Anda di halaman 1dari 15

KONSEP BELAJAR DAN TEORI BELAJAR KIMIA

2.2 Belajar dan Pembelajaran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar memiliki arti berusaha memperoleh

kepandaian atau ilmu.Ini memiliki pengertian bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk

mencapai kepandaian atau ilmu. Belajar (learning) adalah proses multisegi yang biasanya

dianggap sesuatu yang biasa oleh idividu sampai mereka mengalami kesulitan saat

menghadapi tugas yang kompleks.Belajar (to learn) memiliki arti to gain

knowledge,comprehension,or mastery of trough experience or study,to fix in the mind or

memory, to acquire trough experience,to become in forme of to find out.

Menurut defenisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau


menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan
mendapatkan informasi atau menemukan. Belajar disebabkan oleh kemampuan dalam
menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam lingkungan.Aliran humanistic
menggap bahwa belajar merupakan proses pengembangan diri peserta didik.Ini menekankan
pada “isi’ yang dipelajari.Proses belajar dianggap berhasil jika peserta didik telah memahami
diri dan lingkungannya.(Sani,2015).Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah proses idividu untuk mencapai suatu pembelajaran kearah yang lebih baik
berdasarakan lingkungan dan pengalamnnya.

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur


manusiawi,material,fasilitas,perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai
tujuan pembelajaran.Manusia terlibat dalam system pengajaran terdiri dari siswa, guru dan
tenaga lainnya,misalnya tenaga laboratorium.Material meliputi buku-buku,papan tulis dan
kapur,fotografi,slide dan film, audio dan video tape.Fasilitas dan perlengkapan ,terdiri dari
ruangan kelas,perlengkapan audio visual,juga computer.Prosedur,meliputi jadwal dan metode
penyampaian informasi,praktik,belajar,ujian dan sebagainya.Tujuan penting dalam rangka
system pembelajaran ,yakni merupakan suatu komponen system pembelajaran yang menjadi
titik tolak dalam merancang system yang efektif.Kunci dalam rangka menentukan tujuan
pembelajaran adalah kebutuhan siswa,mata plajaran, dan guru itu sendiri.Berdasarkan
kebutuhan siswa dapat ditetapkan apa yang hendak dicapai ,dikembangkan dan
diapresiasi.Berdasarkan mata plajaran yang ada dalam petunjuk kurikulum dapat ditentukan
hasil-hasil pendidikan yang diinginkan.Guru sendiri adalah sumber utama tujuan bagi para
siswa,dan dia harus mampu menulis dan memilih tujuan-tujuan pendidikan yang bermakna,
dan dapat terukur.(Hamalik,2005).

Salah satu cara terbaik yang dapat membuat siswa memahami sesuatu adalah dengan

memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan observasi dan menemukan atau

mengkonstruksi konsep dengan caranya sendiri.Pemahaman mendalam yang dating dari

pengalaman langsung akan lebih mudah diterima dan diingat siswa apabila dilakukan

bersama-sama teman-temannya. Kerjasama yang baik dalam kelompok dapat membuat siswa

yang kurang pandai termotivasi untuk belajar sementara siswa yang lebih pandai dapat

mengembangkan disposisi berfikirnya lebih baik.

2.3 Teori Belajar Konstruktivisme


Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual,
yaitu pengetahuan dibagun oleh manusia secara sedikit demi sdikit dan hasilnya diperluas
melalui onteks yang terbatas.Individu menghubungkan dan mengasimilasikan
pengetahuan,kecakapan,kecakapan,pengalaman baru sehingga terjadi
perubahan/perkembangan.
Menurut Konstruktivisme belajar adalah :
1. Proses aktif dan konstruktif yang terjadi dilingkungan luar kelas
2. Mengubah informasi menjadi proses mental
3. Membangun pengetahuan dan pengertian dari pengalaman pribadi
4. Mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman lama (asimilasi)
5. Membangun pengetahuan baru dari fenomena lama (akomodasi)
6. Proses kognitif untuk memecahkan masalah dunia nyata,memggunakan alat yang
tersedia dalam situasi pemecahan masalah
7. Bersifat siuasional,interaktif
8. Bekerja dengan teman dalam konstruksi social yang berarti bagi dirinya
9. Proses pribadi terus menerus untuk memonitor kemajuan belajar.
Pembelajaran Konstruktivisme menekankan pada proses belajar.Peserta didik diberi

kesempatan pada siswa untuk membangun pengtahuan dan pemahaman baru yang didasarkan

pada pengalaman yang nyata.Prinsip teori ini adalah:

1. Pembelajaran social: peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang dewasa

atau teman sebaya yang lebih mampu.

2. Zona perkembangan terdekat: peserta didik lebh mudah belajar konsep jika konsep

itu berada pada zona perkembangan terdekat mereka.

3. Pemagangan kognitif : peserta didik secara bertahap memperoleh keahlian melalui

interaksinya dengan orang lain yang telah menguasai bidangnya.

4. Scaffilding : peserta didik diberikan tugas-tugas kompleks,sulit dan realistis untuk

kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut.

Ciri tahapan pembelajaran konstruktivisme adalah :

1. Orientasi : mengembangan motivasi dan mengadakan observasi

2. Elisitasi : mengungkapkan ide secara jelas serta mewujudkan hasil obsrvasi

3. Restrukturisasi ide : klarifikasi ide,membangun ide baru,dan mengevaluasi ide baru

4. Penggunaan ide dalam banyak situasi

5. Review atau kaji ulang : merevisi dan menubah ide (Sani,2015).

2.3.1 Teori Vygotsky

Teori Vygotsky, menyatakan bahwa pembentukan pengetahuan dan perkembangan

kognitif terbentuk melalui interaksi/penguasaan proses sosial. Konstruktivisme merupakan

landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun oleh

manusia secara sedikit demi sedikit dan hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.

Individu menghubungkan dan mengamisilasikan pengetahuan, kecakapan, pengalaman yang


telah dimilikinya dengan pengetahuan, kecakapan, pengalaman baru sehingga terjadi

perubahan/perkembangan. Prinsip teori ini adalah sebagai berikut :

1. Pembelajaran sosial : peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau

temen sebaya yang lebih mampu.

2. Zona perkembangan terdekat : peserta didik lebih mudah belajar konsep jika konsep itu

berada pada zona perkembangan terdekat mereka.

3. Pemagangan kognitif : peserta didik secara bertahap memperoleh keahlian melalui

interaksinya dengan orang lain yang telah menguasai bidangnya.

4. Scaffolding : peserta didik diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistis untuk

kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut (Sani,

2015). Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada seorang anak

selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian anak tersebut mengambil alih tanggung-

jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat

berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah kedalam langkah-langkah

pemecahan, memberikan contoh ataupun yang lain sehingga memungkinkan siswa tumbuh

mandiri.

Dari uraian di atas, ide penting yang diturunkan dari teori Vygotsky (Scaffolding) inilah

yang mendukung dari tahapan model pembelajaran SSCS, yaitu pada tahapan Search yang

bertujuan untuk mengidentifikasi masalah dan pada tahapan Solve untuk mengembangkan

rencana penyelesaian masalah, tahap create (melaksanakan penyelesaian masalah sehingga

menghasilkan solusi, dan keempat fase Share yang bertujuan untuk mensosialisasikan

penyelesaian masalah yang diperoleh dengan cara melakukan presentasi.

Pada model SSCS dari tahap awal sampai akhir yang menekankan pada kerja

kelompok, dimana peran kerja kelompok untuk mengembangkan kemampuan actual siswa

dan dengan kerja kelompok maka beberapa ide pemecahan masalah yang didapatkan siswa
kemudian disimpulkan secara bersama dalam kelompok. Dimana guru tidak hanya sekedar

memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan

didalam dirinya melalui interaksi social bersama temannya dengan guru memberikan suatu

permasalahan kepada siswa maka siswa dituntut untuk aktif berdiskusi dengan kelompoknya

dan permaslahan yang diberikan oleh guru sesuai dengan konsep yang berada pada zona

perkembangan siswa (contohnya permasalahan yang mengarah pada kehidupan sehari-hari)

dan guru berperan sebagai fasilitator yang akan membantu siswa apabila mengalami kesulitan

dalam proses pemecahan masalah. Selain itu Vygotsky dalam pengajaran menekankan

scaffolding sehingga siswa semakindapat bertanggung jawab terhadap pembelajarannya

sendiri (Slavin dalam Trianto, 2015).

Beberapa kelebihan pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut :

1. Peserta didik terlibat secara langsung dalam membangun pengetahuan baru,mereka

akan lebih paham dan dapat mengaplikasikannya.

2. Peserta didik aktif berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat

keputusan

3. Murid terlibat secara langsung dan aktif belajar sehingga dapat mengingat konsep secara

lebih lama (Sani, 2015).

2.3.2 Teori Belajar Jerome S.Bruner

Teori belajar bruner meruapakan teori perkembangan mental, yang mendeskripsikan

bahwa terjadinya proses belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi pelajaran (Sani,

2015). Pada proses belajar, siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarainya

dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat berfikir anak (Suyono dan Hariyanto,

2014). Teori bruner menggunakan konsep scaffolding dan interaksi social di kelas maupun di

luar kelas. Dimana Scaffolding suatu proses untuk membantu siswa menuntaskan masalah
tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan guru, teman atau orang lain

yang memiliki kemampuan lebih.

Pada teori belajar Bruner ini guru harus memberikan keleluasaan kepada siswa untuk

menjadi pemecah masalah. Biarkan siswa menemukan arti hidup bagi dirinya sendiri dan

memungkinkan mereka mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa sendiri (Suyono dan

Hariyanto, 2014). Tiga tahap perkembangan intelektual terori Bruner, meliputi:

1. Enaktif (enactive), seorang anak belajar tentang dunia melalui respon atau aksi-aksi

terhadap suatu objek

2. Ikonik (iconic), pembelajaran terjadi penggunaan model-model dan gambar dan visualisasi

verbal

3. Simbolik, siswa harus mampu menggambarkan kapasitas berfikir dalam istilah-istilah

abstark

Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi siswa jika mereka memusatkan

perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Siswa harus aktif dalam

mengidentifikasi sendiri dan mencari informasi tentang materi yang dipelajari dan siswa tidak

hanya sekedar menerima penjelasan dari guru. Contohnnya siswa dituntut untuk

menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru dengan pemikiran siswa yang

didukung dengan teori sebagai penunjang agar menghasilkan suatu pemecahan masalahan

yang berupa solusi. Inilah yang mendukung dari tahapan model pembelajaran SSCS melalui

tahap mencari referensi, pengungkapan pendapat serta evaluasi.

Siswa belajar melalui keterkaitan aktif dengan mencari referensi antara pengetahuan

yang dimiliki untuk memecahkan masalah , pemecahan masalah pada penelitian ini yang

berupa percobaan atau eksperimen yang digunakan sebagai penunjang tahap Create (menguji

hipotesis yang dibuat pada tahap sebelumnya apakah benar atau salah yang didukung dengan

teori yang ada). Serta siswa mengevaluasi jawaban dalam penyelesaian masalah berupa solusi
bersama kelompoknya. Dimana peran guru hanya sebagai motivator dalam mendapatkan

pengalaman yang mendorong siswa untuk melakukan kegiatan penemuan. Dalam

pembelajaran melalui penemuan, guru memberikan contoh dan siswa bekerja berdasarkan

contoh tersebut sampai menemukan hubungan antar bagian satu dari struktur materi.

2.4 Model Pembelajaran SSCS

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik

dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan

berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam merancang

dan melaksanakan pembelajaran. Fungsi model pembelajaran disini adalah sebagai pedoman

bagi perancang pengajar dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran (Trianto, 2015).

Model SSCS adalah model pembelajaran yang menggunakan pendekatan problem

solving yang didesain untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan

meningkatkan pemahaman terhadap konsep ilmu. Model pembelajaran SSCS merupakan

model pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah yang meliputi empat fase,

yaitu Search, Solve, Create, dan Share (Rosawati dan Dwiningsih, 2016).

Pizzini (1991) juga menambahkan informasi bahwa : “Through the use of the SSCS

model, students become independent, cometent thinkers. They become explorers searching

for new doscoveries and perspectives, inventors developing new ideas and products to

overcome existing obstacles, designers creating new plan and models, decision makers

practicing how to make wise choices, communicators developing methods for communication

and interaction”.

Dari kutipan di atas dapat diartikan bahwa melalui model pembelajaran SSCS siswa

dapat menjadi pemikir yang mandiri, dan kompeten. Mereka menjadi penjelajah dalam

mencari penemuan-penemuan baru dan perspektif, penemu yang mengembangkan ide-ide

baru dan produk dalam mengatasi hambatan yang ada, desainer yang menciptakan rencana
dan model baru, pembuat keputusan yang berlatih bagaimana membuat pilihan yang bijak,

dan komunikator yang mengembangkan metode untuk komunikasi dan interaksi.

Dalam konstruktivisme proses belajar dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan

lingkungan yang mendukung dalam memecahkan masalah, melakukan penyelidikan, dan

menarik suatu kesimpulan. Hal ini sejalan dengan rancangan materi yang disesuaikan dengan

masalah yang biasa dialami di lingkungan sehari hari. Dengan demikian teori kontruktivisme

berkaitan erat dengan model SSCS.

2.4.1 Sintak Model SSCS

Pizzini (1991) menjelaskan bahwa model pembelajaran SSCS memiliki empat fase,

yaitu Search, Solve, Create, dan Share. Langkah-langkah dalam metode pembelajaran Search

Solve Create Share (SSCS) yaitu sebagai berikut:

a. Search, tahap ini berperan untuk mendorong peran aktif siswa dalam mengajukan

pertanyaan yang akan dicari solusinya.

b. Solve, tahap ini bertujuan untuk mendorong peran aktif siswa dalam mencari alternatif

yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan

c. Create, tahap ini bertujuan untuk mendorong peran aktif siswa dalam kegiatan diskusi dan

menyimpulkan alternatif jawaban dari permasalahan

d. Share, tahap ini bertujuan untuk mendorong peran aktif siswa dalam mempresentasikan

informasi yang diperoleh dan saling bertukar informasi yang mereka peroleh.

Pelaksanaan pembelajaran SSCS di kelas melalui tahap yaitu tahap search siswa

mengajukan pertanyaan-pertanyaan penyelidikan tentang topik yang mereka sukai untuk

diselidiki. Selanjutnya pada tahap solve siswa membuat desain untuk rancangan yang akan

digunakan dalam penyelidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan

penyelidikannya. Setelah melakukan penyelidikan siswa menganalisa dan mengintepretasikan

data yang diperolehnya. Siswa selanjutnya menentukan cara yang akan digunakan untuk
mengkomunikasikan temuannya, dan tahap ini merupakan tahap create. Tahap terakhir dalam

model pembelajaran SSCS adalah share. Pada tahap share ini membagi atau memberikan

hasil dan evaluasi dari penyelidikan yang dilakukannya.

Sedangkan menurut Rosawati dan Dwiningsih (2016). Pertama fase Search yang

bertujuan untuk mengidentifikasi masalah, kedua fase Solve yang bertujuan untuk

mengembangkan rencana penyelesaian masalah, ketiga fase Create yang bertujuan untuk

melaksanakan penyelesaian masalah sehingga menghasilkan solusi, dan keempat fase Share

yang bertujuan untuk mensosialisasikan penyelesaian masalah yang diperoleh dengan cara

melakukan presentasi.

Menurut Pizzini model pembelajaran SSCS mengacu kepada empat tahap penyelesaian

masalah yang urutannya dimulai pada penyelidikan masalah (search), perencanaan

pemecahan masalah (solve), pengkonstruksian pemecahan masalah (create), dan yang

terakhir adalah pengkomunikasian penyelesaian masalah yang diperoleh (share). Tujuan

model pembelajaran SSCS yaitu :

1. Siswa menjadi pemikir yang mandiri

Model pembelajaran SSCS mengarahkan siswa menjadi penjelajah dalam mencari

penemuan-penemuan baru, penemu yang mengembangkan ide-ide baru dan produk untuk

mengatasi hambatan yang ada, desainer yang menciptakan rencana dan model baru,

pembuat keputusan dengan berlatih bagaimana membuat pilihan yang bijak, dan

komunikator yang baik dengan mengembangkan metode untuk komunikasi dan interaksi.

2. Mengembangkan keterampilan sosial

Model pembelajaran SSCS mengajarkan kepada siswa keterampilan-keterampilan

kerjasama dan kolaborasi. Kerjasama dapat membantu siswa pada kelompok dalam

memahami konsep atau permasalahan yang ada.

2.4.2 Kelebihan Model Pembelajaran SSCS


Berikut adalah kelebihan model SSCS:

1. Bagi pengajar (dapat melayani minat siswa yang lebih luas)

a. Dapat melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran ilmu

pengetahuan alam (IPA)

b. Melibatkan semua siswa secara aktif dalam proses pembelajaran

c. Meningkatkan pemahaman antara sains teknologi dan masyarakat dengan memfokuskan

pada masalah-masalah real dalam kehidupan sehari-hari.

2. Bagi pelajar

a. Kesempatan untuk memperoleh pengalaman langsung pada suatu proses pemecahan

masalah.

b. Kesempatan untuk mempelajari dan memantapkan konsep-konsep IPA dengan cara

yang lebih bermakna

c. Mengolah informasi dari IPA

d. Menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi

e. Mengembangkan metode ilmiah dengan menggunakan peralatan-peralatan laboratorium

f. Mengembangkan minat terhadap IPA dan memberi pemaknaan IPA kepada siswa

melaui kegiatan-kegiatan IPA

g. Memberi pengalaman bagaimana pengetahuan IPA diperoleh dan berkembang

h. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanggungjawab terhadap proses

pembelajarannya

i. Bekerjasama dengan orang lain

j. Menetapkan pengetahuan tentang grafik, pengolahan data, menyampaikan ide dala m

bahasa yang baik dan keterampilan yang lain dalam suatu sistem ke integrasi atau

holistik.

2.5 Berfikir Kreatif


2.5.1 Definisi berpikir kreatif

Menurut Filsaime,( dalsm Nurlaela , 2015) Berfikir kreatif adalah proses berpikir yang

memiliki ciri-ciri kelancarn (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality) dan

elaborasi. Kelancaran adalah kemampuan untuk mengeluarkan banyak ide atau gagaan yang

benar sebanyak mungkin secara jelas. Keluwesan adalah kemampuan untuk mengeluarkan

banyak ide atau gagasan yang beragam dan tidak monoton dengan melihat dari berbagai

sudut pandang.Originalitas adalah kemampuan untuk mengeluarkan ide atau gagasan yang

unik.Elaborasi adalah kemampuan untuk menjelaskan factor-faktor yang memperngaruhi

dan menambah detail dari ide atau gagasannya sehingga lebih bernilai.Sedangkan menurut

Johnson (2002) berpikir kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan

pemahaman-pemahaman baru. Sebagian besar orang tua dan pendidik setuju bahwa dalam

masyarakat modern saat ini, anak-anak harus menguasai keterampilan berpikir dalam

tingkatan yang lebih tinggi.

Pada umumnya anak yang kreatif, dan kritis dapat memecahkan masalah, karena

diawali dari berpikir kritis terlebih dahulu yang berpikir secara cepat dan rasional kemudian

dia mampu berpikir kreatif dimana berpikir kreatif mampu menghasilkan sesuatu yang baru

dan berbeda namun tetap bisa diterima, dari pemikiran tersebut anak akan dapat memecahkan

masalah yang ada. Karakter kritis dan karakter kreatif merupakan salah satu komponen

pendidikan karakter yang dapat dibangun melalui pembelajaran di sekolah.Untuk

membangun karakter kreatif diperlukan karakter kritis. Sebaliknya siswa yang berkarakter

kreatif dia berkarakter kritis.

Johnson (2002) juga mengatakan bahwa berpikir kreatif dan kritis bagaikan dua sisi

mata uang.Pikiran kreatif merancang kostum untuk digunakan dalam sandiwara sekolah.

Pikiran kritis memastikan kainnya cocok dan jahitannya kuat. Pemikiran kreatif

mempraktikkan asosiasi bebas dan menemukan cara baru untuk menyediakan rumah dan
makanan bagi gelandangan. Pemikir kritis mempelajari kelayakan sebuah ide.Seluruh

manusia adalah pemikir kritis dan kreatif.

Menurut Munandar (2012), Berpikir divergen (juga disebut berpikir kreatif) ialah

memberikan macam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan

dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian. Definisi kemampuan berpikir

secara kreatif dilakukan dengan menggunakan pemikiran dalam mendapatkan ide-ide yang

baru, kemungkinan yang baru, ciptaan yang baru berdasarkan kepada keaslian dalam

penghasilannya. Mar’at (2013) menyebutkan bahwa berpikir divergen (divergent thinking)

merujuk pada pemikiran yang menghasilkan banyak jawaban atas pertanyaan yang sama dan

lebih merupakan indikator dari kreativitas. Berpikir divergen merupakan aktivitas mental

yang asli, murni dan baru, yang berbeda dari pola pikir sehari-hari dan menghasilkan lebih

dari satu pemecahan masalah. Berpikir kreatif sangat erat hubungannya dengan kreativitas,

karena kreativitas merupakan hasil dari proses berpikir kreatif yang dilakukan oleh seseorang.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif adalah proses berpikir

yang menghubungkan ide atau hal-hal yang sebelumnya tidak berhubungan, proses berpikir

yang memunculkan banyak jawaban yang diajukan untuk memecahkan persoalan sehingga

dapat menghasilkan sesuatu yang baru baik itu pengetahuan, keterampilan dan hasil karya

cipta.

2.5.2 Tahapan proses kreatif

Wallas (dalam Sukmadinata, 2011) mengemukakan ada empat tahap

perbuatan atau kegiatan kreatif:

1. Tahap persiapan atau preparation, merupakan tahap awal berisi kegiatan pengenalan

masalah, pengumpulan data informasi yang relevan, melihat hubungan antara hipotesis

dengan kaidah-kaidah yang ada. Tetapi belum sampai menemukan sesuatu, baru menjajagi
kemungkinan-kemungkinan. Hilang begitu saja, tetapi masih terus berlangsung dalam diri

individu yang bersangkutan. Hal ini menyangkut fase atau tingkatan kedua yaitu inkubasi.

2. Tingkat inkubasi, yaitu berlangsungnya maslah tersebut dalam jiwa seseorang, karena

individu tidak segera memperoleh pemecahan masalah.

3. Tingkat pemecahan atau iluminasi, yaitu tingkat mendapatkan pemecahan

masalah.

4. Tingkat evaluasi, yaitu mengecek apakah pemecahan yang diperoleh pada tingkat

iluminasi itu cocok atau tidak. Apabila tidak cocok lalu meningkat pada tingkat

berikutnya.

5. Tingkat revisi, yaitu mengadakan revisi terhadap pemecahan yang diperolehnya.

2.5.3 Indikator berpikir kreatif

Indikator berpikir kreatif adalah sebagai berikut :

1. Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak ide verbal nonverbal dalam

merespon masalah yang tidak memilki satu jawaban benar.

2. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk mengambil pendekatan berbeda untuk suatu

masalah, memikirkan ide dalam kategori berbeda, atau melihat masalah dalam perspektif

berbeda.

3. Keaslian itu berarti keunikan, ketidaksamaan dalam pemikiran dan tindakan, fleksibilitas,

atau cara berpikir yang unik.

4. Elaborasi adalah kemampuan untuk mengembangkan, memperhalus, menyempurnakan,

dan bahkan menerapkan ide.

5. Transformasi hampir berarti kreativitas, yaitu merubah satu ide atau objek lain dengan

melakukan modifikasi, mengkombinasi, atau mengganti, atau dengan melihat makna baru,

dampak, penerapan, atau adaptasi ke pengguna baru.


Menurut Johnson (2002), berpikir kreatif yang membutuhkan ketekunan,disiplin diri dan

perhatian penuh, meliputi aktivitas mental seperti:

1. Mengajukan pertanyaan.

2. Mepertimbangkan informasi baru dan ide yang tidak lazim dengan pikiran

terbuka.

3. Membangun keterkaitan, khususnya di antara hal-hal yang berbeda.

4. Menghubungkan berbagai hal dengan bebas.

5. Menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal baru dan

berbeda.

6. Mendengarkan intuisi.

Ciri berpikir kreatif antara lain : fluency, flexibility, originality, elaboration dan

problem sensitivity. Untuk mengetahui tingkat keterampilan berpikir kreatif dalam

pembelajaran menggunakan indikator sebagai berikut:

a) Kelancaran menjawab (fluency) adalah kemampuan siswa dalam membangun banyak ide.

Semakin banyak peluang yang didapat, maka semakin banyak peluang untuk mendapatkan

ide-ide yang bagus.

b) Keluwesan menjawab (flexibility) adalah kemampuan siswa dalam membangun ide yang

beragam yaitu kemampuan untuk mencoba berbagai pendekatan dalam memecahkan

masalah.

c) Keaslian menjawab (originality) adalah kemampuan siswa dalam menghasilkan ide-ide

yang luar biasa yang tidak umum atau kemampuan siswa dalam menjawab masalah

dengan menggunakan bahasa, cara, atau idenya sendiri

d) Menguraikan jawaban (elaboration) adalah kemampauan siswa dalam memotong,

mengembangkan, membubuhi ide/produk atau kemampuansiswa dalam memperluas

jawaban masalah maupun gagasan baru.


e) Kepekaan masalah (problem sensitivity) adalah kemampuan mengenal adanya suatu

masalah atau mengabaikan fakta yang kurang sesuai untuk mengenal masalah yang

sebenarnya

Anda mungkin juga menyukai