Anda di halaman 1dari 6

Tema : Persahabatan

Beruang kala senja

“Bzzzttt”, begitu kurang lebih bunyi notifikasi alarm HP yang membangunkan Kara,
pesan itu bertuliskan “Meet up Rangga & Chandra”. Sahabatnya yang sudah lama tidak dia
temui. Sifat Rangga yang pentakilan dan Chandra yang konyol sedikit banyak mempengaruhi
Kara dan selalu melekat jika diingat.

Kara dengan susah payah mengumpulkan niat mengangkat diri dari tempat tidur,
menuju ke depan rumah untuk memanaskan motor Beat andalan, sang kuda besi yang sering
menyelamatkan hidup namun kadangkala juga mengantarnya lebih dekat pada kematian.

Kara, seseorang yang biasa-biasa saja, tahun pertama SMA-nya habiskan begitu-
begitu saja. Saat ia naik ke kelas XI, kelasnya kedatangan seorang murid pindahan dari kota.
Namanya Rangga, pindah karena ayahnya seorang tentara dipindahtugaskan tepat di desa
Kara yang merupakan daerah perbatasan, dia duduk sebangku dengannya, sebab Kara berada
dipojok belakang, sangat klise kalo membayangkan sedang melihat kearah jendela.

Waktu berselang tapi anehnya mereka cepat akrab, mulai dari musik, hobi, dan tim
bola yang Raka dukung sama dengan Rangga, keduanya sudah bagai saudara. Ini agak lucu
untuk diceritakan untuk masa sekarang, mereka bersepeda ke arah bukit dekat rumah Kara
dan disana ada pohon mangga besar. Mereka mengukir nama dengan parang bertuliskan
"Kara & Rangga BesT Frend 4ver", ya itu typo sebab memang keduanya tidak ada yang
paham bahasa Inggris.

Sesaat senja datang, dengan nikmat Kara dan Rangga menyantap mangga ranum
sambil memandang awan dan membahas masa depan, Kara yang berasal dari keluarga biasa
saja, cuma bisa mendengar kalau Rangga berceritera ingin menjadi psikolog.

Rangga menyeletuk, "Ka, ayo kuliah aku tau kau mau jadi Ilmuwan kan, tenang aku
yang urus."

Sontak Kara menjawab, "Heh kau enak ngomong, uang dari mana bego."

Rangga yang mulutnya masih dipenuhi sisa-sisa mangga yang belum dikunyah
bergumam, "Santai, kau nanti masuk jalur beasiswa gratis, bapak ku ada kenalan, kekuatan
orang dalam."
Kara menjawab dengan agak ragu, "Tapi...",

"Aku gak mau nawarin orang 2 kali loh," dipotong oleh Rangga.

Kara kembali terdiam dan melihat kearah awan yang berbentuk seperti kepala
beruang. Sambil merangkai kata dalam otaknya yang harus dijelaskan pada Bunda tentang
yang dikatakan Rangga barusan. Sehingga selepas pulang dia mengunci diri dalam kamar
sampai saat makan malam tiba

2 Tahun berselang, keduanya lulus dan bersiap menuju kota memulai perjalanan baru
yang sudah menanti. Kara berkuliah di universitas yang sama dengan Rangga. Sebenarnya
Kara secara akademik mencukupi syarat untuk mendapat beasiswa sehingga tanpa orang
dalam pun ia mempunyai peluang yang cukup besar lolos masuk univeritas tersebut.

Rangga menawari Kara untuk tinggal bersamanya, namun Kara yang tidak enak sebab
sudah banyak merepotkan menolak dan memilih tinggal di kost sekitaran kampus. Kara yang
dari dulu hanya berteman dengan Rangga, tentu kesulitan beradaptasi dengan lingkungan
baru. Ia yang mendapat kamar No. 405, sehingga setiap harinya harus menaiki tangga sampai
ke lantai 4 sekaligus lantai teratas bangunan itu.

Kara memulai ospek fakultas, kebetulan dia yang berasal jurusan Matematika
bergabung bersama dengan jurusan Teknik. Namun di hari pertama, ia lupa memakai ikat
pinggang. Sehingga dia bersama dengan mahasiswa lain yang juga tidak lengkap
peralatannya dihukum jalan jongkok sebanyak 3 putaran lapangan.

Seseorang mengikuti Kara, bahkan sampai di depan gerbang kost, Kara yang merasa
tak nyaman mencoba merogoh saku celana dan mengeluarkan HP untuk menghubungi
Rangga yang sedang kerja kelompok di kampus sambil seolah membeli jajanan pentol yang
kebetulan sering berjualan di daerah itu.

“Ngga, ada stalker ngikutin aku gila!” bisik Kara dalam telpon.

“Hahahaha. Seorang Kara punya fans, calon seleb?,” Rangga menggoda.

Kara yang kesal menjawab, “Hush, serius. Dia ngikutin sampe ke kost! Aku barusan
nonton Youtube sih, tutorial mengunci pergerakan lawan 100% work.”

“Ampun bang Jago. Hahahaha,” sahut Rangga sambil menahan tawa.


Melihat menghubungi sahabatnya adalah hal yang sia-sia, Kara mempersiapkan diri
jika orang tersebut macam-macam dengannya. Tangan kirinya menggenggam gantungan
kunci yang berisikan kunci kost, kunci gerbang kost, dan kunci cadangan kamar kostnya.

“Rangga, bilang aku bodoh karna nyimpan kunci cadangan sama kunci asli di tempat
yang sama. Kau gak tau sekarang itu berguna. Hahahaha I’m Wolverine,” gumam Kara
dengan sombong.

Tapi pemikiran tidak selalu sejalan dengan tindakan, niat dikalahkan dengan nyali.
Kara melangkahkan diri ke orang tersebut, namun hingga di langkah kedua dia berbalik
masuk ke kost. Tidak sampai disana, orang tersebut pun masih mengikutinya sampai dengan
lantai 3 dan tidak terlihat lagi.

“Sial! Aku harus pergi dari kota ini, mengganti identitas dan operasi plastik,” ucap
Kara dalam hati sembari ketakutan dengan cepat menutup pintunya dengan keras.

“Aku udah ngelakuin apa anjirr! Jangan-jangan aku ini anak mafia yang punya kunci
harta karun lalu mereka datang mau membunuhku. Atau aku ini sebenarnya cyborg dari
perusahaan rahasia yang diciptakan untuk menjadi senjata perang,” Kara bertanya pada
dirinya sendiri sembari menatap diri di depan kaca sambil sesekali mencoba menarik-narik
kulitnya.

Kara tidur dengan sangat tidak nyenyak. Keesokan paginya ia bangun dan menyeka
gorden coklat kaca jendela kamarmya sehingga cahaya mahatari masuk dengan terangnya.
Ditemani segelas kopi kiloan dia beli bulan lalu, pahit tanpa gula bukan karena ingin namun
gula tak mampu ia beli di akhir bulan ini. Di balkon kamar bak seseorang yang siap memulai
hari dengan pasti.

“Ah saudaraku, kau selalu anggun dengan terangmu. Eleutherius Bagaskara ini tidak
akan mengecewakanmu, dia akan bersinar juga nantinya,” ucap Kara sambil membusungkan
dada kepada matahari dan berharap ia paham apa yang dikatakan.

“Halo mas, aku di kamar No. 303 lo!,” kata seorang laki-laki yang sedang menjemur
pakaian di lantai 3.

Laki-laki itu tak lain adalah orang yang mengikutinya semalam. Kara langsung masuk
ke kamar tanpa membalasnya, menutup gorden, mematikan lampu, menonaktifkan HP dan
menutupi diri dengan selimut sambil memegang pisau dapur yang masih berbau bawang.
“Tenang Kara, kau sudah nonton film Genji. Kau bisa, kau bisa!,” gumam Kara
menenangkan diri.

“Tok tok,” Bunyi pintu diketuk. Kara penuh keraguan melangkah menuju pintu dan
perlahan membukanya. Pisau masih dia pegang dengan erat di tangan kirinya dan selimut
untuk menjadi baju pelindung darurat. Saat dia buka didapati Rangga, dengan senyum lebar
memandang kearah bawah.

“Hohoho. Masih pagi udah olahraga aja,” Rangga menyerigai sembari kepalanya
kesana kemari memeriksa kamar Kara dari luar.

“Aish, kupikir siapa! Tau gak tadi…,” belum selesai Kara berbicara, keluar seseorang
dari samping tembok.

“Yuhu…,” sapa orang itu.

Kara pingsan seketika, bukan karena ketakutan melihat orang itu. Ia pingsan karena
pisau yang dipegang tidak sengaja menyayat tangannya, mereka semua tidak sadar sebab
darah terserap di selimut tebal. Kara dilarikan ke Rumah Sakit karena kehabisan darah.

Setelah Kara siuman, orang itu memperkenalkan diri. Namanya Chandra, teman
Rangga saat SMP namun pindah saat kelas 9 karena Kakeknya meninggal sehingga
sekeluarga menemani Neneknya yang tinggal sendirian. Dia kebetulan satu kost dengan Kara,
penghuni lantai 3. Rangga memberitahu bahwa ada temannya yang masuk jurusan
Matematika, sebenarnya Chandra yang berasal dari Teknik Mesin berusaha menyapa Kara
namun sedang dihukum.

Saat pulang dia mencoba memanggil Kara, namun ia tidak mendengar yang ternyata
sedang memakai headset. Saat Kara berhenti di gerbang kost untuk membeli pentol, Chandra
berhenti dipojok jalan menunggu orderan yang diantar ojek online. Chandra senang karena
Kara malah seperti ingin menghampirinya tapi malah berlari masuk, padahal Chandra ingin
mengajak makan bersama.

“Ngga, kau yakin dia bakal nyambung sama tongkrongan kita,” tanya Kara kepada
Rangga sambil berbisik.

“Weleh, mau diuji?” sahut Rangga dengan lantang sembari menundukkan kepala
dilanjutkan mengarahkan tangannya ke Chandra.
“Aku rasa kau orang paling bodoh kedua di dunia!” seru Chandra dengan nada
meninggi.

“Loh, yang pertama siapa?” tanya Kara keheranan.

“ Bapak kau” ucap Chandra dilanjutkan suara tawa mereka bertiga mengisi ruangan.

Pertemanan Kara, Chandra dan Rangga semakin erat. Ketiganya memilki julukan
“Trio Langit” yang terinspirasi sinetron yang mereka tonton tiap malam sekaligus mengenang
tokoh utama yang mati ditengah cerita.

Saat libur semester, Chandra ikut pulang ke desa Kara. Chandra menginap di rumah
Rangga. Kara dan Rangga mengajak Chandra pergi ke Gunung besar untuk makan makan.
Chandra tertawa terpingkal-pingkal melihat tulisan yang terukir di badan pohon. Tulisan
pohon itu berubah menjadi "Kara & Rangga BesT FrendLove 4ver + Chandra".

Tidak terasa senja sudah muncul, mereka makan mangga setengah matang sebab akan
dibuat rujak. Chandra yang memang lihai memasak, mulai meracik cabai, jeruk nipis, garam,
gula dan mangga dalam wadah Tupperware yang sudah dimaklumat harus pulang dengan
selamat. Mereka menikmatinya dengan lahap sambil memandang awan seperti beruang.

Setelah kenyang, topik beralih merenungi kisah cinta sambil berangkulan mereka
berteriak menahan tangis.

“Huaaa. Gebetanku Intan udah punya cowok, hancur harapanku” ucap Chandra.

“Lala, kau emang tega meninggalkan diriku dan memilih Arya,” sambung Rangga.

“Siska, aku iklhas kamu baik-baik ya di biara!” seru Kara disertai bunyi ingus yang
ditarik-ulur.

“Tenang, semua akan terluka pada waktunya” celetuk Rangga membuat semua
membisu lalu mereka kembali tertawa.

Sepanjang jalan itulah yang dipikirkan Kara sambil tersenyum kecil dibalik helm dan
dia sudah sampai di tempat bertemu.

“Udah lama ya Ngga, Chan, maap aku akhir-akhir ini sibuk” ucap Kara sambil
menabur bunga dan menuang air di dua makam di bukit besar yang bersampingan menahan
tangis.
Nama : Leudofikus De Ferento

ID Instagram : @de_ferento

No. WA : 085232442407

Email : thepento@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai