Anda di halaman 1dari 28

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pembelajaran Kimia

Belajar merupakan suatu kegiatan yang mengandung interaksi seseorang

dengan lingkungan sekitar dengan tujuan merubah tingkah laku, kebiasaan, sikap,

keterampilan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya (Khairani, 2014: 5). Belajar dan

pembelajaran adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan.

Pembelajaran merupakan suatu proses membelajarkan siswa yang direncanakan,

dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis untuk mencapai tujuan

pembelajaran secara efektif dan efisien (Komalasari, 2013: 3). Dengan kata lain,

pembelajaran merupakan suatu proses yang membantu siswa agar dapat belajar

dengan baik.

Kimia merupakan salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang

dipelajari di Sekolah. Ilmu kimia merupakan ilmu yang mempelajari struktur

materi dan perubahan yang dialami materi dalam proses-proses alamiah maupun

dalam eksperimen yang direncanakan (Keenan, 1984: 2). Pembelajaran kimia

adalah proses mengembangkan kompetensi siswa untuk dapat memahami konsep

kimia secara sistematis melalui pengalaman belajar (Suyanti, 2010: 175).

Pendidikan kimia bertujuan untuk membuat siswa melek lebih luas yang

memungkinkan siswa untuk memahami dan menafsirkan kimia di sekitar mereka

dan mengetahui dampak pengetahuan dan teknologi kimia pada masyarakat (Eilks

& Hofstein, 2013: 43).

12
Dalam pembelajaran kimia, susunan pengetahuan kimia dipelajari pada

tingkat submikroskopis dan pemahaman tentang struktur kimia dianggap sebagai

dasar pembelajaran kimia (Kahveci & Orgill, 2015: 253). Salah satu masalah

terpenting dalam pembelajaran kimia adalah siswa kesulitan dalam memahami

materi pelajaran kimia karna bersifat abstrak dan masih terdapat kesalahan konsep

kimia (Nurbaity & Mustikasari, 2012; Haris & Idrus, 2011). Ketika konsep dasar

kimia dipahami dengan benar, maka memungkinkan siswa untuk menemukan

konsep dari fenomena kimia dan fenomena serupa yang ditemui ditempat lain

(Eilks & Hofstein, 2013: 18).

Kahveci dan Orgill (2015: 235) menyatakan bahwa dalam pembelajaran

kimia harus mempertimbangkan dimensi pembelajaran kognitif dan afektif siswa.

Dimensi kognitif meliputi pengetahuan latar belakang siswa, penataan

kemampuan dan ingatan siswa, pemahaman siswa mengenai konten pengetahuan

kimia, dan penerapan rumus-rumus kimia. Sebaliknya, dimensi afektif fokus pada

emosi belajar siswa. Meskipun dimensi kognitif pembelajaran kimia dapat

membantu pemahaman siswa saat mempelajari kimia, dimensi afektif dapat

memutuskan arah pembelajaran. Dengan kata lain, dimensi afektif memandu

konten kimia apa yang siswa pilih untuk dipelajari dan bagaimana mereka

mempelajarinya (Kahveci & Orgill, 2015: 236).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kimia

adalah suatu proses mengembangkan pengetahuan kimia siswa yang bertujuan

agar siswa dapat memahami kimia secara sistematis dan memaknai dampak kimia

terhadap pengetahuan dan teknologi pada kehidupan sehari-hari.

13
2. Pembelajaran Kimia Berbasis Konteks

Istilah “contexture”dari asal ilmu bahasa berarti fakta, proses atau menenun

sesuatu bersama, dengan demikian konteks menghubungkan beberapa (setidaknya

dua) hal. Pembelajaran berbasis konteks adalah desain kurikulum dan pendekatan

pengajaran berbasis masalah yang kegiatan pembelajarannya berpusat pada siswa

bertujuan agar pembelajaran menjadi lebih bermakna dan relevan dengan konteks

masalah dunia nyata (Rose, 2012). Pilot dan Bulte (2006) menjelaskan bahwa

pembelajaran berbasis konteks adalah metode pembelajaran yang membawa

pembelajaran ke kehidupan siswa dan menunjukkan bagaimana penggunaan

konteks akan meningkatkan minat dan pemahaman siswa.

Pembelajaran kimia berbasis konteks merupakan pembelajaran yang

bertujuan untuk membuat hubungan antara kehidupan nyata dan konten kimia

dalam pembelajaran kimia (Ultay & Calik, 2012). Dengan menerapkan

pembelajaran berbasis konteks maka akan mendorong siswa untuk menemukan

konsep dan mengaitkan konsep yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki

sebagai pengetahuan prasyarat untuk membangun konsep baru. Pembelajaran

akan menjadi lebih bermakna dan siswa dapat mengaplikasikan konsep yang

dipelajari dengan kehidupan nyata mereka untuk memecahkan masalah kehidupan

di lingkungannya. Parchmann, Broman, Buskar, dan Rudnik (2015)

mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis konteks merupakan pembelajaran

yang membuat pengetahuan kimia lebih bermanfaat, karna siswa harus

menggunakan pengetahuan dan pemahaman konseptual mereka untuk

mendapatkan, menyelidiki, mendiskusikan, dan mengevaluasi masalah yang

14
terjadi dalam kehidupan nyata, baik dalam situasi pribadi, sosial, maupun

profesional.

Pembelajaran berbasis konteks memiliki empat fase menurut Parchmann et

al. (2015) sebagai berikut.

Fase 1: Fase Kontak


Eksplorasi pengalaman dan menarik minat siswa, relevansi,

Fase 2: Fase Ingin Tahu dan Merencanakan


Pengetahuan awal, mengembangkan pertanyaan, merencanakan kegiatan lanjutan

Fase 3: Fase Pengembangan


Aktivitas siswa, eksporasi dan mengembangkan topik, diskusi dan presentasi hasil
temuannya

Fase 4: Fase Pendalaman dan Menghubungkan


Mengaplikasikan, latihan, dan penilaian

Gambar 1. Fase Pembelajaran Berbasis Konteks

Pembelajaran berbasis konteks terdiri dari beberapa fase yaitu pertama

adalah fase kontak. Pada fase ini guru menyiapkan lingkungan belajar yang

memungkinkan adanya interaksi antara konteks dan siswa (relevansi) dengan

memulai pertanyaan yang menarik minat belajar siswa, sehingga siswa dapat

mengeksplorasi pengalamannya. Kedua, fase ingin tahu dan merencanakan. Pada

fase ini guru menggabungkan ide-ide dan minat siswa ke dalam perencanaan

eksplorasi lebih lanjut, lalu siswa menerapkan pengetahuan sebelumnya,

mengembangkan pertanyaan, dan merencanakan kegiatan lanjutan. Ketiga, fase

pengembangan. Pada fase ini siswa dituntut aktif dalam pembelajaran. Siswa

15
dominan melakukan aktivitas belajar seperti bertukar pendapat dengan teman

sekelompok, melakukan eksporasi dan mengembangkan topik, diskusi dan

presentasi hasil temuannya. Keempat, fase pendalaman dan menghubungkan.

Pada fase ini guru menunjukkan pengetahuan yang harus ditransfer pada konteks

berikutnya dan siswa mengaplikasikan hasil belajarnya dalam sebuah latihan, dan

akan dilakukan penilaian terhadap hasil belajarnya tersebut.

Gilbert (2006) membedakan konteks menjadi empat model, pertama,

konteks sebagai aplikasi langsung dari konsep yaitu menjelaskan aplikasi suatu

konsep pada beberapa situasi dianggap penting bagi para siswa. Model kedua,

konteks sebagai hubungan timbal balik antara konsep dan aplikasi yaitu lebih

menekankan pada konsep dan konteks yang saling mempengaruhi satu sama lain,

terutama pada tingkat struktur kognitif. Model ketiga, konteks yang disediakan

oleh aktivitas mental pribadi yaitu peran pribadi siswa di antara hubungan konteks

dan konsep tersebut. Misalnya, membiarkan siswa mengidentifikasi dirinya yang

berperan sebagai seorang peneliti yang bekerja pada aktual atau masalah ilmiah.

Model terakhir yang dibedakan oleh Gilbert adalah konteks sebagai keadaan

sosial yang menganggap dimensi sosial dari suatu konteks itu penting, karna

mengkaitkan topik dengan aktivitas di lingkungan sekitar.

Penerapan pendekatan pembelajaran berbasis konteks siswa akan

memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dijadikan bekal untuk

memecahkan masalah kehidupannya di lingkungan masyarakat. Siswa adalah

generasi yang dipersiapkan untuk menghadapi dan memecahkan masalah di masa

mendatang sehingga perlu dilatih dari sekarang. Menurut Nasution (2011)

16
memecahkan masalah adalah metode belajar yang mengharuskan pelajar untuk

menemukan jawabannya tanpa bantuan khusus, sehingga masalah yang

dipecahkan, ditemukan sendiri tanpa bantuan khusus akan memberi hasil yang

lebih unggul dibanding pemecahan masalah yang mendapat bantuan khusus.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis

konteks merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang berpusat siswa

dengan menghubungkan pembelajaran dengan konteks nyata dalam kehidupan

sehari-hari agar siswa dapat menerapkan pegetahuan yang diperolehnya dalam

kehidupan mereka dan menghasilkan pembelajaran yang lebih bermakna.

Pembelajaran berbasis konteks memiliki beberapa kelebihan diantaranya

meningkatkan aktivitas menulis siswa, meningkatkan motivasi siwa untuk aktif

dalam pembelajaran, membantu siswa untuk mengkontruksi pemikiran mereka,

membantu siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi, memberikan siswa

kesempatan untuk berdiskusi dan berinteraksi dengan teman-temannya, serta

membantu siswa untuk merangkum dan merefleksikan suatu materi pembelajaran.

Kekurangan dari pembelajaran berbasis konteks adalah dibutuhkannya waktu

yang lama untuk membuat rencana pembelajaran yang akan dilaksanakan, serta

kendala berpikir masing-masing siswa karena setiap siswa memiliki kemampuan

berpikir yang berbeda-beda yang menyebabkan keinginan guru dalam

pembelajaran tidak tercapai.

3. Kemampuan Literasi Kimia

Literasi sains berasal dari gabungan bahasa latin yaitu literatus dan scientia.

Literatus artinya melek huruf, ditandai dengan huruf, atau berpendidikan,

17
sedangkan scientia artinya memiliki pengetahuan (Toharudin, Hendrawati, dan

Rustaman, 2011: 1). Literasi sains adalah kemampuan untuk membaca dan

menulis tentang sains dan teknologi yang meliputi tingkat pemahaman istilah-

istilah ilmiah dan memahami inti dan argumen baik pro/kontra dalam surat

kabar/majalah harian (Miller, 1998). Literasi sains didefinisikan juga sebagai

kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan dan

mengambil kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta

membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahannya (OECD, 2003:

104).

Kimia adalah salah satu cabang sains juga memiliki tujuan pendidikan yang

searah dengan sains, yaitu masyarakat yang berliterasi kimia nantinya dapat

membentuk masyarakat yang berliterasi sains. Literasi kimia mewujudkan

gagasan, konsep, dan konsep ilmiah praktik di dalam dan di banyak disiplin ilmu

(Shwartz et al., 2006). Definisi literasi sains memandang literasi sains bersifat

multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains,

melainkan lebih luas dari itu.

PISA (2015: 23) mendefinisikan literasi sains terdiri dari empat aspek yang

saling terikat, yakni konteks, pengetahuan, kompetensi, dan sikap yang dijelaskan

sebagai berikut.

a. Konteks: aspek konteks literasi sains menurut PISA mencakup masalah

pribadi, lokal, nasional dan global, kejadian masa kini dan sejarah, sesuatu

yang menuntut pemahaman mengenai sains dan teknologi.

18
b. Pengetahuan: pemahaman tentang fakta-fakta utama, konsep dan teori

pendukung yang membentuk dasar pengetahuan ilmiah. Pengetahuan tersebut

mencakup pengetahuan tentang alam dan artefak teknologi (pengetahuan

konten), pengetahuan tentang bagaimana ide-ide tersebut dihasilkan

(pengetahuan prosedural) dan pemahaman tentang alasan yang mendasari

prosedur dan pembenaran untuk penggunaannya (pengetahuan epistemik).

c. Kompetensi: kemampuan untuk menjelaskan fenomena secara ilmiah,

mengevaluasi dan merancang penyelidikan ilmiah, serta menafsirkan data dan

bukti secara ilmiah.

d. Sikap: seperangkat sikap terhadap sains yang ditunjukkan oleh minat pada

sains dan teknologi, menilai pendekatan ilmiah untuk penyelidikan yang

sesuai, dan persepsi serta kesadaran akan masalah lingkungan.

Shwartz et al. (2006) mendefinisikan literasi kimia ke dalam empat

domain, yakni konten pengetahuan kimia, kimia dalam konteks, keterampilan

belajar tingkat tinggi (High-Older Learning Skills/HOLS), aspek afektif yang

dijelaskan sebagai berikut.

a. Konten pengetahuan kimia: menjelaskan bagaimana siswa yang berliterasi

kimia harus memahami: (1) ide kimia umum, termasuk penyelidikan ilmiah,

cara menggeneralisasi temuan, dan bagaimana menggunakan pengetahuan

untuk melayani disiplin ilmu lain untuk menjelaskan fenomena;

(2) karakteristik (ide-ide kunci) kimia, sehingga mereka dapat menjelaskan

tingkat makroskopik melalui struktur molekul, menjelaskan proses, reaksi,

19
perubahan energi, struktur sistem kehidupan, dan kontribusi bahasa ilmiah

untuk kimia.

b. Kimia dalam konteks: menjelaskan bahwa siswa yang berliterasi kimia harus

dapat menggunakan pengetahuan kimia untuk menjelaskan fenomena sehari-

hari, harus memahami kimia dalam kehidupan sehari-hari, dapat membuat

keputusan yang efektif, dapat memberikan argumen sosial tentang kimia

terkait suatu masalah, dan melihat keterkaitan inovasi dalam kimia dan

sosiologi.

c. Keterampilan belajar tingkat tinggi (High-Older Learning Skills/HOLS):

menjelaskan bahwa siswa yang berliterasi kimia mampu mengajukan

pertanyaan, mencari informasi dan menghubungkan, mengevaluasi pro/kontra

dari suatu perdebatan.

d. Aspek afektif: menjelaskan bahwa siswa yang berliterasi kimia harus

memiliki perspektif kimia dan penerapan yang adil dan rasional. Selanjutnya,

individu tersebut harus menunjukkan minat dalam masalah kimia, khususnya

di lingkungan non-formal, seperti media massa.

Aspek sikap bertujuan membantu siswa mendapatkan pengetahuan teknik

dan sains, tujuan utama dari pendidikan sains adalah untuk membantu siswa

mengembangkan minat siswa dalam sains dan mendukung penyelidikan ilmiah.

Sikap-sikap akan sains berperan penting dalam keputusan siswa untuk

mengembangkan pengetahuan sains lebih lanjut, mngejar karir dalam sains, dan

menggunakan konsep dan metode ilmiah dalam kehidupan mereka. Sikap siswa

terhadap sains berdasarkan tiga aspek dasar yaitu interest in science and

20
technology (tertarik terhadap sains and teknologi), valuing scientific approaches

to inquiry (menghargai pendekatan ilmiah untuk sebuah penemuan), perception

and awareness of environmental issues (persepsi dan kesadaran terhadap masalah

lingkungan) (OECD, 2015: 13).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi

kimia adalah kemampuan menggunakan pengetahuan kimia, dalam pemecahan

suatu masalah mulai dari mengidentifikasi dan mengambil keputusan berdasarkan

bukti-bukti ilmiah, serta mengaplikasikan pengetahuan kimia dalam kehidupan

sehari-hari. Literasi sains dapat dikembangkan melalui wacana dalam buku teks,

buku lembar kerja siswa, maupun dalam soal tes. Aspek-aspek kemampuan

literasi kimia yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari empat aspek

yang dijelaskan sebagai berikut.

a. Aspek pertama, kimia dalam konteks merujuk pada isu-isi bidang kesehatan

dan penyakit, sumber daya alam, kualitas lingkungan, bahaya, sesuatu yang

menuntut pemahaman mengenai sains dan teknologi.

b. Aspek kedua, konten pengetahuan kimia meliputi ide-ide umum pengetahuan

kimia, karakteristik (ide-ide kunci) yang meliputi penjelasan pada tingkat

makroskopik melalui struktur molekul, menjelaskan proses, dan reaksi kimia.

c. Aspek ketiga, keterampilan pembelajaran tingkat tinggi (Higher-order

Learning Skills/HOLS) yang dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam

mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan, menghubungkan informasi

ilmiah, dan meganalisis informasi ilmiah.

21
d. Aspek keempat, sikap yang dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam

beragumentasi dan ketertarikan/minat siswa terhadap kimia.

4. Keterampilan Kolaborasi

Kolaborasi adalah suatu usaha untuk mencapai tujuan bersama yang telah

ditetapkan melalui pembagian tugas/pekerjaan, tidak sebagai pengkotakan kerja

akan tetapi sebagai satu kesatuan kerja, yang semuanya terarah pada pencapaian

tujuan (Nawawi, 1984: 7). Kolaborasi juda didefinisikan sebagai suatu kegiatan

dua atau lebih banyak siswa bekerja bersama dalam tugas untuk memecahkan

suatu masalah atau menghasilkan hasil besama (Ogden, 2000). Dengan kata lain,

pembelajaran dalam kelompok sengaja melibatkan siswa untuk saling bekerja

bersama dengan tanggung jawab bersama dalam menyelesaikan tugas ataupun

mencapai tujuan bersama.

Kolaborasi merupakan salah satu keterampilan yang perlu dikembangkan

pada abad ke-21 ini. Dillenbourg, Baker, Blaye, & O’Malley (1996)

mendefinisikan keterampilan kolaborasi merupakan keterampilan bersama

partisipan dalam upaya terkoordinasi untuk menyelesaikan masalah bersama.

Terdapat dua faktor yang membantu siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran,

pertama yaitu lingkungan belajar yang diatur sedemikian rupa mendukung

pembelajaran dan yang kedua adalah memotivasi siswa dengan membuat

hubungan antara berbagai pengalamannya dengan peluang belajar, serta

merancang proyek dan proses belajar mereka dalam berkolaborasi (OECD, 2018:

4).

22
Griffin (2017) menyatakan bahwa keberhasilan pemecahan masalah

kolaboratif bergantung pada keterampilan sosial siswa itu sendiri . Kolaboratif

berarti mengandung kerja sama di dalamnya. Keterampilan kerja sama merupakan

hal penting yang paling diunggulkan dalam kehidupan masyarakat utamanya

budaya demokratis, dan merupakan salah satu indikator dari lima indikator

perilaku sosial, yakni tanggung jawab, peduli pada orang lain, bersikap terbuka,

dan kreativitas. Keterampilan kolaborasi diidentifikasi sebagai hasil pendidikan

yang perlu diperhatikan, bukan hanya sebagai sarana untuk memungkinkan

penerapan proses pembelajaran, tetapi juga sebagai keterampilan yang dibuktikan

dapat menarik perhatian dalam suatu model penilaian (Child & Shaw, 2018).

Empat kompetensi kolaboratif menurut Caufal dan Woods (2018) sebagai berikut.

a. Nilai/etika dalam praktek: saling peduli dan menghormati sesama teman

dengan profesi yang sama dalam praktek/kerja.

b. Peran/tanggung jawab: menggunakan pengetahuan tentang peran yang

dijalani dan peran teman dengan profesi yang sama guna untuk menilai dan

penanganan secara tepat kebutuhan apa yang sedang dibutuhkan.

c. Komunikasi: berkomunikasi dengan orang lain secara responsif dan

bertanggung jawab yang mendukung tim.

d. Tim dan kerja tim: menerapkan nilai-nilai yang membangun hubungan

dengan prinsip-prinsip dinamika tim yang berfungsi efektif dalam peran tim.

Kerja sama membutuhkan perencanaan kolaboratif dan pemecahan masalah

yang sistematis, berkelanjutan, dan sering dievaluasi untuk keefektifan tim.

23
Elemen domain sosial dalam pemecahan masalah kolaboratif menurut

Griffin (2017: 42) sebagai berikut.

a. Keterampilan berpartisipasi

(1) Tindakan (Action): didefinisikan sebagai partisipasi individu, terlepas

apakah tindakan ini dikoordinasikan dengan pihak lain. Bagaimana

mereka bertindak dalam kelompok. Sementara beberapa mungkin pasif,

yang lain menjadi aktif ketika diberikan dorongan dan dukungan yang

cukup, namun yang lain akan menunjukkan kemampuan untuk bertindak

secara mandiri dan mereka berinisiatif sendiri.

(2) Interaksi (Interaction): ini mengacu pada kemampuan menanggapi atau

berkoordinasi dengan orang lain, mulai dari menjawab pertanyaan, upaya

secara aktif memulai dan mengkoordinasikan, atau mendorong orang lain

untuk menanggapi.

(3) Keterampilan penyelesaian tugas (Task completion skills): mengacu pada

aspek motivasi partisipasi, termasuk rasa tanggung jawab atas hasil upaya

kolaboratif. Ini juga dapat digambarkan sebagai ketekunan dalam

menyelesaikan tugas.

b. Keterampilan mengambil sudut pandang

(1) Ketanggapan (Responsiveness): mengacu pada daya tampung untuk

mengintegrasikan masukan dari kolaborator ke dalam pikiran dan

tindakan.

24
(2) Keterampilan kesadaran anggota (Audience awareness skills): mengacu

pada kemampuan untuk menyesuaikan masukan seseorang dengan

kebutuhan atau membuat tindakan agar dipahami oleh para kolaborator.

c. Keterampilan pengaturan sosial

(1) Evaluasi diri (Metamemory): perilaku indikatif yang menggambarkan daya

serap untuk mengevaluasi pengetahuan, kekuatan, dan kelemahan

seseorang. Ini adalah kapasitas reflektif yang berfokus pada bagaimana

orang tersebut bekerja dan bagaimana mereka belajar keterampilan yang

telah mereka tunjukkan.

(2) Transactive: perilaku indikatif yang menggambarkan pemahaman

seseorang tentang pengetahuan, kekuatan dan kelemahan dari mitra

kolaboratif. Ini juga merupakan proses reflektif yang ditunjukkan

seseorang tersebut dalam mempertimbangkan perilaku dan kinerja dari

mitra mereka dalam hal seberapa sukses atau berharga aktivitas mitra

mereka berkontribusi terhadap solusi tersebut.

(3) Keterampilan negosiasi (Negotation skills): musyawarah dalam

menyamakan perbedaan dalam tim. Dalam hal ini, kolaborator perlu

menemukan cara untuk menyamakan perspektif dan opini yang berbeda

atau mengakomodasi perbedaan.

(4) Tanggung jawab (Responsbility): inisiatif memecahkan masalah dalam

berkolaborasi. Fokus utama pada tugas masing-masing, sementara yang

lain bekerja pada tugas bersama, rencana ini ditujukan untuk memimpin

25
grup dalam mencari solusi demi kemajuan tim. Keterampilan inisiatif

tanggung jawab tersebut sebagai bukti kepemimpinan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keterampilan kolaborasi

adalah perilaku seseorang dalam membantu dua orang atau lebih dalam bekerja

sama untuk menghasilkan hasil bersama. Aspek-aspek keterampilan kolaborasi

yang dikembangkan dalam penelitian ini tediri dari keterampilan berkomunikasi,

keterampilan bekerja sama, komitmen, dan keterampilan dalam menyelesaikan

tugas yang dijelaskan sebagai berikut

a. Keterampilan berkomunikasi adalah keterampilan dalam menyampaikan

pemikiran dengan jelas, kemampuan dalam menyampaikan opini dengan

kalimat yang jelas, dan dapat memotivasi orang lain melalui kemampuan

berbicara. Indikator dari keterampilan berkomunikasi diantaranya

mendengarkan dan berbicara.

b. Keterampilan bekerja sama adalah peranan hubungan kerja yang dibangun

dengan membangun tugas dalam kelompok, yaitu antar anggota kelompok

saling mendukung dan saling mengandalkan untuk mencapai suatu hasil

mufakat. Indikator dari keterampilan bekerja sama diantaranya berpartisipasi

dan berkontribusi.

c. Keterampilan berkomitmen adalah memberi tindakan secara sukarela dalam

memenuhi kewajibannya dengan saling menghargai dan menghormati antar

anggota. Indikator dari keterampilan berkomitmen diantaranya memotivasi

dan penerimaan.

26
d. Keterampilan dalam menyelesaikan tugas adalah keahlian managemen

individu dan orang lain dalam bekerja bersama mencapai tujuan kelompok

yang telah ditetapkan. Indikator dari keterampilan dalam menyelesaikan tugas

diantaranya bertanggung jawab dan bekerja keras.

5. Motivasi Belajar

Motivasi adalah daya penggerak atau pendorong untuk melakukan sesuatu

pekerjaan, yang bisa berasal dari dalam diri dan juga dari luar (Dalyono, 2005:

55). Astuti, Sunarno, dan Sudarisman (2016) menyatakan bahwa motivasi belajar

adalah dorongan dari dalam diri siswa untuk melakukan belajar. Motivasi

merupakan sebuah proses yang umum dan komprehensif, yaitu efektif dalam

mengembangkan perilaku secara positif dengan kata lain motivasi adalah

kekuatan pendorong yang ditunjukkan oleh perilaku seseorang (Gymnich, 1999).

Motivasi ditandai dengan kemauan seseorang untuk mengejar tujuan mereka

dengan penuh semangat dan tegas. Motivasi merupakan hal yang mempengaruhi

kesuksesan aktifitas pembelajaran siswa, karena tanpa motivasi proses

pembelajaran akan sulit mencapai kesuksesan yang optimum (Hamdu & Agustina,

2011).

Motivasi adalah hal terpenting untuk meningkatkan prestasi belajar siswa

dalam konten kimia (Onen & Ulusoy, 2014). Pada temuannya, Onen dan Ulusoy

(2014) mengembangkan alat ukur motivasi kimia dengan menggunakan

pendekatan berbasis konteks dan mengkelompokkan motivasi kimia berbasis

konteks menjadi tiga aspek yaitu antusias, efikasi, dan kinerja. Aspek antusias

ditandai dengan pernyataan seperti “saya tertarik memberikan penjelasan ilmiah

27
untuk peristiwa terkait kimia yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.".

Aspek efikasi ditandai dengan pernyataan seperti “saya dapat menghubungkan

peristiwa sehari-hari yang saya dapatkan dari media dan internet dengan kimia”.

Aspek kinerja ditandai dengan pernyataan seperti “saya menyukai pembelajaran

kimia melalui pemberian contoh dari kehidupan sehari-hari”.

Motivasi dan belajar adalah dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar

ditandai dengan perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan berpotensi

menjadi hasil dari praktik atau pengetahuan yang dilandasi untuk mencapai tujuan

tertentu. Uno (2012: 23) menyatakan motivasi belajar dipengaruhi oleh faktor

intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari hasrat, dorongan kebutuhan

belajar, harapan untuk cita-cita, dan keinginan berhasil. Sedangkan faktor

ekstrinsiknya terdiri dari penghargaan (reward), pembelajaran yang menarik, dan

lingkungan belajar yang kondusif.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi kimia

berbasis konteks adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk mempelajari

kimia dengan mengetahui hubungan pengetahuan kimia dan kehidupan sehari-hari

mereka.

6. Ikatan Kimia

Diantara atom-atom di alam, hanya atom gas mulia yang stabil dan tidak

reaktif. Konfigurasi elektron atom-atom gas mulia yang tidak reaktif dapat

membantu menjelaskan bagaimana atom-atom selain gas mulia yang reaktif

berinteraksi satu sama lain. Atom-atom selain golongan gas mulia cenderung

akan bergabung satu sama lain dengan melakukan serah terima elektron atau

28
menggunakan elektron secara bersama untuk mencapai kestabilan dengan

memiliki konfigurasi elektron seperti gas mulia (Keenan, Kleinfelter, & Wood,

1996: 152). Atom-atom yang telah bergabung membentuk molekul memiliki

gaya tarik menarik antar atom yang disebut dengan ikatan kimia (Sukarna, 2003:

133).

Pada ikatan ion, atom-atom yang elektronegatifitasnya besar akan menarik

dan mengikat elektron membentuk anion (ion negatif), sedangkan atom-atom

yang elektronegatifitasnya rendah akan melepaskan elektron valensinya dan

membentuk kation (ion positif). Ikatan yang terjadi karena serah terima elekron

disebut ikatan ion. Ikatan ion terjadi karena adanya gaya tarik menarik

elektrostatis antara ion positif dengan ion negatif. Berikut ini adalah proses

terbentuknya senyawa ion pada senyawa NaCl.

Na → Na+ + eˉ

Cl + eˉ → Clˉ

Untuk mencapai kestabilan, atom Na melepaskan sebuah elektron sehingga

mempunyai konfigurasi elektron seperti gas mulia ( 10Ne). Atom Cl akan mengikat

sebuah elektron yang dilepaskan oleh atom Na tersebut sehingga akan mempunyai

konfigurasi elektron seperti gas mulia (18Ar).

Na+ + Clˉ → NaCl

Terjadi tarik menarik antara sebuah ion Na + dengan ion Cl- dan membentuk NaCl.

Pada ikatan kovalen, atom-atom akan berikatan dengan menggunakan

elektron secara bersama sehingga memiliki konfigurasi elektron seperti gas mulia.

Jika diantara dua atom dalam molekul hanya ada sepasang elektron ikatan, maka

29
ikatannya disebut ikatan kovalen tunggal. Jika ada dua pasang elektron ikatan,

maka disebut ikatan kovalen rangkap dua, dan jika ada tiga pasang elektron ikatan

maka disebut dengan ikatan kovalen rangkap tiga (Chang, 2005: 266). Sepasang

elektron dapat digantikan dengan sebuah garis yang disebut dengan tangan ikatan.

HH O=O NN


Ikatan kovalen tunggal molekul H2 Ikatan kovalen rangkap dua pada molekul O2 Ikatan kovalen rangkap dua pada molekul O2

Gambar 2. Ikatan Kovalen Tunggal, Rangkap Dua, dan Rangkap Tiga

Selain itu, ada jenis ikatan kovalen lainnya yaitu ikatan kovalen koordinasi. Ikatan

kovalen koordinasi terjadi jika pada pembentukan ikatan pasangan elektron yang

hanya berasal dari salah satu atom yang berikatan. Ikatan kovalen koordinasi

disimbolkan dengan sebuah panah yang mengarah kepada atom yang meminjam

sepasang elektron.

OS=O

O
Gambar 3. Ikatan Kovalen Koordinasi

Pada molekul-molekul diatomik seperti H2, O2, dan N2, ikatan yang

terbentuk pada molekul-molekul tersebut disebut ikatan kovalen non-polar.

Senyawa kovalen dikatakan non-polar karena pada senyawa tesebut tidak

memiliki perbedaan keelektronegatifan, sehingga tidak terjadi pengkutuban

muatan. Oleh karena itu kedua atom yang berikatan memiliki kekuatan gaya tarik

elektron yang sama dan berada diantara jarak yang sama pula. Berbeda halnya

pada senyawa HCl, atom klorin memiliki kekuatan gaya tarik elektron yang jauh

lebih kuat daripada hidrogen. Hal ini dapat dilihat dari harga keelektronegatifan

masing-masing unsur penyusun senyawa. Harga keelektronegatifan klorin 3,0 dan

30
hidrogen 2,1, sehingga pasangan elektron lebih tertarik pada atom klorin dan atom

klorin akan membentuk kutub negatif (δˉ), sedangkan atom hidrogen membentuk

kutub positif (δ+). Peristiwa terjadinya kutub akibat pasangan elektron lebih

tertarik ke salah satu atom disebut polarisasi, dan ikatan yang terbentuk disebut

ikatan kovalen polar.

Ikatan kimia antar atom-atom logam tidak termasuk ikatan ion maupun

ikatal kovalen, melainkan merupakan ikatan logam. Ikatan logam dilandasi oleh

teori lautan elektron yang ditemukan Drude dan Lorents. Teori lautan elektron

menjelaskan bahwa kristal logam tersusun atas kation-kation logam yang yang

terpateri di tempat (tidak bergerak) dikelilingi oleh lautan elektron-elektron

valensi yang bergerak bebas dalam kisi kristal (Nuraini, 1994: 140). Lautan

elektron pada kristal memegang erat ion-ion positif pada logam sehingga bila

suatu logam dipukul/ditempa tidak akan pecah, tetapi hanya bergeser.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Cigdemoglu dan Geban (2015) dalam penelitiannya menyelidiki pengaruh

pendekatan berbasis konteks terhadap kemampuan literasi kimia siswa pada

konsep termokimia dan termodinamika. Pembelajaran berbasis konteks dijadikan

perantara forum diskusi untuk mempelajari konsep kimia melalui pengalaman

kehidupan nyata, serta berperan penting dalam meningkatkan literasi kimia siswa

pada konsep yang abstrak. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan literasi kimia siswa pada kelas

yang menggunakan pembelajaran berbasis konteks dibandingkan dengan kelas

yang menggunakan pembelajaran tradisional.

31
Penelitian selanjutnya oleh Magwilang (2016) yang bertujuan melihat

pengaruh penerapan pembelajaran berbasis konteks terhadap motivasi siswa

dalam belajar kimia. Pada penelitian ini data motivasi belajar siswa diperoleh

menggunakan angket motivasi belajar siswa berbasis konteks. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis konteks meningkatkan motivasi siswa

dalam belajar kimia. Magwilang menyatakan pembelajaran lebih baik terlaksana

ketika siswa diberi konteks dari kehidupan sehari-hari sebagai dasar untuk

mendiskusikan pembelajaran kimia.

Ilhan, Yildirim, dan Yilmaz (2016) dalam penelitiannya menyelidiki

efektifitas pembelajaran berbasis konteks yang dibandingkan dengan

pembelajaran tradisional pada materi kesetimbangan kimia terhadap hasil belajar

dan motivasi untuk belajar kimia siswa. Hasil penelitian menunjukkan dampak

positif pada hasil belajar dan motivasi siswa untuk mempelajari kimia. Pendapat

siswa terhadap penerapan pembelajaran berbasis konteks yang dikumpulkan

melalui kuesioner yaitu pembelajaran berbasis konteks dapat membantu siswa

menghubungkan kimia dengan kehidupan sehari-hari. Didapatkan kesimpulan

bahwa pembelajaran berbasis konteks lebih efektif untuk mempelajari kimia

dibandingkan pembelajaran tradisional.

Penelitian yang dilakukan Nurnawati, Yulianti, dan Susanto (2012)

menunjukkan kerja sama siswa meningkat pada setiap pertemuannya terutama

pada aspek keterampilan berkomunikasi dan keterampilan berkoordinasi.

Peningkatan ini terjadi setelah diterapkannya pembelajaran berkelompok yang

merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif, sehingga berpotensi

32
menumbuhkan kerja sama siswa yang baik dalam kelompok. Semakin baik siswa

bekerja sama dalam kelompok, maka semakin baik proses belajar siswa yang

menyebabkan hasil belajar yang baik pula.

Penelitian yang dilakukan Mantzicopoulos, Patrick, dan Samarapungavan

(2013) dalam menyelidiki motivasi belajar siswa dengan pemberian proyek

literasi sains mengungkapkan bahwa terdapat peningkatan terhadap motivasi

belajar siswa. Penelitian yang dilakukan Poluakan (2012) dalam menyelidiki efek

literasi sains yang tinggi dan motivasi untuk berprestasi terhadap guru IPA dalam

menyusun tes yang efektif menunjukkan terdapat pengaruh positif literasi sains

yang tinggi terhadap motivasi untuk berprestasi. Pengaruh positif literasi sains

dalam menyusun tes adalah karena motivasi berprestasi dari dalam diri guru yang

terbiasa berpikir dan bertindak sebagai orang yang berliterasi sains ditunjukkan

dari kebiasaan mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan suatu masalah.

Penelitian yang dilakukan Peng, Wang, dan Wu (2019) mengenai

penggunaan pembelajaran kolaboratif terhadap motivasi dan gaya belajar siswa.

Pembelajaran kolaboratif diterapkan sebagai strategi pembelajaran dimana siswa

belajar dalam kelompok dan berdiskusi dalam menyelesaikan tugas yang

diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan motivasi

dan sikap belajar siswa dalam proses pembelajaran kolaboratif. Siswa memiliki

perubahan yang besar pada pembelajaran kolaboratif, karena beban siswa dalam

pembelajaran berkurang, dan terlebih lagi siswa lebih senang dalam pembelajaran

karena dapat berinteraksi antar satu dan lainnya.

33
Anfa, Rachmadiarti, dan Winarsih (2016) melakukan penelitian yang

bertujuan untuk melatihkan keterampilan literasi sains siswa melalui Lembar

Kegiatan Siswa Collaborative Learning dengan pembelajaran proses sains (5M).

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Lembar Kegiatan Siswa Collaborative

Learning dapat melatihkan keterampilan literasi sains pada aspek menjelaskan

fenomena ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, dan menggunakan bukti

ilmiah.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan, penelitian yang

menerapkan pembelajaran berbasis konteks dapat meningkatkan kemampuan

literasi kimia, keterampilan kolaborasi, dan motivasi belajar. Keberhasilan

penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan menerapkan pembelajaran berbasis

konteks diharapkan dapat mengeksplorasikan kemampuan literasi kimia,

keterampilan kolaborasi, dan motivasi belajar siswa.

C. Kerangka Pikir

Pembelajaran kimia merupakan proses mengembangkan pengetahuan

kimia siswa yang bertujuan agar siswa dapat memahami kimia secara sistematis

dan memaknai dampak kimia terhadap pengetahuan dan teknologi pada

kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kimia dihadapkan tantangan yang semakin

berat yaitu dengan menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan dan berbagai

keterampilan abad ke-21, diantaranya yaitu siswa yang mampu berliterasi kimia

dan memiliki keterampilan kolaborasi. Kemampuan literasi kimia siswa Indonesia

termasuk kategori rendah.

34
Salah satu mata pelajaran kimia yang dipelajari siswa SMA adalah ikatan

kimia. Materi ikatan kimia lebih bersifat abstrak, biasanya lebih sulit untuk

dipahami dan hampir sebagian besar siswa mempelajari ikatan kimia dengan cara

menghafal, dimana kemampuan retensi informasi sangat kecil. Hal ini

menyebabkan siswa kurang termotivasi untuk mempelajari kimia.

Kemampuan literasi kimia yang rendah mencerminkan penguasaan konsep

ikatan kimia yang rendah pula. Salah satu penyebabnya pembelajaran di sekolah

kurang mengaitkan materi ikatan kimia dengan konteks dalam bentuk isu maupun

aplikasi dalam kehidupan nyata siswa. Seharusnya pembelajaran di sekolah lebih

didekatkan dengan konteks, sehingga siswa lebih memaknai pembelajaran dan

merasakan manfaat mempelajari ikatan kimia yang erat kaitannya dalam

kehidupan siswa. Pendidik harus berupaya untuk membekali siswa dengan

berbagai kemampuan tentang cara mengetahui dan menjelaskan setiap fenomena

dan aplikasi yang terjadi di alam, baik yang bersifat konkrit maupun abstrak agar

konsep ikatan kimia lebih mudah dipahami.

Pendekatan berbasis konteks merupakan pembelajaran yang mendorong

siswa untuk menemukan konsep dan mengaitkan konsep yang dipelajari dengan

pengalaman yang dimiliki sebagai pengetahuan prasyarat untuk membangun

konsep baru. Pembelajaran berbasis konteks adalah sarana agar siswa dapat

mengaplikasikan konsep ikatan kimia yang dipelajari dengan kehidupan nyata

mereka untuk memecahkan masalah kehidupan di lingkungannya. Hal tersebut

akan membuat pemikiran siswa akan terbuka, sehingga secara tidak langsung hal

tersebut dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Dengan termotivasinya siswa

35
dalam mempelajari ikatan kimia maka akan meningkatkan kemampuan literasi

kimia siswa.

Pembelajaran berbasis konteks dapat mendorong siswa aktif dalam

pembelajaran karena lebih menekankan pada keterlibatan siswa secara penuh.

Tugas guru hanya sebagai fasilitator. Dalam pembelajaran berbasis konteks siswa

bekerja dalam kelompok. Siswa yang termotivasi dalam belajar akan terlibat

dalam memberikan ide/pendapat/gagasan tentang topik yang dibahas, dengan

begitu maka akan mempengaruhi kemampuan literasi kimia siswa tersebut.

Pembelajaran berkelompok akan mengeksplor keterampilan kolaborasi siswa

dalam berinteraksi antar satu sama lain dengan anggota kelompok dalam

membangun pengetahuan bersama dan nilai-nilai kebersamaan.

Kemampuan literasi kimia dan keterampilan kolaborasi merupakan sebagian

kemampuan dan keterampilan yang perlu untuk dikembangkan dan diberdayakan

pada siswa pada abad ke-21. Pembelajaran berbasis konteks dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan kemampuan literasi kimia siswa, memotivasi siswa untuk

belajar ikatan kimia, dan juga siswa memiliki bekal keterampilan kolaborasi untuk

membentuk individu yang berkualitas menghadapi tuntutan abad ke-21. Skema

kerangka pikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4 sebagai berikut.

36
Pembelajaran Kimia

Kemampuan literasi kimia Tuntutan memiliki keterampilan


siswa Indonesia masih rendah Abad ke-21

Pembelajaran ikatan
kimia berbasis konteks

Mengenalkan kimia dalam


kehidupan nyata (realworld) Active learning

Pemikiran siswa terbuka Siswa belajar dalam


kelompok

Motivasi belajar Keterampilan kolaborasi

Kemampuan literasi
kimia

Gambar 4. Skema Kerangka Pikir Penelitian

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Ada perbedaan kemampuan literasi kimia, keterampilan kolaborasi, dan

motivasi belajar pada materi ikatan kimia antara siswa dengan penerapan

pembelajaran berbasis konteks dan siswa dengan penerapan pembelajaran

pendekatan saintifik.

2. Ada perbedaan kemampuan literasi kimia dan keterampilan kolaborasi pada

materi ikatan kimia antara siswa dengan penerapan pembelajaran berbasis

konteks dan siswa dengan penerapan pembelajaran pendekatan saintifik.

37
3. Ada perbedaan kemampuan literasi kimia dan motivasi belajar pada materi

ikatan kimia antara siswa dengan penerapan pembelajaran berbasis konteks

dan siswa dengan penerapan pembelajaran pendekatan saintifik.

4. Ada perbedaan keterampilan kolaborasi dan motivasi belajar pada materi

ikatan kimia antara siswa dengan penerapan pembelajaran berbasis konteks

dan siswa dengan penerapan pembelajaran pendekatan saintifik.

5. Ada perbedaan kemampuan literasi kimia pada materi ikatan kimia antara

siswa dengan penerapan pembelajaran berbasis konteks dan siswa dengan

penerapan pembelajaran pendekatan saintifik.

6. Ada perbedaan keterampilan kolaborasi pada materi ikatan kimia antara siswa

dengan penerapan pembelajaran berbasis konteks dan siswa dengan

penerapan pembelajaran pendekatan saintifik.

7. Ada perbedaan motivasi belajar pada materi ikatan kimia antara siswa dengan

penerapan pembelajaran berbasis konteks dan siswa dengan penerapan

pembelajaran pendekatan saintifik.

8. Ada sumbangan pembelajaran berbasis konteks terhadap kemampuan literasi

kimia, keterampilan kolaborasi, dan motivasi belajar siswa pada materi ikatan

kimia.

9. Ada sumbangan pembelajaran berbasis konteks terhadap kemampuan literasi

kimia dan keterampilan kolaborasi siswa pada materi ikatan kimia.

10. Ada sumbangan pembelajaran berbasis konteks terhadap kemampuan literasi

kimia dan motivasi belajar siswa pada materi ikatan kimia.

38
11. Ada sumbangan pembelajaran berbasis konteks terhadap keterampilan

kolaborasi dan motivasi belajar siswa pada materi ikatan kimia.

12. Ada sumbangan pembelajaran berbasis konteks terhadap kemampuan literasi

kimia siswa pada materi ikatan kimia.

13. Ada sumbangan pembelajaran berbasis konteks terhadap keterampilan

kolaborasi siswa pada materi ikatan kimia.

14. Ada sumbangan pembelajaran berbasis konteks terhadap motivasi belajar

siswa pada materi ikatan kimia.

15. Minimal 85% siswa yang mengikuti pembelajaran ikatan kimia berbasis

konteks memiliki kemampuan literasi kimia yang baik.

16. Minimal 85% siswa yang mengikuti pembelajaran ikatan kimia berbasis

konteks memiliki keterampilan kolaborasi yang baik.

17. Minimal 85% siswa yang mengikuti pembelajaran ikatan kimia berbasis

konteks memiliki motivasi belajar berbasis konteks yang baik.

39

Anda mungkin juga menyukai