Anda di halaman 1dari 15

PEMBELAJARAN IPA INTERDISIPLINER TERINTEGRASI

KARAKTER SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN  KETERAMPILAN


PROSES SAINS PADA SIKAP ILMIAH MERDEKA BELAJAR
 
Hariyono
UPTD SD Negeri 3 Kalianyar Kab. Indramayu
Hariyonohari740@gmail.com
 
 

               Kurikulum terpadu merdeka belajar telah menerima dukungan yang


cukup besar sehubungan untuk menyediakan pengalaman belajar yang bermakna
yang meningkatkan pengetahuan dan pemahaman konseptual dalam merdeka
belajar. Alasan untuk pelaksanaan kurikulum terpadu adalah untuk
menunjukkan bagaimana pengetahuan di seluruh disiplin ilmu saling terkait
dalam dunia alam ,

       Kompetensi-kompetensi yang diharapkan dari mata pelajaran IPA pada


kurikulum 2013 dalam konsep merdeka belajar, dapat dipandang sebagai salah
misi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah diamanahkan dalam
undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 3. Tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan tersebut, akhlak mulia merupakan
salah satu tujuan pendidikan nasional yang harapannya menjadi karakter peserta
didik Indonesia. Selain itu,  berilmu dan kreatif dipandang sebagai bagian dari
kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Semakin maju perkembangan dunia, tentu masalah yang timbul pun semakin
banyak.

       Pembelajaran IPA di sekolah hendaknya menekankan pada pemberian


pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan
keterampilan proses serta sikap ilmiah, untuk mengembangkan kompetensi
(Kemendikbud, 2014). Keterampilan proses sains merupakan keterampilan yang
dikembangkan untuk menyelidiki dunia di sekitar mereka dan  membangun
konsep ilmu pengetahuan. Sedangkan sikap ilmiah adalah bagaimana para
ilmuwan bersikap ketika melakukan proses dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan tersebut. Menurut Trianto (2007) dalam Zubaidah (2010)
mengungkapkan bahwa mengajar dengan keterampilan proses merupakan hal
yang penting karena dapat memberi kesempatan kepada siswa mengembangkan
ilmu pengetahuan. Belajar akan lebih bermakna apabila siswa mengalami sendiri
apa yang dipelajari  bukan hanya sekadar mengetahuinya.

   Pembelajaran IPA saat ini umumnya lebih terorientasi pada aspek produk
sains dan kurang mengembangkan proses sains. Guru sebagian besar masih
menggunakan metode konvensional sebagai metode andalan, karena masih
menganggap bahwa materi tidak akan tuntas jika banyak menggunakan
metode/model lainnya.  Hal ini tampak pada perkembangan siswa dalam aspek
afektif maupun psikomotor, misalnya kebanyakan siswa lebih bersifat pasif,
enggan, takut atau malu untuk mengemukakan pendapatnya. Keadaan semacam
ini sedikit banyak akan mengganggu kelancaran pembelajaran dan juga
kreativitas siswa dalam kegiatan pembelajaran. Menurut  Hartanto (2012), 
guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
pemikiran mereka dalam menemukan konsep pembelajaran IPA secara mandiri
juga tidak berkembangnya proses interaksi antar siswa maupun interaksi siswa
dengan lingkungan bahkan interaksi antara siswa dengan guru.

Pembelajaran IPA Dalam Konsep Merdeka Belajar


    Pembelajaran IPA tentu tidak terlepas dari definisi IPA itu sendiri. Chiappeta
dan Collete (1994: 29) memandang IPA sebagai jalan berpikir dalam mencari
pemahaman tentang alam, jalan investigasi untuk menjelaskan fenomena alam,
dan pengetahuan yang diperoleh dari inkuiri/penyelidikan. Definisi ini
memberikan pemahaman bahwa IPA tidak terlepas dari proses kognitif dengan
jalan berpikir, melakukan dengan jalan investigasi, dan produk berupa
pengetahuan yang diperoleh diperoleh dari melakukan. Trevil dan Hazen
(2000) menjelaskan bahwa IPA tidak hanya seperangkat fakta atau katalog
jawaban, melainkan sebuah proses untuk melakukan pengkajian yang
berkelanjutan dengan lingkungan fisik. Menurutnya IPA tidak hanya dipandang
sebagai produk berupa fakta, konsep, atau sebuah hukum semata. Tetapi, dalam
IPA terkandung scientific attitude dan scientific processes dalam rangka
melakukan pengkajian yang berkelanjutan terhadap alam sehingga dapat sampai
pada application science dalam kehidupan. Adapun langkah awal untuk
memahami fenomena alam menurut Tiller et. al, (2007: 3) adalah dengan
‘melakukan penginderaan’ yang biasanya melibatkan benda-benda di lingkungan,
serta sesuatu yang dapat dilihat atau disentuh.
Konsep pembelajaran terpadu,yang intinya adalah pembelajaran yang
mengorganisasikan isi bahan belajar dari sejumlah mata pelajaran dalam satu
fokus, batas-batas nama mata pelajaran sudah tidak tampak lagi (blending,
fusion, unification of diciplines, Oliva, (dalam Kurniawan, D. 2011). Pandangan
Oliva atas pengertian integrasi, selanjutnya akan mengalami pengayaan. Karena
ada bagian yang oleh Oliva dipandang tidak masuk kategori integrasi tapi
korelasi, ahli lain memasukkannya sebagai integrasi. Meskipun dalam kategori
integrasi yang tidak terlalu kuat. Sedangkan menurut Forgaty (1991),
membedakannya atas dasar rentang keteterpaduan, yang secara garis besar
terdiri dari keterpaduan dalam satu mata pelajaran yang sama (within single
diciplines), keterpaduan lintas mata pelajaran (across several diciplines), dan
keterpaduan internal siswa (within and across learner).Fogarty menempatkan
integrasi lebih luas, dalam pengertian mewadahi berbagai pandangan tentang
konsep integrasi itu sendiri. Sebab kalau kita lihat lebih jauh, konsep integrasi
dalam kurikulum dan pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)  merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang
tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada
gejala-gejala alam. Perkembangan IPA selanjutnya tidak hanya ditandai oleh
adanya kumpulan fakta saja, tetapi juga munculnya “metode ilmiah” (scientific
methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian ”kerja ilmiah” (working
scientifically), nilai dan “sikap ilmiah” (scientific attitudes). Sejalan dengan
pengertian tersebut, IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling
berkaitan dengan bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu
hasil eksperimen dan observasi, dan selanjutnya akan bermanfaat untuk
eksperimentasi dan observasi lebih lanjut.  
Merujuk pada pengertian IPA di atas, maka hakikat IPA meliputi empat unsur,
yaitu: (1) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (2) proses: yaitu
prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi
pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau
penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran,
dan penarikan kesimpulan; (3) aplikasi: merupakan penerapan metode atau
kerja ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari; (4) sikap: yang
terwujud melalui rasa ingin tahu tentang obyek, fenomena alam, makhluk hidup,
serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru namun dapat
dipecahkan melalui prosedur yang benar. Oleh karena itu IPA bersifat open
ended  karena selalu berkembang mengikuti pola perubahan dinamika dalam
masyarakat.
            Melalui pembelajaran IPA terpadu, peserta didik dapat memperoleh
pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima,
menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah dipelajarinya. Dengan demikian,
peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang
dipelajari secara menyeluruh (holistik), bermakna, otentik dan aktif. Cara
pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh
terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar
yang lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual akan menjadikan proses
belajar lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang relevan akan membentuk skema kognitif,
sehingga anak memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan
keutuhan belajar IPA, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan, dunia nyata
dan fenomena alam hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu

Badley (1986 ) menggambarkan empat mode mengintegrasikan kurikulum:


fusion penggabungan , korelasi , dan harmonisasi . Fusion bergabung bersama-
sama setidaknya dua disiplin yang terpisah . Misalnya , ilmu fisika bergabung
bersama-sama disiplin fisika dan kimia ,penggabungan menambahkan atau
menyerap satu elemen kurikulum ke lain .  Kasus (1991 ) mendefinisikan dan
menjelaskan komponen integrasi dan implikasinya bagi praktek mengajar .
Bentuk integrasi yang dijelaskan oleh Kasus mencakup integrasi konten ,
integrasi keterampilan dan proses , integrasi sekolah dan diri ( persimpangan
tujuan sekolah dan pribadi ) , dan integrasi holistik ( semua praktik formal dan
informal , rutinitas , metode , aturan , dan pengaruh berbasis sekolah pada
pembelajaran.

   Menurut pandangan Sadler (dalam Kurniawan, D. 2011 dalam Concepts of


Prymary Education, ternyata terdapat sejumlah pemaknaan. Dimana kejelasan
akan framework yang digunakan, apa yang akan diintegrasikan, dan prinsip-
prinsip yang dijadikan landasan kerja integrasi sangat penting.tanpa itu semua,
berbicara tentang integrasi menjadi tidak bermakna (meaningless). Merujuk
pada penjelasan Sadler, ada tiga konsep dasar tentang ide integrasi dalam
kurikulum dan pembelajaranyaitu integrasi yang berbasis pada konsep
‘wholeness”,  ide integrasi berbasis pada kebutuhan (siswa), dan ide integrasi
berbasis disiplin ilmu. Masing-masing memiliki logika tersendiri.
   Fogarty mengajukan tiga klasifikasi model pengintegrasian kurikulum.
Masing-masing klasifikasi terdiri dari beberapa model, yang jumlah seluruhnya
ada sepuluh model. Kesepuluh model ini merentang dalam bentuk kontinum
yang memiliki dua kutub, dari kutub yang tingkat integrasinya tidak adan, lemah
dan sederhana ke kutub yang tingkat integrasinya kuat dan kompleks. Berikut
ini klasifikasi dan model-model integrasi yang menggambarkan keragaman
pandangan tentang cara pengintegrasian kurikulum (how to integrate curricula)
menurut Fogarty.
1. Integrasi dalam satu displin/mata pelajaran (Within Singel Disiplines)
Integrasi dalam satu disiplin atau satu mata pelajaran ini terdiri dari tiga model
yaitu model fragmented, model connected, dan model nested.
2. Integrasi Lintas Disiplin (Across Several Disiplines)
Integrasi lintas disiplin ini terdiri dari lima model yaitu: model sequenced,
model shared, model webbed, model threaded, dan model integrated.
3. Integrasi inter dan antar (internal) siswa (Within and Across Learner)
Integrasi dalam kategori ini didefinisikan sebagai integrasi yang terjadi secara
internal di dalam siswa. Suatu proses integrasi yang bukan hasil rekayasa
eksternal, akan tetapi karena proaktif siswa berdasarkan orientasi yang ingin
dicapainya. Pada kategori ini ada dua model yaitu model integrated dan model
networked.
 
Keterampilan proses dalam Perspektif Merdeka Belajar
 Keterampilan proses sains adalah keterampilan yang diperoleh dari latihan
kemampuan-kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai
penggerak kemampuan yang lebih tinggi (Rustaman et al  :2005) . Hal ini
senada menurutSemiawan (1992) dalam Fatmawati (2013) menyatakan bahwa
keterampilan proses sains adalah keterampilan fisik dan mental terkait
kemampuan-kemampuan yang mendasar yang dimiliki, dikuasai, dan
diaplikasikan dalam suatu kegiatan ilmiahsehingga para ilmuan berhasil
menemukan sesuatu yang baru.
 Menurut Wilujeng, et all (2010) keterampilan proses sains adalah dasar
pemecahan masalah dalam sains dan metode ilmiah, sehingga pembelajaran IPA
harus membuat siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan dan
pengembangan sikap ilmiah.  Pembelajaran dilaksanakan dengan mengaitkan
materi pembelajaran dengan kehidupan nyata yang  ada di sekitar siswa. Siswa
mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta
menumbuhkan sikap dan nilai yang dimiliki Ausubel (1968) dan Depdiknas
(2002) dalam Muhfahroyin (2012).

Keterampilan proses bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak didik


menyadari, memahami dan menguasai rangkaian bentuk kegiatan yang
berhubungan dengan hasil belajar yang telah dicapai anak didik. Rangkaian
bentuk kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan mengamati, menggolongkan,
menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian, dan
mengkomunikasikan  (Rustaman et al  :2005).
      Carin (1992) dalam Rustaman (2011) pentingnya keterampilan proses
yaitu: (1) sains tidak terpisahkan dari metode penyelidikan sehingga tidak
hanya mengetahui materi tetapi bagaimana cara mengumpulkan dan
menghubungkan fakta menjadi suatu ksimpulan; (2) keterampilan proses
merupakan ketrampilan belajar sepanjang hayat yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.  Ausubel (1968)  dalam Ango (2002) mengemukakkan
bahwa keterampilan proses seperti mengukur, mengamati, mengklasifikasikan
dan memprediksi, sangat penting untuk pengembangan pemahaman berbuah
ilmiah konsep dan proposisi dan untuk penggunaan bermakna prosedur ilmiah
untuk memecahkan masalah dan untuk menerapkan pemahaman ilmiah untuk
hidup sendiri

   Menurut LaBanca (2006) adalah bahwa siswa mampu mendefinisikan konsep,


peristiwa , dan tindakan untuk merancang percobaan mereka dan
mengkomunikasikan hasil. Dengan kata lain sebagai siswa diperlukan untuk
memahami konsep-konsep ilmiah untuk melanjutkan eksperimen mereka,
mereka menggunakan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut, sehingga siswa mampu mengembangkan ketrampilan proses.

  Menurut Rustaman et al (2011) ada berbagai keterampilan dalam


keterampilan proses, keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari
keterampilan-keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan-keterampilan
terintegrasi (integrated skills). Keterampilan-keterampilan dasar terdiri dari
enam keterampilan, yakni: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi,
mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan-
keterampilan terintegrasi terdiri dari: mengidentifikasi variabel, membuat
tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan hubungan
antar-variabel, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisa penelitian,
menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, merancang
penelitian, dan melaksanakan eksperimen.
    Hal senada diungkapkan oleh Collete & Chiappetta (1994) menyatakan
bahwa keterampilan proses sains (science process skill) dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu keterampilan proses sains dasar (basic science process skill) dan
keterampilan proses sains yang terintegrasi (integrated science process
skill). Keterampilan proses sains dasar mencakup:
1. Mengobservasi (observing), yaitu menggunakan lima indera untuk menemukan informasi
tentang karakteristik benda, sifat-sifat benda, kesamaan-kesamaan benda dan ciri-ciri dentifikasi
lainnya.
2. Mengklasifikasikan (classifying), yaitu proses pengelompokkan dan pengurutan benda-benda.
3. Hubungan ruang/waktu (space/time relation), yaitu memvisualisasikan objek dan peristiwa.
4. Menggunakan bilangan (using number), yaitu menggunakan hubungan kuantitatif seperti notasi
ilmiah, ketidakpastian, angka penting, ketelitian, rasio, dan proporsi.
5. Melakukan pengukuran (measuring), yaitu membandingkan kuantitas yang tidak diketahui
dengan kuantitas yang diketahui, seperti satuan pengukuran standar dan non standar.
6. Menginferensi (inferring), yaitu pembentukan ide-ide untuk menjelaskan pengamatan.
7. Memprediksi (predicting), yaitu pengembangan asumsi dari hasil yang diharapkan.
Keterampilan proses sains yang terintegrasi mencakup:

1. Merumuskan definisi operasional (defining operationally), yaitu mengembangkan istilah-istilah


khusus untuk mendeskripsikan apa yang terjadi dalam penyelidikan didasarkan pada karakteristik
yang dapat diamati.
2. Memformulasikan model (formulating model), yaitu mengkontruksika objek atau persamaan
matematis untuk menjelaskan sebuah ide.
3. Mengontrol variabel (controlling variables), yaitu memanipulasi dan mengontrol variabel
bebas (independent), terikat (dependent), dan control (control).
4. Menginterpretasi data (interpreting data), yaitu menjelaskan atau menyimpulkan suatu data hasil
penyelidikan yang sudah tertuang pada sebuah grafik atau table data.
5. Merumuskan hipotesis (hypothesizing), yaitu membuat suatu prediksi yang didasarkan pada
bukti-bukti penelitian dan penyelidikan sebelumnya.
Sikap ilmiah Mereka Belajar
            Sikap atau ‘attitude’ merupakan kecenderungan untuk bertindak
(tendency to behave). Malah menurut R.T. White (1988), wilayah ‘attitude’
mencakup juga wilayah kognitif. Attitude dapat membatasi atau mempermudah
anak untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai.
Anak tidak akan berusaha untuk memahami suatu konsep jika dia tidak
memiliki kemauan untuk itu (ingat kemauan berada dalam wilayah sikap).
Karena itu, attitude seseorang terhadap mata pelajaran sangat berpengaruh pada
keberhasilan learning (kegiatan pembelajaran). Scientific attitude mengandung
dua makna (Harlen, W. 1985), yaitu attitude to science dan attitude of
science. Attitude yang pertama mengacu pada sikap terhadap IPA
sedangkan attitude yang kedua mengacu pada sikap yang melekat setelah
mempelajari IPA.
   Pembentukan sikap ilmiah merupakan hal penting dalam kehidupan
bermasyarakat karena dapat membentuk pribadi manusia yang selalu melakukan
pertimbangan dengan menggunakan rasio yang dimiliki sebelum melakukan
sesuatu. Sikap ilmiah berkaitan dengan suatu sikap atau pendirian yang muncul
dari dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku
terhadap suatu objek. Sikap ilmiah yang dapat dibentuk seperti sikap ingin tahu
(curiosity), kejujuran (honesty), mampu bekerjasama dengan orang lain
(cooperative), sikap untuk senantiasa mendahulukan bukti (respect for
evidence), sikap berpikir kritis (critical thinking), sikap kreatif dan
penemuan (creativity and inventiveness), keterbukaan (open minded),
serta sikap peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan (sensitivity to living
things and environment).Melalui pendidikan IPA diharapkan siswa mampu
mengenal dan mempelajari diri sendiri serta alam sekitar. Selain itu, melalui
pendidikan tersebut diharapkan pengetahuan yang telah diketahui oleh siswa
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh karena ini, proses
pembelajaran dalam pendidikan sains harus dilakukan sesuai dengan pandangan
dari perspektif konstruktivis. Perspektif konstruktivis memandang bahwa
pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa,
namun pengetahuan tersebut harus dibangun secara aktif oleh siswa sendiri
melalui pengalaman nyata.
   Diantara berbagai model pembelajaran terpadu, manakah yang terbaik?
Masing-masing model memiliki dasar pemikiran tertentu, dengan demikian
jawaban atas pertanyaan tersebut bukan men-judgement salah satuyang terbaik,
tapi yang mana dan kapan jenis organisasi itu sebaiknya digunakan. Karena
masing-masing model teoritik maupun pada tataran praktik. Maka, pada
dasarnya semuanya bisa digunakan sepanjang sejalan dengan logika yang
mendasari masing-masing model organisasi kurikulum tersebut.
   Model pembelajaran terpadu sendiri merupakan jabaran lebih lanjut atau
implementasi dari model organisasi kurikulum ketiga yaitu integrated model.
Dalam tataran teoritik memang ada organisasi kurikulum yang terintegrasi, tapi
apakah dalam tataran praktik, terutama di dunia pendidikan Indonesia,
kurikulum 2013 menggunakan  model terpadu. Terutama para guru yang ada
pada jenjang pendidikan yang sama dalam proses pembelajarannya diharuskan
menggunakan pendekatan terpadu.
 Dalam proses pembelajaran IPA, faktor sikap ilmiah yang berasal dari dalam diri
siswa berpengaruh terhadap hasil belajar IPA. Hal ini sejalan yang pendapat yang
dinyatakan Syah (2007:146) bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
kuantitas dan kualitas perolehan belajar siswa termasuk aspek psikologi seperti
sikap yang berasal dari dalam diri siswa. Sardinah, dkk (2012:72) juga
menyatakan bahwa dalam pembelajaran IPA, sikap tersebut merujuk pada sikap
ilmiah terhadap perolehan ilmu pengetahuan alam sekitar. Sikap ilmiah yang
dapat dikembangkan melalui aktivitas pembelajaran tersebut meliputi sikap ingin
tahu, kejujuran, mampu bekerjasama dengan orang lain, sikap untuk senantiasa
mendahulukan bukti, sikap berpikir kritis, sikap kreatif dan penemuan,
keterbukaan,sertasikap peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan.
   Sikap ilmiah yang dimiliki siswa dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan di
kelas. Siswa yang memiliki sikap ilmiah tinggi akan menunjukkan perilaku yang
terlibat lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran. Sikap-sikap tersebut menjadi
modal dasar dalam mengembangkan kemampuan berpikirnya sehingga konten
pembelajaran menjadi lebih mudah dipahami. Dengan tumbuhnya sikap ilmiah
yang baik terhadap diri siswa akan memperkuat aktivitas siswa dalam belajar
sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa. Apabila sikap ilmiah
merupakan faktor dalam, maka faktor luar seperti model pembelajaran memiliki
pengaruh pula terhadap hasil belajar IPA. Pendapat tersebut didukung dengan
pendapat Syah (2007:155) yang menyatakan bahwa selain faktor-faktor yang
berasal dalam maupun luar, faktor pendekatan belajar yang digunakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar siswa yang bersangkutan.
Model pembelajaran yang digunakan di kelas dapat dorongan siswa dalam
proses pembentukan sikap ilmiahnya. Sikap ilmiah yang dimiliki siswa tidak
mempengaruhi model pembelajaran, namun penerapan dari model pembelajaran
dapat memfasilitasi terbentuk dan berkembangnya sikap ilmiah siswa dalam
menentukan tinggi rendah hasil belajar IPA siswa. Sikap ilmiah tinggi yang
dimiliki siswa dan didukung oleh model pembelajaran yang sesuai, maka akan
mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, interaksi antara
model pembelajaran dengan sikap ilmiah yang dimiliki siswa dapat
mempengaruhi hasil belajar siswa.

Pembelajaran IPA untuk mengembangkan karakter (akhlak mulia)


Peserta didik
   Terkait pembelajaran IPA yang dapat mengembangkan akhlak mulia peserta
didik tentu sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter. Zuhdi (2008:
39) menjelaskan bahwa karakter merupakan seperangkat sifat-sifat yang selalu
dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikkan, kebijakan, dan kematangan moral
seseorang. Pendapat lain menurut Adisusilo (2012: 78), bahwa di dalam
karakter terkandung makna adanya sifat-sifat baik yang melekat pada diri
seseorang sehingga tercermin pola pikir dan pola tingkah lakunya. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dipahami bahwa karakter merupakan sesuatu yang baik
sebagai bentuk perwujudan dari akhlak mulia.

   Pendidikan sebagai upaya yang dilakukan untuk membangun karakter


menurut Kemendiknas (2011: 6) merupakan usaha menanamkan kebiasaan-
kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan
bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Definisi ini
memberikan pemahaman bahwa pengembangan akhlak mulia peserta didik
melalui pembelajaran IPA dapat dilakukan dengan menanamkan kebiasaan-
kebiasaan yang baik kepada peserta didik. Sejalan dengan definisi tersebut
Lickona (2000: 48) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya sengaja
untuk melatih kebaikkan secara objektif, membentuk kualitas individu yang baik
untuk dirinya sendiri dan keseluruhan masyarakat.
   Pembelajaran IPA yang didalamnya melatihkan kebaikkan secara objektif
kepada peserta didik, akan memberikan dampak yang positif dalam
mengembang-kan akhlak mulia peserta peserta didik. Secara teknis upaya
melatihkan kebaikkan kepada peserta didik dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam pembelajaran IPA.
Pengintegrasian tersebut menurut Sukardjo (2010: 25) merupakan langkah
pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-
nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku siswa sehari-hari
melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam atau di luar kelas
termasuk pada mata pelajaran IPA.

  Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran IPA dipandang


sebagai suatu upaya efektif untuk mengembangkan akhlak mulia peserta didik.
Pandangan ini merupakan suatu yang logis karena dengan melatihkan kebaikan
kepada peserta didik dalam pembelajaran akan mempengaruhi aspek kepribadian
peserta didik. Aspek kepribadian tersebut menurut Kemendiknas (2011: 6)
adalah pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik (moral
feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Adisusilo (2012: 79)
menyatakan bahwa pengetahuan nilai (moral knowing) akan membawa pada
proses internalisasi nilai, dan proses internalisasi nilai akan mendorong
seseorang untuk mewujudkannya dalam tingkah laku, dan akhirnya pengulangan
tingkah laku yang sama akan menghasilkan karakter seseorang.
  Sudah barang tentu karakter peserta didik tidak dapat dibentuk dalam waktu
yang singkat, butuh waktu yang lama dan berkesinambungan. Lebih lanjut
menurut Asmani (2011: 31) keteladanan guru membantu membentuk watak
perserta didik. Sehingga harapan terbentuknya peserta didik yang memiliki
karakter mengharuskan guru memiliki keteladanan yang baik tentang karakter-
karakter tersebut. Keteladanan merupakan suatu hal yang terpenting dalam
upaya mengembangkan akhlak mulia peserta didik.
   Keteladanan yang baik dari siapa pun, kapan pun, dan dimana pun merupakan
sesuatu yang harus diperoleh peserta didik dalam upaya untuk mengembangkan
akhlak mulia mereka. Sebagaimana ajaran-ajaran salafus soleh terdahulu bahwa
keteladanan adalah upaya efektif untuk mengajarkan kebaikkan. Semboyan Ki
Hajar Dewantara “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani” bukankah semboyan yang mengisyaratkan bahwa keteladan adalah
suatu hal yang penting sebagai contoh bagi yang dibawahnya?. Memang menjadi
suatu keharusan bagi seorang guru untuk menjadi teladan yang baik. Sehingga
secara khusus dalam pembelajaran IPA, guru IPA harus menjadi teladan yang
baik bagi peserta didiknya. 
Berdasarkan konteks pendidikan karakter yang dintegrasikan dalam
pembelajaran, beberapa penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa
pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam pembelajaran dapat membentuk
karakter peserta didik. Beberapa penelitian tersebut adalah:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Darcia Narvaez and Daniel K. Lapsley (2008), yang
menyimpulkan bahwa karakter dapat dikembangkan secara implisit dan melalui praktek
pembelajaran.
2. Penelitian yang dilakukan Andi Setyo Wibawa, Saptrorini, Retno Sri Iswati (2013), yang
menyimpulkan bahwa bahan ajar IPA terpadu berbasis pendidikan karakter pada tema Dampak
Bahan Kimia Rumah Tangga terhadap Lingkungan yang dikembangkan dapat memunculkan
karakter siswa sehingga efektif dan dapat diterapkan bagi siswa SMP/ MTs Kelas VIII.
            Lickona (1996) mengidentifikasi sepuluh butir kecenderungan remaja
yang tampak dalam perilakunya sehari-hari yaitu: 1) meningkatnya
pemberontakan remaja, 2) meningkatnya ketidakjujuran, 3) berkurangnya rasa
hormat terhadap orang tua, guru, dan pemimpin, 4) meningkatnya kelompok
teman sebaya yang kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan dan perampokan,
6) berbahasa tidak sopan, 7) merosotnya etika dan etos kerja, 8) meningkatnya
sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab, 9)
timbulnya gelombang perilaku yang menyimpang, seperti perilaku seksual
prematur, penyalahgunaan obat terlarang dan perilaku bunuh diri, dan 10)
tumbuhnya ketidaktahuan sopan-santun, termasuk mengabaikan moral sebagai
dasar hidup, seperti suka memeras, tidak menghormati peraturan-peraturan, dan
perilaku membahayakan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, pendidikan
karakter perlu ditingkatkan intensitas dan kualitasnya pada semua jalur dan
jenjang pendidikan, melalui pengintegrasian ke dalam seluruh mata pelajaran di
sekolah.
          Pelaksanaan pendidikan karakter melalui pilar sekolah didasarkan atas
tiga alasan penting yaitu: 1) Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian
yang utuh dalam diri manusia. Setiap manusia harus memiliki pikiran yang kuat,
hati nurani, dan kemauan untuk berkualitas seperti memiliki kejujuran, empati,
perhatian, disiplin diri, ketekunan dan dorongan moral; 2) Sekolah merupakan
tempat yang baik dan kondusif untuk melaksanakan proses pembelajaran      dan
pendidikan nilai-nilai; dan 3) Pendidikan karakter sangat esensial untuk
membangun masyarakat bermoral. Pendidikan karakter memiliki dua tujuan
utama yaitu kebijakan dan kebaikan. Pendidikan tentang kebaikan merupakan
dasar demokrasi, karena itu dua nilai moral penting yang harus diajarkan dalam
pendidikan karakter adalah rasa hormat dan tanggung jawab (respect and
responsibility). Di samping itu ada sejumlah nilai yang perlu diajarkan melalui
pendidikan karakter (Licona, 1991) yaitu: 1 ) kejujuran (honesty), 2)
keterbukaan (fairness), 3) toleransi (tolerance), 4) kehati-hatian (prudence),
5) disiplin-diri (self-dicipline), 6) membantu dengan tulus (helpfulness), 7)
rasa haru (compassion), 8) bekerjasama (cooperation), 9) keteguhan hati
(courage), dan 10) nilai-nilai demokrasi (democratic values). Nilai-nilai
karakter tersebut perlu dibangun dan ditumbuhkembangkan melalui proses
pembelajarandi sekolah.         
          Dalam upaya peningkatan efektivitas pendidikan karakter, maka perlu
dikembangkan kultur sekolah yang positif. Lickona (1991) menyarankan
pengembangan kultur yang positif mencakup enam elemen yaitu kepemimpinan
kepala sekolah, disiplin sekolah dan keteladanan, rasa persaudaraan, praktek
kepemimpinan yang demokratis, suasana kehidupan yang bermoral, dan
peningkatan kesadaran akan pentingnya moralitas. Jika keenam elemen tersebut
terimplementasi dalam kehidupan di sekolah/kampus, maka peserta didik akan
terbentuk menjadi generasi masa depan yang cerdas, berdaya saing, dan
berkarakter baik.
 
DAFTAR PUSTAKA:
Adisusilo, S. (2012). Pemebalajaran nilai-karakter, konstruktivisme dan VCT
sebagai inovasi pendekatan pembelajaran afektif. Jakarta: Rajawali Pers.
Asmani, J. M. 2012. Buku panduan internalisasi pendidikan karakter di sekolah.
Yogyakarta: Diva Press.
Brickman, et all (2009).Effects of Inquiry-based Learning on Students’ Science
Literacy Skills and Confidence. International Journal for the Scholarship of
Teaching and Learning; Georgia Southern University.
Kemendikbud. (2014). Ilmu Pengetahuan Alam SMP kelas VIII. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Kemendiknas. (2011). Panduan pengembangan pembelajaran IPA secara
terpadu. Jakarta: Dirjendikdas.
Dahar, R. W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta. Erlangga
Hartanto. (2012). Penerapan Strategi Inkuiri melalui Implementasi Kaji
Pembelajaran (Lesson Study) untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains
dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Kepanjen
Malang. Tesis. Program Studi Pendidikan Biologi, Program Pascasarjana,
Universitas Negeri Malang.
Hasyim, et al. Pengembangan Integrated Assessment Untuk Mengukur
Keterampilan Proses Sains Dan Keterampilan Berpikir Siswa Kelas VII SMP.
Jurnal.Program Studi Pendidikan IPA, Universitas Negeri Yogyakarta.
Joyce, et al (1992). Models of Teaching. Fourt 

Anda mungkin juga menyukai