Anda di halaman 1dari 4

Essay Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan di Lingkungan

Universitas Negeri Surabaya

Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam filsafat ilmu pengetahuan.


Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu
pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of
Scientific Revolution, paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang
umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum,
metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan yang sangat menentukan sifat, ciri,
serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Menurut Khun, orang yang pertama kali
mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu
didominasi oleh suatu paradigma. Dalam masalah yang populer, istilah paradigma
berkembang menjadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber
nilai, tolok ukur, parameter, kerangka pikir/bertindak, orientasi dasar, sumber asas,
serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan, serta proses dari suatu
atau berbagai bidang pembangunan. Bila Pancasila dijadikan paradigma, berarti
Pancasila itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan
tujuan dari sebuah kegiatan. Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa
Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka/pola acuan berpikir, jelasnya sebagai
sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka
arah/tujuan bagi yang menyandangnya.

Pendidikan hakekatnya sebagai upaya sadar dari masyarakat dan pemerintah


suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi
penerusnya selaku warga masyarakat, bangsa dalam Negara, secara berguna dan
bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan dengan dinamika perubahannya
karena adanya pengaruh global. Keanekaragaman suku, adat-istiadat, dan agama serta
berada pada ribuan pulau yang berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan
untuk terjadi keanekaragaman kehendak dalam kehidupan kampus karena tumbuhnya
sikap primordialisme sempit, yang akhirnya dapat terjadi konflik yang negatif, oleh
karena itu dalam pendidikan di lingkungan Perguruan Tinggi dibutuhkan alat perekat
antar mahasiswa dengan adanya kesamaan cara pandang tentang misi dan visi yang
ada di lingkungan kampus. Unesa dengan visinya “Unggul dalam Kependidikan,
Kukuh dalam Keilmuan” diwujudkan dengan misinya (1) Menyelenggarakan
pendidikan dan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran yang efektif, dan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi,
(2) Menyelenggarakan penelitian dalam ilmu pendidikan, ilmu alam, ilmu sosial
budaya, seni, dan/atau olahraga, dan pengembangan teknologi yang temuannya
bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan kesejahteraan masyarakat, (3)
Menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya dan olah raga, serta hasil
penelitian melalui pengabdian kepada masyarakat yang berorientasi pada
pemberdayaan dan pembudayaan masyarakat, (4) Mewujudkan Unesa sebagai pusat
kependidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah serta pusat keilmuan yang
didasarkan pada nilai-nilai luhur kebudayaan nasional, dan (5) Menyelenggarakan
tata pamong perguruan tinggi yang otonom, akuntabel, dan transparan untuk
penjaminan dan peningkatan mutu dan peningkatan kualitas berkelanjutan. Dengan
adanya Pancasila dapat dijadikan sebagai suatu elemen mampu menahan emosi dari
banyaknya perbedaaan kebudayaan di lingkungan kampus. Agar dapat mewujudkan
kehidupan yang demokratis, aman, tentram, nyaman, dan adil di lingkungan kampus.

Perguruan Tinggi adalah suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas yang


memiliki karakteristik akademik. Disinilah tempat dimana produk intelektual
dilahirkan, dikembangkan dan diimplementasikan. Dengan kata lain Perguruan
Tinggi merupakan laboratorium bagi masyarakat, yang memberikan kontribusi bagi
terciptanya proses pemberdayaan berfikir sesuai dengan khasanah ilmu dan kapasitas
yang dimiliki untuk dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Esensi peran dan fungsi perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam pola
orientasi yang menjadi bagian dari kegiatan akademik atau yang biasa dikenal dengan
Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian). Berbicara
tentang pendidikan, maka perguruan tinggi bukan hanya menciptakan suatu
mekanisme kegiatan belajar-mengajar secara formal saja. Tetapi ia juga harus mampu
menumbuhkembangkan nilai di dalam pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah
bahwa di dalam pendidikan terdapat budaya dan etika yang harus dipegang. Karena
pendidikan hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks
secara ilmiah dan dianalisis secara kontekstual agar bermanfaat bagi individu,
masyarakat bangsa dan negara.

Sebagai komunitas ilmiah, Perguruan Tinggi harus mampu membangun


responsibilitas yang bersifat konseptual dan solutif tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan situasi-kondisi yang berkembang ditengah masyarakat. Dengan
demikian perguruan tinggi menjadi media/sarana yang mampu mentransformasikan
relevansitas perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai kapasitasnya sesuai
dengan dinamika dan perkembangan zaman. Termasuk bagaimana merespons
perkembangan zaman yang saat ini sudah berdimensi global. Lebih jauh ketetapan
MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 hasil Sidang Istimewa MPR 1998 menegaskan bahwa
Pancasila sudah tidak menjadi satu-satunya azas, Pancasila telah menjadi sebuah
ideologi terbuka yang dikaji dan dikembangkan berdasarkan kultur dan kepribadian
bangsa. Ketetapan MPR menyebutkan bahwa kurikulum dan isi pendidikan yang
memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan
terus ditingkatkan dan dikembangkan disemua jalur, jenis dan jenjang pendidikan
nasional. Itu berarti Pendidikan pancasila di Perguruan Tinggi harus terus menerus
ditingkatkan ketepatan materi instruksionalnya, dikembangkan kecocokan metodologi
pengajarannya, diefisien dan diefektifkan manajemen lingkungan belajarnya. Dengan
kata lain perguruan tinggi memiliki peran dan tugas untuk mengkaji dan memberikan
pengetahuan kepada semua mahasiswa untuk benar-benar mampu memahami
Pancasila secara ilmiah dan obyektif.

Dari paradigma pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan


tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua mata kuliah itu memiliki nilai fundamental
bagi sistem pendidikan nasional secara komprehensif. Namun demikian apapun dan
dalam bentuk apapun sebuah konsep ideal, ia harus berevolusi dan berkorelasi dengan
iklim dan situasi yang berkembang, termasuk di dalamnya adalah mengenai
interpretasi, sehingga terlihat adanya kausalitas antara idealitas dengan realitas.
Dalam konteks yang demikian itu, seperti yang sudah dijelaskan di awal, pendidikan
Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya memang pernah
mengalami homogenitas interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan selera dan
kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik
legitimasi ideologi negara Pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan seperti itu,
Pancasila tidak lagi dikatakan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa
dan negara Indonesia, melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi
kepentingan penguasa pada saat itu. Sekarang pun ketika iklim demokratisasi dan
demokrasi telah terbuka, yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto, sebagian
masyarakat mengulangi sejarah yang sama dengan mengintepretasikan Pancasila
secara subyektif. Berbicara tentang Pancasila, maka identik dengan Orde Baru,
Golkar dan Soeharto. Begitu halnya dengan ketika kita membicarakan mata kuliah
Kewarganegaraan, dibenak sebagian masyarakat yang melekat adalah gambaran
rezim militer dengan segala konsekuensi perilaku di masa lalunya yang menakutkan
dan membuat trauma masyarakat.

Melihat stigma berfikir masyarakat yang seperti itu seharusnya Perguruan


Tinggi bertanggung jawab untuk mencoba meluruskan sekaligus mendudukkan
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam level yang lebih
ilmiah dan obyektif. Bukan malah mengikuti arus persepsi salah sebagian masyarakat
dengan meredusir atau bahkan menegasikan nilai substansial Pancasila dan
Kewarganegaraan di mata publik, khususnya civitas akademika.

Anda mungkin juga menyukai