Deskripsi Singkat
Bab ini akan membahas mengenai pengertian sejarah pendidikan, ruang lingkup
sejarah pendidikan dan manfaat mempelajari sejarah pendidikan. Bagian ini
merupakan dasar bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.
Capaian Pembelajaran
Sejarah pendidikan ialah uraian yang sistematis dari segala sesuatu yang
dipikirkan dan dikerjakan dalam lapangan pendidikan pada waktu lampau
(Hetharion, 2011). Sejarah pendidikan termasuk dalam ilmu mendidik (pedagogik).
Bagan di bawah ini akan menjelaskan kedudukan sejarah dalam keseluruhan
lapangan ilmu mendidik.
Sistematis
Aspek Teoritis
Historis (Sejarah
Pendidikan)
Ilmu mendidik
Didaktis
Aspek Praktis
Administrasi sekolah
Ruang lingkup kajian sejarah pendidikan terdiri dari: 1). Konsep dasar
sejarah pendidikan yang membahas tentang pengertian, ruang lingkup, dan manfaat
sejarah pendidikan, 2) pendidikan pada masyarakat xaman purba, 3) perkembangan
pendidikan pada masa pengaruh Hindu-Budha, 4) perkembangan pendidikan masa
Islam, 5) perkembangan pendidikan pada masa Portugis dan Spanyol, 6) pendidikan
pada masa pemerintahan Hindia Belanda abad XIX dan XX, 7) pendidikan pada
masa pendudukan Jepang, 8).pendidikan masa kemerdekaan, 9) perkembangan
pendidikan di Papua.
Deskripsi Singkat
Pada bab ini akan membahas mengenai pendidikan pada zaman purba, dimana
kehidupan pendidikan pada zaman ini masih sangat sederhana. Bab ini merupakan
dasar bagi bab-bab selanjutnya dalam modul ini.
Capaian Pembelajaran
Di antara manusia pada waktu itu, ada dua golongen yang mempunyai
kecakapan istimewa yakni pandai besi dan dukun. Mereka itu bergelar Empu.
Pandai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan duniawi, sedangkan dukun
adalah ahli dalam pengetahuan maknawiah. Para Empu itu dapat pula disebut guru
karena merekalah yang menjadi guru. Umumnya yang berguru padanya sangat
terbatas, terutama anak-anaknya sendiri.
BAB III
PENDIDIKAN PADA ZAMAN HINDU-BUDHA
Deskripsi Singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan pada zaman Hindu-
Budha. Bagian ini merupakan bagian dari bab-bab sebelumnya dan menjadi acuan
bagi bab-bab selanjutnya.
Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan Latar Belakang Sejarah Masuknya Hindu-Budha
2. Menjelaskan perkembangan pendidikan zaman Hindu/Budha
a. Kualifikasi Guru
Kaum Brahman yaitu kaum ulama menyelenggrakan pendidikan dan
pengajaran. Mereka mempelajari dan mengajarkan ilmu-ilmu Theologi, sastra,
bahasa, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Diantara golongan masyarkat desa pada
masa itu ada dua golongan yang mempunyai kecakapan istimewa, yakni pandai besi
dan dukun. Padai besi adalah seorang ahli dalam pengetahuan duniawi, sedangkan
dukun adalah ahli dalam pengetahuan maknawiayah. orang yang memiliki
kemampuan istimewa tersebut mendapat gelar empu (tuan atau engku). dua jenis
kecakapan itu ternyata menjadi monopoli suatu keluarga, sehingga hanya keturunan
merekalah yang mendapat mewarisi ilmu yang istimewa itu.
Untuk membentuk manusia baru diperlukan adanya guru yang
menyebarluaskan pengetahuan baru berdasarkan agama Hindu. Maka muncullah
lembaga pendidikan guru dengan para empu sebagai siswanya dan Brahmana
sebagai gurunya.
Perkembangan selanjutnya pengaruh agama Budha rupanya juga masuk ke
keraton. Dengan demikian ada lembaga pendidikan keraton yang dilaksankan oleh
para pendeta keraton untuk mendidik ahli waris dan keturunan-keturunan raja, dan
ada juga pendidikan diluar keraton yang biasa diselenggarakan oleh para guru
pertapa (resi). Guru keraton adalah punggawa-keraton yang hanya melayani ahli
waris keraton atau kaum ningrat, jadi bersifat aristokrastis. Sedangkan guru-pertapa
tidak mementingkan asal-usul orang. Setiap orang diterima sebagai muridnya.
b. Kualifikasi Murid
Klasifikasi murid sebagai berikut:
Ahli waris keraton atau kaum ningrat. Murid pada golongan ini diajarkan
oleh para Brahmana dan para pendeta yang khusus didatangkan ke keraton.
Mereka diajarkan berbagai ilmu pengetahuan seperti bahasa, sastra, dan
ilmu kemasyrakatan.
Masyarakat biasa.
Masyarakat biasa adalah masyarakat yang berada diluar keraton. umumnya
mereka adalah petani, peggawai.
Murid dari luar daerah, yaitu murid yang datang untuk menuntut ilmu dari
berbagai negara dan daerah. mereka umumnya adalah para muasafir Budha
yang belajar salah satunya adalah di Sriwijaya.
3. Cara Pendidikan
4. Materi Pelajaran
Di dalam Hinduisme dikenal dengan sistem kasta, meskipun di Indonesia
pelaksanaannya tidak setajam di India. Kaum Brahmana yaitu kaum ulama
mengajarkan ilmu-ilmu Theologis, sastra, bahasa, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan.
Ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti dan perhitungan waktu juga
diajarkan. Begitu juga dengan seni bangunan, seni rupa, dan ilmu pengetahuan
lainnya.
Dalam perkembagannya kemudian kebudayaan Hindu mulai bercampur
dengan kebudayaan-kebudayaan dan unsur-unsur Indonesia sehingga melahirkan
ciri-ciri yang unik dan bercorak khas. Sampai jatuhnya kerajaan Hindu terakhir di
Indonesia yaitu Majapahit pada akhir abad ke-15, ilmu pengetahuan berkembang
terus, khsusnya dibidang sastra, bahasa, ilmu pemerintahan, tatanegara, dan hukum.
Kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kaling, Medang, Kediri, Singosari, dan Majapahit
melahirkan empu-empu, pujangga yang meghasilkan karya-karya bermutu tinggi.
Selain karya seni bangunan dan seni pahat dalam kerangka arsitektur yang
menakjubkan, juga dihasilakan penjabaran ilmiah dalam bidang dogmatik,
philosofi, sastra, dan bahasa. Bagi pendidikan kejuruan dan keterampilan seperti
pertanian, pelayaran, perdagangan, kontruksi bangunan, seni pahat, seni dan ilmu
bela diri (termasuk perang), dan sebagainya diselenggarakan secara turun-temurun
melalui jalur kastanya masig-masing.
BAB IV
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MASA PENGARUH ISLAM
Deskripsi singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan masa pengaruh
Islam. Bagian ini merupakan bagian dari bab-bab sebelumnya dan menjadi acuan
untuk mempelajari bab-bab selanjutnya seperti perkembangan pendidikan pada
masa Portugis dan Spanyol.
Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari materi pada bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
perkembangan pendidikan pada masa pengaruh Islam
BAB V
PENDIDIKAN PADA MASA PORTUGIS DAN SPANYOL
Deskripsi Singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan pada zaman
pengaruh Portugis dan Spanyol. Bagian ini merupkan bagian dari bab-bab yang
sebelumnya dan akan menadi acuan untuk mempelajari bab-bab selanjutnya.
Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
perkembangan pendidikan pada zaman pengaruh Portugis dan Spanyol.
A. Latar Belakang Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol ke Indonesia
Perang Salib memporak-porandakan jalur perdagangan Eropa dan Asia karena
berlangsung di perbatasan 2 benua tersebut. Selain jalur perdagangan, keadaan
ekonomi kerajaan-kerajaan Eropa pun menjadi terpuruk. Kas mereka menyusut
drastis karena besarnya biaya perang. Berselang 2 abad setelah Perang Salib
selesai, kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) jatuh ke tangan imperium Turki
Usmani (Ottoman). Hal ini adalah kabar buruk bagi kerajaan-kerajaan di Eropa
karena kota tersebut menjadi titik penting jalur perdagangan antar-benua (Eropa
dan Asia). Jatuhnya Konstantinopel ke tangan imperium Turki Usmani di tahun
1453 merupakan faktor penting yang paling utama mendorong pelayaran
bangsa-bangsa Eropa ke negeri-negeri jauh. Sejak Konstantinopel dikuasai oleh
Turki Usmani, bangsa-bangsa Eropa kesulitan mencari akses perdagangan ke
Asia. Sultan Muhammad II melarang pedagang-pedagang dari Eropa masuk ke
Konstantinopel (Istanbul). Padahal, kota itu menjadi pintu masuk ke jalur
perdagangan dengan orang-orang Asia, terutama para penyuplai rempah-
rempah. Karena itulah, bangsa-bangsa Eropa mengerahkan para pelautnya untuk
berlayar mengarungi samudera demi mencari jalur perdagangan baru, sekaligus
menemukan kepulauan sumber rempah-rempah.
BAB VI
PENDIDIKAN MASA HINDIA BELANDA
Deskripsi Singkat
Bab ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan pada masa Hindia
Belanda. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab-bab sebelumnya dan menjadi
acuan bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.
Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa Hindia Belanda.
SESUDAH 1900
ETISCHE POLITIEK
b. Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan selama periode kolonial tidak pernah dinyatakan
secara tegas. Tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan
tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal Belanda. Dengan demikian
penduduk setempat dididik untuk menjadi buruh-buruh tingkat rendahan (buruh
kasar). Ada juga sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga
adninistrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang diangkat
sebagai pekerja-pekerja kelas dua dan tiga.
Secara singkat tujuan pendidikan ialah untuk memperoleh tenaga-
tenaga kerja murah. Suatu fakta menurut hasil komisi pendidikan Indonesia
Belanda (Hollandsch Onderwijs Commissie) yang dibentuk oleh pemerintah
pada tahun 1928-1929 menunjukan bahwa, 2% dari orang Indonesia yang
mendapat pendidikan Barat berdiri sendiri dan lebih dari 83% menjadi pekerja-
pekerja dan selebihnya menganggur.
Sebelum 1900
KELAS ELIT
SEKOLAH
TENAGA TERDIDIK
c. Kesempatan Belajar
Pada zaman Kolonial Belanda keadaan Sosial sengaja dipelihara
agar terbagi dalam golongan-golongan. Pembagian golongan sosial
didasarkan kepada keturunan bangsa dan status.
1. Pembagian Penduduk menurut Hukum pada Tahun 1848
a) Golongan Eropa
b) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa
c) Golongan Bumiputra
d) Golongan Timur Asing
Pada Tahun 1920 terdapat perubahan sehingga menjadi :
a) Golongan Eropa
b) Golongan Bumiputra
c) Golongan Timur Asing
2. Pembagian penduduk menurut keturunan atau status sosial
a) Golongan Bangsawan (Aristokrat) dan Pemimpin Adat.
b) Pemimpin Agama (Ulama)
c) Rakyat Biasa
Katergori kedua ini hanya terdapat pada golongan Bumiputra.
Sejalan dengan landasan idiil dan tujuan pendidikan dan pendidikan
pemerintah Hindia Belanda yang berusaha mempertahankan sistem
kolonialnya melalui aristokrasi, maka sistem pendidikan dan persekolahan
pun didasarkan kepada pola penggolongan tersebut diatas.
d. Sistem Pendidikan, Tingkat, dan Jenis Persekolahan
Dua dasawarsa pertama setelah tahun 1900, pendidikan dasar di
Hindia-Belanda mengalami kemajuan luar biasa pesatnya. Demikian
pesatnya seolah-olah pendidikan selama tiga abad sebelumnya tidak berarti
apapun. Pemerintah berusaha menciptakan suatu sistem yang umum bagi
sekian banyak golongan penduduk yang beraneka ragam coraknya. Secara
umum sistem pendidikan, khususnya menurut sistem persekolahan
didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan
(kelas) sosial yang ada menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu
itu.
1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (westersch Lager
Onderwijs)
Sekolah rendah Eropa (Europeesche Lagereschool), yaitu sekolah
rendah untuk anak-anak keturunan Eropa, Timur Asing dan Bumiputra
dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah 7 tahun, dan yang
pertama didirikan pada tahun 1818.
Sekolah Bumiputra (Inlansdscheschool)
Sekolah Cina-Belanda (Holandsch Chineescheschool) yaitu sekolah
rendah untuk anak-anak keturunan Timur Asing, khususnya keturunan
Cina. Yang pertama didirikan pada tahun 1908. Lamanya sekolah 7
tahun.
Sekolah Bumiputera-Belanda (Holandsch Inlansdscheschool), yaitu
sekolah rendah untuk golongan penduduk keturunan Indonesia asli.
Pada umumnya disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan,
tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai-pegawai negeri. Lamanya
bersekolah 7 tahun, dan pertama didirikan pada tahun 1914.
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar Daerah
Sekolah Bumiputera (Inlandsche School) kelas dua (Tweede Klasse).
Sekolah ini disediakan untuk anak-anak dari golongan Bumiputera.
Lamanya bersekolah 5 tahun.
Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan
Bumiputera, lamanya bersekolah 3 tahun dan pertama kali didirikan pada
tahun 1907.
Sekolah Lanjutan (Vervolgschool). Lamanya bersekolah 2 tahun,
merupakan kelanjutan dari sekolah Desa, juga diperuntukan bagi anak-
anak golongan Bumiputera. Yang pertama kali didirikan pada tahun
1914.
Sekolah peralihan (Schakelschool), adalah sekolah peralihan dari sekolah
desa (3 tahu) ke sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Lama belajarnya 5 tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan
Bumiputera.
Disamping sekolah-sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah
khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada
tahun 1922 dijadikan HIS (Holandsch Inlanscheschool) dan sekolah
seradadu Ambon (Ambonsche Soldatenscheschool) yang terdapat di
kota-kota garnisun besar seperti Magelang, Jakarta, Padang dan lain-lain.
Selain itu atas usaha swasta seperti Zending dan Missie didirikan pula
sekolah Jawa-Belanda (Holandsch Javaansche School), dan sekolah-
sekolah berbahasa pengantar Belanda di tempat-tempat lainnya di
Indonesia, misalnya Tapanuli, Flores, Timor dan Manado. Untuk anak
dari golongan Bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut
sekolah Raja (Hoofdenschool).
BAB VII
Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: Mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa pendudukan Jepang
A. Landasan Idiil
Pada tahun 1940 rencana untuk mendirikan “Kemakmuran Bersama
Timur Raya” telah dipublikasikan. Menurut rencana Jepang menjadi pusat
suatu lingkungan pengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Dataran Cina,
Kepulauan Philippina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Indocina dan Asia
(Rusia). Konkritnya landasan idiil pendidikan pada jaman pendudukan
Jepang yang disebutkan “Hikko Ichu: adalah mengajak bangsa Indonesia
bekerja sama dengan bangsa Jemapang dalam rangka mencapai
“Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” oleh karena itu setiap pelajar tiap
hari harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang dan membentuk
Indonesia baru dalam rangka “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”.
Kenyataannya bangsa Indonesia menjadi miskin dan menderita demi untuk
kepentingan perang Jepang.
Kebijakan pemerintahan militer Jepang terhadap bangsa Indonesia
memiliki dua prioritas yaitu:
1. Kebijakan memobilisasi rakyat untuk mendukung kepentingan Jepang
untuk memperoleh kemenangan dalam perang melawan Sekutu. Untuk
melenyapkan pengaruh Barat, Jepang melarang penggunaan bahasa
Belanda dan Inggris, dan memperkenalkan penggunaan bahasa Jepang.
Akibat pelarangan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris, kegiatan
pendidikan tinggi terhenti selama masa pendudukan Jepang.
2. Jepang melancarkan propaganda anti Belanda, dan meyakinkan bangsa
Indonesia bahwa mereka adalah saudara dalam berjuang untuk
membangun Asia Baru (ATR). Patung dan gambar orang Barat
diturunkan, dan nama jalan diubah dengan nama Indonesia. Jepang
menggunakan orang-orang Indonesia untuk melancarkan propaganda
tersebut, terutama para guru sekolah, seniman, dan sastrawan. Propaganda
anti-Belanda di kalangan masyarakat Indonesia memberikan sumbangan
penting terhadap penanaman kesadaran kebangsaan dikalangan rakyat
luas. Bangsa Indonesia juga naik status sebagai bahasa nasional kerena
saat itu hanya sedikit yang mampu mengerti bahasa Jepang.
B. Dampak Perang masa Pendudukan Jepang
Akibat perang selama pendudukan Jepang, keadaan ekonomi Indonesia
mengalami kemerosotan. Demikian juga pendidikan disekolah mengalami
kemunduran diantaranya diakibatkan dari banyaknya guru sekolah diangkat
menjadi pegawai pemerintah sehingga tenaga guru disekolah yang berkurang.
Pengangkatan guru-guru ke jabatan administratif ini sejalan dengan
kebutuhan reformasi administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh Jepang,
yaitu dari sistem administrasi-administrasi pemerintahan yang tunggal dari
pemerintahan militer Jepang.
Kegiatan pendidikan sekolah juga diarahkan untuk pentingan mobilisasi
massa untuk mendukung pertahanan pemerintahan militer Jepang. Sebagai
contoh anak-anak muda umur sekolah yang banyak dimobilisasi ke dalam
organisasi-organisasi pemuda semi-militer seperti : Seinendan, Keibodan,
dan Heiho. Organisasi yang lain adala PUTERA. Sudah barang tentu hal
tersebut mengakibatkan kegiatan sekolah mengalami hambatan. Sekalipun
demikian, pada tahun 1943 Jepang membuka sekolah pendidikan untuk
pegawai dan guru di Jakarta.
BAB VIII
PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN
Deskripsi Singkat
Bab ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan pada masa
kemerdekaan. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab-bab sebelumnya dan
menjadi acuan bagi bab-bab selanjutnya yang akan dibahas pada modul ini.
Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran yang dibebankan pada bab ini adalah: Mahasiswa mampu
menganalisis perkembangan pendidikan pada masa pendudukan kemerdekaan.
Latar Belakang
3. membela hak serta nasib para buruh pada umumnya dan juga guru pada
khususnya. Dengan dicantumkan asas pertama, yaitu “Mempertahankan serta
menyempurnakan Republik Indonesia, PGRI memiliki tujuan pertama-tama untuk
lebih memprioritaskan perjuangan dalam mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan dibanding kepentingan – kepentingan lain sehingga dengan demikian
partisipasi guru dalam melaksanakan pengabdian dan perjuangan kemerdekaan
tidak sedikit”. Bisa dimenyimpulkan bahwa usaha-usaha yang pernah dilakukan
pemerintah berkaitan dengan pendidikan pada tahun 1945-1950 adalah seputar
bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja,serta biaya. Berkaitan dengan
keperluan bangunan sekolah, tindakan utama adalah merenovasi bangunan rusak
atau hancur lebur akibat revolusi fisik atau bangunan tersebut dipakai oleh
pemerintah. Langkah Yang dibuat oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan Rendah
b. Pendidikan Guru
Pada periode diantara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru
yaitu: Sekolah Guru B (SGB), masa pendidikan 4 tahun serta tujuan pendidikan
guru adalah untuk sekolah rakyat. Dan murid yang diterima adalah tamatan sekolah
rakyat yang lulus dalam ujian akan masuk kesekolah lanjutan. Pelajaran yang
diberikan kepada murid bersifat umum dimulai dari kelas I,II,III sedangkan
pendidikan keguruan baru diberikan di kelas IV. Sekolah Guru C (SGC),
dikarenakan kebutuhan guru disekolah rakyat sangat mendesak maka perlu
melakukan pembukaan sekolah guru yang dalam waktu singkat. Dan didirikan
sekolah guru selama dua tahun setelah sekolah rakyat dan lebih dikenal dengan
sebutan SGC tetapi dirasa kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan
diantaranya dijadikan SGB. Sekolah guru A (SGA), karena ada yang beranggapan
bahwa pendidikan guru 4 selama tahun belum menjamin pengetahuan yang cukup
untuk tingkat pendidikan guru, maka dari itu dibukalah SGA yang memberi
pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Mata pelajaran yang didapat di SGA sama
dengan mata pelajaran yang didapat di SGB hanya penjabarannya lebih luas dan
mendalam.
c. Pendidikan Umum
Terdapat dua jenis pendidikan Umum yaitu Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan sekolah Menengah Tinggi (SMT). 573 Pendidikan Indonesia di Era
Awal Kemerdekaan Sampai Orde Lama Sekolah Menengah Pertama (SMP), sama
seperti di zaman jepang, juga SMP menggunakan sistem pelajaran yang sama, tapi
setelah dikeluarnya surat keputusan oleh menteri PPK, maka dibuatlah pembagian
A dan B dimulai dari kelas II sehingga didapat kelas IIA,IIB, IIIA dan IIIB. Pada
bagian A diberikan setidaknya sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banyak
diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi dan B sebaliknya. Sekolah
Menengah Tinggi (SMT), SMT merupakan pendidikan dengan masa tiga tahun
setelah SMP dan sesudah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Berikut
merupakan rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi
kebutuhan nasional, (2) bahasa indonesia adalah bahasa pengantar,(3) mutu yang
tingkatannya sama dengan SMT menjelang kemerdekaan.
d. Pedidikan Kejuruan
e. Pendidikan Teknik
f. Pendidikan Tinggi
Merupakan sekolah program lanjutan. Setelah bersekolah di pendidikan
kejuruan atau teknik bisa memperdalam ilmu pada bidang masing-masing, dan bisa
menyalurkan ilmu tersebut.
Ini adalah kurikulum pertama yang digunakan pada masa kemerdekaan dan
istilah dalam bahasa Belanda yaitu “leer plan” artinya rencana pelajaran. Pada arah
pendidikan ini lebih bersifat politis, dari penyesuaian pendidikan Belanda pada
kepentingan nasional. Sedangkan, pancasila ditetapkan sebagai dasar pendidikan.
Kurikulum yang dijalankan saat itu diingat sebagai julukan “Rencana Pelajaran
1947”, yang baru dilakukan di tahun 1950. Pendidikan watak, kesadaran bernegara
dan bermasyarakat,merupakan hal yang diutamakan pada kurikulum ini.
3. Kurikulum 1964
Pada era transisi yang begitu singkat dari RIS menjadi RI membuat
pemerintah melakukan pendidikan dan pengajaran menyeluruh yang berlaku untuk
seluruh Indonesia. Pemerintah RI telah mulai dilaksanakan sistem pendidikan yang
direncang dan berlaku secara nasional dengan semua kualitas yang berbatas. Pada
piagam ini ada hubungan khusus dengan pengurus pendidikan. Kementerian
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI mengeluarkan “Pengumuman Bersama
yaitu di tanggal 30 Juni 1950 dengan tujuan untuk sementara tahun ajaran
1950/1951 sistem belajar mengajar yang berlaku di seluruh Indonesia hingga teknik
itu diperiksa kembali. Berikut isi pengumuman sementaranya yaitu:
Perubahan Sekolah-sekolah
Setelah RIS kemabli menjadi kesatuan RI, pada tanggal 25 Agustus 1950
tepatnya di Yogyakarta kementerian PP dan K mengeluarkan keputusan tentang
perubahan sekolah yang dilakukan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran
1949/1950. Sekolah dibagi menjadi enam kelompok: model-model sekoah yang
berasal pada era sebelum kembali kenegara kesatuan di bekas daerah-daerah
kependudukan Belanda diubah dan disesuaikan dengan model pendidikan dan
pengajaran nasional. Beberapa ketentuannya adalah sebagai berikut:
Pertama, semua Sekolah Rakyat Negeri harus jadi sekolah yang luar biasa
dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa indonesia. Kedua, kelas pemulihan
dibuka untuk murid-murid Sekolah Rakyat yang awalnya meenggunakan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Ketiga, kelas pemulihan boleh menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dengan syarat bahwa secepat mungkin
harus diperbaiki ke bahasa Indonesia lagi. Dan keempat, Pada kota-kota besar
kelas-kelas pemulihan menjadi sekolah yang berdiri sendiri.
Pendidikan Islam
A. Pendidikan Tradisional
Proses pendidikan yang terjadi pada masyarakat tradisional di Papua pada
umumnya memiliki kemiripan dengan proses pendidikan pada masyarakat
tradisioanl yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Seorang nelayan harus
mengajari anaknya untuk menangkap ikan, seorang petani mengajarkan anaknya
bercocok tanam. Demikian seterusnya setiap orang dalam lingkungan hidup
tertentu akan tahu dan terus membekali kecakapan dan keterampilan tertentu
kepada anak-anaknya. Apa yang dilakukan oleh ayah akan diikuti oleh anak laki-
laki dan sebaliknya apa yang dilakukan ibu akan diikuti oleh anak perempuan.
Orang tua akan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang hal-hal yang dipelajari
dari orang tuanya dahulu dengan jalan bercerita. Segala yang dipelajari anggota-
anggota masyarakat pada waktu silam diwariskan kepada generasi berikutnya
secara lisan. Demikianlah potret perkembangan pendidikan pada masa tradisional
di Papua sebelum adanya kebudayaan barat. Pengaruh Hindu/Budha dan Islam
tidak seberapa nampak dalam proses pendidikan yang berlangsung di Papua.
Berikut adalah gambaran pendidikan tradisional dalam beberapa suku di Papua.
1. Suku Biak-Numfor
3. Suku Muyu
Pada umumnya anak yang baru lahi atau yang masih bayi selalu
dekat pada ibunya. Dalam masyarakat Muyu, anak-anak yang masih kecil
juga menjadi asuhan dan tanggung jawab ibunya. Ayah hampir-hampir
tidak berperan pada masa ini. Apabila seorang ibu berhalangan atau sibuk
dengan pekerjaan lain maka anak-anaknya yang masih kecil itu dititipkan
kepada nenek, bibi, atau kakak perempuannya. Ayah mulai berperan
mendidik anak laki-lakinya semenjak anak itu memperoleh gigi susu
pertama. Pada saat itu pula anak itu dipisahkan dari ibunya, kecuali bila
anak itu perempuan tetap masih dalam didikan dan tanggung jawab ibunya.
Pada usia enam tahun dan sebelum menginjak usia remaja, anak-
anak orang Muyu dilepaskan dari ikatan adat yang ketat oleh orang tuanya
dan diberi kebebasan untuk menginap di rumah neneknya atau di rumah
kaum kerabatnya. Setelah menginjak usia remaja, anak-anak mulai diberi
tugas-tugas yang lebih berat untuk turut memenuhi kebutuhan hidup
tradisional, misalnya berkebun, mencari kayu bakar dan berburu babi.
4. Suku Dani.
Orang-orang Dani termasuk salah satu suku-suku asli Irian Jaya yang
mendiami daerah kabupaten Jayawijaya, terutama daerah lembah Balim, suatu
dataran yang cukup luas dan terapit gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Orang-orang Dani tinggal di perkampungan yang disebut Usilimo. Usilimo
merupakan satu kesatuan tempat tinggal yang terdiri dari honai (rumah pria), ebeai
(rumah wanita), hunu (dapur), kandang babi dan kebun pisang. Dilihat dari segi
kekerabatan, yang berkaitan dengan usilimo, maka honai abeai, hunu dan kandang
babi merupakan satu kesatuan tempat beberapa keluarga batih (ayah, ibu dan
anak-anak) bertempat tinggal.
Honai adalah rumah yang hanya ditempati oleh kaum pria. Setiap honai
dapat dihuni 5 sampai 14 orang. Ebeai adalah rumah yang hanya ditempati oleh
kaum wanita dan anak-anak yang masih kecil. Beberapa usilimo yang tergabung
dalam satu kesatuan dapat dipimpin oleh seorang kepala suku dengan dibantu oleh
seorang kepala perang, sedangkan setiap usilimo dapat dipimpin oleh seorang
kepala karet atau kepala suku yang lebih rendah derajatnya.
1. Latar Belakang
Meskipun New Guinea Barat (West New Guinea= Irian Barat= Papua
sekarang) secara resmi telah dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Hindia
Belanda (Netherlands Indie) sejak 24 Agustus 1828, namun kenyataannya baru 8
Oktober 1898 pemerintah colonial Belanda benar-benar mulai menanamkan
kekuasaannya atas daerah itu dengan mendirikan pos pemerintahannya yang
pertama di Manokwari dan Fak-Fak. Kemudian yang kedua di Merauke pada 14
februai 1902, setelah konvensi di Den Haag 16 Mei 1855 di capai persetujuan
antara kerajaan Belanda dan Kearjaan Inggris mengenai perbatasan pembagian
jajahan mereka atas pulau New Guinea itu, yakni dari pantai selatan pulau itu di
tengah-tengah muara sungai Bensbach, 14101’47,9” BT , terus mengarah ke utara
dengan mengikuti meridian ini hingga mencapai sungai Fly yang lalu diikuti
alirannya sebagai batas alam sampai di pantai utara pulau itu pada 141o BT. Jadi
selama 70 tahun paktis penduduk asli bagian barat pulau itu yang kemudian disebut
Nethelands Nieuw Guinea (Papua Sekarang) dibiarkan begitu saja tanpa diurus
sama sekali karena secara ekonomis Nieuw Guinea Belanda dianggap kurang dapat
memberikan keuntungan bagi pemerintah colonial Belanda.
Dengan masuknya sekolah untuk generasi muda, mau tak mau ikatan tradisi
makin terlonggarkan bahkan terputus dan melahirkan pergaulan hidup baru yang
berlainan dengan pergaulan tradisional.
Sejarah pendidikan daerah Irian jaya yang meliputi kurun waktu 1855-1942
tidaklah dapat dipisahkan dari sejarah penyebarluasan agama Kristen di daerah itu.
Pengembangan pendidikan dalam bentuk sekolah baik dari sekolah yang paling
sederhana atau yang kemudian memperoleh sebutan Sekolah Pengadaban
(Beschavingsschool) sesudah perang disebut Dropsschool C, Sekolah Desa
(Dropsschool), sesudah perang disebut Dropsschool B, Sekolah sambungan
(Vervolgschool), sampai sekolah atau kursus Pendidikan Guru Sekolah
Desa/Rakyat (Cursus tot Opleiding van/Cursus voor Volksonderwijzers) maupun
jumlah masing-masing sekolah itu. Berkaitan erat dengan pandangan organisasi
penyebar agama Kristen itu, dalam hal ini Zending Protestan terhadap eksistensi
sekolah dalam rangka penyebarluasan agama Kristen Protestan dan persebaran pos-
pos Zending Protestan itu sendiri. Menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk
sekolah bukanlah merupakan tujuan zending protestan dalam hal ini UZV
(Utrechtsche Zendingsvereeniging), melainkan sebagai sarana baginya untuk
mengembangkan agama Kristen Protestan di kalangan generasi muda. Sampai
menjelang pecahnya perang Pasific (1941) di seluruh Irian Jaya hanya terdapat satu
buah sekolah sambungan saja untuk anak-anak bumiputera. Mula-mula dibuka
dibuka di Mansinam dalam tahun 1923, kemudian dipindahkan ke Miei di teluk
Wandaen tahun 1924. (I. S. Kijne dalam W. C. Klein, III, 1954: 304). Sekolah
sambungan Miei dengan lama belajar dua tahun ini kemudian memasukan para
lulusannya ke Sekolah Pendidikan Guru tersebut yang juga merupakan satu-satunya
Sekolah Pendidikan Guru dan Pendidikan tertinggi di Irian Jaya sebelum pecahnya
perang Pasifik. Para lulusan Sekolah Pendidikan Guru ini nantinyaselain sebagai
guru sekolah juga sebagai penginjil jemaat. Karena itu setelah dua tahun Sekolah
Pendidikan Guru diselesaikan, mereka diwajibkanmengikuti satu tahun pendidikan
agama atau evangelisasi lagi.
Sekolah yang pertama kali didirikan di Mansinam pada tahun 1956, setelah
sebelumnya Mansinam dijadikan pos zending pertama oleh C. W. Ottow dan J. G.
Geissler yang berhasil mendarat di pulau Manaswari pada tanggal 5 Februari 1855
dalam rangka tugasnya menanamkan benih Kekristenan di Irian jaya sebagai utusan
Komisi Kristen Pekerja dari Jerman (J. Rauws, 1919: 51-52). Pulau Mansinam
demikian nama yang lebih dikenal selanjutnya dari pada Manaswari, dijadikan basis
pertama penyebaran agama Kristen Protestan, karena selain kenyataan memang
relative lebih aman dari pada daerah pantai darat yang juga menjadi tempat tinggal
pedagang-pedagang asing (S. Coolsma, 1901:765) sebelum Dore (Kwawi) yang
terletak di pantai darat menjadi pusat kedudukan Zending yang kedua. Daerah
pantai teluk Cenderawasih (Geelvinksbaai dahulu) dan pulau-pulau di dekatnya
merupakan daerah sasaran dalam penyebaran agama Kristen Protestan dan hampir
setengah abad sejak tahun 1855 pekerjaan Zending berpusat di daerah itu; karena
penghuninya adalah orang-orang Irian Numfor yang berbahasa pergaulan Numfor,
terutama yang berdiam di Numfor, kepulauan Biak, pulau Run dan pantai barat
teluk Cenderawasih. Di samping orang-orang Irian Waropen di sepanjang pantai
timur teluk Cenderawasih (J. Rauws, 1916:134) sehingga komunikasi untuk daerah
yang begitu luas itu jauh lebih mudah daripada komunikasi orang-orang Irian yang
bertempat tinggal lebih ke timur lagi yang setiap kampong dengan bahasanya
sendiri. Dan lazimnya penduduk daerah pantai lebih mudah berhubungan serta lebih
mudah menyesuaikan diri dengan dunia luar, dalam arti tidak begitu sukar
menerima pengaruh dari kebudayaan luar yang datang masuk.
Sebagai pekerja /tukang, C. W. Ottow dan J. G. Geissler kurang
diperlengkapi dengan ilmu pengetahuan sebagaimana zendeling-zendeling yang
diutus kemudian oleh UZV. Sehingga dapatlah dimengerti selama hampir 10 tahun
pekerjaan Zending di Irian Jaya baru dua orang penduduk asli saja (keduanya
perempuan) yang dibaptiskan (D. B. Starrenburg, hlm 14). Selain secara kebetulan
daerah itu pernah mengalami bencana alam yang berjangkit-jangkitnya penyakit
cacar (1861) dan terjadinya gempa bumi (1864) yang sedikit banyaknya
mempunyai pengaruh terhadap pikiran penduduk untuk tidak begitu saja menerima
ajaran agama Kristen karena dugaan bahwa para penyebar agama itulah sebagai
penyebab timbulnya bencana itu.
Apabila jumlah sekolah pada akhir tahun 1933 mencapai 155 buah,
diantaranya 105 buah bersubsidi, yang terdiri dari Raja Ampat 10 buah 8 buah
bersubsidi 2 buah tidak bersubsidi, Teluk Doreh 3 buah, bersubsidi 2 tidak
bersubsidi 1. Numfor 7 buah bersubsidi semua, Nimboran 15 bersubsidi 9 sisanya
6 tidak bersubsidi, Hollandia-Sentani 17 buah, bersubsidi 5 sisanya 12 tidak
bersubsidi. Biak Utara 12 buah, bersubsidi 9 sisanya 3 buah tidak bersubsidi, Biak
Selatan 17 buah, bersubsidi 6 sisanya 11 tidak bersubsidi, Berau 11 buah bersubsidi
9 sisanya 2 tidak bersubsidi dan Bintuni 15 buah bersubsidi 10 sisanya 5 tidak
bersubsidi (L. N van Asperen, 1936:41). Ini adalah suatu jumlah maksimal sekolah
yang masih ada. Hal ini disebabkan karena terjadinya depresi ekonomi yang
melanda dunia pada tahun 1929-1933 atau yang dikenal dengan sebutan ”zaman
Malaise” termasuk Indonesia (Nederlands Indie) pada waktu itu. Hal itu membuat
subsidi pemerintah colonial kepada sekolah-sekolah di Irian Jaya (Nederlands
Nieuw Guinea) sukar dipenuhi sebagaimana mestinya. Sehingga antara tahun 1920
sampai akhir tahun 1933 sudah banyak sekolah yang diselenggarakan oleh zending
ditutup (L. N van Asperen, 1936:43).
Stasi adalah tempat beribadah, khususnya untuk perayaan Misa Kudus yang
dipimpin oleh seorang Pastur pada hari Minggu/hari besar keagamaan lainnya atau
pada waktu kunjungan ke stasi-stasi yang tidak sedikit jumlahnya itu secara
bergiliran. Kebaktian Sabda (Sembayang tanpa Pastur) dapat juga dilaksanakan di
stasi dengan pimpinan seorang Katekis atau Diakon. Tetapi dalam kurun waktu itu
pimpinan adalah kebanyakan kali seorang guru Misi (Ensiklopedia Populer tentang
Gereja, 1975). Daerah Irian Jaya Selatan dianggap sebagai “tanah perjanjian” pada
tahun-tahun pertama kehadiran misi karena diduga daerah itu akanmendatangkan
kemungkinan-kemungkinan yang baik.
1. Latar Belakang
2. Perkembangan Pendidikan
1. Latar Belakang
Setelah daerah Hollandia (Jayapura sekarang) dibebaskan oleh tentara
sekutu dari pendudukan bala tentara Jepang pada tahun 1944, pemerintah NICA
(Netherlands Indies Civil Administration) segera melaksanakan tugas
pemerintahannya termasuk tugas di bidang pendidikan. Residen Jan Van Rechoud
mulai membuka sekolah untuk anak-anak bumiputera. Joka Institut di Yoka, dekat
Hollandia Binnen (Kotabaru dalam, Abepura sekarang). Pemerintah dalam negeri
yang diorganisasikan kembali mengangkat guru-guru (F. C. Kamma dalam W. C.
Klein, I, 1953: 124).
Pegawai-pegawai orang Indonesia yang berasal dari luar Irian Jaya banyak
yang kembali ke daerah asalnya. Selain itu banyak guru yang beralih tugas menjadi
pegawai pamong Praja semasa pemerintahan NICA (I. S. Kijne dalam W. C. Klein,
III, 1954:305). Karena CVO (Cursus tot Opleiding voor Volksonderwijzers) atau
sekolah guru di Miei sebagai satu-satunya lembaga pendidikan guru yang
mendidik guru-guru untuk Sekolah Dasar tidak berfungsi lagi, maka kekurangan
tenaga guru di daerah Irian Jaya sangat terasa.
2. Perkembangan Sekolah
Pada tahun 1951 di Nieuw Guinea Belanda (Irian Jaya) hanya terdapat
satu buah Taman kanak-kanak yang berkedudukan di Sorong dan
diselenggarakan oleh Orde Fransiskan dengan jumlah muridnya 50 orang. TK
ini tidak mendapat subsidi. Pelajaran berlangsung selama satu tahun. Dalam
kenyataannya TK ini merupakan sekolah persiapan (voor school=pra sekolah)
bagi anak-anak yang akan memasuki sekolah rendah umum (Algemene Lagere
School).
Pada tahun 1953 Misi katholik Roma membuka HBS 3 tahun di Hollandia.
Jumlah siswanya 80 orang dan sebagian besar adalah anak-anak bangsa
Belanda. Tenaga pengajar berjumlah 10 orang guru. HBS ini memperoleh
subsidi dari pemerintah Belanda sama seperti subsidi untuk MULO. Pada tahun
1957 HBS tersebut dikembangkan menjadi HBS 4 tahun dan pada tahun 1960
menjadi HBS 5 tahun.
4. Pendidikan Masyarakat
1. Latar Belakang
2. Perkembangan Pendidikan