kaum Brahmana yaitu kaum ulama
mengajarkan ilmu-ilmu Theologis, sastra, bahasa, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan.
Ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti dan perhitungan waktu juga
diajarkan. Begitu juga dengan seni bangunan, seni rupa, dan ilmu pengetahuan
lainnya.
Dalam perkembagannya kemudian kebudayaan Hindu mulai bercampur
dengan kebudayaan-kebudayaan dan unsur-unsur Indonesia sehingga melahirkan
ciri-ciri yang unik dan bercorak khas. Sampai jatuhnya kerajaan Hindu terakhir di
Indonesia yaitu Majapahit pada akhir abad ke-15, ilmu pengetahuan berkembang
terus, khsusnya dibidang sastra, bahasa, ilmu pemerintahan, tatanegara, dan hukum.
Kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kaling, Medang, Kediri, Singosari, dan Majapahit
melahirkan empu-empu, pujangga yang meghasilkan karya-karya bermutu tinggi.
Selain karya seni bangunan dan seni pahat dalam kerangka arsitektur yang
menakjubkan, juga dihasilakan penjabaran ilmiah dalam bidang dogmatik,
philosofi, sastra, dan bahasa. Bagi pendidikan kejuruan dan keterampilan seperti
pertanian, pelayaran, perdagangan, kontruksi bangunan, seni pahat, seni dan ilmu
bela diri (termasuk perang), dan sebagainya diselenggarakan secara turun-temurun
melalui jalur kastanya masig-masing.

BAB IV
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MASA PENGARUH ISLAM

Deskripsi singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan masa pengaruh
Islam. Bagian ini merupakan bagian dari bab-bab sebelumnya dan menjadi acuan
untuk mempelajari bab-bab selanjutnya seperti perkembangan pendidikan pada
masa Portugis dan Spanyol.
Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari materi pada bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
perkembangan pendidikan pada masa pengaruh Islam

A. Kedatangan dan Penyebaran Agama Islam di Indonesia.


Pada abad ke-13, sebagai dampak perkembangan perdagangan internasional
(globalisasi), maka banyak pedagang asing yang meluaskan areal perdagangan ke
Indonesia. Selain saudagar cina terdapat pula kelompok pedagang dari Indonesia
yang berasal dari Sumatera dan Jawa, yang mana saudagar Gujarat telah memeluk
agama Islam.
Pada saat itu pusat kekuasaan ada di daerah pedalaman, sementara daerah
pesisir berkedudukan sebagai vassal atau daerah bawahan. Padahal daerah pesisir,
yang lebih dulu berhubungan dengan pedagang asing dari pada pusat kerajaan di
pedalaman. Oleh karena itu, kedatangan orang asing diterima dengan baik oleh
masyarakat pesisir, hal ini disebabkan anatara lain: Sifat terbuka orang pesisir
menerima unsur-unsur yang baru (dari luar) sehingga terjadi akulturasi kebudayaan
(aspek budaya), dan masyarakat pantai bersifat dinamis dan bersaing dalam
kehidupan ekonomi perdagangan (kehidupan mereka berlayar sambil berdagang-
Aspek Ekonomi). Ditambah lagi motif (aspek) politik dari daerah pesisir agar
terlepas dari induknya di pedalaman yang masih beragama Hindu. Faktor politik
inilah yang melahirkan kerajaan-kerajaan di pesisir (Demak, dll) yang mampu
melumpuhkan kekuasaan Majapahit.
Dengan beralihnya pusat kekuasaan dari pedalaman ke wilayah pantai, maka
penyebaran agama Islam makin berkembang pesat di Nusantara. Menurut Marco
Polo di Aceh Utara (Perlak) terdapat sekelompok penduduk Islam dan banyak
pedagang Islam (India) yang giat menyebarkan agamanya (1292), dan kemudian
muncul kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai (1297).
Singkatnya bahwa penyebaran agama islam datang ke Indonesia melalui pusat-
pusat perdagangan daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan
internasional, Malaka. Kemudian menyebar ke Jawa dan lalu ke Indonesia bagian
Timur dan umumnya perpindahan dari agama Hindu/Budha ke Islam berjalan
dengan damai.

B. Sistem Pendidikan Dan Pengajaran


Ada 3 (tiga) macam sistem pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia, yaitu
pendidikan di Langgar, Pendidikan di Pesantren, dan Pendidikan di Madrasah.
1. Pendidikan di Langgar
Langgar adalah tempat ibadah (sholat) di desa-desa terutama di Jawa yang
dikelola oleh seorang amil, modin atau lebih (sumatera). Pengajaran di langgar
merupakan pengajaran agama permulaan. Mula-mula murid-murid mempelajari
abjad Arab, kemudian mengeja ayat-ayat Quran pertama dengan irama suara
tertentu. Pelajaran diberikan dengan sistim sekepala. Guru menyebutkan sesuatu
dan murid menirunya. Yang dicita-citakan dari pengajaran ini adalah dapat
membaca Quran sampai tamat.
Lama belajar tidak tentu, biasanya sekitar setahun, namun kadang-kadang
hanya diikuti selama beberapa bulan saja. Biasanya pelajaran diberikan pada pagi
dan malam hari dan berlangsung sekitar dua jam lamanya. Yang menjadi guru disini
adalah seseorang yang sudah memiliki pengetahuan agama yang agak mendalam.
Guru pada masa ini dipandang sebagai seorang yang sakti. Sehingga murid-murid
harus tunduk kepada guru. Uang sekolah tidak dipungut bagi pelajaran agama
permulaan itu. Bila seorang murid sudah menamatkan pelajarannya, dalam arti
sudah dapat membaca Quran sampai tuntas, maka diadakan lah selamatan atau
khataman. Sebagai bagian dari lembaga sosial, langgar dianggap penting artinya.
Anak-anak rakyat lambat laun menyadari menjadi anggota persekutuan besar, yaitu
persekutuan umat Islam.
2. Pendidikan di Pondok Pesantren
Pengajaran yang lebih lanjut dan lebih mendalam diberikan di pesantren.
Murid-muridnya dinamakan santri yang pada umumnya terdiri atas anak-anak yang
lebih tua dantelah memiliki pengetahuan dasar yang mereka peroleh di langgar.
Para santri yang biasanya berasal dari berbagai-bagai tempat dikumpulkan dalam
suatu ruangan yang disebut pondok (semacam asrama). Berdekatan dengan pondok,
ada mesjid dan rumah guru. Guru lazim disebut ajengan atau kiyai. Adakalanya
guru menerima sumbangan dari murid-muridnya berupa uang atau bahan makanan.
Sumbangan itu merupakan kerelaan dari murid-muridnya (santri-santrinya). Guru
hidup bersama-sama dengan santri-santrinya. Santri-sasantri yang tinggal di
asrama harus memasak makanan sendiri-sendiri. Untuk itu mereka membawa bekal
dari rumah masing-masing berupa beras, uang dan alat-alat memasak.
Lama belajar di pesantren tidak tentu. Ada yang setahun, tapi ada juga yang
sampai sepuluh tahun atau lebih. Pelajaran pertama diberikan pada pagi hari,
sesudah itu sembahyang subuh. Sesudah itu para santri melakukan kerja bakti
seperti membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah dan sebagainya.
Sesudah makan siang, semua beristirahat untuk kemudian dimulai lagi dengan
pelajaran dan diselingi dengan menghafal. Kepada murid-murid yang telah
dipandang tingggi tingkatan pelajarannya diberikan pelajaran dari pelbagai kitab
dengan sistim klasikal. Mata pelajaran-mata pelajaran yang penting diberikan
antara lain:
1. Usuluddin (pokok-pokok ajaran kepercayaan)
2. Usul Fiqh (alat penggali hukum dari Quran dan Hadits)
3. Fiqh (cabang dari Usuluddin).
Di daerah Sumatera Barat, tidak ada pemisahan antara langgar dan pesantren.
Sekolah-sekolah agama Islam disana dinamakan: Surau. Di Surau, orang tidak
hanya mempelajari pelajaran agama permulaan, tetapi juga lanjutan. Di Aceh,
sekolah semacam itu disebut rangkang. Melihat organisasi pesantren di pulau Jawa,
Surau dan rangkang di pulau Sumatera yang banyak menunjukan persamaan dan
sistem asrama (sistem guru-kula) di India, ada dugaan kuat bahwa lembaga-
lembaga pendidikan semacam itu sudah ada lama sebelum Islam masuk ke
Indonesia.
3. Pendidikan di Madrasah

BAB V
PENDIDIKAN PADA MASA PORTUGIS DAN SPANYOL
Deskripsi Singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan pada zaman
pengaruh Portugis dan Spanyol. Bagian ini merupkan bagian dari bab-bab yang
sebelumnya dan akan menadi acuan untuk mempelajari bab-bab selanjutnya.
Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
perkembangan pendidikan pada zaman pengaruh Portugis dan Spanyol.
A. Latar Belakang Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol ke Indonesia
Perang Salib memporak-porandakan jalur perdagangan Eropa dan Asia karena
berlangsung di perbatasan 2 benua tersebut. Selain jalur perdagangan, keadaan
ekonomi kerajaan-kerajaan Eropa pun menjadi terpuruk. Kas mereka menyusut
drastis karena besarnya biaya perang. Berselang 2 abad setelah Perang Salib
selesai, kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) jatuh ke tangan imperium Turki
Usmani (Ottoman). Hal ini adalah kabar buruk bagi kerajaan-kerajaan di Eropa
karena kota tersebut menjadi titik penting jalur perdagangan antar-benua (Eropa
dan Asia). Jatuhnya Konstantinopel ke tangan imperium Turki Usmani di tahun
1453 merupakan faktor penting yang paling utama mendorong pelayaran
bangsa-bangsa Eropa ke negeri-negeri jauh. Sejak Konstantinopel dikuasai oleh
Turki Usmani, bangsa-bangsa Eropa kesulitan mencari akses perdagangan ke
Asia. Sultan Muhammad II melarang pedagang-pedagang dari Eropa masuk ke
Konstantinopel (Istanbul). Padahal, kota itu menjadi pintu masuk ke jalur
perdagangan dengan orang-orang Asia, terutama para penyuplai rempah-
rempah. Karena itulah, bangsa-bangsa Eropa mengerahkan para pelautnya untuk
berlayar mengarungi samudera demi mencari jalur perdagangan baru, sekaligus
menemukan kepulauan sumber rempah-rempah.

i antara bangsa-bangsa Eropa yang paling aktif merintis pelayaran untuk


menemukan "dunia baru" itu adalah Spanyol dan Portugis. Namun, keduanya
sempat berselisih mengenai jalur pelayaran yang akan ditempuh. Akhirnya, pada
7 Juni 1449 ditandatangani Perjanjian Tordesilas, yang isinya membagi dunia
menjadi dua wilayah kekuasaan dengan garis yang membentang dari Kutub
Utara menuju Kutub Selatan. Berdasar perjanjian Tordesilas, area pelayaran
Bangsa Spanyol melewati jalur barat. Salah satu pelayar termasyur yang dimiliki
Spanyol adalah Christoper Colombus, yang “menemukan” benua Amerika.
Adapun Portugis mendapat jatah area pelayaran melewati jalur timur yang
membuat mereka lebih cepat menemukan kepulauan sumber yang menjadi
sumber utama rempah-rempah, yakni nusantara. Tujuan Kedatangan Bangsa
Spanyol ke Indonesia Para penjelajah dari Bangsa Spanyol pertama kali datang
ke Indonesia (nusantara), tepatnya di Maluku, pada 8 November 1521.
Rombongan pertama penjelajah Spanyol yang tiba di Kepulauan Maluku
dipimpin oleh Kapten Joan Sbastian El Cano. Mengutip modul pembelajaran
SMA Sejarah Indonesia (2020) terbitan Kemendikbud RI, tujuan dari
kedatangan Bangsa Spanyol adalah untuk mewujudkan semangat 3G, yaitu:
Gold, yaitu mencari emas dan mencari kekayaan (dari perdagangan rempah).
Glory, yaitu mencari keharuman nama, kejayaan, dan kekuasaan (wilayah
jajahan). Gospel, yaitu tugas suci menyebarkan agama Katolik. Namun,
kedatangan Bangsa Spanyol di Maluku ditentang oleh Bangsa Portugis yang
telah datang terlebih dahulu di kepulauan paling dicari orang-orang Eropa itu.
Portugis menuding Spanyol melanggar Perjanjian Tordesillas. Alhasil, demi
memenangkan persaingan dalam perdagangan rempah, orang-orang Spanyol
mendekati Kesultanan Tidore, rival Kesultanan Ternate yang sebelumnya
menjalin kerja sama dengan Portugis. Buntut dari koalisi-koalisi ini adalah
permusuhan Ternate dan Tidore yang makin memanas, karena telah dibumbui
oleh kepentingan Spanyol dan Portugis di belakangnya. Perang pun tak
terelakkan. Di pertempuran itu, Ternate yang dibantu Bangsa Portugis keluar
sebagai pemenang. Akibat kekalahan ini, sejak tahun 1535, Bangsa Spanyol
mulai tersisih dari persaingan memperebutkan dominasi perdagangan rempah-
rempah di Indonesia.
kan tetapi, kekalahan dalam perang ini tak serta-merta menjadi penyebab utama
mundurnya Bangsa Spanyol dari Indonesia. Faktor lain yang membikin Bangsa
Spanyol mundur adalah Perjanjian Saragosa tahun 1535. Perjanjian Saragosa
berisi kesepakatan antara Kerajaan Portugis dan Kerajaan Spanyol dalam
pembagian wilayah operasi perdagangan di timur jauh. Berdasar perjanjian
Saragosa, Bangsa Spanyol berhak beroperasi kembali di Filipina, sementara
Bangsa Portugis di Kepulauan Maluku. Perjanjian Saragosa sekaligus menandai
berakhirnya masa pendudukan Bangsa Spanyol di Indonesia yang terbilang
singkat.

B. Perkembangan Pendidikan pada masa Portugis dan Spanyol


Waktu orang-orang Portugis menyerbu Indonesia, mereka dibarengi oleh
missionaries, yang diberi tugas untuk menyebarkan agama Nasrani di kalangan
penduduk Indonesia. Salah satu tokoh Portugis yang menyebarkan missi itu adalah
Franciscus Xaverius, yang dianggap sebagai peletak batu pertama dari agama
Katholik di Indonesia. Ia berpendapat bahwa untuk memperluas penyebaran agama
Nasrani itu perlu sekali mendirikan sekolah-sekolah. Maka pada tahun 1536
didirikan sebuah seminarie di Ternate yang merupakan sekolah agama bagi anak-
anak orang terkemuka. Selain pelajaran agama diberikan juga membaca, menulis
dan berhitung. Kemudian di Solor juga didirikan semacam seminarie yang
mempunyai sekitar 50 orang murid. Di sekolah itu juga diajarkan bahasa latin.
Pendidikan yang lebih tinggi diberikan di Goa sebagai pusat kekuasaan Portugis di
Asia. Pemuda-pemuda Indonesia yang cakap dikirimkan ke sana untuk
mendapatkan pendidikan sehingga kelak mereka dijadikan pembantu-pembantu
paderi. Pada tahun 1546 di Ambon sudah ada 7 kampung yang penduduknya
memeluk agama Katholik. Rupanya disana diselenggarakan pula pengajaran untuk
rakyat yang bersifat umum. Keterangan-keterangan lebih lanjut mengenai hal ini
tidak diketahui dengan pasti. Karena sering timbul pemberontakan-pemberontakan
terutama dari Sultan Ternate dan banyak peperangan yang harus dihadapi dengan
orang-orang Spanyol, Inggris dan Belanda, maka pada akhir abad ke-16 habislah
kekuasaan Portugis di Indonesia. Hal ini berarti habis pula riwayat misi Katholik di
daerah Maluku.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan jaman Portugis
tidak bisa lepas dari institusi keagamaan dalam hal ini gereja. Misi pengembangan
agama Khatolik tidak dapat dipungkiri pengaruhnya sangat dominan dalam
pengembangan pendidikan pada masa Portugis. Kenyataan tersebut seperti
diungkapkan oleh Said dan Affan (1987) bahwasannya pendirian sekolah–sekolah
oleh Portugis tidak lain merupakan bentuk dari pola penyebaran agama Katholik.
Sehingga tidak mengherankan jika sekolah guru yang pertama di Indonesia
(Maluku-Ternate) didirikan oleh Gereja Khatolik. Demikian pula lulusan yang
ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi mereka dikirim ke Goa (India)
untuk mengikuti perkuliahan di universitas keagamaan. Jika memang pendidikan
adalah bagian dari misi gereja, maka peranan tokoh dari Ordo Yesuit bernama
Franciscus Xaverius harus di akui sebagai pelopor pendidikan Barat (Kristen) di
Indonesia.

BAB VI
PENDIDIKAN MASA HINDIA BELANDA

Deskripsi Singkat
Bab ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan pada masa Hindia
Belanda. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab-bab sebelumnya dan menjadi
acuan bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.

Capaian Pembelajaran

Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa Hindia Belanda.

A. Masa “Vereenigde Oost-Indische Compagnie” (VOC)


1. Tujuan dan Landasan Idiil
Pada abad 17-18 di negeri Belanda segala kegiatan yang menyangkut bidang
pendidikan dan pengajaran dilaksanakan oleh lembaga-lembaga keagamaan.
Pemerintah tidak ikut campur tangan langsung dalam penyelengaraannya, sehingga
Gereja mempunyai kebebasan yang besar dalam bidang pendidikan. Berbeda
dengan di Indonesia pada waktu VOC sama sekali tidak menghendaki bahwa
lembaga keagamaan mempunyai wewenang besar dalam mengatur masyarakat di
daerah-daerah yang mereka kuasai. Kegiatan Gereja merupakan sebagian dari
kegiatan VOC secara menyeluruh dalam rangka aktivitas komersialnya. Oleh
karena itu penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran walaupun masih tetap
dilakukan oleh kalangan agama, yang juga adalah pegawai-pegawai VOC.
Untuk mendapatkan pengetahuan tentang Indonesia dan tenaga-tenaga orang
pribumi untuk membantu melaksanakan tugas VOC maka pemerintah VOC
menjalankan pendidikan bagi orang-orang Belanda maupun orang pribumi. Dasar
dari pendidikan VOC pada waktu itu adalah Agama Nasrani (Protestan) karena para
pengajar pendidikan dijalankan oleh Gereja.

2. Jangkauan Wilayah Pendidikan VOC


VOC mula-mula datang ke Indonesia, mereka menuju langsung ke daerah-
daerah yang menjadi sumber kekayaan bagi pasaran dunia, yaitu kepulauan
Maluku. Baru pada abad ke-17 Raja Ternate menganggap VOC sebagai kawan dan
memperbolehkan mendirikan benteng di Pulau Ambon, setelah orang Portugis yang
sementara itu berpengaruh di wilayah tersebut diusir oleh orang-orang Belanda,
maka VOC berkuasa mutlak dan mulai mengatur perdagangan dan kehidupan
masyarakat. Sejak tahun 1605 VOC meluaskan daerah pengaruhnya ke arah utara
kedudukannya di Pulau Ambon sampai ke wilayah Sulawesi utara dan Kepulauan
Sangir Talaud. Dalam bidang pendidikan VOC selain mengambil alih bekas
lembaga-lembaga pendidikan Portugis juga mendirikan sekolah-sekolah baru.
Perbedaan pola pengajaran yang disampaikan adalah; bangsa Portugis memberikan
pendidikan agama Khatolik Roma sedangkan VOC Belanda memberikan
pendidikan Kristen Protestan. Menurut laporan tahun 1695 mengenai keadaan
sekolah, dan murid diluar pulau Ambon yang terdapat di 8 pulau, terdapat 34 guru,
29 sekolah dan 1075 murid.
Di pulau Ambon dan sekitarnya pada tahun 1645 terdapat 33 sekolah dan
1300 murid pada tahun 1708 jumlah muridnya meningkat menjadi 3966 jiwa. Pada
abad ke-18 VOC meluaskan jangkauannya wilayah pendidikannya ke arah selatan
sejalan dengan perluasan daerah pengaruhnya ke bekas daerah kekuasaan orang-
orang Portugis dan Spanyol yang telah mulai dengan kegiatan bidang pendidikan.
Daerah pendidikan VOC meluas ke Pulau Timor (1701), Sawu (1756), Kei (1635,
Kepulauan Aru (1710), Pulau-pulau Kisar, Wettar Damar dan Letti (1700).
Berbeda dengan Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur, di Sumatera,
Jawa dan Sulawesi Selatan, VOC tidak mengadakan kontak langsung denga
penduduk tetapi melalui sultan, raja atau penguasa daerah. Dengan demikian di
wilayah tersebut tidak terdapat sistem pendidikan VOC, kecuali di tempat
kedudukan, di kota pelabuhan, atau benteng-benteng yang dijadikan basis.
3. Sistem dan Jenis Persekolahan
Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh VOC didasarkan dan dilakukan
oleh orang-orang dari kalangan beragama, dengan sendirinya sekolah-sekolah
mempunyai ciri-ciri dan corak agama (Kristen). Jenis-Jenis Persekolahan yang
berlangsung pada masa pemerintahan VOC adalah :
a. Pendidikan Dasar
b. Sekolah Latin
c. Seminari Theologicum
d. Akademi Pelayaran (Academie der Marine)
e. Sekolah Cina
4. Fasilitas Fisik, Personil, dan Faktor-faktor yang Berpengaruh
terhadap Pendidikan.
VOC telah mempersiapkan sarana dan prasarana berupa sarana fisik; personil
dan kurikulum sebagai faktor yang penting dalam pelaksanaan pendidikan; yang
mencakup dalam sarana fisik adalah bangunan sekolah yang dibangun di daerah-
daerah yang menjadi basis VOC, informasi mengenai jumlah sarana fisik yang
dibangun pada masa VOC di Indonesia belum dapat disampaikan dengan tepat.
Sedangkan untuk personil sesuai dengan kebijakan umum VOC, maka guru-guru
untuk sekolah di wilayah kekuasaannya, pada umumnya merangkap sebagai guru
agama (Kristen). Guru-guru ini sebelum melaksanakan tugasnya harus mempunyai
lisensi yang diterbitkan oleh kompeni. Sedangkan untuk ujiannya diselenggarakan
oleh Gereja Reformasi dengan menunjukkan kepada calon guru tersebut, warga dari
gereja tersebut. Kurikulum untuk setiap jenis pendidikan telah diatur misalnya
untuk pendidikan dasar, yang dibagi menjadi 3 kelas dengan mata pelajaran
membaca, menulis, pelajaran agama, menyanyi dan berhitung. Sekolah Latin yang
menjadi mata pelajaran utama adalah bahasa Belanda dan bahasa Latin, demikian
halnya dengan Sekolah Seminari Tehologicum, Sekolah Pelayaran dan Sekolah
Cina.
B. Perkembangan Pendidikan Masa Pemerintahan Hindia Belanda Abad
XIX & XX

1. Prinsip Pendidikan Abad XIX


Pada tahun 1799 VOC bubar sehingga segala sesuatu yang mengatur
pemerintahan dan masyarakat di Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah
Belanda. Kebangkrutan VOC antara lain akibat cara-cara perdagangan tradisional
dan korupsi yang merejalela dikalangan pegawai-pegawai VOC. Secara tidak
langsung yang dilakukan secara tradisional menempatkan penguasa pribumi
mengurusi administrasi pemerintah lokal dan perusahaan perkebunan sebagai
pengawas. Hal ini menyebabkan banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh
penguasa pribumi dan orang-orang Belanda. Bentuk-bentuk korupsi ada
bermacam-macam, misalnya perdagangan pribadi, pejabat VOC yang lebih
memperhatikan perdagangannya sendiri dari pada majikannya (VOC), sedangkan
untuk menjalankan usahanya, mereka menggunakan Fasilitas VOC. Dikatakan
bahwa pada abad ke-18 banyak kapal VOC yang tenggelam karena terlalu banyak
muatan barang-barang pribadi. Selain itu pejabat VOC menerima suap dari pejabat
VOC rendahan dan pejabat Indonesia.
Perpindahan dari VOC ke Pemerintahan Belanda itu bersamaan dengan
munculnya pola pemikiran baru orang-orang Eropa yang mempengaruhi langkah-
langkah dan kebijakan pada umumnya, khususnya tentang daerah-daerah jajahan.
Oleh karena itu, ada beberapa prinsip pendidikan pemerintah Belanda di Hindia
Belanda yaitu:
1. Pemerintah tidak akan memihak kepada salah satu Agama
2. Peserta didik setelah lulus dapat mengabdi pada pemerintah kolonial,
3. Sistem pendidikan atas dasar struktur sosial masyarakat
4. Pada dasarnya pendidikan untuk membentuk golongan/kelas baru (elit)
sosial untuk kepentingan supremasi ekonomi dan politik kolonial.
Dampak dari kebijakan diatas, maka hanya anak-anak “Priyayi” atau golongan
bangsawan dan kaum kaya yang bisa/boleh mengikuti pendidikan dengan orientasi
dan pengatahuan Barat. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah Belanda
yang tidak secara langsung memerintah daerah jajahannya (indirect rule). Tepatnya
melalui kaum bangsawan sehingga hanya anak-anak mereka yang dapat sekolah
dengan harapan kelak dapat melaksanakan “status quo” hubungan antara
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan kaum bangsawan dan rakyat biasa.
Pembatasan ini masih nampak hingga tahun 1900/1912, misalnya pada OSVIA
(Opleidingscholen voor Indische Amtenaren) atau sekolah Pangre/Pamong Praja
Pribumi yang terdiri dari 40 siswa yang kesemuanya anak kaum
bangsawan/aristokrasi. OSVIA adalah reorganisasi/pengembangan dari sekolah
Raja (Hoofdenschool), lama belajar 5 tahun, kemudian tahun 1972 diubah menjadi
MOSVIA (Middelbaar Opleindingschool voor Indische Amtenaren). Sekolah ini
dibuka untuk anak-anak Indonesia yang telah menyelesaikan ELS (Europese
Lagere School) atau Sekolah Rendah Eropa untuk anak-anak Eropa dan anak-anak
orang Pribumi kalangan elit.
a. Sistem, Tingkat dan Jenis Persekolahan
1) Sekolah untuk Golongan Penduduk Eropa
a. Sekolah Dasar
b. Sekolah Lanjutan
2) Sekolah Untuk Golongan Bumi Putra
a. Sekolah Dasar Negeri : Sekolah Dasar Kelas Satu (De scholen der
eerste klasse); Sekolah Dasar Kelas Dua (De scholen der tweede klsse;
sekolah dasar kelas satu diperuntukan bagi anak-anak dari pemuka-
pemuka, tokoh-tokoh terkemuka dan orang-orang yang terhormat
Bumiputra; sedangkan sekolah dasar kelas dua untuk anak-anak rakyat
bumi putra.
3) Sekolah Raja (Hoofdenschool)
4) Sekolah lanjutan
5) Sekolah Kejuruan
a. Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool) dan
b. Sekolah Pendudukan Guru (Kweekschool)
6) Sekolah Gadis
a. Sekolah kejuruan dan
b. Sekolah umum untuk gadis
7) Sekolah Dokter

2. Perkembangan Pendidikan Pada Abad Kedua Puluh (XX)

a. Zaman Pemerintahan Hindia-Belanda dan Pendudukan


1. Politik Pendidikan Etis
Semenjak permulaan abad kedua puluh (XX) di seluruh permukaan bumi
terdapat perkembngan dan pembaharuan, khususnya di Bidang Politik, ekonomi,
dan ideologi. Demikian pula di Indonesia perusahan-perusahan Eropa di Indonesia
mengalami kemajuan pesat dan berkembang dengan cepat. Dengan demikian
mereka membutuhkan pekerja-pekerja yang terdidik dan ahli. Selain itu penduduk
Bumiputra sendiri mulai bangkit dan menyadari dirinya.
Di kalangan orang Belanda timbul aliran-aliran untuk memberikan kepada
penduduk asli bagian dari keuntungan yang diperoleh orang Eropa (Belanda),
selama mereka menguasai Indonesia. Aliran ini mempunyai pendapat bahwa
kepada orang-orang Bumiputra harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan
Barat yang menjadikan Belanda bangsa yang besar. Aliran atau peham ini dikenal
sebagai politik Etis (Etische Politiek).
Gagasan tersebut dicetuskan semula oleh Van Deventer pada tahun 1899
dengan mottonya : “Hutang Kehormatan (de Eureschuld)”. Politik Etis ini
diarahkan untuk kepentingan penduduk Bumiputra dengan cara memajukan
penduduk asli secapat-cepatnya melalui pendidikan secara Barat. Langkah politik
baru (politik etis) itu antara lain dengan slogan : “Pendidikan, Irigasi, dan emigrasi
(Educatie, Irigatie, Emigratie)”
a. Landasan Idiil
Berkaitan dengan “Arah Etis” (Etsche Koers) yang menjadi landasan
dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia-Belanda, maka pemerintah
mendasarkan kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
 Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi
golongan penduduk Bumiputera. Untuk itu bahasa Belanda diharapkan
dapat menjadi bahasa pengantar disekolah-sekolah.
 Pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan
dengan kebutuhan mereka.
 Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan persekolahan di
Hindia Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui 2 jalur tersebut.
Disatu pihak jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan akan
unsur-unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik bermutu tinggi bagi
keperluan industri dan ekonomi, dan dilain pihak terpenuhi kebutuhan
tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.

LANDASAN IDIIL ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

SESUDAH 1900

ETISCHE POLITIEK

TANGGUNG JAWAB MORAL PEMERINTAH (KOLONIAL HINDIA


BELANDA) UNTUK MEMBANTU RAKYAT INDONESIA YANG TELAH
BANYAK MEMBERIKAN PIUTANG KEPADA RAKYAT DAN NEGARA
BELANDA

b. Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan selama periode kolonial tidak pernah dinyatakan
secara tegas. Tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan
tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal Belanda. Dengan demikian
penduduk setempat dididik untuk menjadi buruh-buruh tingkat rendahan (buruh
kasar). Ada juga sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga
adninistrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang diangkat
sebagai pekerja-pekerja kelas dua dan tiga.
Secara singkat tujuan pendidikan ialah untuk memperoleh tenaga-
tenaga kerja murah. Suatu fakta menurut hasil komisi pendidikan Indonesia
Belanda (Hollandsch Onderwijs Commissie) yang dibentuk oleh pemerintah
pada tahun 1928-1929 menunjukan bahwa, 2% dari orang Indonesia yang
mendapat pendidikan Barat berdiri sendiri dan lebih dari 83% menjadi pekerja-
pekerja dan selebihnya menganggur.

 TUJUAN PENDIDIKAN ZAMAN HINDIA BELANDA


Sesudah 1900
SEKOLAH KELAS ELIT

Sebelum 1900
KELAS ELIT
SEKOLAH
TENAGA TERDIDIK
c. Kesempatan Belajar
Pada zaman Kolonial Belanda keadaan Sosial sengaja dipelihara
agar terbagi dalam golongan-golongan. Pembagian golongan sosial
didasarkan kepada keturunan bangsa dan status.
1. Pembagian Penduduk menurut Hukum pada Tahun 1848
a) Golongan Eropa
b) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa
c) Golongan Bumiputra
d) Golongan Timur Asing
Pada Tahun 1920 terdapat perubahan sehingga menjadi :
a) Golongan Eropa
b) Golongan Bumiputra
c) Golongan Timur Asing
2. Pembagian penduduk menurut keturunan atau status sosial
a) Golongan Bangsawan (Aristokrat) dan Pemimpin Adat.
b) Pemimpin Agama (Ulama)
c) Rakyat Biasa
Katergori kedua ini hanya terdapat pada golongan Bumiputra.
Sejalan dengan landasan idiil dan tujuan pendidikan dan pendidikan
pemerintah Hindia Belanda yang berusaha mempertahankan sistem
kolonialnya melalui aristokrasi, maka sistem pendidikan dan persekolahan
pun didasarkan kepada pola penggolongan tersebut diatas.
d. Sistem Pendidikan, Tingkat, dan Jenis Persekolahan
Dua dasawarsa pertama setelah tahun 1900, pendidikan dasar di
Hindia-Belanda mengalami kemajuan luar biasa pesatnya. Demikian
pesatnya seolah-olah pendidikan selama tiga abad sebelumnya tidak berarti
apapun. Pemerintah berusaha menciptakan suatu sistem yang umum bagi
sekian banyak golongan penduduk yang beraneka ragam coraknya. Secara
umum sistem pendidikan, khususnya menurut sistem persekolahan
didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan
(kelas) sosial yang ada menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu
itu.
1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (westersch Lager
Onderwijs)
 Sekolah rendah Eropa (Europeesche Lagereschool), yaitu sekolah
rendah untuk anak-anak keturunan Eropa, Timur Asing dan Bumiputra
dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah 7 tahun, dan yang
pertama didirikan pada tahun 1818.
 Sekolah Bumiputra (Inlansdscheschool)
 Sekolah Cina-Belanda (Holandsch Chineescheschool) yaitu sekolah
rendah untuk anak-anak keturunan Timur Asing, khususnya keturunan
Cina. Yang pertama didirikan pada tahun 1908. Lamanya sekolah 7
tahun.
 Sekolah Bumiputera-Belanda (Holandsch Inlansdscheschool), yaitu
sekolah rendah untuk golongan penduduk keturunan Indonesia asli.
Pada umumnya disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan,
tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai-pegawai negeri. Lamanya
bersekolah 7 tahun, dan pertama didirikan pada tahun 1914.
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar Daerah
 Sekolah Bumiputera (Inlandsche School) kelas dua (Tweede Klasse).
Sekolah ini disediakan untuk anak-anak dari golongan Bumiputera.
Lamanya bersekolah 5 tahun.
 Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan
Bumiputera, lamanya bersekolah 3 tahun dan pertama kali didirikan pada
tahun 1907.
 Sekolah Lanjutan (Vervolgschool). Lamanya bersekolah 2 tahun,
merupakan kelanjutan dari sekolah Desa, juga diperuntukan bagi anak-
anak golongan Bumiputera. Yang pertama kali didirikan pada tahun
1914.
 Sekolah peralihan (Schakelschool), adalah sekolah peralihan dari sekolah
desa (3 tahu) ke sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Lama belajarnya 5 tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan
Bumiputera.
 Disamping sekolah-sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah
khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada
tahun 1922 dijadikan HIS (Holandsch Inlanscheschool) dan sekolah
seradadu Ambon (Ambonsche Soldatenscheschool) yang terdapat di
kota-kota garnisun besar seperti Magelang, Jakarta, Padang dan lain-lain.
 Selain itu atas usaha swasta seperti Zending dan Missie didirikan pula
sekolah Jawa-Belanda (Holandsch Javaansche School), dan sekolah-
sekolah berbahasa pengantar Belanda di tempat-tempat lainnya di
Indonesia, misalnya Tapanuli, Flores, Timor dan Manado. Untuk anak
dari golongan Bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut
sekolah Raja (Hoofdenschool).

2. Pendidikan Lanjutan: Pendidikan menengah (Middelbaar


Ondewijs)

Sebenarnya terdapat satu jenis sekolah lanjutan yang menurut sistem


persekolahan Belanda digolongkan dalam sekolah Dasar yaitu: Sekolah
Dasar yang diperluas (Meer Uitgebreid Leger Oderwijs : MULO). Sekolah
tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa pengantar
Belanda. Lamanya sekolah anatar 3 – 4 tahun. Yang pertama didirikan pada
tahun 1914 yang diperuntukan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing.

1). Sekolah menengah Umum (Algemeene Middelbareschool) adalah


kelanjutan dari MULO berbahasa Belanda, dan diperuntukkan bagi
golongan Bumiputera dan Timur Asing. Lamanya sekolah 3 Tahun dan
yang pertama-tama didirikan pada tahun 1915. AMS ini terdiri dari 2
Jurusan (Bagian=Afdeling) yaitu:

i) Bagian A – Pengetahuan Kebuadayaan (Cultuurwetenschap)


yang terbagi lagi menjadi : Bagian A1; Sastra Timur (Oostersch-
Letterkunde); A2; Klasik Barat (Wetersch-Klassiek)
ii) Bagian B – Pengaetahuan Alam (Natuurwetenschap)

2). Sekolah Tinggi Warga Negara (Hogere Burgerschool) adalah sekolah


menengah kelanjutan dari ELS (Europeesche Lagere School), yang
disediakan untuk golongan Eropa, Bangsawan golongan Bumiputera atau
tokoh-tokoh terkemuka.

3. Pendidikan Kejuruan (Vakonderwijs)

Sebagai pelaksanaan dari Politik Etis, pemerintah Hindia Belanda


benyak mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan khususnya
pendidikan kejuruan. Jenis-jenis sekolah kejuruan yang ialah :
 Sekolah Pertukangan (Ambachts Leergang), yaitu sekolah berbahasa
daerah yang menerima lulusan Bumiputera kelas dua (5 tahun) atau
sekolah lanjutan (vervolgschool), lamanya pendidikan 2 tahun.
 Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool), adalah sekolah
pertukangan berbahasa Belanda yang menerima lulusan HIS, HCS,
dan Schakelschool (sekolah peralihan), lamanya pendidikan 3 tahun.
 Sekolah Teknik (Technisch Ondewijs), adalah kelanjutan dari
Ambachtsschool, berbahasa pengantar Belanda dan lamanya
pendidikan 3 tahun. Sekolah ini dibagi menjadi dua bagian : Bagian
Sastra/Ekonom pada tahun 1911 terpisahkan menjadi sekolah
tersendiri, menjadi HBS dengan nama “Prins Hendrik School dan
Bagian Teknik, sekolah inilah yang merupakan sekolah kejuruan
teknik menengah atas.
 Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs)
 Pendidikan Pertanian (Landbouw Oderwijs)
 Pendidikan Kejuruan Kewanitaan (Meisjes Valkondewijs)
 Pendidikan Keguruan (Kweekschool) :
a) Normalschool, sekolah guru dengan masa empat tahun dan
menerima lulusan sekolah dasar 5 tahun berbahasa daerah.
b) Kweekschool, sekolah guru 4 tahun dengan menerima lulusan
sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda
c) Hollandsch Inlandsche Kweekschool, sekolah guru 6 Tahun
berbahasa pengantar Belanda dengan tujuan mengahasilkan guru-
guru HIS/HCS.

4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)


Baru setelah menginjak dasawarsa kedua di abad ke-20 dikalangan
penganjur politik etis terdapat gagasan mengenai pendidikan tinggi bagi
golongan Bumiputera. Pada tahu 1910 didirikan perkumpulan
Universitas Indonesia (Indische Universiteits Vereeniging) yang
bertujuan untuk mendirikan pendidikan tinggi baik melalui pemerintah
maupun swasta.
1) Pendidikan Tinggi Kedokteran
2) Pendidikan Tinggi Hukum
3) Pendidikan Tinggi Teknik

BAB VII

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA PENDUDUKAN


JEPANG
Deskripsi Singkat

Bab ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan pada masa


pendudukan Jepang. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab-bab sebelumnya
dan menjadi acuan bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.

Capaian Pembelajaran

Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: Mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa pendudukan Jepang

A. Landasan Idiil
Pada tahun 1940 rencana untuk mendirikan “Kemakmuran Bersama
Timur Raya” telah dipublikasikan. Menurut rencana Jepang menjadi pusat
suatu lingkungan pengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Dataran Cina,
Kepulauan Philippina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Indocina dan Asia
(Rusia). Konkritnya landasan idiil pendidikan pada jaman pendudukan
Jepang yang disebutkan “Hikko Ichu: adalah mengajak bangsa Indonesia
bekerja sama dengan bangsa Jemapang dalam rangka mencapai
“Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” oleh karena itu setiap pelajar tiap
hari harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang dan membentuk
Indonesia baru dalam rangka “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”.
Kenyataannya bangsa Indonesia menjadi miskin dan menderita demi untuk
kepentingan perang Jepang.
Kebijakan pemerintahan militer Jepang terhadap bangsa Indonesia
memiliki dua prioritas yaitu:
1. Kebijakan memobilisasi rakyat untuk mendukung kepentingan Jepang
untuk memperoleh kemenangan dalam perang melawan Sekutu. Untuk
melenyapkan pengaruh Barat, Jepang melarang penggunaan bahasa
Belanda dan Inggris, dan memperkenalkan penggunaan bahasa Jepang.
Akibat pelarangan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris, kegiatan
pendidikan tinggi terhenti selama masa pendudukan Jepang.
2. Jepang melancarkan propaganda anti Belanda, dan meyakinkan bangsa
Indonesia bahwa mereka adalah saudara dalam berjuang untuk
membangun Asia Baru (ATR). Patung dan gambar orang Barat
diturunkan, dan nama jalan diubah dengan nama Indonesia. Jepang
menggunakan orang-orang Indonesia untuk melancarkan propaganda
tersebut, terutama para guru sekolah, seniman, dan sastrawan. Propaganda
anti-Belanda di kalangan masyarakat Indonesia memberikan sumbangan
penting terhadap penanaman kesadaran kebangsaan dikalangan rakyat
luas. Bangsa Indonesia juga naik status sebagai bahasa nasional kerena
saat itu hanya sedikit yang mampu mengerti bahasa Jepang.
B. Dampak Perang masa Pendudukan Jepang
Akibat perang selama pendudukan Jepang, keadaan ekonomi Indonesia
mengalami kemerosotan. Demikian juga pendidikan disekolah mengalami
kemunduran diantaranya diakibatkan dari banyaknya guru sekolah diangkat
menjadi pegawai pemerintah sehingga tenaga guru disekolah yang berkurang.
Pengangkatan guru-guru ke jabatan administratif ini sejalan dengan
kebutuhan reformasi administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh Jepang,
yaitu dari sistem administrasi-administrasi pemerintahan yang tunggal dari
pemerintahan militer Jepang.
Kegiatan pendidikan sekolah juga diarahkan untuk pentingan mobilisasi
massa untuk mendukung pertahanan pemerintahan militer Jepang. Sebagai
contoh anak-anak muda umur sekolah yang banyak dimobilisasi ke dalam
organisasi-organisasi pemuda semi-militer seperti : Seinendan, Keibodan,
dan Heiho. Organisasi yang lain adala PUTERA. Sudah barang tentu hal
tersebut mengakibatkan kegiatan sekolah mengalami hambatan. Sekalipun
demikian, pada tahun 1943 Jepang membuka sekolah pendidikan untuk
pegawai dan guru di Jakarta.

C. Perubahan Sosial masa pendudukan Jepang


Pada masa pendudukan Jepang terjadi perubahan masyarakat cukup
drastis pada masyarakat Indonesia. Yang terutama adalah : Runtuhnya
struktur masyarakat kolonial. Golongan ras kulit putih yang menempati strata
atas masyarakat kolonial dan mendominasi politik, ekonomi, dan sosial dalam
masyarakat. Indonesia berganti penjajah baru, namun sekaligus membawa
perubahan yang mendasar. Pada prinsipnya Jepang menghendaki dukungan
penuh dari rakyat Indonesia untuk memenagkan perang terhadap sekutu.
Untuk mencapai hal itu diperlukan pendekatan politis, ekonomis, dan sosial
budaya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maka tokoh-tokoh pergerakan
Indonesia, tokoh-tokoh Islam di pedesaan serta birokrat priyayi semua harus
dirangkul. Sekaligus juga diperlukan mobbilisasi seluruh rakyat untuk
persiapan perang Jepang. Dibidang ekonomi diadakan pengumpulan bahan
makanan serta material lain secara paksa dari rakyat. Dibidang sosial budaya
perlu ditanamkan budaya Jepang, dan anti Barat. Untuk itu harus melalui
propaganda dan terutama pendidikan.

D. Politik Pendidikan masa pendudukan Jepang


Guna mencapai seluruh tujuan pendudukan Jepang tersebut, politik
pendidikan sama sekali dirombak, dari pendidikan elitis, dualistik dan
diskriminatif, menjadi pendidikan egaliter dan berdisplin militer. Seluruh
golongan dan lapisan masyarakat boleh mamasuki sekolah rakyat (kokumin
gakko) dengan lama pendidikan 6 tahun, dilanjutkan dengan sekolah
menengah pertama (shoto Chu Gakko) dan selanjutnya sekolah menengah
tinggi (Koto Chu Gakko). Lama pendidikan 3 tahun untuk SMP dan tiga
tahun untuk SMT. Selain itu juga ada sekolah guru laki-laki dan sekolah guru
perempuan, semuanya 3 tahun setelah tamat sekolah rakyat dan beberapa
sekolah kejuruan. Kurikulum tentu saja diganti dengan memasukan bahasa
Jepang, pelajaran moral dan kemiliteran.
Satu hal yang sangat mencolok adalah sifat kerakyatan dari pendidikan
Jepang yaitu bahwa sekolah dasar rakyat banyak (terutama rakayt desa)
sangat digalakan. Uang sekolah sangat murah dan ada sekolah-sekolah yang
tidak memungut bayaran sama sekali. Akibatnya jumlah murid meningkat,
murud sekolah rakyat meningkat 167%.
Secara singkat pedidikan masa pendudukan Jepang telah ikut berperan
dalam proses ka arah masyarakat egaliter, menghapus diskriminasi dan sifat
dualistik. Mobilitas sosial terjadi baik vertikal, yaitu perekrutan orang-orang
Indonesia untuk mengisi lowongan jabatan yang ditinggalkan orang Belanda,
pengangkatan para kyai kedalam jajaran kepemimpinan nasional, pemerintah
dan kemiliteran, serta orang-orang desa diberi kesempatan menjadi heiho,
peta, dan keibodan. Juga terjadi mobilitas horisontal, dimana banyak
dilakukan berbagai pelatihan bagi para pemuda di berbagai tempat, palatihan
tentara PETA, dan penempatan mereka diberbagai tangsi. Namun mobilitas
ini bukan karean faktor pendidikan melainkan karena faktor politik. Pluralitas
masyarakat tidak membawa pergeseran atau pertentangan, karena semua
golongan sekolah disamaratakan, dan dimobilisasi untuk kepentingan perang
Jepang.
Kesimpulan : Pendidikan pada masa kedudukan Jepang dikaitkan
dengan usaha memenagkan perang ART (Latihan Fisik, kemiliteran, dan
indoktrinasi); sokalah yang didasarkan pada ras dan status sosial dihapus.

BAB VIII
PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN

Deskripsi Singkat
Bab ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan pada masa
kemerdekaan. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab-bab sebelumnya dan
menjadi acuan bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.

Capaian Pembelajaran

Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: Mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa pendudukan kemerdekaan.

Latar Belakang

Pada awal kemerdekaan tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945


pembelajaran di sekolah-sekolah lebih ditekankan pada semangat nasionalisme dan
membela tanah air menurut Tim UNY (Fadli & Kumalasari, 2019). Proklamasi
merupakan peristiwa yang luar biasa dimana hal ini membuat bangsa ini tidak
dijajah lagi dan menimbulkan hidup baru dibidang apa saja salah satunya pada
bidang pendidikan, perlu mencoba untuk mengubah sistem pendidikan yang
dimana sesuai dengan suasana baru menurut Ahmadi (Fadli & Kumalasari, 2019).
Oleh karena itu ada usaha perencanaan pada pendidikan serta pengajaran yang
sudah dipersiapkan di hari-hari terakhir penjajahan Jepang menjadikan modal
dalam pedoman pertama dilapangan pendidikan. Pendidikan masa awal
kemerdekaan berlandaskan Pancasila yang merupakan falsafah negara menurut
Somarsono Moestoko (Fadli & Kumalasari, 2019). Pada sejarah bangsa dan negara
Indonesia sejak di Proklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 tidaklah mudah dilalui untuk sampai sekarang. Oleh karena itu, sejarah
pendidikan Indonesia di era Orde Lama dapat diantaranya periode 1945-1950 dan
Periode 1950-1966. Sekarang akan dibahas tentang sistem pendidikan pada periode
tersebut.

A. Pendidikan Masa Kemerdekaan (1945-1950)

Mohammad Yamin sebagai menteri pendidikan, pengajaran, dan


kebudayaan, pada masa itu memberikan penjelasan diposisi pendidikan sebagai
landasa pembangunan masyarakat indonesia secara nasionalisme, yang artinya
pendidikan itu harus mengangkat tata nilai sosial yang dijadikan identitas bangsa
dengan corak tradisi,agama,budaya,bahasa,ras, dan sukunya yang beragam untuk
menggantikan sitem pendidikan pada warisan kolonial. Secara garis besar,
pendidikan nasional ialah bentuk reaksi pada sistem pendidikan yang dimana
bersifat deskriptif serta elitis. Karena itu tujuan pendidikan nasional adalah
membentuk masyarakat yang demokratis. (Syaharuddin & Susanto, 2019). Pada
zaman kemerdekaan kondisi sosial politik sangatlah tidak stabil. Maka dari itu hal
tersebut sangat mempengaruhi pola dan dinamika pendidikan nasional saat itu, dan
telah terjadi beberapa kali perubahan arah dan orientasi pendidikan nasional. Pada
Tanggal 1 maret 1946, tujuan pendidikan berorientasi untuk usaha dalam
menanamkan jiwa patriotisme dan lebih jauh yang dimaksudkan untuk
menghasilkan patriot-patriot bangsa yang rela berkorban demi bangsa dan
negaranya. 139 Undang- undang No. 4 tahun 1950 pasal 3, tujuan pendidikan
nasional berubah yaitu dengan adanya perumusan tujuan pendidikan dan
pengajaran. (Syaharuddin & Susanto, 2019). Di tanggal 25 November 1945,
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mempunyai asas-asas perjuangan
sebagai berikut:

1. mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia,

2. mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-


dasar kerakyatan,

3. membela hak serta nasib para buruh pada umumnya dan juga guru pada
khususnya. Dengan dicantumkan asas pertama, yaitu “Mempertahankan serta
menyempurnakan Republik Indonesia, PGRI memiliki tujuan pertama-tama untuk
lebih memprioritaskan perjuangan dalam mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan dibanding kepentingan – kepentingan lain sehingga dengan demikian
partisipasi guru dalam melaksanakan pengabdian dan perjuangan kemerdekaan
tidak sedikit”. Bisa dimenyimpulkan bahwa usaha-usaha yang pernah dilakukan
pemerintah berkaitan dengan pendidikan pada tahun 1945-1950 adalah seputar
bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja,serta biaya. Berkaitan dengan
keperluan bangunan sekolah, tindakan utama adalah merenovasi bangunan rusak
atau hancur lebur akibat revolusi fisik atau bangunan tersebut dipakai oleh
pemerintah. Langkah Yang dibuat oleh pemerintah adalah sebagai berikut:

1. Mendirikan gedung-gedung untuk sekolah baru tetapi hal itu tidak


mencukupi kebutuhan.

2. Menggunakan perumahan-perumahan rakyat/swasta yang memadai


untuk dijadikan bangunan sekolah, dan

3. Menyelenggarakan proses mengajar sebanyak dua kali sehari yang berarti


bahwa dalam satu bangunan sekolah dipergunakan oleh dua sekolah.

Selain usaha yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi usaha


kekurangan bangunan sekolah tersebut, juga tidak kekurangan partisipasi
masyarakat yang bergotong royong membangun bangunan sekolah dengan
peralatannya dan yang kemudian disumbangkan kepada pemerintah. Hal ini juga
merupakan suatu cara yang bertujuan hendak membentuk kelas masyarakat dan
dengan harapan pelajaran di sekolah akan disesuaikan dengan keadaan masyarakat
pada waktu itu. Pendidikan di Indonesia antara tahun 1945- 1950 merupakan
pendidikan masa perjuangan. Ciri – ciri utama pada masa periode ini ialah terdapat
semacam dualisme dalam pendidikan. Ketika salah satu pihak pendidikan dan
pengajaran berlangsung dibeberapa daerah negara federal yang dikuasai atau dalam
pengaruh Belanda, sedangkan yang dipihak lain langsung dikuasai oleh Pemerintah
Republik Indonesia.

1. Sistem persekolahan dan Kurikulum Pendidikan di era awal


kemerdekaan

Sistem susunan disekolah setelah Indonesia merdeka berdasarkan tingkat


pendidikan seperti di masa Jepang tetap diteruskan, sedangkan pelajaran tetap sama
dan bahasa pengantar yang telah ditetapkan ialah bahasa Indonesia. Buku-buku
pelajaran yang digunakan adalah merupakan buku terjemahan dari bahasa Belanda
ke dalam bahasa Indonesia yang sudah dibuat pada masa Jepang. Dibawah ini
merupakan susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-
1950 yaitu:

a. Pendidikan Rendah

Dimulai dari pendidikan yang rendah di Indonesia dimulai pada awal


kemerdekaan disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) masa pendidikannya awalnya 3
tahun menjadi 6 tahun. Yang dimana kurikulum SR diatur sesuai dengan keputusan
Menteri PKK pada tanggal 19 November 1946 No. 1153/Bhg A yang menetapkan
daftar pelajaran sekolah rakyat dimana penekanannya di pelajaran bahasa dan
berhitung. Hal ini dapat dilihat dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam digunakan
untuk bahasa Indonesia, 4 jam digunakan untuk bahasa daerah dan 17 jam
digunakan untuk berhitung untuk kelas IV, V dan VI.

b. Pendidikan Guru

Pada periode diantara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru
yaitu: Sekolah Guru B (SGB), masa pendidikan 4 tahun serta tujuan pendidikan
guru adalah untuk sekolah rakyat. Dan murid yang diterima adalah tamatan sekolah
rakyat yang lulus dalam ujian akan masuk kesekolah lanjutan. Pelajaran yang
diberikan kepada murid bersifat umum dimulai dari kelas I,II,III sedangkan
pendidikan keguruan baru diberikan di kelas IV. Sekolah Guru C (SGC),
dikarenakan kebutuhan guru disekolah rakyat sangat mendesak maka perlu
melakukan pembukaan sekolah guru yang dalam waktu singkat. Dan didirikan
sekolah guru selama dua tahun setelah sekolah rakyat dan lebih dikenal dengan
sebutan SGC tetapi dirasa kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan
diantaranya dijadikan SGB. Sekolah guru A (SGA), karena ada yang beranggapan
bahwa pendidikan guru 4 selama tahun belum menjamin pengetahuan yang cukup
untuk tingkat pendidikan guru, maka dari itu dibukalah SGA yang memberi
pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Mata pelajaran yang didapat di SGA sama
dengan mata pelajaran yang didapat di SGB hanya penjabarannya lebih luas dan
mendalam.

c. Pendidikan Umum
Terdapat dua jenis pendidikan Umum yaitu Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan sekolah Menengah Tinggi (SMT). 573 Pendidikan Indonesia di Era
Awal Kemerdekaan Sampai Orde Lama Sekolah Menengah Pertama (SMP), sama
seperti di zaman jepang, juga SMP menggunakan sistem pelajaran yang sama, tapi
setelah dikeluarnya surat keputusan oleh menteri PPK, maka dibuatlah pembagian
A dan B dimulai dari kelas II sehingga didapat kelas IIA,IIB, IIIA dan IIIB. Pada
bagian A diberikan setidaknya sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banyak
diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi dan B sebaliknya. Sekolah
Menengah Tinggi (SMT), SMT merupakan pendidikan dengan masa tiga tahun
setelah SMP dan sesudah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Berikut
merupakan rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi
kebutuhan nasional, (2) bahasa indonesia adalah bahasa pengantar,(3) mutu yang
tingkatannya sama dengan SMT menjelang kemerdekaan.

d. Pedidikan Kejuruan

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan ekonomi dan pendidikan


kewanitaan: Pendidikan ekonomi, masa pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah
Rakyat. Yang dimana sekolah dagang ini memiliki tujuan agar bisa memenuhi
kebutuhan tenaga administrasi. Pendidikan Kewanitaan, sesudah kemerdekaan
pemerintah akhirnya membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun
1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) masa pelajara yang di tempuh empat
tahun setelah SMP.

e. Pendidikan Teknik

Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena


disamping pelajaranya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut
kadang-kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Adapun sekolah-sekolah teknik
yang ada pada masa itu ialah: Yang pertama Kursus Kerajinan Negeri (KKN),
bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai dengan
pengetahuan teori. Kedua Sekolah Teknik (ST), bertujuan mendidik tenaga-tenaga
pengawasan bangunan. Ketiga Sekolah Teknik menengah (STM), bertujuan
mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Keempat
Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik, bertujuan untuk memenuhi
keperluan guru-guru sekolah teknik. Kelima Ijazah A Teknik (KGSTP), guna
mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin,
listrik dan mencetak. Keenam Ijazah B I Teknik (KGST), untuk mengajar dengan
wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan
gedung-gedung dan mesin. Dan yang terakhir Ijazah B II Teknik, guna mengajar
dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan
gedung, mesin dan listrik.

f. Pendidikan Tinggi
Merupakan sekolah program lanjutan. Setelah bersekolah di pendidikan
kejuruan atau teknik bisa memperdalam ilmu pada bidang masing-masing, dan bisa
menyalurkan ilmu tersebut.

g. Pendidikan Tinggi Republik

Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami


berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapat dipisahkan dari perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan salah satu kekuatan dari seluruh kekuatan
rakyat Indonesia. Ketika awal kemerdekaan di Jakarta pada waktu itu merupakan
daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai kelanjutan
Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan November 1946 dibuka pula Sekolah
Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga
pendidikan tinggi terakhir ini ditutup oleh Belanda sehingga sudah tidak ada lagi,
dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu
pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda.

h. Pendidikan Berbasis Agama

Penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia awalnya ialah madrasah


dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat biasa
yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Lalu
untuk mengembangkan pendidikan agama Islam di sekolah rakyat mulai diatur
secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu pendidikan
agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman
Jepang, berjalan sendirisendiri di masing-masing daerah. Pada bulan Desember
1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan mulai kelas IV SR
(Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI.

B. Pendidikan Masa Orde Lama (1950-1966)

Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud setalah kemerdekaan,di


bawah kekuasaan Soekarno yang dimana hal ini memberikan ruang bebas terhadap
pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme ini menjadi petunjuk dasar
bagaimana pendidikan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan
bangsa Indonesia di masa mendatang. Dan secara kuantitatif pendidikan di
Indonesia mengalami perubahan. Sesudah KMB tepatnya pada 1949 terbentuklah
Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam RIS ini menyusun pendidikan dan
pengajaran. Pada UUD RIS diatur juga tentang pendidikan nasional. Kebijakan
yang dimiliki pendidikan nasional pada masa ini dimulai pada pasal 30 UUDS 1950
RI,yaitu 1). Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, 2). Memilih
pengajaran yang akan diikuti adalah bebas, 3). Mengajar adalah bebas, dan tidak
berkurangnya pengawasan penguasa yang dilakukan terhadap itu menurut
peraturan UU menurut Rifa’i ( dalam Fadli & Kumalasari, 2019).

Menurut keputusan Presiden Nomor 145 tahun 1965 dalam melakukan


perumusan bertujuan agar pendidikan nasional Indonesia sesuai dengan Manipol-
Usdek, yaitu ”Tujuan pendidikan nasional, baik yang dilakukan dari pihak
pemerintah maupun dari pihak swasta, serta dari pendidikan prasekolah hingga
pendidikan tinggi agar menciptakan warga negara sosialis Indonesia yang susila
dan bertanggung jawab atas diselenggarakannya masyarakat sosialis Indonesia, adil
dan makmur dari spiritual maupun material dan berjiwa Pancasila”. Posisi siswa
sebagai subjek dalam kurikulum orde lama.

Kurikulum di era Orde Lama terbagi manjadi 3 kurikulum yaitu:

1. Dari Tahun 1945-1968

Ini adalah kurikulum pertama yang digunakan pada masa kemerdekaan dan
istilah dalam bahasa Belanda yaitu “leer plan” artinya rencana pelajaran. Pada arah
pendidikan ini lebih bersifat politis, dari penyesuaian pendidikan Belanda pada
kepentingan nasional. Sedangkan, pancasila ditetapkan sebagai dasar pendidikan.
Kurikulum yang dijalankan saat itu diingat sebagai julukan “Rencana Pelajaran
1947”, yang baru dilakukan di tahun 1950. Pendidikan watak, kesadaran bernegara
dan bermasyarakat,merupakan hal yang diutamakan pada kurikulum ini.

2. Rencana Pelajaran Terurai 1952

Pada kurikulum ini merangkum setiap mata pelajaran yang dijuluki


“Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Pada kurikulum ini siswa berperan sebagai
objek dikarena guru menjadi subjek utama dalam memberikan ilmu pengetahuan.
Serta guru yang mengatur apa saja yang akan didapat siswa di kelas. Dan guru juga
yang keberhasilan siswa pada sistem pendidikan.

3. Kurikulum 1964

Pada era transisi yang begitu singkat dari RIS menjadi RI membuat
pemerintah melakukan pendidikan dan pengajaran menyeluruh yang berlaku untuk
seluruh Indonesia. Pemerintah RI telah mulai dilaksanakan sistem pendidikan yang
direncang dan berlaku secara nasional dengan semua kualitas yang berbatas. Pada
piagam ini ada hubungan khusus dengan pengurus pendidikan. Kementerian
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI mengeluarkan “Pengumuman Bersama
yaitu di tanggal 30 Juni 1950 dengan tujuan untuk sementara tahun ajaran
1950/1951 sistem belajar mengajar yang berlaku di seluruh Indonesia hingga teknik
itu diperiksa kembali. Berikut isi pengumuman sementaranya yaitu:

Susunan Sekolah-Sekolah Negeri


Sekolah-Sekolah Partikelir terdapat beberapa susunan yaitu: Pertama
pemerintah mengenal warga negara dan orang asing. Kedua bagi semua warga
negara melaksanakan pendidikan sekolah negeri berdasarkan UU dengan
mencermati sewajarnya kepentingan khusus mereka yaitu yang mengenal bahasa
rumah. Ketiga bagi warga asing tidak dibangun sekolah negeri, tapi diberi peluang
untuk bersekolah sesuai kebutuhannya. Keempat kemungkinan sekolah asing
bangsa belanda untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah berdasarkan syarat
yaitu:“ Selama 2 tahun setelah 27-12-1949 paling tidak kepada Sekolah Rendah
diberikan bantuan yaitu tenaga guru yang banyak. Kelima sekolah-sekolah
partikelir yang mengikuti rencana pelajaran pemerintah mendapatkan subsidi
berdasarkan peraturan negeri. Kelima semua sekolah partikelir harus menggunakan
Bahasa Indonesia sebagai mata pelajarannya. Dan terakhir pemerintah mengawasi
semua sekolah partikelir.

Organisasi dan Administrasi Pendidikan

Pemerintah meberikan tugas kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran


dan Kebudayaan (PP dan K) sebagai organisasi penyelenggara administrasi
pendidikan dan pengajaran di seluruh tanah air. Berikut tugas utama dari
kementerian PP dan K adalah : Pertama mengadakan pendidikan dan pengajaran di
sekolah dari tingkat yang rendah (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar) hingga
pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi). Mengenai pendidikan taman kanak-kanak,
kementerian memberikan bantuan terbatas pada alat-alat pelajaran dan tenaga
pengajar. Sedangkan langsung tanggung jawab pemerintah. Kedua mengeadakan
pendidikan dan pengajaran bagi orang-orang dewasa diluar sekolah. Dan ketiga
memelihara serta mengembangkan kebudayaan Indonesia sebagai dasar pendidikan
di dalam maupun luar sekolah.

Perubahan Sekolah-sekolah

Setelah RIS kemabli menjadi kesatuan RI, pada tanggal 25 Agustus 1950
tepatnya di Yogyakarta kementerian PP dan K mengeluarkan keputusan tentang
perubahan sekolah yang dilakukan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran
1949/1950. Sekolah dibagi menjadi enam kelompok: model-model sekoah yang
berasal pada era sebelum kembali kenegara kesatuan di bekas daerah-daerah
kependudukan Belanda diubah dan disesuaikan dengan model pendidikan dan
pengajaran nasional. Beberapa ketentuannya adalah sebagai berikut:

Sekolah Rakyat Negeri

Pertama, semua Sekolah Rakyat Negeri harus jadi sekolah yang luar biasa
dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa indonesia. Kedua, kelas pemulihan
dibuka untuk murid-murid Sekolah Rakyat yang awalnya meenggunakan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Ketiga, kelas pemulihan boleh menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dengan syarat bahwa secepat mungkin
harus diperbaiki ke bahasa Indonesia lagi. Dan keempat, Pada kota-kota besar
kelas-kelas pemulihan menjadi sekolah yang berdiri sendiri.

Sekolah rakyat Partikelir

Bersubsidi: Pertama, bahasa pengantar bahasa Indonesia. Kedua, harus


menggunakan model pelajaran Sekolah Rakyat Negeri dan diperboleh menembah
pelajaran lain asalkan mendapat persetujuan kemeterian PP dan K. Tak bersubsidi:
Pertama, bebas ingin menggunakan bahasa pengantar apa saja. Kedua bahasa
Indonesia tetap mata pelajaran wajib. Ketiga, pemerintah memiliki hak pengawas.
Istimewa: Pertama, bahasa pengantar yang digunakan yaitu bahasa Belanda. Kedua
,diperuntukkan anak-anak warga negara Belanda yang bekerja di pemerintah
Indonesia. Ketiga, dari jumlah murid pemerintah dapat menentukan tunjangan
murid. Keempat, diperbolehkan menerima anak-anak dari warga negara asing.

Pendidikan Islam

Pendidikan dasar Madrasah Ibtidayah enam tahun yang berupa bentuk


formal dari lembaga pendidikan dasar yang diatur oleh Departemen Agama.
Madrasah Tsanawiyah dibentuk pada tahun 1959 selama tiga tahun, dan di tahun
1966 dibuka pendidikan khusus perempuan yang memberikan model pendidikan
Muallimat pada jenjang pendidikan selama enam tahun. Departemen agama mulai
melakukan rencana untuk memasukkan mata pelajaran umum di Madrasah yang
dimulai pada tahun 1953. Hal ini ditandai dengan dibukannya Madrasah Menengah
Pertaam (MPP) di tahun 1956, dan disusul Madrasah Atas (MMA) di tahun 1959.
Hal ini berbeda dengan Madrasah sebelumnya yaitu Madrasah Ibtidayah dan
Madrasah Tsanawiyah karena struktur kurikulum MMP dan MMA ini 60% adalah
pelajaran agama dan 40% adalah pelajaran umum.

Berbeda dengan Nahdalatul Wathan (NW) Lombok memberikan sistem


pendidikan dalam tiga tingkat : pertama, tingkat Iljamiyah, yaitu tingkat
pendahuluan. Yang dimana tingkat ini diberikan untuk anak-anak. Masa belajarnya
adalah setahun.Yang kedua, tingkat Tahdliriyah, di tingkat ini ialah lanjutan dari
Iljamiyah. Yang dimana mereka telah belajar diIljamiyah atau mereka telah lulus
dari sekolah formal setingkat SD. Masa belajar sekolah ini ialah 3 tahun. Ketiga,
tingkat Ibtida’yyah,mereka berada disini merupakan murid yang lulus pada tingkat
sebelumnya, Masa pendidikannya 4 tahun. Ada juga Madrasah Muballighin dan
Mubalilighat yang mulai dibuka pada tahun 1955/1956, sekolah ini disediakan
hanya untuk mengasah para calon dai. Bukan hanya itu saja, masa belajar madrasah
mualimin dan muallimat yang awalnya hanya empat tahun lalu ditingkatkan
menjadi enam tahun.
BAB IX

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI PAPUA

A. Pendidikan Tradisional
Proses pendidikan yang terjadi pada masyarakat tradisional di Papua pada
umumnya memiliki kemiripan dengan proses pendidikan pada masyarakat
tradisioanl yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Seorang nelayan harus
mengajari anaknya untuk menangkap ikan, seorang petani mengajarkan anaknya
bercocok tanam. Demikian seterusnya setiap orang dalam lingkungan hidup
tertentu akan tahu dan terus membekali kecakapan dan keterampilan tertentu
kepada anak-anaknya. Apa yang dilakukan oleh ayah akan diikuti oleh anak laki-
laki dan sebaliknya apa yang dilakukan ibu akan diikuti oleh anak perempuan.
Orang tua akan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang hal-hal yang dipelajari
dari orang tuanya dahulu dengan jalan bercerita. Segala yang dipelajari anggota-
anggota masyarakat pada waktu silam diwariskan kepada generasi berikutnya
secara lisan. Demikianlah potret perkembangan pendidikan pada masa tradisional
di Papua sebelum adanya kebudayaan barat. Pengaruh Hindu/Budha dan Islam
tidak seberapa nampak dalam proses pendidikan yang berlangsung di Papua.
Berikut adalah gambaran pendidikan tradisional dalam beberapa suku di Papua.
1. Suku Biak-Numfor

Pendidikan dalam suku Biak-Numfor berlangsung di dalam keluarga dan di


dalam Rum Sram (balai atau rumah pemuda). Di dalam keluarga, pengasuhan dan
pendidikan anak-anak dalam masyarakat Biak-Numfor merupakan tanggung jawab
bersama antara orang tua anak, nenek, bibi, paman, dan seluruh keluarga besar.
Anak-anak yang masih kecil diasuh dan diawasi oleh ibunya. Apabila anak laki-
laki sudah berumur 10 tahun ke atas, mereka harus dipisahkan dari ibu dan wanita
lainnya serta wajib menjalani suatu upacara inisiasi yang melambangkan bahwa
mereka itu dapat diterima dalam lingkungan pergaulan orang-orang pria. Sesudah
mereka mengalami inisiasi, mereka dapat dimasukan ke dalam Rum Sram untuk
mengikuti pendidikan yang meliputi pendidikan kepahlawanan, keterampilan kerja
dan adat-istiadat dalam kehidupan masyarakat Biak-Numfor.

Bagi anak-anak perempuan yang sebaya dengan anak laki-laki tersebut,


mereka masih tetap dalam pendidikan dan asuhan ibunya. Mereka diasuh tentang
kecakapan atau keterampilan wanita seperti memasak, menganyam dan memungut
hasil kebun. Disini terlihat adanya perbedaan pendidikan antara anak laki-laki dan
anak perempuan serta terpisah tempatnya mengingat tugas kewajibannya yang
berbeda pula di masa depan.

2. Suku-suku teluk Humbolt

Penduduk teluk Humbolt adalah sekelompok masyarakat yang mendiami


kampung Tobati, Enggros, Kayu Pulau dan Nafri di daerah teluk Humbolt di Pantai
Utara Irian Jaya yang berbatasan dengan Papua New Guinea. Di daerah teluk
Humbolt inilah tepatnya di teluk Jayapura (Hollandia-baai dahulu). Pendidikan
pada suku-suku teluk Humbolt berlangsung di dalam keluarga dan di rumah
karawari. Dalam keluarga, pemegang peranan penting dalam mengasuh dan
mendidik anak laki-laki adalah saudara laki-laki dari ibu. Sedangkan bagi anak
perempuan adalah saudara perempuan dari ayah. Sebelum anak-anak laki-laki dan
anak-anak perempuan diasuh dan dididik masing-masing oleh paman dan bibinya,
mereka masih menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.

Pada pendidikan di rumah karawari, anak-anak laki-laki yang sudah berumur


tujuh tahun akan dipindahkan dan hidup di Cainpa, yaitu balai pertemuan pria. Di
sini, paman atau sudara laki-laki dari ibu adalah sebagai pendidik yang utama bagi
anak laki-laki, sedangkan bagi anak perempuan, bibi atau saudara perempuan dari
ayah sebagai pendidik utama. Selama anak laki-laki mengikuti pendidikan di rumah
karawari ini, mereka dibiasakan untuk makan sedikit, di larang makan sirih,
merokok, dan tertawa, mandi, membuat api untuk menghangatkan badan,
memegang senjata, memotong rambut. Mereka dibekali dengan pengetahuan
tentang adat istiadat, kebudayaan, mite, sejarah suku bangsa dan clannya. Di bidang
keterampilan, mereka diajari cara membuat jaring, memintal tali, dan mengukir.
Mereka juga dilatih cara menangkap ikan dan berburu binatang.

3. Suku Muyu

Orang-orang Muyu adalah sekelompok penduduk asli Irian Jaya yang


mendiami suatu daerah aliran sungai Kao dan aliran sungai Muyu, terletak di
bagian selatan propinsi Irian Jaya. Dalam masyarakat Muyu dapat dibedakan atas
tiga kelompok kekerabatan yaitu keluarga batih (namaetha), kelompok kerabat
dengan anggota-anggotanya yang diperhitungkan melalui garis laki-laki saja, dan
persekutuan kerabat. Tokoh dalam masyarakat Muyu adalah kepala kelompok.
Kepala yang terpenting yakni kepala Nuwambib. Tokoh masyarakat lainnya
adalah Konontot yang bertugas sebagai pemimpin pasukan; karena fungsinya ini,
ia mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat.

a. Pendidikan dalam Keluarga

Pada umumnya anak yang baru lahi atau yang masih bayi selalu
dekat pada ibunya. Dalam masyarakat Muyu, anak-anak yang masih kecil
juga menjadi asuhan dan tanggung jawab ibunya. Ayah hampir-hampir
tidak berperan pada masa ini. Apabila seorang ibu berhalangan atau sibuk
dengan pekerjaan lain maka anak-anaknya yang masih kecil itu dititipkan
kepada nenek, bibi, atau kakak perempuannya. Ayah mulai berperan
mendidik anak laki-lakinya semenjak anak itu memperoleh gigi susu
pertama. Pada saat itu pula anak itu dipisahkan dari ibunya, kecuali bila
anak itu perempuan tetap masih dalam didikan dan tanggung jawab ibunya.

b. Pendidikan dalam Masyarakat

Dalam masyarakat tradisional terdapat suatu pandangan umum


tentang perilaku yang baik dan yang tidak baik yang bertalian dengan tata
tertib, moral dan system nilai atau norma-norma yang sedang berlaku.
Norma-norma masyarakat ini tidak tertulis sehingga pewarisannya hanya
diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Tata tertib tersebut dan
norma-norma masyarakat tersebut diawasi oleh anggota-anggota
masyarakat, baik pelaksanaannya maupun pewarisannya dalam masyarakat.
Pengawasan ini timbul dan berkembang dari suatu keharusan hidup
bermasyarakat. Keharusan hidup bermasyarakat inilah yang mendorong
warga kelompok untuk menyesuaikan hidupnya dengan peraturan-peraturan
dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Apabila anggota-anggota
masyarakat melakukan pelanggaran terhadap tata tertib dan norma-norma
masyarakat maka tokoh-tokoh masyarakatlah yang akan memutuskan jenis
hukuman yang patut dijatuhkan kepada anggota masyarakat yang
melanggarnya.

Pada usia enam tahun dan sebelum menginjak usia remaja, anak-
anak orang Muyu dilepaskan dari ikatan adat yang ketat oleh orang tuanya
dan diberi kebebasan untuk menginap di rumah neneknya atau di rumah
kaum kerabatnya. Setelah menginjak usia remaja, anak-anak mulai diberi
tugas-tugas yang lebih berat untuk turut memenuhi kebutuhan hidup
tradisional, misalnya berkebun, mencari kayu bakar dan berburu babi.

Anak-anak laki-laki dari masyarakat Muyu yang menginjak usia


dewasa harus menjalani upacara penyucian diri sebelum mereka dianggap
sebagai orang-orang dewasa. Beberapa hai menjelang upacara inisiasi para
pemuda itu harus pantang terhadap beberapa makanan antara lain buah
ketapang, ikan Sembilan dan sukun. Selama masa inisiasi mereka dilarang
makan makanan-makanan yang dimasak oleh kaum wanita, karena
makanan demikian dianggap sebagai pantangan (amop) juga.

Upacara inisiasi atau upacara Yawarawon (babi suci) itu berjalan


sebagai berikut: para pemuda berjalan melalui jalan kecil yang dihiasi
dengan daun nibung. Pada ujung jalan kecil ini berdirilah seorang pria
dengan menjarangkan kedua kakinya dan para pemuda yang sedang
menjalani inisiasi secara berurutan harus merangkak melalui antara kedua
belah kaki tadi. Pada saat mereka hendak berdiri, mereka melihat
Yawarawon (babi suci) yang berdiri di depannya dengan penuh perhiasan;
setiap pemuda lalu diberi sepotong daging babi tadi yang telah disembelih
untuk dikunyah dan kemudian disimpannya. Dalam upacara Yawarawon
ini, diceritakan mite Kamberap yang ada hubungannya dengan mite-mite
lain oleh orang-orang tua. Anak-anak yang belum menjalani inisiasi
dilarang mendengarkan cerita ini. Pada saat itu juga diajarkan nyanyian-
nyanyian sacral.

4. Suku Dani.

Orang-orang Dani termasuk salah satu suku-suku asli Irian Jaya yang
mendiami daerah kabupaten Jayawijaya, terutama daerah lembah Balim, suatu
dataran yang cukup luas dan terapit gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Orang-orang Dani tinggal di perkampungan yang disebut Usilimo. Usilimo
merupakan satu kesatuan tempat tinggal yang terdiri dari honai (rumah pria), ebeai
(rumah wanita), hunu (dapur), kandang babi dan kebun pisang. Dilihat dari segi
kekerabatan, yang berkaitan dengan usilimo, maka honai abeai, hunu dan kandang
babi merupakan satu kesatuan tempat beberapa keluarga batih (ayah, ibu dan
anak-anak) bertempat tinggal.
Honai adalah rumah yang hanya ditempati oleh kaum pria. Setiap honai
dapat dihuni 5 sampai 14 orang. Ebeai adalah rumah yang hanya ditempati oleh
kaum wanita dan anak-anak yang masih kecil. Beberapa usilimo yang tergabung
dalam satu kesatuan dapat dipimpin oleh seorang kepala suku dengan dibantu oleh
seorang kepala perang, sedangkan setiap usilimo dapat dipimpin oleh seorang
kepala karet atau kepala suku yang lebih rendah derajatnya.

a. Pendidikan dalam keluarga

Adat-istiadat masyarakat Dani mewajibkan bagi anak-anak laki-laki


yang sudah mencapai usia delapan tahun atau lebih untuk meninggalkan ebai
dan hidup bersama dengan ayahnya di honai. Mereka diajari tentang cara
membuat dan menggunakan berbagai macam peralatan seperti anak panah,
busur, tali-temali, jala dan noken (alat tali-temali yang teranyam seperti jala
untuk membawa barang sesuatu), kapak batu, cara berkebun dan cara
membuat rumah. Sedangkan anak-anak perempuan yang hidup dalam satu
ebai oleh ibunya diajarkan tentang cara menganyam noken, memasak dengan
mempergunakan panas dari batu-batu yang di bakar lebih dahulu, dan
bercocok tanam serta memungut hasilnya.

b. Pendidikan dalam masyarakat.

Anak-anak laki-laki yang menjelang usia dewasa wajib menjalani


inisiasi. Upacara inisiasi yang disebut harinyaparek atau ap waia lagasin ini
artinya memelihara dan membentuk pria sejati untuk orang lain.
Pelaksanaannya diumumkan oleh pemimpin upacara yang diselenggarakan di
kampong tempat tinggal pemimpin perang.Semua anak laki-laki yang akan
menjalankan upacara inisiasi ditampung dalam satu honai. Mereka diberi anak
panah dan busur oleh para ami-nya (paman atau saudara laki-laki ibu) untuk
kepentingan latihan perang. Dengan demikian, anak-anak laki-laki yang sedang
menjalani inisiasi itu dilatih untuk berperang. Selain itu, mereka juga dibawa ke
hutan untuk berlatih berburu.

B. Pendidikan Zaman Hindia Belanda (1855-1942)

1. Latar Belakang

Meskipun New Guinea Barat (West New Guinea= Irian Barat= Papua
sekarang) secara resmi telah dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Hindia
Belanda (Netherlands Indie) sejak 24 Agustus 1828, namun kenyataannya baru 8
Oktober 1898 pemerintah colonial Belanda benar-benar mulai menanamkan
kekuasaannya atas daerah itu dengan mendirikan pos pemerintahannya yang
pertama di Manokwari dan Fak-Fak. Kemudian yang kedua di Merauke pada 14
februai 1902, setelah konvensi di Den Haag 16 Mei 1855 di capai persetujuan
antara kerajaan Belanda dan Kearjaan Inggris mengenai perbatasan pembagian
jajahan mereka atas pulau New Guinea itu, yakni dari pantai selatan pulau itu di
tengah-tengah muara sungai Bensbach, 14101’47,9” BT , terus mengarah ke utara
dengan mengikuti meridian ini hingga mencapai sungai Fly yang lalu diikuti
alirannya sebagai batas alam sampai di pantai utara pulau itu pada 141o BT. Jadi
selama 70 tahun paktis penduduk asli bagian barat pulau itu yang kemudian disebut
Nethelands Nieuw Guinea (Papua Sekarang) dibiarkan begitu saja tanpa diurus
sama sekali karena secara ekonomis Nieuw Guinea Belanda dianggap kurang dapat
memberikan keuntungan bagi pemerintah colonial Belanda.

Kebudayaan barat sesungguhnya secara berhati-hati baru menjamah


penduduk asli Papua dengan kedatangan C. W. Otto dan J. G. Geissler di Mansinam
pada 5 Februari 1855 dengan maksud menyebarluaskan agama Kristen Protestan.
Dari kedua zendeling inilah sebenarnya penduduk asli Papua, terutama generasi
mudanya mulai dikenalkan pendidikan barat dalam bentuk “sekolah” yang paling
sederhana pada tahun 1856 di Mansinam (L. N. van Asperen, 1936:28). Sekolah
dalam bentuknya yang permulaan adalah penghimpunan sejumlah anak yang telah
dibebaskan dari perbudakan dengan sejumlah uang tebusan dan dijadikan anak-
anak piara (Pleegkinderen) oleh seorang Zendeling (pendeta, penyebar agama),
kemudian mereka diasuh dengan cara diperkenalkan dan ditanamkan kebiasaan
sehari-hari yang baik dan hidup yang higienis, teratur serta diajarkan berkebun atau
bercocok tanam, pekerjaan tangan, menyanyi, membaca, menulis, berhitung dan
berdoa sebelum memulai dan sesudah selesai pelajaran. Kesemuanya ini
merupakan cara-cara pendekatan dalam rangka memasukkan ajaran Kisten
Protestan. Dalam perkembangan selanjutnya “sekolah” demikian memperoleh
sebutan Sekolah pengadaban atau sekolah pembudayaan (Beschavingsschool).
Sekolah jenis inilah yang tidak sedikit jumlahnya dan menempati jumlah terbesar
diantara jenis sekolah yang ada di Papua sampai runtuhnya kekuasaan Hindia
Belanda pada Maret 1942.

Politik etis yang dicanangkan pemerintah colonial pada tahun 1901,


terutama di bidang pendidikan praktis belum dapat dilaksanakan di Papua, bahkan
pengaruhnya pun dapat dikatakan tidak ada, karena perhatian pemerintah colonial
masih tertuju ke dalam pembenahan pos pemerintahannya yang pertama (1898) dan
usaha pendirian pos pemerintahannya yang kedua (1902). Selain itu beberapa tahun
kemudian (1907) perhatian pemerintah tertuju mengadakan eksplorasi atas daerah
itu dan dan sebagai hasilnya pada tahun 1920 di terbitkan buku “Verslag van de
Militair Exploratie van Nederlandsch-Nieuw –Guinea 1907-1955” oleh
Departemen Perang Hindia Belanda (Department van Oorlog in Nederlandsch
Indie). Lebih-lebih penyelenggaraan pendidikan di daerah Irian Jaya semasa Hindia
Belanda itu seluruhnya dipercayakan kepada zending dan Misi, masing-masing
terutama di bagian utara dan selatan daerah itu. Dalam menyelenggarakan
pendidikan ini sekali lagi hanyalah sebagai alat untuk menyebarluaskan ajaran
“Terang Kristus” di kalangan generasi muda seawall mungkin. Pemerintah colonial
hanya memberikan subsidi kepada zending dan misi untuk sekolah-sekolah yang
telah memenuhi persyaratan tertentu.

Pendidikan model barat dengan bentuk sekolah merupakan unsur baru


dalam pergaulan hidup bagi orang-orang asli Irian Jaya. Dengan demikian pelajaran
yang diberikan merupakan pula hal-hal kesenjangan yang kadang-kadang belum
dapat diterima oleh alam pikiran mereka, meskipun bertujuan untuk
mempersiapkan tunas-tunas muda mereka demi mencapai tingkat kedewasaan.
Sikap demikian berbeda dengan daerah Indonesia lainnya yang sebelum masuknya
pendidikan barat telah mengenal pendidikan Islam. Oleh kaena itu, zending dam
misi mencari cara mendidik yang lebih sesuai dengan taraf kebudayaan mereka
yang masih sangat sederhana itu (primitive) yakni pendidik memberikan contoh
kemudian murid mengikuti contoh dengan harapan murid dapat berperan serta pula.

Dengan masuknya sekolah untuk generasi muda, mau tak mau ikatan tradisi
makin terlonggarkan bahkan terputus dan melahirkan pergaulan hidup baru yang
berlainan dengan pergaulan tradisional.

2. Pendidikan Yang diselenggarakan oleh Zending Protestan dan Misi


Katholik Roma.

a. Zending Protestan (1855-1942)

Sejarah pendidikan daerah Irian jaya yang meliputi kurun waktu 1855-1942
tidaklah dapat dipisahkan dari sejarah penyebarluasan agama Kristen di daerah itu.
Pengembangan pendidikan dalam bentuk sekolah baik dari sekolah yang paling
sederhana atau yang kemudian memperoleh sebutan Sekolah Pengadaban
(Beschavingsschool) sesudah perang disebut Dropsschool C, Sekolah Desa
(Dropsschool), sesudah perang disebut Dropsschool B, Sekolah sambungan
(Vervolgschool), sampai sekolah atau kursus Pendidikan Guru Sekolah
Desa/Rakyat (Cursus tot Opleiding van/Cursus voor Volksonderwijzers) maupun
jumlah masing-masing sekolah itu. Berkaitan erat dengan pandangan organisasi
penyebar agama Kristen itu, dalam hal ini Zending Protestan terhadap eksistensi
sekolah dalam rangka penyebarluasan agama Kristen Protestan dan persebaran pos-
pos Zending Protestan itu sendiri. Menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk
sekolah bukanlah merupakan tujuan zending protestan dalam hal ini UZV
(Utrechtsche Zendingsvereeniging), melainkan sebagai sarana baginya untuk
mengembangkan agama Kristen Protestan di kalangan generasi muda. Sampai
menjelang pecahnya perang Pasific (1941) di seluruh Irian Jaya hanya terdapat satu
buah sekolah sambungan saja untuk anak-anak bumiputera. Mula-mula dibuka
dibuka di Mansinam dalam tahun 1923, kemudian dipindahkan ke Miei di teluk
Wandaen tahun 1924. (I. S. Kijne dalam W. C. Klein, III, 1954: 304). Sekolah
sambungan Miei dengan lama belajar dua tahun ini kemudian memasukan para
lulusannya ke Sekolah Pendidikan Guru tersebut yang juga merupakan satu-satunya
Sekolah Pendidikan Guru dan Pendidikan tertinggi di Irian Jaya sebelum pecahnya
perang Pasifik. Para lulusan Sekolah Pendidikan Guru ini nantinyaselain sebagai
guru sekolah juga sebagai penginjil jemaat. Karena itu setelah dua tahun Sekolah
Pendidikan Guru diselesaikan, mereka diwajibkanmengikuti satu tahun pendidikan
agama atau evangelisasi lagi.

Mengenai kebijakan evangelisasi yang mempergunakan tenaga bumiputera


sendiri sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1892 dengan mengirim Petus dan
Timotheus ke Seminari Depok (Jawa barat) yang didirikan oleh Ds. Schuurman
pada tahun 1878 (L. N. van Asperen, 1936:64). Melalui merekalah sesungguhnya
masyarakat asli Irian Jaya akan lebih mudah dan jauh lebih cepat mengerti tentang
ajaran Kristen. Lebih-lebih setelah mempergunakan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar, misalnya bahasa Biak untuk suku Biak.

Sekolah yang pertama kali didirikan di Mansinam pada tahun 1956, setelah
sebelumnya Mansinam dijadikan pos zending pertama oleh C. W. Ottow dan J. G.
Geissler yang berhasil mendarat di pulau Manaswari pada tanggal 5 Februari 1855
dalam rangka tugasnya menanamkan benih Kekristenan di Irian jaya sebagai utusan
Komisi Kristen Pekerja dari Jerman (J. Rauws, 1919: 51-52). Pulau Mansinam
demikian nama yang lebih dikenal selanjutnya dari pada Manaswari, dijadikan basis
pertama penyebaran agama Kristen Protestan, karena selain kenyataan memang
relative lebih aman dari pada daerah pantai darat yang juga menjadi tempat tinggal
pedagang-pedagang asing (S. Coolsma, 1901:765) sebelum Dore (Kwawi) yang
terletak di pantai darat menjadi pusat kedudukan Zending yang kedua. Daerah
pantai teluk Cenderawasih (Geelvinksbaai dahulu) dan pulau-pulau di dekatnya
merupakan daerah sasaran dalam penyebaran agama Kristen Protestan dan hampir
setengah abad sejak tahun 1855 pekerjaan Zending berpusat di daerah itu; karena
penghuninya adalah orang-orang Irian Numfor yang berbahasa pergaulan Numfor,
terutama yang berdiam di Numfor, kepulauan Biak, pulau Run dan pantai barat
teluk Cenderawasih. Di samping orang-orang Irian Waropen di sepanjang pantai
timur teluk Cenderawasih (J. Rauws, 1916:134) sehingga komunikasi untuk daerah
yang begitu luas itu jauh lebih mudah daripada komunikasi orang-orang Irian yang
bertempat tinggal lebih ke timur lagi yang setiap kampong dengan bahasanya
sendiri. Dan lazimnya penduduk daerah pantai lebih mudah berhubungan serta lebih
mudah menyesuaikan diri dengan dunia luar, dalam arti tidak begitu sukar
menerima pengaruh dari kebudayaan luar yang datang masuk.
Sebagai pekerja /tukang, C. W. Ottow dan J. G. Geissler kurang
diperlengkapi dengan ilmu pengetahuan sebagaimana zendeling-zendeling yang
diutus kemudian oleh UZV. Sehingga dapatlah dimengerti selama hampir 10 tahun
pekerjaan Zending di Irian Jaya baru dua orang penduduk asli saja (keduanya
perempuan) yang dibaptiskan (D. B. Starrenburg, hlm 14). Selain secara kebetulan
daerah itu pernah mengalami bencana alam yang berjangkit-jangkitnya penyakit
cacar (1861) dan terjadinya gempa bumi (1864) yang sedikit banyaknya
mempunyai pengaruh terhadap pikiran penduduk untuk tidak begitu saja menerima
ajaran agama Kristen karena dugaan bahwa para penyebar agama itulah sebagai
penyebab timbulnya bencana itu.

Sekolah yang mula-mula sebagai penghimpunan sejumlah anak piara yang


dibebaskan dari perbudakan dalam perkembangannya sejalan dengan pos-pos
Zending. Sekolah demikian juga menampung anak-anak penduduk asli yang tinggal
di pos-pos itu beserta daerah sekitarnya. Sampai menjelang akhir abad ke XIX
jumlah sekolah pengadaban sesuai dengan adanya pos-pos Zending paling banyak
berjumlah tujuh buah, yakni pertama-tama pada tahun 1856 dibuka di Mansinam,
tak lama kemudian dibuka di Kwawi (Doreh), tahun 1867 di pulau Meos War,
tahun 1869 di Andai, tahun 1874 di pinggiran sungai Mum, tahun 1875 di
manokwari, tahun 1883 di pulau Run, tahun 1891 di Windesi dan pada tahun 1897
di Amban yang khusus untuk anak-anak suku pegunungan (L. N. van Asperen,
1936: 28).

Sebagai hasil pekerjaan Zending dalam upaya Kristenisasinya di kalangan


penduduk Irian Jaya, dari kelima pos zending yang ada: Mansinam, Dore atau
Doreh, Run, Andai dan Windesi dengan tujuh orang tenaga utusannya: J. L van
Hasselt, F. J. F van Hasselt, W. L Jens, G. L Bink, J. Metz, J. A van Balen dan J. L.
D van der Roest. Menjelang akhir abad XIX (1894) tercatat jumlah anggota jemaat
Kristen termasuk anak-anak berjumlah 193 orang (W. B. Bergsma, 1897: 131).
Sedangkan pos zending yang pernah dibuka ada delapan buah yakni: di pulau
Mansinam atau Manaswari (1855), Dore (1860), pulau Meos War (1867), pulau
Run (1867), Andai (1868), Momi atau Mum (1871), Manokwari (1872) dan
Windesi (1889) yang masing-masing pembukaannya dipelopori oleh utusan
(Zendeling) C. W. Ottow- J. G. Geissler, C. W. Ottow, C. F. F. Mosche, R. Beijer,
W. H Woelders, J. H. Meeuwig, G. L. Bink dan J. A van Balen.

Selain para zendeling tersebut, sesungguhnya tidaklah kecil peranan para


penginjil atau guru dari bangsa Indonesia sendiri, terutama orang-orang Sangir dan
Maluku sebagai pembantu para Zendeling dalam menyebarluaskan agama Kristen
Protestan di kalangan penduduk asli Irian Jaya. Mereka jika dilihat dari sudut
pandang Indonesia sekarang, selain bertugas mengembangkan agama, sekaligus
juga telah menjalankan tugas turut menyebarluaskan bahasa Melayu yang
kemudian sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 diangkat menjadi bahasa
Indonesia dan diakui sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu
telah mereka gunakan sejak awal penyebaran agama Kristen Protestan di Irian jaya,
karena bahasa Melayu pada waktu itu sudah lazim dipakai sebagai bahasa dagang
oleh orang-orang Maluku yang berdagang di pantai utara Irian Jaya. Jadi sekurang-
kurangnya bahasa Melayu-Maluku dimengerti oleh sementara kalangan penduduk
asli di daerah pantai itu. Dari hasil pekerjaan mereka inilah dapat dikatakan
mempermudah komunikasi di kalangan penduduk asli dengan menggunakan
bahasa Indonesia sewaktu Irian Jaya dibebaskan dari penjajahan Belanda pada
tahun 1962 dan dimasukan kembali ke wilayah kekuasaan Negara kesatuan
Republik Indonesia.

Pos-pos Zending dibuka di tempat-tempat tersebut bertalian dengan


perkiraan adanya sejumlah penduduk yang tinggal di suatu kampong, dengan
harapan mereka dapat didekati dan selanjutnya diberikan pelajaran agama Kristen.
Bila penduduk yang menetap terbukti terlalalu sedikit, apalagi ketiadaan anak-anak
yang tidak memungkinkan dibukanya “sekolah”, contohnya pos zending Momi
yang terpaksa dihapuskan pada tahun 1876 (J. Rouws,1919: 93).

Pulau Run agaknya merupakan pos zending yang paling banyak


penduduknya. Dalam tahun 1882 diperkirakan ada 800 sampai 900 jiwa yang hidup
dalam enam kampong (S. Coolsma, 1901:788). Utusan R. Beijer yang memulai
pekerjaan zending di pulau itu mengeluh. Meskipun sekolah yang dibukanya
memperoleh kunjungan 15 sampai 20 orang murid, namun mereka malas
menghadiri kebaktian keagamaan (J. L. van Hasselt, 1888: 144). Pada akhir abad
ke XIX pulau Run memiliki anggota jemaat Kristen sebanyak 13 orang, termasuk
enam orang yang dibebaskan dari budak (D. B. Starrenburg, hlm 20). Sekitar tahun
1900 Andai sebagai pos zending yang dibuka oleh zendeling W. H. Woelders
menunjukan hasil yang menggembirakan, selain mempunyai anggota jemaat
Kristen sebanyak 30 orang, termasuk 14 orang anak-anak (S. Coolsma, 1901: 805),
juga memberikan kepercayaan kepada seorang Andai Kristen pertama, Philippus,
yang bertindak sebagai pembantu untuk membina sekolah di situ seperti halnya
guru-guru Sangir yang bertugas di situ. Pos zendeling Windesi yang dibuka oleh
zendeling J. A. van Balen memiliki anggota jemaat Kristen sebanyak 11 orang,
termasuk lima orang anak-anak ketika itu (S. Coolsma, 1901; 816). Kebalikannya
pos zending Manokwari yang dibuka oleh zendeling G. I. Bink terpaksa
ditinggalkan pada tahun 1884. Dia bersama 11 orang anak piaranya pindah ke pulau
Run karena terjadi perselisihan dengan orang-orang Arfak yang menghendaki
kehidupan kembali kepercayaan leluhurnya (S. Coolsma, 1901:808-809).

UZV yang dibentuk sebagai penerus pekerjaan Comissie Christen Werkman


untuk menangani Kristenisasi penduduk asli Irian Jaya dengan tiga orang zendeling
yakni pertama J. L. van Hasselt, Th. F. Klaassen, W. Otterspoor yang bekerja di
Irian Jaya sejak 1863. Sebagai utusannya, merasa kecewa dan hampir-hampir putus
asa untuk melanjutkan tugas pekerjaannya itu. Kaena hampir 40 tahun zending
bekerja di Irian Jaya baru mencapai 193 orang anggota jemaat Kristen Protestan.
Suatu pekerjaan yang dinilai kurang berhasil. Tetapi berkat kegigihan dan kemauan
teguh J. L van Hasselt untuk tetap meneruskan pekerjaan zending di Irian Jaya
mengingat banyaknya pengorbanan yang telah diberikan demi penyebarluasan
ajaran Kristus terutama oleh para zendeling beserta keluarganya. Akhirnya
semenjak kemenangan ajaran Kristen Protestan atas penduduk pulau Run
menjelang munculnya tahun 1907 agama Kristen Protestan nerkembang dengan
pesat, demikian pula pembukaan sekolah-sekolah. Bertolak dari pantai barat teluk
Cenderawasih dan pulau-pulau di dekatnya, berkat kegiatan dan kerjasama para
pendeta, penginjil dan guru yang penuh rasa pengabdian dan rasa tanggung jawab,
agama Kristen Protestan menyebar ke pulau-pulau di teluk Cenderawasih yang
berjauhan dari pantai (Numfor, Biak, Yapen), pantai utara bagian timur (Hollandia
atau Jayapura sekarang) dan pantai barat (Raja Ampat, Fak-Fak) Irian Jaya (J.
Rauws, 1919: 128-169). Sampai sekitar tahun 1930 zending yang terdiri dari UZV
sebagai penerus pekerjaan Gosznersche Mission sudah memiliki anggota jemaat
Kristen 45.810 orang dan IK (Indische Kerk) 5. 140 orang, disamping anak-anak
sekolah 7.692 dan 900 orang (F. J. F van Hasselt dalam W. C. Klein, I, 1935: 347).

“Visioen” seseorang di pulau Run yang mencanangkan pertobatan membuat


penduduk daerah itu sadar dan meyakini kebenaran ajaran agama Kristen Protestan.
Akibatnya mereka secara masal dan atas kemauan sendiri membakar semua atribut
tradisionalnya menjelang berakhirnya tahun 1906 sebagai pertanda bahwa mereka
telah meninggalkan kepercayaan lama, kepercayaan warisan leluhurnya, dan untuk
seterusnya sejak munculnya tahun 1907 memeluk kepercayaan baru, yakni agama
Kristen Protestan. Peristiwa penting kemenangan “Terang Kristus” atas penduduk
pulau Run ini tak hanya memberikan keteguhan hati melainkan juga menjadi daya
pendorong yang kuat kepada para utusan dalam menunaikan tugas pekerjaannya
sehingga tidak mengherankan apabila penyebarluasan agama Kristen Protestan saat
itu sangat pesat. Demikian juga pembukaan sekolah-sekolah menjadi bertambah.
Jika tahun 1904 jumlah sekolah tetap hanya lima buah, perkembangan jumlah ini
meningkat sesudah tahun 1906 (F. J. F van Hasselt, 1922; 33,44,46), maka pada
akhir tahun 1914 atau 10 tahun kemudian jumlah sekolah meningkat menjadi 51
buah dengan 73 orang guru dan 2.353 orang murid. Sementara jumlah jemaat
Kristen bejumlah 57 jemaat dengan 2. 527 anggota. Kesemuanya mencakup lima
wilayah kerja zending yakni: Teluk Dore, Irian Jaya Timur (Oost Nieuw Guinea),
Irian Jaya Barat (West Nieuw Guinea), Numfor dan Biak (Schouten eilanden)
(BUZV,1915: Lampiran tentang “Staat der Gemeenten en Scholen”). Perinciannya
lebih lanjut sebagai berikut:

1. Wilayah Kerja Teluk Dore


Mempunyai 11 Jemaat dengan 902 anggota dan 11 sekolah dengan 13 guru
dan 217 murid. Guru-guru itu antara lain: E. Polnaya, Y. Ariks, P.
Rumbekwaim, P. Rumsayir, A. Rumadas, Y. Mitimu, Y. Werinussa, dan Y.
Latumahina.
2. Wilayah kerja Irian Jaya Timur
Mempunyai 14 jemaat dengan 116 anggota dan 14 sekolah dengan 14 guru
dan 542 murid. Guru-guru itu antara lain: Y. Nanulaitta, A. Pattihuwean, E.
Palapessi, P. C. Yoris, M. A. Pasalbessy, Y. Methusalach, Y. Holle, O.
Sangadji, dan T. Saul.
3. Wilayah kerja Irian Jaya Barat
Mempunyai 10 jemaat dengan 208 anggota dan 4 sekolah dengan 16 guru
dan 710 murid. Guru-guru itu antara lain: A. pasalbessy, B. Nahumury, L.
Nanlohi, D. Manoppo, A. Yakob, E. Huliselan, M. Ihalauw, Y. Z. A. de
Fretes, P. Leiwakabessi, Y. Pattipeilohi dan L. Z. Luhulima.
4. Wilayah kerja Numfor
Mempunyai 10 jemaat dengan 842 anggota dan 10 sekolah dengan 13 guru
dan 395 murid. Guru-guru itu antara lain: L. Tanamal, H. Lopulalan, M. Y.
Tomasoa, Y. Nanlohi, W. Rumbobiar, Y. Yakob, M. Reawaru dan P.
Wattilete.
5. Wilayah kerja Biak
Mempunyai 12 jemaat dengan 459 anggota jemaat dan 12 sekolah dengan
17 guru dan 489 murid. Guru-guru itu antara lain: D. Latuputti, E. Hallatu,
L. Pangimangen, M. Tahitu, W. Rumainum, Y. Abraham, M. Tamaela, M.
Sauer, P. Kafiar, N. Huwae dan W. Sekudu.

Dari nama guru-guru tersebut, terbukti bahwa sebagian besar guru-guru


Sekolah Pengadaban/Desa pada waktu itu berasal dari luar Irian Jaya, terutama dari
Maluku. Oleh karena itu sekurang-kurangnya bahasa Melayu Maluku telah
tersebarluaskan dan dimengerti oleh kalangan penduduk Irian Jaya, terutama
mereka yang telah disentuh oleh agama Kristen Protestan, sedangkan generasi
mudanya yang mengikuti pendidikan formal mulai diajarkan bahasa Melayu sejak
awal kelas II Sekolah Desa. Karena kebanyakan Sekolah Desa untuk kelas I nya
masih menggunakan bahasa daerah (landstaal), dalam hal ini terutama buku
bacaannya (F. J. F van Hasselt, 1922:55). Sekolah-sekolah daerah pantai utara Irian
Jaya yang terletak di sebelah barat tanjung d’Urville mempergunakan bahasa
daerah Numfor atau Windesi untuk kelas satunya. Beberapa orang Zendeling
menghendaki penggunaan bahasa daerah untuk dua tahun pertama Sekolah
Pengadaban/Desa. Karena sebagian besar penduduk daerah itu mengerti kedua
bahasa daerah itu, sedangkan yang disebelah timurnya segera mempergunakan
bahasa Melayu karena di daerah ini banyak beraneka ragam bahasa daerah yang
dipakai oleh beraneka ragam suku pula sehingga bahasa Melayu perlu
dipergunakan selekas mungkin sebagai bahasa pengantar (F. J. F. van Hasselt 1922:
51-52).
Mengenai buku bacaan berbahasa daerah Numfor dibedakan atas buku
membaca- permulaan (Soelboekjes) dan buku membaca lanjutan (leesboekjes).
Untuk jenis buku bacaan yang disebut pertama dipergunakan Surat Ra (Ra selain
berarti bunga kebun dan tanaman dalam rumah/kamar, juga dalam membaca -
permulaan merupakan huruf r dan a). Adapun mata pelajaran yang diberikan di
sekolah desa (Dorpsschool atau yang kemudian digolongkan ke dalam Dorpschool
B atau Volksschool) pada waktu itu meliputi: Sejarah kitab suci, membaca,
berhitung, menulis, bahasa dan menyanyi. Sesuai dengan rencana pelajaran
(kurikulum) sekolah negeri/pemerintah pada masa itu maka untuk kelas I dalam
pelajaran membaca dipergunakan kitab bacaan I, II dan III. Berhitung dipergunakan
Majulah I (1 s/d 20). Bahasa dipergunakan contoh percakapan I, menyanyi
dipergunakan Biduan kecil II dan menulis di atas batu tulis dengan anak batu tulis.
Kelas II dalam pelajaran membaca dipergunakan dekat dan jauh I dan II, berhitung
dipergunakan Majulah II (1 s/d 100). Bahasa yang digunakan adalah contoh
percakapan II, menyanyi dipergunakan biduan kecil II dan menulis diatas batu tulis
dengan anak batu tulis atau di atas kertas/buku tulis dengan pensil. Kelas III dalam
pelajaran membaca dipergunakan Matahari terbit I, II dan III. Berhitung
dipergunakan Majulah III dan sebagian IV (1 s/d 1000 dan bilangan pecahan
sederhana). Bahasa yang digunakan contoh percakapan III, menyanyi dipergunakan
biduan kecil II dan nyanyian-nyanyian lainnya serta menulis di atas batu tulis
dengan anak batu tulis atau di kertas/buku tulis dengan pena dan tinta. Sekolah
diselenggarakan setiap hari kerja dari jam 07.30 sampai 10.00 untuk kelas I dan dari
jam 10. 30 sampai jam 13.00 untuk kelas II dan III, sedangkan waktu istirahat jam
10.00 sampai jam 10. 30 dan biasanya dipakai guru untuk makan pagi. Sebelum
sekolah dimulai, beberapa murid tertentu wajib membersihkan ruangan kelas.
Menjelang memasuki kelas, guru memeriksa tangan murid-murid apakah tangan
mereka sudah dalam keadaan bersih ataukah tidak.

Penduduk asli Irian Jaya, lebih-lebih yang sudah berkenalan dengan


zending/agama Kristen Protestan makin menyadari betapa pentingnya Sekolah
Pengadaban/Desa di tempat kediamannya demi mendidik generasi muda dan
meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Tentang lajunya perkembangan
jumlah sekolah pengadaban/desa di Irian Jaya dalam empat decade pertama abad
XX ini sebenarnya ada beberpa factor sebagai daya pendorongnya yaitu:

1. Pesatnya perkembangan agama Kristen Protestan sejak pertobatan


penduduk pulau Run (1907) sehingga kegiatan Evangelisasi jauh lebih
meningkat di kalangan para Evangelis (Zendeling, pendeta, penginjil,
guru).
2. Dikeluarkanya peraturan subsidi tahun 1906 yang disusul kemudian
dengan berbagai pengaturan subsidi tersendiri untuk sejumlah atau
sebahagian daerah luar Jawa-Madura (L. N. van. Asperen) sehingga
dapat meningkatkan kemampuan pembiayaan pihak Zending.
3. Penghapusan garis pemisah (Scheidingslijn) pada tahun 1928 untuk
melerai konflik yang sering timbul antara Zending dan misi dalam
penyebarluasan agama, sehingga menjelmakan perutusan rangkap
(double zending) yang dapat memacu evangelisasi dalam
memperebutkan daerah Irian Jaya sebagai wilayah-wilayah kerja
mereka.

Apabila jumlah sekolah pada akhir tahun 1933 mencapai 155 buah,
diantaranya 105 buah bersubsidi, yang terdiri dari Raja Ampat 10 buah 8 buah
bersubsidi 2 buah tidak bersubsidi, Teluk Doreh 3 buah, bersubsidi 2 tidak
bersubsidi 1. Numfor 7 buah bersubsidi semua, Nimboran 15 bersubsidi 9 sisanya
6 tidak bersubsidi, Hollandia-Sentani 17 buah, bersubsidi 5 sisanya 12 tidak
bersubsidi. Biak Utara 12 buah, bersubsidi 9 sisanya 3 buah tidak bersubsidi, Biak
Selatan 17 buah, bersubsidi 6 sisanya 11 tidak bersubsidi, Berau 11 buah bersubsidi
9 sisanya 2 tidak bersubsidi dan Bintuni 15 buah bersubsidi 10 sisanya 5 tidak
bersubsidi (L. N van Asperen, 1936:41). Ini adalah suatu jumlah maksimal sekolah
yang masih ada. Hal ini disebabkan karena terjadinya depresi ekonomi yang
melanda dunia pada tahun 1929-1933 atau yang dikenal dengan sebutan ”zaman
Malaise” termasuk Indonesia (Nederlands Indie) pada waktu itu. Hal itu membuat
subsidi pemerintah colonial kepada sekolah-sekolah di Irian Jaya (Nederlands
Nieuw Guinea) sukar dipenuhi sebagaimana mestinya. Sehingga antara tahun 1920
sampai akhir tahun 1933 sudah banyak sekolah yang diselenggarakan oleh zending
ditutup (L. N van Asperen, 1936:43).

Lalu bagaimanakah keadaan sekolah zending antara tahun 1934-1942?


Ternyata tidak diperoleh data sebagaimana yang diharapkan, sehingga tidak dapat
diketengahkan secara pasti. Namun dapat diperkirakan bahwa dalam kurun waktu
itu, andaikan jumlah sekolah itu bertambah hanya sedikit saja mengingat kurang
lebih lima setengah tahun kemudian dunia mulai dilanda perang dunia II.

b. Misi Katolik Roma (1905-1942)

Dalam usaha menyebarluaskan agama Katolik Roma, misi menempuh dua


jalan yaitu: stasi sebagai pemukiman model dalam kurun waktu 1894-1940 dan
pendidikan dalam bentuk sekolah beserta gagasan yang melandasi penyelenggaraan
pendidikan itu. Interaksi Misi di Irian Jaya dengan pos-pos utama di darah
Indonesia banyak ditentukan oleh cara yang ditempuh dalam penyebaran agama
dan keadaan setempat daerah Irian Jaya yang dihadapi. Sejak tahun 1905 Misi Orde
Hati Kudus yang berpusat di Langgur (Maluku Tenggara) membuka stasinya yang
pertama di Merauke setelah kegagalan pekerjaan Misi Orde Yesuit di Fak-Fak
tahun 1896 dengan tewasnya Pater Le Cocq d’Armandville. Usaha ini baru
menunjukan kegiatan yang lebih positif. Penyebarluasan agama Katholik Roma
selama kurun waktu 1905-1940 menurut J. Verschueren dibagi atas dua fase yaitu:
fase awal yang tidak membawa hasil (1905-1920) dan fase perluasan secara besar-
besaran (1920-1940).

Stasi adalah tempat beribadah, khususnya untuk perayaan Misa Kudus yang
dipimpin oleh seorang Pastur pada hari Minggu/hari besar keagamaan lainnya atau
pada waktu kunjungan ke stasi-stasi yang tidak sedikit jumlahnya itu secara
bergiliran. Kebaktian Sabda (Sembayang tanpa Pastur) dapat juga dilaksanakan di
stasi dengan pimpinan seorang Katekis atau Diakon. Tetapi dalam kurun waktu itu
pimpinan adalah kebanyakan kali seorang guru Misi (Ensiklopedia Populer tentang
Gereja, 1975). Daerah Irian Jaya Selatan dianggap sebagai “tanah perjanjian” pada
tahun-tahun pertama kehadiran misi karena diduga daerah itu akanmendatangkan
kemungkinan-kemungkinan yang baik.

Sebenarnya misi telah berhasil mengadakan kontak-kontak persahabatan


dengan penduduk asli daerah setempat. Terbukti dengan berlanjutnya pembukaan
stasi-stasi baru, misalnya di Wendu (1904), dan Okaba (1910). Namun masih
terdapat juga hambatan-hambatan yang berupa sifat penduduk pantai yang
senantiasa merasa puas dengan apa yang tersediakan oleh alam sekitar dan system
sosio-religius yang menempatkan penduduk asli pada kutub yang bertentangan
dengan ajaran ke-Kristenan. Peter. J Veterten adalah pejuang “Terang Kristus”
yang pantang mundur dalam menghadapi situasi masyarakat seperti ini. Hal ini
mendorong Misi untuk mengadakan pemukiman-model (modeldorpen). Para
penghuni pemukiman terdiri dari pasangan keluarga-keluarga muda yang pernah
menerima pendidikan sekolah. Di beberapa pemukiman dibangun gedung sekolah
semi-permanen, balai pengobatan, disamping ditempatkan para
rohaniawan/rohaniwati. Kehadiran para rohaniawan/rohaniwati disini, meskipun
jauh dari stasi dan pemukiman lainnya, sangat dirasakan pengaruhnya, bahkan
mendorong kegiatan penyebarluasan agama dan kegiatan pendidikan yang
dilakukan guru-guru.

Sekolah yang pada umumnya sebagai sarana untuk membangkitkan


kemampuan bernalar, maka Misi mendirikan sekolah juga untuk melepaskan
penduduk asli dari cara berpikir yang sangat tergantung pada ketakhyulan dan alam
sekitar disamping juga memasukan ajaran “Terang Kristus”. Pandirian sekolah
menurut Misi didasarkan atas keadaan masyarakat, terutama masyarakat ang
kurang mengenal tata tertib dalam hidupnya dan keadaan alam sekitar yang dapat
memenuhi kebutuhan primer sehari-hari walaupun dalam taraf kehidupan yang
masih sangat sederhana. Dengan kata lain sekolah merupakan upaya yang
menentukan dalam penghancuran unsur-unsur kebudayaan tradisional yang
membentengi penduduk setempat dari pengaruh dunia luar yang memajukan.
Sekolah juga merupakan pusat pengubahan tata kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Sekolah jenis ini kemudian mendapat sebutan sekolah pengadaban
(Beschavingschool) karena memang pelajarannya memprioritaskan pengadaban
atau pembudayaan generasi muda yang menjadi sasarannya, dan merupakan
prototype sekolah rakyat (Volkschool) yang sudah ada di daerah Indonesia lainnya
pada waktu itu.

Di beberapa tempat yang dianggap layak seperti di Merauke, sekolah


dilengkapi dengan asrama. Sekolah pengadaban umumnya terdapat di luar kota.
Bahkan kadang-kadang jauh terpencil di daerah pedalaman dengan pergaulan hidup
yang sangat sederhana. Jenis sekolah ini juga dapat dikatakan sebagai wadah
pembiasaan pada ketertiban, keteraturan, dan ketenteraman disamping sekedar
mewujudkan pengajaran agama yang elementer ditambah dengan sekedar
membaca, menulis dan berhitung. Tugasnya sekolah ini merupakan lembaga baru
dan menjadi alat utama dalam rangka penetrasi. Menilik bidang geraknya dalam
segi kerohanian dan kemasyarakatan, lebih-lebih kedudukannya yang langsung
berada di bawah Misi Katholik Roma, penyelenggaraan sekolah pengadaban
bukanlah urusan pemerintah colonial melainkan sepenuhnya urusan dan
pembiayaan Misi.

C. Pendidikan Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)

1. Latar Belakang

Berdasarkan rencana untuk mendirikan “Kemakmuran bersama Asia Timur


Raya” yang dipublikasikan tahun 1940, Jepang mengembangkan kekuasaannya ke
daerah-daerah Asia lainnya termasuk daerah Irian Jaya (Nederlands Nieuw
Guinea). Pada tahun 1942, Jepang telah menguasai hampir seluruh daerah Irian
Jaya, kecuali Merauke yang merupakan satu-satunya daerah yang tidaka pernah
dikuasai Jepang sampai perang selesai. Landasan ideal pendidikan pada zaman
pendudukan Jepang adalah mengajak bangsa Indonesia bekerja sama dengan
bangsa Jepang dalam rangka “Kemakmuran bersama Asia Timur Raya”. Oleh
karena itu, para pelajar setiap hari wajib mengucapkan janji/sumpah setia kepada
kaisar Jepang dan membentuk Indonesia Baru dalam rangka “Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya”. Kenyataannya bangsa Indonesia di daerah Irian Jaya
banyak menderita untuk kepentingan perang Jepang.

2. Perkembangan Pendidikan

Tujuan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang adalah memenangkan


peperangan. Bala tentara Jepang memberikan sedikit perhatian terhadap
pendidikan. Bahasa Melayu yang segera diubah menjadi bahasa Indonesia adalah
bahasa pengantar resmi, baik di kantor-kantor maupun di sekolah-sekolah.
Sedangkan bahasa Belanda dilarang sama sekali untuk diajarkan, bahkan akhirnya
juga semua hal yang berbau Belanda dilarang.
Secara konkrit tujuan pendidikan zaman pendudukan jepang di daerah Irian
Jaya tidaklah berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, yaitu menyediakan
tenaga kerja cuma-Cuma dan calon-calon prajurit untuk memenangkan peperangan
Jepang dalam perang pasifik.Oleh karena itu, pelajar-pelajar diharuskan mengikuti
latihan-latihan fisik dan indoktrinasi yang dilaksanakan secara ketat. Pada akhir
zaman pendudukan Jepang terdapat tanda-tanda bahwa tujuan pendidikan zaman
pendudukan Jepang adalah men-Japanisasi-kan generasi muda Indonesia umumnya
dan khusunya di daerah Irian Jaya.

Keadaan pendidikan pada zaman pemerintahan militer Jepang merosot


dengan drastic apabila dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Sekolah
pengadaban (Beschavingschool) maupun sekolah desa (Dorpschool) baik yang
diselenggarakan oleh zending Protestan maupun misi Katholik Roma banyak
ditutup. Demikian pula sekolah sambungan (Vervolgschool) dan sekolah guru di
Miei sebagai satu-satunya sekolah lanjutan di daerah Irian Jaya yang dikelola oleh
zending. Keadaan pendidikan semacam ini juga dialami oleh daerah Merauke yang
tidak dikuasai Jepang. Dalam masa peperangan ini banyak guru-guru yang bertugas
di daerah pedalaman meninggalkan tugas pekerjaannya, sedangkan pengangkatan
tenaga guru baru untuk ditempatkan di daerah pedalaman tidaklah mungkin sama
sekali. Semua guru berkebangsaan Belanda ditawan, bahkan banyak juga guru-guru
di Indonesia yang berasal dari luar Irian Jaya ditangkap dan banyak diantaranya
yang dibunuh, antara lain terjadi di Manokwari dan Serui. Selain itu banyak
diantara guru-guru yang ditunjuk sebagai mandor-mandor guna mengawasi
penduduk dan murid-murid yang melakukan kerja bakti atau kerja rodi seperti
membuat perkebunan untuk kepentingan Jepang. Akibatnya di daerah Irian Jaya di
zaman pendudukan Jepang sangat kekuranagn tenaga guru, sehingga banyak
sekolah yang terpaksa ditutup.

Guru-guru diwajibkan pula untuk mengikuti latihan-latihan yang meliputi:


indoktrinasi mental ideologi dalam rangka “Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya”, senam dan semangat Jepang, bahasa dan aksara Jepang. Demi
mengembangkan hari depan Indonesia baru dalam rangka “Kemakmuran Bersama
Asia Timur Raya”, murid-murid sekolah dikenai ketentuan dan indoktrinasi secara
ketat, antara lain mereka harus melakukan: senam pagi, pengucapan janji/sumpah
setia kepada kaisar Jepang serta menghormatinya dengan menundukan kepala kea
rah matahari terbit (Jepang), tata karma ala Jepang, kerja bakti (kinrohosi), belajar
bahasa dan aksara Jepang dan belajar menyanyikan lagu-lagu atau nyanyian-
nyanyian Jepang.

D. Pendidikan Zaman Kolonial Belanda (1945-1962)

1. Latar Belakang
Setelah daerah Hollandia (Jayapura sekarang) dibebaskan oleh tentara
sekutu dari pendudukan bala tentara Jepang pada tahun 1944, pemerintah NICA
(Netherlands Indies Civil Administration) segera melaksanakan tugas
pemerintahannya termasuk tugas di bidang pendidikan. Residen Jan Van Rechoud
mulai membuka sekolah untuk anak-anak bumiputera. Joka Institut di Yoka, dekat
Hollandia Binnen (Kotabaru dalam, Abepura sekarang). Pemerintah dalam negeri
yang diorganisasikan kembali mengangkat guru-guru (F. C. Kamma dalam W. C.
Klein, I, 1953: 124).

Sebagai akibat perang, keadaan pendidikan di daerah Irian Jaya (Nederlands


Nieuw Guinea atau Irian Barat dulu) sangat parah. Banyak sekolah ditutup karena
ketiadaan guru, sementara sekolah yang tetap terbuka berjalan secara tidak teratur.
Banyak diantara guru-guru yang menjadi korban akibat keganasan perang Pasifik
atau meninggal dunia karena sakit.

Pegawai-pegawai orang Indonesia yang berasal dari luar Irian Jaya banyak
yang kembali ke daerah asalnya. Selain itu banyak guru yang beralih tugas menjadi
pegawai pamong Praja semasa pemerintahan NICA (I. S. Kijne dalam W. C. Klein,
III, 1954:305). Karena CVO (Cursus tot Opleiding voor Volksonderwijzers) atau
sekolah guru di Miei sebagai satu-satunya lembaga pendidikan guru yang
mendidik guru-guru untuk Sekolah Dasar tidak berfungsi lagi, maka kekurangan
tenaga guru di daerah Irian Jaya sangat terasa.

Untuk menghidupkan kembali kegiatan sekolah-sekolah yang sudah ditutup


karena tidak adanya guru, maka pemerintah NICA mengambil langkah-langkah
darurat untuk mengatasinya. Pada awal tahun 1947 terdapat sekitar 150 orang yang
diangkat dan bekerja sebagai guru. Mereka ini adalah guru-guru darurat yang hanya
memiliki ijazah Vervolgschool (sekolah sambungan) (F. C. Kamma dalam W. C.
Klein, I, 1953:125).

2. Perkembangan Sekolah

Sekolah dibedakan atas sekolah yang diperuntukan untuk anak-anak


bumiputera dan anak-anak orang Belanda. Pendidikan untuk anak-anak bumiputera
terbagi atas beberapa jenis sekolah sesuai dengan daerah tempat anak-anak itu
bermukim. Anak-anak yang bermukim di pedesaan, kesempatan memperoleh
pendidikan dasar dengan cara memasuki Dorpschool (sekolah desa). Mereka yang
bermukim di daerah perkotaan mempunyai kesempatan memasuki Algemene
Lagere School (Sekolah Umum Rendah) 6 tahun. Sementara itu anak-anak orang
Belanda memasuki Europese Lagere School (Sekolah Rendah Eropa).

a. Sekolah Desa (Dorpschool)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pemerintah Kolonial


Belanda tidak banyak menyelenggarakan sekolah tetapi menyerahkan
penyelenggaraannya kepada zending dan misi. Zending yang bekerja di Irian
Jaya sesudah perang terdiri dari beberapa zending yaitu Zending der
Nederlandse Hervormde Kerk (ZNHK), Zending Protestant Maloekoe (ZPM),
Molukse Protestantse Kerk (MPK) yang merupakan penjelmaa dari Indische
Kerk (IK), Cristian and Missionary Alliance (CAMA) dan Zending gereja
Baptis. Sedangkan misi terdiri dari Orde Fransiskan yang bekerja di bagian
Utara, Barat dan Tengah Irian Jaya dan Orde Hati Kudus yang bekerja di daerah
bagian Selatan Irian Jaya.

Tujuan Zending dan Misi di Irian Jaya adalah untuk menyebarluaskan


agama Kristen. Karena pihak zending dan misi beranggapan bahwa salah satu
jalan yang terbaik untuk menyebarluaskan ajaran agama Kristen ialah melalui
pendidikan di Sekolah. Maka Zending dan Misi banyak mendirikan sekolah.
Bahkan dalam memasuki daerah pedalaman yang penduduknya masih sangat
sederhana kebudayaannya, pihak zending dan misi merintis pembukaan
sekolah-sekolah yang sifatnya sangat sederhana yang dikenal sebagai sekolah
Pengadaban (Beschavingschool). Guru-guru yang bekerja pada sekolah
Pengadaban ini pada umumnya adalah penginjil untuk zending dan para katekis
untuk Misi atau guru-guru darurat.

Sesudah perang pasifik berakhir, zending dan misi membuka kembali


sekolah-sekolahnya dan mengembangkannya. Banyak kampong yang
penduduk akhirnya menyadari betapa pentingnya pendidikan demi kemajuan
warga kampungnya terutama generasi mudanya sehingga mereka meminta
kepada zending dan misi untuk membuka sekolah di kampungnya. Untuk
memenuhi kebutuhan tenaga guru di daerah Irian Jaya, semenjak tahun 1948
hingga tahun 1953 pihak zending dan misi mendatangkan banyak guru dari
Maluku. Pada akhir tahun 1951 jumlah sekolah desa yang diselenggarakan oleh
Zending dan Misi berjumlah 525 buah yang bersubsidi dan sekitar 90 buah yang
berdikari (I. S. Kijne dalam W.C Klein, III, 1954:309 dan 328).

Program pelajaran pada sekolah desa sangat sederhana. Pelajaran


disesuaikan dengan keadaan dan tingkat kebutuhan masyarakat pedesaan yang
masih sederhana sekali. Oleh karena itu, pelajaran pada sekolah desa lebih
bersifat membantu pengembangan social daripada pengembangan intelektual.
Dengan demikian pelajaran-pelajaran hidup secara higienis, berkebun,
pekerjaan tangan, dan menyanyi atau music (bermain suling) perlu diberikan
disamping membaca, menulis dan berhitung.

b. Sekolah Sambungan (Vervolgschool)

Sesudah perang dunia II lembaga pendidikan di Yoka atau Joka Institut


(dekat Hollandia- Binnen atau Abepura) dan di Merauke akan dijadikan
Sekolah Pendidikan Umum. Pada tahun 1948 rencana ini dibatalkan. Karena
itulah muncullah gagasan untuk membuka Sekolah Sambungan di berbagai
daerah bagi Zending dan Misi. Lama belajar Sekolah Sambungan tiga tahun dan
tingkat pelajarannya sama dengan tingkat pelajaran yang diberikan pada tiga
kelas tertinggi Sekolah Rendah Umum (Algemene Lagere School). Pada tahun
1951 sekolah sambungan berjumlah 12 buah dengan jumlah guru 31 orang dan
jumlah murid sebanyak 910 orang. Sekolah sambungan merupakan lanjutan
pendidikan bagi anak-anak yang telah tamat dari Sekolah Desa dan lulus dalam
ujian masuk.

c. Sekolah Rendah (Lagere School)

Sekolah rendah didirikan di daerah kota dengan pelajaran yang bersifat


kekotaan dan mutunya sejauh mungkin sama dengan sekolah rendah 6 tahun di
negeri Belanda. Lama belajar sekolah rendah 6 tahun. Sekolah rendah ada dua
jenis yaitu Sekolah Rendah Umum (Algemene Lagere School) bagi penduduk
kota yang tidak berbahasa Belanda dan Sekolah Rendah Eropa (Europese
Lagere School) bagi penduduk kota yang berbahasa Belanda.

d. Taman Kanak-Kanak (TK=Kleuterschool)

Pada tahun 1951 di Nieuw Guinea Belanda (Irian Jaya) hanya terdapat
satu buah Taman kanak-kanak yang berkedudukan di Sorong dan
diselenggarakan oleh Orde Fransiskan dengan jumlah muridnya 50 orang. TK
ini tidak mendapat subsidi. Pelajaran berlangsung selama satu tahun. Dalam
kenyataannya TK ini merupakan sekolah persiapan (voor school=pra sekolah)
bagi anak-anak yang akan memasuki sekolah rendah umum (Algemene Lagere
School).

e. Pendidikan Sekolah Guru Rakyat (Opleidingschool voor


Volksonderwijzer= OVVO)
Untuk memenuhi sebagian kebutuhan guru-guru sekolah desa,
zending maupun misi menyelenggarakan pendidikan untuk guru-guru
sekolah rakyat. Pada tahun 1948 zending membuka OVVO di Yoka yang
dalam perkembangan berikutnya dipindahkan ke Serui pada tahun 1951.
Pada tahun 1951 misi Hati Kudus membuka juga OVVO di Merauke dan
Gereja Protestan Maluku membuka OVVO di Fak-Fak. Pada tahun 1952
jumlah OVVO menjadi empat buah yaitu dengan dibukanya lagi oleh Orde
Fransiskan di Fak-Fak. Pendidikan OVVO ini sangat sederhana dan
berlangsung selama dua tahun setelah tamat dari sekolah sambungan. Setiap
OVVO dilengkapi dengan asrama bagi siswa laki-laki dan perempuan.
Asrama OVVO di Serui sebagai kelanjutan dari asrama OVVO Yoka, yang
dalam kehidupan sehari-harinya lebih menekankan pada pembentukan
watak dan kehidupan para penghuninya. Mereka diorganisasikan sebagai
suatu masyarakat desa beseta kepala desa dan dewan desanya (I. S. Kijne
dalam W. C Klein, III, 1954:316).
Dengan mulai berlakunya Peraturan Subsidi Pengajaran Rendah
tanggal 1 Januari 1956, maka OVVO diubah menjadi Opleidingschool voor
Dorpsonderwijzers (ODO). Jumlah sekolahnya tetap, tetapi jumlah
muridnya dari tahun ke tahun meningkat. Jika OVVO lama belajarnya dua
tahun, maka berdasarkan Lager Onderwijs- en Subsidie- ordonnantie
(LOSO) lama belajar di ODO menjadi tiga tahun. Pendidikan tiga tahun ini
dianggap penting karena dipandang dari sudut kualitas pengajaran di
Sekolah Desa sangatlah tergantung kualitas guru-gurunya. Program
pengajaran ODO diarahkan kepada pandangan yang lebih modern, yaitu
dengan meletakkan titik berat pada latihan mengajar. Masyarakat
memandang guru sekolah desa tidak hanya bertugas menyampaikan
pelajaran melainkan juga memegang peranan penting dalam perkembangan
penting dalam masyarakat di desanya. Di samping itu, setiap ODO selalu
berusaha untuk membangun hubungan dengan para lulusannya yang sudah
ditempatkan pada Sekolah Dasar.
f. Kursus Normalis (Normalisten Cursus)

Untuk mendidik calon guru-guru sekolah sambungan, pihak zending


antara tahun 1947 sampai tahun 1950 menyelenggarakan kursus Normalis
dengan mengambil tempat di Yoka. Para pesertanya terdiri dari guru-guru
Sekolah Desa yang terpilih dan yang bekerja di Yoka dan sekitarnya. Kursus
diadakan pada sore hari.

g. Sekolah Teknik Rendah (Lagere Technische School)

Zending gereja reformasi Belanda mendirikan Sekolah Teknik Rendah


di Kotaraja pada tahun 1951. Selanjutnya misi Hati Kudus membuka sekolah
yang sama di Merauke. Masing-masing lengkap dengan asrama. Lama
belajarnya dua tahun.

Sekolah teknik rendah di Kotaraja memiliki dua jurusan yaitu: Jurusan


bangunan dan jurusan mesin. Tiap-tiap jurusan dipimpin oleh seorang ketua
jurusan. Sekolah teknik rendah ini didirikan dengan maksud untuk memenuhi
kebutuhan tenaga-tenaga terampil bagi masyarakat bumiputera. Disamping
kedua sekolah tersebut, perusahaan minyak NNGPM di Sorong juga
mendirikan sekolah pertukangan lengkap dengan asramanya. Tujuannya adalah
untuk memenuhi tenaga terampil yang dibutuhkan di perusahaan. Selanjutnya
pada tahun 1954 pemerintah Belanda juga membuka sekolah teknik rendah di
Hollandia (Jayapura sekarang). Sekolah ini tidak berasrama dan diperuntukan
bagi anak-anak lulusan sekolah rendah umum dan sekolah rendah Eropa
setempat. Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah teknik rendah meliputi
Bahasa Belanda, Ilmu pasti, Menggambar vak, Pertukangan kayu, Pekerjaan
Besi, Pengetahuan tentang Alat, Pengetahuan Bahan Material, Ilmu Konstruksi
dan Auto Montage (pemasangan Oto). Pelajaran diberikan dalam bahasa
Melayu dan bahasa Belanda. Pada tahun 1961, jumlah siswa sekolah teknik
rendah sebanyak 289 orang, 211 orang diantaranya adalah putra daerah. Usia
murid-murid berkisar antara 14-20 tahun.

h. Sekolah Kerumahtanggaan (Huishoudschool)

Untuk memberi kesempatan kepada anak-anak perempuan lulusan


sekolah sambungan melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan pelajaran
keputrian khusus maka pada tahun 1957 Misi Katholik Roma mendirikan
Sekolah Kerumahtanggaan. Lama belajarnya tiga tahun. Orde Fransiskan
mendirikannya di Kokonao, Epouto, dan Fak-Fak. Sedangkan Misi Hati Kudus
mendirikannya di Mindiptana dan Kepi.

i. Sekolah Menengah Pertama (Primaire Middelbare School)

Primaire Middelbare School (PMS) biasa disebut juga MULO


(Meeruitgebreid Lager Onderwijs) Putra daerah. Artinya MULO diperuntukan
untuk putra daerah. PMS pertama kali didirikan pada tahun 1951 oleh zending
Gereja reformasi Belanda di Kotaraja. Sekolah ini dilengkapi dengan asrama
dan disubsidi oleh pemerintah Belanda. Murid-muridnya adalah lulusan sekolah
sambungan atau sekolah rendah umum. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi
Bahasa Belanda, Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Tumbuh-Tumbuhan, Ilmu Hewan,
Ilmu pasti, Bahasa Inggris, Ilmu Alam, Ilmu Kimia, Menggambar dan Olahraga.
Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.

j. Meeruitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Untuk pendidikan lanjutan bagi anak-anak bangsa Belanda, pemerintah


Belanda mendirikan MULO. Lama belajarnya 3-4 tahun karena ada beberapa
MULO yang mempergunakan kelas persiapan (Brugklas). Pada tahun 1951
terdapat sebuah MULO yang diselenggarakan oleh pemerintah (MULO Negeri)
di Hollandia dengan empat orang tenaga pengajar dan 60 orang siswa
(Ministerie van Buitenlandse Zaken, 1951: Lampiran XXXIII). Dalam
perkembangan selanjutnya pada tahun 1960, terdapat lima buah MULO dengan
penyelenggaraannya zending Protestan satu buah, Misi Kaholik Roma satu
buah dan tiga buah oleh pemerintah. Tenaga pengajar seluruhnya berjumlah 20
orang dengan jumlah siswa sebanyak 468 orang.

k. Hogere Burgerschool (HBS)

Pada tahun 1953 Misi katholik Roma membuka HBS 3 tahun di Hollandia.
Jumlah siswanya 80 orang dan sebagian besar adalah anak-anak bangsa
Belanda. Tenaga pengajar berjumlah 10 orang guru. HBS ini memperoleh
subsidi dari pemerintah Belanda sama seperti subsidi untuk MULO. Pada tahun
1957 HBS tersebut dikembangkan menjadi HBS 4 tahun dan pada tahun 1960
menjadi HBS 5 tahun.

l. Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool)

Pada tahun 1960 pemerintah Belanda membuka sekolah pendidikan


guru di Hollandia-Binnen (Abepura Sekarang). Lama belajarnya tiga tahun.
Sekolah ini menerima lulusan PMS dan MULO. Jumlah siswanya pada tahun
1960 sebanyak 55 orang.

3. Sekolah dan Kursus-Kursus yang diselenggarakan oleh Instansi di Luar


Dinas Pendidikan.

Berbagai instansi pemerintah Belanda menyelenggarakan sekolah dan kursus-


kursus untuk memenuhi kebutuhan tenaga instansi yang bersangkutan.
Penyelenggaraan sekolah dan kursus-kursus ini sepenuhnya dibiayai oleh
pemerintah sehingga para pesertanya tidak membayar uang sekolah. Beberapa
pendidikan kedinasan yang pelajarannya dilaksanakan pada hari sekolah secara
penuh antara lain:

1. Pendidikan untuk tenaga-tenaga pemerintahan putera daerah.


2. Pusat pendidikan Polisi Umum.
3. Sekolah Pertanian
4. Sekolah Pelayaran rendah
5. Pendidikan untuk tenaga-tenaga administrasi rendah.

4. Pendidikan Masyarakat

Pelajaran untuk orang-orang dewasa dalam rangka pemberantasan buta huruf


belum dirasakan perlunya. Hal ini disebabkan sikap orang-orang dewasa
masyarakat bumiputera terhadap pendidikan belum berkembang sebagaimana
layaknya. Namun, bagi sebagian masyarakat kota, kebutuhan akan pendidikan
sudah mulai berkembang. Karena itu pada tahun 1951 di kota Hollandia dan
Merauke dibuka kursus Bahasa Belanda yang diadakan pada sore dan malam hari,
atas prakarsa pemuka-pemuka masyarakat bumiputera. Selain itu, di Manokwari
diselenggarakan kursus mengetik (Ministerie van Bujtenlandse Zaken, 1951: 112).
Pada tahun-tahun berikutnya kursus-kursus semacam itu mendapat bantuan dari
pemerintah Belanda berupa alat-alat pelajaran. Pada tahun 1954 atas prakarsa
Kepala sekolah rendah umum di Merauke dibuka kursus pemberantasan buta huruf.
Di samping kursus membaca dan menulis, diberikan juga pelajaran bahasa Belanda
dan pengetahuan yang berkenaan dengan pengembangan masyarakat.

E. Pendidikan Zaman Indonesia Merdeka (1962-1980)

1. Latar Belakang

Persetujjuan Indonesia –Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (Irian


Jaya, Papua) kepada Republik Indonesia ditandatangani oleh masing-masing wakil
kerajaan Belanda dan wakil Republik Indonesia di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Berdasarkan
persetujuan ini kerajaan Belanda akan menyerahkan pemerintahan wilayah Irian
Jaya kepada Republik Indonesia dengan perantaraan atau menyerahkan lebih dulu
kepada United Nations Temporar Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk
oleh PBB.

Pemerintahan UNTEA di Irian Jaya mulai sejak tibanya penguasa UNTEA


di Irian Jaya, pada 01 Oktober 1962. Semenjak itu, secara berangsur-angsur para
pegawai pemerintah colonial Belanda meninggalkan posnya dan kembali ke negeri
Belanda. Demi kelancaran jalannya roda pemerintahan di Irian Jaya maka UNTEA
segera mengisi pos-pos itu dengan mempekerjakan tenaga-tenaga yang disediakan
oleh pemerintah Republik Indonesia. Dalam hubungan ini sejak bulan Oktober
1962 tenaga-tenaga sukarelawan Indonesia, termasuk guru-guru untuk Sekolah
Dasar dan Sekolah lanjutan yang berasal dari segala penjuru tanah air Indonesia
diberangkatkan menuju Irian Jaya dalam rangka TRIKORA (Tri Komando Rakyat).
Sebagai bukti kemauan baik bangsa Indonesia, dalam hal ini pemerintah republic
Indonesia untuk segera mengejar ketertinggalan putra-putri Irian Jaya dari
kemajuan saudara-saudara sebangsanya maka pada tanggal 10 November 1962 di
Kotabaru dalam (Abepura) dibuka Universitas Cenderawasih dengan dua fakultas
untuk pertama kalinya yakni Fakultas Hukum, Ketatanegaraan dan Ketataniagaan
(FHKK) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Masa peralihan UNTEA berakhir pada tanggal 01 Mei 1963, pada saat
penguasa UNTEA menyerahkan kekuasaan pemerintahan wilayah Irian Jaya
sepenuhnya kepada pemerintah RI.

2. Perkembangan Pendidikan

Sejak berakhirnya masa pemerintahan peralihan UNTEA tanggal 01


Mei 1963, maka segala kebijaksanaan baik dalam bidang politik maupun
pendidikan dan kebudayaan di seluruh daerah Irian Jaya berada di bawah
kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah RI. Pada pertengahan tahun 1963
telah diterbitkan Surat Keputusan Gubernur Irian Barat No. 7/192/63 tanggal 9
Juli 1963 dan No. 60/GIB/63 tanggal 01 Oktober 1963 yang kedua-duanya
menggariskan tentang kebijaksanaan pendidikan di Irian Jaya bersifat
horizontal meliputi penghapusan system Sekolah Rakyat (SR) 3 tahun dan
menumbuhkan secara bertahap Sekolah Dasar (SD) 6 tahun, pemberantasan
buta huruf secara menyeluruh dan penambahan jumlah sekolah dasar, sekolah
lanjutan dan sekolah kejuruan menurut kebutuhan daerah setempat. Sedangkan
vertical menyangkut pengubahan secara berangsur-angsur kualitas pengajaran
yang ditingkatkan ke arah standar nasional, pembangkitan dan pembinaan rasa
kebangsaan dan kepribadian Indonesia melalui semua aparat dinas P dan K,
serta pembinaan rasa dan sikap toleransi yang tinggi dalam kehidupan
kerohanian yang berbeda-beda bagi setiap warga Negara.

Perkembangan pendidikan selanjutnya di wilayah propinsi Irian Jaya


sebagai berikut:

a. Sekolah dasar (SD)


b. Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP)
c. Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA)
d. Pendidikan Tinggi (PT)
e. Pendidikan Luar Sekolah
Daftar Pustaka
Slamet Santoso Imam, 1987. Pendidikan di Indonesia dari masa-ke masa, Jakarta:
CV. Haji Mas Agung.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah
Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka.
Sumarsono Mustoko, Dkk, 1986. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke jaman,
Jakarta: Balai Pustaka
S. Nasution, 1983. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Bandung : Bumi Aksara.
Djumhur dan Dana Saotra H., 1976. Sejarah Pendidikan, Bandung: CV. Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai