Anda di halaman 1dari 11

MODUL PERKULIAHAN

PENDIDIKAN PANCASILA
MAKNA DAN AKTUALISASI
NILAI-NILAI PANCASILA

Modul Standar untuk


digunakan dalam
Perkuliahan di Universitas
Mercu Buana

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Dosen Oleh

14
FDSK DESAIN PRODUK D71413EL Muhamad Rosit, M.Si

(OL)

Abstract Kompetensi
Modul ini membahas tentang Diharapkan mahasiswa mampu
makna dan aktualisasi nilai-nilai memahami Makna dan Aktualisasi
Pancasila Nilai-Nilai Pancasila
A. Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan
1. Pemahaman Aktualisasi
Kata kunci dalam pembahasan ini adalah aktualisasi, menurut Kamus Besare
Bahasa Indonesia (Depdikbud 1990) berasal dari kata ”aktual” artinya betul-betul
ada, terjadi atau sesungguhnya. Aktualisasi adalah sesuatu mengaktualkan. Dalam
masalah ini adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila itu benar-benar dapat tercermin
dalam sikap dan perilaku dari seluruh warga negara, mulai dari paratur dan pimpinan
ansional sampai kepada rakyat biasa.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang memungkinkan segenap lapisan
masyarakat yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dan dapat terlihat
dalam perilaku yang sesungguhnya, bukan hanya sekedar lips service untuk
mencapai keinginan pribadi dengan mengajak orang lain mengamalkan nilai-nilai
Pancasila sedangkan perilaku sendiri jauh dari nilai-nilai Pancasila yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, merealisasikan Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara sesungguhnya dapat dilakukan
melalui cara-cara sebagai berikut.
a. Aktualisasi Pancasila secara objektif, yaitu melaksanakan Pancasila dalam setiap
aspek penyelenggaraan negara, meliputi bidang legislatif, eksekutif, yudikatif,
dan dalam bidang kehidupan kenegaraan lainnya. Seluruh kehidupan Pancasila,
asas politik kedaulatan rakyat dan tujuan negara berdasarkan asas kerokhanian
Pancasila.
b. Aktualisasi Pancasila secara subyektif, yaitu pelaksanaan Pancasila dalam setiap
pribadi, perseorangan, warga negara, dan penduduk. Pelaksanaan Pancasila
secara subjektif sangat ditentukan oleh kesadaran, ketaatan, serta kesiapan
individu untuk mengamalkan Pancasila. Sikap dan tingkah laku seseorang sangat
menentukan terlaksananya nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya dalam segala
aspek kehidupan. Oleh karena itu, Pancasila harus dipahami, diresapi, dan
dihayati oleh setiap orang sehingga terwujud moral Pancasila dalam perilakunya.

2. Tridarma Perguruan Tinggi


Sesuai dengan tujuan perguruan tinggi sebagaimana dinyatakan dalam PP No.30
Tahun 1990 tentang Perguruan Tinggi ialah perguruan tinggi bertujuan menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan / atau profesional yang dapat menerapkan mengembangkan dan/atau
menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian, mengembangkan dan
menyebarluaskan ilmu pengetauan, dan kesenian serta menyumbangkan untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kehidupan nasional.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut perguruan tinggi memiliki motto
yang dikenal ”Tri Darma Perguruan Tinggi”, yaitu pendidikan penelitian, dan
pengabdian.
Pelaksanaan misi perguruan tinggi dengan Tri Dharma itu tidaklah mudah,
karena dalam perjalanan perguruan tinggi Indonesia sejak kemerdekaan menurut
Hafid Habbas (2000) bahwa hampir semua perguruan tinggi yang dibangun
berorientasi pada pelayanan (service oriented), yang merupakan teaching university,
perguruan tinggi menghasilkan lulusan (sarjana) melayani masyarakat dan kurang
mampu dalam mengembangkan ilmunya. Dengan demikian perguruan tinggi
Indonesia masih tertinggal dalam misinya sebagai research (penelitian). Begitu pula
dengan unsur pengabdian masyarakat masih jauh tertinggal karena masih banyak
perguruan tinggi yang belum memahami pentingnya unsur pengabdian masyarakat.
Apabila perguruan tinggi memperhatikan unsur penelitian dan pengabdian
masyarakat menurut Prof, Thoby Mutis, Rektor Univ. Trisakti (Media Indonesia 11
Maret 2000), hasilnya juga akan dinikmati perguruan tinggi itu sendiri, selain itu
secara langsung maupun tidak langsung mahasiswa dapat mengajak masyarakat
untuk itu aktif berpatisipasi dalam pembangunan sebab bagaimanapun paradigma
pembangunan daerah harus mengarah kepada masyarakat. Begitu juga pendapat Prof.
Jajah Koswara Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Dikti,
Depdikbud (Republik 4 Nov 2000), menilai pelaksanaan pengabdian pada
masyarakat yang dilaksanakan perguruan tinggi selama ini, masih belum banyak
bermanfaat bagi upaya pengembangan potensi masyarakat, hal ini terjadi karena
program-program pengabdian masyarakat yang dilaksanakan masih bersifat parsial
dan tidak bersinergi dengan program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah
daerah setempat.
Perguruan tinggi (universal) adalah tempat pertemuan utama dari berbagai
kelompok meruapakan simbol dan kenyataan. Sebagai simbolis karena di dalam
sektor modern perguruan tinggi dianggap sebagai lembaga paling modern dan
pembaruan. Tempat yang nyata karena ia meruapakan satu tempat di mana berangkat
para intelektual, apakah mereka masih mahasiswa atau sudah menjadi dosen.
Universitaslah sebuah pusat dengan perananannya menghasilkan pemimpin yang
cocok di masa kini dan mempelopori modernisasi.
Pada awalnya universitas merupakan ”gagasan impor”. Bahkan di Indonesia
universitas merupakan sebuah gabungan antara ”puing-puing kolonial” dengan
pengaruh Amerika”. Pencampuran sosio-budaya Barat dengan Indonesia. Perguruan
tinggi di Indonesia telah mempunyai moto dengan tiga fungsi, yaitu ”Tri Dharma
Perguruan Tinggi”, yaitu (1) tempat pengajaran dan pendidikan, (2) tempat
penelitian ilmiah, (3) alat pengabdian masyarakat. Universitas membentuk kader-
kader bangsa, ia menjadi ”pabrik ahli”, menjadi tempat riset dilakukan, dan tempat
pengumpulan pengetahuan dan penambahan pengenalan ilmiah berdasarkan
rasionalisasi Barat. Namun yang menjadi ciri khas di Indonesia ialah peranannya
sebagai pengabdi kepada rakayat (social engineering).
Para warga perguruan tinggi mempunyai perasaan yang halus sebagai orang
Indonesia, namun jiwa mereka dibentuk oleh metodologi Barat. Tentu saja,
introduksi ilmu pengetahuan serta implementasi hasil kemajuan teknologi pada suatu
masyarakat tradisional bukanlah suatu hal yang bisa berlangsung tanpa
kerumitan,tetapi dengan fungsi perguruan tinggi, membina dan menciptakan kultur
masyarakatnya, bukan saja dengan melalui inovasi-inovasi, tetapi juga karena
menyiapkan lingkungan agar dapat menerima hal itu. Sudah tentu dengan drii
khasnya itu perguruan tinggi bleh jadi terasing dan membentuk sebuah ”tangki
penganggur, menara gading dan sanggar filsuf”, namun segala kemungkinan itu
perguruan tinggi tidak lepas dari peranannya untuk mempercepat proses modernisasi
(Francois Railon 1989).
Perguruan tinggi merupakan tempat melakukan eksperimen dan sekaligus
menjadi sebuah protitipe dari masyarakat Indonesia di masa depan. Sebagai tempat
eksperimen perguruan tinggi mencoba meleburkan smeua suku, etnis, dan
bercampurnya kebudayaan dan agama, sehingga berfungsi dalam menangkal
munculnya disintegrasi bangsa. Dengan memiliki berbagai sifat, maka perguruan
tinggi sebagai sumber kekuatan moral karena dia memiliki satu referensi, sebuah
contoh yang dapat ditiru. Namun, karena tujuan utamanya ialah ingin
mengungkapkan kebenaran ilmiah dan etika, maka orang yang berharap kepada
perguruan tinggi untuk bersikap rasional-objektif dalam melihat sesuatu masalah.
Meskipun perguruan tinggi aktif dalam perubahan, ia juga mengawasi, menilai, dan
mengkritik perubahan itu. Oleh karena itu, perguruan tinggi adalah sebuah dari
campur tangan penguasa (Railon 1989).
Dalam teori bahwa perguruan tinggilah agen utama dari pembaruan dalam
kehidupan bernegara, seperti dalam proses pembentukan pemerintahan Orde Baru
tahun 1970-an di mana peranan nyata yang telah dimainkan kalangan perguruan
tinggi dalam menegakan dan orientasi para penguasa baru. Para dosen dengan
mahasiswa dengan caranya sendiri-sendiri telah memberikan sumbangan besar bagi
pemerintahan Orde Baru. Hampir semua teknokrat diambil dari kalangan perguruan
tinggi. Mewakili perguruan tinggi dalam tubuh kekuasaan, para dosen yang telah
menjadi menteri berfungsi sebagai penghubung antara kekuasaan dengan mahasiswa.
Perguruan tinggi mengorganisir dan menjadi tempat seminar, temu karya, simposium
secara teratur, di mana saling bertemu kelompok militer, teknokrat, dan mahasiswa.
Tema pembicaraan tentang perubahan sosial, modernisasi dan pembangunan
ekonomi.

3. Budaya Akademik
a. Pemahaman
Akademik berasal dari academia, yaitu sekolah yang diadakan Plato (Pranaka,
1985:370). Kemudian berubah menjadi istilah akademi yang berkaitan dengan proses
belajar-mengajar, sebagai tempat dilakukan kegiatan mengembangkan intelektual.
Istilah akademi selanjutnya mencakup pengertian kegiatan intelaktual yang bersifat
refleksif, kritis, dan sistematis.
Dalam kaitannya dengan nilai-0nilai Pancasila ruang lingkup pemikiran
akademik menurut Pranarka (1985: 37-375) adalah sebagai berikut.
Pertama, pengolahan ilmiah mengenap ilmiah mengenai Pancasila, adanya atau
eksitensi objektif Pancasila, Pancasila sebagai data empiris, yaitu sebagai ideologi,
dasar negara dan sumber hukum yang terjadi di dlaam sejarah. Sasaran ini dilakukan
dengan penelusuran ilmiah terutama dengan menggunakan disiplin sejarah.
Kedua, mengungkapkan ajaran yang terkandung dalam Pancasila, yaitu
mempelajari faktor-faktor objektif yang membentuk adanya Pancasila itu.
Penelusurannya dilakukan dengan pendekatan disiplin ilmu kebudayaan, termasuk di
dalamnya ethnologi, anthropologi, sosiologi, hukum, bahasa, dan ilmu kenegaraan.
Dengan menggali faktor-faktor yang ikut membentuk perkembangan pemikiran
mengenai Pancasila, dapat pula diungkapkan isi maupun fungsi Pnacasila secara
analitis. Dengan demikian, dapat diungkapkan ajaran-ajaran yang terkandung di
dalam Pancasila.
Ketiga, renungan refleksif dan sistematis mengenai Pancasila yang sifatnya
diolah dengan keyakinan-keyakinan pribadi mengenai kebenaran-kebenaran yang
sifatnya mendasar. Jenis pendekatan ketiga ini adalah keiatan intelektual yang
dilakukan dalam rangka filsafat atau teologi. Perbedaannya adalah teologi renungan
fundamental mengenai Pancasila dilaksanakan berdasarkan kepada wahyu yang
diimani, sedangkan dalam filsafat renungan mendasar mengenai Pancasla
dilaksanakan atas dasar keyakinan pemikiran dan pengalaman manusiawi.
Keempat, studi perbandingan ajaran Pancasila dengan ajaran lain. Kegiatan ini
dapat dilakukan dalam rangka pemikiran filosofi, teologi, atau kegiatan ilmiah.
Namun masing-masing mempunyai metodologinya sendiri-sendiri. Studi
perbandingan ini mempunyai persyaratan yang banyak. Ajaran-ajaran Pancasila
maupun ajaran lain diselami terlebih dahulu, dan baru kemudian dibandingkan.
Di dalam studi seperti ini masing-masing ajaran berkedudukan sebagai normans et
normata satu dengan yang lain.
Kelima, pengolahan ilmiah mengenai pelaksanaan Pancasila, yaitu masalah
pelaksanaan atau operasionalisasinya. Pemikiran akademik itu dapat bergerak dalam
ruang lingkup das sain maupun das sollen. Dalam kaitan dengan pemikiran akademis
itu, baik ilmu filsafat ataupun teologi dapat mempunyai fokus kepada ruang lingkup
kenyataan seperti adanya ataupun kepada ruang lingkup pelaksanaan praktis.
Pendekatan ilmiah mengenai Pancasila adalah perlunya membangun studi ilmiah
mengenai Pancasila, di mana asumsi-asumsi diuraikan, presisi metodologi dijelaskan,
otentisitas, dan verasitas sumber dipelajarai, permasalahan-permasalahan
dirumuskan. Pengembangan pendekatan ilmiah mengenai Pancasila itu merupakan
bagian penting di dalam pengembangan pemikiran akademis, baik itu Ilmu filsafat
maupun teologi.
Berdasarkan kepada pertimbangan di atas, ada dua dimensi yang perlu
diperhatikan dalam mengembangkan pendekatan ilmiah untuk mempelajari Pancasila
itu. Pertama, mengembangkan suatu teori ilmiah untuk mempelajari Pancasila,
dimensi ini menyentuh aspek proses dan metodologi. Kedua, mengembangkan teori-
teori ilmiah dengan Pancasila sebagai landasannya, dimensi ini menyentuh aspek
substansi (1985: 377).

b. Kebebasan akademik
Isltilah kebebasan akademik menurut Mochtar Buchari (1995) digunakan
sebagai padanan dari konsep Ingris academi fredom, yang menurut Arthur Lovejoy
adalah kebebasan seorang guru atau seorang guru atau seorang peneliti di lembaga
pengembangan ilmu untuk mengkaji serta membahas persoalan yang terdapat dalam
bidangnya, serta mengutarakan kesimpulan-kesimpulannya, baik melalui penerbitan
maupun melalui perkuliahan kepada mahasiswanya, tanpa campur tangan dari
penguasa politik atau keagamaan atau dari lembaga yang mempekerjakannya,
kecuali apabila metode-metode yang digunakannya dinyatakan jelas-jelas tidak
memadai atau bertentangan dengan etika profesinal oleh lembaga-lembaga yang
berwenang dalam bidanmg keilmuannya (Mochtar Buchari 1995).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi apabila melihat dari pengalaman-
pengalaman di Eropa patut disadari bahwa cara berpikir yang bebas dari pengaruh-
pengaruh luar, yaitu pengaruh gagasan-gagasan yang datang dari luar pemikiran ilmu
itu sendiri, sangat diperlukan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
juga bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia.
Suasana ilmiah yang terdapat diperguruan tinggi agak berbeda dengan di luar
perguruan tinggi, karena kehidupan ilmiah memerlukan suatu jenis kebebasan, yaitu
kebebasan meneliti, kebebasan menulis, dan kebebasan mengajar, yang semuanya
disebut kebebasa akademik. Watak ilmiah suatu perguruan tinggi menurut Mochtar
Buchari (1995) dapat disamakan dengan kepribadian atau personality seorang, yaitu
individualistas yang diperhatikan oleh keseluruhan perilaku orang tadi. Jadi, watak
ilmiah suatu perguruan tinggi ialah individualitas atau ciri khas ilmiah yang
diperlihatkan oleh suatu perguruan tinggi melalui segenap kegiatan ilmiahnya, seperti
dalam perkuliahan-perkuliahannya, seminar-seminarnya, penelitian-penelitiannya,
dan publikasinya.

Bagi masyarakat luas di luar perguruan tinggi, citra tentang watak ilmiah ini
ditentukan oleh segenap kegiatan perguruan tinggi yang secara langsung dapat dilihat
oleh masyarakat, seperti pengabdian masyarakat, seminar terbuka, dan publikasi-
publikasinya. Secara umum, dikatakan bahwa suasana ilmiah dan watak publikasi-
publikasinya. Secara umum, dikatakan bahwa suasana ilmiah dan watak ilmiah suatu
perguruan tinggi ditentukan oleh kepatuhannya kepada kaidah-kaidah ilmiah dalam
melaksanakan ketiga fungsinya, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan dalam PP No.30 Tahun 1990 tentang
Pendidikan Tinggi menegaskan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, antara
lain sebagai berikut.
1) Kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki anggota akademik
untuk secara bertanggung jawab dan mandiri melaksanakan kegiatan akademik
yang terkait dengan pendidikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2) Kebebasan mibar akademik berlaku sebagai bagian dari kebebasan akadmik
yang memungkinkan dosen menyampaikan pikiran dan pendapat di perguruan
tinggi yang bersangkutan sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan.
3) Otonomi keilmuan merupakan kegiatan keilmuan yang berpedoman pada norma
dan kaidah keilmuan yang harus ditaati oleh para anggota sivitas akademik.

4. Kampus Sebagai Moral force Pengembangan Hukum dan HAM


Pembicaraan tentang kampus mengingatkan kita kepada kehidupan ilmiah
dengan ciri utama kebebasan berpikir dan berpendapat, kreativitas,
argumentatif, tekun, dan melihat jauh ke depan sambil mencari manfaat
praktis dari suatu ide tekun, dan melihat jauh ke depan sambil mencari
manfaat praktis dari suatu ide ataupun penemuan. Perpaduan ciri tersebut di
dalam kehidupan kampus melahirkan gaya hirup tersendiri yang merupakan
variasi dari corak kehidupan yang menjadikan kampus sebagai pedoman dan
harfapan masyarakat. Gambaran klasik yang lebih bertumpu kepada
kehidupan akademik itu, sesungguhnya lebih mewakili fokus kehidupan
kampus pada abad kesembilan belas masa kolonial dahulu.
Sejak berdirinya Budi Utomo di gedung Stovia tahun 1908, peranan
kampus sebagai pusat pembaruan masyarakat telah menjadi fokus baru
kehidupan kampus sampai awal kemerdekaan. Revolusi dan kemerdekaan
dengan segala aspirasi serta inisiatif yang dihasilkannya tetelah meberikan
peranan aktif dan pasif kampus di dalam proses kehidupan bernegara dan
berbangsa. Tinjauan terhadap intelektual kampus dengan lingkungan
amsyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadapnya membawa dua
kemungkinan (Arbi Sanit 1998). Pertama, kampus mengambi inisiatif melalui
penawaran karya, gerakan pembaruan , dan perbaikan kondisi masyarakat
sampai pada gerakan politik. Kedua, kampus bersikap pasif atau hanya
menampung dan memberikan reaksi kepada inisiatif pihak luar sehingga
kampus dijadikan arena ertarungan kekuatan-kekuatan polityik ataupun
partner yang tidak sederajat (alat) oleh birokrasi negara dalam melaksanakan
tugasnya.
Sekalipun kehidupan kampus di Indonesia telah berjalan cukup lama,
namn menurut Arbi Sanit (1998) kompleksitas kehidupan kampus beserta
problematiknya meliputi tiga gejala kehidupan kampus sebagai arena politik,
alat birokrasi dan harapan di masa depan (uraian berikut dirangkum dari Arbi
Sanit 1998).

a. Kampus dan politik


Kampus sebagai arena politik diawali setelah berjalan cukup lama,
namun menurut Arbi Sanit (1998) kompleksitas kehidupan kampus beserta
problematiknya meliputi tiga gejala kehidupan kampus sebagai arena poltik,
alat birokrasi dan harapan di masa depan (uraian berikut dirangkum dari Arbi
Sanit 1998).
Berbarengan dengan upaya pengindonesiaan itu kampus mulai dirasuki
oleh politik antar kelompok masyarakat dengan pertimbangan perlunya
seleksi dosen, sehingga melemahnya pertimbangan profesional yang
lazimnya hidup dalam lingkungan fakultas. Pada tahun 1950-an intervensi
politik dalam kampus menampakkan wajah baru, keinginan partai-partai
politik untuk menarik warga kampus, terutama dosen dan mahasiswa untuk
menjadi pemikir, tokoh, pimpinan, dan pendukungnya disambut oleh pihak
kampus melalui peningkatan aktivitas organisasi ekstra universitas.
Mahasiswa dari berbagai oragnisasi masyarakat (ormas) meningkatkan
aktivitasnya menurut peta aliran politik yang beroperasi secara nasional.
Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno sering kali menyindir
kampur daengan mengemukakan dosen sebagai watak konservatif dan kontra
revolusi karena enggan berpikir di luar kelainan ilmu (text book thinking),
kampus dituding sebagai menara gading. Menghadapi tudingan tersebut
terdapat dua reaksi kampus. Pertama, menrima kritik pemerintah sambil
menyesuaikan diri kepada corak politik nasional. Kedua, terjadi penolakan
secara diam-diam terhadap iedologi, sistem, dan susunan kekuasaan yang
berlaku.
Sebagai bagian dari kemenangan orde baru dalam percaturan politik
nasional, maka sebagian mahasiswa dan dosen yang kristis kepada demokrasi
terpimpin dahulu mendapat kemenangan. Jadi, berkembanglah harapan baru
untuk mengembalikan kemandirian kampus smap[ai kepada titik idealnya.
Dengan demikian, kampus telah menjadi bagian dari proses pembangunan
yang dilaksanakan oleh orde baru dan menjadi sumber tenaga ahli serta
pemikir bagi pembangunan di segala bidang. Dalam jangka sepuluh tahu
pertama orde baru tercipta kerja sma yang mesra di natara kampus dengan
penguasa.

Sejak awal tahun 1970-an mulai terasa adanya perbedaan antara kampuis
dengan pemerintah akibat dari peranan kampus untuk melakukan evaluasi
hasil pembangunan. Kritik terhadap proses dan hasil pembangunan terebut
berkembang menjadi keprihatinan terhadap sistem yang mewadahi
pembangunan itu sendiri. Peranan evaluasi kampus terhadap proses dan hasil
pembangunan terus berlanjut sampai berakhirnya pemerintahan orde baru.

b. Kampus dan dominasi birokrasi


Gerakan kampus yang sudah dianggap membahayakan kebijakan dasar
nasional, yaitu stabilitas politik dan proses pembangunan nasional dengan
melakukan intervensi yang bersifat kebirokrasian dan pembenahan politik
yang melibatkan kehidupan kampus. Dengan demikian, pemerintahan orde
baru telah menempatkan jalur proses birokrasi negara untuk mengendalikan
kehidupan kampus. Penentuan pimpinan di perguruan tinggi harus mendapat
persetujuan dari Mendikbud, membubarkan lembaga kemahasiswaan (Dewan
Mahasiwa). Kebebasan kampus sudah terbatas dengan masuknya kepentingan
politikl pemerintah daam warga kampus.
Permasalahan atara kampus dengan dunia politik praktis menurut Arbi
Sanit (1998) ada tiga sebab yang mengharuskan kampus terlibat dalam
kehidupan politik, yaitu pertama, usha kampus untuk merealisasikan
peranannnya sebagai pembaru kehidupan masyarakat. Kedua, kenyataan
pemimpin dan kepemimpinan. Ketiga, watak kemandirian kampus tumbuh
dari metode ilmiah, yaitu cara berpikir kritis.
Setelah jatuhnya rezim pemerintahan orde baru akibat dari perbedaan
misi dan visi dengan kalangan kampus yang semakin meruncing, maka
kehadiran kampus sebagai usaha meluruskan jalannya kehidupan bernegara
tidak dapat disangkal lagi. Namun, jatuhnya Soharto kehidupan kenegaraan
meninggalkan setimpuk permasalahan yang tidak mudah diselesaikan dalam
waktu yang sangat singkat. Permasalahan utama yang perlu mendapat
perhatian dalam rangka pendidikan Pancasila ini adalah pembangunan hukum
dan hak asasi manusia (HAM). Apabila berbagai persoalan utama dalam
kehidupan ketatanegaraan kita maka reformasi yang menjadi tuntutan utama
kalangan kampus tentu tidak lepas dari upaya mereka dalam mencari solusi
pemercahannya.

c. Pembangunan hukum
Reformasi menyeluruh yang dikehendaki oleh semua lapisan masyarakat
dewasa ini adalah tuntutan agar kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan
Republik Indonesia ditegakkan. Oleh karen itu, perwujudan negara
berdasarkan kepada hukum dan pemerintahan yang konstitusional benar-
benar dapat diabadikan untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat
sesuai dengan tujuan negara. Hukum di Indonesia dalam praktiknya belumlah
menggembirakan, karena kesadarn hukum dikalangan supra-struktur masih
memperhatinkan.
Kepatuhan terhadap hukum harus didahului oleh pemahaman yang
memadai tentang materi hukum yang berlaku. Semenjak Dekrit Presiden 5
Juli 1959 secara implisit bahwa supremasi hukum mulai berada di bawah
kekuasaan politik, hukum dipergunakan sebagai alat kepentingan politik
pemerintah untuk mengatur rakyat dan jarang dijadikan pedoman bagi
pemerintah itu sendiri, maka gerakan reformasi hukum adalah untuk
mewujudkan negara yang berdasarkan hukum, yaiu hukum yang
memperhatikan keadilan sosial sebagai tercantum dalam UUD 1945.
Permasalahan yang aktual tentang hukum di Indonesia yang mendesak
untuk dicarikan solusinya adalah masalah independensi institusi lembaga
peradilan, law enfrocement, dan masalah hak asasi manusia (HAM).
1) Idependensi lembaga peradilan
Menurut Satya Arinanto, berbagai persolana hukum yang menimbulkan
kebimbangan saat ini antara lain adalah permasalahan merosotnya
wibawa hukum dan wibawa institusional hukum, demoralisasi oknum
penegak hukum, kekebasan hakim, dan independensi lembaga-lembaga
pengadilan (Diana Pujiningsih 1998). Permasalahan independensi
penegak hukum berkaitan erat dengan masalah kebebasan hakim dalam
memutusukan perkara yang erat dengan pengaruh luar. Permasalahan
hakim bermuara kepada dualisme kedudukan hakim, yaitu mahkamah
Agung sebagai pembina teknis peradilan yang mana hakim berada di
dalamnya, dan pemerintah (Departemen Kehakiman) berwenang
melakukan pembinaan organisasi, administrasi, dan keungan peradilan.
Oleh karena itu, menurut Prof. Sri Soemantri SH. Bahwa pengangkatan
seorang hakim oleh Presiden sebagai kepala negera sudah cukup baik,
namun rekrutisasi yang dilakukan harus dikaji ulang. Pernyataan seorang
hakim yang berkualitas haruslah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
setia kepada Pancasila serta berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela. Untuk menjamin persyarakatan itu, maka harus melaksanakan
rekrutisasi clon hakim secara objektif (Diana 1998).
2) Penegakan hukum (law enforcement)
Pelaksanaan hukum yang tidak baik, disertai pula dengan posisi
pemerintah terhadap hukum. Posisi pemerintah yang turut mempengaruhi
jalannya peradilan menurut Prof Bambang Poernomo SH. Dari UGM
disebabkan oleh law enforcement sudah ketinggalan jauh dari masyarakat
modern, di mana kita harus bergeser kepada pola mperkembangan
hukumnya yang berperadaban (civilization), kesejateraan (social welfare)
dan perlindungan masyarakat (social defence) (Diana 1998).
Berbicara masalah penegakan hukum dan probelematiknya sangat terkait
dengan tujuan hukum, yaitu keadila, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Berbagai pandangan pakar hukum yang dikutip oleh Diana (1998)
tentang tujuan hukum di antaranya menurut Prof. Sudikno bahwa tujuan
pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban, dan keseimbangan. Menurut teori etis hukum
semata-mata bertujuan keadilan, sedangkan menurut teori utilities tujuan
hukum adalah ingin menjamin kebahagian yang terbesar bagi manusia
dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Menurut Prof. Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan hukum adalah ketertiban dan
tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut
masyarakat dan zamannya. Sedangkan Prof. Darji Darmodiharjo, tujuan
hukum yang utama adalah keadilan di samping kepastian hukum an
kemanfaatan, keadilan sendiri berkaitan dengan pendistribusian hak dan
kewajiban. Menurut Apeldoorn berpendapat bahwa tujuan hukum untuk
mendapat pergaulan hidup secara damai uang istilah saat ini adalah
sebagai tertib hukum menjadi tertib yang berlaku untuk umum, dapat
mempertahankan perdamaian dengan menjaga keseimbangan antara
kepentingan manusia yang selalu tidak bertentangan satu sama lain.
Tertib hukum dapat ditegakkan apabila hukum dapat mendatangkan
keadilan bagi mereka yang berkepentingan terhadap keadaan tertib dan
damai, karena bagaimanapun hukum melindungi kepentingan dan cita-
cita dasar manusia yaitu keamanan jiwa, kebebasan mengurus diri sendiri
dan hak-hak pribadi, dan lain sebaginya. Jika tujuan hukum tidak
mengupayakan hal demikian manusia akan berusaha untuk memperoleh
keadilah bagi dirinya dengan cara apa saja yang kalau perlu dapat
mengorbankan kepentingan umum. Suatu usaha menjajaki kemungkinan
pengusahaan ilmu hukum yang berkualitas Indonesia pernah dibicarakan
dalam simposium di universitas Diponegoro (Satjipto Raharjo 1991)
bahawa untuk mengisi struktur hukumyang berisifat Indonesia, yaitu
mengintekrasikan gagasan Indonesia yang telah dirumuskan dalam UUD
1945 dan Ketetapan MPR, gagasan tersebut ditemukan dalam ungkapan,
seperti kekeluargaan, musyawarah mufakat manusia seutuhnya dan
keserasian, dan keseimbangan. Apabila data itu akan dimasukkan dalam
sistem hukum, maka diperlukan perubahan yang mendasar dalam wacana
berpikir untuk itu.
Kenyataan bahwa Republik Indonesia adalah berdasarkan hukum, bukan
kekuasaan belaka, hukum menjanjikan untuk menjadikan sarana yang
tercepaya guna melakukan usaha rekayasa sosial. Tugas penting dan berat
yang diterima sarjana hukum termasuk kalangan kampus adalah
menciptakan Indonesia baru yang didasarkan pada Pancasila melaui
hukum. Rekayasa sosial tersebut menurut Satjipto (1991) dimulai dari
sumber nilai-nilai yang merupakan orientasi tertinggi dalam teknik
pengaturan hukum. Penjabaran Pancasila ke dalam postular hukum
terlebih dahulu, sebagai langkah sistematis memasukkan Pancasila ke
dalam sistem hukum Indonesia. Postulat hukum yang diusulkan dan yang
didasarkan pada Pancasila ini dimulai dengan membuat suatu diskripsi
yang jelas mengenai bentuk hubungan yang diinginkan dalam suatu
masyarakat yang berdasarkan Pancasila. Dengan demikian, Satjipto
(1991) berpendapat postulat hukum dapat berbunyi seperti berikut.
1) Dalam masyarakat Pancasila, setiap orang hendaknya nbiasa
mengharapkan bahwa orang lain akan memperlakukannya secara
individu secara penuh.
2) Dalam masyarakat Pancasila, setiap orang biasa diharapkan bahwa ia
akan menerima bagian dari produksi nasional yang memungkinkannya
hidup sesuai dengan martabatnya sebagai manusia
3) Dalam masyarakat Pancasila, setiap orang biasa mengharapkan,
bahwa dirinya tidak akan diperlakukan secara diskriminatif.
4) Dalam masyarakat Pancasila, setiap orang biasa mengharapkan,
bahwa ia tidak akan diganggu dan dihambat dalam penghayatan
agamanya.
5) Dalam masyarakat Pancasila, setiap orang biasa mengharapkan,
bahwa keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak
diambil dengan mempertimbangkan secara bersungguh-sungguh
pendapat mereka yang akan terkena keputusan tersebut.

Munculnya kekayaan intelektual, khususnya dari kalangan kampus, untuk


mulau menghimpun sekian banyak konsep dan gagasan yang memiliki
nilai penting dalam kehidupan kita masa refomasi ini sangatlah
dibutuhkan dala mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, gambaran
permasalahan pembangunan hukum dalam negara kita, tidak dapat
disangkal bahwa kekuatan kampus memiliki peranan yang sangat
dominan, karena sebagaimana yang telah yang telah diuraikan tentang
peranan kampus sebagai institusi pembaru dan agen modernisasi menuju
kesejahteraan bangsa, maka kampus memiliki dan segn modernisasi
menuju kesejahteraan bangsa, maka kampus memiliki peluang yang
sangat besar melalui pengembangan misi dan visi Tri Dharma Perguruan
Tinggi. Walaupun banyak kritik kepada kalangan kampus tentang belum
sepenuhnya terlaksana Tri Dharmanya itu, namun gerakan reformasi yang
telah bergulir memasuki abad ke-21 yang menuntuy demokrarisasi dalam
segala bidang kehidupan, kita berharap perguruan tinggi semakin
menunjukkan kekuatannya sebagai moral force dalam pembangunan
hukum dalam negara Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai