Anda di halaman 1dari 5

Ki Ragga namanya, seorang pemimpin dusun yang sangat bijaksana.

Wajah yang rupawan menapakkan


kearifan dan kebaikan hatinya. Tutur sapa yang lembut sudah menjadi ciri khas sang pemimpin ini.
Dibawah pengayoman ki Raggalah Dusun Banjarsawah hidup makmur, sejahtera dan damai. Dusun
Banjarsawah selalu terlihat hijau, dengan hasil panen yang selalu melimpah.

Ki Ragga memiliki dua anak dengan istri yang berbeda. Kedua anak Ki Rangga laki-laki, Ragga dan Jalu
namanya. Rangga adalah anak bungsu Ki Rangga dari istri pertama, Ki rangga berharap anak bungsunya
ini kelak menjadi seorang pemimpin yang menebarkan semerbak wangi laksana bunga. Sedangkan dari
istri kedua anaknya bernama Jalu, Ki Rangga berharap anak keduanya ini berharap kelak menjadi anak
yang tajam seperti taji ayam jago, yang akan memberantas kejahatan.

Pada suatu malam, Ki Rangga menyuruh kedua anakanya duduk di halaman gubuk yang berdinding
anyaman. Ki Rangga memberikan sebuah perintah kepada kedua putranya yang telah beranjak dewasa
untuk meninggalkan kampungnya dan mencari ilmu kepada seorang guru yang akan mereka temui
kelak. Namun, kedua anaknya membantah perintah tesebut dengan alasan ingin menjaga Ki Rangga
yang sudah sepuh. Ki Rangga pun menjawab alasan anaknya dengan perkataan yang membuat hati
kedua anaknya luluh, dan membuat mereka mantap pergi untuk mencari ilmu.

Ki Rangga memerintahkan kepada kedua anakanya untuk pergi mencari ilmu ke arah sesuai naluri
mereka dan mengambil arah yang berbeda. Mereka akan pergi dan akan kembali ke dusun mereka
setelah mereka berdua menimba ilmu dan mencapai waktu empat puluh purmana.

Sebelum mereka pergi meninggalkan bapak dan dusun mereka, Ki Rangga berpesan jika diperjalanan
kalian bertemu seseorang, maka jangan sekali-kali kalian mengganggu orang tersebut, apalagi
menyakitinya. Bantulah orang yang megalami kesulitan. Kemudian rambut mereka dibelai bergantian
dan dicium ubun-ubunnya. Rangga dan Jalu kemudian berlutut dikaki bapaknya dan meminta doa restu.

Seperti yang sudah diharapakan bapaknya, Rangga dan Jalu memilih arah yang berbeda untuk
perjalannya. Rangga bergerak ke arah barat daya, menuju Mahameru. Sementara Jalu berjalan ke arah
selatan menuju ke Gunung Lamongan. Mereka memang telah ditunggu oleh guru meraka dan disambut
hangat. Rangga dan Jalu pun lekas diterima menjadi muridnya. Guru Rangga yang benama Mbah Meru
ternyata adakah teman seperguruan Ki Rangga. Seorang pendekar paling tangguh dikawsan Tengger.
Sementara itu, Jalu berguru pada Lintang Kidul adik seperguruan Ki Rangga yang sudah terkenal
kesaktiannya.

Mereka sangat disayang oleh guru mereka, karena dapat menerima ilmu dengan sangat cepat. Mereka
berdua pun menjadi pemuda yang tangkas memainkan berbagai macam jurus dan juga senjata.
Kesaktian mereka bisa dibilang sudah hampir seperti gurunya, bahkan bisa lebih jika mereka terus
berlatih dan terus menambah ilmu. Meskipun hanya sesekali mereka keluar pedepokan mereka telah
dikenal dikalangan rimba persilatan.

Setelah sekian lama mereka berguru, akhirnya genaplah enam puluh purnama mereka berguru. Sampai
akhirnya mereka lupa dengan Dusun Banjarsawah yang menjadi tanah kelahiran mereka, karena mereka
sedang bernostalgia dengan ilmu yang mereka dapat dari guru mereka.
Sore yang cerah, saat matahari mulai meredupkan sinarnya, Lintang Kidul mengajak muridnya Jalu untuk
pergi ke sebuah bukit. Mereka berdua duduk di atas batu sebesar rumah dipermukaan datar. Lintang
Kidul menunjuk sebuah tempat yang ada dihadapannya, tepatnya mengarah ke tempat yang tak jauh
dari tempat Jalu dilahirkan, bukit Goang namanya. Bukit tersebut berlubang pada salah satu sisinya dan
berwarna kecoklatan. Lintang Kidul menjelaskan bahwa Dusun Banjarsawah sedang mengalami
kekeringan. Tak ada sungai yang mengaliri Dusun tersebut. Lintang Kidul menyuruh Jalu untuk segera
pulang ke kampung halaman dan membuat Dusun Banjarsawah tentram seperti sedia kala. Jalu merasa
sedih karena harus pulang dan pergi meninggalkan teman seperguruannya. Begitupun dengan Rangga
kakaknya, dia juga diperintahkan oleh gurunya Mbah Meru untuk pulang ke kampungnya karena ada
masalah yang sedang menimpa Dusun Ranggajalu. Mbah Meru perpesan bahwa Rangga harus bersikap
sabar dan mengayomi adiknya.

Hingga pada malam hari mereka berdua pergi dengan kuda menyusuri gelapnya hutan, naik turun bukit.
Pada pagi hari akhirnya mereka sampai di sebuah dusun dengan sawah kering kerontang, retaknya
tanah seperti tidak tersentuh air bertahun-tahun, dan orang yang bertubuh kurus mengintip dari balik
pintu.

Tiba-tiba Rangga teringat bapaknya. Segeralah dia turun dari kudanya dan melihat halaman yang sangat
kotor dengan rumah yang miring seperti akan roboh. Saat ia turun dari kuda, dan berjalan selangkah
menuju rumahnya. Tiba-tiba ada suara yang terdengar memanggil namanya

Ki Ragga namanya, seorang pemimpin dusun yang sangat bijaksana. Wajah yang rupawan menapakkan
kearifan dan kebaikan hatinya. Tutur sapa yang lembut sudah menjadi ciri khas sang pemimpin ini.
Dibawah pengayoman ki Raggalah Dusun Banjarsawah hidup makmur, sejahtera dan damai. Dusun
Banjarsawah selalu terlihat hijau, dengan hasil panen yang selalu melimpah.

Ki Ragga memiliki dua anak dengan istri yang berbeda. Kedua anak Ki Rangga laki-laki, Ragga dan Jalu
namanya. Rangga adalah anak bungsu Ki Rangga dari istri pertama, Ki rangga berharap anak bungsunya
ini kelak menjadi seorang pemimpin yang menebarkan semerbak wangi laksana bunga. Sedangkan dari
istri kedua anaknya bernama Jalu, Ki Rangga berharap anak keduanya ini berharap kelak menjadi anak
yang tajam seperti taji ayam jago, yang akan memberantas kejahatan.

Pada suatu malam, Ki Rangga menyuruh kedua anakanya duduk di halaman gubuk yang berdinding
anyaman. Ki Rangga memberikan sebuah perintah kepada kedua putranya yang telah beranjak dewasa
untuk meninggalkan kampungnya dan mencari ilmu kepada seorang guru yang akan mereka temui
kelak. Namun, kedua anaknya membantah perintah tesebut dengan alasan ingin menjaga Ki Rangga
yang sudah sepuh. Ki Rangga pun menjawab alasan anaknya dengan perkataan yang membuat hati
kedua anaknya luluh, dan membuat mereka mantap pergi untuk mencari ilmu.

Ki Rangga memerintahkan kepada kedua anakanya untuk pergi mencari ilmu ke arah sesuai naluri
mereka dan mengambil arah yang berbeda. Mereka akan pergi dan akan kembali ke dusun mereka
setelah mereka berdua menimba ilmu dan mencapai waktu empat puluh purmana.
Sebelum mereka pergi meninggalkan bapak dan dusun mereka, Ki Rangga berpesan jika diperjalanan
kalian bertemu seseorang, maka jangan sekali-kali kalian mengganggu orang tersebut, apalagi
menyakitinya. Bantulah orang yang megalami kesulitan. Kemudian rambut mereka dibelai bergantian
dan dicium ubun-ubunnya. Rangga dan Jalu kemudian berlutut dikaki bapaknya dan meminta doa restu.

Seperti yang sudah diharapakan bapaknya, Rangga dan Jalu memilih arah yang berbeda untuk
perjalannya. Rangga bergerak ke arah barat daya, menuju Mahameru. Sementara Jalu berjalan ke arah
selatan menuju ke Gunung Lamongan. Mereka memang telah ditunggu oleh guru meraka dan disambut
hangat. Rangga dan Jalu pun lekas diterima menjadi muridnya. Guru Rangga yang benama Mbah Meru
ternyata adakah teman seperguruan Ki Rangga. Seorang pendekar paling tangguh dikawsan Tengger.
Sementara itu, Jalu berguru pada Lintang Kidul adik seperguruan Ki Rangga yang sudah terkenal
kesaktiannya.

Mereka sangat disayang oleh guru mereka, karena dapat menerima ilmu dengan sangat cepat. Mereka
berdua pun menjadi pemuda yang tangkas memainkan berbagai macam jurus dan juga senjata.
Kesaktian mereka bisa dibilang sudah hampir seperti gurunya, bahkan bisa lebih jika mereka terus
berlatih dan terus menambah ilmu. Meskipun hanya sesekali mereka keluar pedepokan mereka telah
dikenal dikalangan rimba persilatan.

Setelah sekian lama mereka berguru, akhirnya genaplah enam puluh purnama mereka berguru. Sampai
akhirnya mereka lupa dengan Dusun Banjarsawah yang menjadi tanah kelahiran mereka, karena mereka
sedang bernostalgia dengan ilmu yang mereka dapat dari guru mereka.

Sore yang cerah, saat matahari mulai meredupkan sinarnya, Lintang Kidul mengajak muridnya Jalu untuk
pergi ke sebuah bukit. Mereka berdua duduk di atas batu sebesar rumah dipermukaan datar. Lintang
Kidul menunjuk sebuah tempat yang ada dihadapannya, tepatnya mengarah ke tempat yang tak jauh
dari tempat Jalu dilahirkan, bukit Goang namanya. Bukit tersebut berlubang pada salah satu sisinya dan
berwarna kecoklatan. Lintang Kidul menjelaskan bahwa Dusun Banjarsawah sedang mengalami
kekeringan. Tak ada sungai yang mengaliri Dusun tersebut. Lintang Kidul menyuruh Jalu untuk segera
pulang ke kampung halaman dan membuat Dusun Banjarsawah tentram seperti sedia kala. Jalu merasa
sedih karena harus pulang dan pergi meninggalkan teman seperguruannya. Begitupun dengan Rangga
kakaknya, dia juga diperintahkan oleh gurunya Mbah Meru untuk pulang ke kampungnya karena ada
masalah yang sedang menimpa Dusun Ranggajalu. Mbah Meru perpesan bahwa Rangga harus bersikap
sabar dan mengayomi adiknya.

Hingga pada malam hari mereka berdua pergi dengan kuda menyusuri gelapnya hutan, naik turun bukit.
Pada pagi hari akhirnya mereka sampai di sebuah dusun dengan sawah kering kerontang, retaknya
tanah seperti tidak tersentuh air bertahun-tahun, dan orang yang bertubuh kurus mengintip dari balik
pintu.

Tiba-tiba Rangga teringat bapaknya. Segeralah dia turun dari kudanya dan melihat halaman yang sangat
kotor dengan rumah yang miring seperti akan roboh. Saat ia turun dari kuda, dan berjalan selangkah
menuju rumahnya. Tiba-tiba ada suara yang terdengar memanggil namanya.
Seorang remaja bertubuh kekar turun dari kuda. Ternyata Jalu, adiknya. Setelah lama berpisah, akhirnya
mereka bertemu dan saling berpelukan. Mereka berdua masuk ke dalam rumah, menjumpai bapaknya
yang sangat kurus dan terbaring lemah di atas kasur. Mereka berdua memeluk bapaknya dan bertanya
apa yang sedang terjadi dengan dudun mereka.

Ki Rangga akhirnya bercerita dengan putranya yang sudah tumbuh dewasa tentang keadaaan Dusun
Banjarsawah yang sedang kekeringan. “Dusun Banjarsawah sedang mengalami kekeringan, karena ada
segerombol orang yang telah menutup sungai, sehingga tidak dapat mengaliri dusun mereka. Orang
tersebut juga merampas harta para penduduk hingga mereka kelaparan”. Mendengar cerita tersebut
amarah Jalu memuncak dan ingin menghabisi segerombol orang tesebut. Namun, sesuai yang telah
Mbah Meru guru Rangga pesankan, bahwa dia harus mendinginkan hati Jalu agar tidak terjadi
perkelahian.

Pada akhirnya Ki Rangga memberikan solusi tentang apa yang sedang terjadi di dusun mereka. Ki Rangga
menyuruh mereka bertarung agar menarik para penjahat tersebut menemui mereka. Rangga dan Jalu
pun akhirnya memopoh bapaknya ke teras dapan rumah untuk menyaksikan pertarungan yang akan
mereka lakukan sesuai dengan perintah bapak mereka.

Rangga dan Jalu bertarung menggunakan ilmu yang telah mereka dapat selama berguru. Mereka
mengeluarkan jurus yang berbeda, namun tak ada pemenang ataupun yang kalah saat mereka
bertarung karena kekuatan mereka sama-sama kuat. Pertarungan ini ditonton oleh penduduk Dusun
Banjarsawah dan mereka sejenak melupakan kelaparan yang mereka alami. Karena kekuatan mereka
sama-sama kuat maka Ki Rangga menyruh mereka untuk berhenti sejenak. Mereka pun beristirah dan
berbincang-bincang dengan warga setempat yang mengagumi kekuatan mereka yang sangat dahsyat,
sehingga tidak ada yang terkalahkan diantara mereka.

Sore menjelang petang, mereka berdua melanjutkan pertarungan mereka yang diperintahkan oleh Ki
Rangga. Rangga dan Jalu mengatupkan tangannya didepan ada seraya membaca mantra. Kemudian
Rangga mengekik nafas keras. “Tapak Agni hiyaaaa.......................”. Tangan Rangga mengarah kepada
adiknya, seketika udara menjadi panas. Semburan panas dari tangan Rangga mengarah ke tubuh
adiknya. Tampak tubuh Jalu memerah seperti bara dan mengeluarkan asap yang sangat pekat.
Dedaunan dan ranting disekitar Jalu terbakar, namun Jalu tetap bergeming mengucap mantra, dan
berdiri dengan tubuh sempurna. Kedua tanganya menyilang dan dihentakkan kakinya dengan teriakan
yang keras “Salju asap laangi...tttt”.

Menadadak udara menjadi sejuk, dan membuat Rangga menjadi menggigil. Udara dingin yang keluar
dari mantra adiknya serasa seperti menusuk tulang belulang Rangga. Kemudian tubuh keduanya
terpental kebelakang. Mereka berdua kembali bersikap sepurna dengan kedua tangan mengatup
didadanya.

“Bayuuuuuuuubajra................”, tubuh Jalu melenting tinggi, setinggi pohon bambu yang ada didekat
rumahnya yang kini meranggas nyaris mati.angin berhembus sangat keras seperti akan menjungkalkan
Rangga. Rangga pun tak mau kalah, ia juga mengeluarkan jurus. Terdengar suara melengking tinggi
Rangga “Hiyaaaaa.............angiiii..nnn gendiii..ngggggggg”. Dedaunan bertebaran tak tentu arah,
benturan angin yang sangat kuat dari dua arah yang berlawanan dan membuat Rangga Jalu seketika
terdorong kedepan dan kebelakang.

Tepat di tengah keduanya angin yang mereka kerahkan bertemu. Kedua ujung angin seperti membelit
dan membentuk pusaran. Semakin lama semakin kuat hingga membentuk ceruk dipermukaan tanah.
Lama-kelamaan ceruk semakin lebar dan dalam hingga bukan hanya pusaran tanah yang terbentuk tapi
juga percikan air.

Kedua anak tersebut terus mengerahkan kekuatan hingga air semakin banyak dan berubah menjadi
guyuran hujan. Penduduk berteriak senang, karena sudah sekian lama mereka tidak mendapatkan air
hingga sekarang mereka melihatnya kembali.

Hari semakin petang. Rangga dan Jalu sudah tampak letih dan bersimpuh duduk. Mata mereka
memejam. Angin sudah tak berhembus lagi. Namun, air akibat pusaran angin terus memancar dan
menggenangi ceruk tanah.

Rangga dan Jalu berjalan dengan letihnya mendekati kubangan air. Didekat kubangan tersebut mereka
bertemu, saling bertatap muka dan berpelukan. Selanjutnya mereka duduk ditepi kubangan dan
tangannya meraih air. Mereka pun kembali segar kembali.

Penduduk dusun berlarian mendekati kubangan tersebut dengan ramai.


“Ranggaaa............Jaluuuuuuuuu..”, teriak mereka bersahutan. Wajah penduduk memancarkan wajah
dengan kegembiraan karena selama beberapa bulan dilanda kekeringan. Akhirnya sawah dan ladang
mereka akan segera menjadi gantungan hidup mereka lagi.

Begitulah akhirnya kubangan tersebut menjadi sebuah danau (ranu) dengan nama Ranggajalu. Sampai
saat ini Ranu Ranggajalu terletak di Desa Banjarsawah Kecematan Tegalsiwalan Kabuupaten Probolinggo
itu terus memberikan manfaat bagi penduduk sekitar, yakni sebagai sumber irigasi pertanian. Kini Ranu
Ranggajalu sedang dikembangkan menjadi tempat wisata alternatif di Kabupaten Probolinggo
bersanding dengan Bromo, Air Terjun Mdakaripura, dan Arum Jeram.

Anda mungkin juga menyukai