Hakikat Pembelajaran Sains dan Konsep, Prakonsepsi, Miskonsepsi
Didik Dwi Prastyo/ 130341614788/ Off B 1. Hakikat Pembelajaran Sains Pembelajaran berasal dari kata belajar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pembelajaran berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau mahkluk hidup belajar. Pembelajaran menurut UU Sisdiknas No. 20/2003, Bab I Pasal 1 ayat 20 adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sedangkan menurut Gagne instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar yang bersifat internal (Khanifatul, 2013). Pendidikan Sains dan Teknologi di sekolah diperlukan karena abad 21 yang memasuki era industri sehingga diperlukan tenaga kreatif, terampil, mandiri dan mampu bekerja keras. Untuk mewujudkannya diperlukan peranan sains dan teknologi dalam kurikulum sekolah. Kemajuan sains dan teknologi dapat membawa kebahagiaan bagi manusia namun dapat membawa kesengsaraan apabila penggunaan teknologi tidap tepat. Apabila sumber daya alam dieksploitasi secara tidak terkendali akan membahayakan lingkungan. Oleh karenanya pendidikan sains harus mampu memberikan bekal kepada siswa agar mereka dapat hidup serasi dalam lingkungan sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi yang ada. Menurut Susilo (1999) pembelajaran sains dapat dikategorikan dalam beberapa hal, yaitu: 1. Ranah Konsep Sains berupaya memberikan penjelasan yang masuk akal mengenai hal-hal yang teramati. Ranah konsep ini meliputi fakta, konsep, hukum (prinsip) dan hipotesis serta teori yang digunakan oleh ilmuwan di dalam topiktopik seperti energi, gerak, tingkah laku hewan, perkembangan tumbuhan, dll.
2. Ranah Proses Di dalam pembelajaran
sains
siswa
diberi
pengalaman
belajar
sebagaimana ilmuwan bekerja, yaitu dengan proses tertentu.
3. Ranah Kreativitas Kebanyakan progam pembelajaran sains menekankan pada bagaimana membantu siswa mempelajari suatu informasi/pengetahuan. 4. Ranah Sikap dan Nilai Pembelajaran sains juga berpotensi mengembangkan perasaan, nilai dan keterampilan siswa dalam membuat keputusan. Ranah ini meliputi bagaimana mengembangkan sikap terhadap pelajaran sains di sekolah, terhadap guru sains serta sikap positif terhadap diri sendiri. Ciri sains adalah memiliki nilai ilmiah, kumpulan pengetahuan yang tersusun sistematis, diperoleh dengan cara observasi atau eksperimen, merupakan rangkaian konsep yang saling berkaitan dan meliputi empat unsur, yaitu: produk, proses, aplikasi, dan sikap 2. Konsep, Prakonsepsi, Miskonsepsi Konsep menurut Djamarah (2002), konsep merupakan suatu gagasan atau ide yang didasarkan pada pengalaman tertentu yang relevan dan yang dapat digeneralisasikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu konsep akan terbentuk apabila dua atau lebih objek dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk atau sifat-sifatnya. Konsepsi adalah adalah pemahaman setiap siswa terhadap suatu konsep Block (1971). Jika konsepsi siswa terhadap suatu konsep sama dengan konsepsi para ilmuan, dikatakan siswa tersebut mempunyai konsepsi yang benar. Jika konsepsi siswa terhadap suatu konsep berbeda dengan konsepsi para ilmuan, dikatakan siswa tersebut mengalami miskonsepsi. Biasanya miskonsepsi terjadi pada kesalahan dalam pemahaman hubungan antar konsep. Prakonsepsi adalah konsepsi yang sudah tertanam dalam diri siswa. Sebelum mengikuti
proses pelajaran formal di sekolah, seorang siswa telah
membawa konsep tertentu yang mereka kembangkan dalam pengalaman hidup
mereka sebelumnya. Pengetahuan awal atau prakonsepsi ini kita sebut skema yang bisa diartikan suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya(Suparno 1997).
Miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang tidak sesuai
dengan
pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para ilmuwan.
Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan
konsepsi para ilmuwan, hanya dapat diterima dalam kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi. Block (1971) mendefinisikan miskonsepsi sebagai pertentangan atau ketidak cocokan konsep yang dipahami seseorang dengan konsep yang dipakai oleh para pakar ilmu yang bersangkutan. Secara garis besar, penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Penyebab miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan dalam beberapa hal, antara lain: - Prakonsepsi atau konsep awal siswa - Pemikiran asosiatif - Pemikiran humanistik - Reasoning yang tidak lengkap/salah - Intuisi yang salah - Tahap perkembangan kognitif siswa - Kemampuan siswa - Minat belajar siswa. Miskonsepsi pada Biologi, penelitian yang berkaitan dengan miskonsepsi biologi telah banyak dilakukan dan terdapat dalam berbagai bidang, antara lain, terdapat miskonsepsi tentang tubuh manusia (Prokop, 2006); genetika, seleksi alamiah, dan evolusi (Gregory, 2009), sel (Kindfield, 1994), fotosintesis (Ekici, 2007; Boo, 2005), dan lain-lain. Teknik Identifikasi Miskonsepsi harus memiliki sifat tahan lama dan sulit untuk diubah. Miskonsepsi yang mengarah pada kesalahan pengertian mempunyai pengaruh yang merugikan dan berkelanjutan. Apabila pengaruh ini hanya sementara tidak akan menjadi masalah, namun apabila bertahan lama itu akan sangat membahayakan siswa.